
Warning | 21+ | Mature Content |
Happy reading…
***
Cinderella adalah dongeng kesukaanku. Aku suka kisah tentang gadis biasa yang bertemu Prince Charming di pesta dansa, jatuh cinta lalu hidup bahagia selamanya.
Cerita yang sempurna. Sudah tidak terhitung berapa kali aku membacanya. Bibirku akan membentuk senyum lebar ketika Cinderella akhirnya menikah dengan Prince Charming. Aku berharap suatu hari nanti, aku bisa menemukan Prince Charming-ku sendiri.
Prince Charming yang tampan, baik hati dan mencintaiku dengan seluruh hidupnya.
Tapi menemukan Prince Charming di zaman sekarang tidak semudah yang aku bayangkan. Alih-alih menemukan pria yang akan memujaku dengan seluruh hidupnya, aku justru bertemu dengan sekumpulan Ogre tukang selingkuh.
Kenapa sulit sekali menemukan Prince Charming? Apa aku harus punya ibu tiri dan dua saudara tiri yang jahat dulu untuk mendapatkan pria impianku?
Ketika umurku menginjak usia dua puluh tahun, aku berhenti menjalin hubungan dengan pria dalam artian memiliki seorang kekasih. Alasannya? Aku sudah dua kali diselingkuhi.
Pacarku yang pertama adalah seorang pria pemalu dengan tubuh tinggi dan ramping. Awalnya dia pria adalah manis dan menggemaskan, sampai akhirnya dia berselingkuh dariku dengan mantan pacarnya. Kejadian itu sukses membuatku menangis semalaman. Keesokan harinya mataku terlihat seperti mata panda.
Yang kedua adalah pria yang suka menghabiskan hidupnya dengan balapan dan berpesta. Bodohnya aku. Memangnya apa yang bisa aku harapkan dari pria seperti itu? Dia ketahuan selingkuh dengan perempuan yang disebutnya 'teman'. Bullshit!
Bertahun-tahun kemudian aku menjaga jarak dari pria, menjadi selektif lebih tepatnya. Aku memutuskan untuk fokus kepada diriku sendiri, membangun versi diriku yang lebih baik. Juga menunjukkan kepada para brengsek itu apa yang telah hilang dari mereka.
Hidupku menjadi lebih tenang. Memiliki pekerjaan yang aku impikan, lebih bahagia dan awet muda. Aku dalam kondisi yang tepat untuk mendapatkan Prince Charming impianku. Yang pantas mendapatkan versi terbaik diriku tentunya.
Sampai akhirnya aku menghadiri acara pembukaan Art Gallery.
Mataku menangkap sosok tegap, tinggi dan tampan sedang mengagumi salah satu lukisan yang tergantung di dinding. Dia terlihat mencolok dibandingkan tamu lainnya. Mungkin karena aura menenangkan sekaligus menghipnotis yang terpancar dari tubuhnya. Atau juga matanya yang penuh keseriusan ketika berbicara dengan rekan di sampingnya. Atau mungkin karena dia terlihat seperti Prince Charming yang selama ini aku impikan.
Di beberapa momen, aku sering mencuri kesempatan untuk menatapnya. Memikirkan cara agar aku bisa berkenalan dengannya. Namun entah kenapa, pria itu terlihat seperti orang yang sudah didekati.
Di saat itu aku sangat memohon agar Ibu Peri muncul di hadapanku, membuat keajaiban, membantuku berkenalan dengannya.
Dan keajaiban terjadi.
***
Aku sedang meletakkan pie apple buatanku di atas meja ketika suara familiar menyapa.
"Baunya enak."
Aku mendongak, tersenyum lebar.
"Aku tidak sabar mencobanya."
Tanpa pikir panjang aku langsung meninggalkan meja, berlari menuju seorang pria yang menyambutku dengan tangan terbuka. Aku melompot ke pelukannya. "Max!" Kedua kakiku melingkari pinggangnya. "Kau sudah pulang."
Max tertawa. "Aku merindukanmu, Princess." Elusan tangannya terasa lembut di kepalaku.
Max pergi selama lima hari untuk perjalanan bisnis, yang terasa seperti berabad-abad lamanya. Aku benci berpisah darinya. Kami hanya bisa bertukar sapa lewat telepon. Kalau saja aku sedang tidak sibuk, aku akan ikut dengannya daripada harus berpisah jarak begini.
"Aku juga sangat sangat merindukanmu." Aku menguburkan wajahku di lehernya sementara pelukan Max bertambah erat. Tubuhku terayun, lalu menyentuh permukaan datar. Max meletakkanku di atas meja, menarik lepas pelukan kami.
Kedua tangan Max merangkum wajahku. "Kiss me, please." Bisiknya.
Aku tersenyum, mempersempit jarak bibir kami sementara tanganku membelit lehernya.
Bibir kami bertemu dengan cara yang lembut. Max melumat bibirku pelan, penuh perasaan. Aku menikmati ciumannya yang manis. Perlahan namun pasti, ciumannya mulai tergesa-gesa. Keras. Lidahnya menyusup masuk. Kerinduan kami tumpah dalam ciuman yang menggebu-gebu.
Ketika ciuman itu terlepas, napasku sudah terengah-engah. Max mengusap bibir bawahku yang basah. "Manis." Matanya naik dari bibirku menuju ke mataku. "Aku penasaran apa pie-nya akan seenak ciuman barusan."
Bola mataku menyipit. "Kau meragukan kemampuan memasakku?"
Jangan salah. Aku sudah mengambil kelas memasak untuk melatih kemampuanku.
Max terkekeh. "Tidak, Sayang. Hanya saja aku belum pernah menemukkan yang lebih manis dari bibirmu."
Aku berdecak, mendorongnya mundur. Akan aku buktikan kalau kemampuan memasakku sudah meningkat.
Aku mengambil pisau dapur, memotong pie apple tersebut menjadi bentuk segitiga. Ketika sudah siap, aku menyuapi potongan pie itu kepada Max. "Coba rasakan ini."
Max menerima suapanku, mulutnya mengunyah dan aku menunggu penuh harap. "Bagaimana rasanya?"
Aku mengerahkan segala kemampuan yang aku punya. Dan aku cukup yakin kalau hasilnya pasti enak.
"Hazel." Max memanggilku lamat-lamat.
"Ya?"
Saat itu lah aku melihat senyum cerah terbit di mulutnya. "Rasanya enak."
