
“Gue sudah tau Cha.”
“Iqbal tau apa?”
“Lo suka sama gue.”
Deg! Sungguh, rasanya jantungku ingin lepas dari tempatnya.
Iqbal perlahan menatapku, tatapanya nampak sendu.
“Sejak kapan lo suka sama gue?”
Bibirku terasa keluh, jantungku berdebar lebih cepat. Aku takut untuk menjawabnya.
“Sejak kapan Natasha?”
*****
UNREQUITED LOVE
WARNING!!!!
Sebelum membaca short story Iqbal dan Acha aku memberikan info dan memohon kepada para pasukans pembaca agar membaca cerita ini bijak.
Short story Iqbal dan Acha hanya sekadar hiburan bagi aku pribadi sebagai penulis agar tidak bosan menulis tentang Iqbal dan Acha, sehingga ada sudut pandang baru dan alur baru yang bisa aku ciptakan dari karakter Iqbal dan Acha.
Dan, bagi para pembaca aku memohon waktu membaca short story Iqbal dan Acha tidak menghubungkan karakter Acha dan Iqbal di short story ini dengan karakter di Mariposa Universe. Dan, semoga kalian juga merasa terhibur, menikmati dan ada rasa fresh ketika membaca short story Iqbal dan Acha.
Intinya, setelah membaca, kalian terhibur, kalian suka dan langsung lupakan karakter Iqbal dan Acha yang ada di short-story ini. Selalu ingat karakter Iqbal dan Acha yang sesungguhnya hanya ada di Mariposa Universe.
Terima kasih sudah berkenan untuk membaca short story Iqbal dan Acha dan semoga suka. Happy reading.
*****
Entah sudah berapa jam aku menunggunya menghabiskan kopinya. Masalahnya ini bukan gelas pertamanya, melainkan sudah gelas keenam.
Menghentikan? Percuma. Dia tidak akan berhenti hingga perutnya kembung atau ingin muntah. Ya, kebiasaan buruk saat dia sedang bertengkar dengan pacarnya.
Dan entah mengapa, aku selalu berada di sini tiap kali dia sedang merasa sedih, tiap kali dia merasa gelisah dan tiap kali dia butuh tempat bercerita.
“Iqbal enough. Ini sudah jam sepuluh malam. Gue harus pulang karena besok gue ada kelas pagi.”
Ya, dia Iqbal Guanna Freedy. Manusia paling menyebalkan dan paling egois. Meskipun begitu, dia adalah manusia pertama yang berhasil membuat jantungku berdebar saat pertama kali bertemu dengannya ketika kelas satu SMA.
Kami sama-sama satu tim pelatihan olimpiade SAINS, membuat kita sering pelatihan dan mengikuti lomba bersama dan semakin dekat. Meskipun begitu, keedekatan kita hanya sebagai sahabat baginya. Tapi tidak denganku.
Tentu saja, dia tidak tahu dan mungkin tidak akan pernah tahu jika aku pernah menyukainya hingga sekarang.
Benar, aku menyukainya diam-diam selama ini. Mungkin lebih dari enam tahun. Sayangnya selama enam tahun ini, dia hanya menganggapku sebagai sahabatnya semata. Aku hanya bisa melihatnya pacaran dengan perempuan lain, melihatnya bahagia dengan perempuan lain, melihatnya bersikap manis ke perempuan lain. Bukan kediriku, hampir tidak pernah.
Sementara aku, hanya bisa menyukainya sendirian dan mendengarkan kisah cintanya. Menyedihkan bukan? Bagaimana lagi, inilah yang dinamakan risiko menyukai sahabat secara diam diam.
Jangan pernah percaya, perempuan dan laki-laki bisa bersahabat. Pasti diantara salah satu dari mereka ada yang memiliki rasa!
***
Aku melemparkan tas ke meja belajar dengan asal. Setelah membujuk Iqbal untuk pulang, akhirnya aku bisa merebahkan tubuhku di kasur. Aku melirik jam dinding kamar, menunjukkan pukul dua belas malam.
Bodoh memang kamu Natasha! Apa yang kamu harapkan dari Iqbal? Tiap hari kamu semakin menyedihkan hanya karena seorang Iqbal.
Sampai kapan kamu akan menyukainya diam-diam begini? Sungguh menyedihkan.
“Sampai kapan Acha harus suka sendirian!”
Aku menghela napas berat, berharap rasa sesak didadaku berkurang. Akan tetapi percuma, rasanya bertambah sakit.
“Apa Acha menyerah aja?”
****
Sialan! Semua ini gara-gara Iqbal. Aku telat masuk kelas pagi. Untung saja aku hanya mendapat omelan dari Pak Rahmat tanpa ada adegan pengusiran yang memalukan.
Aku segera mengambil duduk di meja paling belakang, tak ingin menjadi sasaran sindiran Pak Rahmat sepanjang mata kuliahnya.
“Lo udah dua kali telat dikelas Pak Rahmat. Lo mau dapat nilai E?”
