
"Ada yang ingin Acha berikan ke Iqbal..." ucap Acha lirih.
"Apa?"
"Buka telapak tangan Iqbal,” pinta Acha.
Iqbal menurut, ia membuka tangan kanannya.
"Ini Acha kembalikan..."
Iqbal menatap sebuah gelang yang pernah ia berikan kepada Acha.
"Kenapa dikembalikan?" tanya Iqbal tak mengerti.
Acha sekali lagi tersenyum, memaksakannya agar terlihat seperti sebuah senyum yang sangat cantik.
"Acha tidak punya hak memilikinya lagi.”
"Ma...maksudnya?" tanya Iqbal makin bingung.
*****
MARIPOSA PART 48
(SEBUAH PANGGILAN)
Kirana masuk kedalam kamar Acha, memeriksa apakah putrinya sudah membersihkan dirinya dan berganti baju. Ia membuka pelan-pelan pintu kamar sang anak.
"Mama boleh masuk?" tanya Kirana sembari tersenyum. Ia melihat putrinya tengah mengeringkan rambutnya diatas kasur.
Acha mengangguk lemah, mengiyakan permintaan mamanya. Kirana tersenyum legah, walau Acha masih terlihat pucat dan muram, setidaknya gadis itu tidak apa-apa. Kirana melangkah lebih masuk setelah menutup kembali pintu kamar Acha.
Kirana duduk disamping Acha, meraih hairdryer yang dipegang oleh Acha.
"Biar Mama yang keringkan," ucap Kirana.
Untuk kedua kalinya, Acha hanya bisa mengangguk, menuruti saja permintaan Mamanya. Kepala Acha perlahan tertunduk, ia merasa malu dan sangat bersalah kepada mamanya.
"Maafin Acha..." lirih Acha menahan air matanya yang suda membendung dipelupuknya.
"Untuk apa?" tanya Kirana dengan suara penuh kasih.
"Ac...Acha...Acha udah buat khawatir Tante-Mama, udah buat Tante-Mama ikut hujan-hujanan dan selalu nyusahin. Maafin Acha..."
"Acha minta maaf..."
Tetes demi tetes air mata Acha berhasil lolos, pertahananya tak bisa ia jaga. Kedua pipinya telah terbentuk aliran air mata yang semakin deras. Acha menangis dalam diam, ia mengigit bibirnya agar tidak mengeluarkan isakan.
"Acha nggak salah, dan nggak pernah salah di mata Mama. Jadi, kenapa harus minta maaf ke Mama?" ucap Kirana menggoda sang anak.
Kirana meletakkan hair-dryer dinakas dekat kasur, lalu mengambil sisir yang ada diatas bantal untuk merapikan rambut anaknya.
"Acha sudah mulai tumbuh dewasa, sudah bisa merasakan cinta ke lawan jenis. Mama tidak melarang itu,"
"Tapi Mama tidak mau rasa suka Acha menyakiti diri sendiri dan buat Acha menderita. Mama tidak mau anak cantik Mama ini terus menangis bahkan kayak tadi."
Kirana menatap Acha yang semakin terisak dalam diam. Kirana memeluk Acha, menaruh kepala Acha didadanya. Kirana menepuk lembut punggung sang anak membiarkan Acha meluapkan kesedihannya.
"Mulai sekarang, jangan menangis lagi. Acha harus hidup bahagia, dan tersenyum buat Mama,"
"Dari kejadian tadi bahkan beberapa hari kemarin, Acha harusnya sudah mendapatkan banyak pelajaran bukan?"
Acha menganggukan kepalanya berulang-ulang, menyetujui ucapan Kirana.
"Acha ti...tidak akan egois lagi. Acha...Acha janji itu, Acha akan lebih sayang sama Tante-Mama dan orang-orang yang lebih sayang ke Acha..."
"Acha berjanji nggak akan bersedih lagi,"
Acha melepaskan pelukan Kirana, menatap mamanya dengan kedua mata basah. Acha mengusap bercak air matanya sebentar. Kemudian, menarik napas dalam-dalam dan menghempaskannya pelan.
"Bilang ke Acha, kalau keputusan Acha setelah ini terbaik buat Acha?"
"Bilang ke Acha kalau Tante-Mama akan terus ada disamping Acha?"
"Acha ingin lebih bahagia sekarang. Acha udah lelah dengan hidup menyedihkan Acha. Acha berhak kan Tante-Mama untuk bahagia?"
Kedua mata Acha kembali berkaca-kaca, bendungan air itu ingin tertumpah lagi. Tapi, Acha menahannya.
"Tentu saja berhak! Siapa yang melarangnya?" sahut Kirana dengan wajah dibuat marah.
"Anak mama harus bahagia. Tidak boleh sedih lagi. Mama akan ikut sedih juga kalau Acha sedih."
"Jadi, mulai sekarang. Acha mau berjanji ke Mama? Untuk membuka hidup yang lebih baik dan menjadi Acha yang selalu ceria seperti biasanya?"
Acha menganggukkan kepalanya tanpa ragu. Ia begitu bahagia dengan kehadiran Kirana di hidupnya. Ia merasa lebih dari beruntung. Hanya Kirana yang ia punya saat ini. Melihat besarnya cinta Kirana kepadanya, membuat Acha semakin bersalah dan tidak mau mengecewakan Mamanya lagi.
