OUR MARIPOSA - 20 (SYARAT)

169
11
Deskripsi

“Ngapain senyum?” protes Acha. 

“Emang nggak boleh senyum ke pacar sendiri?” 

“Nggak usah ngalihin topik. Jawab pertanyaan Acha!” 

“Apa?”

“Iqbal sudah makan?” 

Senyum Iqbal lebih mengembang. 

“Udah nggak marah?”

“Masih!”

“Belum mau maafin?”

“Iqbal jawab pertanyaan Acha!”

*****

OUR MARIPOSA PART DUA PULUH 

 

MASA KINI

 

“Glen.” 

Glen melambaikan tangannya ke Acha dengan senyum tak berdosa khas seorang Glen. Sedangkan Acha masih terdiam di tempatnya, bingung. 

“Hai, Cha,” sapa Glen. 

“Glen ngapain kesini?” tanya Acha masih dengan keterkejutannya. 

“Sekarang gue dilarang nih kesini?”

“Bukan gitu. Maksudnya Glen tumben kesini? Ada perlu sama Acha?”

Glen mengangguk. 

“Ada.”

“Apa?”

Glen menunjuk kursi di hadapannya. 

“Duduk dulu, Cha. Anggap aja rumah sendiri,” suruh Glen tak tau diri. 

Acha berdecak pelan sembari segera duduk di kursi yang ditunjuk Glen. 

“Kan, ini emang rumah Acha!” 

Glen terkekeh melihat balasan kesal Acha. 

“Gue mau minta tolong,” ucap Glen. 

Acha mengerutkan kening. Tak biasanya Glen meminta tolong kepadanya. 

“Minta tolong apa?”

“Lusa sepupu gue ulang tahun. Bunda suruh gue cari kado buat dia. Gue bingung mau belikan apa. Gue nggak tau kado yang disuka anak jaman sekarang,” jelas Glen. 

Ah! Acha mengangguk-angguk paham. 

“Sepupu Glen cewek?”

“Iya dia cewek. Masih kelas satu SMA. Menurut lo kado apa yang cocok  buat dia?” 

“Dia sukanya apa?” 

Glen terdiam, berpikir keras. 

“Nggak tau. Gue nggak terlalu dekat.”

Acha mendesis pelan dengan tatapan tajam. Acha pun ikut berpikir kado apa yang cocok untuk gadis SMA. 

“Glen bisa belikan baju, sepatu, tas atau pun boneka sapi seperti yang Acha suka.”

Kini giliran Glen yang mendesis kesal. 

“Nggak boneka sapi juga, Cha. Di dunia ini cuma lo doang yang gila sama sapi!”

“Biarin yang penting Acha nggak gila beneran!” 

“Lo dari dulu udah gila. Lo aja nggak sadar.” Glen malah mulai berdebat dengan Acha. 

“Acha nggak gila, Glen!” 

Glen mengangguk-angguk cepat memilih mengiyakan saja. Ia harus segera menemukan bantuan agar memudahkannya membawa kado di hari ulang tahun sepupunya. Dari pada dia diceramahi bundanya selama satu bulan. 

“Lo besok sibuk, nggak?” tanya Glen tiba-tiba. 

“Sibuk. Acha selalu sibuk.”

“Sibuk apa?” balas Glen menantang. 

Acha bersiap menyebutkan kesibukannya. 

“Pagi hari Acha harus menyapa sapi-sapi Acha, kadang mandiin sapi Acha. Terus Acha kuliah, pulangnya Acha ngobrol sebentar sama Tesya, terus Acha pulang dan periksa keadaan sapi Acha lagi. Sibuk banget kan Acha?”

Glen hanya bisa melongo mendengar jawaban Acha. 

“Wah, lo beneran sibuk banget,” takjub Glen. 

“Banget Glen!” 

Glen menghela napas pelan, gadis di hadapannya ini sama sekali tak pernah berubah. 

