
Haloo. Kisah gemes Ayana dan Ibra telah dimulai. Ini berisi Bab 1 Sampai 5. Selamat membacaππ
BAB 1
TUMBUH BERSAMA
Dalam sebuah keluarga akan banyak kisah yang tercipta. Tak jarang dari sanalah kita merasakan kebahagiaan yang dibalut kehangatan, tapi tak jarang pula keluarga memberi kita luka dan trauma. Namun, dari semua rasa yang tercipta, tetaplah bersyukur karena kita terlahir dari keluarga manusia.
Dalam rumah sederhana di pinggir jalan di Desa Pelonco, seorang gadis yang sedang berkacak pinggang menjadi perhatian para pria penghuni rumah itu. Ayana Fazira, satu-satunya gadis yang ada dalam rumah itu terlihat kesal dengan ketiga kakak laki-lakinya.
"Bang Fahri, kan, yang ngambil sabun cuci muka Aya!" tuduh Aya sambil menunjuk kakak keduanya yang menggeleng dengan mulut yang penuh dengan mi.
"Nggak. Abang, kan, kalau mau minta punya kamu pasti bilang," sahut Fahri setelah menelan makanannya dengan susah payah.
"Pasti A--"
"Bukan Aa, kamu, kan, beli apa-apa pake duit Aa. Ngapain nyolong punya kamu?" tukas Fahmi saat mata cokelat milik sang adik menyorotnya penuh rasa curiga.
Aya meringis tipis, lalu membenarkan mimik wajahnya dengan yang semula marah. "Nggak salah lagi, pasti Bang Fazri. Iya, kan? Bang Fazri, kan, usil!" Kali ini sasarannya adalah kakak ketiganya.
Pria yang dituduh tanpa bukti itu hanya memutar bola matanya malas. Fazri dan Aya memang sering cekcok entah apa pun alasannya, pasti akan ada pertengkaran meski Fazri sebenarnya hanya gemas melihat adiknya menggerutu.
"Gue nggak ambil, udah nanti beli lagi. Berisik banget, sih, cuma sabun muka doang!" dengkus Fazri membuat Aya semakin kesal.
Bukan hanya tentang sabun wajahnya yang hilang, tapi Aya harus menunggu dua minggu untuk mendapat benda pembersih wajah yang sedang viral itu dan ia baru dua kali memakainya.
"Udah tanya Alan belum? Siapa tau dia yang pakai." Fahri bangun dari duduknya dan berjalan ke arah dapur untuk meletakkan piring kotor.
"Nggak mungkin, Alan nggak berani pakai barang aku tanpa izin." Aya duduk di sebelah Fazri dan mengambil camilan di tangan pria yang saat ini mendengkus kesal.
"Aya, ih. Bagi dua!"
"Nggak! Harus ngalah sama ade sendiri. Nggak boleh pelit!" balas Aya bangun dari sofa dan berjalan menuju kamar.
"Aya, tadi aku pinjem sabun cuci muka kamu. Nih!" Dengan santai, Alan yang baru keluar dari kamar mandi menyodorkan benda yang menjadi bibit keributan malam itu.
"Jadi lo yang ambil! Dasar saudara kembar ... Akhh!" Aya tanpa ampun memukul pundak Alan yang hanya meringis sambil kebingungan dan ketiga kakak laki-lakinya hanya menggeleng heran.
***
Paginya, seperti biasa Aya dan Alan akan menaiki sepeda dengan berboncengan menuju sekolah mereka. Sejak kecil mereka sudah terbiasa hidup sederhana. Jadi pulang pergi dengan kendaraan tanpa mesin itu sudah sangat biasa bagi mereka.
"Abah, Aya sama Alan berangkat!β seru Aya pada pria paruh baya yang sudah siap dengan sepatu boots dan topi khas pekerja kuli bangunan.
Faisal adalah duda beranak lima yang ditinggalkan sang istri tepat saat anak kembar mereka lahir. Saat ini usia si kembar Aya dan Alan menginjak lima belas tahun. Fazri anak ketiganya berusia sembilan belas tahun, sedangkan Fahmi dan Fahri hanya selisih satu tahun. Fahmi 25 tahun dan Fahri 24 tahun.
Memiliki banyak anak yang masih terbilang cukup kecil-kecil saat menjadi duda, membuat Faisal benar-benar harus pandai membagi waktu. Untungnya saat itu Fahmi--anak pertamanya sudah sepuluh tahun dan punya sifat pemimpin yang bisa diandalkan menjaga adik-adiknya saat ia bekerja di proyek.
Juga Fahri, sebenarnya hampir mirip dengan Fahmi yang telaten dalam merawat adiknya. Sedangkan Fazri memiliki sifat usil dan sedikit nakal dibanding yang lain.
"Fazri, kamu nggak sekolah?" tanya Faisal saat melihat anak kembarnya sudah melenggang ke luar rumah.
Fazri yang masih asyik menonton televisi, menoleh pada ayahnya. βIsh, Abah, aku itu udah lulus, kan, bulan kemarin tour perpisahan,β jawabnya sambil kembali menonton acara anime sedangkan sang ayah meringis mendengarnya.
"Aa Fahmi sama Bang Fahri di mana?"
"Nggak tau, tadi pagi-pagi banget mereka ke luar rumah."
Faisal mengangguk-angguk paham, lalu meraih tas yang biasa ia bawa saat bekerja. "Abah berangkat, ya. Tadi Abah udah masak nasi, ada telur di kulkas, jangan makan mi mulu!"
Fazri mengacungkan jempolnya tanpa mengalihkan pandangan dari layar datar di hadapannya.
Sementara itu, Aya yang terlihat memasang wajah kesal menghentikan Alan yang sedang mengayuh sepeda.
"Turun!" seru Aya yang sudah lebih dulu turun dari boncengan beralas kayu yang diberi busa empuk oleh sang ayah.
"Kamu mau apa, Ay?"
"Turun gue bilang. Gue aja yang jadi sopir!"
Alan tak banyak protes seperti biasa, ia lebih menuruti saudara kembarnya yang memang sangat gemar marah-marah.
"Masa balapan sama Kong Haji yang jalannya pake tongkat aja kalah!" gerutu Aya membuat Alan hanya meringis sambil duduk di boncengannya.
"Pegangan! Gue mau ngebut!" perintah gadis remaja itu dengan suara memerintah yang tak boleh dibantah.
Sementara Alan yang tak akan menolak langsung memeluk pinggang gadis mungil itu, lalu menempelkan pipi pada punggung saudara kembarnya.
"Letβs gooo!" seru Aya penuh semangat sambil mengayuh sepedanya dengan kekuatan maksimal, sedangkan Alan hanya menutup mata sambil terus merapalkan doa dalam hati agar ia selamat sampai sekolah nanti.
Aya sebenarnya dilarang membawa sepeda karena selain badannya yang terlihat mungil-- bahkan ia hanya sebatas pundak Alan--Gadis itu juga memiliki jiwa yang terlalu berani. Bahkan, Alan terkadang merasa takut dengan tindakan Aya.
Sesampainya di sekolah, Alan langsung mengambil alih sepeda dan memarkirkannya di dekat pos penjaga.
"Udah dateng, Lan?"