"Terima kasih sudah mau menjaga dan merawat Acha." ucap Acha jujur. "Acha sayang sama Tante-Mama," lanjutnya kembali memeluk Kirana.
"Mama juga sayang sama Acha. Bahkan lebih dari Acha sayang sama Mama."balas Kirana.
"Besaran Acha! Acha lebih lebih lebih sayang ke Tante-Mama," protes Acha
Kirana terkekeh pelan,
"Kalau begitu, mulai sekarang panggil Mama dengan Mama nggak Tante-Mama lagi?" tantang Kirana.
Acha melepaskan pelukanya dengan bibir cemberut.
"Kalau itu...,"Acha berpikir sebentar. "Acha udah terbiasa manggil Tante-Mama, Acha nggak mau ganti. Udah nyaman." tolak Acha
Kirana mendesis pelan, namun detik berikutnya tersenyum kecil, membelai lembut rambut panjang Acha.
"Sudah malam, sekarang Acha harus istirahat." ujar Kirana dan turun dari kasur Acha.
Acha menganggukan kepalanya lagi, ia bergegas berbaring di kasurnya. Kirana membantu membenahkan selimutnya, Acha tersenyum senang dengan perhatian Kirana yang sama sekali tak pernah berubah dari pertama ia bertemu dengan wanita paruh baya ini.
Dia benar-benar malaikat pelindung bagi Acha.
"Selamat malam putri Tante-Mama," ucap Kirana menggoda.
Acha mendecak pelan, merasa tersindir.
"Selamat Malam juga Tante-Mama." balas Acha tulus.
Kirana mencium singkat puncak kepala Acha kemudian beranjak dari kamar Acha, membiarkan putrinya untuk istirahat. Kirana tau pasti Acha butuh ketenangan dan mengembalikan energinya yang hampir habis.
Kirana berharap besok, Acha sudah kembali membaik.
*****
Sepeninggal Kirana, Acha menggerakan tubuhnya kesamping, ia meraih ponselnya. Acha tersenyum miris, masih tak ada notifikasi pesan dari pria yang ditunggunya. Acha membuka room-pesan, membaca beberapa pesan yang pernah ia kirimkan.
"Iqbal sudah makan? Acha khawatir sama keadaan Iqbal. Iqbal baik-baik saja kan disana?"
"Iqbal, Acha masih nunggu balasan dari Iqbal."
"Iqbal nggak usah cemasin Acha, Acha disini baik-baik saja kok. Acha pasti tunggu Iqbal sampai pulang,"
"Disini hujan terus Iqbal, di Prancis hujan juga kah? Iqbal jangan sampai sakit ya. Jaga kesehatan disana,"
"Iqbal, jangan lupa makan."
"Iqbal marah ya sama Acha? Acha ganggu Iqbal ya? Maafin Acha."
"Iqbal Acha minta maaf,"
"Selamat malam Iqbal, jangan tidur malam-malam nanti Iqbal sakit,"
"Iqbal, kabar Acha disini baik loh. Acha selalu percaya sama Iqbal dan terus nunggu Iqbal datang,"
"Iqbal besok tau kan hari apa? Acha harap Iqbal nggak lupa hehehe. Acha tunggu kedatangan Iqbal. Acha sayang Iqbal"
Acha dengan cepat menghapus air matanya yang entah sejak kapan menetes membasahi wajah bahkan mulai merembas ke bentalnya. Acha menghela napas berat, dadanya kembali terasa sesak.
"Sudah cukup Acha. Hanya sampai disini aja. Jangan menyakiti diri Acha lagi."
"Kasihan Tante-Mama, Kasihan Amanda, Kasihan semua orang yang lebih sayang ke Acha."
"Acha harus terus hidup ke depan dan lebih bahagia. Acha pantas bahagia."
"Acha harus bahagia. Acha tidak pantas bahkan tidak boleh menderita lagi,"
Acha kembali fokus menatap layar ponselnya, ia mengklik tombol pilihan, dan tanpa berpikir panjang Acha menekan hapus disana. Semua pesan pada room tersebut seketika hilang tak ada di pesan Acha lagi. Kemudian tangan Acha beralih ke kontak ponselnya, mencari satu nama yang selama ini selalu membuat hatinya penuh dengan banyak warna.
Acha tersenyum getir.
"Maafin Acha. Kemampuan Acha hanya sampai disini. Acha nggak bisa... bukan... Acha udah nggak sanggup lagi,"
"Banyak yang lebih sayang sama Acha,"
"Maaf..."
Acha menghapus kontak dengan nama IqbalGuanna, dalam hitungan tak sampai satu detik nama itu telah tak ada lagi didalam kontak Acha. Ia benar-benar menghapusnya dengan perasaan sesak yang sangat ia tahan. Acha harus melakukanya!
Acha meletakkan ponselnya di nakas meja, kemudian menarik selimut sampai ke atas wajah, bersiap untuk tidur. Hari ini benar-benar melelahkan baginya. Acha sudah melalui hal yang panjang, memiliuhkan, menyedihkan dan menyakitkan.
Acha sudah lelah dengan semua itu.
"Selamat tinggal Acha yang egois, cengeng, dan menjengkelkan."
*****
Kirana membuka kamar Acha, berniat untuk memberikan bubur yang sudah ia buatkan untuk putrinya. Namun, langkahnya terhenti degan kedua mata yang membulat sempurna. Kirana terkejut bukan main dengan pemandangan yang ada dihadapannya saat ini.