Aku menoleh, menatap Amanda yang menyorot tajam. Aku hanya menyengir canggung. Amanda adalah teman terdekatku sejak SMA dan satu-satunya orang yang mengetahui aku menyimpan perasaan kepada Iqbal.
“Karena Iqbal lagi?” tebaknya sangat akurat.
“Hm.”
“Kenapa lagi? Dia bertengkar sama Biya?”
Biya! Iya, gadis itu adalah cinta pertama Iqbal, orang yang paling disukai Iqbal dan hanya gadis itu yang bisa membuat Iqbal galau tujuh turunan. Padahal gadis itu sudah beberapa kali selingkuh, beberapa kali berbohong namun Iqbal dengan bodohnya masih saja terus menyukai gadis seperti itu.
“Diem, Pak Rahmat dari tadi sudah ngelirik ke kita,” bisikku balik. Malas untuk berdebat dengan Amanda.
Amanda menghela napas panjang sembari geleng-geleng.
“Entah Iqbal yang bodoh atau lo yang bodoh Cha!”
Aku hanya bisa mendecak pelan, tentu saja aku sangat tahu jawabannya.
“Dia memang bodoh, namun aku lebih bodoh.”
*****
Aku memakan bakso dengan ogah-oagahan. Sejak tadi mendengar ocehan Iqbal menceritakan jika dirinya sudah baikan dengan Biya. Padahal semalam mereka bertengkar besar. Dan, masalah pertengkaran mereka hanya karena Iqbal telat satu menit menjemput Biya di salon langganannya.
“Cha, lo mau bantuin gue, kan?”
Bantu? Ingin sekali kulempar bakso besar ini ke kepala cowok paling bodoh sedunia. Dan, lebih bodohnya lagi aku mengangguk dengan suka rela.
“Mau beli hadiah apa? Bunga? Tas? Baju?” tanyaku sembari mengunyah bakso yang sudah berubah rasa menjadi hambar.
Iqbal terlihat bergumam, berpikir dengan serius.
“Menurut lo Biya bakalan lebih suka dikasih apa?”
Sakit mendengarnya? Tentu saja. Tapi aku sudah terbiasa mendengar nama gadis lain lebih tepatnya nama Biya keluar dari bibir Iqbal.
Aku hanya berusaha menahannya sekarang.
“Cha, dibeliin apa?” tanya Iqbal lagi, menyadarkanku.
Aku menghela napas panjang. Entahlah, aku juga hampir tidak ada ide. Sudah berapa banyak uang dan hadiah yang Iqbal keluarkan untuk gadis bernamakan Biya.
Kalau untukku? Hampir tidak ada. Kadang dia saja lupa kapan tanggal ulang tahunku.
“Tas aja. Kata lo minggu lalu Biya curhat tasnya sudah ngelupas.” Bahkan, tas pacarnya mengelupas pun diceritakan kepadaku.
Aku ini manusia atau buku diarynya Iqbal. Sudahlah, aku saja yang memang bodoh mau mendengarkan ceritanya.
“Bener banget. Oke, nanti sore lo nggak ada kelas, kan? Lo temenin gue beli tas buat Biya.”
Kalian tak perlu kaget. Sudah aku bilang bukan, Iqbal adalah manusia paling egois yang pernah kukenal. Dia bahkan tidak basa-basi terlebih dahulu untuk memintaku menemaninya. Di kepalanya saat ini hanya ada Biya, Biya dan Biya.
Aku menatap Iqbal yang fokus dengan ponselnya, bisa kutebak dia sedang mengirim pesan untuk kekasih tercintanya itu.
Tanpa sadar aku hanya bisa tersenyum getir. Bahkan dia tidak bertanya jawabanku, mungkin karena dia sudah tahu atau sudah terbiasa aku pasti akan menuruti pertmintaannya.
Bentar? Permintaan? Dia bahkan tidak ada kata meminta tolong kepadaku. Sialan! Sekali lagi siapapun tolong teriakan bahwa aku adalah gadis bodoh!
Untuk siapapun di dunia ini, jangan pernah suka sama sahabat cowok yang sudah punya pacar. Bahaya! Tidak baik untuk hati, pikiran dan tubuh!
****
“Kalian ngapain ke mall berdua?”
Drama apa lagi ini! Baru saja aku dan Iqbal sampai di mall, kita tak sengaja berpapasan dengan Biya di parkiran yang juga akan masuk ke dalam mall.
“Bi, gue bisa jelasin. Gue dan Acha han…”
“Sudah gue bilang, kan, gue nggak suka lo terlalu deket sama Acha!”
“Bi, kita cuma temenan. Acha sahabat gue dari SMA.”
“Sahabat! Sahabat! Beratus kali lo jelaisn kayak gitu. Nggak ada yang namanya sahabat diantara cowok dan cewek, Iqbal,” tajam Biya, muka dia memerah menahan semua amarahnya.
Iqbal sendiri terlihat mulai gelisah, terlihat takut karena pacarnya semakin marah karena kesalah pahaman ini. Sementara aku? Hanya bisa diam. Tidak ada yang bisa aku jelaskan di posisi ini. Aku juga tidak ingin semakin memperkeruh keadaan mereka.
