
"Lo nggak bisu kan? Jawab pertanyaan gue!" pinta Iqbal.
Kedua mata Iqbal menyorot dingin ke arah Acha.
"Nggak ada yang perlu dijelasin! Semuanya udah jelas!" ucap Acha tajam.
"Apanya yang jelas? Lo tiba-tiba minta putus dengan alasan nggak jelas!
"Apa setelah pergi dan kembali, kata-kata itu aja yang ingin Iqbal ucapin ke Acha?" tanya Acha menahan amarah.
"Lo ingin gue bilang apa?" tanya Iqbal tidak mengerti. "I miss you? I love you?"
*****
MARIPOSA PART 49
(KITA SELESAI)
****
Ps : Dear Pasukan Pembaca. Setelah membaca Mariposa part 49 langsung saja ke part Mariposa part 51 ya. Jangan bingung kalau nggak ada Mariposa part 50. Karena di versi wattpadnya Mariposa part 50 hanya info tentang ebook.
****
Acha merabah ponselnya yang terus berdering, ia mendesis kesal padahal ia sudah menjadwalkan hari minggu ini akan ia gunakan untuk istirahat sehaJohan. Persiapan Debutnya sebagai model selama sebulan yang lalu sangat memakan waktu dan tenaganya.
Tanpa melihat sumber penelfon, Acha langsung mengangkat panggilan tersebut, mendekatkan ponsel ke telinga dengan kedua mata masih terpejam rapat.
"Hallo...Siapa?" tanya Acha dengan suara serak
"Gue..." jawab suara disebrang, "Iqbal..." lanjutnya
Acha terdiam untuk beberapa detik, tak berniat membuka kedua matanya sama sekali. Ia menghela pelan berusaha untuk tetap tenang.
"Gue ada di depan rumah lo sejak tadi tapi nggak ada yang bukain pintunya," jelas pria itu lagi. "Lo bisa keluar?" pinta Iqbal.
Acha menjauhkan ponselnyadari telinganya, tanpa berpikir panjang ia mematikan sambungan tersebut dalam sekali tekan dengan mata masih tertutup rapat, Acha membuang ponselnya sampai terjatuh dari kasurnya. Acha bersikap acuh tak acuh kali ini.
Acha menarik selimutnya lebih ke atas, ia mencoba untuk tidur lagi dengan tenang. Acha tidak peduli. Walau terasa sangat sulit, tapi Acha sangat bisa bersikap sewajarnya, seolah ia benar-benar sudah melupakan pria itu bahkan tidak membutuhkannya lagi!
Acha sudah berusaha sejauh ini, nampaknya ia tak ingin berhenti ditengah bahkan untuk berbalik ke belakang saja. Acha tidak mau melakukannya!
******
Di-sisi lain, Iqbal hanya bisa berdiri dipagar rumah Acha dengan wajah entahlah. Ia menatap ponselnya dengan senyum dipaksakan. Ia sudah berkali-kali menelfon Acha kembali tapi tak ada jawaban sama sekali.
Iqbal mendesah berat, mungkin masih belum waktunya meminta penjelasan sekarang. Iqbal pun memilih beranjak dari sana. Apa yang harus ia lakukan? Jika pemilik rumah saja tidak mau membukakan pintu untuknya?
Ia harus berdiri sampai malam seperti orang bodoh disana? Iqbal memiliki cara sendiri untuk memperjuangkan. Dan... Ia tidak akan melakukan aksi drama konyol seperti itu. Pagi-pagi ke rumah Acha saja hal yang cukup luar biasa ia lakukan demi gadis itu. Menurutnya...
Terdangar egois? Tapi itulah Tuan Guanna Muda... Begitulah caranya bertindak dan berpikir. Ia masih waras dengan hal urusan cinta yang sewajarnya saja.
Sampai detik ini... Iqbal tidak pernah bahkan tidak ingin menangis hanya karena cinta atau seorang gadis.