"NATASHA APA YANG KAMU LAKUKAN?" teriak Kirana begitu panik.
Kirana segera meletakkan mangkok dan susu dikedua tanganya di bawah lantai begitu saja. Ia segera mendekati Acha.
Yang Kirana lihat adalah, Acha sedang duduk di meja riasnya, gadis itu memotong rambut panjangnya sendiri. Padahal, Kirana sangat tahu bahwa Acha sangat menyukai rambut panjangnya itu, dari kecil Acha jarang suka potong rambut.
"Acha potong rambut," jawab Acha terlihat tenang tak seperti mamanya yang nampak ketakutan.
"Biar Mama saja yang bantu, Mama yang potongkan. Nanti rambut kamu nggak cantik lagi," ucap Kirana tak beraturan.
"Kenapa nggak di salon saja sayang? Ya ampun kamu ini..." cerca Kirana tak habis pikir.
Acha meletakkan gunting dan sisir diatas meja. Ia menggelengkan kepalanya.
"Nggak perlu. Acha sudah selesai kok." ucap Acha, ia sedikit mendekatkan wajahnya ke cermin depan. Merapikan rambutnya yang telah ia permak dengan kedua tangannya sendiri.
Kirana meneguk ludahnya, ia dengan cepat menarik Acha untuk berdiri.
"Sini biar Mama lihat hasilnya. Mama nggak mau, anak mama jadi kelihatan aneh dan nggak cantik lagi," cemas Kirana.
Acha diam saja tak bergerak, membiarkan Mamanya merapikan rambutnya dengan sisir. Acha memotong rambutnya sendiri sebahu, bahkan ia memberikan sedikit poni tipis. Meskipun bukan seorang ahli, tapi Acha cukup bisa melakukannya.
"Bagus kan?" ucap Acha lebih ke arah menyombongkan karyanya.
Kirana menghela legah, hasil potongan anaknya tidak terlalu buruk. Ia dapat melihat sisi baru dari anak gadisnya. Acha terlihat lebih sedikit dewasa bahkan senyum gadis itu sudah kembali lagi.
Kirana mengangguk, menyetujui pertanyaan Acha.
"Sangat bagus dan cantik." puji Kirana sembari membersihkan beberapa helai rambut yang ada dibahu anaknya.
Acha meraih kedua tangan Kirana dengan erat, ia menatap Kirana lekat. Seolah ada sesuatu penting yang ingin ia katakan. Kirana pun memilih menunggu saja sampai anak gadisnya membuka suara lagi.
"Tante-Mama..." panggil Acha dengan wajah sedikit gugup.
"Iya sayang?" balas Kirana berusaha sabar.
"Tante-Mama, ingat Om Jery yang pernah nawarin Acha jadi model di agensinya?" tanya Acha hati-hati.
Kirana mengerutkan keningnya berusaha mengingat-ingat.
"Ahh... Jery yang istrinya langganan di butik Mama?"
"Hmm.." sahut Acha sembari menganguk mantap.
"Kenapa memangnya?" tanya Kirana masih tidak mengerti.
"Mmm... Acha udah pikirkan matang-matang keinginan Acha kedepan. Acha ingin mencoba hal baru. Dan... Acha tadi pagi telfon om Jerry,"
"Om Jerry bilang kalau masih berharap bahwa Acha mau masuk agensinya. Terus..."
Acha mengigit bibirnya, sedikit takut.
"Terus apa?" tanya Kirana mulai tak sabar.
"Acha bilang kalau Acha mau mencoba jadi model dan masuk agensi Om Jerry. Tapi Acha juga bilang kalau Tante-Mama setuju, Acha juga setuju." jelas Acha bertambah gugup.
Kirana terdiam untuk beberapa saat, mencerna baik-baik maksud dari ucapan putrinya itu. Kirana menghela napas pelan.
"Acha pingin jadi model?"
"Coba-coba aja, siapa tau menyenangkan. Acha ingin mencoba hal baru." jawab Acha. "Tapi, kalau Tante-Mama nggak setuju, nggak apa-apa kok. Acha bis..."
"Mama setuju." potong Kirana cepat.
Acha membelalak tak percaya, kedua sudut bibirnya langsung terangkat. Ia terlihat begitu bahagia sekali setelah sekian lama tidak pernah merasakan perasaan penuh semangat seperti ini.
"Seriusan Tante-Mama setuju?"
Kirana mengangguk yakin,
"Kalau Acha suka dan itu keinginan Acha. Mama selalu dukung yang terbaik buat Acha."
Acha bersorak kegirangan, ia langsung memeluk Kirana cepat.
"Makasih Tante-Mama, Acha tambah sayang Tante-Mama. Acha cinta banget sama Tante-Mama, Tante-Mama paling the-best buat Acha" ucap Acha begitu senang.
Kirana terdiam tak bisa berkata apa-apa. Ia hampir ingin menangis melihat Acha yang sudah kembali ceria dan terlihat sangat bahagia sekarang. Ia bersyukur dalam hati, akhirnya Tuhan mengabulkan doanya.
"Terima kasih Tuhan..."
Acha melepaskan pelukan Kirana, ia membalikkan badanya, menatap ke arah cermin sebentar kemudian bergegas mengambil jaket dan tasnya.
"Mau kemana?" tanya Kirana bingung.
