
Part 6 Kerepotan Lainnya
“Apa yang terjadi?” Dirga bertanya dengan suara dingin dan datarnya pada dokter yang baru saja keluar dari ruang tindakan.
Dokter muda itu memasang raut tanya yang jelas. “Apakah Anda walinya?”
Dirga sedikit kesulitan menjawab. Ya, umurnya dan Davina terpaut 15 tahun. Ditambah tubuh gadis itu yang kecil yang membuat Davina terlihat seperti pelajar. Padahal sudah jelas gadis itu sudah cukup umur untuk ditidurinya. Kecurigaan dalam pandangan dokter tersebut tentu saja membuatnya kesal, dan menjawab dengan kesal. “Ya, aku walinya.”
“Anda siapanya pasien?” Kali ini tatapan pria itu tampak mengamati.
Dirga tentu saja tahu apa yang dipikirkan oleh dokter muda itu. Terlalu muda untuk jadi ayah dan terlalu dewasa untuk dijadikan kekasih. Dan lagi, Davina juga terlalu muda untuk seorang istri.
Dirga menggeram rendah dengan tatapan mengancam yang tersorot di kedua mata. “Kenapa itu menjadi urusanmu?”
“Kami tidak bisa memberikan informasi …”
“Aku yang membawanya ke rumah sakit. Aku yang bertanggung jawab atas nyawanya. Dia adalah keponakanku.” Kemarahan Dirga tampak jelas dalam setiap kata yang diucapkannya. Kebohongan keluar tanpa keraguan sedikit pun. Ya, ia tak mungkin mengakui Davina sebagai anaknya atau kekasihnya, kan? “Jadi, katakan padaku apa yang terjadi dengannya?”
Dokter itu masih tampak mempertimbangkan. Tetapi memutuskan menurut atau ia akan terlibat dalam masalah yang lebih serius melihat emosi Dirga yang siap meluap. “Pasien mengalami pendarahan dan membutuhkan donor darah. Juga janin dalam kandungannya tak terselamatkan.”
Seluruh tubuh Dirga menegang. Janin? Tak terselamatkan? Jadi gadis itu hamil? Dan beraninya menyembunyikan hal ini di belakangnya. Kemarahan di wajah Dirga semakin menggelap. Rahangnya mengeras dengam geraham yang bergemeletuk. Sekaligus tak tahu bagaimana harus menghadapi situasi sialan ini.
Tetapi kemudian ia teringat apa yang dikatakan oleh pelayannya. Galena memaksa Davina menelan sesuatu. “Apa penyebabnya?” Bibirnya nyaris tak bergerak, suara yang keluar pun disleimuti ketenangan meski terdengar seperti akan menelan dokter itu hidup-hiduo.
Dokter muda tersebut tampak terdiam untuk sejenak. “Keponakan Anda minum obat penggugur kandungan. Dan dosisnya terlalu besar. Jadi …”
Dirga menggeram, tak butuh mendengarkan lebih banyak. Kemurkaan yang meluap-luap memenuhi dadanya, naik ke ubun-ubun. Jadi Galena sudah tahu Davina hamil dan memutuskan membunuh darah dagingnya? Begitu?
Tak hanya lancang, wanita itu rupanya menantangnya?
***
Dirga hanya duduk tertegun di sofa panjang. Pandangannya mengarah pada ranjang pasien yang ada di seberang ruangan. Davina berbaring di atasnya, dengan mata yang masih terpejam dan wajah yang pucat. Ada luka robek di ujung bibir gadis itu, juga rahang yang memerah dan bekas kuku yang menancap dalam di pipi. Ia tahu bekas luka apa pun itu yang ada di wajah Davina. Tamparan dan cengkeram. Ditambah kuku Galena yang panjang, bekas itu jadi tampak jelas. Dan ia memahami tatapan kecurigaan yang dilayangkan sang dokter ketika melihatnya.
Erangan pelan terdengar dari Davina. Kening Dirga berkerut dan melihat kelopak mata Davina yang bergerak-gerak dengan perlahan. Begitu terbuka sepenuhnya, pandangan gadis itu beredar ke seluruh ruangan dan langsung bertatapan dengannya.