Alasan dia datang kesini karena... Ia hanya ingin meminta penjelasan saja.
Jika memang gadis itu ingin mengakhiri hubungan dengannya, Iqbal butuh penjelasan yang bisa ia terima. Setelah itu, ia akan mempertimbangkan untuk mengiyakan atau menolak permintaan sang gadis.
*****
Iqbal malas pulang ke rumahnya yang sama sekali tidak ada orang, ia memutar arah menuju rumah Johan yang tidak jauh dari rumah-nya. Iqbal dapat menebak Johan pasti ada dirumah.
Setelah sampai di rumah Johan, Iqbal langsung masuk saja. Satpam dirumah tersebut sudah hapal dengannya dan ia tidak perlu meminta izin juga untuk masuk kedalam rumah bahkan kamar Johan. Mengingat mereka sudah bersahabat sangat dekat.
Iqbal membuka pintu kamar Johan yang tidak pernah terkunci, dan menemukan sosok tergeletak dengan mulut terbuka, kedua kaki merentang lebar dan bagian atas tubuh yang terekspos jelas tanpa sehelai kain. Iqbal geleng-geleng melihat pemandangan tak layak untuk kesucian kedua matanya.
"Dasar banci kaleng..."
Iqbal melangkah masuk lebih dalam, ia menendang benda-benda yang berserakan dihadapannya. Tak mempedulikan, jika pemilik kamar akan mengamuk nantinya.
Kedua mata Iqbal terhenti tepat disebuah majalah dengan seorang model gadis cantik yang sangat ia kenal. Iqbal meraih majalah itu.
"Acha?" lirihnya.
Iqbal pun membuka majalah tersebut dari cover, halaman awal sampai akhir yang kebanyakan berisi foto-foto, profil dan cerita tentang seorang Acha. Iqbal tentu saja terkejut mengetahui hal itu.
"Dia jadi model?" tanyanya entah kesiapa.
"Hoammm..."
Iqbal menoleh ke samping, memperhatikan Johan yang nampak telah bangun. Detik berikutnya, kedua mata mereka saling berpandangan untuk waktu yang lama.
"Lo ngapain disini?" tanya Johan kaget. Ia buru-buru bangun, mendudukan posisinya dan meraih kaos pendek di bawah kasur. Johan segera memakainya.
Iqbal terdiam, di otaknya sekarang mulai banyak berbagai pertanyaan yang ingin ia tanyakan balik ke Johan.
"Acha jadi model? Sejak kapan?" tanya Iqbal tak berniat menjawab pertanyaan Johan barusan.
Johan memandang majalan yang ada ditangan kanan Iqbal, ia mengangguk-anggukan kepalanya mengerti.
"Sejak sebulan yang lalu ia masuk agensi model. Kemarin ia memulai debutnya.." jawab Johan santai.
"Kenapa tiba-tiba jadi Model?"
"Mana gue tau. Lo tanya sendiri.." balas Johan. "Lo yang pacarnya kan..." lanjutnya dengan nada sedikit menyindir.
Iqbal mendengus pelan, ia berniat ingin melempar majalah ditanganya tersebut ke kepala Johan, tapi ia urungkan. Ia menyayangkan wajah gadis cantik disana.
"Dia minta putus semalam..." ucap Iqbal pelan dan meletakkan majalah tersebut ditempat semula.
Iqbal berjalan ke arah sofa, dan menyalakan televisi kamar Johan. Sedangkan, Johan bereaksi beda, ia dibuat dua kali terkejut dengan berita itu. Johan tidak menyangka bahwa Acha benar-benar melakukannya.
Johan tidak tau harus ber-ekspresi bagaimana. Perasaanya sangat campur aduk saat ini. Jika ia bahagia, dirinya tidak munafik bahwa sangat bahagia mendengarnya. Tapi, ia juga merasa kasihan dengan Iqbal.
