Still Loved 34-36

5
0
Deskripsi

Plaakkkk… satu tamparan mendarat di pipi Megan. Kepala wanita itu berputar ke samping dengan gerakan yang keras. Ia masih sibuk mengamati luka di tubuh Nicholas hingga tak menyadari seorang wanita paruh baya yang datang ke arahnya dengan raut dipenuhi amarah.

“Megan Ailee, kan?” Dengusan mengejek itu begitu kental, dengan kemarahan dan kebencian yang bercampur jadi satu.

Telapak tangan Megan menyentuh pipinya yang serasa dibakar oleh tamparan tersebut. Dan ia yakin seluruh wajahnya memerah.

“Beraninya...

34. Batasan Pernikahan

 

“Kau tidak akan pergi, Megan,” ulang Mikail dengan tegas dan penuh penekanan. Tekanan di tangan Megan pun semakin menguat, sengaja menyakiti wanita itu. “Kita baru saja menikah dan lihatlah,” pandangan Mikail beralih ke arah Kiano yang duduk di kursi tak jauh dari posisi mereka berdua. Putra kecilnya itu sedang sibuk bermain-main dengan kucing peliharaan yang tadi dikenalkan pada Megan namanya George. Bahkan menceritakan dengan detail segala hal tentang peliharaannya tersebut pada Megan. Saking antusiasnya sambutan Kiano terhadap kedatangan Megan di kehidupan mereka.

“Apa kau akan meninggalkannya di tengah- tengah kebahagiaannya?”

Megan seketika membeku. Tubuhnya di tarik Mikail hingga keduanya terlihat saling berpelukan. Dengan lengan Mikail yang melingkari pinggangnya. Dan berada dengan jarak sedekat ini, membuat Megan menahan napasnya. 

“Aku sudah memperingatkanmu untuk tidak mengecewakannya lagi, Megan. Sekarang aku suamimu, dan … aku belum sempat mengatakannya. Tapi …di detik kau menjadi istriku, segala hal tentangmu akan menjadi urusanku.” Mikail memutar wajahnya, sehingga wajah mereka saling berhadap- hadapan. Menyisakan jarak hanya beberapa senti, yang membuat Megan benar- benar kewalahan menerima terpaan napas panas pria itu di wajahnya.

“Segala hal, Megan. Sebaiknya kau mulai sedikit memahami dan menerka-nerka apa yang menunggumu di dalam pernikahan kita.”

“A-apa?” Megan tak sempat melanjutkan tanyanya ketika Mikail memutar tubuhnya dan membawanya berjalan ke arah Kiano.

“Kita akan membicarakan pernikahan ini setelah kita pulang,” ucap Mikail.

Megan tak mengatakan apa pun lagi. Memasang senyum untuk Kiano yang menyadari kedatangan mereka. Meninggalkan kucing putih di kursi dan langsung memanjat naik ke gendongan Mikail.

“Jadi…apakah sekarang aku bisa memanggil tante cantik dengan panggilan Mama?” tanya Kiano pada Mikail, tetapi kemudian pandangan bocah itu beralih ke arah Megan.

Hati Megan seperti tersentil. Menatap wajah mungil itu dengan mata yang segera digenangi air mata. Pandangannya beralih ke arah Mikail, yang membalas tatapannya dengan tatapan datar.

“Kenapa kau tidak menanyakannya langsung padanya, jagoan?” ucap Mikail dengan kelembutan yang begitu tulus pada putranya. Bahkan pria itu tersenyum.

“Apakah boleh tante cantik?”

Megan mengangguk, bahkan sebelum Kiano menutup mulut, dan tiba-tiba saja Mikail membawa tubuhnya ke dalam pelukan pria itu. Perasaan bahagia membuncah di dadanya. Bahkan Mikail mendaratkan kecupan di keningnya, bergantian dengan kening Kiano. Megan tak yakin apakah Mikail benar-benar menciumnya, ataukah hanya ingin mempertontonkan pernikahan ini pada Kiano. Megan tak peduli yang mana alasannya. Yang ia pedulikan saat ini, dirinya telah kembali ke kehidupan Kiano. Itu sudah menjadi semua yang ia inginkan.

Setelah menghabiskan waktu dengan duduk-duduk dan Mikail menceritakan beberapa kisah masa kecil pria itu yang dihabiskan di tempat ini, yang sebagian besar kisahnya sudah pernah Megan dengar. Ketiganya pun kembali pulang.

Dengan dalih bahwa pria itu dan dirinya harus pergi ke rumah sakit, Kiano naik mobil yang berbeda.

Megan dan Mikail masuk ke dalam mobil setelah mobil Kiano meninggalkan halaman rumah.

“Masuk.” Mikail membukakan pintu mobil untuk Megan.

Megan pun naik dan menggeser tubuhnya ke ujung jok saat Mikail menyusul masuk.

“Sekarang kita bicara tentang kesepakatan pernikahan ini.” Mikail memulai pembicaraan tepat ketika pintu mobil tertutup. Bahkan mesin mobil belum dinyalakan. Benar-benar tak membuang waktu.

Megan tak mengangguk, tetapi tetap mendengarkan dengan saksama. Megan sadar, dirinya tak seharusnya mengharapkan banyak hal dari pernikahan mereka.

“Mulai darimu.”

Kedua mata Megan melebar, berkedip sekali dan berkata,”Apa?”

“Katakan apa saja yang kau inginkan dari pernikahan ini?”

“A-aku?”                

Mikail mengangguk.