“Masukin gue satu hari dalam kesibukan lo besok,” ucap Glen. 

Acha tertegun mendengarnya. Acha tersenyum canggung berusaha untuk tidak gugup setelah mendengar ucapan Glen tersebut. 

“E… Emang Glen mau apa besok?”

Glen mengembangkan senyumnya. 

“Temenin gue cari kado buat sepupu gue. Bisa, kan?” 

Acha mempertimbangkan sesaat, mengingat lagi besok jadwal kuliahnya juga. 

“Sepertinya bisa. Tapi sepulang kuliah. Nggak apa-apa?”

Glen mengangguk tanpa ragu. 

“Nggak apa-apa banget. Gue pakai minta izin pawang lo nggak nih?”

Acha mengerutkan kening, bingung. 

“Pawang Acha?”

“Iqbal! Gue nggak mau Iqbal salah paham.”

Acha menggeleng. 

“Nggak usah izin Glen. Kan, tujuan Acha cuma bantu Glen aja.”

Glen mengangguk menyetujui. Glen segera berdiri dari duduknya. 

“Makasih, Cha. Besok gue jemput di kampus.”

Acha mau tak mau ikut berdiri. 

“Iya, Glen.” 

Glen bersiap untuk beranjak. Namun, langkahnya terhenti dan berbalik ke Acha. Glen menatap Acha dengan tatapan lekat. 

“Cha,” panggil Glen.

“Iya, Glen?” balas Acha bingung menatap Glen yang tiba-tiba berhenti lagi. 

“Gue boleh tanya?”

“Tanya apa?”

“Kenapa Iqbal nggak masuk dalam kesibukan lo?” tanya Glen menangkap sesuatu yang janggal. 

“Hah?” Acha sontak terkejut dan langsung kualahan dengan pertanyaan tak terduga Glen. 

Glen tersenyum penuh arti, paham dari sikap panik Acha. 

“Lo lagi bertengkar sama Iqbal?” tebak Glen tepat sasaran. 

Acha tak berani langsung menjawab, tanpa sadar Acha meremas-remas jemarinya. Glen merasa gelagat Acha saat ini sudah sangat cukup menjawab pertanyaannya. 

Glen tertawa sembari geleng-geleng. Ia berjalan mendekati Acha. Jari Glen menyentil kening Acha. 

“Lo buat salah apa lagi?” tuduh Glen. 

Acha langsung menatap Glen tajam, tak terima. 

“Bukan Acha yang  buat salah!” seru Acha kesal. 

Glen terkejut mendengar balasan Acha yang terlihat emosi. 

“Iqbal buat salah apa?” Glen segera meralat ucapannya. 

“Nggak tau. Tanya sendiri sama Iqbal. Acha masih kesal sama Iqbal!” 

Glen menghela napas panjang, tidak mau ikut campur. 

“Padahal gue relain lo bukan buat bertengkar sama Iqbal,” ucap Glen lirih namun cukup terdengar di telinga Acha. 

“Maksudnya?” 

Glen menggeleng cepat, memilih tak menjelaskan. Untung saja Acha tak paham dengan arti kalimatnya. 

“Gue pulang. Cepetan baikan sama Iqbal.” 

Acha mengangguk saja, ia melambaikan tangannya ke Glen yang sudah kembali melangkah keluar dari gerbang rumahnya. 

Acha termenung, masih memikirkan ucapan Glen. 

“Maksudnya Glen relain Acha?”

Kedua mata Acha langsung melebar sempurna, otaknya baru menyadari arti dari ucapan tersebut. Acha langsung membeku dan merutuki kebodohannya sendiri. 

“Natasha kenapa lo jadi pinter banget gini sih!!!” gemes Acha dengan dirinya sendiri. 

*****

Keesokannya Acha berangkat lebih awal lagi. Acha masih tidak mau dijemput oleh Iqbal. Acha sampai di kampus sangat pagi. Bahkan Acha masih melihat bapak-bapak kebersihan. Acha menyapa mereka dengan canggung. 

