
Married with Doctor • part 8
Sore harinya setelah beribadah ashar, Dira sudah sibuk berkecimpung didapur guna membuat makanan untuk nanti malam. Ini adalah masakan pertama Dira ya akan langsung dicicipi oleh mertua dan Dira tidak ingin masakannya gagal. Dengan cara ini juga Dira berniat untuk memikat mertuanya. Siapa tau kan ibu mertua langsung bucin padanya. Semoga saja rencana Dira berhasil dan menuai hasil yang bagus pula.
"Wah Mama lagi buat apa?" Vini datang dengan Nara yang berada di gendongannya.
"Loh Nara sudah bangun?" Dira mencuci tangan terlebih dahulu sebelum dia mengambil alih Nara dari dalam gendongan Vini.
Baru saja Dira menggendong Nara sebentar, ibu mertuanya memasuki dapur dan langsung mengamati apa ya terjadi.
"Kalau lagi masak jangan pegang anak. Nanti banyak bakteri yang nempel." Ucapnya membuat Dira mematung sejenak. Dira tidak sakit hati, Dira tau bahwa itu adalah sebuah bentuk sayang seorang nenek pada cucunya. Lagi pun yang dikatakan tidak salah.
"Aku tadi udah cuci tangan kok Ma." Dira memberitahu. Tapi mertuanya tidak menggubris setelah mengambil sebotok air dari kulkas, mertuanya langsung keluar meninggalkan Dira yang hanya bisa terdiam.
"Maafin Mama ya kak. Mama emang gitu tapi aslinya Mama penyayang kok." Ucap Vini yang merasa tidak enak karena perlakuan mamanya pada Dira.
Untuk sekarang tidak apa jika memang Mama masih belum bisa menerima Dira sepenuh hati. Vini yakin dengan kebaikan Dira pasti Mamanya lama-kelamaan akan luluh juga, dan pastinya akan senang karena memiliki menantu seperti Dira.
"Iya gak apa, lagian benar kok apa yang Mama bilang." Dira menyerahkan Nara agar kembali ke gendongan Vini. Dia masih harus berkutat dengan bahan-bahan didepannya agar bisa selesai tepat waktu nanti.
"Tolong jaga Nara sebentar ya." Ucap Dira meminta tolong.
"Gak perlu sungkan gitu lah kak." Dira tertawa kecil mendapat jawaban seperti itu. Vini anaknya baik dan humble sekali membuat Dira lebih luwes dalam bersikap padanya.
Setelah itu Vini dan Nara pergi dari dapur karena Nara rupanya sudah mengeliat tanda tidak nyaman terlalu lama berada disana. Mungkin karena hawa didapur lebih panas kali ya membuat bayi itu tidak nyaman.
Sembari memasak makanan, Dira juga menyempatkan untuk membuat kue agar nanti dibawa pulang oleh mertuanya. Saat Dira tengah melihat kue yang berada di dalam oven, dia dikejutkan dengan kehadiran laki-laki yang beru beberapa jam resmi menjadi suaminya.
"Lagi apa?" Tanya nya dengan santai. Untung saja Dira tadi tidak terjerembab hingga mengebrak oven didepannya.
"Kaget tau Mas." Dira mengelus dadanya tanda bahwa dia kaget.
"Maaf. Tolong buatkan saya kopi." Agam meminta maaf sekaligus memberikan perintah kepada Dira untuk membuatkan dia kopi.
Sebagai istri yang berbakti pada suami, Dira segera mengambil gelas dan menyeduhkan kopi instan yang selalu tersedia disana.
"Aku buat brownis. Mama suka gak ya Mas?" Dira meminta pendapat suaminya. Dia belum tau apa yang disukai dan tidak disukai oleh ibu mertuanya. Mungkin sedikit informasi dari Agam bisa membuat Dira lebih mudah melancarkan rencananya.
"Suka. Mama suka kue kue seperti itu." Agam menjawab sesuai apa yang diketahuinya. Dira mengangguk dan memberikan kopi yang dipinta Agam tadi.
"Semoga nanti Mama suka ya Mas sama kue buatan aku." Ucapan Dira mengandung keinginan besar disana.
"Pasti Mama suka, apalah kalau dibuatin menantunya." Agam berusaha menghibur Dira dengan jawabannya. Mendengar itu Dira menyunggingkan senyum diwajahnya.
"Mas mau sesuatu untuk nanti malam?" Tany Dira menanyakan apakah Agam punya makanan yang diinginkan atau tidak. Tapi rupanya hal kalimat Dira terlalu ambigu dan di salah artikan oleh Agam.
"Hah? Sesuatu?" Jawab Agam dengan cengo. Dira dengan polosnya malah mengangguk dengan semangat.
"Mau." Jawab Agam pelan, dia juga berdeham untuk menghilangkan gugup yang tiba-tiba melanda.
"Mau apa?" Agam menatap Dira dalam. Bukankah tadi Dira yang menawarkan tapi kenapa sekarang malah menanyakan mau apa? Apa Dira ingin dirinya mengatakan dengan gamblang.
"Mau makan apa Mas?" Tanya Dira lagi karena Agam tidak segera menjawab dan malah menatap dirinya intens.
Seketika Agam cengo. Jadi ini maksudnya? Sepertinya Agam harus segera menyucikan otaknya agar berpikir yang aneh-aneh. Mungkinkah ini efek samping kelamaan menduda?
"Ah itu." Agam gelagapan menjawabnya. Otaknya tidak bisa berpikir dengan benar.
"Apa Mas?" Dira juga kebingungan mendapati jawaban Agam yang seperti itu.
"Terserah saja. Saya makan apa aja mau." Jawab Agam akhirnya.
"Saya kedepan dulu." Pamit Agam lalu meninggalkan Dira hendak bergabung dengan Papa dan juga adiknya yang kini tengah asik bermain catur.
***
Setelah menyesuaikan ibadah terakhir malam ini, seluruh keluarga berkumpul di meja makan untuk melaksanakan makan malam.
Meja makan kini telah terisi dengan beberapa menu makanan yang tadi dibuat oleh Dira sendiri. Vini juga sempat membantunya tadi dan itu sudah sangat membuat Nela merasa lebih santai.
Dira dengan telaten melayani suaminya dan dan lainnya. Bukan maksud keluarga Agam menjadikan Dira seperti pembantu, Dira hanya menyiapkan sekadarnya saja seperti mengambilkan piring dan menata makanan saja. Selebihnya dilakukan sendiri-sendiri oleh mereka.
Setelah semua siap untuk menyantap makanan, Dira mengambil Nara dari pangkuan suaminya.
"Sini Mas Nara sama aku aja."
"Kamu gak makan?" Agam merasa heran karena istrinya itu sama sekali tidak mengambil makanan untuk dirinya sendiri.
"Nanti aja Mas. Biar gantian jaga Nara nya. Ayo silahkan dimakan." Dira mempersilakan orang yang ada dimeja untuk segera menyantap makanannya.
"Kamu duduk, makan juga." Suara dari Mama terdengar. Dira mantap Mama mertuanya.
"Nara biar sama Agam aja. Kamu kan sudah capek-capek masak masa mau makan belakangan." Lanjutnya. Hati Dira bergetar, ternyata Mama mertuanya tidak sebenci itu padanya. Bahkan perhatian kecil seperti ini saja sudah dapat membuat Dira merasa bahagia, bukankah itu tandanya Mama mertuanya ini sudah mulai menerima kehadirannya sebagai menantu.
"Sini Nara nya." Agam mengambil kembali Nara yang sempat diambil oleh Dira.
"Mas."
"Tidak apa saya sudah biasa makan sambil pangku Nara." Jawab Agam menenangkan.
"Ambil makannya." Ucap Mama lagi. Akhirnya Dira mengambil makanannya sendiri.
Setelah itu semua orang disana mulai menyuapkan makannya. Senyum kebahagiaan tidak bisa lagi Dira tutupi. Benar apa yang dikatakan Vini, bahwa Mama memang orang yang penyayang. Covernya saja yang terlihat galak tapi dalamnya lembut. Sepertinya usaha Dira sudah membuahkan hasil meskipun masih sedikit.
Dira menoleh kearah Agam yang sama sekali tidak terlihat kesusahan makan sambil memangku Nara. Sepertinya Agam ini tipe ayah yang meskipun sibuk dia akan selalu ada untuk anak-anaknya. Betapa beruntungnya Nara tumbuh di keluarga yang sehat seperti ini. Kakek dan nenek yang sayang padanya, juga jangan lupakan Tante dan Om nya yang juga tidak kalah dalam memanjakan dirinya. Dan pastinya papa yang selalu ada untungnya, semoga Dira dapat menggantikan sosok Mama yang selama ini telah hilang dari hidup Nara.
Married with Doctor • part 9
"Mas hari ini aku mau kerumah bapak. Mau ambil barang-barang." Dira meminta izin dari suaminya.
Sebelum menjawab, Agam lebih dulu meneguk segelas air putih yang telah Dira siapkan untuknya tadi sebelum sarapan.
"Saya antar." Jawab Agam. Kebetulan dia hari ini masih libur, baru akan bekerja kembali besok harinya.
"Aku bisa sendiri kok Mas." Dira berniat menolak tawaran suaminya. Bukan apa Dira mengantisipasi saja, pasti disana dia akan menjadi bahan gunjingan. Dan Dira tidak mau Agam juga terlibat. Karena itulah Dira sama sekali tidak ada mengundang para tetangga untuk ikut serta dalam acara pernikahannya.
Dira tidak ingin terlihat sangat menyedihkan di mata keluarga suaminya. Cukup Agam saja yang mengetahui beban yang ada pada dirinya.
"Saya antar saja. Sekalian mau ketemu bapak." Kali ini Dira tidak membantah lagi. Dalam hati dia berdoa semoga saja nanti omongan para tetangga tidak sampai mengganggu suaminya itu.
"Nara masih tidur Mas?" Dira memilih bertanya hal lain. Jujur saya dia masih merasa agak shock karena bayi itu tadi tengah malam tiba-tiba terbangun dan menangis. Dira dan Agam yang tengah terlelap dalam tidur tentu saja menjadi terbangun dan harus menenangkan Nara. Dan akhirnya saat waktu menunjukkan pukul dua barulah Nara kembali terlelap dalam tidur dan hingga kini belum bangun lagi.
Sebelumnya Dira tidak punya pengalaman merawat bayi seperti ini, jadi dia merasa harus banyak lagi belajar agar dapat menjadi sosok ibu yang baik untuk Nara.
"Masih. Tadi kayaknya masih lelap."
"Aku cek dulu deh." Dira meninggalkan Agam yang terlihat sibuk membaca sesuatu di ponselnya.
Saat memasuki kamar yang pertama kali di dengar Dira adalah rengekan dari bayi yang kini sudah mengeliat di box nya. Seperti bayi cantik itu baru saja terbangun.
Sebelum bayi itu mengeluarkan tangisannya, Dira segera mengambilnya kedalam gendongan. Dan mengayun-ayun sedikit.
"Baru bangun ya." Dira mengajak Nara untuk berbicara meskipun sudah tau bahwa bayi itu tidak akan merespon.
Karena gemas dengan Nara, Dira mengecup beberapa kali pipi gembul Nara ya menyebabkan bayi itu menangis. Dira sontak saja terkejut, dia tidak tau bahwa bayi tidak suka dicium.
Dira bingung, dia akan mengambil botol susu untuk Nara tapi seketika dia teringat bahwa susu itu sudah tidak fresh lagi. Susu itu sudah diseduh tadi malam, mungkin saja kan basi.
Dengan berusaha menenangkan Nara yang masih menangis, Dira berjalan kembali menuju dapur.
"Kenapa?" Tanya Agam yang kini sudah memusatkan perhatian pada kedua perempuan yang dia harap akan selalu menemaninya hingga menua nanti.
"Baru bangun Mas. Ini gendong dulu aku buat susunya." Agam memindahkan Nara dalam gendongannya.
Dia menghibur sebentar bayi itu dan ajaib nya tangisan yang tadi dikeluarkan seketika berubah menjadi tawa renyah sang bayi.
Dira terdiam sejenak, sepertinya ikatan batin antara bayi dan ayahnya itu sangat kuat. Tidak ingin ambil pusing, Dira segera menuju dapur dan membuatkan anaknya susu.
Anaknya, mendengar itu Dira masih tidak percaya bahwa saat ini dia telah menjadi seorang ibu dari bayi yang berusia satu tahun itu. Meskipun hanya ibu sambung sebenarnya.
* * *
Saat baru saja kaki Dira menginjak tanah halaman yang menjadi saksi pertumbuhannya dari kecil sudah terdengar bisik-bisik tetangga yang mengiringi.
Di sebrang rumah bapaknya, sudah terdapat segerombolan ibu-ibu yang hobi ngerumpi tengah menatap kearah mereka.
"Itu toh suaminya Dira." Celetuk salah satu ibu-ibu.
"Pantesan aja ya mau sama duda orang ganteng gitu kok apalagi kan katanya suaminya kaya." Sahut ibu yang lain.
Dira menatap Agam dengan tidak enak. Meskipun tidak semua tetangganya suka rumpi seperti itu, tapi kebanyakan. Dan Dira tidak bisa mengelak jika dia sekarang tengah menjadi topik hangat di daerah rumahnya.
"Ayo Mas masuk." Dira segera mengajak Agam untuk memasuki kediaman bapaknya agar tidak mendengar lebih lanjut gunjingan para tetangga.
Dira dan Agam mengucap salam yang langsung di jawab oleh bapak yang kini tengah santai. Dira memang tidak memperbolehkan bapaknya untuk bekerja lagi, sebelumnya bapak bekerja di sebuah pabrik yang berlokasi tidak terlalu jauh dari sini. Tapi semenjak bapak sering sakit-sakitan, Dira memaksa agar bapaknya mengundurkan diri.
Sebagai menantu, Agam menyalami tangan bapak. Alhamdulillah kondisinya sekarang sudah membaik pasca operasi yang dijalaninya.
"Kenapa tidak kabari bapak kalau mau mampir toh Nduk. Kalau kasih kabar dulu kan Bapak bisa menyiapkannya sesuatu." Bapak merasa buruk karena dia sama sekali tidak mempersiapkan apapun sebagai jamuan untuk menantu dan anaknya sendiri.
"Tidak perlu repot pak. Sebaiknya bapak istirahat saja agar cepat pulih." Agam memberi nasehat.
Satu hal yang Dira sembunyikan dari bapaknya, Dira tidak menceritakan bahwa uang yang dipakai operasi adalah dari Agam. Yang bapaknya tau Dira meminjam uang itu dari salah seorang temannya. Dan Dira tidak ingin sampai bapaknya mengetahui yang sebenarnya. Bukan karena Dira suka berbohong, tapi Dira hanya takut jika nanti bapaknya menanggap dia hanya membebani Dira.
"Aku ke kamar dulu. Kasian Nara nanti tidurnya gak nyaman." Dira berpamitan meninggalkan kedua laki-laki mahramnya itu diruang tamu.
Lama keheningan terjadi diantara keduanya hingga akhirnya Agam ya berinisiatif untuk memulai obrolan antara mereka.
"Sebelumnya saya ingin meminta maaf pada bapak karena waktu itu menemui dalam keadaan yang kurang pantas." Agam menyadari bahwa tindakannya tempo lalu saat meminta restu orang tua Dira kurang sopan. Agam tidak menunggu hingga bapak sembuh dan mendatangi rumahnya tapi Agam malah terburu-buru dan menemui di rumah sakit saja.
"Tidak masalah dokter. Justru saya ingin berterimakasih pada dokter karena telah mengeluarkan Dira dari penderitaan yang ditanggungnya selama ini. Saya merasa gagal menjadi ayah yang baik untuk Dira. Saya tidak bisa membuat putri saya bahagia." Bapak mengatakan hal itu sembari menahan air matanya agar tidak turun deras. Rasa bersalah selalu menghantuinya karena merasa sudah menjadi Beban bagi putrinya sendiri.
"Panggil Agam saja pak. Saya sekarang sudah menjadi menantu bapak." Agam merasa risih mendengar panggilan bapak yang masih terkesan formal padanya.
"Saya titip Dira ya nak, bahagiakan dia. Sudah cukup penderitaan yang selama ini dia rasakan." Satu tetes air mata meluncur dari kelopak mata bapak. Membuat Agam merasa sedih melihatnya.
"Jangan sedih pak. Dira pasti juga sedih jika melihat bapak seperti ini. Cukup dengan bapak sehat saja, saya yakin Dira akan merasa bahagia kembali."
"Dira sangat menyayangi bapak, saya masih ingat saat dia nangis sambil membawa bapak ke rumah sakit." Agam berpindah tempat duduk menjadi di samping mertuanya. Agam mengelus pelan punggung bapak agar sedikit lebih tenang.
"Ngomongin apa sih serius amat."
Bapak memalingkan wajah dan menghapus air mata yang mengalir. Dia tidak ingin Dira melihat nya bersedih lagi. Cukup dulu sekarang tidak lagi.
"Cuma ngomong ngalor-ngidul. Sini Nduk duduk." Bapak mengajak Dira untuk bergabung bersama mereka.
Mereka bertiga bercakap-cakap. Terlihat Dira yang mendominasi pembicaraan. Kedua laki-laki lainnya hanya diam mendengarkan Dira bercerita.
Senyum kebahagiaan tersemat disana membuat yang melihat juga tertular untuk menyunggingkan senyum.
Married with Doctor • part 10
Setelah tadi sempat makan malam di rumah bapak, barulah Dira dan Agam memutuskan untuk pulang. Alasan lain juga karena Nara sudah terlihat ngantuk. Bapak tadi sempat menawarkan agar mereka menginap, tapi Dira menolaknya. Dira merasa pasti Nara tidak akan nyaman tidur disana.
Nara kini telah berada di pangkuan Dira, bayi itu menolak untuk di taruh di carseat. Akhirnya setelah drama yang dilalui dengan tangisan Nara, Agam mengizinkan agar Nara dipangku Dira saja.
Tapi lihatlah sekarang bayi yang awalnya mengantuk itu kini telah segar kembali dengan sebuah mainan ya berada ditangannya. Semoga saja nanti saat dirumah Nara kembali ngantuk dan terlelap tidur.
"Kamu mau lanjut kuliah?" Agam membuka obrolan di antara mereka.
Dira sontak saja langsung menatap Agam kembali. Benaknya bertanya-tanya mengapa Agam bertanya demikian, bukankah Agam menikah dengannya untuk menjadi ibu sambung untuk Nara. Bukankah jika Dira lanjut kuliah fokusnya akan terbagi. Sisi pesimis dalam diri Dira muncul, apakah Agam merasa malu memiliki istri yang pendidikannya tidak setinggi dirinya?
Tapi dilain sisi Dira juga ingin melanjutkan kuliah, Dira masih ingin merasakan kembali bagaimana mumetnya otak karena memikirkan tugas yang tak kunjung selesai. Tapi Dira sadar bahwa sekarang ini dia sudah memiliki tanggung jawab lain yang tidak mungkin bisa ditinggalkan begitu saja.
Beberapa menit digunakan Dira untuk merenung, akhirnya dia sekarang sadar bahwa Agam kini tengah menunggu jawaban yang akan diberikan olehnya.
"Kenapa Mas?" Kalimat tanya jugalah yang keluar dari mulut Dira. Dira tidak ingin berpikir negatif pada suaminya.
"Kamu mau lanjut kuliah?" Agam mengulangi pertanyaannya tadi karena dia berpikir bahwa tadi Dira tidak mendengar dengan jelas.
"Bukan. Aku tanya kenapa Mas tiba-tiba tanya kayak gitu." Dira menjelaskan arti dari pertanyaannya barusan.
"Saya tidak akan menghalangi kamu untuk berkembang. Meskipun sekarang kamu sudah menjadi istri sekaligus ibu dari anak saya. Tapi jika memang kamu masih punya impian saya akan mendukung."
Dira mengangguk paham akan penjelasan Agam. Syukurlah apa yang ada dalam pikirannya tidak benar.
"Kalau aku kuliah, terus Nara siapa ya jaga?" Sebelum mengambil keputusan, Dira merasa perlu membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan tugasnya sebagai istri dan juga ibu. Dira tidak ingin jika keputusan yang diambilnya nanti akan menimbulkan masalah diakhir.
"Bisa minta tolong Mbok dulu."
Dira menimbang apakah itu keputusan yang tepat. Mbok yang bekerja di rumah Agam sudah pasti memiliki tugas nya sendiri, apa nanti jika mereka minta tolong menjaga Nara tidak akan memberatkan Mbok?
"Nanti aku akan pikirin lagi Mas." Jawab Dira akhirnya. Dia tidak boleh egois, karena keinginannya untuk kuliah bisa saja memberatkan satu sisi. Dira harus memikirkan matang-matang dulu sebelum memberi keputusan yang pasti pada suaminya.
Agam mengangguk, dia tidak ingin mengekang Dira. Jawaban apapun nanti yang akan diberikan Dira akan Agam terima asal Dira senang dan enjoy Agam akan selalu mendukung wanita itu apapun keputusannya.
"Mau mampir dulu?"
"Gak perlu. Langsung pulang aja kayaknya Nara udah mulai mengantuk lagi." Ucap Dira sembari tangannya mengelus pelan puncak kepala Nara.
Bayi yang ada di pangkuannya itu sudah menyandarkan kepalanya pada tubuh Dira. Mungkin tidak lama lagi bayi itu akan menuju alam mimpi.
"Besok saya sudah mulai kerja." Agam memberitahu. Dira hanya membalas dengan anggukan karena dia juga bigung harus merespon seperti apa.
Mereka sebelumnya kan tidak terlalu dekat. Jadi mungkin Dira masih perlu membiasakan diri dengan kehadiran Agam disisinya.
* * *
Keesokan paginya, sebagai istri Dira menyiapkan segala kebutuhan yang Agam butuhkan. Dari pagi Dira sudah sibuk membuat sarapan. Untuk mempercepat waktu Dira hanya membuatkan nasi goreng saja untuk sarapan mereka kali ini. Mbok baru akan datang nanti saat waktu menunjukkan pukul 8. Agam memang memberi kelonggaran pada Mbok mulai saat Dira menjadi istrinya. Jadi wanita yang usianya akan menginjak setengah abad itu tidak perlu repot-repot, pagi sudah harus ada disini beda seperti dulu.
Nasi goreng sudah siap dihidangkan, tinggal menunggu laki-laki yang akan menyantapnya saja untuk segera bergabung. Karena Agam tidak kunjung terlihat batang hidungnya, Dira berjalan kembali menuju kamar.
Sesampainya disana, Dira melihat Agam tengah menggendong anaknya. Suaminya itu sudah mandi sih, tinggal memakai baju saja. Pantas lama, ternyata Nara sudah bangun rupanya.
Dira menghampiri keduanya dan segera mengambil alih Nara dalam gendongannya. Beruntung karena anak itu tidak menolak malah memberikan senyum cerahnya pada Dira.
"Pakai baju Mas. Udah siang ini." Suruh Dira yang langsung Agam kerjakan. Setelahnya, Dira kembali keluar dari kamar untuk membuatkan Nara susu. Sepertinya anak itu masih belum meminum susunya sejak bangun.