Alan menoleh pada pria berseragam putih. Di sana, Mang Ujang selaku satpam sekolah menyapa sambil membawa roti.
"Iya, Mang. Tadi Aya yang bawa sepedanya."
Ujang mengangguk paham. "Nih, mamang tadi beli roti banyak. Kasih juga buat Aya."
Alan tanpa banyak berkata mengambil pemberian pria yang sudah lima belas tahun bekerja menjaga keamanan sekolah. pria itu memang sering memberinya makanan, karena ternyata Mang Ujang--nama Satpam itu--adalah sahabat karib ayahnya.
"Makasih, Mang Ujang."
Ujang hanya tersenyum dan kembali ke pos jaga.
"Aya!" teriak Alan begitu melihat Aya.
Gadis yang ternyata menunggu di lorong sekolah, menoleh dan melambaikan tangan. "Lo parkirin sepeda di Arab! Lama banget!" ketusnya seperti biasa.
Alan tak menjawab dan memilih memberikan roti yang ia dapat. "Dari Mang Ujang," ujarnya saat melihat gadis mungil itu ingin bertanya.
Aya hanya mengangguk paham dan setelah itu mereka masuk ke kelas yang sama sambil sesekal mengobrol hal tak penting yang lebih didominasi oleh Aya.
***
Di sebuah rumah yang cukup mewah, seorang pemuda berusia 19 tahun sedang asyik menatap layar laptop yang menampilkan film action. Ibrandra Sabiru, pemuda tampan yang memiliki tubuh tinggi dengan senyum berlesung pipi itu adalah anak pertama dari pasangan Bayu dan Ajeng.
Keluarga itu memiliki dua orang putra, pertama Ibra dan kedua Alarik atau sering dipanggil Arik yang sekarang berusia dua belas tahun.
Keluarga mereka memang bukan keluarga konglomerat, tapi terbilang cukup kaya di kawasannya. Bayu memiliki beberapa toko baju di pasar yang berada di kota, sedangkan Ajeng mantan pengacara kondang sebelum memiliki anak. Wanita itu memilih berhenti dalam dunia hukum karena ingin fokus dengan keluarganya.
"Ibra, ada Fazri di bawah!β seru Ajeng.
Ibra yang masih asyik menonton film menoleh pada pintu kamar yang terbuka, menampilkan wanita dewasa yang memberitahu kalau sahabatnya sudah datang.
"Oh, iya, Mah. Aku turun." Pemuda itu menutup laptopnya dan meraih hoodie besar dalam lemari. Setelahnya bergegas menuruni anak tangga sebelum mendapati Fazri yang duduk sambil mengapit bola sepak di ketiaknya.
"Faz!" panggil Ibra setelah sampai.
Fazri menoleh dan bangun dari duduknya.
"Eh, mau berangkat sekarang." Ajeng yang membawa camilan serta minuman untuk sahabat anaknya, kembali berseru.
"Iya, Tan," jawab Fazri.
"Awas, ya, Ib. Jangan main bola dulu. Kaki kamu baru sembuh,β titah Ajeng tegas.
Ibra hanya mengangguk meski hatinya sedikit menyesal karena tak bisa ikut pertandingan sepak bola yang sebenarnya sudah lama ia nanti-nanti.
Tiga minggu lalu Ibra mengalami cedera saat latihan dan dokter menyarankan agar pemuda itu tak boleh berlarian karena pergelangan kakinya yang sedikit terkilir.
"Yuk, Ib. Buruan."
Ibra mengangguk dan berjalan keluar rumah, tapi sebelum benar-benar keluar suara bocah laki-laki terdengar memanggilnya.
"Mas Ibra, Arik ikut!" pekik Alarik yang sedang memegang mainan robot berbentuk dinosaurus.
Ibra dan Fazri menoleh bersamaan, tapi tak menjawab apa pun. Keduanya hanya menunggu Alarik yang berlari menuruni tangga.
"Udah bilang, kan, sama Mamah?" tanya Ibra yang hanya dijawab dengan anggukan oleh adiknya.
Saat keluar rumah, sudah ada Fahmi yang sepertinya ingin masuk rumah itu. Pria itu urung saat orang yang ia ingin ia temua sudah keluar dari rumah besar di depannya. Setelah itu mereka pergi ke tempat pertandingan sepak bola diadakan.
BAB 2
SUKA SEJAK DINI
Fahmi, pria berusia 25 tahun itu bekerja di salah satu konter HP di kawasan Kota Tangerang, kota tempat tinggalnya. Anak pertama dari pasangan Faisal dan Mina itu sudah sangat mandiri sejak kecil, tepatnya sejak sang ibu harus meregang nyawa di meja operasi karena berjuang melahirkan adik kembarnya. Fahmi jadi sosok kakak dengan sikap dewasa meski saat itu usianya baru menginjak sepuluh tahun.
Sedangkan Fahri yang hanya selisih satu tahun, juga ikut terbawa sifat tanggung jawab untuk menjaga adik-adiknya. Saat itu Fazri baru berusia empat tahun dan si bayi kembar yang baru lahir benar-benar membutuhkan perhatian ekstra dari ayahnya.
Faisal yang sejak remaja hidup sebatang kara, bahkan sempat depresi ringan saat ditinggalkan istrinya. Menjaga lima orang anak yang dua di antaranya masih bayi, membuat Faisal stress. Namun, saat melihat anak pertama dan keduanya begitu pengertian dengan keadaan saat itu, membuat ia sadar kalau apa pun masalahnya, keluarga tidak boleh diabaikan apalagi ditinggalkan. Lantas dari sanalah ia bangkit dan benar-benar fokus mengurus anak-anaknya, dibantu Fahmi dan Fahri yang bertugas menjaga Fazri, Aya, dan Alan selama ia bekerja sebagai kuli bangunan.
Bukan hanya tak mudah, bahkan berbagai kesulitan dihadapi oleh Faisal tanpa sosok istri. Menjaga dua bayi sekaligus, seperti menelan pil pahit tanpa bantuan air sama sekali. Ingin mereda rasa sakit, tapi harus melewati segala kepahitan dalam hidupnya.
Kini masa-masa sulit itu perlahan berlalu saat anak-anaknya beranjak dewasa. Fahmi yang hanya mengantongi ijazah SMA, saat ini bekerja di salah satu konter HP. Fahri yang juga hanya lulusan SMA sudah bekerja di salah satu perusahaan besar sebagai karyawan biasa.
Kedua anaknya itu memang tak berniat melanjutkan pendidikan, selain terkendala biaya mereka juga tak terlalu suka belajar.
"Ay, ay, Aya!"
Panggilan buru-buru itu membuat gadis yang memakai kaus kebesaran milik kakaknya, menoleh pada pemuda yang duduk di sofa. "Mau apa!" ketus Aya pada kakak ketiganya.
"Sini dulu, Ay!" Fazri kembali berseru.
Aya memicingkan mata curiga dan kegiatannya yang hendak pergi ke dapur harus urung karena rasa penasaran. Gadis tomboy itu duduk di sebalah kakaknya, lalu memasang wajah penasaran meski perasaan curiga makin menjadi-jadi. "Apaan sih, Bang?"
"Lu tau, nggak?" Fazri malah bertanya balik.