Toh, ini bukan pertama kalinya Biya murka karena kedekatanku dengan Iqbal.
“Biya sumpah demi apapun, gue dan Acha hanya teman aja. Nggak ada rasa apapun.”
Biya tersenyum sinis.
“Beneran nggak ada perasaan apapun?”
Iqbal mengangguk dengan penuh keyakinan.
“Nggak ada. Gue hanya suka sama lo, bukan, gue hanya cinta sama lo.”
Sialan! Dadaku mendadak rasanya sakit mendengar kalimat yang baru saja diucapkan oleh Iqbal. Terasa seperti belum menyerang tapi sudah gugur duluan. Penolakan yang cukup menyatikan.
Aku segera membuang muka, tak ingin terlihat jika emosiku mulai terpengaruh karena ucapan Iqbal.
Namun, saat aku akan membuang muka, Biya tiba-tiba berdiri di depanku. Tatapanya sangat tajam, seolah siap menerkamku.
“Cha, giliran lo,” tegasnya.
“Apa?” balasku dingin.
“Jawab pertanyaan gue.”
“Yang mana?”
“Lo nggak pernah ada perasaan ke Iqbal?”
Skakmat! Untuk pertama kalinya Biya menyerangku secara terang-terangan seperti ini. Biasanya gadis itu hanya marah dan ngambek beberapa kali. Tak pernah kusangka Biya akhirnya menanyakan pertanyaan keramat ini.
Bibirku mendadak keluh, tak ada satu kata pun yang bisa aku keluarkan. Entah mengapa, pikiranku pun tak bisa bekerja.
“Cha, jawab. Kenapa lo diem aja?” tambah Iqbal dengan tak sabar.
Aku meneguk ludahku dengan susah payah, mencoba mengumpulkan semua kesadaranku.
“Nggak pernah. Lo nggak perlu takut Bi.” Sudah pantaskah aku memenangkan piala oscar sebagai pemain paling pandai berbohong di dunia ini?
Biya nampak tak puas dengan jawabanku.
“Beneran lo nggak pernah suka sedikit pun ke Iqbal?”
Dia mengujiku lagi, dan sekali lagi rasa sesak itu makin keras menyerangku tanpa ampun.
Aku mengangguk kecil.
“Iya, gue nggak pernah sedikit pun suka ke Iqbal.”
Biya langsung memundurkan langkahnya, kemudian ia meraih lengan Iqbal dan mengandengnya.
“Ayo pergi. Gue nggak suka lo berdua sama cewek lain apalagi Acha.”
Bisa nggak sih dia berkata seperti itu ketika aku sudah nggak ada? Atau setidaknya ketika mereka sudah jauh. Mulut tajam Biya memang setajam belati emak-mak di dapur.
Dan, tanpa mengucapkan kata pamit atau maaf, Iqbal mengangguk menurut dan pergi begitu saja meninggalkanku sendirian.
Aku masih berdiri di tempat, melihat Iqbal dan Biya semakin menjauh dengan tawa bahagia mereka. Seolah mereka melupakan keberadaanku secepat itu.
Sakit? Jangan ditanya lagi. Sejak tadi, aku sekuat tenaga mengepalkan kedua tanganku, menahan diriku agar tidak mengeluarkan setetes air mata di kedua pipi.
Aku merasakan sesak yang terus menghujami dada. Benar-benar sangat sakit. Ingin sekali aku menyerah, tapi tiap kali melihat Iqbal berada di dekatku, rasa dan harapan itu muncul kembali.
Apa yang harus aku lakukan?
****
Sudah dua minggu, Iqbal tidak menghubungiku. Entah apa yang telah terjadi antara dia dan Biya. Tapi aku bisa pastikan alasan Iqbal tidak pernah menghubungiku bahkan mendatangiku lagi pasti karena Biya.
Terlebih lagi, Iqbal memblokir kontakku tiga hari yang lalu. Dan, aku tak bisa apapun. Menanyakan alasannya saja aku tak sanggup. Siapa aku? Aku berhak apa atas sikap Iqbal itu?
Brak!
Aku terperonjat kaget, Amanda tiba-tiba datang ke dalam kamarku entah sekap kapan dengan membawa sebuah brosur yang entah berisi apa. Aku tak sempat membacanya.
“Sampai kapan lo jadi mayat hidup kayak gini? Hah?”
“Apasih Manda,” balasku lirih.
“Cha, lo sudah sepuluh hari diem mulu. Pasti karena Iqbal lagi, kan?”
Aku hanya bisa mengangguk, jika dengan Amanda aku lebih terbuka dan jujur.
“Sudah dua minggu Manda. Biasanya Iqbal paling lama hanya satu minggu diemin kayak gini.”
“Cha, lo nggak salah apapun. Biarin! Berhenti buat diri lo menderita sendirian!”
“Gue juga pengin berhenti Amanda. Tapi nggak bisa, rasanya sulit banget.”
Amanda menghela napas berat, ia menatapku lebih lekat.
“Cha, sudah mau tujuh tahun perasaan cinta sepihak lo ini. Lo nggak capek?”
Aku merasakan bahuku sedikit bergetar, kedua mataku mulai memanas.
