
“Jian.”
Jian menoleh dan mendapati Juna sudah di sampingnya.
“Iya, Kak?”
Juna menyodorkan sebuah kotak cukup besar.
“Buat lo dan temen lo,” ucap Juna.
Jian tertegun sesaat, mencoba memahami ucapan Juna.
“Ini apa, Kak?”
“Donut, kesukaan temen lo.”
Jian tersenyum penuh arti.
“Gue dapat berapa, temen gue berapa?” tanya Jian menggoda Juna.
“Ada enam donut, lo bisa bagi tiga-tiga.”
Jian berdecak pelan.
“Kenapa nggak dikasih sendiri aja?” tanya Jian.
******
HI AWAN ADDITIONAL PART 21
Jian mengatur napasnya yang masih tersenggal, kelompoknya baru saja sampai di camp sekitar pukul empat dini hari. Jian masih saja ingin mengumpati soal yang ada di pos terakhir. Bisa-bisanya semua anggota kelompoknya tidak ada yang menyadari jebakan soal tersebut.
“Minum.”
Jian mendongakkan kepala, melihat Afan berdiri di hadapanya dengan tangan menyodorkan air mineral kepadanya.
Jian sedikit tekejut, bukannya langsung menerima, Jian malah menoleh ke kanan dan ke kiri. Benar saja, beberapa anggota baru menatapnya dan Afan dengan bingung. Bahkan ada yang mulai berbisik-bisik untuk membuat gosip.
Jian mendecak kecil, ia segera berdiri dari duduknya dan menerima botol air dari Afan, sebatas menghargai.
“Makasih, Kak,” ucap Jian singkat dan langsung kabur begitu saja. Jian tidak ingin menjadi bahan perbincangan sekaligus tidak ingin memberi kesempatan kepada Afan.
Jian tak mempedulikan Afan memanggil namanya, Jian memilih masuk saja ke tenda dapur untuk mencari snack atau mungkin mie instan yang bisa ia makan. Sedari tadi perut Jian meronta ingin jatah makan.
Jian masuk ke dalam dapur yang cukup ramai, ternyata bukan hanya dirinya saja yang lapar. Jian lagi-lagi menghela napas panjang, sepertinya tidak ada kesempatan baginya untuk membuat mie instan.
Jian mengedarkan pandangnya, senyumnya mengembang saat melihat ada harapan untuk mengenyangkan perutnya. Di meja ujung dapur ada beberapa kotak donut yang belum disentuh siapapun. Jian pun bergegas di sana.
Jian berdiri di deretan donut dengan tatapan menimang-nimang, donut mana yang ingin dipilihnya.
“Ambil dua aja atau tiga, ya?” lirih Jian galau.
Jian segera mengambil kotak kecil yang disediakan di dekat piring-piring, bersiap untuk mengambil beberapa donut.
“Jian.”
Jian tersentak kaget, ia menoleh dan mendapati Juna sudah berdiri di sampingnya entah sejak kapan.
“Iya, Kak?”
Juna menyodorkan sebuah kotak seperti yang dipegang Jian, bedanya ukuran kotak Juna lebih besar.
“Buat lo dan temen lo,” ucap Juna.
Jian tertegun sesaat, mencoba memahami ucapan Juna.
“Ini apa, Kak?”
“Donut, kesukaan temen lo.”
Jian lagi-lagi berusaha mencerna, teman siapa yang dimaksud oleh Juna. Tak butuh waktu lama, Jian akhirnya paham yang dimaksud oleh Juna. Siapa lagi temannya yang sangat suka dengan donut kalau bukan Hanara.
Jian tersenyum penuh arti.
“Gue dapat berapa, temen gue berapa?” tanya Jian berniat menggoda Juna.
“Ada enam donut, lo bisa bagi tiga-tiga.”
Jian berdecak pelan.
“Kenapa nggak dikasih sendiri aja?” tanya Jian.
“Gue nggak liat temen lo dari tadi.”
“Bukannya kelompok dia sudah sampai duluan?”
“Sepertinya iya.”
Jian berpikir sejenak.
“Mungkin Hana sudah masuk ke dalam tendanya, Kak. Biar gue samperin habis ini. Hana juga pasti belum makan.”
“Oke. Makasih.”
Jian berniat beranjak, namun langkahnya ia hentikan lagi. Hana kembali mendekat ke Juna.
“Kenapa?” tanya Juna bingung.
Jian mengembangkan senyumnya.
“Mau nitip salam juga nggak?”
Juna terkekeh pelan, Jian sangat sengaja untuk menggodanya lagi.
“Nggak perlu.”
“Yakin?”
“Iya.”
“Oke kalau gitu.”
Jian pun melanjutkan langkahnya kembali. Jian semakin yakin dengan tebakannya akan perasaan Juna kepada Hana. Apalagi beberapa hari terakhir ini selama Jian rapat dengan tim inti, Juna kerap menanyakan tentang Hana kepadanya. Jian memang tidak pernah cerita ke Hana karena Jian tak ingin memberikan harapan palsu kepada Hana.