"Nggak taulah, kan, Bang Fazri belom kasih tau!" dengkus Aya membuat Fazri terkekeh gemas mendengar jawabannya.
"Gue kasih tau, ya, kalau sekarang kulit manggis ada ekstraknya."
Wajah penasaran Aya berganti merah padam karena kesal. "Bang Fazri!" teriaknya sambil memukul pria yang sekarang beranjak kabur dari sofa menuju kamar.
"Dasar abang bego. Nggak jelas!"
"Itu info penting, Ay." Masih dengan tawa menyebalkannya, Fazri menyembulkan kepala di daun pintu kamar dan kembali masuk saat gadis yang berhasil ia jahili melempar bantal sofa.
"Astaga, berisik banget, sih. Ada apa, Ay?"
Gadis yang masih meredam amarahnya menoleh ke arah pintu, lalu mendapati kakak keduanya yang baru pulang bekerja.
"Itu, tuh. Bang Fazri udah lulus sekolah tambah bego!" tukas Aya makin sewot.
"Hush, Ayana," tegur pria yang baru keluar dari arah dapur. Faisal yang baru selesai memasak lauk untuk keluarganya, hanya menggeleng samar dengan tingkah anak bontotnya.
"Tadi Aya mau bantuin Abah masak, tapi Bang Fazri malah ngerjain Aya!" Gadis itu bangun, beranjak ke arah dapur sambil terus menggerutu kesal.
"Lagian, setiap hari kena tipu mulu sama Fazri. Heran." Fahri yang sedang menenggak minuman dalam kulkas, kembali bersuara.
"Fahri, kamu udah makan belum? Abah masak cah kangkung."
Pria yang baru saja pulang bekerja itu menggantung kunci motornya di kapstok, lalu membuka jaket yang sedari tadi membungkus tubuh tingginya. "Nanti aja, Bah. Aku mau mandi dulu,β kata Fahri sebelum berjalan ke arah kamar mandi.
"Alan di mana, Ay?" Faisal menoleh pada anak gadisnya yang sudah siap dengan sepiring nasi beserta lauk di atasnya. Meski badannya mungil, tapi porsi makan Aya tak bisa dibilang mini.
"Tidur di kamar Aya, kayaknya Alan demam, Bah. Tadi di sekolah juga pucet,β jawab Aya sambil duduk di sofa depan layar televisi.
Faisal mengernyit, lalu tanpa banyak bertanya ia beranjak ke kamar anak perempuannya.
Dalam rumah itu, memang hanya Aya yang memiliki kamar sendiri. Fahri dan Fazri tidur satu kamar, sedangkan Fahmi bersama dengan Alan. Namun, terkadang Alan akan tidur bersama saudara kembarnya jika sedang tak enak badan seperti saat ini.
Aya yang sudah asyik menonton televisi sambil makan malam, menoleh ke arah pintu masuk lalu mendapati Fahmi yang juga baru pulang bekerja tampak lesu.
"Aa Fahmi! Jadi, kan, beli sepatu buat Aya?"
Fahmi yang bahkan baru melepas sepatunya, mendengkus pelan. Aya dan Alan memang selalu lari padanya jika meminta sesuatu. Terkadang juga bocah kembar itu merengek pada Fahri.
"Udah, nih. Ukurannya tiga puluh enam, kan?" Fahmi berikan paperbag berisi kotak sepatu baru pada adiknya yang sudah hampir dua Minggu ini merengek menginingat alas kaki itu.
Aya yang sudah selesai makan langsung berlari ke dapur dan mencuci tangannya, lantas kembali untuk melihat sepatu yang sudah ia inginkan sejak lama. "Wah, keren banget, A!" serunya girang.
"Alan di mana? Aa mau beliin takut ukuran kakinya nggak pas, kemarin aja kesempitan mulu." Fahmi kembali berseru sambil duduk di sofa. Kemudian, memperhatikan adik perempuannya yang begitu antusias mencoba benda baru itu.
"Alan sakit, A. Tuh, lagi di kamar Aya,β jawab Aya sekenanya.
Fahmi mengernyit. Tanpa bertanya lagi, ia berjalan ke kamar sang adik dan menemukan ayahnya sudah duduk di ujung kasur sambil mengusap punggung Alan yang berselimut tebal.
"Hih! Genit banget!"
Kepala Aya refleks memutar, menoleh pada pria yang beberapa waktu lalu membuat ia kesal kembali bersuara. Fazri mulai berjalan ke arah dapur untuk mengambil makan malamnya. Tak peduli dengan mata sang adik yang memicing sewot menatapnya.
"Besok gue sulap jadi hilang sepatunya," sambung Fazri setelah selesai mengambil makan malamnya, lalu berjalan menghampiri Aya yang makin kesal.
"Bang Fazri!" teriak Aya kesal.
"Fazriii!" Suara teguran dari dua pria yang berada di dalam kamar Aya membuat pemuda itu meringis, lalu diam sambil menikmati makan malamnya.
"Assalamualaikum." Terdengar suara seseorang dari arah pintu masuk.
Aya yang baru melepas sepatunya menoleh ke arah pintu. Ia menoleh ke asal suara dan melihat sahabat sekaligus tetangganya, berdiri tegap di sana.
"Eh, Mas Ibra. Walaikumsalam," jawab Aya sambil tersenyum malu-malu.
"Dih, sok, cantik lo!" celetuk Fazri membuat Aya mendengkus sewot. βMasuk, Ib. Gue makan dulu,β sambungnya santai.
Ibra terkekeh melihat ekspresi adik sahabatnya yang begitu jelas menyukainya. Lantas berjalan masuk ke rumah yang sudah sangat sering ia datangi. "Nggak belajar, Ay?" tanyanya sambil duduk di sofa, diikuti gadis yang terus tersenyum saat ia datang.
"Udah, Mas. Aya udah belajar sambil kerjain PR tadi." Aya menjawab dengan suara yang dibuat semanis gula.
Ibra hanya mengangguk, lalu menahan tawanya saat Aya duduk di sebelahnya dengan tatapan yang begitu kentara memuja.
"Nggak usah kegenitan, deh. Ibra udah punya pacar!"
Mendengar kata-kata Fazri, mata Aya melebar dengan raut wajah sedikit terkejut. "Beneran, Mas?" tanyanya dengan raut wajah sedih.
Ibra kini tertawa kecil menanggapinya. "Nggak boleh pacar-pacaran, ya. Pentingin pendidikan dulu."
Jawaban pria tinggi itu membuat Aya hanya mengangguk meski pertanyaannya tak terjawab.
"Udah, yuk, Ib." Fazri yang entah sejak kapan sudah beres dengan acara makannya, sudah berdiri di belakang sofa.
"Mau ke mana, Bang?" Aya mengikuti Fazri dan Ibra yang berjalan ke arah pintu.
"Mau ngapelin cewek Ibralah."
Suara Fazri tampak sengaja memancing-mancing Aya yang memang hampir seluruh anggota keluarganya tahu kalau gadis itu tergila-gila dengan Ibra.
"Beneran, Mas?" tanya Aya sambil menatap Ibra.
Ibra menoleh tepat saat Aya berdiri di ambang pintu. "Aku sama Fazri mau main PS di rumah Amar," ungkapnya santai.