Aku melompat, berteriak kesenangan. Rasanya menyenangkan sekali. Setiap moment kecil yang aku lewati bersama Max bisa terasa begitu berharga.
Max mendekat, menangkap tubuhku lalu mengangkatku hingga aku sudah tidak berpijak di lantai. "Senang?"
Aku mengangguk antusias. "Tentu. Sekarang kau tahu kalau aku bisa lebih pandai memasak daripadamu."
"Baiklah, Chef yang hebat. Aku mengerti." Max menurunkan sedikit beban tubuhku hingga bibir kami bertemu dalam ciuman singkat. "Tapi tidak ada yang lebih manis dari bibirmu." Bisiknya.
Aku mendengus. "Dasar perayu ulung."
***
"Apa ini terlihat cocok untukku?"
Aku berputar di depan Max, mengenakkan dress berwarna pink pilihannya.
"Sangat cocok." Mata Max bergerak dari bawah hingga berhenti di wajahku. Dia tersenyum lembut. "Cantik sekali."
Aku membalas senyumnya. Rasa kesalku seketika menguap. Dress ini pilihannya. Max sering memilihkan pakaian berwarna pink untukku. Katanya aku terlihat sangat cantik ketika mengenakkan sesuatu berwarna pink. Padahal aku lebih suka warna merah.
Sudahlah. Aku lelah berdebat dengannya. Akhirnya aku membawa pulang dress pink pilihan Max.
"Aku lapar." Ujarku ketika kami berjalan keluar dari toko.
"Kau ingin makan apa, Sayang?" Max berjalan di sampingku. Lengannya melingkar erat di pinggangku.
Aku terdiam, berpikir sejenak. Kemudian restoran yang menyajikan makanan ala Jepang terlintas di benakku. Aku menarik lengan Max, melangkah lebih cepat. "Ayo, aku ingin makan makanan Jepang."
Max mengikuti tanpa mengeluh sama sekali. Seperti biasanya, dia akan memperlakukan aku layaknya Tuan Puteri. Meskipun masakan Jepang tidak terlalu serasi dengan lidahnya. Tapi setiap kali aku memilih restoran Jepang ketika kami makan di luar, Max tidak pernah mengeluh sama sekali.
"Persetan dengan diet. Rasanya aku bisa makan apapun sekarang." Gumamku, sedikit tidak sabar. Aku hanya sarapan jus jeruk tadi pagi dan kini perutku meronta-ronta.
"Kau diet? Kenapa?" Tanya Max.
"Berat badanku naik."
Max menahan tanganku, langkah kami terhenti. Dia menelusuri tubuhku dari atas sampai bawah. "Jangan diet. Kau tetap cantik di mataku meskipun berat badanmu naik. Lagipula, bentuk tubuhmu tidak berubah sama sekali." Satu alisnya terangkat. Seakan bertanya-tanya apa berat badanku benar-benar naik.
Dasar pria.
Aku menghembuskan napas kesal. "Berat badanku naik. Apa kau tidak bisa melihatnya?" Aku mendelik kepadanya. "Semua ini salahmu. Kau terus merecoki makanan ke mulutku."
Max sering mengatakan kalau porsi makanku terlalu sedikit. Yang tentu saja menjadi alasan dia mendorongku untuk makan lebih banyak. Apalagi saat weekend, Max akan memanfaatkan waktu yang ada untuk mengajakku makan di luar atau memasak untukku. Hasilnya? Berat badanku naik.
Max mengedikkan bahu. Tidak ada tanda rasa bersalah di wajahnya. "Benarkah? Apa mataku yang bermasalah hingga aku tidak menyadarinya."
"Max." Ujarku jengkel. "Jangan berusaha mengubah topik."
"Baiklah, Princess." Max merapatkan tubuh kami, kepalanya menunduk. Aku bisa merasakan hembusan napasnya di telingaku. "Kita bisa mengeceknya nanti saat pulang. Aku sendiri yang akan memastikan apakah benar berat badanmu naik." Max mengusap pinggulku sekilas. Nada bicaranya yang sensual membuatku paham apa maksudnya.
"Max!" Pekikku pelan. Aku mendorong dadanya menjauh. "Ada banyak orang di sini."
Aku rasa aku harus membungkam mulutnya. Kami sedang ada pusat perbelanjaan, ada banyak pasang telinga dimana-mana. Sedangkan Max selalu berkata dan bertingkah laku sesukanya tanpa mengenal tempat dan waktu.
Max mengabaikan peringatanku. "Tidak ada yang mendengarnya." Dengan santainya dia kembali melingkarkan tangan di pinggangku. "Ayo, aku rasa aku juga lapar."
"Kau membuatku kehilangan selera makan." Gerutuku. Langkah kami terayun beriringan.
"Kau terlihat menggemaskan saat marah." Ujar Max santai.
"Kau menyebalkan." Kenapa dia jadi sangat menyebalkan? Perutku sedang lapar. Menggodaku bukan hal tepat untuk dilakukan sekarang. Bisa-bisa aku memakannya karena marah. "Aku ingin memakanmu."
"Dan aku ingin mencium bibirmu."
Mataku melotot. "Max! Astaga!"
Max terkekeh pelan, menikmati amarahku. "Aku serius. Berciuman sepertinya ide yang bagus, bukan?"
Mulutku terbuka, ingin membalas ucapannya.
"Hazel."
Sebelum suara lain lebih dulu menginterupsi. Aku mengalihkan tatapan, menemukkan seorang pria sudah berdiri beberapa langkah di depan kami. Dia tersenyum. Senyum yang diarahkan kepadaku. Senyum yang membuatku merasakan aura tidak menyenangkan muncul dari sebelahku.
"Lama tidak bertemu."
"Hai, Sam." Aku membalas sapaannya, sekedar menjaga sopan santun. Mataku melirik Max, menemukan kalau rahangnya sudah mengatup kencang. Rengkuhannya di pinggangku bertambah erat. Selalu seperti ini kalau kami berpapasan dengan Samuel.
"Apa maumu?" Tanya Max tajam.
Sam tersenyum miring. "Berbelanja. Dan ketika aku bertemu perempuan cantik, tentu saja aku harus menyapanya." Sam mengedip nakal kepadaku. "Benarkan, Hazel?"
"Max." Aku berbisik pelan, menahan Max yang terlihat ingin menerjang Sam. Dalam sekejap semua ekspresi jahil yang tadi dia tunjukkan menghilang.
Aku tidak mengerti. Sam mengatakan kalau mereka teman. Tapi Max mengatakan kalau aku tidak boleh berdekatan dengan Sam.