Megan masih bergeming. Mengulang pertanyaan Mikail dalam hati dan masih tak mampu mencerna dengan baik.

“Katakan sebelum aku berubah pikiran, Megan,” ucap Mikail sekali lagi dan nadanya terdengar sedikit tak sabaran. “Apa saja yang kau inginkan dari kesepakatan pernikahan ini sebelum aku mulai bicara.”

Megan masih terdiam sejenak. “Tidak ada yang kuinginkan selain aku bisa menemui putraku kapan pun yang aku inginkan, Mikail. Selama itu tidak menganggu jadwal sekolahnya, aku akan menyesuaikan jadwal pekerjaanku sehingga aku bisa menemuinya.”

“Kau tak perlu menyesuaikannya, Megan. Kau bisa menemuinya kapan pun kau inginkan. Kiano juga pasti akan senang. Kalian akan meluangkan begitu banyak waktu untuk bersama-sama. Sepanjang hari.” Mikail mengucapkan kalimat terakhirnya dengan penuh penekanan dan sangat diperjelas. Kedua matanya mengunci tatapan Megan lekat-lekat.

Megan hanya terdiam. Ia tak mampu menampik kebahagiaan yang ditawarkan oleh Mikail. Semuanya adalah segala hal yang ia inginkan. Namun, tatapan Mikail begitu intens. Ada sesuatu yang menahan kebahagiaan di dadanya terlepas. “A-apa maksudmu, Mikail?”

Mikail memutar tubuhnya menghadap dirinya, seringai tersungging di salah satu ujung bibirnya. “Kau masih ingat apa yang kukatakan tadi, kan?”

“A-apa?”

“Bahwa semua tentangmu, akan menjadi urusanku.”

Megan menelan ludahnya. Memberikan satu anggukan yang pelan.

“Kau bahkan rela mati demi kembali ke hidup Kiano.”

Megan masih bergeming. Menunggu kalimat Mikail selanjutnya dengan perasaan yang semakin tak nyaman. Apa yang diinginkan Mikail darinya sehingga pria itu mengungkit kejadian tersebut.

Tangan Mikail bergerak mengambil tangan kirinya. Mengelus perban di pergelangan tangannya. “Tapi sekarang kau masih hidup dan bernapas. Dan… bahkan aku yang menyelamatkanmu.”

Megan menelan ludahnya. Napasnya tertahan, menunggu dengan gugup apa yang akan di katakan oleh Mikail. Satu hal yang pasti, Mikail menginginkan pengorbanan darinya. Yang ia yakin tidak kecil.

“Saat kau mati, kau akan kehilangan segalanya, Megan. Kiano juga … pekerjaanmu.”

Gumpalan di tenggorokan Megan semakin mengembang. “P-pekerjaan.”

“Kau kembali hidup dan masih memiliki Kiano.”

Megan menjilat bibirnya yang kering.

“Kupikir dua hal itu sudah cukup bagimu untuk merelakan pekerjaanmu.”

“A-apa maksudmu, Mikail?”

“Lepaskan pekerjaanmu.”

“T-tapi…”

“Pikirkan pekerjaanmu yang memiliki jadwal begitu padat, Megan. Memangnya berapa banyak waktu yang bisa kau luangkan untuk bersama putraku?”

Megan tak bisa menjawab. Jadwalnya sudah terlalu padat dan ia sendiri tak yakin apakah bisa meluangkan waktunya setiap hari untuk Kiano.

“Kau tak mungkin membawa Kiano ke tempat kerjaku, seperti yang sering kali kulakukan. Pekerjaanmu terlalu beresiko untuk mentalnya yang masih anak- anak.”

“Pekerjaanku tidak sekotor itu, Mikail,” protes Megan tersinggung.

“Ya, tapi sekarang kau ibunya. Apa yang dipikirkannya ketika melihat ibunya berpose dengan begitu mesra bersama pria lain?”

Mulut Megan seketika terkatup. Kehilangan kata-kata untuk membantah.

“Segala hal yang kukatakan padanya tentangmu, aku memastikan agar dia tidak sampai berpikir bahwa ibunya telah mengkhianati ayahnya.”

“Dan aku memang tidak pernah mengkhianatimu.”

Mikail memberikan satu senyum kepuasan untuk pengakuan Megan yang satu ini. “Ya, aku tahu.”

“Kaulah yang mengkhianatiku, ingat?” sengit Megan sambil menyentakkan tangan Mikail yang ternyata masih memegang tangannya.

Mikail berkerut kening. “Aku mengkhianatimu?”

Megan menyadarikata-katanya yang keceplosan. “Lupakan saja. Lanjutkan … Selain menyuruhku berhenti bekerja, apalagi yang kau ingin aku lakukan untuk Kiano? Menjemputnya sekolah dan menghabiskan waktu dengannya di apartemenku sebelum kau menjemputnya pulang ke rumah? Atau kau juga ingin aku menungguinya di sekolah.

Salah satu alis Mikail terangkat, menatap Megan seolah wanita itu baru saja mengatakan sebuah lelucon yang konyol. Tawa kecil tertahan di ujung bibirnya. “Apartemenmu?”

Megan terdiam. Masih bertanya-tanya apakah sebenarnya yang diinginkan Mikail dari pembicaraan panjang lebar ini.

“Dia tidak akan menginjakkan kakinya di apartemenmu lagi, Megan.”

Kerutan membentuk di kening Megan. “A-apa maksudmu?”

“Lalu kau pikir untuk apa pernikahan ini terjadi?”

Megan diam.