Wajah kecewa Aya kini berganti senyum malu. Ia tak peduli meski sikapnya mungkin saja membuat Ibra risih atau terganggu.
"Dih, najis banget gue liatnya," cetus Fazri membuat Ibra terkekeh sedangkan Aya tak peduli dengan ocehan kakaknya. "Udah sana masuk, minum obat terus tidur!" sambungnya sambil kembali berjalan bersama Ibra. Meninggalkan Aya yang masih tersenyum menatap dua punggung pemuda itu makin menjauh menuju jalan raya.
BAB 3
DRAMA MASAKAN GAGAL
Dalam sebuah keluarga akan ada saja hal yang tak kita sukai, entah sifat dari para penghuni lain atau keadaan dalam rumah itu sendiri. Namun, percayalah suasana rumah akan selalu kita rindukan di mana pun kita berada. Ayana, gadis itu saat ini sedang mengacak-acak isi dapur bersama sang ayah yang kebetulan libur dari pekerjaannya. Belajar mengolah bahan masakan untuk menu makan malam mereka hari ini.
"Abah, ini cobain. Aya udah selesai masak sayur asem." Gadis itu berseru semangat setelah menyelesaikan masakannya.
"Tunggu sebentar, Abah mau potong daun bawang dulu buat dadar telur," sahut Faisal sambil berjalan ke arah kulkas.
Alan yang hendak mengambil minum pun menjadi uji coba masakan saudara kembarnya. Pemuda yang tak banyak bicara itu merasa apes, karena harus mau jadi kelinci percobaan. Mana mungkin ia menolak permintaan gadis yang jika tak dituruti akan mengomel tanpa henti di telinganya.
"Alan, cobain dulu. Ini masakan gue, lo jadi first people," seru Aya bangga sembari menyodorkan sendok makan berisi kuah masakkannya.
Alan mencicipi meski dengan hati yang ragu, lalu tampak menimang sebelum mengangguk saat merasakan masakan Aya.
"Enak nggak?" tanya Aya lantas tersenyum bangga sebelum menepuk pelan kepala Alan yang sekarang sedikit mendengkus. βPinter banget, sih, soulmate aku,β sambungnya dengan suara manis.
Alan yang mendengar hal itu bergidik ngeri, lalu melenggang pergi meninggalkan area dapur setelah meminum segelas air putih.
"Udah selesai, Ay?" tanya Faisal pada putrinya.
Aya menoleh pada pria yang baru saja meletakkan telur dadar di atas piring, lalu tersenyum bangga menatap wajah pria baya yang berhasil menyajikan masakan untuk menu makan malam mereka. βUdah, Bah. Cobain, deh,β jawabnya antusias.
Faisal mengangguk pendek sebelum mengambil sendok makan untuk mencicipi hasil masakan anak perempuannya yang akhir-akhir ini sangat gemar berada di dapur.
Meski percaya diri dengan jawaban Alan, Aya terus memperhatikan wajah pria paruh baya itu. Ia tampak penasaran saat ayahnya meringis setelah menelan masakannya.
"Nggak ada rasa, Ay. Tambahi garam sama gula,β komentar Faisal sambil meraih gelas berisi air minum Alan.
Aya mengernyit bingung. Ia ambil sendok di dalam rak untuk merasakan masakannya sendiri, lalu melebarka matanya saat ia mengingat kalau masakan itu memang belum diberi kedua benda yang disebutkan oleh sang ayah. "Oh, iya. Aya lupa, Bah."
Faisal terkekeh lalu tertawa saat mengingat Alan yang mengatakan enak pada masakan Aya. Mungkin bocah itu hanya takut saudara kembarnya marah-marah.
"Alan nggak tau rasa. Masa sayur hambar dibilang enak!" gerutu Aya sambil menyalakan kompor lagi lalu menuangkan bumbu yang terlupakan.
***
Bergeser sedikit ke kanan dari kediaman Faisal, keluarga Bayu Sabiru sedang menikmati waktu luang bersama keluarganya. Ibra yang sedang asyik menonton televisi sementara Arik sedang sibuk mengerjakan tugas sekolah di lantai dekat sofa. Wanita dewasa dalam rumah itu keluar dari arah dapur sambil membawa nampan berisi potongan buah dan stoples camilan serta minuman.
βMas Ibra, tolong anterin bolu ke rumah Abah Fais,β kata Ajeng sambil duduk di samping suaminya.
Ibra menoleh pada wanita yang baru saja mendaratkan bokong di sofa. "Mana bolunya, Mah?" tanyanya sambil meletakkan bantal sofa, hendak bergegas dengan perintah ibunya.
"Masih di oven, lima menit lagi mateng."
Ibra menghela napas pelan saat wanita yang terkadang punya pemikiran unik itu, berucap demikian. Ia pikir saat sang ibu sudah memerintah, benda yang ingin diantar sudah ada.
"Arik β¦ kamu, kan, seminggu lagi ulang tahun. Mau ngerayain pake tema apa?" tanya Ajeng riang.
Namun bukan hanya Arik, tapi Bayu dan Ibra ikut menoleh pada wanita yang memakai daster rumahan tersebut. Mereka bertiga masih ingat saat wanita itu merancang pesta ulang tahun Alarik yang ke sebelas. Tak ada yang aneh saat orang tua ingin merayakan hari jadi sang anak, yang membuat Arik sekarang tampak kesal adalah tahun lalu ibunya mengadakan pesta dengan mengusung tema Moomin. Sebenarnya itu karakter kartun yang paling Arik sukai, tetapi bagaimana bisa ibunya mengganti warna kartun itu menjadi ungu dan merah muda, bahkan itu benar-benar terlihat seperti pesta anak perempuan berusia lima tahun.
"Nggak! Arik nggak mau dirayain!" jawab bocah laki-laki itu sebelum kembali mengerjakan tugasnya dengan wajah tertekuk kesal mengingat kejadian setahun lalu.
Bayu meringis melihat anak bungsunya merajuk sementara Ibra terkekeh karena ikut mengingat kejadian yang sepertinya memalukan bagi sang adik. Bahkan, Alarik tak masuk sekolah selama tiga hari setelah pesta ulang tahun itu.
"Kenapa nggak mau, anak-anak di luar sana banyak yang mau dirayain. Kamu, kok, nggak mau?" Ajeng ikut duduk di karpet berbulu bersama anak bontotnya, lalu bertanya seolah tak pernah melakukan kesalahan apa pun. Memang sampai saat ini Ajeng tak sadar kalau pernah membuat anaknya malu.
"Ya udah! Mamah aja sana yang ulang tahun!"
"Alarik," tegur Ibra saat adiknya mulai membentak.
"Mah, kalau mau ngerayain ulang tahun Arik, tanya dulu anaknya mau kayak gimana, tema sama warnanya." Jawaban Bayu membuat Ajeng menoleh menatapnya.
"Loh, Mamah, kan, tahun kemarin tanya ke Arik mau tema apa, terus Arik jawab mau tema Moomin. Iya nggak, Dek?"
Alarik tak menjawab dan memilih menutup buku pelajarannya sebelum beranjak pergi dari sana. Tak peduli pada tiga orang yang menatap diam. Ajeng yang melihat itu hanya mengernyitkan kening heran, sedangkan Ibra dan Bayu hanya menghela napas pelan.