"Gue cuma perlu penjelasannya aja, alasan dia minta putus." lanjut Iqbal, kedua matanya tersorot tenang ke arah acara music-show di channel cabel yang sedang ia tonton.
Johan tersenyum kecil.
"Lo beneran nggak tau alasannya apa?" tanya Johan memastikan.
Iqbal menoleh ke Johan.
"Emang lo tau?" tanya Iqbal balik.
Johan dengan cepat mengangkat kedua bahunya.
"Entahlah...," jawab Johan seadanya. "Lo ngapain sih kesini? Nggak biasannya pagi-pagi banget?" tanya Johan berusaha mengalihkan topik.
"Gue tadi ke rumah Acha, dia nggak mau buka pintu gerbang rumahnya. Yaudah, gue malas balik pulang, akhirnya gue kesini." jelas Iqbal
Johan memperhatikan Iqbal dengan lekat, pria itu telah kembali fokus menonton acara di televisi kamarnya.
"Lo nggak sedih Acha mutusin lo atau gimana perasaan lo sekarang?" tanya Johan penasaran.
"Biasa aja." jawab Iqbal tanpa beban.
Johan membuka kedua matanya bertambah lebar, tatapannya berubah menajam.
"Lo beneran suka nggak sih sama Acha?" tanya Johan nada suaranya berubah meninggi. "Lo cinta nggak sama dia?"
"Suka..."
"Lalu? kenapa respon lo biasa seperti itu? Sedangkan gue lihat Acha cinta banget sama lo!"
Iqbal menghela napas pelan, menoleh kembali mengharah ke Johan. Iqbal dapat melihat raut kesal dari wajah sahabatnya itu.
"Terus? Gue harus gimana? Nangis di depan rumah dia? Sujud di depan dia?" tanya Iqbal berbondong dengan tatapan lebih dingin.
Iqbal tersenyum sinis,
"Gue bukan pengemis cinta!" jawabnya tegas.
Iqbal memandang ke arah lain, sorot matanya menerawang.
"Gue aja nggak tau alasan dia mutusin gue,"
"Ya lo cari tau!" bentak Johan.
"Dia nggak mau ketemu sama gue," balas Iqbal masih bersikap tenang.
"Cih... Cuma alasan lo doang kan?" sindir Johan menahan amarah. "Kalau lo suka beneran sama dia, berjuanglah buat dia!"
"Jangan buat dia terus yang berjuang buat lo!" lanjut Johan dengan kalimat sangat menusuk.
Iqbal tertawa pelan, merasa ada yang lucu dengan ucapan Johan barusan. Perlahan tawa itu berubah menjadi sebuah senyuman picik, Iqbal berdiri dari sofa dan mematikan televisi.
Tanpa menatap Johan, Iqbal berjalan keluar dari kamar pria itu.
"Kayaknya banyak yang gue nggak tau selama 3 bulan ini..."
Setelah mengucapkannya, Iqbal pergi dari kamar Johan bahkan langsung beranjak dari rumahnya meninggalkan Johan yang terdiam mendengar ucapan Iqbal tadi. Entah maksudnya apa, Johan masih berusaha untuk mencernannya.
****
Keesokan paginya....
Sebagian siswa dan siswi bahkan beberapa guru terkejut dengan kembalinya Iqbal setelah sekian lama tidak menampakkan diri disekolah. Terutama teman kelas Iqbal yang paling heboh dan berbondong meminta oleh-oleh ataupun mernghujani pertanyaan kepada Iqbal.
Sedangkan Iqbal tidak mengubrisnya, ia langsung duduk di bangkunya yang sudah ada Rian disana dan sedang menatapnya dengan kedua mata tersorot tajam.
"Masih inget lo sama negara Indonesia?" sindir Rian.
Iqbal meletakkan tasnya ke atas bangku, dan duduk dikursinya.
"Bersyukur aja, google nggak hilangin peta Indonesia,"
Rian mendecak kesal, Iqbal paling pintar membalas ucapannya. Iqbal membalikkan badanya, bangku belakang masih kosong kedua pemilik dari bangku itu belum menampakkan wajah mereka. Iqbal jadi tidak sabar melihat ekspresi heboh Glen melihat kedatangannya.
"Kenapa lo tiba-tiba nggak ada kabar?" tanya Rian penasaran.
"Gue? Nggak ada kabar? Maksud lo?" tanya Iqbal balik dengan raut tak mengerti.
"Lo di Prancis ngapain sih? Kok sampai 3 bulan? Katanya cuma satu minggu?"
"Banyak yang harus gue ur..."
"IQBAAALLL!!! OH MY GOD!! MY HONEY!!"
Iqbal dan Rian memandang jijik wajah Glen yang begitu mengerikan. Pria itu terlihat heboh sendiri dan berjalan cepat ke arah mereka berdua. Senyum Glen bertambah lebar ketika sudah mendekati Iqbal.
"Lo nggak tau gimana sabarnya gue nunggu oleh-oleh dari lo!" ucapnya dengan wajah penuh harap. " Mana oleh-oleh adek Glen?"
"Gue nggak liburan disana, gue nggak sempat beli apa-apa!" balas Iqbal malas, telinganya terasa sakit mendengar teriakan Glen barusan.
"What? Seletah eh salah maksudnya setelah hilang selama tiga bulan lo balik kesini tanpa membawa apapun?"
Glen menghela napas berat sembari memegangi kepalanya
"Lebih baik lo nggak usah balik! Nggak ada yang ngeharapin lo balik! Kita bahkan sudah lupa kalau punya sahabat bernama Iqbal Guanna!" ucap Glen sadis.
"Apaan sih gue nggak ngerti!" decak Iqbal dibuat pusing sendiri dengan ucapan Glen yang menurutnya bertambah ngaco.
Iqbal memilih mengambil ponsel dan headseat-nya dan segera memakainya. Ia sedang malas menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Glen dan Rian saat ini.
Bahkan, ketika pelajaran di mulai, diam-diam Iqbal memilih tidur saja. Toh, guru yang mengajar nampak belum menyadari kehadirannya. Iqbal masih merasakan semua badanya lelah sangat lelah.
Jika saja bukan karena ingin bertemu Acha di sekolah, ia mungkin masih memilih untuk rehat di rumah selama seminggu!
*****
Bel istirahat berbunyi, Iqbal membuka kedua matanya setelah satu pelajaran dilewatinya dengan tertidur pulas. Iqbal menatap ke samping, tidak ada Rian. Ia beralih kebelakang, tidak ada juga Johan maupun Glen.
"Sial! Gue ditinggal lagi..."
Iqbal mengumpulkan kembali nyawanya, kemudian bangun dari kursinya dan beranjak menuju kantin. Ia dapat memastikan ketiga temannya itu sudah bertenger disana.
****
Iqbal mengambil duduk disebalah Johan tanpa banyak bicara, ia melihat semangkok bakso dan segelas jus jeruk yang sudah dipesankan ketiga temannya ini untuknya.
"Thanks..." ucap Iqbal singkat dan langsung memakan bakso itu.
Rian, Glen dan Johan hanya menatap Iqbal sembari geleng-geleng. Pria ini bersikap semakin dingin saja setelah pulang dari Prancis. Bahkan lebih menakutkan sifatnya.
"ACHA!!! ACHA!! SINII!!!"
"IQBAL UDAH BALIK DARI PRANCIS!! LO NGGAK KANGEN SAMA DIA?"
"SINI CHAA!! CEPETAN!! MUMPUNG DIA NGGAK BALIK LAGI KE PRANCIS!!"
Suara Glen membahana diseluruh penjuru kantin, menyambut Acha yang baru saja masuk kantin bersama Amanda. Rian dan Johan menundukkan kepala, merasa malu dengan tingkah Glen yang sangat menjijikan.
Langkah Acha terhenti, ia terdiam ditempat melihat Iqbal yang sedang sibuk makan. Acha menahan diri untuk tidak terpengaruh dengan perasaan hatinya. Ia harus bisa bertahan dan berusaha keras melupakan pria itu.
"Lo nggak apa-apa?" tanya Amanda memegang lengan Acha, Amanda dapat melihat jelas raut wajah tegang Acha.
Acha menggelengkan kepalanya pelan.
"Nggak apa-apa," jawab Acha seadanya.
"Lo mau balik ke kelas? Gue aja yang belikan?" tawar Amanda.
"Nggak usah nda, Acha mau makan disini. Acha nggak mau terlihat lemah."
Amanda tersenyum puas. Ia mengenggam tangan Acha erat.
"Itu baru Natasha!!" bisik Amanda senang.
Acha memaksakan untuk mengembangkan senyumnya. Ia kemudian mengikuti Amanda yang berjalan duluan ke arah Glen dkk. Amanda ingin sekali membuat Iqbal merasakan sakit hati dan ingin melihat wajah seorang Iqbal yang terpuruk melihat perubahan Acha.
Semalam, Acha sudah menceritakan semuanya ke Amanda dan respon Amanda tentu saja sangat bahagia! Ia adalah orang yang paling pertama mendukung hubungan mereka berdua selesai! Amanda tidak ingin Acha merasa sakit hati untuk kedua kalinya.
Sekali masuk kedalam jurang dalam? Haruskah mengulanginya lagi? Tidak bukan?
Amanda duduk disebalah Glen, dan sengaja menyuruh Acha untuk duduk dihadapan Iqbal. Entah pria itu sengaja tidak melihat Acha atau memang masih sibuk makan. Iqbal terus menunduk menatap mangkok baksonya dan fokus dengan makanannya.
Acha menarik napas dalam dan menghembuskannya pelan-pelan, ia tidak mau terlihat gugup. Acha berusaha setengah mati menyembunyikan rasa sakit yang ingin meledak saat ini. Acha teringat kembali dengan penderitaanya untuk melupakan pria didepannya ini.
"Apa cuma gue aja ya ngerasa kalau meja ini tiba-tiba berubah menjadi tegang?" tanya Rian merasa aneh.
"Gue juga." sahut Iqbal tiba-tiba dan mengejutkan semua orang yang duduk di meja tersebut.
Iqbal meletakkan sendok dan garpunya setelah menghabiskan satu mangkok baksonya. Iqbal mengangkat kepalanya, dan kedua matanya langsung menatap ke arah Acha yang juga sedang memandang dirinya.
Tatapan mereka saling beradu.
"Lo jauhin gue?" tanya Iqbal tanpa basa-basi.
Acha diam, bingung mau menjawab apa.
"Beri gue alasan tentang keputusan lo kemarin!" tegas Iqbal lagi.
Rian dan Glen yang sama sekali tidak mengerti hanya menatap ke kanan dan kiri dengan wajah bodoh. Sedangkan, Amanda dan Johan memandang Acha dengan cemas. Mereka sedikit tidak yakin dengan perasaan Acha yang mudah melunak.
"Apa salah gue?" tanya Iqbal lagi.
Acha tersenyum miris mendengarnya. Ia melihat Iqbal yang berlagak begitu tenang dan seolah tak pernah terjadi apapun. Sedangkan dirinya? Harus menanggung begitu banyak penderitaan selama ini.
Acha mendecak sinis, ia berdiri dari kursi yang didudukinya dan melangkah menjauh dari meja itu tanpa menjawab satupun pertanyaan dari Iqbal.
Sedangkan Iqbal melihat punggung Acha yang semakin menjauh dari kantin. Iqbal menatapnya dengan kosong.
"Lo nggak kejar dia? Kejar sana!" bisik Johan memaksa.
Iqbal pun ikut berdiri dari mejanya, kemudian berjalan keluar dari kantin. Lebih tepatntya, Iqbal menyusul Acha. Ia ingin mendapatkan penjelasan secepat mungkin agar dia juga bisa memberikan jawaban tentang keputusannya akan hubungan mereka berdua.
Iqbal melihat Acha masuk kedalam kelasnya yang pasti tidak akan ada orang jika jam istirahat seperti ini. Iqbal pun ikut masuk kesana.
*****
Acha duduk di kursinya, ia menyibukkan diri sendiri dengan bermain ponsel. Walaupun ia tau bahwa ada keberadaan Iqbal didekatnya. Acha berusaha untuk tenang.
"Lo nggak bisu kan? Jawab pertanyaan gue!" pinta Iqbal, ia duduk tepat di kursi depan bangku Acha.
Kedua mata Iqbal menyorot dingin ke arah Acha.
"Nggak ada yang perlu dijelasin! Semuanya udah jelas!" ucap Acha tajam dengan suara pelan. Namun, cukup terdengar bagi Iqbal.
"Apanya yang jelas? Lo tiba-tiba minta putus!" balas Iqbal tidak terima. "Kalau alasan lo bisa gue terima, gue akan setuju dengan keputusan lo. Kita putus seperti yang lo inginkan!"
Acha membanting ponselnya dengan kesal, ia merasa terganggu dan jengah dengan sikap Iqbal yang merasa sangat tidak bersalah bahkan sama sekali tidak mencoba untuk meminta maaf kepadanya.
"Apa setelah pergi dan kembali, kata-kata itu aja yang ingin Iqbal ucapin ke Acha?" tanya Acha menahan amarah.
"Lo ingin gue bilang apa?" tanya Iqbal tidak mengerti. "I miss you? I love you?"
Acha merasakan kedua matanya mulai memanas, kedua tanganya terkepal kuat berusaha menahan segala yang ingin tertumpah saat ini. Tubuh Acha semakin menegang.
"Yaudah, kalau itu yang lo pingin. Gue akan bilang dengan senang hati. I miss you Natas..."
Plaaakkk
Sebuah tamparan mendarat di pipi kanan Iqbal dengan begitu keras. Iqbal memegangi pipinya yang panas dan perih dengan wajah sangat terkejut. Ia tidak menyangka Acha akan menamparnya.
"Apa nggak bisa kita putus saja tanpa memperpanjang seperti ini?" pinta Acha memohon.
Acha mengenggam erat tanganya yang baru saja ia gunakan untuk menampar wajah Iqbal. Acha merasa ada tali tampar panjang yang baru saja mencambuk hatinya. Tangan Acha mulai gemetar.
"Acha capek! Acha lelah! Acha udah nggak kuat!" lanjutnya dengan kedua mata mulai berkaca-kaca. "Acha mohon jangan membuat semuanya makin menyakitkan!"
"Acha mohon sudahi! Acha udah nggak bisa lagi sama Iqbal!!" tajam Acha
"Kenapa?" tanya Iqbal
Acha memuang mukanya dengan cepat, ia sudah tak sanggup lagi menatap Iqbal. Apalagi, mendengar pertantanyaan singkat Iqbal barusan yang membuat dadanya bertambah sakit lagi. Bagaimana bisa ada orang yang tidak berperasaan seperti Iqbal?
"Apa begitu susah ngasih penjelasan?" tanya Iqbal mulai terdengar dingin.
Acha mengigit bibirnya kuat, bendungan dipelupuk matanya semakin membesar, ingin meledak dan membuang seluruh isinya. Acha berusaha keras menahannya, tapi sangatlah susah. Ia tak sanggup lagi.
Iqbal menganggukkan kepalanya dengan helaan napas berat keluar dari bibirnya, ia melihat Acha yang mulai mengeluarkan air matanya. Iqbal merasa tidak tega.
"Baiklah, gue nggak akan tanya lagi," ucapnya mengalah.