“Aku menikahimu, untuk memberikan Kiano sosok seorang ibu yang ternyata begitu dirindukannya.  Pun dengan sgeala usaha yang telah kerahkan demi menjadi seorang ayah yang sempurna untuknya. Bukan pengasuh yang menjemput dan bermain-main dengannya menunggu ayahnya  pulang dari bekerja.”

Kedua mata Megan mengerjap. Menyadari suara Mikail yang mulai semakin menguat di penuhi emosi. Yang membuat tubuh Megan beringsut menjauh. Tetapi tangannya segera di tahan oleh Mikail, mempertahankan jarak di antara mereka tetap dekat. Sehingga cukup untuk saling mendengarkan pembicaraan mereka dengan jelas. Tanpa melewatkan satu patah kata pun.

“Kau akan tinggal di rumahku, Megan. Menjadi sosok ibu rumah tangga yang selalu ada untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Terutama Kiano.”

Megan menelan ludahnya lagi. “A-apa artinya itu, Mikail?”

“Kau mendengarnya dengan jelas, Megan. Mulai sekarang kau akan berhenti dari pekerjaanmu. Aku akan mengurus seseorang untuk memindahkan barang-barangmu.”

“T- tidak, Mikail. Aku tidak bisa tinggal di rumahmu.”

Salah satu alis Mikail terangkat, memasang ekspresi tak suka untuk Megan.

“A- aku tak tahu apa sebenarnya pernikahan ini. Aku tak tahu akan jadi seperti apa pernikahan ini. Tapi …”

“Tidak ada tapi- tapian, Megan,” tandas Mikail dengan tegas. Cengkeramannya pada pergelangan tangan Megan semakin menguat, bahkan menarik wanita itu semkain dekat ke arahnya. “Sekarang saatnya kau mengerti dan memahami pernikahan ini dengan benar.”

“M –mikail...”

“Aku sudah mengatakan padamu bahwa tak ada jalan untuk mundur setelah pernikahan ini terjadi, Megan.”

“Kau tak pernah mengatakannya,” protes Megan.

“Ah … sekarang aku sudah mengatakannya, kan?” seringai licik terusngging di salah satu ujung bibir Mikail. Matanya berkilat dengan licik dan tak ada sedikit pun penyesalan di sana.

“B- berengsek kau, Mikail.” Tangan lainnya Megan sudah terangkat, hendak melayangkan pukulan ke arah pria itu. Tetapi di tangkap oleh Mikail dengan sigap.

“Lalu … apa kau akan mundur jika aku memberimu pilihan, Megan?”

Pertanyaan Mikail pun membungkam mulut Megan. Ya, tak ada jalan untuk mundur setelah pernikahan ini. Dan ia bahkan tak menginginkan jalan untuk mundur. “Apa lagi yang kau inginkan, Mikail?” tangannya berhenti meronta.

“Hanya itu. Awalnya. Selanjutnya, kau akan memahami dengan perlahan seiring berjalannya pernikahan kita.”

Megan tak mengatakan apapun lagi. Genggaman tangan Mikail pada pergelangan tangannya pun melonggarkan pandangan Megan turun ke arah pangkuannya. Buket bunga pernikahannya masih ada di pangkuannya. Kemudian menatap jemarinya yang dilingkari cincin permata. Yang beberapa saat yang lalu di sematkan oleh Mikail. Menjadi cincin pernikahannya.

Cincin pernikahannya kali ini memiliki desain yang sangat sederhana, meski masih terlihat begitu mewah dan elegan. Berbanding terbalik dengan desain cincin pernikahan pertama mereka. Yang dihiasi berlian –berlian kecil mengelilingi cincin tersebut. Dan berwarna merah delima.

Ingatannya pun berputar, bertahun- tahun yang lalu. Saat itu, ia begitu bahagia hari pernikahan telah tiba. Hati Megan membucah penuh kebahagiaan dan semuanya berjalan begitu sempurna. Pernikahannya dirayakan dengan begitu meriah. Segala yang terbaik dari yang terbaik. Setelah acara resepsi selesai, Mikail membawanya pergi berbulan madu berkeliling dunia. Keduanya menjadi pasangan suami istri baru yang paling bahagia.

Megan masih bisa merasakan debar kebahagiaan itu di dadanya. Mengembang memenuhi dadanya. Dan perasaan itu masih bisa ingat dengan jelas.

“Apa yang kau pikirkan?” pertanyaan Mikail memecah lamunan Megan. Membuat wanita itu menoleh dan menatap mata Mikail yang memicing dan menelisik tepat ke kedua matanya. 

“Apakah Kiano akan kecewa jika tahu aku tak becus menjadi ibunya?”

Pertanyaan Megan yang penuh emosi tersebut membuat Mikail membeku. Tak menyangkan Megan akan sekhawatir itu.

“Aku tak bisa memasak, Mikail. Aku juga tak pandai menyiapkan segala hal kebutuhannya. Aku bahkan tak tahu apa yang diinginkannya dariku.”

Mikail menatap dalam- dalam kedua mata Megan. Kesungguhan dan keseriuan wanita itu bisa pria itu rasakan. Megan jelas bukan tipe ibu rumah tangga yang baik. yang betah tinggal di dalam rumah. Apalagi handal dalam urusan dapur. Dan Mikail ingat dengan jelas, wanita itu tak pernah tidak melukai dirinya saat memegang pisau. 

“Aku sudah mengatakan padamu, Megan. Kau akan belajar memahami semua ini dengan perlahan.” Kata-kata Mikail berubah lebih lembut dan ekspresi pria itu lebih melunak.

Megan terdiam, menarik napas panjang dan dalam lalu mengembuskannya secara perlahan. Meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia akan berusaha sebaik mungkin.

 

35. Keadaan Nicholas

 

“Ke mana kita, Mikail?” Megan bertanya setelah menyadari jalanan di sekitar mobil yang mengarah ke pusat kota. 

“Kita harus menjemput Alicia,” jawab Mikail datar.

“Rumah sakit?” tanya Megan lagi, kemudian teringat Nicholas.

Mikail yang menyadari nada penuh antusias Megan pun memutar kepalanya ke arah wanita itu. “Kenapa? Kau ingin memberi tahu Nicholas tentang kabar bahagia ini?”

Raut wajah Megan seketika membeku. Teringat akan segala ketulusan Nicholas.

“Setelah mengorbankan nyawa untukmu, kau seharusnya memperkirakan luka hatinya jika sekarang kau datang menemuinya, Megan.”

Hati Megan benar-benar terasa seperti di cengkeram. Tak sampai hati membiarkan Nicholas tahu tentang keputusannya yang lebih memilih Mikail ketimbang pria itu.

“Mikail.” Megan kembali menatap Mikail.

Mikail sendiri yang tak menjawab panggilan tersebut hanya memutar wajahnya ke arah wanita itu. Dan seketika menangkap permohonan yang melapisi kedua mata wanita itu.

“Bisakah kau merahasiakan pernikahan ini dari Nicholas?”

Wajah Mikail seketika membeku. Oleh amarah yang menggaris kuat di gurat-gurat wajahnya. Dadanya membuncah, siap meluapkan amarah di dadanya pada Megan.

“Hanya satu kali ini. Dia … dia sudah menyelamatkan nyawaku dan aku tak sampai hati memberitahunya tentang hal ini.”

Mikail mendengus keras. “Kau berhutang nyawa lebih banyak dari yang kau miliki, Megan.”

Megan tahu itu.

“Bagaimana jika Nicholas menginginkanmu sebagai bayarannya?”

“Nicholas bukan seseorang yang seperti itu, Mikail.” Megan mengucapkannya dengan penuh keyakinan meski dalam hati jelas menyangsikan pernyataannya sendiri.

Mikail malah tertawa, hingga terbahak. “Apakah itu alasannya menawarkan hubungan denganmu agar kau bisa kembali ke kehidupan putraku? Karena ketulusannya?”

Megan mengedipkan matanya dua kali. Tak bisa menyangkal kalimat Mikail yang dipenuhi kesangsian. “Apa pun yang kau katakan, aku tahu dia benar- benar tulus padaku, Mikail.”

“Ya. Apa pun yang kau katakan.” Mikail mengibas- ngibaskan tangannya di depan wajah. Memasang raut mencemooh yang begitu kental, menyembunyikan kemarahan yang bergemuruh di dadanya. Beraninya wanita itu memuji ketulusan pria lain di depan hidungnya. Yang seolah melibas habis ketulusan- ketulusan yang pernah Mikail berikan pada wanita itu. Bertahun- tahun yang lalu.

Merasa sangat dongkol. Megan memutar tubuhnya menghadap ke jendela mobil. Sepanjang sisa perjalanan, Megan tak bersuara lagi. Dan Mikail pun juga ikut mempertahankan kesunyian di dalam mobil.

Kecepatan mobil mulai berkurang ketika mereka memasuki area rumah sakit. Pandangan Megan langsung menangkap Alicia dan Jelita yang berdiri di teras rumah sakit. Dan sebelum mobil benar-benar berhenti, Megan berkata, “Mikail, biarkan aku membereskan barang- barangku di apartemen sendirian. Aku akan pulang sendiri.”

Mikail tak sempat membalas kalimat Megan karena wanita itu terburu melompat keluar dari mobil. Kemudian memutari bagian belakang mobil dan langsung menghambur ke arah Jelita. Meninggalkan Mikail yang menyimpan kegeramannya dalam kepalan tangannya di atas pangkuan wanita itu. Sebelum kemudian menarik napasnya dalam- dalam demi mengurai amarah yang siap di luapkan pada wanita itu. 

“Hai, Megan?” Jelita tersenyum, langsung merangkul tubuh Megan. Sambil melihat Mikail yang melangkah keluar dari dalam mobil. Pria itu tersenyum tipis padanya dan Jelita membalas dengan anggukan hormat dan seulas senyum juga.

“Apakah semuanya baik-baik saja?” tanya Mikail yang langsung menghampiri Alicia.

“Bagaimana keadaan Alicia?” tanya Megan pada Jelita setengah berbisik. Bersamaan dengan Mikail. Dan keduanya pun saling pandang.

“Baik. Melegakan semuanya ternyata sangat baik- baik saja.” Ada nada sinis yang tersemat di antara nada suara Jelita. Melirik ke arah Alicia yang sekarang berdiri di samping Mikail. “Jadi … sekarang kalian sudah resmi menjadi pasangan suami istri?” tanyanya pada Megan dengan suara yang sama sekali tak ditahan tahan hingga terdengar oleh Alicia. Mengalihkan pembicaraan tentang kehamilan Alicia yang jelas baik-baik saja. Jelita pun terkesan berpura tak tahu bahwa wanita itu sedang ada di sana.

Megan mengangguk. Kemudian memberikan buket bunga di tangannya pada Jelita. “Ini untukmu.”

Jelita membelalak tak percaya, mengambil buket bunga tersebut dengan senyum semringah yang membelah wajahnya. Kemudian merangkul Megan begitu erat hingga membuat wanita itu sesak napas.