"Terus, masalah warna diskusi nggak sama Arik?" tanya Bayu lagi saat sang istri duduk di sebelahnya.
Ajeng tampak berpikir dengan pertanyaan suaminya dan kemudian meringis. "Iya, Mamah nggak tanya masalah warna sama Arik. Lupa," ucapnya masih dengan cengiran menyesal.
Sebenarnya bukan lupa, jika melewati diskusi Ajeng pasti tak mendapat persetujuan anaknya, sedangkan pink dan purple adalah warna favorit ibu dua anak itu. Dari dulu ia begitu mendambakan sesosok anak perempuan yang akan mempunyai sifat yang sama dengannya. Salah satunya menyukai warna yang sama, mungkin.
"Anak Mamah dibully temennya, loh, setelah pesta ulang tahun itu."
"Masa, sih, Ib?" Ajeng terkejut sambil memasang wajah yang berganti sesal setelah mendengar kalimat yang terlontar dari mulut anak pertamanya.
"Makanya, tanya dulu lebih detail sama anaknya. Baru kamu putusin. Kalau kamu mau masukin hal yang kamu sukai di pesta Arik, bilang dulu sama orangnya biar dia juga bisa kasih pendapat. Arik udah dua belas tahun, loh, Mah." Bayu kembali memberi titahnya.
Ajeng mengangguk-angguk paham mendengar titah suaminya. Ia tak menyangka pesta satu tahun lalu membuat anak sulungnya sampai dibully di sekolah.
"Mana, Mah? Katanya lima menit lagi bolunya mateng?" tanya Ibra. Namun, hal itu tak dijawab oleh ibunya karena wanita itu langsung berlari ke arah dapur.
"Pasti gosong lagi, Ib."
Ibra tertawa kecil menanggapi celetukan ayahnya. "Mamah ceroboh banget, ya?"
"Udah temenan dari dulu sama Mamah kamu. Papah aja heran, kok, bisa jadi pengacara pas masih gadis."
Kini, mereka berdua tertawa mengingat sifat ceroboh dan cerewet yang dimiliki satu-satunya wanita dalam rumah itu.
"Ib, kamu udah pilih jurusan?"
Saat tawa mereka mereda kini kepala rumah tangga itu mulai membicarakan hal serius. Anak pertamanya baru saja melewati masa SMA. Kini tinggal memilih jurusan untuk masuk ke perguruan tinggi.
Ibra berdeham sebelum menjawab, "Pah, aku mau ambil kedokteran. Menurut Papah gimana?"
Bayu mengernyit lalu tersenyum. "Ib, Papah dukung selama jalan yang kamu ambil itu bener."
Ibra tersenyum pada pria dewasa itu. Ia bersyukur orang tuanya tak pernah memaksa kehendak mereka sejak dulu.
"Mau kuliah di mana?" tanya Bayu lagi.
"Jakarta, Pah. Aku udah bilang sama Sheka kalau mau kuliah di sana bareng dia."
Bayu kembali mengangguk dan menepuk pundak anak pertamanya. "Papah setuju aja, asal jaga diri di sana. Jangan ikut-ikutan sama pergaulan nggak baik."
"Iya, Pah. Sheka, kan, anak mami banget. Nggak mungkin dia nakal."
Kini Bayu kembali terkekeh saat ucapan Ibra tentang keponakannya itu terlontar. "Terus Fazri gimana, Ib, mau kuliah atau ...."
"Dia mau langsung cari kerja, Pah. Kayaknya bukan cuma kendala biaya, tapi Fazri udah males berurusan sama pelajaran."
Bayu mengangguk-angguk paham meski merasa kasihan pada anak tetangganya yang sudah ia anggap sebagai anak sendiri.
"Papah! Ibra!" pekik Ajeng dari arah dapur.
"Pasti mau bilang, kalau bolunya gosong," ucap Ibra yang membuat ayahnya kembali tertawa lepas.
Sementara Ajeng terus saja menggerutu tak jelas di depan bolu panggang yang setengah dari bagiannya sudah menghitam.
BAB 4
MINTA PONSEL BARU
Dua pemuda itu sedang duduk di pinggir lapangan bola, mata mereka terus memperhatikan para bocah kampung yang sedang bermain di tanah lapang itu. Ibra meminum sekaleng soda yang tadi ia beli, sedangkan pemuda di sebelahnya sedang menikmati camilan dengan santai.
"Jadi, lo bakal ke Jakarta, Ib?"
Ibra mengangguk dan menoleh pada Fazri yang baru selesai mendengarkan ceritanya. Ia memang akan berkuliah di Jakarta bersama sepupunya di sana.
"Gue pasti bakal kehilangan lo, nanti."
Ibra tersenyum dan mengangguk saja. Mungkin ia yang akan lebih dulu merindukan keadaan kampungnya nanti daripada Fazri.
"Nggak ada lagi yang neraktir gue kayak gini," sambung Fazri membuat Ibra mendengkus kesal meski ia tahu kalau sahabatnya hanya bergurau.
"Lo mau kerja di mana, Faz?" Kali ini Ibra yang bertanya.
"Di mana aja asal halal, gajinya gede, nggak terlalu capek, kontraknya bisa seumur hidup. Udah itu aja, sih, harapan gue," jawab Fazri santai.
"Tuhan bingung ngabulinnya," celetuk pria dari arah belakang. Di sana Fahmi dan Alan ikut bergabung dengan mereka.
"Aa Fahmi nggak kerja?" tanya Ibra yang langsung dijawab dengan gelengan kepala oleh pria yang sudah ia anggap sebagai kakak sendiri.
βNanti malem, soalnya dapet shift dua,β sahut Fahmi sambil bergabung dengan dua pemuda itu.
"Aya di mana, Lan?" Fazri bertanya saat pria yang selalu menempel dengan gadis di rumah ikut duduk di sampingnya.
Pemuda dengan kaus berwarna biru itu hanya mengedikkan bahu. Ia mulai menikmati latihan sepak bola yang sedang dimainkan oleh para anak di kampungnya.
"Saudara kembar nggak peka lo, masa nggak tau,sih?!β sambung Fazri sambil melempar kulit kacang yang jadi camilannya ke arah Alan yang mengernyit heran.
"Giliran ketemu berantem mulu, kalau nggak ketemu nanyain," ledek Fahmi membuat Fazri menyengir ke arahnya.
βKalo nggak ada Aya, nggak ada yang dijahilin, A.β Fazri terkekeh dengan ucapannya sendiri.
"Untung Aya kembarnya sama Alan, coba kalau sama kamu udah ribut mulu sejak dalam rahim." Perkataan Fahmi membuat Fazri dan Ibra tertawa lepas, sementara Alan hanya meringis mendengar itu.
"Aya tadi pergi sama Bang Fahri." Alan mulai bersuara membuat tiga pemuda itu sontak menoleh padanya.
"Emang Aya sama Bang Fahri ke mana, Lan?" Kini Ibra yang juga penasaran ikut bertanya, pasalnya si kembar itu kadang tak terpisahkan. Meski lebih banyak Alan yang selalu mengikuti gadis tomboy tersebut. Namun, sepertinya karena sudah beranjak remaja mereka punya kesibukan masing-masing dan sudah jarang terlihat bersama jika sedang bermain.