Acha pun memilih berlari cepat ke arah kelasnya. Ia tidak ingin dianggap aneh karena berangkat sepagi ini ke kampus. Namun belum sampai di kelas, Acha malah berpapasan dengan Abdi. 

“Abdi ngapain di kampus pagi-pagi?” tanya Acha saat cowok itu melambaikan tangan kepadanya dan berjalan ke arahnya. 

“Gue ada rapat BEM untuk acara rector cup minggu depan. Lo mau nyusul Iqbal?” balas Abdi. 

“Hah?” bingung Acha. 

Abdi memberikan tatapan ingin menggoda Acha. 

“Gini banget pasangan paling bucin di Fakultas Kedokteran. Sampai rela berangkat pagi-pagi demi sang pacar,” goda Abdi tak tau pertengkaran Iqbal dan Acha. 

“Iqbal ada di kampus?” tanya Acha memastikan. 

Senyum di wajah Abdi seketika menghilang, ia menatap Acha lebih bingung. 

“Lo nggak tau Iqbal ada di kampus sejak semalam?”

Acha menggeleng. 

“Nggak tau. Iqbal ngapain di kampus sejak semalam?”

“Dia bantu penelitian Profesor Tomi. Sebenarnya Profesor Tomi sudah suruh Iqbal pulang, tapi Iqbal nolak dan mau lembur,” perjelas Abdi lagi. 

Seketika Acha merasa sangat khawatir mendengar kabar tersebut. 

“Iqbal di mana sekarang?” tanya Acha dengan suara bertegar. 

“Iqbal ada di ruang praktikum anatomi dari semalam. Gila pacar lo, Cha. Sibuknya ngalah-ngalahin rektor kampus kita,” takub Abdi. 

Acha hanya tersenyum canggung. 

“Makasih Abdi. Acha samperin Iqbal dulu,” pamit Acha. 

“Oke, Cha.”

Acha pun bergegas menuju ruang praktikum anatomi. Jantungnya berdetak sangat cepat, rasa khawatirnya semakin meningkat, membayangkan Iqbal tidak tidur semalam ditambah pasti cowok itu memikirkan permasalahan mereka berdua. 

*****

Acha perlahan membuka ruang praktikum anatomi, masuk dengan hati-hati dengan pandangan mengedar mencari keberadaan Iqbal. 

Acha berhenti melangkah ketika menemukan Iqbal yang duduk di sofa dengan kedua mata tertutup. Acha masih terdiam di tempatnya, mengamati Iqbal yang terlihat begitu lelah. Hati Acha terasa sesak melihat keadaan sang pacar. Acha sangat tidak tega. 

Acha menghela napas pelan, kemudian Acha berjalan mendekati Iqbal dengan langkah hati-hati. Acha perlahan berjongkok di depan Iqbal. Senyum Acha mengembang tipis. 

“Lagi tidur saja masih ganteng,” lirih Acha kagum dengan paras tampan seorang Iqbal. 

Acha lagi-lagi menghela napas beratnya, semakin tidak tega. Iqbal pasti sangat lelah dari kemarin. Ditambah masalahnya dengan Acha, pasti pikiran Iqbal tidak karuan. 

Tangan Acha bergerak menyentuh rambut Iqbal dan membelainya pelan. 

“Iqbal pasti lelah banget, ya?”

Detik berikutnya, kedua mata Iqbal tiba-tiba terbuka, Iqbal terbangun karena mendengar suara seseorang. Seketika tangan Acha ia jauhkan dari rambut Iqbal. 

“Acha,” kaget Iqbal mendapati sang pacar sedang duduk di hadapannya. 

Acha berusaha untuk tetap tenang dan segera berdiri. 

“Ngapain tidur di ruang praktikum? Nggak punya rumah?” sinis Acha, mencoba untuk terlihat tidak peduli. 