"Acha mau bertemu Om Jerry sekarang. Acha udah janjian jam 10," ucap Acha sangat semangat.
"Perlu Mama antar?" tawar Kirana.
Acha menggelengkan kepalanya.
"Nggak usah. Acha naik Taxi aja. Tante-Mama pasti harus ke butik."
"Kamu nggak makan dulu?" tanya Kirana lagi.
"Tenang aja, nanti pasti Om Jerry belikan Acha makan yang enak." ucap Acha berubah menjadi licik.
Kirana terkekeh pelan, ia mengacak-acak rambut putrinya dengan gemas. Kirana merasa beban dikedua bahunya menghilang seketika melihat senyum cantik diwajah putrinya. Kirana lebih dari bahagia.
"Acha pergi dulu ya Tante-Mama." pamit Acha
"Iya sayang, hati-hati. Salam ya buat Om Jerry,"
"Siap Tante-Mama.' sahut Acha dan menyalami Kirana. Setelah itu beranjak keluar dari kamar meninggalkan Kirana.
Kirana mengikuti Acha dari belakang, ia tak ada hentinya tersenyum melihat energi putrinya terlihat sudah kembali seperti dulu.
"Ahh... Chaa!! Natasha!!"
Kirana mengingat satu hal, ia buru-buru berjalan cepat keluar menyusul Acha yang sudah keluar rumah.
"Cha!!" teriak Kirana mencegah putrinya yang sudah membuka pintu taxi dan akan masuk kedalam.
Acha menatap ke arah Kirana sebentar, menatap mamanya dengan bingung.
"Tadi pagi ada kurir paket, mama nggak ngerasa beli apapun minggu ini, dan tadi mama li..."
"Oh itu punya Amanda Tante-Mama, Dia takut ketahuan mamanya kalau dia beli barang online lagi, mangkanya dikirim ke alamat ini," jelas Acha cepat.
"Amanda? Tapi sep..."
"Tante-Mama taruh aja di dalam lemari Acha yang atas sendiri. Biar Amanda yang ambil kalau main kesini." teriak Acha begitu keras. "Acha berangkat dulu ya. Bye!"
Kirana menghela berat, membiarkan saja putrinya berangkat. Acha terlihat begitu buru-buru sekali. Setelah melihat kepergian putrinya. Kirana kembali masuk kedalam.
Langkah Kirana terhenti di meja ruang tengah, ia melihat kotak persegi dengan bungkusan cokelat begitu rapi yang didapatnya oleh abang kurir paket tadi pagi. Kirana mengangkat kotak itu, melihat ke kertas pengiriman yang ada diatasnya.
"Amanda? tulisanya buat Natasha?"
Kirana tertawa pelan,
"Ahh... Kan ini rumah Natasha hehehe." tawa Kirana bak orang bodoh.
Detik berikutnya, Kirana terdiam lagi, ia memperjelas kedua matanya, pada bagian kiri kertas.
"From Lyon?"
Kening Kirana mengkerut, mulai bingung sendiri.
"Apa itu? Nama orang kah? Atau tempat? Atau nama kota? Negara?"
"Ahh... Mungkin nama olshop-nya.."
Kirana pun tak ingin ambil pusing. Ia segera membawa paketan itu ke kamar putrinya dan menaruhnya di lemari Acha seprti yang diperintahkan putrinya tadi.
*****
1 Bulan Kemudian. . . . .
Acha tersenyum malu-malu melihat ekspresi takjub orang-orang dihadapanya dengan ucapan-ucapan terus memujinya. Hari ini adalah keluarnya Majalah "Jerry-Tumbs" yang cukup terkenal di negeri ini.
Dan... Cover depan Majalah bulan ini adalah dirinya, seorang Natasha Kay Loovi!
Sudah satu bulan ini, Acha bekerja sama dengan Jerry, seorang pemilik agensi model ternama di Indonesia. Bakat Acha begitu disanjung dan membuat Jerry kagum, dan akhirnya memutuskan debut model Acha sejak minggu kemarin.
Acha sekarang menjadi seorang model!
"Gila! Lo cantik banget Cha disini. Sumpah gue nggak bohong!" ucap Johan semakin takjub membuka halaman demi halaman yang berisikan pemotretan Acha.
"Buset. Sumpah beneran cantik banget lo cha. Demi bapaknya biskuit KongHuan yang selalu lo tunggu baliknya, gue untuk pertama kali dari lubuk hati yang terdalam memuji kecantikan dan bakat lo!" tambah Rian dengan pidato panjang kali lebarnya.
Acha memegang kedua pipinya yang memerah, ia semakin melayang-layang dengan pujian teman-temannya. Hasil dari trainning-nya selama 3 minggu yang ia seriusi mati-matian berujung memuaskan.
"Nggak usah lebay gitu deh! Gue tau Acha cantik, tapi yang di majalah ini cantiknya dia karena cameranya yang mahal, bagus ditambah editan kakak photoshop" ucap Glen terlalu jujur.
Semua mata langsung mengarah ke Glen, bahkan senyum diwajah Acha menghilang begitu saja berubah dengan tatapan tajam ke arah pria yang mulutnya selalu tidak tau diri itu!
"Kenapa? Apa ada yang salah sama ucapan gue?" tanya Glen memasang wajah polosnya.