"Nggak tau,β sahut Alan singkat.
"Aku yakin, A. Pasti Aya lagi nagih janji Bang Fahri yang mau ajak dia main ke mall kalau gajian," tukas Fazri dengan yakin, lalu diberi anggukan oleh para pendengarnya.
"Kamu nggak ikut, Lan?" Fahmi ikut berujar.
Alan menggeleng sebagai jawabannya.
"Cih," dengkus Fahmi saat melihat adiknya ini begitu pendiam jika ditanyai sesuatu.
"A, bakal ada calon dokter nanti," seru Fazri seraya menepuk lengan Ibra yang mendengkus pelan.
"Siapa? Ibra?" Fahmi menatap pemuda tinggi di sebelah adiknya.
"Belum apa-apanya, A. Baru juga daftar." Ibra menangkap bola yang terlempar dari arah lapangan dan melemparkannya lagi ke arah bocah-bocah yang kembali bermain.
"Tapi gue yakin lo bakal jadi dokter nanti. Iya nggak, A?" Fazri menoleh pada pria di sampingnya untuk meminta tanggapan.
"Iya, Aa juga yakin. Berarti nanti panggilannya Dokter Ibra, dong?" ledek Fahmi membuat Ibra terkekeh meski ada rasa malu dan bahagia karena mengenal keluarga hangat itu.
"Pak Dokter, saya ada keluhan. Kalau nggak punya uang obatnya apa, ya?" gurau Fazri membuat Fahmi menoyor kepalanya sambil terkekeh.
Setelahnya, masih banyak canda tawa yang tercipta di tengah-tengah para pemuda itu. Di keluarga Faisal, Ibra dan Alarik sudah dianggap anggota keluarganya, begitu juga anak-anaknya yang selalu diterima dengan baik oleh keluarga Sabiru. Mereka dua keluarga yang berbeda nasib, tetapi selalu bisa menciptakan kebahagiaan tersendiri.
***
Sementara itu, Fahri yang saat ini mengenakan kemeja biru sudah beberapa kali menggerutu karena mengikuti adik perempuannya berjalan-jalan mengelilingi mall, pantas saja Alan tak mau ikut serta saat diajak.
Tujuan mereka datang ke sini sebenarnya hanya memenuhi janji, bulan lalu Fahri berjanji akan membawa si kembar jalan-jalan ke pusat perbelanjaan dan saat ini kaki pegal dengan tangan yang menjinjing kantong belanjaan, membuat Fahri menggerutu kesal.
"Ay, duduk dulu. Abang pegel. Kaki kamu nggak pegel apa?" Sedari tadi Fahri terus mengoceh, tapi gadis itu mengabaikannya. "Abang tinggal beneran, nih!" ancamnya membuat Aya yang berjalan di depannya, memutar tubuh dan menyengir tanpa rasa bersalah.
"Iya, Bang. Kita istirahat di kafe itu aja, ya."
Fahri menghela napas pelan, lalu kembali melangkah mengikuti gadis yang memakai kaus hitam dan celana jin sebatas lutut.
Aya memang tak pernah memakai pakaian wanita, entah karena semua saudaranya laki-laki atau ia memang tak tertarik dengan berbagai bentuk dress cantik. Gadis itu biasa memakai kaus kebesaran dengan celana jin atau terkadang celana olahraga biasa. Rambut pendek sebahunya makin mempertegas sosok tomboi dalam dirinya.
Mereka duduk di salah satu meja kafe. Fahri meletakkan dua kantong paperbag berisi kaus dan peralatan sekolah. Meski terlihat tomboi dan nakal, Aya menjadi salah satu murid berprestasi di sekolah. Berbeda dengan Alan yang terkadang malas untuk belajar meski pria pendiam itu juga sering mendapat juara sepuluh besar dalam kelas.
"Mau pesen makan lagi, nggak?" tanya Fahri saat melihat pelayan mendekatinya.
Dua puluh menit lalu, mereka mengisi perut dengan makanan khas Negeri Ginseng. Aya yang sebenarnya sangat ingin mencoba makanan yang katanya hidangan oppa-oppa itu. Sementara Fahri hanya mengangguk saja.
"Pesen minum aja, Bang. Aya masih kenyang."
Saat pelayan yang mencatat pensana mereka pergi, Fahri menoleh pada gadis di sebelahnya. Aya begitu fokus menatap sepasang ibu dan anak yang juga menikmati waktu bersama.
Tersenyum miris saat tatapan iri ditunjukkan adiknya, Fahri tahu pasti Aya menginginkan hal seperti itu. Berbelanja bersama seorang ibu dan menghabiskan waktu dengan mengobrol hal-hal kecil. Gadis itu bahkan tak sempat melihat wajah sang ibu secara langsung, hanya mengenal lewat foto yang tampak usang karena sudah lama. Aya dan Alan mungkin tak seberuntung dirinya yang bahkan masih ingat suara dan wajah cantik ibunya. Wajah cantik yang diturunkan pada Aya.
Menurut ayahnya, garis wajah Aya begitu mirip dengan almarhumah istrinya. Dari lensa cokelat terang yang dipayungi bulu mata lentik, kulit seputih susu yang juga didapatkan Alan, bibir merah alami serta postur tubuh mungil. Semuanya hampir sama, seolah Aya adalah jelmaan ibunya saat remaja.
"Aya, habis ini mau beli apa lagi?" tanya Fahri pada gadis yang sepertinya terus masuk ke dalam pemikirannya. Fahri hanya tersenyum iba saat melihat tatapan yang begitu mendamba sosok ibu, terlihat dari mata adiknya.
Objek yang sedang ditatap Aya masih asyik mengambil gambar dari kamera ponselnya, lalu sesekali berpose lucu meskipun sang ibu terlihat malu-malu saat anaknya mengarahkan gaya yang keren. Di jaman sekarang, berfoto mungkin hal yang wajib bagi sebagian orang. Bukan hanya menyimpan gambar saja, tapi itu juga menjadi wadah mengingat kenangan yang sangat pas saat mulai merindu.
"Ayana," panggil Fahri lembut sambil mengusap rambut sebahu milik adiknya.
Aya menoleh dengan tatapan sendu. "Bang Fahri?"
Fahri hanya tersenyum dan menunggu adiknya kembali berucap.
"Bang, hape dia bagus, ya?β Aya kembali menatap anak dan ibu itu. "Pasti kameranya bagus, hasil fotonya juga bagus."
Fahri mengernyit mendengar ucapan sang adik.
"Bang, gajian besok ganti hape Aya sama yang baru, ya. Hape Aya yang lama layarnya pecah gara-gara nimpuk Bang Fazri."
Kini Fahri meringis. Jadi, sedari tadi Aya hanya fokus pada ponsel yang ada di tangan gadis itu, bukan momen indah yang tercipta? Astaga, bahkan Fahri hampir menitihkan air mata saat menebak isi kepala gadis mungil di sampingnya.
"Cih, abang pikir kamu lagi mikirin apaan."