Setiap bertemu, mereka berdua selalu berdebat. Sam sering menggodaku untuk memancing amarah Max. Akhirnya tidak pernah baik. Aku bisa merasakan kalau Max cemburu akan sikap Sam terhadapku.
"Sam, hentikan. Jangan seperti anak kecil." Peringatku. Aku lelah akan tingkah mereka berdua.
"Ada apa, Hazel? Apa kekasihmu cemburu denganku?"
Sam tidak menggubris peringatanku. Dia melanjutkan godaannya. Yang menyulut amarah Max bertambah tinggi.
"Tutup mulutmu jika kau masih ingin hidup." Max menggeram marah.
"Wow! Wow! Kau mengancamku?" Sam mengangkat tangan. Tapi ekspresinya menunjukkan kalau dia tidak menganggap serius ucapan Max.
Aku lelah dengan percakapan konyol ini. "Kalian membuatku pusing."
Aku menarik tangan Max sebelum pertengkaran anak kecil ini bertambah besar dan menarik perhatian banyak orang. Max mengikutiku. Syukurlah. Aku jadi tidak harus mengeluarkan tenaga besar untuk menyeretnya menjauh.
"Jangan lupa menelponku nanti, Hazel." Ujar Sam ketika kami melewatinya. Jelas itu ditujukkan untuk memancing amarah Max.
Berhasil. Aku sempat merasakan Max menegang, mungkin ingin memberikan tamparan manis di wajah Sam. Tapi aku berhasil menahannya.
***
Tidak ada senyum manis. Tidak ada ejekan. Aku dan Max makan dengan tenang.
Suasana hati Max sedang buruk. Keadaan yang tidak asing lagi ketika Max bertemu Sam. Dia akan marah, cemburu. Reaksinya seolah-olah Sam akan mencuriku darinya. Satu hal lagi yang tidak aku mengerti. Apa Max tidak tahu kalau hatiku sudah menempel padanya hingga aku tidak tertarik dengan lelaki lain? Meskipun aku sudah mengatakan demikian, Max tetap saja akan terbakar cemburu saat aku bertemu dengan Sam.
"Kau marah? Cemburu?" Kami sedang dalam perjalanan pulang. Dan aku menanyakan pertanyaan konyol yang sudah aku tahu jawabannya.
Max diam dari tadi. Sibuk memegang kemudi, fokus ke jalan. Dia tidak menjawab pertanyaanku.
"Max, kau tahu kalau Sam hanya bercanda. Lagipula aku tidak punya perasaan sama sekali untuknya. Jangan khawatir."
"Aku laki-laki, Hazel." Akhirnya Max angkat bicara. "Aku tahu persis apa yang dia pikirkan."
"Kalau begitu katakan, apa yang dia pikirkan?"
Hening.
Apa Max berpikir kalau Sam memiliki perasaan padaku? Astaga! Mau dilihat dari manapun, Sam hanya menikmati waktunya menganggu Max. Semua godaan yang dia lontarkan padaku hanyalah pancingan.
Kami berakhir pulang dengan hening. Max sebenarnya yang diam. Sementara aku terus mengoceh hingga lelah.
Max tidak banyak bicara hingga malam tiba. Dia menghindariku dengan cara tenggelam pada pekerjaannya. Hari sudah cukup larut saat akhirnya Max naik ke atas ranjang.
Tempat tidur bergerak. Mataku yang sudah tertutup kembali terbuka. Max duduk di atas ranjang, punggung bersandar pada headboard. Dia sempat melirik ke arahku lalu fokus ke tabletnya.
Aku menghembuskan napas kesal. Seseorang harus melakukan sesuatu untuk mengakhiri keheningan ini.
Aku bangkit, menyusupkan tubuhku di antara kaki Max.
"Hazel?" Nada bicara Max terdengar bingung saat aku mengangkat tangannya yang memegang tablet, mencari ruang lalu berbaring di dadanya.
"Aku ingin berbaring seperti ini. Lanjutkan saja yang ingin kau lakukan." Aku bergerak sedikit, mencari posisi yang nyaman.
"Kenapa kau belum tidur?"
"Karena aku tidak mau."
"Bisakah kau berbaring di atas ranjang saja? Aku kesulitan bekerja jika seperti ini."
"Tidak bisa." Tolakku.
Max menyerah. Kembali melanjutkan pekerjaannya sedangkan aku berbaring di dadanya. Aku terdiam, sesekali akan berkomentar akan pekerjaannya. Tapi lama-kelamaam aku lelah, tidak ada respons dari Max.
"Aku percaya kalau Prince Charming tidak pernah mengabaikan Cinderella." Tangan Max yang sedang menggeser layar berhenti kala suaraku sampai ke telinganya.
"Prince Charming juga tidak pernah membuat Cinderella kesepian, ataupun sedih." Aku melanjutkan. "Dia rela berkeliling negeri untuk mencari Cinderella. Membawanya ke istana. Menikahinya. Dan berjanji untuk membuatnya bahagia."
Max meletakkan tabletnya di atas nakas. Aku menahan senyum karena berhasil menarik perhatiannya. Tapi aku tetap memainkan peran gadis kesepian yang sedang diabaikan kekasihnya.
Max menarikku mendekat ke pelukannya. Tangannya melingkar di sekitar perutku. "Apa Cinderella sedang merasa kesepian?"
"Menurutmu?" Aku mengabaikannya. Menatap langit-langit kamar yang tiba-tiba terlihat lebih menarik.
"Princess, aku minta maaf." Nada suara Max mengalun lembut. Aku menahan diri untuk tidak segera luluh.
"Kau tahu kalau aku benci ketika ada pria lain menggodamu." Aku tidak tahu bagaimana suara Max bisa tetap terdengar lembut dan dingin di saat bersamaan.
"Bertemu dengan Sam membuat suasana hatiku menjadi buruk. Aku benci dengan caranya menggodamu. Itu membuatku marah." Max mengecup puncak kepalaku. "Aku tidak bermaksud mengabaikanmu. Aku hanya butuh waktu untuk menenangkan diri."
Aku berpikir kalau Max adalah keturunan penyihir. Caranya bicara selalu mampu membuatku luluh. "Kenapa? Kau cemburu?" Aku melirik Max dari ujung mataku.
Pelukannya berubah posesif. "Ya, kau hanya milikku. Aku tidak ingin kau berpaling ke lelaki lain."