“Lepaskan, Jelita. Kau ingin membunuhku?” Megan mendorong tubuh Jelita menjauh. Hanya untuk mendapatkan hujan ciuman penuh terima kasih dari Managernya tersebut.

Alicia hanya terdiam menatap Megan dan Jelita yang saling berpelukan dengan penuh kebahagiaan itu. Melihat gaun pengantin dan buket bunga itu, juga kilau yang mengelilingi jari manis Megan. Lebih dari cukup sebagai bukti bahwa rencananya gagal total. Mikail sudah menikahi wanita itu.

Sungguh sialan. Sekarang wanita itu telah berhasil merebut posisi istimewa yang telah menjadi incarannya selama bertahun- tahun ini. Segala cara sudah ia lakukan demi menarik perhatian seorang Mikail Matteo. Kerapuhan, kelembutan, dan bahkan kelicikan. Alicia sudah melakukan semua itu, tetapi bahkan dengan segala cara itu, dirinya hanya berhasil mendapatkan belas kasih pria itu.

Dan sekarang lihatlah, masa lalu yang sudah membuang dan mencampakkan Mikail datang kembali ke hidup pria itu. Menghancurkan segala pencapaian yang sudah mati-matian ia susun. Satu per satu. Dengan penuh kematangan. Hanya untuk di sia-siakan seperti ini.

Baiklah, jika ini yang diinginkan oleh wanita itu. Alicia akan membuat wanita itu mengerti. Posisi wanita itu yang sebenarnya di sisi Mikail.

“Apa yang di katakan oleh dokter?” Pertanyaan Mikail membangunkan Alicia dari lamunannya.

Wanita itu menoleh dan menjawab dengan senyuman, “Tidak ada yang serius. Hanya kontraksi palsu.” 

Mikail hanya manggut- manggut.

Alicia kemudian maju ke arah Megan, mengulurkan tangannya pada wanita itu. “Maaf terlambat mengucapkannya. Selamat untuk pernikahan kalian.”

Megan dan Jelita saling pandang, dan Megan membalas uluran tangan tersebut. “Terima kasih, Alicia.”

Alicia dan Mikail pun pulang lebih dulu, sedangkan Jelita terpaksa menemani Megan yang bersikeras ingin melihat keadaan Nicholas. Dan bantuan yang di inginkan Megan kali ini tidak tanggung- tanggung, wanita itu menukar pakaiannya dengan gaun perngantin yang di pakainya.

“Ini benar- benar konyol, Megan.” Jelita mematut dirinya di depan cermin wastafel. Di tambah buket bunga yang diberikan oleh Megan, jelas ia menjadi pengantin tanpa pasangan.

“Aku akan kembali dengan cepat. Aku pergi sekarang.” Megan setengah berlari keluar toilet. Dan dengan sedikit petunjuk dari resepsionis, Megan menemukan ruang perawatan Nicholas dengan cepat.

Megan mengetuk pintu di hadapannya dan mendorongnya terbuka. Saat ia melangkah masuk, sepasang paruh baya tengah berdiri di samping ranjang pasien. Dan pandangannya seketika bertemu dengan Nicholas. Yang berbaring dengan perban menempal di kepala, lengan , dan …

Plaakkkk… satu tamparan mendarat di pipi Megan. Kepala wanita itu berputar ke samping dengan gerakan yang keras. Ia masih sibuk mengamati luka di tubuh Nicholas hingga tak menyadari seorang wanita paruh baya yang datang ke arahnya dengan raut dipenuhi amarah.

“Megan Ailee, kan?” Dengusan mengejek itu begitu kental, dengan kemarahan dan kebencian yang bercampur jadi satu.

Telapak tangan Megan menyentuh pipinya yang serasa dibakar oleh tamparan tersebut. Dan ia yakin seluruh wajahnya memerah.

“Beraninya kau datang ke sini? Setelah apa yang kau lakukan pada putraku? Lihatlah, kau menghancurkan hidupnya.” Wanita paruh baya itu menunjuk ke arah kaki Nicholas yang dipasang gips. “Keluar kau!” 

Tangisan Megan jatuh, membanjiri seluruh wajah wanita itu. Dan hanya rentetan kalimat maaflah satu- satunya kata yang keluar dari mulutnya yang bergetar oleh isak tangis.

Megan hanya bisa menerima segala makian yang dilontarkan mama Nicholas padanya. Sedangkan Nicholas, pria itu membuang wajahnya. Dengan ekspresi datar dan tanpa emosi, satu- satunya hal yang di dengarnya hanyalah permohonan maaf Megan. Yang sama sekali tidak memperbaiki apa pun. Tidak mengembalikan apa pun.

Langkah Megan terseok di sepanjang lorong. Kaki Nicholas patah dan pria itu tak akan bisa menggunakan kakinya dengan normal selama berbulan-bulan. Rasa bersalah memenuhi dada Megan hingga terasa begitu sesak. Dan ia benar- benar tak tahu apa yang akan dilakukannya. Kenapa semuanya menjadi begitu rumit sekarang.

*** 

Megan kembali ke apartemennya ketika hari sudah menjelang malam. Ia langsung membersihkan diri dan mengemas semua pakaian- pakaiannya ke dalam koper karena Mikail sudah memperingatkan kalau seseorang akan membawakan barang- barangnya esok pagi- pagi sekali.

Megan sudah memprotes kenapa begitu terburu. Tetapi lagi- lagi alasan yang di gunakan oleh Mikail tak bisa wanita itu tolak. Kiano. Seolah pria itu memang tahu kelemahannya.

Jelita datang di tengah-tengah kesibukannya. Menatap sebagian koper- koper yang sudah penuh. Tetapi lebih banyak barang yang belum di masukkannya. Dan … ada satu hal yang belum di bicarakannya dengan wanita itu. Yang seperti sudah Megan perkirakan reaksi wanita itu.

Kedua mata membelalak lebar dan melotot sempurna kepadanya. Menyemburkan kalimat penuh keterkejutan.

“Apa? Kau akan berhenti?” Mata Jelita benar-benar nyaris melompat keluar. Menghampiri Megan yang tengah mengeluarkan beberapa pakaian dari dalam lemari. “Kenapa kau harus berhenti?”

“Aku harus melakukannya.”

“Karena Mikail?”

Megan tak menjawab.

“Seharusnya kau mempertimbangkan keputusanmu menikah dengannya, Megan.

“Kau tahu dengan siapa kita berurusan. Mikail Matteo.” Kedua pundak Megan turun. “Aku tak menyesali keputusanku, Jelita. Aku tak menyukainya, tapi… aku yakin Mikail lebih tahu apa yang diinginkan Kiano dariku. Aku hanya perlu menurutinya, kan?”

Mulut Jelita kembali terkatup. Menatap dalam-dalam keputusan yang bulat di kedua mata Megan meski wanita itu tak menyukainya. Seolah kaki dan tangan wanita itu dipatahkan, tetapi hanya itu satu-satunya cara wanita itu bisa kembali hidup. Pandangan Jelita turun, menatap beberapa saat perban yang masih melilit pergelangan tangan Megan. “Aku akan mengurusnya.”

“Terima kasih, Jelita.”

 

36. Menjemput Megan

 

Pagi-pagi sekali, mobil suruhan Mikail sudah menunggu di depan lobi gedung apartemennya. Jelita mengantarnya sampai di teras gedung. Memeluk dan memastikan semua urusan apartemen berada di tangannya.

“Aku akan menghubungimu dalam waktu dekat mengenai semua kontrak dan berbicara dengan …”

“Aku sudah mengurusnya.” Suara Mikail menyela di antara permbicaran kedua wanita itu. Megan dan Jelita menoleh, dan terkejut menemukan Mikail yang melangkah keluar dari dalam mobil. Melangkah menghampiri mereka.

Megan dan Jelita terpaku dengan kemunculan pria itu yang begitu tiba-tiba. Dan sengaja muncul hanya untuk mengejutkan keduanya.

“Apa yang kau lakukan di sini, Mikail?”

“Tentu saja untuk memastikanmu tidak melarikan diri.”

Jawaban Mikail memang disengaja untuk membuat Megan jengkel. “Aku adadi sini, kan? Dengan semua barang-barang kebutuhanku.”

“Tidak semuanya,” koreksi Mikail. Yang tentu saja menghitung berapa banyak koper yang dibawa Megan. “Aku sudah mengatakan akan mengurusnya, Megan.” Tangan Mikail terangkat. Memberikan isyarat pada seseorang.

Megan dan Jelita menoleh ketika muncul orang lain dari dalam salah satu di antara ketiha mobil yang terparkir di halaman gedung. Pria berambut setengah panjang yang disisir rapi ke belakang, mengenakan setelan merah maroon yang begitu mencolok, dengan sepatu hitam mengkilat dan tas hitam di tangan kanan. Pria itu berhenti di hadapan ketiganya.

“Perkenalkan, dia adalah Mike Nilson. Yang akan mengurus pemutusan kontrak apartemenmu.”

“A-apa maksudmu, Mikail?” Kedua mata Megan melebar tak mengerti, menatap Mikail dan pria bernama Mike tersebut dengan penuh tanda tanya.

“Aku sudah bicara dengan pemilik unit apartemenmu. Meski sejujurnya tak perlu, karena ini gedungku. Mulai hari ini, kau tak berhak menginjakkan kakimu di apartemen ini. Ganti rugi kesepakatan kontrak, Mike akan bicara dengan Jelita. Karena managermu yang mengurus semuanya. Juga pembatalan semua kontrak kerjamu, aku yang akan membayar biaya pinaltinya.”

Mulut Megan membulat, tercengang akan kaki Mikail yang sudah menginjak-injak kehidupan Megan bahkan sebelum mereka sah menjadi suami istri dalam waktu 24 jam. “M-mikail…”

Mikail mengangkat tangannya. “Kau ingat …”

“Bahwa semua urusanku biarkan kau yang mengurusnya, aku ingat.” Megan melanjutkan dengan nada yang dibuat sejengah mungkin dan tak sungkan-sungkan menampilkan kejengkelannya. “Kau tak bisa …”

“Aku bisa, Megan,” tandas Mikail penuh penegasan. “Dan aku sudah melakukannya.”

Mulut Megan terkatup rapat. Memilih diam akan sikap dominan Mikail, yang terasa begitu familiar. Tatapan pria itu menguncinya lekat-lekat dan Megan tak lagi mengucapkan sepatah kata pun. Keduanya saling bertatapan selama beberapa saat, membuat Mike dan Jelita merasakan ketegangan udara di antara pasangan baru tersebut memilih ikut membungkam.

“Sekarang masuklah ke dalam mobil, Megan. Biarkan aku menyelesaikan semuanya.”