"Nggaka ada! Glen bener kok, Selalu bener!!" ucap Acha memaksakan senyumnya.
"Iya dong. Kita harus berpikir logis dan jujur. Tidak baik berbohong itu. Acha harus menerima kenyataan dan berterima kasih ke kameranya palagi abang yang ngeditin fotonya!" ucap Glen antusias.
Rian dan Johan langsung membekap mulut Glen tak membiarkan pria itu membuka mulutnya kembali. Wajah Acha yang suram bertambah lebih suram gara-gara ucapan Glen.
"Bego lo ah!" kesal Amanda sembari melempar cireng ke arah Glen. "Ganti otak sana! Kejang gue lama-lama lihat muka lo!"
Glen melepaskan bungkaman tangan Rian dan Johan dengan cepat, menatap Amanda dengan sorot mata tak terima.
"Dikiran Ganti Otak itu nggak mahal?" teriak Glen. "Kalau uang gue cukup juga gue udah ganti otak dari dulu." lanjutnya sangat jujur.
"Impian gue dari dulu juga pingin ganti otaknya orang pinter. Biar gue nggak remidi terus." tambahnya.
Amanda, Acha, Johan dan Rian hanya bisa melongo mendengar pengakuan Glen yang menurut mereka terlalu jujur.
"Tau ah! Gelap hidup lo!" serempak Amanda, Johan dan Rian bersamaan.
Sedangkan Acha hanya bisa tertawa lepas melihat perdebatan Amanda dan Glen yang tak kunjung selesai. Acha menarik majalah yang ada ditangan Johan.
"Gue belum selesai lihat! Main tarik aja!" protes Johan kembali menarik majalah ditangan Acha.
"Kan Johan bisa beli sendiri nanti, " balas Acha tak mau kalah.
"Iya nanti gue beli sepuluh. Tapi gue puas-puasin dulu lihat wajah lo disini," ucap Johan entah sadar atau tidak.
Acha mendadak diam, mematung ditempat. Ucapan Johan sedikit mengejutkannya.
"Ya...Yaudah itu buat Johan aja." ucap Acha sedikit gugup.
"Thanks, Kay!" balas Johan dengan kedua mata masih fokus ke arah majalah ditanganya.
Acha menatap Johan lekat, ia merasa sangat aneh akhir-akhir ini dengan sikap Johan. Pria itu selalu baik sekali kepadanya, bahkan sudah 10 hari terakhir ini juga, Johan sering mengantar-jemputnya ke agensi atau lokasi pemotretan.
Acha merasa banyak hutang budi ke Johan. Dia sangat baik sekali kepadanya. Acha juga menyadari bahwa mereka berdua lebih dekat, dan Acha pun selalu senang bisa tertawa lepas jika berada di samping Johan yang selalu menghiburnya dengan tingkah konyol.
Ya... Bahkan hampir 20 hari ini, Acha sudah mulai melupakan semua masa lalu kelamnya. Ia membuka hidup baru dan lembar baru bersama orang-orang yang lebih peduli kepadanya.
Bahkan dua minggu terakhir, Acha tak memikirkan lagi "Orang itu". Acha sudah hampir tidak ingat lagi atau memikirkannya lagi.
Dan... Sudah hampir 3 bulan juga, sosok dari "orang itu" atau Iqbal belum kembali lagi dan memberikan kabar ke siapapun. Ia menghilang bagai ditelan bumi.
*****
Acha keluar dari kelasnya sedikit terkejut, ia mendapati Johan sudah nangkring didepan kelas, dengan senyum merekah. Apa mungkin karena hari ini sekolah dipulangkan lebih awal? Acha menatap Johan bingung.
"Nanti sore nggak ada pemotretan kan?" tanya Johan semangat.
"Mmm...Nggak ada.." jawab Acha tenang.
"Keluar yuk. Mumpung malam minggu," ajak Johan.
"Keluar kemana?"
"Jalan-jalan. Gue bosan dirumah sendirian. Temenin gue ya, Kay." Pinta Johan sedikit memelas.
Acha tersenyum kecil, bagaimana bisa ia dapat menolak permintaan orang yang selama ini sudah baik kepadanya dan selalu ada untuknya. Acha menganggukan kepalanya beberapa kali.
"Iya, Acha temenin Jo jalan-jalan. Mumpung Acha juga nggak ada acara nanti,"
"Seriusan? Lo mau?" tanya Johan memastikan.
"Iya Jo."
Johan bersorak senang, ia menyubit pipi kanan Acha dengan gemas, membuat si pemilik mematung ditempat dengan wajah yang tiba-tiba berubah memanas.
"Dijemput Mama kan?" tanya Johan lagi.
"i...iya..." jawab Acha tersadarkan.
"Yaudah, kalau gitu gue balik dulu. Nanti sore gue jemput. pamit Johan.
"Iya."
"See you, Kay!"
Acha mengangguk singkat, melambaikan tangan ke arah Johan yang perlahan menjauh dari pandangnya. Acha menghela napas pelan, tanganya bergerak menyentuh dadanya yang terasa aneh didalamnya.
Bukk...
Acha terkejut mendapati sebuah tangan yang tiba-tiba sudah melingkar dibahunya. Acha menoleh kesamping, Amanda!
"Kaget tau!" sunggut Acha sebal.
Amanda terkekeh pelan.
"Kenapa lo? Wajah lo merah gitu?"
Acha cepat-cepat memegangi kedua pipinya. Benar perasaanya tadi, pipinya terasa sangat hangat. Acha menggelengkan kepalanya, berusaha tenang.
"Nggak apa-apa" jawab Acha singkat.
"Ngapain si Johan? Ngajak jalan lagi?" goda Amanda.
"Hm.." sahut Acha jujur.
Amanda tertawa pelan,
"Udah, move-on gih sama yang udah sungguh-sungguh!"
Acha mengerutkan keningnya, tidak mengerti perkataan Amanda.
"Maksudnya? Acha nggak ngerti." jujur Acha.
Amanda menghela napas berat, terkadang susah memang berbicara dengan gadis polos dengan otak berisikan struktur atom-atom yang tidak jelas.
"Lo beneran nggak tau? apa pura-pura nggak tau sih Cha?" gemas Amanda.
Acha menggeleng lemah,
"Apaan sih? Acha nggak ngerti tau!" kesal Acha.
Amanda memegang bahu Acha erat, menatap sahabatnya itu dengan lekat.
"Cha! Semua anak sekelas aja udah tau kalau Johan itu sangat jelas suka sama lo!" terang Amanda.
"Kok bisa? Nggak lah! Johan cuma nganggap Acha teman baik kok. Amanda ngaco deh siang-siang gini!"
"Aduh cha!! Lo emang nggak peka banget sih!" greget Amanda ikut-ikutan kesal. "Terserah lo deh, pikirin aja sendiri, gimana sikap Johan ke lo!"
Amanda mendekatkan wajahnya ke telinga Acha, dan berbisik pelan.
"Ingat kata Quotes di Mbah Google, Tidak ada pertemanan baik antara pria dan wanita."
Amanda mengedipkan sebelah matanya, kemudian melepaskan tangan dari bahu Acha.
"Gue balik duluan! Sukses neng model!" pamit Amanda langsung ngeluyur gitu aja.
Acha menggaruk kepalanya yang tidak gatal, demi cirengnya mbak wati yang akhirnya turun harga, Acha sama sekali tidak mengerti maksud Amanda. Acha mengedikkan bahunya, tidak ingin memikirkannya lagi daripada membuat kepalanya tambah pusing.
"Tau ah..."
*****
Malam hari....
Acha sangat menikmati jalan-jalannya dengan Johan dari sore sampai malam ini. Untung saja Mamanya juga sedang ada arisan dengan ibu-ibu kompleks, jadi Acha diizinkan keluar sampai jam 10 malam bersama dengan Johan.
Acha memeluk boneka sapi yang dibelikan oleh Johan di salah satu outlet sebelum mereka beranjak keluar dari Mall. Acha terlihat sangat senang sekali.
"Apaan sih Jo! Bahasannya dewasa banget!" protes Acha dengan tawa yang masih tak bisa berhenti.
Ia menatap Johan yang juga tak kalah keras tawanya dari didirnya. Johan berusaha tetap fokus menyetir mobilnya.
"Kan gue bener Kay. Sekarang coba pi..."
"Acha nggak mau denger! Stop Jo!!"
Acha menutup kedua telinganya rapat-rapat sembari memejamkan kedua matanya.
"ACHA NGGAK MAU DEGAR!!"
"JO BERHENTI!! ACHA MASIH KECIL!! ACHA MASIH SUCI DAN POLOS!!"
Johan tertawa lepas, melihat raut wajah Acha seperti itu sangatlah lucu dan menggemaskan. Johan menganggukan kepalanya.
"Oke-oke gue berhenti. Hahaha."
Acha membuka kedua matanya dan melepaskan tangan dari telinganya, ia menatap Johan dengan kesal. Pria ini selalu saja mengerjainya, dan membuatnya mati kutu.
Mobil Johan memasuki perumahan Acha,
"Nggak mampir mini-market? Nggak ada yang pingin dibeli?"
"Nggak usah. Langsung pulang aja. Kayaknya Tante-Mama udah dirumah," jawab Acha.
"Oke."
*****
Mobil Johan berhenti tepat di depan rumah Acha. Johan membantu Acha membawakan boneka sapi yang cukup besar menurutnya dan kasihan jika Acha membawanya sendiri. Acha pun membiarkan saja Johan melakukanya. Toh, jika ia tidak mengiyakannya, Johan akan terus memaksannya.
Mereka berdua turun dari mobil dengan tawa yang masih sama-sama tak bisa berhenti. Sekali lagi Johan menggoda Acha. Menakut-nakuti gadis itu dengan cerita horror yang akhir-akhir ini sedang trend di sekolah mereka.
"Jo, jahat banget sih!! Acha nggak mau denger!!"
"Hahahahaha!! Wajah lo, Kay!!" tawa Johan semakin puas.
"Sini boneka Acha!" Acha segera merebut boneka yang ada ditangan Johan, wajahnya nampak sebal.
Johan melangkah mendekati Acha, mengacak-acak puncak kepala Acha dengan gemas. Sedangkan, Acha diam saja menerima perlakuan Johan yang semakin membuat hatinya terasa sangat aneh.
Entahlah, Acha juga tidak yakin. Untuk beberapa detik yang cukup lama mereka sama-sama berpandangan dan terlihat sedikit canggung. Senyum mereka masih terbentuk jelas di wajah masing-masing.
"Natasha..."
Sebuah panggilan tidak terlalu jauh dari jarak Johan dan Acha berdiri terdengar begitu familiar. Mereka berdua sama-sama menoleh ke arah sumber suara.
Acha membeku ditempat dengan kedua mata semakin lama semakin lebar. Ia tak dapat berkata apapun. Kedua matanya bertatapan dengan sosok yang tak pernah ia bayangkan akan datang dihari ini. Sosok yang pernah membuat bekas menyakitkan di hatinya.
Acha mengeratkan pelukannya pada boneka sapi yang ada ditangannya. Ia berusaha untuk tenang, tapi sama sekali tak bisa. Tubuh Acha bergetar dengan kedua mata memanas.
Acha tak bisa melepaskan kedua matanya dari sosok itu. Dadanya terasa sesak dan semua memori, ingatan yang menyedihkan itu kembali berputar diotaknya lagi.
Yah... Sosok itu adalah Iqbal, pria yang telah meninggalkannya tanpa kabar hampir 3 bulan.
Dan... Dia telah kembali! Datang tanpa ada yang tau, seperti ketika dia pergi!
"Bal, kapan lo datang?" tanya Johan memecahkan keheningan dan ketegangan yang terjadi beberapa menit yang lalu.
Iqbal dan Acha sama-sama tersadarkan, Iqbal menoleh ke arah Johan.
"Baru saja. Gue keluar dari bandara langsung kesini," jujur Iqbal.
Acha menundukan kepalanya, ia tak bisa menatap wajah itu lebih lama. Ia tidak ingin terlihat lemah lagi, ia tak mau menangis disini. Walau, rasanya sekujur tubuhnya terasa membeku dan mematikan. Ia merasakan sangat sesak.
Pertanyaan yang ada diotak Acha hanya satu "Kenapa dia baru datang sekarang?"
"Lo ngapain disini?" tanya Iqbal balik ke Johan.
"Ah... Gue habis jalan-jalan sama Kay tadi." Jawab Johan jujur. "Nggak apa-apa kan?"
Iqbal terdiam sebentar, kemudian mengangguk singkat.
"It's okay" jawabnya tenang.
"Kalau gitu gue pulang dulu ya..." pamit Johan tahu diri.
Johan menepuk bahu Acha pelan, ia tidak tega sebenarnya melihat Acha yang terlihat terguncang dengan kedatangan Iqbal tiba-tiba. Bahkan, dirinya saja dibuat terkejut apalagi Acha.
"Gue pulang ya. Lo nggak apa-apa kan?" tanya Johan dengan suara cukup pelan.
Acha menganggukan kepalanya,
"Iya. Acha nggak apa-apa kok. Makasih Johan, hati-hati pulangnya." balas Acha dengan nada tak beraturan.
Acha mengangkat kepalanya, ia menoleh ke Johan dan memaksakan senyumnya. Acha tidak ingin membuat Johan khawatir.
"Bye,"
Johan tersenyum legah melihat Acha yang cukup tegar. Johan pun segera beranjak dari sana, meninggalkan dua orang yang kembali sama-sama berada dalam keadaan menegangkan.
*****
Suara mobil Johan semakin tidak terdengar, keadaan kembali hening dan sepi. Tak ada suara apapun, bahkan hewan-hewan malam pun ikut diam. Keadaan yang membuat Acha sangat tidak siap.
Namun... Acha harus menghadapinya.
Acha menghembuskan napasnya pelan-pelan, ia menatap Iqbal yang sedari tadi juga sedang memperhatikannya. Pria itu menunggunya.
"Ma...Maaf... Aku baru datang sekarang..."
Lima kata yang berhasil membuat rasa sesak dan sakit di hati Acha bertambah memuncak. Maaf? Acha sama sekali tidak membutuhkannya! Acha memaksakan kedua sudut untuk tersenyum.
Sebuah senyuman kemirisan untuk dirinya sendiri.
"Kamu potong rambut?" tanya Iqbal membuka pembicaraan untuk menghilangkan canggung diantara mereka.
Acha berusaha tenang, Acha berusaha untuk tegar, Acha sangat berusaha kali ini untuk tidak menangis. Acha menahan dengan seluruh kemampuannya! Ia sudah berjanji kepada dirinya sendiri untuk menjadi gadis yang tidak mudah lemah!
Acha berjalan mendekati Iqbal dengan langkah pelan, kedua mata mereka masih sama-sama terus saling bertatapan begitu dalam.
"Ada yang ingin Acha berikan ke Iqbal..." ucap Acha lirih.
"Apa?" tanya Iqbal, ia tersenyum ke arah Acha. Iqbal nampak senang karena Acha meresponnya.
Acha tak menjawab pertanyaan Iqbal, ia sibuk membuka tasnya dengan satu tangan sedangkan tangan lainnya memegangi boneka sapinya. Acha merogoh sesuatu disana, dan megeluarkan satu benda yang selalu ia bawa kemana-mana.
Acha mengenggamnya dengan erat sebelum memberikannya kepada Iqbal.
"Berikan tangan Iqbal..." pinta Acha
"Hah?" bingung Iqbal.
"Buka telapak tangan Iqbal." jelas Acha, suaranya terdengar lebih serak.
Iqbal melakukanya, ia menjulurkan tangan kananya ke depan dan membuka telapak tangannya.
Acha tersenyum melihat tangan itu. Tangan yang pernah mengenggam erat jemarinya tanpa berjanji akan melepaskannya.