Aya kembali menoleh pada pria di sampingnya. "Aya kepingin pake hape yang kameranya bagus, Bang. Ya, boleh ya?" rengeknya sambil menggoyangkan lengan sang kakak.
"Kamu sih, Alan aja yang hapenya udah lama nggak rusak-rusak. Kamu udah rusak aja," dengkus Fahri membuat Aya menyengir nyaris meringis.
"Salahin Bang Fazri, kenapa ganti wallpaper Aya pake gambar cicak. Kan, Aya jadi refleks malah nimpuk Bang Fazri!" Gadis itu masih sangat kesal saat kejadian sebulan lalu karena dikerjai oleh kakak ketiganya.
"Iya, tapi si Fazri juga kena batunya, kepalanya benjol gara-gara kamu timpuk hape."
Kini Aya terkekeh mengingat itu. "Lagian jahil banget, sih. Kan, kena karma jadinya."
Fahri menghela napas pelan, lalu seorang pelayan datang dengan membawa dua minuman yang mereka pesan.
"Habis ini kita ke konter hape, kan, Bang?"
Mata Fahri langsung melebar karena terkejut. "Nggak-nggak!" balasnya sambil menggeleng cepat. "Abang tukar ke pasar loak kalo kamu mau hape sekarang," sambungnya.
"Apa yang mau ditukar, Bang?"
"Kamu yang abang tukarin!"
BAB 5
TOKO BUKU
Aya sedang berjalan ke luar rumahnya. Niatnya hendak berkunjung ke rumah keluarga Sabiru yang menjadi rumah kedua baginya. Namun, saat melihat objek yang sering ia jahili sedang berjongkok, otak jahilnya begitu cepat mengambil alih.
"Om Alex! Awas!" teriak Aya sengaja.
"Astaga!" Alex, pria plontos yang sudah sangat akrab dengan gadis jahil itu hampir tersungkur ke depan mendengar pekikan anak tetangganya.
"Kau ini, ada apa?!"
Suara keras Alex tak akan membuat Aya takut karena sekarang gadis itu malah tertawa menyambut kemarahan tetangganya.
"Nggak apa-apa, kok. Kan, Aya cuma bilang awas," sahut Aya sambil menyengir, membuat Alex ingin sekali memasukkan ban mobil ke leher gadis remaja itu.
Suara gonggongan anjing membuat Aya menoleh ke arah belakang. Di sana, seekor anjing dengan leher yang diikat, terus menggonggong ke arahnya.
"Anjing siapa, Om?" Aya berjalan mendekat pada hewan yang semakin keras menggonggong. Sangat terlihat tabuhan perang di antara dua makhluk itu.
"Anjing Om, namanya Brizy. Keren, kan?"
"Hih! Keren apanya, mukanya ngeselin kayak yang punya," timpal Aya membuat mata Alex mendelik sempurna. "Hehehe, bercanda, Om."
"Brizy, ini Aya. Dia suka jahil, kalo jahil kamu kejar. Oke!" Alex berjongkok di depan hewan yang baru ia beli dua hari lalu.
"Ini, tuh, namanya rencana penganiayaan, Om."
Suara Anjing itu semakin keras menggonggong saat Aya bicara. "Apa, lo? Kalo berani ngelunjak sama gue. Gue jamin lo nggak bakal hidup tenang!" tegasnya sambil berlalu meninggalkan Alex yang terkekeh melihat gadis itu menggerutu.
***
"Assalamualaikum," seru Aya di depan pintu bercat perak itu. Ia sudah berdiri di depan rumah tujuannya.
βEh, walaikumsalam. Ayana ... masuk, Sayang,β sambut Ajeng begitu antusias saat gadis yang sudah ia anggap sebagai anak sendiri datang setelah beberapa waktu lalu ia hubungi.
"Ada apa, Tan?" Aya terlihat bingung ketika wanita dewasa itu menuntunnya ke arah dapur saat mulai memasuki rumah.
"Tante buat kue, enak loh. Baru Tante ambil dari oven," seru Ajeng tak sabar sebelum memberikan kursi pada gadis yang memakai kaus hitam dengan celana olahraga itu.
"Wah, wangi banget, Tan," seru Aya saat aroma pandan begitu tercium di hidungnya.
"Alan, kok, nggak diajak, Ay?"
Aya mengedikkan bahunya. "Nggak tau, Tan. Tadi orangnya lagi benerin layar hape Aya yang rusak."
"Wah, ada tamu jauh kayaknya." Suara Bayu membuat dua wanita itu menoleh.
"Halo Om Bayu, nggak ke toko, Om?"
Bayu menggeleng dan duduk di sebelah gadis yang selalu terlihat antusias. "Sekarang setiap toko ada karyawannya, Ay. Jadi om cuma kontrol aja."
Aya mengangguk-angguk paham. Meski sebenarnya ia tak mengharapkan jawaban penting itu.
"Nih, cobain bolu buatan Tante." Ajeng meletakkan bolu pandan dengan taburan ceres di atasnya. Sebelum itu ia potong-potong terlebih dahulu dan menyediakannya ke hadapan dua orang yang sedang duduk di kursi pantri.
"Tumben nggak gosong, Mah?"
Ajeng mendengkus kesal saat suaminya meledek.
"Enak, Tan. Wah, Aya kalau punya oven mau buat kue juga."
Ajeng tersenyum dan menumpu dagu pada sebelah tangan, lalu memperhatikan gadis yang memiliki kulit bak orang bule itu duduk di hadapannya sambil menikmati kue buatannya.
"Kalau mau buat kue, dateng aja ke sini, Ay," tutur Ajeng membuat Aya yang mulutnya penuh dengan bolu hangat itu, mengangguk sambil mengacungkan jempol. Gadis itu terlihat susah payah menelan makanannya.
"Om, mangga di depan rumah Om ada yang udah mateng. Aya ambil, ya?" Kini Aya menoleh pada pria dewasa yang saat ia kecil gemar mengajaknya makan di restoran mewah bersama anak-anaknya.
Bayu menoleh pada gadis mungil di sebelahnya. "Ambil aja, tapi pakai penggait. Jangan naik."
"Yah β¦." Aya mendesah pelan. "Aya mau naik, Om. Udah lama nggak naik ke pohon mangga itu."
"Nggak-nggak! Kalau kamu naik lagi, om tebang pohon mangganya!" tegas Bayu.
"Cih, Om Bayu pelit sekarang. Orang kaya nggak boleh pelit tau. Harus berbagi sama yang membutuhkan."
Ajeng terkekeh mendengar tuturan gadis itu.
"Om bukan pelit, kamu udah empat kali jatoh dari pohon itu. Terus ini ...." Bayu menunjuk lutut Aya yang terdapat bekas luka. "Ini tuh, hampir diamputasi sama dokter karena patah."
Aya hanya menyengir ke arah pria yang tampak kesal dengan ulahnya, meski ia tahu kalau itu bentuk rasa khawatir.
Sebenarnya Bayu hanya melebih-lebihkan karena yang terjadi, kaki Aya hanya terkilir dan tak bisa jalan selama tiga hari karena bengkak.
"Iya, deh. Aya nggak naik ke pohon itu. Tapi, Aya lemparin pake ketapel, boleh, kan, Om?"