Iqbal tak langsung menjawab, ia masih berusaha mengumpulkan nyawanya. Iqbal meregangkan otot-otot di leher dan bahunya yang terasa kaku. 

“Punya,” jawab Iqbal akhirnya. 

“Terus kenapa tidur di sini?” 

“Bantuin Profesor Tomi,” jawab Iqbal lagi.

Acha berdecak pelan mendengar jawaban Iqbal yang begitu jujur dengan suara kelelahan, membuat hati Acha semakin melemah. 

“Semalam sudah makan?” tanya Acha masih dengan nada ketusnya. 

Iqbal mendongakkan kepalanya, menatap gadisnya lebih lekat. Senyum Iqbal mengembang tipis. 

“Ngapain senyum?” protes Acha. 

“Emang nggak boleh senyum ke pacar sendiri?” 

“Nggak usah ngalihin topik. Jawab pertanyaan Acha!” 

“Apa?”

“Iqbal sudah makan?” 

Senyum Iqbal lebih mengembang. 

“Udah nggak marah?”

“Masih!”

“Belum mau maafin?”

“Iqbal jawab pertanyaan Acha!” Acha menggerutu sebal karena Iqbal terus-terusan mengalihkan pertanyaannya. 

Iqbal menghela napas panjang, kemudian menggeleng. 

“Belum.”

Kedua mata Acha seketika melebar, semakin kesal. 

“Sudah tahu sibuk, kenapa nggak makan dulu? Iqbal sudah sering lupa makan. Jangan cuma projek Profesor Tomi yang Iqbal ingat, kesehatan juga diingat!”

Bukannya takut, Iqbal malah terkekeh mendengar omelan sang pacar. Dalam hati, Iqbal merasa sangat lega melihat Acha yang sudah peduli dengannya. 

“Iqbal kok malah ketawa sih! Acha serius tau!!” protes Acha kedua kalinya. 

Seketika tangan Iqbal langsung menarik lengan Acha, membuat Acha terkejut dan mau tak mau maju ke depan karena tarikan lengan Iqbal. 

“Iqbal lepasin!” protes Acha. Namun, Iqbal malah semakin mengeratkan genggaman lengan Acha. 

“Bentar aja.”

“Iqbal mending pulang dan mandi. Kita ada kuliah pagi,” peringat Acha. 

Iqbal kembali menatap Acha dengan sorot mata penuh kerinduan. 

“Aku kangen kamu,” lirih Iqbal mengungkapkan perasaanya. 

Acha seketika terdiam, ia dapat merasakan ketulusan dari perkataan Iqbal. Bahkan, Acha bisa merasakan hangatnya jemari Iqbal pada lengannya. 

“Maafin aku Natasha.” 

Acha merasa jantungnya berdetak sangat cepat. Perasaan tidak tega itu semakin meluap di hatinya. Rasa sayangnya kepada seorang Iqbal lebih besar daripada rasa amarahnya.

“Iqbal pulang dulu, mandi habis itu makan,” perintah Acha tak membalas perkataan Iqbal sebelumnya. 

“Belum mau maafin, ya?” 

Acha diam, bingung harus menjawab apa. Hatinya semakin tersayat melihat tatapan sedih yang ditunjukkan oleh Iqbal. 

“Acha….” Acha menggantungkan ucapannya. 

“Kenapa? Nggak apa-apa bilang aja,” suruh Iqbal. 

Acha mengepalkan kedua tangannya, menguatkan diri. 

“Acha udah maafin Iqbal. Hanya saja, Acha masih kecewa sama sikap Iqbal kemarin.” Acha mengungkapkan perasaannya dengan jujur. 

Iqbal mengangguk pelan, mengerti. 

“Apa yang harus gue lakuin biar rasa kecewa lo hilang?” 

“Nggak tau.”

Tangan Iqbal beralih meraih jemari Acha dan menggenggamnya erat. 