Dirga mendengus tipis ketika Davina terkesiap pelan dan hendak bangun terduduk, tetapi mengerang ketika merasakan kesakitan di daerah perut.
“Dokter menyuruhmu jangan banyak bergerak. Rahimmu sedang bermasalah.”
Ada keterkejutan di wajah gadis itu yang polos. Ck, selalu terlihat rapuh, lemah, dan polos. Ya, hanya itu senjata Davina, kan? Bangkit berdiri, Dirga melangkah dengan perlahan mendekat dan berhenti di samping ranjang pasien. “Adakah yang ingin kau jelaskan padaku?"
Bibir Davina bergetar dan menjadi semakin pucat. Seperti tikus kecil yang terpojok, hanya saja bahkan gadis itu tak akan berani mencicit. Karena ia tak suka cicitan dan gadis itu tahu.
Tangan Davina bergerak pelan ke perut. Rahimnya sedang bermasalah. Lalu, apakah janinnya masih hidup atau …
“Mendadak bisu, hah?”
Davina masih membungkam. Tak yakin apa yang ingin didengarkan oleh sang tuan. Tentang kehamilannya atau tentang apa yang dilakukan Galena padanya. “A-apa saja yang dikatakan oleh dokter?”
“Kau belum menjawab pertanyaanku.”
Davina kembali menutup mulut. Mencoba mengamati raut sang tuan. Apakah marah kehamilannya atau karena ia tak memberitahu tentang kehamilannya? Tetapi Davina jelas tak bisa membaca ekspresi Dirga selain bongkahan gunung es di kedua mata pria itu setiap kali menatapnya. Yang kadang bisa menjadi seperti kobaran abi ketika marah padanya. Selain kedua hal itu, tak ada ekspresi apa pun yang ada di sana.
“Jadi sejak awal kau memang tahu dirimu sedang hamil?” dengus Dirga.
“Kupikir kau tak akan suka mendengarnya. Jadi …”
“Dengan lancangnya kau mencoba menyembunyikannya dariku, begitu?”
Davina merapatkan mulut. Merasakan kemarahan yang mulai menyelimuti wajah Dirga. Pria itu kemudian mengulurkan tangan, menyentuhkan ujung jemari di bekas kuku Galena di pipi, juga luka di ujung bibir sebelum mencengkeram wajah Davina. Kuat meski tak cukup untuk membuat gadis itu merintih. Lalu ia membungkuk dan mulai memangkas jarak di antara wajah mereka.
“Kau tahu hanya aku yang berhak merendahkan dan menyiksamu, kan? Dan kau membiarkan orang lain memperlakukanmu seperti ini?” Ada kemarahan yang berkilat di kedua mata Dirga yang berhasil membuat bibir Davina bergetar.
“M-maaf.”
“Apakah itu akan mengembalikan semua kerepotan yang sudah kulakukan untukmu? Apa kau tahu berapa banyak kerepotan yang sudah kulakukan untukmu? Berapa banyak darah yang harus kuberikan untukmu karena rumah sakit kehabisan stok darah?”
Davina kembali merapatkan bibirnya. Kedua matanya mulai memanas dan air mata merebak di kedua kelopak matanya. Oleh ketakutan yang selalu tak sanggup dihadapinya ketika berhadapan dengan sang tuan.
Bibir Dirga menipis, menyentakkan wajah Davina dan menegakkan punggungnya kembali. “Ck,” decaknya pelan ketik gadis itu mulai terisak. Meski ia yakin gadis itu hanya sengaja melebih-lebihkan, tetap saja mengingat kondisi Davina yang lemah membuatnya menahan diri. Kali ini Dirga membiarkan gadis itu meratapi kesedihan tersebut. Sebelum kemudia melangkah ke arah pintu.
Tepat ketika Dirga menutup pintu ruang perawatan di belakangnya, Clay muncul di ujung lorong. Langsung menemukan keberadaannya dan melangkah lebih cepat.