"Kalau itu emang mau lo. Gue akan mengiyakan.” Iqbal menghela napas berat sejenak. “Seperti yang lo pengin, kita selesai!"
Iqbal memaksakan senyumnya, ia berdiri dari kursinya dan berjalan satu langkah lebih dekat ke Acha.
"Jangan nangis lagi..." ucap Iqbal sembari mengacak-acak puncak kepala Acha pelan. "Gue pergi," pamit Iqbal, kemudian segera beranjak dari kelas Acha, meninggalkan Acha begitu saja.
Acha langsung menjatuhkan kepalanya dan menenggelamkannya diatas bangku. Ia berteriak dalam hati, mengumpati dirinya sendiri! Ia sudah berusaha setengah mati untuk tegar dan terlihat kuat. Tapi, kenapa ia malah menangis seperti gadis bodoh seperti ini?
Acha merasakan dadanya semakin sesak, perlahan isakannya mulai keluar tak bisa tertahan. Acha memukul dadanya berkali-kali agar isakannya terhenti.
"ACHA!!!" teriak Amanda yang baru datag dan terkejut melihat Acha terisak.
Amanda segera menghampiri Acha, dan memeluk gadis itu. Amanda merasakan Acha yang mengeratkan pelukannya dan semakin terisak kencang.
"Acha udah putus sama Iqbal!"
"Acha udah selesai sama Iqbal, Nda!"
"Kita udah selesai!" tangis Acha tak bisa menahannya lagi.
Amanda menepuk-nepuk pelan punggung Acha, berusaha menenangkan gadis itu.
"Iqbal jahat banget nda sama Acha!"
"Dia jahat banget! nggak punya hati!"
"Acha benci sama Iqbal! Tapi Acha juga benci dengan diri Acha sendiri!"
"Kenapa Acha menangis seperti ini nda! Kenapa? Acha nggak ingin kayak gini!"
"Nggak apa-apa cha, nangis aja kalau bisa buat lo tenang!" ucap Amanda. "Menangis aja, mumpung masih gratis kan!" goda amanda
Acha menganggukan kepalanya dalam pelukan Amanda.
"Keputusan Acha udah benar kan nda? Acha nggak perlu menyesal kan nda?"
"Bilang ke Acha kalau keputusan Acha udah tepat? Acha udah sangat benar mutusin Iqbal!"
"Udah benar kan, nda?"
Amanda melepaskan pelukannya, ia menatap Acha sembari tersenyum kecil. Amanda menghapus bercak air mata di kedua mata Acha.
"Udah bener kok cha. Keputusan lo udah tepat!"
"Lo nggak pantes disakitin dan menangis kayak gini!"
"Lo harus kuat! Bahkan lebih kuat!"
"Semangat Natasha!"
Acha kembali memeluk Amanda dengan erat, tangisannya bertambah hebat. Acha mengeluarkan semua rasa amarah dan kesedihannya yang ia tahan sedari tadi, ia menumpahkan seluruhnya hanya di depan Amanda.
Sedangkan, Amanda terdiam, sorot matanya kosong menatap kedepan. Pikirannya masih terngiang dengan pesan yang barusan didapanya waktu dikantin. Sebuah pesan dari Iqbal yang menyuruhnya agar segera ke kelas menghampiri Acha. Sebuah pesan yang memberitahukannya bahwa Acha sedang menangis dan butuh sahabatnya.
Bahkan, satu pesan lagi yang sangat membuat seorang Amanda merasa tidak bisa marah lagi dengan sosok Iqbal yang dingin dan tak punya hati. Pesan terakhir yang bertuliskan.
"Maaf, tidak bisa membahagiakan sahabatmu. Maaf membuat dia menangis. Aku sangat menyukainya. Tolong jaga dia."
*****
#CuapCuapAuthor
Selamat membaca MARIPOSA unpublished part. Semoga selalu suka.
Makasih banyak Pasukan Pembaca semua. Love you All.
Salam,
Luluk_HF
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