“Capek banget Manda. Tapi gue bisa apa? Gue nggak bisa kendaliin perasaan gue sendiri. Gue telalu suka sama Iqbal. Dan, gue tau, gue sadar gue sebodoh itu akan perasaan tak terbalas ini! Gue tau gue bodoh banget Amanda!”
Amanda memutar bola matanya, terlihat lelah mendengar jawaban templateku sejak dulu.
“Lo nggak berusaha keras Acha! Lo nggak berusaha berhenti, lo nggak berusaha menjauh dan lo nggak berusaha lupain Iqbal! Harusnya lo bisa, tapi lo nggak mau!”
Kalimat Amanda benar-benar menamparku dengan keras. Memang benar, aku yang tidak berusaha dengan keras.
Tanpa sadar air mataku terjatuh, rasanya benar-benar sakit mendengar kenyataan menyakitkan itu. Perlahan aku tertunduk, menahan isakanku.
Amanda yang melihatku menangis langsung berubah mengiba. Amanda segera menghampiriku dan memeluku dengan erat.
“Gue tau bukan salah lo suka sama seseorang. Tapi Cha, semua ada batasnya.”
Aku hanya bisa mengangguk dalam pelukan Amanda.
“Berhenti sekarang ya Cha. Gue mohon.”
Amanda melepaskan pelukannya, ia menatapku dengan mata yang ikut berkaca-kaca. Untuk pertama kali, aku melihat Amanda ikut menangis seperti ini. Biasanya hanya aku sendirian yang menangis dan Amanda yang menghiburku.
Mungkin ini sudah puncaknya Amanda mengasihaniku.
“Gue nggak bisa lagi lihat lo tersakiti seperti ini. Gue ingin lihat lo bahagia. Apa lo juga nggak ingin lihat diri lo bahagia?”
Aku mengangguk pelan.
“Gue juga pengin Amanda. Gue ingin lupain perasaan gue ke Iqbal. Gue ingin lepaskan semua sakit ini. Tapi, gimana caranya? Apa gue bisa?”
“Bisa! Sangat bisa!”
Amanda mengambil brosur yang tadi sempat ia bawa, kemudian memberikannya padaku.
“Apa ini Amanda?” aku menerimanya dengan penuh pertanyaan.
“Exchange! Lo harus ikut exhange ini Cha. Program Aisec kampus kita tahun ini. Selama enam bulan exchange di Columbia University. Dan, gue tau lo lebih mampu buat ikut exhange ini. Gue yakin lo pasti lolos!”
“Amanda, tapi….”
“Cha, ini kesempatan lo satu-satunya buat lupain Iqbal. Enam bulan lo nggak akan pernah ketemu Iqbal, enam bulan lo nggak akan lihat Iqbal dan Biya, selama enam bulan lo bisa hilangin kehadiran sosok Iqbal dan enam bulan Cha, lo bisa berusaha lupain perasaan lo ke Iqbal.”
Benar kata Amanda, mungkin ini kesempatan sekaligus jawaban satu-satunya aku bisa berusaha melupakan cinta sepihakku untuk Iqbal. Sudah cukup enam tahun aku mendrita sendirian.
“Mau sampai kapan lo seperti ini, Cha? Lo terlalu berharga untuk manusia seegois Iqbal.”
Aku menatap Amanda dengan kedua mata yang masih basah, merasa berterima kasih karena gadis ini selalu berada disampingku meskipun aku selalu membuatnya sebal karena aku tak kunjung menyerah dengan perasaanku kepada Iqbal selama enam tahun ini.
“Gue beneran bisa, kan, Amanda?”
“Bisa! Lo pasti bisa! Gue yakin Cha.”
Aku mengangguk, berusaha percaya. Aku berusaha menguatkan keyakinanku dan ras percaya diriku.
“Gue pasti bisa!”
*****
Telingaku rasanya ingin pecah mendengar suara teriakan Amanda yang menggelegar dipenjuru kelas. Untung saja kelas sudah selesai. Teriakan Amanda dikarenakan aku berhasil masuk ke dalam daftar mahasiswi yang lolos dan diterima pertukaran pelajar ke Columbia University.
Jujur aku pun tak menyangka bisa diterima. Padahal aku sempat pesimis karena sempat nge-blank sebentar saat wawancara.
Namun, mungkin karena doa dari Mama dan Amanda yang tak pernah putus, membuatku bisa diterima.
“Cha lo keterima!! Sumpah lo keren banget!!!”
Amanda memelukku dengan erat, tentu saja aku membalas pelukannya lebih erat.
“Makasih banyak Amanda, makasih sudah yakinin gue untuk daftar exchange ini.”
Amanda melepaskan pelukannya, ia menatapku dengan dengan haru.
“Ini baru awal Cha. Selama di sana, lo harus benar-benar serius belajar dan terpenting…”
Amanda mengantungkan kalimatnya sesaat, kemudian tersenyum penuh arti.
“Lo harus lupain Iqbal. Mengerti?”
*****
Besok adalah keberangkatanku dan aku belum memberitahu Iqbal mengenai exhange ini. Aku cukup bimbang harus memberitahunya atau tidak.
Aku takut Iqbal akan marah jika aku tidak memberitahunya, namun ada rasa sangkalan, Iqbal tidak akan peduli dengan berita ini.
Entah sudah berapa bulan Iqbal tidak pernah mengabariku lagi. Bahkan, saat kita papasan di kampus pun Iqbal seolah sengaja tidak menyapaku. Jangankan menyapa, menatapku saja terlihat enggan.
Sebenarnya aku sangat ingin sekali bertanya, apa salahku sampai harus mendapatkan perlakuan seperti itu dari dia? Padahal aku selalu berusaha ada di sampingnya dan membantunya saat ia dalam kesusahan.
Aku menghela napas berat untuk kesekian kalinya, menatap kontak Iqbal dengan keraguan.
“Bodoh amat lah!”
Aku menekan tombol kirim, mengirimkan pesan ke Iqbal untuk mengajak cowok itu bertemu. Untung saja, hanya whatsappku yang diblokir Iqbal, nomorku sendiri masih bisa menghubunginya.
*****
Aku memaksakan senyumku saat menatap Iqbal berjalan mendekat. Ia pun membalas senyumku dengan canggung. Ya, Iqbal menyetujui pertemuan kami.
Ingat bukan perkataanku sejak awal? Iqbal adalah cowok paling egois! Ini contohnya, dia terlalu mempertahankan harga dirinya hingga tak mau mengabariku duluan. Seolah harus aku duluan yang menghubunginya seperti ini.
Aku melambaikan tanganku, menyodorkan americano kesukaannya yang sudah aku pesankan terlebih dahulu.
“Habis kelas?” Pertanyaan itulah yang terbesit di kepalaku. Bukannya menanyakan kabarnya atau menanyakan keadaannya selama tiga bulan ini.
“Iya, lo nggak ada kelas, kan, hari ini?”
Aku mengangguk. Hari ini memang hari liburku. Namun, aku sengaja datang ke cafe dekat kampus hanya untuk menemui cowok ini.
Iqbal pun terlihat berusaha bersikap biasa saja, seolah tidak terjadi apapun selama tiga bulan kami tak saling bertemu bahkan tak saling bekabar.
Iqbal duduk, menaruh tasnya. Sementara aku terus memperhatikan saja.
“Lo udah makan belum?” tanyaku lagi.
“Belum, banyak tugas sejak seminggu yang lalu. Pusing banget kepala gue.” Tentu saja Iqbal sangat sibuk, mahasiswa kedokteran mana yang tidak disibukkan dengan tugas.
Jika ditanya apa yang membuatku begitu menyukai Iqbal padahal sikap dia seegois itu. Mungkin karena aku kagum dengan ambisinya, kepintarannya dan ketampanannya.
Dari semua cowok yang aku kenal, tidak ada yang seambis Iqbal. Cowok itu sangat tahu apa yang dia inginkan. Bahkan dia masuk kedokteran melalui jalur prestasi. Keren bukan?
Kami berbincang santai, obrolan kami mengalir begitu saja. Aku mendengarkan cerita Iqbal tentang ujian praktek anatominya bulan lalu. Iqbal juga bercerita dua minggu lalu ia sempat mendaki bersama teman-teman kelasnya.
Dan, ya aku sudah tahu akan hal itu. Iqbal sempat memposting di instagramnya.
“Iqbal, ada yang ingin gue kasih tau.” Setelah satu jam lamanya kami berbasa-basi, aku merasa sudah saatnya aku memberitahunya.
“Gue juga.”
Aku tertegun sesaat ketika mendengar sahutan Iqbal. Aku menatap Iqbal, mimik cowok itu terlihat serius, tak seperti biasanya. Jujur sikap Iqbal sekarang membuatku bertambah gugup.
“Lo duluan aja kalo gitu,” suruhku.
Iqbal mengangguk, tatapanya lebih lekat.
“Gue dan Biya sudah putus.”
Hah? Apa yang Iqbal katakan barusan? Aku tidak salah dengar, kan? Sejak kapan mereka putus? Bagaimana bisa?
“Dua bulan lalu.”
Seolah tau isi pikiranku, Iqbal kembali berucap. Aku tak bisa bereaksi apapun, tak menemukan satu kata pun untuk membalas berita itu. Tentu saja cukup mengejutkanku.
Berarti dua bulan lalu dia dan Biya sudah putus? Lalu, kenapa selama dua bulan ini Iqbal tidak menghubungiku?
Hahahaha. Aku tertawa dalam hati, masih perlu menanyakan jawaban yang sudah jelas. Tentu saja, harga diri Iqbal terlalu tinggi untuk menghubungiku duluan. Sejak dulu, Iqbal tidak pernah suka dianggap salah.
Aku menyenderkan tubuhku sejenak, mengambil napas sebenyak-banyaknya agar bisa menenangkan detakan jantungku.
Berbagai macam pikiran merajami pikiranku, membuat kepalaku mulai sakit. Apa yang harus aku lakukan saat ini? Bukankah harusnya aku tetap dengan tujuan awalku?
Benar, susah payah aku bisa mendapatkan exchange itu. Hanya karena dia putus dengan Biya lalu aku harus melepaskan kesempatan itu?
Siapa dia sampai pantas mendapatkan pengorbananku? Bukankah sudah cukup aku selalu mengalah selama enam tahun ini?
“Sekarang giliran gue,” ucapku memberanikan diri.
“Lo mau ngasih tau apa?” balasnya dengan tenang.
Aku menata kembali rasa gugup yang mulai muncul, mengumpulkan semua sisa-sisa keberanianku.
“Gue diterima exchange di Columbia University, selama enam bulan.”
Hening! Cukup lama. Tak ada respon sedikitpun dari Iqbal. Cowok itu hanya diam, tak ada ekspresi apapun, bahkan terkejut pun tak terlihat. Dia terlalu tenang hingga aku tidak bisa membaca pikirannya saat ini.
“Sejak kapan?” Pertanyaan pertama yang dikeluarkan Iqbal setelah keheningan lama.
“Minggu yang lalu pengumumannya.”
“Kapan berangkatnya?”
“Besok.”
Dan, barulah ekspresi Iqbal berubah. Keningnya mengerut, tatapanya berubah tak tenang. Dia nampak terkejut.
“Kenapa baru bilang sekarang?”
Kenapa? Aku tidak salah mendengar bukan? Bisa-bisanya dia bertanya seperti itu. Bukankah sudah jelas jawabannya?
“Lo serius dengan pertanyaan itu?”
“Serius. Lo harusnya kasih tahu gue. Lo anggap gue apa?”
Belum sempat aku memberikan pembelaan, Iqbal langsung berdiri, pergi begitu saja meninggalkanku.
Aku tercengang dengan apa yang barusan dilakukan cowok itu. Kenapa dia harus marah? Bukankah dia sendiri yang menghindariku selama tiga bulan ini?
Bukan salahku bukan jika aku tidak memberitahunya? Bahkan kontakku saja ia blokir.
Aku mendesah berat, napasku terasa lebih sesak. Bukan reaksi seperti ini yang aku inginkan. Aku hanya ingin memberitahunya, aku hanya ingin berpamitan kepadanya.
Namun yang terjadi? Dia bereaksi marah dan pergi begitu saja! Sungguh, dia memang cowok paling menyebalkan!
Kenapa aku bisa menyukai cowok seperti itu? Sadar Natasha!
****
Jam dinding kamarku menunjukkan pukul dua belas malam, namun kedua mataku masih terjaga. Tak ada rasa kantuk sedikit pun. Untungnya dua jam yang lalu aku sudah selesai membereskan barang-barangku ke dalam dua koper yang dibantu oleh Mamaku.
Sebenarnya aku sudah mulai mencicil packing sejak tiga hari yang lalu. Makanya, hari ini bisa selesai lebih cepat.
Tatapanku kosong ke arah langit-langit dinding. Masih memikirkan kejadian di cafe tadi sore.
“Apa yang harus gue lakuin?”
Ponselku berdering, membuat tubuhku langsung duduk tegak. Aku melihat layar ponsel, nama Iqbal tertera di sana.
Aku mengerutkan kening, bingung sekaligus kaget. Namun, tak ingin menyia-nyiakan panggilan itu, aku segera menerima panggilan tersebut.
“Keluar sebentar, gue ada di depan rumah lo.”
****
Saat aku keluar rumah, Iqbal langsung memintaku masuk ke dalam mobil. Setelah itu, dia tak berkata apapun lagi. Mobilnya melenggang dengan kecepatan sedang, membelah jalanan yang sangat sepi.
Entah mengapa, aku pun enggan bertanya, kemana dia akan membawaku tengah malam seperti ini.
Perjalanan kami hanya diisi keheningan. Aku sibuk dengan pikiranku, dan mungkin Iqbal juga seperti itu. Entahlah, terlalu susah jika diminta untuk menebak isi kepala Iqbal.
****
Mobil Iqbal akhirnya berhenti di dekat pantai. Ya, Iqbal membawaku ke daerah Jakarta Utara. Cukup jauh dari rumahku.
Iqbal mematikan mesin mobilnya, kemudian turun tanpa berkata apapun. Aku mengikutinya saja.
Sungguh, aku tidak mengerti apa yang dilakukan cowok itu. Sebenarnya apa tujuannya membawaku datang kesini? Seingatku, aku tidak pernah memintanya untuk mengajakku ke pantai.
Langkahku terhenti saat Iqbal tiba-tiba duduk di dekat pasir, melepaskan jaketnya dan menaruh di sebelahnya.
Iqbal menatapku.
“Duduk,” suruhnya.
Aku tertegun, jantungku berdebar melihat apa yang dilakukannya sekarang. Sikap ini terlalu manis dan baru pertama kalinya Iqbal berbuat semanis ini kepadaku.
Tahan Natasha! Jangan goyah, tegakkan perasaanmu. Jangan mau kalah!!!
Aku mengangguk saja, menuruti ucapannya. Aku duduk di atas jaketnya.
Kami menikmati sepoi angin malam yang cukup dingin, untung saja aku memakai sweater yang cukup tebal.
Deburan ombak terasa menenangkan, membuat fokusku langsung mengarah ke depan. Aku tak menyangka jika ke pantai semalam ini terasa menenangkan.
Baik aku maupun Iqbal menikmati sejenak keindahan pemandangan malam yang ada di depan kami. Banyak bintang diatas langit yang cerah, di tambah bulan purnama yang membentuk lingkaran sempurna. Sungguh sangat cantik.
“Maaf.”
Keheningan terpecah dengan suara Iqbal. Aku langsung menoleh dengan pikiran bingung. Kenapa dia meminta maaf?
“Untuk apa?” tanyaku tak ingin semakin penasaran.
Iqbal masih menatap ke depan, tatapannya terlihat hampa.
“Semuanya.”
Semuanya? Semuanya termasuk yang mana saja? Aku masih tidak paham kenapa dia tiba-tiba meminta maaf seperti ini.
“Gue sudah tau Cha.”
Tau apa? Jantungku berdetak kembali, kali ini lebih cepat. Apa yang ingin dia sampaikan?
“I… Iqbal tau apa?”
Senyumnya tiba-tiba mengembang, namun tatapanya masih terlihat hampa.
“Lo suka sama gue.”
Deg! Sungguh, rasanya jantungku ingin lepas dari tempatnya. Sekujur tubuhku bahkan langsung dibuat merinding dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Sejak kapan Iqbal tau? Siapa yang memberitahu? Apa yang harus aku katakan?
Aku meneguk ludahku dengan susah payah, tenggorokanku benar-benar mengering, napasku terasa lebih berat.
“Se… Sejak kapan?” Ya, hal pertama yang ingin aku tanyakan adalah sejak kapan Iqbal mengetahuinya.
“Sore tadi.”
“Sore tadi?”
“Amanda nyamperin gue dan kasih tahu semuanya.”
Gila! Apa yang dilakukan gadis gila itu? Bisa-bisanya dia melakukannya tanpa meminta izin terlebih dahulu. Pantas saja sore tadi Amanda mengirimkan pesan ambigu dimana intinya gadis itu meminta maaf dan berharap kedepannya aku harus bahagia.
“Amanda hanya kasih tau lo suka sama gue dan biarin lo pergi ke New York. Selebihnya dia nggak bilang apapun,” perjelas Iqbal lagi.
Iqbal perlahan menatapku, tatapanya nampak sendu.
“Sejak kapan lo suka sama gue?”
Bibirku terasa keluh, jantungku berdebar lebih cepat. Aku takut untuk menjawabnya.
“Sejak kapan Natasha?”
Kedua mataku memanas, tubuhku bergetar hebat. Aku ingin menangis namun kutahan sekuat tenaga. Aku berani! Aku bisa! Aku menegarkan diriku sendiri. Aku tak bisa lagi lari. Aku harus menghadapinya.
“Sejak SMA.” Dengan segala keberanianku aku menjawabnya dengan jujur.
Kedua mata Iqbal terbuka lebih lebar, terlihat dia sangat terkejut dengan pengakuanku.
“Sejak pertama kita ketemu Iqbal. Gue sudah suka sama lo,” tambahku.
“Cha, lo…”
“Gue tau gue gadis bodoh. Gue suka sama orang yang sama sekali nggak pernah suka sama gue. Bahkan gue suka dengan orang yang sudah punya pacar.”
Kedua tanganku mengepal kuat, aku harus tetap maju. Ini kesempatan bagiku untuk mengungkapkan semuanya. Nasi sudah menjadi bubur, biarlah Iqbal tahu semua perasaanku.
Inilah waktunya, ini kesempatannya.
“Gue juga tahu, gue gadis bodoh yang mau terluka dengan dengerin semua kisah cinta lo, lihat lo bahagia dengan pacar lo. Gue beneran bodoh ya Bal?”
Kini giliran Iqbal yang terdiam, sangat lama. Seolah ia sedang mencerna baik-baik semua pengakuanku.
“Gue minta maaf.”
Aku menggeleng cepat, buat apa dia minta maaf? Bahkan sebenarnya Iqbal tidak pernah salah disini. Yang salah hanyalah diriku, perasaanku yang terlalu nekat dengan harapan yang sia-sia.
“Lo nggak perlu minta maaf. Bukan salah lo. Gue yang suka sama lo dan lo berhak dengan perasaan lo sendiri.”
Aku tak bisa lagi menahan air mataku yang sejak tadi kutahan. Aku membiarkannya perlahan mengalir membentuk aliran sungai kecil di kedua pipi merahku.
“Gue sendiri yang bersedia terluka dengan suka sama lo. Harusnya dari awal gue nggak boleh lakuin itu. Gue udah tahu dari awal gue akan terluka, tapi gue nggak bisa berhenti. Mungkin karena, gue terlalu suka sama lo. Dan, gue selalu berharap suatu hari lo juga bisa suka sama gue, lo bisa sadar akan perasaan gue. Tapi….”
Aku mengigit bibir bawahku, menahan isakan yang ingin lepas dari bibirku.
“Tapi harapan itu nggak pernah datang. Ada gadis lain yang sangat lo suka. Dan, gue nggak bisa marah, gue nggak bisa nyalahin lo, bahkan gue nggak bisa benci sama lo Bal!”
Aku tak kuasa lagi, kepalaku tertunduk. Aku menangis sejadi-jadinya. Akhirnya perasaan yang kusimpan selama enam tahun ini bisa kuungkapkan kepada orangnya.
“Gue beneran sesuka itu sama lo.”
Aku mendengar helaan napas panjang dari Iqbal, mungkin dia juga terlalu terkejut mendengar pengakuanku.
Aku merasakan tangan Iqbal menyentuh puncak kepalaku, kemudian menepuk-nepuknya pelan. Iqbal berusaha untuk menenangkanku.
“Maafin gue Cha.”
Aku menggeleng cepat, kemudian berusaha untuk kembali mengangkat kepala. Aku menghapus cepat jejak air mataku.
“Gue yang harusnya minta maaf. Gue yang bikin lo ngerasa bersalah. Padahal lo sama sekali nggak tahu apapun.”
“Gimana bisa gue sama sekali nggak tau perasaan lo.”
Aku menatap Iqbal dengan senyum yang aku paksakan.
“Wajar lo nggak tau. Gue terlalu pandai bukan nyembunyiinya?” Aku sengaja membalas dengan candaan. Aku tak mau keadaan kami menjadi lebih canggung.
Iqbal tertawa pelan, mungkin tak habis pikir dengan sikapku.
“Terima kasih Cha sudah mau jujur.”
Aku mengangguk, entah mengapa rasanya sangat lega bisa mengungkapkannya. Dan, melihat reaksi Iqbal yang tidak menghakimi dan menerima dengan baik perasaanku walaupun aku tau dia tidak bisa memabalasnya.
“Iqbal,” panggilku lirih.
“Iya?”
“Lo nggak perlu balas perasaan gue atau ngerasa bersalah. Gue sudah ngerasa ikhlas dengan perasaan gue sekarang. Dan gue juga sudah menyerah dengan perasaan gue. Sekarang, gue ingin berusaha lupain perasaan gue ke lo. Jadi, gue harap kita masih bisa jadi teman baik, kan?”
Iqbal mengangguk tanpa ragu.
“Sangat bisa. Gue akan selalu jadi teman baik lo, Cha.”
“Berhenti merasa bersalah. Oke?”
“Iya. Lo juga berhenti suka sama gue. Oke?”
Aku terkekeh mendengar perasaannya. Entah mengapa tak ada rasa sakit hati saat mendengar perintah Iqbal. Seolah semua perasaanku sudah selesai dan tidak ada lagi harapan palsu yang harus aku angankan.
“Oke.”
Iqbal menghela napas panjang. Ia sedikit memundurkan tubuhnya agar bisa menghadap ke arahku sepenuhnya.
“Selama enam bulan di New York, lo harus selalu bahagia Cha.”
“Pasti itu. Gue akan berusaha keras lupain perasaan gue buat lo dan gue akan membuka lembaran baru.”
Iqbal melebarkan kedua tangannya, membuatku bingung.
“Boleh gue peluk lo buat terakhir kali sebelum lo berangkat besok?”
Aku mengangguk, dengan senang hati.
“Sangat boleh.”
Iqbal langsung merengkuh tubuh mungilku. Rasanya sangat hangat. Mungkin untuk pertama kalinya, aku merasakan pelukannya.
Pelukan yang dulu menjadi angan-anganku. Kini aku bisa merasakannya langsung. Benar-benar terasa hangat.
Kedua mataku kembali memanas, aku ingin menangis kembali. Namun, kali ini bukan tangisan penuh kesedihan atau pun kesakitan. Melainkan tangisans penuh kelegaan dan kebahagiaan.
“Terima kasih Iqbal sudah izinin gue suka sama lo selama ini.”
*****
Tak semua perasaan bisa terbalaskan dan tak semua perasaan bisa dipaksakan.
*****
#CuapCuapAuthor
Bagaimana setelah baca ini? Jujur aku deg-degan banget waktu nulis ini.
Aku pertimbangin dari pagi sampai sore, haruskah aku posting atau enggak.
Tapi, karena banyak dari para Pasukans pembaca yang penasaran dan ingin baca,
akhirnya aku putuskan untuk update.
Kalian suka nggak short story ini? Feelnya sampai nggak dikalian?
Mohon beri kesan kalian waktu baca ya, kalau berkenan bisa tulis di komen biar aku tau
kesan kalian bagaimana saat baca short story ini.
Biar aku bisa lebih semangat lagi juga untuk buat short story dengan alur yang lebih baru.
Maaf ya kalau short story pertama ini masih banyak kurangnya. Dan, semoga kalian selalu suka dengan kisah-kisah Iqbal dan Acha. Baik di short story maupun di Mariposa Universe.
Ditunggu another short stort Iqbal dan Acha lainnya. Love u all ❤️
Salam,
Luluk HF
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