“Apa yang terjadi?” tanya Clay.
Dirga terdiam. Kekhawatiran Clay terlalu jelas, membuatnya menjadi lebih kesal pada pria itu.
“Kudengar Davina masuk ke rumah sakit karena keguguran. Dia hamil?”
Dirga tak menjawab. “Bukankah bagus jika anak itu lenyap juga?”
“Kau yakin?” Tatapan Clay lebih dalam. “Lalu kenapa wajahmu terlihat begitu gusar?”
Dirga tak langsung menjawab. “Aku hanya kesal dia membiarkan Galena melecehkannya.”
“Ya, melihat dia hanya pelayan dan meski lancang, Galena sang calon tuan rumah, kau pikir dia akan berani melawan?”
Dirga menatap Clay lebih tajam, kata-kata Clay terkesan membela Davina. Ya, pria itu sempat menyangsikan hukuman yang ia pilih ketika menyelamatkan Davina hari itu. Setelahnya pun Clay tak pernah berkomentar apa pun. “Apa yang sebenarnya ingin kau katakan?”
“Jika hanya merasa bosan, sebaiknya kau pikirkan lagi, Dirga. Dia tak ada sangkut pautnya.”
Mata Dirga menyipit, “Kau salah besar. Kesalahan terbesarnya adalah menjadi anak Jimi.”
Clay pun mengatupkan bibirnya. “Oke. Segala hal tentang dia memang salah, kan? Bahkan cara dia bernapas.”
“Kenapa itu terdengar seperti sindiran?”
“Apa sekarang kau mendadak jadi sensitif?”
Dirga terdiam, begitu pun dengan Clay. “Kau dipecat.”
Clay hanya memutar kedua bola matanya. “Oke. Aku akan memeriksa keadaan pelayanmu. Dan … ada setumpuk laporan yang kutinggalkan di mobilmu. Lebih banyak tumpukan hal yang harus kau tanggung setelah kau melempar Galena ke ayahnya.Ah, aku yang melakukannya. Dia terlalu lama mengemas barang-barangnya. Jadi aku membuangnya ke tempat sampah.”
Dirga terdiam dan Clay berjalan melewatinya, menghilang di balik pintu perawatan Davina masih dengan ketenangan yang membuatnya kesal.
Part 7 Menghilang
“Butuh bantuan?”
Kepala Davina masih terasa pusing ketika perawat datang untuk membawakan makan malam. Sejak tadi siang, hanya ada Clay yang duduk di sofa. Pria itu sama sekali tak bicara dan menyibukkan diri dengan beberapa panggilan dan ponsel. Dan itu pertama kalinya pria itu bicara padanya.
Davina menggeleng pelan, menahan rasa sakit yang masih tersisa untuk bangun terduduk. Mengambil nampan yang diletakkan di meja kecil, tetapi karena tubuhnya masih lemah dan tak banyak kekuatan yang masih tersisa, nampan itu hanya beberapa detik berada dalam genggamannya sebelum jatuh ke lantai.
Clay yang terduduk di sofa hanya mendengus tipis. “Tidak butuh bantuan dan hanya merepotkan saja, begitu?”
Davina tak mengatakan apa pun. Tertunduk malu.
“Inilah alasan Dirga begitu bersenang-senang denganmu. Kau sangat mudah dipermainkan dan sangat merepotkan. Membuat hidupnya yang membosankan jadi sedikit menyenangkan.” Clay bangkit berdiri dan melangkah mendekati ranjang pasien.
Ada kerutan yang tersamar di kening Davina, menelaah kata-kata Clay dan berpikir lebih dalam.
Tangan Clay terulur menyentuh dagu Davina dan sedikit mengangkatnya naik agar tatapan keduanya bertemu.
“Maaf.”
Clay malah terkekeh, semakin mendekatkan wajahnya ke wajah mungil Davina yang pucat. “Maaf? Ck, asal kau tahu, aku bukan orang yang pemaaf. Aku jelas tak lebih baik dari Dirga.”