“Ya. Lakukan saja apa pun yang kau inginkan, Mikail.” Megan benar-benar tak mampu menahan semburan emosinya meluap menyelimuti kata-kata yanga tepat di depan wajha Mikail. Kemudian wanita itu berjalan melewati Mikail, sengaja menabrakkan pundaknya di lengan Mikail dan berjalan menuju mobil yang pintunya sudah dibukakan sopir pria itu untuknya.

Megan membanting pantatnya di jok belakang, menggigit bibir bagian dalamnya dengan keras menahan kedongkolan hatinya. Ia benar-benar merasa lemah dan tak berdaya. Terasa dikekang dan bahkan cara bernapas pun harus sesuatu dengan peraturan Mikail. Ia benci merasa tersudut seperti ini. Mengingatkannya akan masa-masa kelamnya di masa lalu.

‘Aku tak suka kau memotong rambutmu, Megan.’

‘Jangan kenakan pakaian itu lagi, Megan.’

‘Warna lipstikmu terlalu mencolok dan aku tak menyukainya.’

‘Kenapa kau mengganti parfummu, Megan.’

Kata-kata itu selalu terngiang di benaknya. Dan satu-satunya cara untuk mematahkan semua ingatan itu hanyalah dengan bekerja sebagai model. Ia tahu Mikail sangat membenci pekerjaannya tersebut. Yang bisa ia dapatkan setelah mereka bercerai.

“Apa kau sudah mulai memahami pernikahan kita dengan baik, Megan?” Mikail duduk di samping Megan sambil menutup pintu mobil dan mobil langsung melaju meninggalkan halaman gedung aparteman. Yang –sepertinya- tak akan akan pernah Megan injak lagi.

Megan enggan menjawab meski jawabannya ada di ujung lidahnya.

“Aku bertanya padamu, Megan. Apa kau bisu?”

Megan tetap bergeming.

Membuat Mikail geram dan menangkap lengan atas Megan lalu memutar tubuh wanita itu sehingga menghadap ke arahnya. Memberikan seluruh perhatian wanita itu padanya.

Megan menyentakkan tangannya dengan keras, hanya untuk mendapatkan cengkeraman yang lebih kuat dari Mikai. “Aku tak perlu memahami semuanya, Mikail. Kau mendapatkan apa pun yang kau inginkan, apakah semua itu masih belum cukup?”

“Jangan terlihat begitu menderita dengan kesepakatan ini, Megan. Sejak awal kau sudah setuju dengan semua ini,” tegas Mikail dengan bibir yang nyaris tak bergerak.

“Ya, itulah sebabnya sekarang aku memilih diam. Kau puas?” Megan sengaja mengangkat dagunya, kedua matanya menajam. Tak kalah tajamnya dengan tatapan menusuk Mikail kepadanya.

Mikail sendiri merasa dongkol dengan penentangan Megan tersebut. Tetapi memutuskan untuk menghentikan perdebatan tersebut. Cengkeramannya melonggar dan Megan menarik lengannya dengan gerakan yang kasar kemudian memutar tubuh dan memunggunginya. Pandangannya turun ke arah lengan wanita itu yang memerah, menciptakan rasa bersalah. Namun, tak mengatakan apa pun dan mempertahankan keheningan di sepanjang perjalanan hingga sampai di kediamannya.

*** 

Kedua mata Megan menyipit ketika mobil sampai di kediaman Mikail. Semua yang ia lihat, masih sama seperti ketika terakhir kali ia menginjakkan kaki di rumah ini. Kediaman rumah Mikail adalah bangunan berlantai empat dengan taman bunga yang mengeliling air mancur di tengah. Semua terawat dan masih terasa begitu familiar. Sekaligus menciptakan perasaan tak nyaman yang merambat di dadanya. Yang sulit untuk dijelaskan. Seolah dia kembali masuk ke dalam sangkar emasnya.

Dan semua pengamatan Megan terhenti ketika pandangannya menangkap sosok Alicia yang berdiri di teras bersama Kiano.

“Dia tinggal di rumahmu?” Pertanyaan Megan keluar begitu saja tanpa wanita itu sadarai.

Mikail tak menjawab, pandangannya luruh mengarah ke bagian dengap mobil.

“Kenapa kau tidak menikahinya, Mikail? Dia tinggal di rumahmu dan sedang mengandung anakmu. Apakah kalian …”

Raut wajah Mikail berubah datar dan dingin saat menoleh ke arah Megan dengan tatapan tajamnya. Memenggal kalimat Megan dengan dingin. “Jangan mengatakan apa pun yang tidak kau ketahui, Megan. Aku tak suka kau menerka-nerka sesuatu yang tidak kau ketahui dengan benar tentangku. Apa kau mengerti?”

Megan tersentak dan terpaku dengan reaksi Mikailyang dirasa berlebihan. Dan tak bisa menentukan apakah pria itu tersinggung dengan pertanyaan pertama ataukah keduanya. Megan menutup mulutnya, memilih mengalihkan perhatiannya kepada Kiano yang tampak tak sabaran menyambut kedatangannya. Seolah sudah tahu mobil mana yang ia tumpangi. Kejengkelannya segera teralihkan hanya dengan menatap wajah mungil putranya tersebut. Tangannya bergerak menyentuh pintu mobil bahkan sebelum mobil berhenti di teras rumah.

“Kau belum menjawab pertanyaanku, Megan?” tegas Mikail menahan lengan Megan yang lain.

Megan menoleh, menatap kesal wajah Mikail dan tak ada pilihan selain memberikan anggukan sebagai jawaban dari pertanyaan pria itu.