Rasanya aku ingin berlari mengambil cermin, menujukkan kepada Max siapa dirinya. Banyak wanita mengantri untuk bisa bersanding dengannya, tapi dia justru ketakutan kehilangan diriku. Mereka pasti rela memohon di bawah kakinya.
"Jangan bercanda. Aku pasti gila kalau memiliki pikiran untuk berpaling kepada lelaki lain." Sangkalku.
Max meraih sisi wajahku, membuatku mendongak. "Kau tidak dijinkan untuk berpaling dariku." Matanya berpendar gelap, lalu berubah lembut dengan cepat. "Jadi apa aku sudah dimaafkan?"
Aku mengabaikan perubahannya barusan. "Ya tapi ini tidak gratis."
"Apa yang kau inginkan?"
Awalnya aku hanya ingin mengoda Max. Tapi aku berubah pikiran. Ini kesempatan yang bagus untuk meminta sesuatu darinya.
"Harganya mungkin sangat mahal." Aku tersenyum licik.
"Kau ingin mengujiku?" Max tersenyum miring. Penuh percaya diri. "Kau tahu aku bisa memberikan apapun yang kau inginkan."
Mataku memincing. "Kau yakin?" Cibirku. Belum ada terlintas hal apa yang akan aku minta darinya. Aku harus mengambil waktu untuk benar-benar memikirkannya. Ini tidak akan mudah. Aku berpikir untuk meminta sesuatu yang sulit untuk didapat bahkan dengan uangnya.
"Sangat yakin."
"Baiklah. Besok aku akan menagihnya." Aku merentangkan tangan, merenggangkan otot-otot yang kaku. "Aku mengantuk, ingin tidur." Saat aku akan bangkit dari atas dada Max, tangannya menahanku lebih erat.
"Tidak ada ciuman selamat malam?" Max mencium area terbuka di antara bahu dan leherku. Perpaduan hangat napasnya dan bibirnya yang lembut membuatku meremang.
Aku memejamkan mata, menikmati sentuhannya. "Max."
Tanpa aku sadari tangan Max sudah menyusup masuk, berputar di perutku kemudian naik ke atas, meremas dadaku pelan. Aku tidak memakai bra saat akan tidur, jadi dia tidak perlu bersusah payah melepaskan penghalang yang menggangu.
"Kau benar, Sayang." Max meremas payudaraku lebih kuat. Aku melenguh, tersesat akan sentuhannya.
"Berat badanmu bertambah naik."
Keningku mengernyit mendengar ucapannya. Apa dia ingin berdebat denganku malam-malam begini?
"Payudaramu bertambah besar."
Aku terkejut mendengar untaian kata yang meluncur dari bibirnya. Mulutku ingin melayangkan protes, tapi yang keluar malah suara lenguhan bercampur napas berat. "Max. Kau..."
"Hm?" Giginya menahan leherku dalam gigitan kecil. "Aku ingin memelukmu."
Rasa kantuk yang baru saja muncul sudah mulai berlarian meninggalkanku. Selama detik-detik yang diisi deru napas dan sentuhan sensual, aku menjatuhkan diriku dalam kuasa Max. Membiarkannya mengambil alih, melepas kaosku lalu memutar tubuhku untuk berhadapan dengan sosoknya yang gelap.
Max bisa terlihat begitu berbeda di satu waktu. Matanya berkilat tajam, tangannya mencengkram tubuhku seolah-oleh dia ingin melahapku hidup-hidup. Anehnya, aku justru merasakan dorongan untuk lari ke pelukannya. Dia tampak menakutkan tapi memberikan kenyamanan yang misterius.
"Princess..." Max berbisik serak, menarikku ke atas pangkuannya.
Untuk kesekian kalinya aku jatuh ke dalam pesonanya. Merasakan jemarinya yang kokoh menari di dadaku sementara lidahnya menyusup masuk. Kami bertukar rasa manis dan basah dalam tempo yang cukup lama. Terhanyut. Kemudian dengan cepat, Max mendorongku ke atas sprei yang lembut.
Gerakannya cepat. Dari mulut turun menuju dada. Mulutnya menemukan kuncup yang menegang sensitif, membawanya ke antara jepitan bibir. Aku melenguh merasakan hisapannya yang rakus. Langit-langit kamar tampak buram.
"Maxie..." Aku memanggilnya dengan sebutan yang hanya boleh keluar dari bibirku. Tidak ada yang lain. Pria yang sedang mengacak-acakku sekarang hanyalah milikku.
"Aku di sini, Sayang." Max membelai kulit di bawah perutku dengan lidahnya.
Kakiku gemetar. Merasakan jemari Max menyelinap di antara kain celanaku. Berputar-berputar sebelum menekan kuat di antara celahku yang mendamba dirinya. Dia menarik tangannya keluar begitu suara pekikanku mengalun karena perbuatannya.
Max menarik turun karet celanaku. "Angkat pinggulmu."
Seperti gadis yang patuh, aku mengikuti perintahnya. Mengangkat pinggulku, memberikan kesempatan dia menarik lepas celana itu dari kedua kakiku. Aku tidak terkejut ketika berikutnya aku merasakan hawa dingin membelai sesuatu di antara pahaku saat celana dalamku digeser ke samping.
Max mendongak dengan mata lapar, memberitahu kalau sebentar lagi dia akan membuatku meneriakkan namanya semalam.
Suara teriakanku mengisi gelapnya malam begitu jarinya bergerak keluar masuk di inti tubuhku. Aku mencengkram erat bahu Max seolah hidupku bergantung padanya. Getaran nikmat berlomba-lomba menuju pusat tubuhku. Menggulungku erat. Saat klimaks itu tiba, aku sepenuhnya menjepit jari Max di antara pahaku.
Napasku terputus-putus. Tapi kenikmatan itu membuatku melayang.
Ada rasa kosong yang menjerit untuk diisi kala Max menarik jemarinya keluar.
"Kau sudah siap untukku." Suaranya yang serak berhembus pelan.
Kepalaku masih pening, lelah. Otakku mengatakan kalau aku butuh jeda namun tubuhku berkata sebaliknya. Tanganku yang gemetar menarik turun celana Max sementara dia melepaskan kaosnya.
Max membungkam bibirku dengan bibirnya. Pinggulnya terangkat, mencari posisi yang tepat. Lalu mendesak ke dalam tanpa ditahan. Napasku sempat tercekat di saat Max mengisiku sepenuhnya. Aku masih sensitif tapi kedua pinggulku menariknya dengan serakah.