Namun detik ini, Jian yakin dengan prasangkanya.
“Nggak mungkin Kak Juna nggak punya rasa ke Hana!”
*****
“Hana,” panggil Jian dari luar tenda.
Tak ada sahutan sama sekali, Jian hanya menemukan sepatu Hana di luar tenda. Sepertinya hanya ada Hana di dalam.
“Hanara, lo sudah tidur?”
Tetap tak ada jawban lagi. Jian pun memutuskan untuk masuk saja dan membangunkan Hana. Jian ingin mengajak Hana makan bersama.
Benar saja, saat Jian masuk hanya ada Hana seorang yang berbaring di tenda. Jian duduk di samping Hana dan berniat membangungkan Hana.
Namun saat Jian memegang lengan Hana, ingin menggoyangkanya, Jian langsung terkejut dan menjauhkan tangannya. Tubuh Hana terasa sangat panas.
Jian menatap Hana lekat dan menyadari wajah Hana di penuhi keringat. Jian mulai khawatir.
“Hana lo nggak apa-apa?” Jian mencoba membangungkan Hana.
Namun, Hana tak menjawab, gadis itu diam saja dengan kedua mata tetap tertutup.
“Gila, panas banget tubuh lo Han,” pekik Jian semakin cemas.
Jian mencoba membangungkan lagi.
“Han, lo denger gue nggak? Han bangun.”
Tetap saja, Hana bergeming sedikit pun.
“Hanara!! Han bangun!!!”
Jian mulai panik, Hana benar-benar tidak bangun padahal Jian sudah menggoyang-goyanggkan tubuh Hana. Jian semakin yakin jika Hana tidak sadarkan diri.
Jian mulai panik. Jian berusaha berpikir sejenak, kemudian Jian langsung keluar dari tenda. Jian menemukan sosok Juna dan Afan yang baru keluar dari tenda dapur yang tak jauh dari tenda Hana. Tanpa memakai sepatunya, Jian berlari menghampiri Juna dengan kaki tanpa alas.
“Kak Juna tolong Hana,” ucap Jian langsung mengarah ke Juna.
Juna dan Afan yang melihat Jian berlari dengan napas tersenggal dan wajah panik mulai bingung.
“Hana kenapa Ji?” tanya Juna khawatir.
“Tubuh Hana panas banget Kak dan dia nggak sadarkan diri. Gue sudah coba bangunin tapi Hana nggak bangun-bangun.”
Raut wajah Juna dan Afan sama-sama kagetnya, mereka berdua bergegas menuju ke tenda Hana begitu juga dengan Jian mengikuti dari belakang.
Juna dan Afan langsung masuk ke tenda Hana dan memeriksa kondisi Hana. Seperti yang diucapkan oleh Jian, Hana tak sadarkan diri.
“Hana pucat banget, Jun,” ucap Afan khawatir.
Tak mau membaung-buang waktu, Juna langsung membopong tubuh Hana saat itu juga.
“Kita bawa Hana ke rumah sakit.”
Afan dan Jian menganguk setuju. Mereka mengikuti Juna yang sudah keluar duluan dengan Hana yang ada di gendongannya.
Banyak mahasiswa dan mahasiswi yang terkejut saat melihat Juna keluar dari tenda. Mereka mulai bertanya-tanya.
“Hana kenapa?”
“Hana sakit?”
Juna tak mempedulikan pertanyaan orang-orang disekitar, ia mempercepat langkahnya menuju mobil.
Sesampainya di mobil Juna langsung mendudukan Hana di kursi belakang dan memasangkan sabuk pengaman agar gadis itu tidak apa-apa.
“Kak gue ikut ya. Gue jaga Hana di belakang,” ucap Jian tak ingin meninggalkan Hana.
Juna mengangguk setuju.
“Kak lo tetap stand by di camp, gue akan kabari lo kondisi Hana. Kalau ada apa-apa di camp juga lo kabari gue,” ucap Juna kepada Afan.
Afan mengangguk setuju, bagaimana juga dia adalah ketua himpunan dan tak mungkin dia ikut pergi saat wakilnya juga tidak ada di camp.
“Hati-hati di jalan Jun. Jangan lupa kabari gue.”
“Iya Kak.”
Setelah itu Juna segera masuk ke dalam mobil dan menjalankan mobilnya menuju rumah sakit.
*****
Hana langsung ditangani oleh perawat dan dokter jaga yang ada di UGD, Hana langsung diinfuse saat itu juga. Dokter memberitahu bahwa Hana mengalami dehidrasi dan harus istirahat sehari di rumah sakit.
Untung saja kondisi Hana tidak membahayakan. Jian dan Juna bernapas lega mendengar penjelasan Dokter.
Jian menghampiri Juna yang terus berdiri di samping Hana, cowok itu sejak tadi sama sekali tak meninggalkan Hana sedetik pun.
Bahkan Jian bisa melihat raut wajah khawatir Juna masih belum sepenuhnya hilang.
“Hana sudah demam sejak berangkat ke camp, Kak. Tapi Hana bilang dia baik-baik aja. Gue nggak tahu kalau sakitnya main parah kayak gini,” jelas Jian memberitahu Juna.
“Dia emang sering memaksakan diri kayak gini?”
Jian mengangguk.
“Sering. Hana selalu berusaha maksimal dengan apa yang sedang ia kerjakan. Walau pun sakit, dia nggak tetap bertahan selama ia merasa masih mampu.”
“Dia juga sering sakit kayak gini?”
Kali ini Jian menggeleng.
“Hana jarang sakit Kak, tapi sekalinya sakit memang sedikit menakutkan bisa sampai nggak sadar diri seperti sekarang.”
Juna menghela napas panjang, menatap Hana dengan tidak tega.
“Pantesan.”
“Hana pasti bangun setelah ini Kak. Nggak usah terlalu khawatir.”
Juna mengangguk kecil, berusaha untuk mengurangi rasa khawatirnya walau sedikit sulit.
“Kak Juna, gue urus pendaftaran dan biaya rumah sa…”
“Gue aja Ji,” potong Juna cepat.
“Tapi Kak…”
“Lo jagain Hana sebentar. Biar gue yang urus semua.”
Belum sempat Jian menolak, Juna sudah pergi duluan dengan cepat membuat Jian tak punya kesempatan melarang.
Jian geleng-geleng takjub.
“Kak Juna beneran suka sama Hana. Gue yakin.”
Jian kemudian menatap Hana yang masih berbaring tak sadar.
“Lo harus cepat bangun Han. Lo pasti seneng banget lihat orang yang lo suka jagain lo bahkan juga suka sama lo.”
Jian mengembangkan senyumnya.
“Cepat sembuh dan cepat bangun Hanara.”
*****
Setelah mengurus pendaftaran dan semua biaya awal, Hana langsung dipindahkan ke kamar rawat. Jian terkejut saat melihat kamar rawat yang dipesankan Juna untuk Hana, cowok itu memesan kamar VIP.
Jian tak berani bertanya dan semakin tak ragu dengan prasangkanya. Cowok mana yang bela-belain pesan kamar VIP untuk adik tingkat!
Jian duduk di sofa sebentar, tubuhnya baru terasa pegal-pegal dan beberapa kali menguap.
“Jian, lo belum tidur sejak semalam?” tanya Juna.
Jian tertegun sesaat, memang benar sejak tadi pagi Jian tidak istirahat sama sekali karena Jian harus membantu Wina dan Afan. Belum lagi memeriksa kesiapan kelompoknya juga.
“Belum, Kakm” jujur Jian.
“Lo balik aja ke camp dan istirahat sebentar. Hana biar gue yang jaga.”
“Tapi Kak, gue ma…”
“Hana baik-baik aja, Ji. Lo denger kata dokter tadi, kan?”
“Iya, Kak.”
“Setelah Hana sadar, gue akan bawa Hana balik ke Jakarta. Gue juga akan kabari lo.”
Jian akhirnya mengangguk setuju. Dia memang sangat butuh istirahat. Bukannya Jian tidak peduli dengan Hana, melihat kondisinya sendiri sekarang, Jian tidak mau dirinya juga sama-sama rubuhnya seperti Hana. Apalagi Jian juga belum sempat makan.
“Kalau gitu gue nitip Hana ya Kak.”
“Iya tenang aja. Lo nggak perlu khawatir.”
Jian berdiri dari duduknya.
“Gue balik dulu ke camp, Kak.”
“Hati-hati di jalan.”
Setelah itu, Jian segera beranjak keluar, ia memutuskan untuk kembali ke camp dengan memesan taxi online. Jarak rumah sakit ke camp juga tidak terlalu jauh.
*****
Juna tak beranjak sedikit pun dari kursi yang ada disamping kasur Hana. Juna terus terjaga di samping Hana, mengawasi gadis itu.
Juna menatap Hana dengat lekat, mengamati setiap sudut wajah Hana yang pucat sekaligus tenang, seperti bayi kecil yang polos.
Tanpa sadar senyum di wajah Juna mengembang.
“Ha, na, ra,” lirih Juna memanggil pelan nama Hana.
Detik berikutnya, Juna berdiri, menghampiri Hana lebih dekat. Juna memperhatikan Hana semakin lekat. Perlahan, tangan Juna terulur merapikan beberapa helai rambut Hana yang menutupi dahi serta pipi Hana.
“Cantik.”
Juna terdiam, menyadari ucapannya barusan yang keluar begitu saja dari bibirnya. Tangan Juna pelan-pelan turun, membelai pipi hangat Hana.
“Sepertinya gue bukan lagi penasaran sama lo, Han.”
Juna mengembangkan senyum penuh arti.
“Gue mulai suka sama lo Hanara.”
*****
#CuapCuapAuthor
Semoga suka ya dengan Hi Awan additional part 21.
Sampai jumpa di Hi Awan additional part 22 yang lebih gemesin dan bikin baper ❤️
Terima kasih banyak dan semoga selalu suka Hi Awan. Jangan lupa selalu jaga kesehatan ya. Love u all ❤️
Salam,
Luluk HF
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