“Tak ada siapa pun yang tahu tentang kesepakatan sebenarnya pernikahan kita, Megan. Bersikaplah seperti seharusnya seorang istri dan ibu bersikap.”

“Hanya di rumah ini, kan?”

Mikail tampak tak setuju.

“Sampai keadaan Nicholas benar-benar pulih, aku tak ingin siapa pun tahu tentang pernikahan ini, Mikail.”

“Aku tak mengatakan setuju dengan keinginanmu ini.”

Raut wajah Megan seketika berubah. Tampak keras kepala sekaligus diselimuti permohonan. “Kau menyembunyikan pernikahan ini, Mikail. Dari keluarga besarmu. Karena kau tak sanggup menghadapi rasa malu akan diriku yang kembali mencoreng wajahmu. Mereka semua membenciku. Kau tak perlu menambah alasan bagi mereka untuk semakin membenciku.”

Kening Mikail berkerut, mencerna kata-kata Megan dengan cermat dan tampak tak memahami kalimat wanita itu. Sejujurnya, alasannya menyembunyikan pernikahan mereka adalah karena ingin pernikahan mereka menjadi acara yang pribadi dan lebih khidmat. Mempersembahkan pernikahan tersebut untuk Kiano. Tak perlu diumbar-umbar di hadapan umum sehingga keintiman dalam pernikahan tersebut berkurang.

“Aku tahu kau setuju dengan keinginanku yang satu ini, Mikail. Demi menjaga wajahmu.”

Mikail tak mengatakan apa pun.

“Aku bahkan kesulitan menentukan jawaban akan pertanyaanku sendiri.” Pandangan Megan beralih ke arah luar mobil. Yang kecepatannya mulai berkurang ketika semakin dekat ke teras rumah. “Apakah dia mengalami kesulitan berhadapan dengan keluarga besarmu karena memiliki ibu kandung sepertiku?” Suara Megan meluruh dan dipenuhi emosi yang begitu dalam. Kepedihan yang begitu kental menyelimuti suara wanita itu.

Hati Mikail pun dibuat terenyuh dengan pertanyaan tersebut. Tentu saja ia memastikan hal tersebut tidak dialami oleh putranya. Itulah sebabanya tak ada yang berani menyinggung tentang masa lalunya dengan Megan. Di hadapannya, apalagi di hadapan Kiano. Kecuali mereka cukup bodoh dan sengaja mencari masalah dengannya. Mikail akan memastikan mulut mereka tak lagi berani membuka mulut di hadapannya.

Mobil berhenti tepat di teras rumah dan Kiano melepaskan pegangan tangannya dari Alicia. Menuruni anak tangga dengan penuh antusias ketika menghampiri mobil yang ditumpangi oleh Megan dan Mikail.

Megan pun tak membiarkan satu detiknya pun untuk terbuang dan membuka pintu mobil. Kedua lengannya langsung terbuka ketika bocah mungil tersebut menghambur ke arahnya.

“Yeayy, Mama datang.”

Megan mengangkat bocah kecil tersebut ke dalam gendongannya. Memeluk putranya erat-erat. Senyum berbinar di seluruh permukaan wajahya dan kebahagiaan di dadanya meluap-luap melihat keantusiasan Kiano dengan kedatangannya. Melepaskan rindu yang seolah –olah sudah menggunung padahal baru kemarin mereka bertemu.

Kiano mengalungkan kedua lengannya di leher Megan, mendaratkan kecupan di pipi kanan dan kiri sang mama dengan penuh kegirangan. “Kiano benar-benar merindukan Mama. Apakah mulai sekarang kita akan tinggal di rumah ini?”

Megan mengangguk, membalas kecupan Kiano dengan ciuman di seluruh wajah bocah mungil tersebut dengan gemas.

Interaksi ibu dan anak itu pun tak lolos dari pengamatan Mikail yang menuruni mobil. Dan tanpa sadar, senyum tersemat di antara celah bibir pria itu. Yang membuat hati Alicia direndam kecemburuan. Menatap Mikai, Megan dan Kiano di hadapannya. Mereka tampak menjadi keluarga kecil yang bahagia. Yang seharusnya menjadi miliknya, batin Alicia dalam hati.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Keydo 1
2
0
Keydo terkekeh geli. Baiklah, kau yang minta.Finar bergeming. Matanya membulat. Cukup lama memikirkan apa maksud kalimat Keydo. Kemudian ia kembali berusaha memberontak. Menarik tubuhnya dari dekapan Keydo. Berusaha berteriak, Finar menarik nafas dan membuka mulutnya. Namun, saat itu juga Finar merasakan tangan kokoh Keydo kembali membekapnya. Masih mencoba menggerakan tangan untuk memberontak, ketika sekali lagi tangan kuat Keydo menahannya. Tenaganya yang tak cukup besar membuat Finar semakin terhimpit. Semua gerak tak karuannya malah memperburuk keadaan.Finar merasakan tangan Keydo yang menutup mulut dan hidungnya dengan sebuah kain kecil berbau obat yang sangat menusuk indera penciumannya. Tak lama nafasnya mulai terasa sesak, kepalanya berputar, dan degup jantungnya yang tak karuan perlahan mulai mereda. Tak lama kemudian, kesadarannya pelan-pelan menghilang. Tergantikan rasa kantuk yang dalam dan pekat.Keydo segera menangkap tubuh Finar yang lunglai dan hampir terjatuh karena tak sadarkan diri. Menyelipkan lengan di belakang lutut wanita itu dan menggendongnya berjalan melewati jalanan yang sepi dan remang-remang.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan