
Demi karir balap motornya, Marc memutuskan hubungannya dengan Raquel. Dia menyesali sikap kekasihnya yang memintanya berhenti untuk kebaikannya. Bagi Marc, pencapaian adalah segalanya. Toh, dengan uang tak berseri yang dimilikinya dia bisa mendapat gadis pengganti manapun di dunia ini.
Malang, kecelakaan masif yang menimpanya suatu ketika membuatnya di ambang pensiun secara otomatis. Dia mulai jenuh dan ditinggalkan. Di titik terendah itu, dia merindukan sosok Raquel.
Bagai jatuh tertimpa tangga,...
"Tiga donat panggang selai cokelat, lima brownies kukus strawberry dan dua croissant."
Raquel mengangguk, lalu mengangkat pesanan wanita paruh baya itu dari dalam etalase dan memasukkannya ke dalam kotak berlogo toko roti tempat ia bekerja. "Ada lagi?"
"Tidak."
"Ba---"
"Ibu! Ibu! Aku mau cheesecake rasa cokelat!" Seorang balita nyentrik dengan kacamata kuning tiba-tiba menarik tas tangan ibunya, mengusik kegiatan wanita itu yang tengah berkutat dengan dompetnya.
Sang ibu menghela napas pelan. "Tiga cheesecake cokelat, dipisah dari pesanan sebelumnya." Dia mengambil empat lembar uang sembari menahan tasnya agar tak merosot.
Raquel mengulum senyum. "Baik."
"Ibu! Rasa vanilla juga!"
"Dulce niña--gadis manis--kau tidak bisa menghabiskan semuanya dalam sehari. Ibu sudah pesan tiga cheesecake cokelat kesukaanmu. Besok kita kembali untuk membeli yang vanilla, ya?" Wanita kurus itu menangkap tangan si balita dan memalingkan tubuhnya.
"Tidak mau! Aku mau sekarang!"
"Tidak bisa, dulce niña--gadis manis--...."
"Pokoknya aku mau sekarang!"
"Tidak bisa, Sayang."
"Aku mau sekarang, Bu!"
Sang ibu memijat pelipisnya kuat-kuat, melengos keras-keras. Gadis kecil itu tak berhenti melorotkan tas tangannya bahkan menarik-narik blus yang dikenakannya.
"Ini uangnya. Terima kasih." Si ibu buru-buru meletakkan uang di meja kasir dan menyambar kantung belanjaannya secepat kilat. "Kembaliannya ambil saja," tambahnya sebelum merunduk dan menggendong anak lasak itu ke luar toko. Dari matanya yang memantul-mantulkan cahaya, Raquel tahu sebentar lagi dia akan menangis.
Lucu sekali.
Setelah memastikan pelanggan tersebut menghilang di perempatan jalan, Raquel baru memutar tubuh dan berjalan ke seberang, melanjutkan kegiatan sebelumnya yang sempat tertunda. Dengan cekatan, kedua tangannya yang mungil menata roti tawar beserta selainya di etalase yang masih lowong.
Meski baru empat bulan bekerja sebagai pelayan, tapi gadis bersurai panjang itu sudah mahir dan lincah. Dia mendedikasikan waktunya seminggu penuh untuk menjaga toko. Sebenarnya, ia tak perlu berada di sana setiap hari. Toko itu milik bibinya dan memberlakukan sistem shift bagi setiap karyawannya. Seharusnya ia dapat pulang jam dua siang dan baru datang pukul dua siang pula jika dapat shift sore. Tapi sebagai gadis yang tinggal sendiri sejak kematian orang tua dan saudara laki-lakinya, dia jadi tak punya alasan berlama-lama di rumah. Raquel senang menghabiskan waktunya di tempat kerja. Katanya, hal itu justru membuat hidupnya bermakna.
"Ibu! Ibu! Aku mau cheesecake vanilla!"
Raquel tercenung. Tangannya menggantung ketika telinganya menangkap secercah suara yang meniru perkataan bocah menggemaskan barusan. Sesaat, dia pikir ibu dan anak itu datang lagi, tapi dari suaranya yang berat dan pantulan kakinya yang berbalut celana jins alih-alih rok di cermin etalase, Raquel sadar kalau itu bukanlah si ibu dan anak nyentrik.
Keningnya berkerut, lalu dengan cepat ia berbalik dan menatap si pembicara tepat di sepasang matanya.
Pada saat itulah, dunia seolah terbalik.
"M-M ... Marc?"
"Halo, apa kabar, Raquel?" Pria peniru itu terkekeh sembari mengulurkan tangan kirinya. "Terkejut?"
Raquel mengerjap, memastikan netranya tak salah menangkap objek. Beberapa saat kemudian ketika pria itu mendekat dan Raquel dapat melihat keseluruhan wajahnya lebih jelas, barulah ia memercayai indra penglihatannya. Bibirnya terbuka tapi tak satu pun yang terlontar.
"Raquel, jangan terkejut begitu." Marc tersenyum dari balik kumis tipisnya. "Apa kita bisa bicara sebentar?" tanyanya saat Raquel masih tak merespons. "Suatu tempat yang tidak begitu jauh, mungkin?"
Raquel cepat-cepat memutus kontak mata dan menggeleng. "Tidak. Aku sedang bekerja. Mungkin lain kali."
"Sebentar saja. Tidak lebih dari lima belas menit."
"Rekan kerjaku sedang sakit. Aku sendirian menjaga toko." Raquel berusaha tak mengindahkan posisi Marc yang berdiri di sampingnya. Dari jarak sedekat ini, ia baru menyadari kalau tangan kanan pria itu membengkak.
"Baiklah, kalau begitu di sini juga tidak apa-apa."
"Tidak bisa. Aku harus bekerja."
"Kalau begitu, kita bicara sambil kau bekerja."
Raquel memejam, Marc tidak pernah berubah. Keras kepalanya masih sama kerasnya seperti dulu. "Marc, sudahlah, aku---"
"Pergilah, Raquel. Biar aku yang menjaga toko. Mungkin Marc ingin membicarakan sesuatu yang penting."
Raquel dan Marc serentak menoleh ke arah meja kasir. Bibi Luciana sudah berdiri dengan tatapan teduhnya yang dihujamkan pada mereka berdua. "Pergilah. Biar aku menggantikanmu."
"Bibi ...."
"Raquel." Bibi Luciana memangkas jarak dan menggapai tangan keponakannya. "Tidak apa-apa. Pergilah."
Raquel menatap Bibi Luciana dan Marc bergantian. Wanita paruh abad itu terus menggenggam tangannya, sementara Marc tersenyum tipis sebab mendapat dukungan. Dari anggukan yang dilayangkan Bibi Luciana padanya, Raquel mengerti dan mengiyakan, "Hanya sebentar. Aku akan segera kembali."
"Bicaralah di taman belakang. Kurasa di sana cukup nyaman." Bibi Luciana melirik Marc. "Jaga dia. Aku memercayakannya padamu."
Laki-laki berkaus hitam itu mengangguk semangat. "Aku janji. Terima kasih." Lalu dia meraih tangan Raquel sekonyong-konyong dan membimbingnya ke taman belakang.
Sejak kedatangan Bibi Luciana, wajah Marc yang semula murung karena terus mendapat penolakan mendadak berubah sumringah. Bibirnya yang penuh tak berhenti mengulas senyum sepanjang perjalanan mereka memutari toko hingga duduk di bawah pohon zaitun. Raquel mengambil tempat di bagian sudut, memudahkannya meletakkan tangan di pegangan bangku agar lebih rileks.
"Apa yang ingin kau bicarakan?"
"Apa kau tidak ingin menanyakan kabarku dulu?"
"Aku sudah tahu."
Marc tergelak. "Dengan tangan seperti ini tentu saja kau tahu kabarku. Tidak begitu baik, bukan?"
Raquel menilik sekilas tangan kanan Marc yang digips. Dengan hanya mengandalkan satu tangan saja, ia tahu mantan kekasihnya itu kesulitan beraktivitas. Dia dominan tangan kanan. "Kau akan segera sembuh."
"Bagaimana kau tahu?"
"Karena saraf radialmu tidak terdampak. Meski itu kecelakaan yang masif dan tulang humerusmu patah, tapi kau akan baik-baik saja. Tidak lama lagi kau akan pulih."
Sekejap, Marc terperangah mendengar penuturan Raquel. Dia mengetahuinya?
"Jangan salah paham. Aku hanya tidak sengaja menonton beritamu di televisi." Raquel segera beralasan begitu menyadari tatapan terkesima Marc untuknya. "Itu saja."
Tawa Marc tersembur. "Yah ... katakan saja seperti itu," bahunya mengedik, "tapi jujur saja ini sakit. Aku bukan superhero. Aku yakin kau juga melihatnya ketika aku tak bisa membuka kaca helmku sendiri."
Mendengar Marc terkekeh, Raquel menatapnya dari samping. Ini pertama kali dia menertawakan dirinya sendiri. "Apa kau baru menyadarinya?"
"Tentu saja aku menyadarinya."
"Tapi kau tidak pernah menerima dan mengakuinya."
Tawa renyah itu perlahan berhenti, berganti erangan samar yang berbisik. "Sudahlah, jangan membicarakan hal itu. Aku ingin menanyakan satu hal padamu."
Dehaman singkat merespons perkataan Marc. "Apa?"
"Apa menurutmu sebaiknya aku berhenti saja?"
Raquel mengernyit. "Berhenti?"
"Berhenti. Pensiun. Mencari pekerjaan baru. Memulai kehidupan baru."
Kedutan di keningnya semakin dalam. "Maksudmu?"
"Apa kau percaya kalau kubilang aku sedang mempertimbangkan untuk berhenti balapan?"
Tanpa sadar, Raquel melepaskan punggungnya dari sandaran.
Berhenti?
Sepanjang yang dia ingat, Marc tidak pernah mau berhenti. Dia ingat betul bagaimana akhir setiap pertikaian mereka. Marc akan dengan lantang mengatakan kalau dia lebih memilih balapan daripada kekasihnya sendiri. Raquel pernah terisak, menangis dan meminta Marc berhenti setelah kecelakaan yang menyebabkan bahunya dislokasi dan dagunya memar hebat, tapi pria itu tetap bersikukuh tidak akan berhenti. Lantas, kini ... ada gerangan apa?
"Apa patah tulang humerus berhasil membuatmu berhenti?"
Marc tersenyum miring. "Mungkin?"
Raquel membuang muka. "Mustahil. Kau orang paling ambisius yang pernah kukenal."
"Raquel ...," Marc menyampingkan tubuhnya menghadap gadis itu, "bagaimana kalau kukatakan aku berjanji tahun ini adalah tahun terakhirku balapan? Dan aku akan mengumumkan pensiunku di akhir musim. Apa kau akan memercayainya?"
Sejenak, Raquel membeku. Matanya melebar, siaga kalau-kalau Marc hanya berkelakar. "Kenapa?"
Marc menghela napas sembari mengusap wajahnya. "Aku kosong, Raquel. Aku menyakiti diriku dan menyia-nyiakan hidupku. Aku sering bertanya-tanya apa yang kulakukan? Apa tujuanku? Kau tahu pada satu titik semua orang akan merasa jenuh atas apa yang dilakukannya. Kurasa, aku telah menyentuh titik itu."
Semilir angin berembus, mengisi suasana yang membingungkan bagi Raquel. Dia bungkam, menyelami sepasang telaga Marc yang hitam, coba mencari setitik saja kebohongan di sana. Ucapannya terlalu sulit dipercaya.
"Raquel?"
Gadis itu terkesiap. "Yah ... jika itu memang keinginanmu ... lakukan saja. Aku mendukung dan menghargai setiap keputusan yang kau ambil."
Seulas senyum tercetak di bibir Marc. "Sungguh?"
"Sungguh," beonya, menyelipkan sejumput rambut yang disapu angin ke daun telinga.
"Lalu ... apa kau juga akan mendukung dan menghargai keputusanku kalau kubilang aku ingin kita kembali seperti dulu?"
Di detik yang sama, Raquel nyaris tersedak lidahnya sendiri.
"Apa kau mau?"
Raquel termangu, seperti orang bodoh.
"Aku serius ingin kita kembali bersama, Raquel."
Ingin kembali bersama?
Apa Marc kehilangan akal?
Lama.
Cukup lama.
Kelewat lama Raquel terpegun. Dia baru tersadar begitu kulit tangannya yang dingin bersentuhan dengan kulit tangan Marc yang hangat. Entah sejak kapan mereka sudah tak berjarak. Raquel bahkan dapat merasakan bahunya dan bahu Marc berdempetan.
"M---"
"Biarkan seperti ini. Sudah setahun."
Jantung Raquel mendadak bertalu-talu. Sentuhan fisik selalu menggoyahkan. Semua orang tahu. Sentuhan Marc intens, dan semakin intens ketika dia mengusap lembut punggung tangan Raquel.
"M-Marc ... hen---"
"Apa kau juga akan mendukung keputusanku itu, Mi Amor--cintaku--?"
Raquel mengontrol denyut napasnya yang memburu, setengah mati mendorong mulutnya untuk menyahut, "Tentu. Aku mendukungmu."
Bibir Marc melengkung ke samping. "Aku tahu kau selalu mendukungku, kapanpun dan apapun. Benar?"
"Aku tidak punya alasan untuk tidak mendukungmu."
Marc tersenyum puas. "Aku tahu kau masih mencintaiku. Perhatian dan sorot matamu menunjukkan segalanya. Kau tidak mungkin mengingat sedetail itu mengenai kondisiku kalau bukan karena kau benar-benar peduli. Betul?" Marc semakin berani, pipi mereka nyaris bertubrukan. "Lalu ... apa jawabanmu? Mau kembali bersama?"
Raquel terjingkat kaget. Tatapannya terjun bebas ke dalam bola mata Marc yang berbinar. "Kau bercanda."
"Aku tidak pernah bercanda. Kau mengenalku sangat baik untuk memahami itu." Marc mengangkat dagu Raquel. "Mau kembali bersama?" ulangnya selembut sutra.
Pasokan oksigen kian tipis bagi Raquel. Matanya mengerjap. Dengan cepat dan rakus, dia menghirup udara dalam-dalam, banyak-banyak, puas-puas, lalu mengembuskannya perlahan melewati mulut.
"Marc---"
"Raquel?"
"Sergio?"
Raquel refleks melepas genggaman Marc dan melompat berdiri. Degup jantungnya memompa tiga kali lebih kencang, mengetuk-ngetuk adrenalinnya.
Alis Marc berkedut merasa terganggu. "Siapa kau?"
Pria itu menyodorkan tangannya. "Sergio. Sergio Marquina."
Sejenak, Marc menyimak wajah dan tangan Sergio dengan mata memicing. Wajah pria itu asing, namun dia tersenyum seolah-olah mereka sudah saling mengenal.
"Marc Marquez."
Sergio tersenyum, melepas jabat tangan mereka dan membalik tas ranselnya. Dia merogoh-rogoh isinya sembari memandang Raquel dan Marc bergiliran.
"Kebetulan sekali bertemu denganmu di sini. Aku ingin memberikan ini." Sergio menyodorkan kembali tangannya bersama sepucuk kertas berwarna merah.
Raquel berkeringat dingin ketika Marc tanpa tedeng aling-aling menyambut kertas itu dan langsung membukanya, bahkan sebelum dia sempat mengatakan apa-apa. Dia tahu betul kertas apa itu, tapi sama sekali tak mampu menghalanginya untuk sampai ke tangan Marc. Mulutnya seolah ditempeli lem, tak mampu terbuka.
Raquel paham apa yang akan terjadi sebentar lagi.
"Kuharap kau senang."
"Raquel ...." Kelopak mata Marc melebar. "Lelucon apa ini?"
"Ini bukan lelucon. Kau cukup pintar membedakan yang mana lelucon dan serius."
Marc mengabaikan Sergio yang menatapnya tajam. "Se ... jak kapan?" Dia meremas pergelangan Raquel seolah menodong jawaban.
Raquel membisu, menutup matanya rapat-rapat. Kenyataan begitu memilukan. Dia kalah. Lagi.
"Raquel?" Marc terus memandangnya penuh tuntutan, sementara Sergio mengangguk begitu Raquel menyorot ke arahnya.
Dalam satu gerakan hati-hati, Raquel melemparkan dirinya pada Marc. Kepalanya dibenamkan di ceruk leher pria itu. "Maafkan aku, maafkan aku."
"Jelaskan apa yang terjadi"
"Dua bulan yang lalu. Aku melakukannya dua bulan yang lalu."
Dari rembesan air yang tiba-tiba menyentuh pundaknya, Marc sadar Raquel menguras air mata di balik lehernya. Suaranya serak, memaksa Marc mengeraskan rahang dan mengepalkan tangannya. "Apa kau mencintainya?"
Tidak ada jawaban.
"Raquel, apa kau mencintainya?"
Sayup angin yang membalas.
"Raquel, jawab aku. Apa kau mencintainya?"
"Tentu saja dia lebih mencintaimu. Tidak perlu mendesaknya begitu, Tuan Marquez." Sergio maju dan mengusap punggung Raquel. "Tapi aku akan membuatnya lebih mencintaiku di masa depan. Aku janji."
Gigi Marc gemeretak hebat. Matanya diangkat untuk menghunus Sergio dengan tatapan membunuh. "Kau---"
"Marc, sudah." Raquel sigap melepaskan diri dan menahan dada Marc. "Jangan bergerak lagi."
"Apa dia alasan kau tidak mengiyakan permintaanku tadi?"
"Maafkan aku." Raquel menangkup seluruh wajahnya dengan telapak tangan, terlalu takut menghadapi kenyataan.
"Raquel ...," Marc membuka tangkupan itu dan menatapnya lekat-lekat, "katakan ini hanya lelucon. Kau tidak mungkin melupakanku. Aku tahu kau sangat mencintaiku bahkan melebihi kau mencintai dirimu sendiri. Katakan ... katakan ... Mi Amor--cintaku."
Raquel diam, menangis sejadi-jadinya seperti anak kecil yang tidak dibelikan cheesecake vanilla oleh ibunya. Akhirnya mimpi buruk ini datang juga.
"Raquel ...."
"Kau benar saat mengatakan aku masih mencintaimu. Kau benar saat mengatakan aku peduli dan mengingat segala hal tentangmu. Kau tahu betul betapa besar cintaku untukmu. Aku bisa melakukan apa saja demi kau. Kau tahu itu, kau tahu itu. Tapi di hari kau pergi, di hari itu pula orang tuaku meninggal. Aku sendiri. Aku terpuruk. Hanya bibiku dan Sergio yang menghiburku setiap hari ...." Raquel menggantung ucapannya, bergeser mendekati Sergio.
"Sepuluh bulan aku berusaha mengobati hatiku. Setelah bertahun-tahun bersama, kau memilih pergi. Aku hancur. Aku dihantui bayang-bayangmu setiap malam. Aku menunggumu setiap hari. Kau tidak pernah kembali. Kau tidak pernah mengunjungiku. Kau tidak pernah menghubungiku. Hingga aku sadar, aku harus melanjutkan hidup dengan atau tanpa dirimu. Perlahan, aku membuka hati dan memutuskan memberi Sergio kesempatan. Maafkan aku, Marc, maafkan aku."
Detik selanjutnya, tak ada lagi yang bersuara. Marc menatap Raquel dengan tatapan kecewa, tapi setengahnya dibungkus dengan perasaan bersalah. Sergio mematung, hanya tangannya yang menggenggam Raquel seakan-akan genggaman tersebut dapat menyalurkan kekuatan.
"Itu keputusan besar, Raquel. Seluruh hidupmu akan berubah. Bagaimana bisa kau memutuskan keputusan sebesar itu dengan pria yang tidak kau cintai?"
"Jangan sentuh dia." Sergio mendahului Marc yang hendak menggapai jemari Raquel. "Aku sudah memberimu kesempatan. Kalian memeluk di depan mataku. Jangan melampaui batasanmu, Marc ... Marquez," tekan Sergio dengan tatapan elang.
Raquel segera menarik tangan Sergio begitu menyadari aura mengerikan mulai menguar di antara mereka. "Aku belajar setiap hari untuk mencintainya, Marc. Aku yakin suatu hari nanti aku bisa mencintainya. Maafkan aku ...," Raquel mengambil napas susah payah, "kuharap kau selalu ingat kalau aku sangat ... sangat mencintaimu. Aku sangat mencintaimu ... sebagai teman. Selamat tinggal, Markie."
Kemudian Raquel berbalik dan menggiring Sergio pergi. Air mata tak berhenti mengalir di kedua pipinya. Hidupnya sudah kacau. Raquel tak butuh pertemuan tak terduga ini untuk semakin mengacaukan hidupnya.
"Raquel ...." Marc bergegas mengejar, berlari secepat yang ia bisa, namun derap kakinya terhenti begitu mendapati Raquel berbalik menatapnya seraya menggeleng, seolah mengatakan padanya agar jangan mengikutinya.
Marc terdiam. Kakinya rapuh. Tenaganya habis. Penyesalan menyebar cepat bagai api membakar dedaunan kering di dalam hatinya. Dari sorot matanya yang begitu sendu, serta air matanya yang terus berlinang, ia tahu Raquel amat terluka dan kesakitan.
Marc memilih duduk kembali di bangku sembari mencerna keadaan. Dia berjalan terseok-seok, cukup lemas setelah apa yang terjadi. Semua terjadi begitu cepat, bagaikan mimpi di siang bolong. Di tangan kirinya masih ada secarik kertas pemberian Sergio. Dengan gerakan lamban, matanya menyapu ulang deretan kata yang terukir di sana.
~Invitación De Boda - Wedding Invitation~
Sergio Marquina Guerra & Raquel Murillo Aletta
21 de octubre de 2020 - October 21st, 2020
Cervera, España - Spain
Lalu, pria malang itu meneteskan air mata sembari merasakan denyut di tangan kanannya yang kembali muncul. Kalau ada suatu keajaiban yang akan terjadi di hidupnya entah di kala kapan, dia bersumpah akan memohon keajaiban itu terjadi di hari ini. Dia akan kembali ke masa lalu, kemudian menarik seluruh ucapan perpisahannya dengan Raquel. Dia mencintai gadis itu seumur hidupnya. Segenap hatinya. Melebihi dirinya sendiri.
Sayangnya, dia terlambat.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