Max memandu tarian eksotis kami. Menarik dan menekan dalam-dalam sampai ke ujung. Aku mencakar punggungnya, melampiaskan getaran euforia yang meletup di seluruh sarafku.
"Aku mencintaimu." Bibir Max bergerak di samping telingaku, menyalurkan kalimat yang paling aku suka ketika keluar dari bibirnya.
Suaraku tenggelam. Aku membalasnya dengan anggukan. Dengan begitu tempo gerakannya bertambah cepat. Kasar dan terburu-buru. Rakus. Saat semuanya terasa tepat, punggungku melengkung. Kakiku bergetar bersamaan dengan Max yang menenggelamkan dirinya jauh di dalamku. Geramannya menjadi penutup manis petualangan kami malam itu.
***
Aku sudah mengantuk berat saat Max menarikku ke dalam pelukannya. Membungkusku dengan selimut dan kedua tangannya. "Tidurlah." Kecupan lembut menyusul setelahnya.
Aku tersenyum. Mendesakkan wajahku ke lehernya. Napasku berhembus teratur, usapan tangan Max di punggungku terasa begitu menenangkan. Dia membuatku merasa dicintai. Membuatku berharap kalau semuanya akan baik-baik saja dan dia akan selalu menjadi Prince Charming yang ada di mimpiku.
Samar-samar, dari tempat yang jauh, aku mendengar suara menyapa. "Jangan pernah tinggalkan aky." Belitan di tubuhku mengencang. "Milikku. Selamanya."
Aku pasti bermimpi. Karena tidak mungkin Max mengucapkan untaian kata yang mengandung ketakutan yang amat sangat di dalamnya.
***
"Akhirnya aku bisa merasakan udara segar." Aku menyadarkan kepalaku di bahu Max. Menarik napas panjang, menikmati udara malam masuk ke paru-paruku.
Akhir-akhir ini terasa begitu berat. Pekerjaan terus mengejarku, tidak memberikan banyak waktu untuk bernapas. Aku butuh ruang untuk istirahat.
"Kau ingin berlibur?" Max mengusap lengan atasku-menyalurkan kehangatan, meskipun jas yang dia digunakan untuk menghangatkanku sudah memelukku erat.
Bibirku mencebik. "Tidak bisa." Tawarannya terdengar sangat menggoda. Tapi ada pekerjaan. Juga ulang tahun temanku dua hari lagi. Aku sudah memutuskan untuk mencari hadiah untuknya besok.
"Aku harus mencari hadiah ulang tahun untuk Liza."
Satu alis Max terangkat. "Bukannya kau bisa menyuruh asistenmu membelinya?"
Aku menghembuskan napas panjang, mengangkat kepalaku agar bisa menatap Max. "Liza sahabatku. Aku ingin memilih hadiahnya langsung."
"Lalu bagaimana denganku?"
Keningku mengernyit. "Kenapa?"
Jemari Max menekan punggungku. "Aku ingin menghabiskan waktu denganmu besok. Bagaimana kalau bersantai di yacht? Hanya kau dan aku."
Aku menggeleng pelan. "Tidak bisa. Mungkin lain kali."
Max terlihat kecewa. Aku menariknya berdiri untuk menghapus gurat mendung di matanya. Menarik Max agar melingkari tangan di pinggulku sementara jari-jari kami terjalin lembut.
"Hazel?"
Suaranya terdengar bingung.
Aku tersenyum. "Berdansalah denganku."
Max balas melengkungkan senyum yang sangat indah. Di bawah sinar bintang, dia menuntunku bergerak, mengikuti irama pelan. Tanpa musik. Hanya melodi dari hati.
Makan malam hari itu diakhiri dengan dansa dan pelukan hangat.
***
"Kau di mana?" Aku baru keluar dari mobilku, memangang ponsel di telinga dan tas di tangan.
"Hampir selesai. Aku akan segera berangkat." Terdengar suara benda jatuh dari sambungan telepon.
Mataku memicing. "Grace. Aku akan sangat marah kalau kau belum juga datang dalam waktu 20 menit."
Aku dan Grace sudah berjanji untuk pergi bersama-sama mencari hadiah untuk Liza. Tapi jiwa manusia lamban sudah terlalu melekat dengan Grace. Dia sering terlambat datang ketika membuat janji.
"Oke, oke. Jangan marah. Aku akan segera ke sana."
Aku bergumam, mengiyakan. Tingkah sahabatku yang satu ini bisa jadi sangat menyebalkan.
Suara hentakan heels-ku yang menyentuh lantai terdengar nyaring. Aku melangkah cepat, melewati orang-orang dengan isi hati dongkol.
"Hazel."
Bertemu dengan Sam tidak akan meredakan rasa kesalku terhadap Grace. Dari banyaknya orang, kenapa harus Sam yang berpapasan denganku?
"Apa yang kau lakukan di sini?" Sam menatap sekitar, mencari sesuatu. "Sendirian?"
"Ya."
Satu alisnya terangkat. "Biasanya Max akan mengikutimu seperti anak anjing." Kemudian senyum menyebalkannya terbit. "Ada apa? Kalian putus?"
"Buang jauh-jauh prasangka burukmu." Aku melangkah menaiki eskalator. Terdengar suara ketukan kaki, Sam bergabung di sampingku.
"Siapa bilang aku punya prasangka buruk?" Sam melontarkan pertanyaan lainnya.
Aku sedikit mengerti alasan hubungan pertemanan Max dan Sam tidak bertahan lama. Pria ini menyebalkan. Caranya menggodaku, mendekat setiap kali kami bertemu, dan hal lainnya, tentu saja akan memancing amarah Max sebagai seorang pria yang tidak suka kekasihnya didekati pria lain.
"Sudah terlihat jelas. Aku mengerti kenapa kau dan Max sulit untuk akur." Aku meliriknya dari ujung mata. "Jaga batasanmu. Atau aku akan tidak akan menghalangi Max lagi saat dia ingin menghajar wajahmu."
Secara mengejutkan, Sam tertawa, menganggap peringatanku sebagai lelucon.
"Apa kau yakin tentang alasan aku dan Max tidak akur lagi?" Max berbicara layaknya seekor serigala yang sedang mempermainkan domba; licik dan misterius.
Eskalator sudah hampir sampai di atas, bersamaan dengan kakiku yang menyentuh lantai, aku menatap Sam yang mengikutiku. "Apa maksudmu?"
Sam berhenti, satu langkah di belakangku. Satu momen di mana terkadang aku merasa kalau dia memiliki kepribadian ganda.
"Max bukan buku terbuka yang bisa kau baca dengan mudah." Dia terdengar serius. Aku diam. "Aku benar, bukan?" Sam melanjutkan. "Bahkan sebagai kekasihnya, wanita yang... dia cintai, ada sisi yang belum pernah kau lihat."
***
Aku butuh air. Minuman. Apapun yang bisa meredakan tanda tanya yang terus bermunculan di dalam kepala. Sialnya selain menunggu Grace yang tak kunjung datang dan bertemu Sam di waktu yang tidak tepat, seorang pria menyebalkan menyela antrian di depanku.
"Permisi, tapi aku datang lebih dulu." Aku berusaha tetap sabar.
Lelaki itu berbalik, wajahnya yang sebagian besar tertutup jenggot berbalik. Dia hanya melirikku sekilas lalu menatap kasir. Sangat menyebalkan.
"Apa kau tidak dengar?" Suaraku sedikit naik. "Jangan menyela antrian."
Lelaki itu berdecak, menoleh, matanya melotot. "Apa kau tidak bisa sabar sedikit?! Menunggu lebih lama tidak akan membunuhmu."
Si brengsek ini benar-benar menguji kesabaranku.
"Lalu kenapa kau menyela antrian? Menunggu lebih lama tidak akan membunuhmu, bukan?" Aku mengembalikan kata-kata yang dia lontarkan, menunjukkan kalau hal yang sama berlaku padanya.
Pria imut dengan kacamata yang berdiri di belakang counter menatap kami bergantian. Mulutnya terbuka, ingin mengatakan sesuatu tapi nyalinya seukuran semut.
"Hah?" Si brengsek tersenyum merendahkan, menatapku naik turun. "Dasar jalang. Ini sebabnya kalian para wanita harusnya berada di dapur, di bawah laki-laki. Selain mengoceh dengan mulut besarmu itu, kau bisa apa?"
Aku takut kalau setelah ini aku akan masuk penjara. Satu kata kurang ajar keluar dari mulutnya yang menjijikan, aku tidak akan ragu melindasnya dengan mobilku.
"Oh iya..." Kepalanya mengangguk-angguk, seperti anak kecil yang mendapatkan ide untuk mandi di lumpur. Kekanakan. "Kalian juga pandai mengangkang di atas ranjang. Seperti perempuan murahan. Itu menjelaskan sikapmu yang juga murahan."
"Jaga mulutmu, brengsek!" Aku mendorong dadanya, tubuhnya sedikit terhuyung ke belakang.
"Kau mau apa, hah?!"
"Berhenti." Seorang pria usia 50-an datang menghampiri, menekan dada si brengsek yang siap menjerjangku. Aku yakin, kalau pria itu tidak datang, salah satu dari kami pasti berakhir di kantor polisi.
"Mundurlah, Nona." Lelaki itu memintaku menjauh sebelum bicara kepada si brengsek. Aku menghembuskan napas kencang, sebelum pergi, aku sempat mendengarnya berbicara tentang kesabaran dan bagaimana pria seharusnya memperlakukan wanita kepada si penyelak antrian.
***
Aku membuka mata. Menemukan malam yang tenang serta cahaya remang-remang di kamar. Menoleh, sisi di sebelahku kosong.
Setelah bertengkar dengan seorang pria tadi, aku tidur lebih cepat, suasana hatiku berantakan. Keberadaan Max yang entah di mana mendorongku keluar kamar. Suasananya tidak jauh berbeda. Gelap. Beruntung cahaya bulan memberikan sedikit penerangan.
Aku menggosok mata, masih sangat mengantuk. Melangkah kecil, memindai seluruh ruangan lalu berhenti ketika menatap sosok yang berdiri membelakangiku. Bahkan cahaya bulan tidak bisa mengimbangi bayangannya yang gelap. Mungkin kalau aku tidak tahu itu adalah Max, aku pasti berteriak kencang. Dia terlihat berbeda saat berdiri di kegelapan.
"Ya, seperti kecelakaan." Max berguman samar-samar.
"Max..." Ucapku lirih. Max menoleh bersamaan dengan jariku menekan saklar. Lampu menyala terang.
"Kau bangun?" Max tersenyum tipis. Ponsel yang tadi menempel di telinganya sudah diturunkan.
Aku mengangguk, melangkah ke arahnya. "Kau tidak ada di sampingku."
Max menarikku bersandar ke dadanya, mengecup puncak kepalaku pelan.
"Siapa?" Aku penasaran dengan siapa dia berbicara.
"Sekretarisku. Masalah pekerjaan."
"Oh." Meskipun aku kurang puas dengan jawabannya, aku tidak bertanya lagi. Mataku terlalu berat untuk diajak berbicara.
***
"Lama tidak bertemu, Hazel."
Tidak perlu menoleh untuk aku mengenali suara yang baru menyapaku. Suara gesekan kain memberitahu kalau Sam sekarang duduk di sampingku. Aku tidak terpengaruh. Pemandangan manusia yang sedang menghabiskan waktu di taman terasa lebih menarik.
"Kau akan menikah?"
Sam pasti melihat cincin di jari manisku.
"Iya."
"Apa aku diundang?"
Kali ini aku menoleh. "Tergantung."
"Tergantung apa?"
"Alasanmu menemuiku."
Aku dan Max bertunangan satu bulan yang lalu. Dan kami akan menikah dua bulan lagi.
Banyak hal yang sudah terjadi. Sam benar, bahkan sebagai kekasih Max, ada banyak hal yang tidak aku ketahui tentang dirinya. Hal yang membawa keraguan, membuatku bertanya apakah aku sudah berada di jalan yang tepat.
Selama ini aku sudah menutup mata.
"Apa aku punya alasan menemuimu?" Sam bertanya.
"Tentu." Aku rasa ada hal yang ingin Sam sampaikan padaku. Caranya menggodaku selama ini hanyalah samaran. Namun sesuatu menahannya. "Apa kau datang sebagai pria brengsek yang ingin merebutku dari temanmu? Atau kau malaikat yang bisa saja menunjukkan kebenaran yang tidak aku ketahui?"
Sam terdiam. Butuh sepersekian detik baginya memproses kata-kataku sebelum tertawa pelan. "Aku tidak tahu harus mengatakan apa."
"Katakan saja yang kau ketahui tentang Max. Kau sudah mengenalnya lebih lama dariku."
"Apa kau meragukan kekasihmu, Hazel?"
Aku lelah. Ingin Sam dan kalimatnya yang membingungkan agar bisa cepat berlalu.
"Berhenti main-main. Aku tidak punya banyak waktu untuk permainan konyolmu." Aku menatap langsung ke matanya. Tegas. "Apa kau ingin merebutku dari Max?"
Tatapan Sam berubah datar. "Tidak." Begitu juga suaranya.
"Apa Max selingkuh?"
"Tidak."
"Apa dia gila?"
"Sedikit." Sam berkata lamat-lamat. "Kau tahu itu."
"Dia tergila-gila padamu." Lanjutnya.
"..."
"Kalau saja aku tidak mengenalnya dari lama, mungkin dia sudah menembak kepalaku karena sudah mendekatimu."
"Dan aku yakin kau punya alasan tertentu."
"Aku bisa saja menghancurkan pertunangan kalian."
Aku tersentak, menatap Sam tajam. Bertanya-tanya apa maksudnya? Namun otakku menyuruh untuk tenang.
"Apa maksudmu?"
"Aku seharusnya mengatakan ini dari lama. Sayangnya, ada hal yang tidak semudah mengucapkan kata dari mulut."
"Kalau begitu katakan sekarang." Aku mendesaknya. Sam tidak tahu semua keraguan yang bersarang di kepalaku. Rasanya seperti racun mengerogoti dari dalam. Aku merasa bersalah kepada Max.
"Berjanjilah untuk tidak membunuhku setelah ini."
Dalam keadaan seperti ini, aku benar-benar bisa berakhir menjadi kriminal. Apa ekspresiku masih kurang jelas untuk menjelaskan kesabaranku yang sangat tipis?
"Baiklah. Ikut denganku."
***
"Kenapa kita datang ke sini?"
Kami memasuki kawasan gedung apartement yang berjarak 30 menit dari taman. Mobil yang Sam kendarai berhenti.
"Kau akan tahu nanti." Sam membuka sabuk pengaman sementara aku terus bertanya di dalam hati tentang hubungan tempat ini dengan Max.
"Jangan khawatir. Apartmentku bukan di sini."
Terserah. Aku cukup yakin Sam tidak memiliki tujuan untuk menyakitiku. Yang penting, aku harus tahu apa tujuan kami datang ke sini.
Waktu bergulir cepat bersamaan dengan jantungku yang melompat-lompat. Kami tiba di depan sebuah unit aparment. Sam menekan sejumlah angka dan pintu terbuka. Di dalam gelap, tidak ada tanda kehidupan. Sam terlihat cukup familiar dengan tempat ini, dia tahu tempat saklar lampu.
Lampu menyala dan aku membeku.
Kedua bola mataku terpaku kepada foto yang terpajang di dinding. Seorang perempuan cantik sedang tersenyum lebar, mengenakkan gaun berwarna merah muda yang menyatu dengan kulitnya. Aku pasti gila. Perempuan itu terlihat persis sepertiku. Hampir membuatku percaya bahwa aku memiliki saudara kembar.
Tapi aku ingat aku tidak pernah mengambil foto itu.
"Siapa dia?" Aku bertanya dengan suara tercekat.
"Bertahun-tahun yang lalu aku dan Max pernah mencintai perempuan yang sama. Kami berselisih lalu sejak itu hubungan kami tidak pernah sama lagi." Sam menatap foto itu seolah dia sedang menerawang ke masa lalu. "Namanya Cecilia."
"Di mana dia sekarang?" Aku ingin lari. Aku tidak ingin mendengar jawaban Sam. Semua hal yang terjadi selama ini mulai masuk akal. Pertemuanku dan Max bukanlah keajaiban. Dia mengajakku berkenalan karena wajahku mirip dengan perempuan yang dia cintai di masa lalu.
"Dia sudah meninggal."
Aku menarik napas yang terasa begitu sesak. Tubuhku bergetar.
"Ini adalah apartment yang dulu Cecilia tinggali. Bertahun-tahun setelah kepergiannya, Max memutuskan untuk menjaga tempat ini sebagai sisa kenangan dari Cecilia. Sejak itu, dia tidak pernah menjali hubungan dengan wanita lain." Sam menatapku. "Sampai akhirnya dia bertemu denganmu. Saat melihatmu untuk yang pertama kali, aku mengira kalau Cecilia kembali."
Ini gila.
Dadaku rasanya dihantam erat.
"Apa dia suka warna pink?"
"Iya."
Aku memejamkan mata. Jawaban Sam menjelaskan kenapa Max suka melihatku mengenakkan benda berwarna pink. Itu warna Cecilia, perempuan yang dia cintai. Ketika mataku terbuka, wajah perempuan di foto itu tidak berubah. Dia nyata. Dia alasan Max mendekatiku.
"Kenapa kau tidak mengatakkannya dari dulu?"
"Sudah aku bilang. Aku takut menghancurkan hubungan kalian."
Aku ingin menangis tapi justru kekehan yang keluar dari mulutku.
"Brengsek." Umpatku. Dua bulan lagi aku akan menikah. Cincin di jariku buktinya. "Aku akan menikah dan kau baru mengatakan hal sepenting ini."
Aku menatap Sam tajam. "Katakan, apa karena wajah ini Max mendekatiku?"
Sam terlihat ragu. "Iya."
Aku sudah tahu jawabannya. Akan tetapi, aku tetap saja ingin mendengarnya. Aku ingin kepastian. Seolah-olah ruangan yang berisi foto perempuan bernama Cecilia ini masih belum cukup.
Aku ingin Max mencintaiku dengan tulus. Bukan karena aku mirip dengan perempuan yang dia cintai. Aku ingin kalau ini hanyalah mimpi dan Max akan datang menyelamatkanku. Aku ingin pergi ke masa lalu dan tidak pernah bertemu dengannya. Hatiku sakit. Max menyakitiku sedalam-dalamnya. Dia menghancurkan mimpi yang selama ini aku bangun.
Bulir air mata jatuh tanpa bisa aku tahan. Aku menutup mulut, mencoba meredamnya.
"Hazel." Sam mencoba menyentuh pundakku.
Aku melangkah mundur. "Jangan menyentuhku."
"Maaf." Sam memberikan tatapan sendu yang dibalut penyesalan.