"Nara lapar?" Tanya Dira mengajak anak itu untuk berbicara. Dira pernah membaca artikel yang katanya mengajak anak untuk berkomunikasi seperti itu bagus untuk pertumbuhan anak seusia Nara ini.
Seakan mengerti apa yang dikatakan Dira, Nara bergumam bahasa bayinya. Dira terkekeh, dia gemas dengan anak gembul satu ini. Dira mengecup sekali pipi gembul Nara.
Beberapa menit kemudian, Agam turun menuju ruang makan. Disana sudah tersedia nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi diatasnya. Juga jangan lupakan kopi yang tadi Agam minta buatkan pada Dira. Tapi dimana keberadaan wanita itu, saat Agam menoleh ke arah dapur dia juga tidak menemukan istrinya.
Agam mencari dan samar-samar dia mendengar suara Dira yang berasal dari taman dibelakang rumah. Agam segara membuka pintu yang menghubungkan dengan taman dan disana dia melihat Dira tengah menyuapi Nara sembari berjemur.
"Sedang apa?" Suara Agam mengalihkan Dira dari bayi di gendongannya. Dia menatap Agam yang berjalan menghampiri.
"Sarapannya sudah siap Mas. Udah aku taruh di atas meja sama kopinya."
"Kamu tidak sarapan?"
"Nanti, aku masih nyuapin Nara dulu."
"Didalam saja, temani saya makan." Pinta Agam. Dira terdiam sejenak, lalu setelah mengerti dia langsung melangkah menuju ruang makan dan menemani Agam hingga selesai sarapan.
"Sini Nara sama saya. Kamu sarapan dulu." Setelah meneguk segelas kopi, Agam meraih Nara agar beralih padanya.
"Gak papa mas. Kamu berangkat aja nanti telat." Ucap Dira. Dia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh kurang tiga puluh menit.
"Masih cukup waktunya. Kamu sarapan saja." Ucap Agam lagi. Tidak ingin bertele-tele, Dira segera meraih piring yang berisi nasi goreng miliknya.
Dira memakan dengan lahap nasi goreng buatannya sendiri. Rasanya enak, seketika dia menatap Agam yang tengah mengajak Nara untuk bercanda. Laki-laki itu samasekali tidak mengeluarkan protes terhadap masakan Dira, tidak juga memberi pujian. Dira ingin bertanya tapi rasanya tidak penting juga, jadi diurungkan.
Dira memakan dengan santai, saat tidak sengaja melirik pada jam di dinding matanya terbelalak. Segera dia menghabiskan nasi goreng miliknya dan meneguk segelas air.
Dia lalu menghampiri Agam.
"Aku selesai mas." Dira segera meraih Nara kedalam gendongannya.
"Oh iya, saya berangkat." Dira mengekori Agam untuk mengantar hingga depan rumah.
Saat sampai di depan, Agam mengulurkan tangannya. Awalnya Dira bingung tapi setelah mengerti maksudnya Dira langsung menyalami tangan tersebut.
"Nara Salim dulu sama Papa." Dira menuntun tangan Nara untuk menyalami tangan Agam. Setelahnya Agam memberi kecupan di wajah bayi itu.
"Saya berangkat. Hati-hati dirumah, titip Nara." Setelah berpamitan, Agam masuk kedalam mobilnya.
Dira mengambil tangan Nara dan melambaikannya kearah mobil Agam. Mobil Agam mulai berjalan perlahan. Seakan tau bahwa akan ditinggal Nara mulai merengek tanda bahwa dia tidak ingin ayahnya pergi bekerja.
"Papa kerja dulu ya, nanti pulang kok." Dira menghibur bayi itu agar tidak menangis.
"Sekarang waktunya Nara mandi. Kita mandi sama bebek ya." Sepertinya cara satu ini tidak akan gagal. Dari yang Dira amati selama mengurus Nara, bayi itu sangat suka bermain air apalagi jika ditemani bebek kesayangannya.
Sepertinya cara ampuh ini akan Dira lakukan setiap hari untuk mengatasi rengekan pagi hari Nara.
TBC
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