“Gue akan cari tau dan berusaha tebus rasa kecewa lo. Jadi, jangan marah lagi dan jangan jauhi lagi, Cha,” mohon Iqbal. 

Kini giliran Acha yang mengangguk, pertahannya hampir runtuh sepenuhnya. Acha merasa Iqbal sudah memikirkan baik-baik kesalahannya tersebut. 

“Iya, Iqbal.”

Iqbal berdiri tanpa melepaskan genggaman tangannya. Ia ingin bisa melihat wajah cantik sang pacar lebih dekat. 

“Kalau mau peluk masih nggak boleh, ya?”

Acha menggeleng. 

“Nggak boleh. Acha masih kesal sama Iqbal.”

“Kasih tahu kalau kesalnya sudah hilang. Gue ingin peluk.”

Acha menurunkan pandangannya, kedua pipinya seketika terasa panas mendengar ucapan manis Iqbal.

“Iya, nanti Acha kasih tahu.” 

Iqbal tersenyum lega, tangannya mengacak-acak pelan rambut kepala Acha. 

“Gue pulang dulu. Tunggu gue di kelas.”

“Iya, Iqbal.”

“Jangan pindah tempat duduk lagi,” peringat Iqbal. 

“Tapi, kan, Acha masih kesal sama Iqbal,” protes Acha. 

Iqbal tiba-tiba mengerucutkan bibirnya seperti anak kecil, membuat Acha sangat terkejut melihatnya. 

“Gue ingin duduk di samping lo,” rajuk Iqbal. 

Acha menahan dirinya untuk tidak teriak. Bagi Acha, Iqbal sangat menggemaskan saat ini!

“Iya, Acha nggak pindah duduk lagi.”

Wajah cemberut Iqbal seketika menghilang, berganti dengan senyum merekahnya. 

“Gue pulang, ya,” pamit Iqbal. 

“Iya, Iqbal. Hati-hati di jalan. Jangan lupa sarapan.”

Iqbal menahan diri untuk memeluk Acha. Iqbal tidak ingin membuat Acha marah lagi kepadanya. Dengan terpaksa, Iqbal harus melepaskan genggaman tangannya dan beranjak dari hadapan Acha. 

“Sampai jumpa, Natasha.”

Acha membalas lambaian tangan Iqbal, menunggu sampai cowok itu benar-benar keluar dari ruang praktikum. 

Acha akhirnya bisa menghela napas panjang setelah melihat Iqbal pergi. Hati Acha bercampur aduk, antara sedih dan lega. Sedih melihat Iqbal yang terlalu memforsir dirinya dan lega karena tanpa terduga hubungannya dengan Iqbal mulai membaik. 

Acha seketika teringat. 

“Oh ya, hari ini Glen minta anterin beli kado.”

*****

Sepanjang kuliah di mulai, Acha dapat merasakan Iqbal beberapa kali terus menatapnya. Cowok itu seolah memastikan bahwa Acha di sampingnya. Acha mendecak pelan, mulai tak nyaman. 

“Iqbal jangan lihatin Acha terus!” protes Acha. 

Iqbal mengembangkan senyumnya. 

“Nggak boleh lihatin pacar sendiri?”

“Iqbal nanti dimarahin profesor Tomi!” 

“Nggak akan.” 

Acha hanya bisa geleng-geleng dan pasrah saja. Acha berusaha untuk kembali fokus mendengarkan materi yang disampaikan oleh Profesor Tomi. Tak mempedulikan Iqbal yang tetap memperhatikannya. Toh, Iqbal mendengarkan materi atau tidak nilainya akan tetap bagus, tidak seperti Acha yang membutuhkan usaha lebih. 

“Acha,” panggil Iqbal pelan. 

“Apa?” balas Acha tanpa mengalihkan pandangannya. 

“Kenapa lo bisa tambah cantik setiap hari?” 