Aku menangis untuk waktu yang cukup lama. Tidak banyak yang Sam lakukan selain mengucapkan maaf. Ketika tangisku sudah reda, aku meraih ponsel, menelpon Max. Aku mengatakan serangkaian alamat tempatku berada. Dan tidak perlu seorang ilmuwan untuk mengatakan bahwa Max terdengar begitu terkejut.
Max bertanya kenapa aku bisa di sini? Sayangnya yang dia dapatkan sebagai jawabannya hanyalah suara 'bip' ketika aku memutuskan sambungan telepon. Aku menunggu. Entah bagaimana caranya Max bisa sampai begitu cepat.
Pintu terbuka. Suara hentakan kaki yang cukup keras menandakkan Max sudah masuk.
"Brengsek!" Max mengumpat. Dengan cepat menerjang Sam lalu melayangkan pukulan di wajahnya. "Aku sudah bilang untuk jangan pernah menemui Hazel."
Sam mencekram kerah kemeja Max. "Apa kau berencana menyembunyikan kebenaran dari Hazel selamanya?"
"Hentikan." Ketenangan di suaraku terasa begitu aneh. Padahal aku baru saja menangis kencang. Max menoleh, meninggalkan Sam yang meringis dan mengusap darah yang keluar dari ujung bibirnya.
"Princess, aku bisa jelaskan." Max melangkah mendekatiku.
"Berhenti." Aku melangkah mundur. Penolakanku sudah cukup membuat gurat kecewa terlukis di wajah Max. "Jangan memanggilku Princess. Itu terdengar menjijikan."
Max menggeleng pelan. Bukan hanya dia, aku juga tidak percaya akan apa yang baru aku katakan.
"Sam, bisa tinggalkan kami? Aku harus berbicara dengan Max sendirian."
"Tentu." Sam sempat menatapku dan Max bergantian sebelum meninggalkan apartment.
Hanya ada aku dan Max di sini. Di tempat tinggal perempuan sesungguhnya yang dia cintai.
"Jadi ini alasanmu mendekatiku. Kalau wajahku dan perempuan itu tidak mirip, kita pasti hanyalah orang asing sekarang."
"Sayang, aku mohon dengarkan penjelasanku dulu."
"Tidak ada yang perlu dijelaskan!" Suaraku naik. Aku ingin terlihat kuat di depannya. Sayangnya, air mataku kembali keluar. Selalu seperti ini. Aku akan berubah jadi perempuan paling lemah sedunia jika ada di dekat Max.
"Ini sebabnya kau selalu memintaku memakai warna merah muda. Kau ingin melihat perempuan yang kau cintai." Menyebutkan nama perempuan itu terlalu menyakitkan untukku. "Padahal aku percaya kalau aku terlihat cantik dengan warna merah muda. Aku percaya kalau kau benar-benar mencintaiku." Aku menggigit bibir.
"Jangan menangis, aku mohon." Max berusaha mendekat tapi aku lebih dulu menghentikkannya.
"Jangan mendekatiku, Maximilian!" Aku berbicara masih dengan tangis yang bercampur satu. "Kenapa kau melakukan ini kepadaku, Max? Kau menyakitiku. Semua hal yang kita lalui selama ini hanyalah kebohongan."
"Tidak ada yang namanya kebohongan." Ujar Max tegas, rahangnya mengetat. "Iya, awalnya, aku memang mendekatimu karena..." Ucapannya terpotong. Max menyugar rambutnya kasar. Dia tidak mampu mengatakannya. "Tapi aku sungguh-sungguh mencintaimu. Aku mencintaimu dengan sepenuh hati. Semuanya sudah berubah. Aku melihatmu sebagai dirimu yang sebenarnya. Dan kita akan menikah."
Aku terisak pelan. "Bohong."
"Hazel." Suara Max terdengar seperti sebuah permohonan. "Tolong percaya padaku." Kedua iris matanya terlihat sendu.
Aku mengusap air mataku kemudian melepaskan cincin pertunangan kami. "Aku tidak ingin menikah denganmu." Semuanya sudah hancur. Aku tidak akan berada di dalam pernikahan yang didasari oleh kebohongan.
"Hazel, hentikan."
"Kita berakhir sampai di sini."
Aku akan melupakan Max.
***
Aku selalu tidak berdaya di hadapannya.
Max membawaku kembali ke dalam penthouse yang kami tinggali meskipun aku sudah menangis kencang dan memintanya meninggalkanku. Aku meneriakinya, memukul tubuhnya, dan mengumpat dengan kata kasar. Namun Max bersikap seperti orang tuli.
Berulang kali Max meminta maaf, mengatakan kalau dia mencintaiku dan tidak bisa hidup tanpaku serta seribu alasan lainnya agar aku tinggal.
Omong kosong!
"Aku membencimu."
"Aku mencintamu. Selamat malam." Max menutup tubuhku dengan selimut. Aku menolak tidur dengannya. Max setuju dan tetap mengucapkan selamat malam sebelum aku tidur. Tepat setelah pintu tertutup aku menendang selimutku. Kemudian tidur sambil menangis.
***
Max terlihat letih. Semua pertengkaran kami dan pekerjaannya sudah menyita banyak tenaganya. Pertahanannya tidak sekuat biasanya. Aku menggunakan kesempatan ini dengan cara mencampurkan obat tidur di minumannya.
Setelah yakin Max tertidur, aku menyelinap keluar.
Aku akan pergi, meninggalkan Max dan segala kenangan kami.
Mobilku melaju kencang. Melintasi jalan di kota yang tidak pernah mati. Roda-rodanya berputar semakin kencang ketika aku melewati jalan yang sepi. Kegelapan di mana-mana. Aku membiarkan diriku menikmati ketenangan yang menghanyutkan. Terlalu menghanyutkan hingga aku tidak sanggup memproses mobil yang melaju terlampau kencang.
Aku menginjak rem. Tidak ada gunanya. Kecepatannya semakin tinggi. Rasa takut dan panik menghinggapiku. Mobilku menabrak pembatas jalan, jatuh terguling menuju jurang. Medan yang curam membuat tubuhku terbentur. Rasa nyeri luar biasa terasa dari ujung kepala hingga kaki. Pandanganku berubah gelap. Samar-samar aku melihat asap dari balik kaca mobil.
Setetes air mata jatuh dari ujung mataku. Aku sangat takut. Aku tidak bisa keluar menyelamatkan tubuhku sendiri. Apa aku akan mati seperti ini?
Max. Wajahnya terlintas di kepalaku. Kemudian lenyap bersama kesadaranku yang hilang.
***
Hazel :(
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