Bayu menghela napas pelan dan sebelum mengangguk sekenanya. "Terserah, asal jangan kena sasaran orang yang lagi lewat jalan aja."
"Mah, Pah. Aku pamit mau ke toko buku dulu,β timbrung pemuda yang menuruni tangga, membuat tiga orang di pantri menoleh padanya.
"Mau ke mana, Mas?" tanya Aya antusias seperti biasa.
Ibra yang baru sadar ada orang lain selain keluarganya, mengernyit sebelum tersenyum menghampiri tiga orang di sana. "Mau ke toko buku, Ay. Kamu mau ikut?" ajaknya santai.
Mata Aya berbinar saat mendapat tawaran itu."Emang boleh, Mas?" tanyanya makin antusias.
Ibra mengangguk sedangkan ayah ibunya terkekeh melihat gadis remaja itu hampir melompat ketika turun dari kursinya.
"Eh, tapi Aya ganti baju dulu, ya." Aya berseru sambil menilik tampilannya.
"Kenapa emangnya?" tanya Ibra sambil meraih bolu di atas meja pantri dan memakannya.
"Kata Bang Fazri, Aya kayak si bolang kalau pakai baju ini."
Bayu dan Ibra tertawa kecil, sedangkan Ajeng hanya tersenyum melihat kepolosan gadis itu.
"Nggak apa-apa. Lagian Fazri cuma isengin kamu doang."
Aya hanya meringis dan mengangguk pelan. Kakaknya yang satu itu memang lebih banyak membuat ia kesal hingga menangis. Pokoknya Fazri adalah orang yang paling ia benci dalam rumah.
"Ya udah, yuk!" Ibra menyalami kedua tangan orang tuanya sebelum kembali bicara. "Mah, Arik kayaknya mau ngomong sama Mamah. Tadi ke kamar aku."
Ajeng mengernyit tipis. Setelah malam kemarin yang membahas pesta ulang tahun, bocah laki-laki itu memang jadi pendiam dan tak mau bicara dengan anggota keluarga lain.
"Hm, nanti Mamah ke atas. Kalian hati-hati, ya."
Ibra mengangguk begitu pula dengan Aya yang sudah berdiri di sampingnya. Gadis itu tak malu-malu menempel pada pemuda yang sejak dulu selalu ia kagumi keberadaannya.
"Om, nanti sore aja ambil mangganya. Aya mau kencan ... eh, mau cari buku maksudnya." Aya terkikik geli dengan ucapannya.
Begitu pun dengan Bayu terkekeh dan mengangguk. Sedangkan Ibra hanya tersenyum geli melihat tingkah gadis yang melingkarkan tangannya erat. Setelahnya dua bocah itu keluar dan berjalan ke arah garasi dengan Aya yang benar-benar menempel pada Ibra.
"Mas Ibra bawa motor?"
Ibra menoleh pada gadis yang mengikutinya. "Nggak, mau bawa mobil papah. Kemarin aku udah dapet SIM."
"Wah, keren." Sadar atau tidak, Aya langsung masuk ke mobil yang pintunya sudah dibukakan oleh Ibra. "Toko buku mana, Mas?" tanyanya penasaran.
Ibra menyalakan mesin roda empat itu sebelum menoleh pada gadis di sampingnya. "Di deket lampu merah itu, deket toko Papah."
Mengangguk paham, Ibra mulai menikmati perjalanan singkatnya ditemani radio yanag sedang memutarkan lagu yang sedang viral. Saat sampai, Ibra langsung memarkirkan mobil di depan toko dan mulai berjalan masuk ke toko buku langganannya.
Gadis yang ikut bersamanya sangat antusias menatap barisan novel yang berada di dekat pintu masuk, sedangkan Ibra berjalan menuju buku-buku tentang ilmu kedokteran. Saat berhasil mendapatkan buku yang dicari, Ibra menoleh ke kiri dan kanan. Mengedarkan pandangan karena baru sadar kalau gadis yang ikut bersamanya tak terlihat. Keningnya mengernyit dengan mata yang terus menelisik ke setiap sudut toko, hingga senyumnya tanpa sadar tersungging melihat Aya sedang duduk di kursi yang disediakan untuk para pembaca. Namun, gadis itu tak membaca apa pun. Aya hanya menatap orang yang berlalu lalang melewatinya.
"Kenapa duduk di sini?" tanya Ibra saat sampai di hadapan gadis itu.
Mendongak menatap pemuda yang membawa tiga buku, Aya tersenyum pada pria yang mulai duduk di sampingnya. βNggak apa-apa, Mas,β katanya santai.
Kening Ibra mengernyit, karena biasanya jika diajak pergi ke suatu tempat Aya adalah tipe gadis yang akan menjelajahi tiap sudut tempat tersebut.
"Mas Ibra udah dapet bukunya?"
Ibra mengangguk. "Mau beli novel, nggak?" serunya sambil menatap gadis dengan rambut sebahu itu.
Aya tampak berpikir, lalu meringis sebelum menjawab. "Mau sih, Mas. Tapi Aya nggak bawa uang," cicitnya sedikit malu-malu.
Jika di depannya ini adalah Fahmi atau Fahri, Aya mungkin sudah memeluk setidaknya tiga novel untuk dibawa ke mesin kasir. Namun, meski sudah merasa dekat dengan pria yang sejak kecil berteman dengan kakaknya, ia tetap malu jika meminta sesuatu.
"Nggak apa-apa, nanti Aku bayarin. Sana pilih novelnya! Aku tunggu di sini."
Aya bangun dengan cepat sambil mengangguk paham tanpa berbasi-basi ingin menolak, lalu saat mulai berjalan gadis itu kembali memanggil pria yang sedang terkekeh kecil karena tingkahnya.
"Mas, kalau dua boleh nggak?"
Ibra mengangguk samar sambil tersenyum menanggapi pertanyaan Aya.
βBeneran, Mas? Makasih, ya?!β pekik Aya antusias.
Tanpa menunggu jawaban Ibra, Aya sudah memelesat pergi ke rak buku yang menyimpan novel incarannya. Sebenarnya, itulah alasan ia memilih duduk di kursi baca daripada berkeliling dengan rasa ingin memiliki novel-novel romansa yang tak bisa ia beli karena tak membawa uang sepeser pun.
Saat menunggu gadis itu mencari novel, Ibra memilih membaca buku yang ia beli. Kemudian, sekitar lima belas menit ia dibuat mendongak saat Aya tiba-tiba berdiri di hadapannya. "Udah?" tanyanya santai.
Aya mengangguk cepat menjawab pertanyaan satu kata.
Tersenyum tipis seperti biasa, Ibra berdiri sambil melihat dua buku yang dipeluk Aya. Buku novel dengan judul Rindu dan satu lagi buku yang membuat Ibra tersenyum dan mengusap pelan kepala gadis itu. Aya membeli buku tentang hukum, bidang yang Aya sukai saat belajar di sekolah.
"Yuk, kita bayar!"
Aya mengangguk lagi bak seekor anak anjing yang mengikuti tuannya. βMas Ibra, makasih, ya,β ujarnya tulus.
Ibra hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. Akhirnya mereka berjalan ke arah meja kasir untuk membayar lima buku yang di dapat di toko itu.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi π₯°