Davina tak membalas lagi.
“Bagaimana denganmu? Apa kau bersenang-senang dengan hukumanmu?” bisik Clay lirih.
Mata Davina melebar akan pertanyaan Clay yang memang disengaja untuk melecehkan dirinya. Ia memang pelayan Dirga, pelacur Dirga, dan ia berusaha mengebaskan hati akan semua pelecehan tersebut. Akan tetapi, ia masih terkejut dan hatinya masih tercubit dengan keras. Wajahnya yang sudah pucat, tak bisa lebih pucat lagi.
“Kenapa? Kau tersinggung?”
Bibir Davina menipis. Terbiasa direndahkan oleh Dirga membuatnya mudah beradaptasi dengan pelecehan tersebut. Keduanya saling mengunci pandangan hingga cukup lama, menyelimuti keduanya dalam kesunyian.
“Apa yang sedang kalian lakukan?” Geraman dalam dari arah pintu membuat Clay memutus kontak mata lebih dulu. Melepaskan tangannya dari dagu Davina dan menegakkan punggung. Lalu menekan tombol di dinding di samping ranjang pasien.
“Seperti yang kau bilang, dia memang suka merepotkan orang lain.” Clay berbalik dan menjawab dengan penuh ketenangan.
Wajah Dirga mengeras, pandangannya turun ke arah lantai tempat nampan berisi makan malam Davina yang berserakan di sekitar kaki Clay. Lalu berjalan masuk dengan tatapan kecurigaan yang menusuk ke arah Davina dan Clay. Davina tampak tegang sementara Clay masih diselimuti ketenangan.
“Kau sudah selesai?” Clay bertanya lagi. “Kalau begitu aku pergi,” ucapnya melewati Dirga dan berjalan ke arah pintu sambil bersenandung lirih.
Davina menjilat bibirnya yang kering merasakan tatapan Dirga yang semakin menusuk. Tak tahan dengan tatapan pria itu yang semakin menelanjanginya, ia pun menundukkan wajahnya.
“Apa yang kalian bicarakan?” tanya Dirga.
Davina hanya memberikan satu gelengan.
“Bermain rahasia?”
Davina menggeleng lagi. Tetapi menangkap kemarahan dalam suara Dirga, ia pun menjawab lirih, “Dia hanya kesal karena aku menjatuhkan makananku.”
Mata Dirga menyipit, mencoba mencari kebohongan di raut wajah gadis itu. Meski terlihat polos dan seperti buku yang mudah dibacanya, tetap saja ia merasa ada sesuatu dari gadis ini yang tersembunyi rapi di belakang sana. Bersembunyi dengan sangat baik dan rapi hingga Dirga berpikir belum pernah ada kebohongan sehalus dan sepolos ini.
Selama sepuluh detik penuh keduanya hanya terdiam dalam kesenyapan. Masih tak bisa mempercayai ucapan dan raut gadis itu, tetapi memutuskan untuk membiarkannya dan mencari tahunya sendiri. Dengan cara yang lain.
Tak lama, dua perawat membawa nampan makan malam Davina yang baru dan membersihkan lantai.
Perawat memasang meja dan meletakkan nampan makanan Davina.
“Terima kasih,” ucapnya lirih pada perawat tersebut yang kemudian membantu temannya membersihkan lantai.
Tak sampai lima menit, dua perawat itu melangkah keluar. Meninggalkan Davina dan Dirga yang duduk di ujung ranjang, tak melepaskan pandangan dari Davina yang sibuk menandaskan isi perut.
Ada seringai yang tersamar di ujung bibir pria itu mengamati Davina yang menghabiskan isi piring dengan lahap.
Setelah selesai makan, ada kesenyapan yang dalam terbentang di antara keduanya. Davina mulai merasa canggung. Ia hanya bisa berbaring di atas ranjang tanpa melakukan apa pun. Dan ternyata situasi semacam ini membuat kecanggungannya semakin memadat.
Dengan sikap patuhnya, ia selalu memiliki kesibukan setiap kali bersama Dirga. Di atas ranjang atau membersihkan kamar, menyiapkan pakaian, menyiapkan makan dan menunggu sang tuan makan. Saat tak menginginkannya, Dirga hanya akan mengusirnya.
“Sejak kapan kau tahu?” Dirga memecah keheningan tersebut.
“Empat hari yang lalu,” jawab Davina lirih.
Dirga mencoba menghitung, teringat ketika Davina mengeluh sakit dan sikap buruknya pada gadis itu. Yang lagi-lagi tak mampu meluruhkan dendamnya terhadap ayah gadis itu. “Dan apa yang kau pikirkan?”
Davina tak menjawab. Ia sendiri tak tahu apa yang dipikirkannya ketika mengetahui kehamilan tersebut. Ia hanya merasa badannya sakit ketika teringat tamu bulanannya yang tak pernah datang sejak Dirga menyembuhkan kakinya sekitar satu bulan yang lalu.
“Kau berpikir aku tak akan menyukainya.”
Davina masih bergeming. Merasakan desisan tajam Dirga yang membuatnya menahan napas.
“Jadi kau hanya berusaha menyelesaikan masalah secara diam-diam begitu? Yang pada akhirnya juga menjadi tak diam-diam di belakangku.”
Davina tetap bergeming.
“Sekaran Galena sudah menyelesaikan masalahmu. Kau senang?”
Davina bahkan tak yakin apa yang harus dirasakannya saat ini. Senang, lega, atau merasa kehilangan? Karena sejujurnya ada sesuatu yang hilang dari dadanya menyadari bahwa janin di perutnya sudah terbunuh karena ketidak berdayaannya menghadapi situasi. Penyesalan dan rasa bersalah yang bercampur aduk memenuhi dadanya. Membuatnya ingin ikut mati saja sehingga semua penderitaan ini cepat berakhir.
Akan tetapi ia tahu semua itu tak akan berakhir dengan mudah. Dirga jelas akan membuatnya selamat hanya untuk menerima hukuman yang lebih besar.
“Diam berarti ya?”
“Lalu apa kau ingin meratapi nasibnya yang berakhir dengan tragis?”
Dirga membeku akan kesinisan yang melapisi suara lemah Davina. “Kau melawanku?”
Davina merapatkan mulutnya kembali. Menjawab senang atau tidak, jawabannya akan tetap salah di mata Dirga.
Ada dorongan untuk mengulurkan tangan dan mencengkeram rahang Davina, tetapi ketika melihat luka di ujung bibir gadis itu yang belum sembuh membuatnya menahan diri. “Tidurlah. Kau harus sembuh lebih cepat dan menerima hukuman atas mulutmu yang lancang itu.”
Davina menelah ludahnya dan dengan patuh membaringkan tubuhnya. Sementara Dirga teralihkan oleh panggilan dari ponsel pria itu. Melangkah mendekati jendela kamar.
“Ada apa?” desisnya tajam. Mendengarkan dengan seksama dan wajahnya seketika menegang. “Di mana?”
“Aku akan ke sana. Tunggu di basement.” Dirga menurunkan ponselnya dan melihat Davina yang mulai memejamkan mata. Ia pun beranjak menuju pintu dan keluar.
Mata Davina terbuka begitu pintu tertutup. Mendengarkan suara langkah Dirga yang semakin menjauh dan memastikan tak terdengar apa pun ketika bangun terduduk dan menyingkap selimut. Bibirnya meringis menahan rintihan ketika kedua kakinya menyentuh lantai. Perutnya masih sakit, tapi ia masih bisa menahannya.
'Saat dia ke basement, kau hanya punya waktu sepuluh menit untuk pergi ke pintu belakang rumah sakit. Aku meninggalkan tanda di dinding, mulai dari tangga darurat untuk turun satu lantai di bawah. D.'
Davina membaca kembali nota kecil yang berhasil diselipkan di balik mangkuk sup makan siangnya.
D. Davina tahu pria itu pasti akan menyelamatkannya. Harapan itulah yang membuatnya bertahan.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