"Ini...." Acha meletakkan benda yang ia ambil dari tasnya. "Acha kembalikan..."
Iqbal menatap sebuah gelang yang pernah ia berikan kepada Acha di hari ia menyatakan cintanya kepada Acha. Dihari mereka meresmikan hubungan mereka. Iqbal menatapnya dengan kedua mata menyorot tajam dan dingin.
Iqbal mengangkat kepalanya cepat, melihat ke arah Acha yang diam tanpa ekspresi sedikitpun. Iqbal merasa melihat sosok lain dari Acha yang tak pernah ia lihat selama ini.
"Kenapa dikembalikan?" tanya Iqbal tak mengerti.
Acha sekali lagi tersenyum, memaksakannya agar terlihat seperti sebuah senyum yang sangat cantik.
"Acha tidak punya hak memilikinya lagi,"
"Ma...maksudnya?" tanya Iqbal makin bingung.
Acha tidak menjawab, ia segera berjalan melewati Iqbal begitu saja. Acha menuju gerbang rumahnya, berusaha untuk membukanya dengan tangan yang gemetar. Acha ingin cepat-cepat masuk kedalam rumah.
"Cha... Gue nggak ngerti." ucap Iqbal yang sudah berada disamping Acha. "Jelasin ke gue!" pinta Iqbal terdengar dingin.
Acha mengumpat dalam hati, kenapa disaaat mendesak seperti ini pintu gerbangnya sangat susah untuk dibuka!
"Natasha!!!" panggil Iqbal sekali lagi karena tak ada jawaban dari Acha.
Pintu gerbang rumah Acha akhirnya terbuka. Acha bernapas legah. Ia dengan cepat membukanya. Namun, tangan Iqbal menahan lengannya, membuat langkah Acha harus tertunda.
"Jelasin ke gue. Apa maksudnya? Kenapa lo kembalikan gelangnya?" tanya Iqbal memperjelas pertanyaanya.
Acha mengigit bibirnya kuat-kuat. Untuk kesekian kalinya, ia menahan semua ditubuhnya yang ingin meledak. Tangisan, kecewa, amarah semuanya sudah bercampur jadi satu di kepalanya.
"Ach...Acha capek. Acha pingin masuk. Lepasin..." pinta Acha tanpa membalikkan badanya sama sekali.
Iqbal menganggukkan kepalanya. Ia melepaskan lengan Acha.
"Yaudah, masuk dan istirahat." ucap Iqbal mengalah. "Besok gue kesini la..."
"Nggak usah! Mulai sekarang, Iqbal nggak perlu repot-repot lagi jemput Acha. Bahkan nggak perlu lagi datang ke rumah Acha!" ucap Acha menegaskan.
Iqbal terdiam ditempat, ia mencerna ucapan Acha, kedua matanya menurun mentap gelang yang ada digenggamanya. Perlahan, ia sepertinya mulai mengerti maksud dari semua ucapan Acha.
"Cha...Kamu ingin kita selesai?" tanya Iqbal dengan suara terdengar sedikit lemah.
Pertanyaan yang terdengar begitu menyakitkan bagi Acha. Tapi ia sudah memikirkannya matang-matang sejak sebulan yang lalu. Ia merasa ini jalan dan pilihan terbaik untuknya.
"Iya! Acha ingin putus!" jawab Acha dengan yakin.
"Kenapa?" tanya Iqbal meminta penjelasan.
Acha memejamkan kedua matanya. Apakah pertanyaan itu pantas untuk dilontarkan oleh pria ini? Demi apapun, kemarahan di kepala Acha memuncak! Iqbal benar-bena tidak punya perasaaan! Bahkan, terlihat tidak merasa bersalah sama sekali!
"Acha capek. Acha masuk dulu," pamit Acha tak berniat menjawab pertanyaan itu.
Tanpa menunggu balasan dari Iqbal. Acha segera masuk kedalam halaman rumahnya, ia melangkah lebih cepat untuk masuk kedalam rumah tanpa menutup lagi pintu gerbangnya. Acha tak mau berlama-lama disana. Ia tidak kuat untuk berhadapan dengan pria yang menurutnya tak berperasaan dan jahat itu! Acha sudah terlalu banyak tersakiti karenanya!
Acha sudah cukup kenyang dan tidak mau lagi!
Disisi lain, Iqbal menatap gelang yang ada ditelapak tangannya dengan hampa. Ia tidak mengerti kenapa Acha meminta putus darinya? Jika gadis itu marah, mungkin Iqbal masih mewajarinya. Namun, jika gadis itu meminta selesai? Sama sekali tidak pernah terpikirkan olehnya.
Iqbal menghela napas berat, ia menutup gerbang rumah Acha dengan tak bertanaga. Ia melakukan penerbangan selama 9 jam lebih dan langsung memilih kerumah Acha ketimbang kerumahnya. Dan.. kejadian barusan menambah kelelahannya.
Iqbal pun memutuskan untuk pulang saja. Besok ia akan datang lagi kesini. Siapa tau Acha sudah baikan dan bisa berpikir lebih jernih. Dirinya juga butuh istirahat.
****
#CuapCuapAuthor
Selamat membaca MARIPOSA unpublished part. Semoga selalu suka.
Makasih banyak Pasukan Pembaca semua. Love you All.
Salam,
Luluk_HF
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