Kesabaran Acha sudah melebihi batas, Acha tidak mengerti dengan sikap Iqbal yang setiap hari semakin tidak bisa ditebak. Acha menoleh ke Iqbal, memberikan tatapan tajam. 

“Kenapa Iqbal juga bisa tambah aneh setiap hari?” balas Acha sebal. 

“Aneh gimana?”

“Ya aneh pokoknya!”

“Aneh juga lo tetap suka, kan?”

Acha terbungkam, tak bisa membalas. Acha langsung menghadap ke depan lagi. 

“Kenapa nggak jawab?” protes Iqbal. 

Acha menggeleng cepat. 

“Acha nggak mau jawab.”

“Lo udah nggak suka sama gue?” 

“Iqbal diem! Profesor Tomi udah lihatin kita dari tadi!” pekik Acha berpura-pura untuk fokus saat kedua matanya tak sengaja berpapasan dengan Profesor Tomi. 

“Gue penginnya lihat lo.”

Acha mengepalkan kedua tangannya kuat, berusaha menahan diri untuk tidak emosi kembali. Acha tahu mungkin Iqbal bersikap seperti ini karena terlalu senang Acha sudah memaafkannya dan mau berbincang lagi. 

“Sepulang kuliah mau makan bareng, nggak?” tanya Iqbal lagi. 

Acha seketika teringat kembali dengan janjinya kepada Glen. Dan, Acha belum meminta izin ke Iqbal. Acha perlahan menloleh ke Iqbal. 

“Iqbal,” panggil Acha hati-hati. 

“Kenapa?” balas Iqbal masih dengan senyumnya yang mengembang di paras tampannya. 

Acha bergumam pelan, merangkai kata-kata sejenak.

“Sepulang kuliah Glen minta bantuan Acha untuk nemenin cari kado dan Acha sudah janji bakal nemenin Glen.” 

Senyum di wajah Iqbal seketika menghilang, tatapannya pun berubah dalam sekejap. Melihat sikap Iqbal yang berubah seperti itu, membuat Acha mendadak cemas. 

“Acha boleh, kan, nemenin Glen?” tanya Acha meminta izin. 

Iqbal masih tak menjawab, pandangannya kemudian beralih ke depan. 

“Nggak boleh, ya, Iqbal?” pasrah Acha bisa menyimpulkan Iqbal tidak suka dengan hal itu. 

“Boleh, tapi ada satu syarat,” jawab Iqbal akhirnya. 

Acha langsung kembali bersemangat. 

“Apa syaratnya, Iqbal?” 

Iqbal menatap Acha lagi dan senyumnya mengembang. Namun, kali ini bukan sebuah senyum yang ramah melainkan senyum dipaksakan yang cukup membuat Acha was-was sendiri. 

Perlahan Iqbal mendekatkan wajahnya ke Acha dan membisikan sesuatu ke Acha. 

“Syaratnya adalah….” 

Bersambung. . . 

 

*****

#CuapCuapAuthor 
 

BAGAIMANA OUR MARIPOSA PART DUA PULUHNYA? 

SEMOGA SUKA YA ^^

AYO LANGSUNG BACA OUR MARIPOSA PART DUA PULUH SATU ^^

Jangan lupa kasih love dan komen kalian ya. Selalu paling ditunggu. 

Makasih banyak teman-teman Pasukan semua. Sayang kalian semua dan selalu jaga kesehatan ya ^^

 

Salam, 


Luluk HF 

   

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Our Mariposa
Selanjutnya OUR MARIPOSA - 21 (SALAH PAHAM)
185
23
“Kenapa Iqbal?” tanya Acha meras aneh karena tatapan Iqbal.             Iqbal tak menjawab, membuat Acha semakin bingung.             “Ada sesuatu di wajah Acha?”             Iqbal mengembangkan senyumnya kemudian menggeleng.             “Nggak ada. Kamu cantik,” puji Iqbal tulus.              ******
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan