
ISI BAB
- PROLOG
- PERTEMUAN KEMBALI (1)
- CEO KEPARAT (2)
- ALAN MODE CURCOL (3)
- BENCANA SATU MALAM (4)
- TANGGUNG JAWAB? (5)
- KEANEHAN SEORANG ALAN (6)
- MAU UNTUNG (7)
- MALAH BUNTUNG (8)
PROLOG
DEMI jumlah mantannya yang masih bisa dihitung dengan jari, kenapa juga dia mendapat promosi tapi harus dimutasi?
Pekerjaannya selama ini memang memuaskan, tapi naik jabatan saja tanpa perlu mutasi, kan, bisa? Kenapa dia harus repot-repot dibuang ke Jakarta hanya demi pekerjaannya saja?
Jeanne tidak rela. Benar, dia sangat tidak rela.
Jeanne orang asli Bandung. Kedua orang tuanya ada di sana. Walaupun dia sekarang tinggal sendiri, karena mau mencoba mandiri, tapi berulang kali Jeanne masih mengunjungi kedua orang tuanya yang cerewet bukan main itu. Apalagi dia memang anak satu-satunya yang mereka punya.
Belum lagi soal pacarnya. Jeanne sudah punya pacar. Namanya Fredy alias si bebek sawah. Sesuai julukannya, dia adalah bebek yang cueknya bisa mengalahkan gunung es di kutub utara.
Tidak percaya? Baca pesan mereka berdua ini!
J : Gue mau berangkat ke Jakarta. Lo nggak mau datang buat peluk cium gue sebelum kita berdua LDR-an apa?
F : Lebay.
J : Serius, Bek! Abis ini gue bakal jarang gangguin lo lagi!
F : Malah bagus.
J : Gue putusin lo!
F : Canda.
J : Gue serius. Makin ngeselin banget lo sekarang, Bek!
F : Gue ada rapat nanti, jadi nggak bisa nganter. Lagian cuma Jakarta - Bandung, gue bisa langsung ke sana kalau udah kangen.
Jawaban panjang pertama setelah perdebatan hampir seminggu mereka. Tentu saja perdebatan itu diisi penuh oleh Jeanne seorang, karena Fredy hanya akan membalas satu dua kata saja saat bicara ataupun mengirim pesan padanya.
Jika bukan karena sayang isi kantongnya, Jeanne pasti sudah membuang pacar bebek sawahnya yang cuek banget itu.
F : Jadi putus?
J : Nggak.
F : Kirain.
J : Kenapa? Kok kayaknya kecewa?
F : Nggak.
Jeanne melempar ponselnya ke atas ranjang sambil mengembuskan napas kasar. Berat. Fredy memang orang sabar, tapi Jeanne berani sumpah kalau dia tidak sesabar pacarnya.
Dia baru mulai belajar namanya sabar setelah bertemu dengan Fredy. Itu pun karena dia terpaksa harus mengimbangi sifat sang calon suami. Kalau tidak? Sudah dia lempar ke jurang aja kali model cowok kayak gini?!
Siapa juga yang bilang kalau punya cowok dingin itu enak? Gue pengen tampol mukanya biar dia sadar dan nggak kebanyakan berkhayal!
Jeanne menghela napasnya sekali lagi, kemudian mengambil ponselnya dan memasukkannya ke dalam tas. Dia sudah bersiap sejak beberapa saat yang lalu. Orang tuanya bahkan turut membantu sembari mengucap salam perpisahan karena mereka takkan bertemu dalam beberapa waktu.
"Jaga diri baik-baik di Jakarta nanti, Je!" Pesan ayahnya.
Jeanne mengangguk patuh.
"Inget kalau kamu sudah punya pacar, sudah jadi calon suami juga. Jangan macam-macam di sana kalau kamu masih mau nikah tahun ini, ya!" Peringat ibunya yang tampak khawatir sekali kalau Jeanne bakal berbuat nakal selama di Jakarta nanti.
"Ayah sama Ibu tenang aja. Emangnya aku mau ngapain di sana? Orang aku mau kerja, bukan mau cari calon suami baru karena calon yang ini terlalu kaku."
Kedua orang tuanya hanya bisa memasang senyuman masam setelah mendengar ucapannya. Sedangkan Jeanne menunjukkan senyum terbaik andalannya.
"Kaku-kaku gitu juga pilihanmu sendiri, Je," sindir ibunya yang terasa menusuk tepat ke ulu hatinya.
"Iyain!" Setelah berpamitan dengan cara salim hormat pada kedua orang tuanya, Jeanne masuk ke dalam taksi yang akan membawanya pergi.
___
PERTEMUAN KEMBALI (1)
BARU hari pertama kerja tubuhnya sudah terasa tidak keruan. Bukan karena jumlah pekerjaan yang mematikan, melainkan karena stamina tubuhnya yang kurang.
Jeanne baru tiba kemarin di Jakarta. Dalam keadaan lelah sehabis perjalanan panjang, dia masih harus mengemasi barang-barang juga membersihkan tempat tinggal barunya. Kalau tahu bakal begini akhirnya, dia pasti pergi dari jauh-jauh hari saja.
Sayangnya nasi sudah menjadi bubur. Semuanya sudah telanjur. Dengan tubuh lelah dia terpaksa menyeret kakinya untuk berangkat bekerja. Berkenalan dengan rekan kerja barunya yang untungnya tidak ada intimidasi serius dari mereka, karena Jeanne berasal dari kantor cabang.
Mereka bahkan langsung menyerukan pesta penyambutan nanti malam yang ingin sekali Jeanne tolak, tapi dia tidak mungkin bisa menolaknya, lantaran dialah bintang utama dalam perayaan itu.
J : Gue beneran mau balik cepet, terus bobok cantik, Bek!
J : Tapi kenapa masih ada pesta penyambutan segala macam, sih?
Jeanne mengeluh lagi pada kekasih bebek sawahnya yang ada di seberang sana. Walaupun dia sudah mengeluh seharian dan hanya dibalas dengan satu dua kata saja, nyatanya dia tetap mengulangi keluhannya tanpa jeda.
F : Sabar.
J : Iya, Bek. Kurang sabar apa gue coba? Punya pacar macam bebek sawah dari kutub aja gue bisa, apalagi cuma nahan capek setengah jam aja?
F : Niat banget.
J : Nggak terima, Bek?
F : Terima.
J : Syukurlah! Ntar gue pas balik sambil nyari cowok baru boleh, nggak?
F : Silakan!
J : Serius, nih?!
F : Canda.
J : Cih, kirain beneran boleh?
F : Mau nyoba macam-macam sama gue, Je?
Jeanne tersenyum tipis. Kemudian mengembuskan napas lega. Ternyata kekasihnya walau cuek bebek dan kadang keterlaluan jawabannya itu masih bisa peduli juga padanya.
J : Nggak, serem kalau lo lagi serius, gitu!
F : Pinter.
J : Izin ngilang dulu, ya, Paduka Bebek. Calon bini lo ini mau minum-minum sampai teler dulu.
F : Hati-hati.
Jeanne tersenyum membaca pesan itu. Inginnya sih menelepon dan bicara secara langsung, tapi si Fredy sibuknya kadang bisa sampai ngalahin CEO di perusahaannya sendiri. Dia bahkan membalas pesan Jeanne sambil mencuri-curi kesempatan dalam kesempitan begitu.
Entah percaya atau tidak, tapi Fredy beneran sering sibuk sekali. Jeanne sudah pernah melihat kesibukannya berulang kali. Makanya dia suka heran sendiri.
F : Jaga diri!
Satu pesan tambahan itu membuat senyuman Jeanne makin lebar dan penat yang dirasakan tubuhnya dengan perlahan memudar. Satu perhatian cowok cuek itu benar-benar bisa melelehkan hati siapa pun. Termasuk Jeanne.
"Senyam-senyum mulu, lagi kesurupan lo?" Tantri, rekan kerja baru Jeanne langsung mengomentari tindakannya.
"Ini karena pacar gue. Tumben-tumbenan dia bisa perhatian gitu, padahal biasanya mah amit-amit!" cibir Jeanne.
Tantri mengernyitkan dahi sambil menatap Jeanne dengan tatapan seperti mengatakan, 'Pacar kayak gitu kok masih lo pertahanin?'
"Ganteng banget, ya, orangnya?" tanya Tantri sambil mengerjapkan kedua matanya. Dia cukup syok mengetahui seorang Jeanne yang cantik dan energik itu ternyata punya pacar cuek bebek.
"Lumayan, sih, tapi isi kantongnya beneran bikin ngiler." Jeanne nyengir dengan wajah tanpa dosa yang sukses membuat Tantri menjatuhkan kepalanya di atas meja.
"Gue nggak nyangka lo orangnya matre banget, Je! Sumpah!"
"Ya mau gimana, ya? Hidup di zaman sekarang itu kalau cowoknya nggak ada duit dan nggak mau kerja, terus dia mau modal apa? Modal tampang doang sama cinta? Emang tampang bisa bikin perut kenyang?! Emang cinta bisa bikin rumah mewah?"
"Real." Tantri juga setuju. Memang yang satu itu tidak bisa didebat oleh siapa pun termasuk dirinya. "Kira-kira gantengnya pacar lo sekelas siapa?" tanyanya, karena anak divisi mereka rerata memang punya tampang di atas rata-rata.
"Kalau anak satu divisi kita sih, mungkin masih sekelas sama si Govan kali, ya? Yang jelas dia lebih ganteng daripada CEO kita." Jeanne berkata dengan wajah tanpa dosa andalannya.
"Heh, Pak Alan maksud lo?" Tantri menegakkan tubuh dan langsung menatap Jeanne syok.
Sumpah ini si Jeanne mikir kalau Govan kelasnya ada di atas rata-rata CEO perusahaan yang jadi idaman banyak perempuan? SUMPAH?! Matanya si Jeanne nggak rabun, kan?
"Iya, Alan si sad boy yang gagal nikah itu!" Jeanne tertawa tanpa dosa. "Udah jadian belum dia sama sekretarisnya? Katanya kan dia pernah selingkuh sama sekretarisnya itu?"
Tantri mengerjap dengan tatapan horor. Dia benar-benar syok mendengar berita itu keluar dari mulut seorang Jeanne. Lagian Jeanne tahu dari mana? Jeanne kan bekerja di kantor cabang yang berada di Bandung? Kenapa dia bisa tahu gosip CEO kantor pusat yang ada di Jakarta?
Belum sempat merespon apa-apa suara lain menyahut di antara percakapan mereka. "Sejak kapan kamu suka mencampuri urusan pribadi saya, Jeanne!"
Alan. Dengan wajah datar dan tatapan yang teramat mengancam serta mematikan. Keberadaannya saja sanggup membuat semua orang di ruangan itu tak berkutik. Bahkan Tantri yang sebelumnya hendak menyahuti ucapan Jeanne dan menanyakan kebenarannya jadi urung melakukannya.
Dia lebih takut dipecat oleh atasannya yang super duper galak di luar akal sehat itu. Sumpah, dulu si Risa pakai pelet apa sampai bisa menaklukan atasannya ini yang sadisnya tidak perlu ditanya lagi.
"Selamat sore, Pak Alan! Ada yang bisa saya bantu?" Jeanne dengan wajah tanpa dosa tengah tersenyum manis ke arah Alan yang sedang memelototinya.
Alan mengembuskan napas panjang. Percuma juga dimarahi, tidak akan mempan dan malah bikin dia jadi emosi sendiri. "Pekerjaan kamu bagaimana kabarnya?"
"Udah kelar, dong!" jawab Jeanne dengan bangganya.
Alan menyipitkan kedua matanya. "Yakin?"
Jeanne mengangguk mantap. "Saya kan baru masuk hari ini Pak. Jadi pekerjaan saya cuma sedikit. Ini mau cepat-cepat dikelarin juga karena temen-temen mau bikin pesta penyambutan gitu buat saya. Bapak mau ikutan, nggak?"
Tawaran itu sukses membuat seisi divisinya menarik napas berat. Pikiran mereka semua berkecamuk. Terutama soal Jeanne yang entah bagaimana bisa terlihat cukup akrab dengan atasan mereka yang garangnya bukan main itu.
"Oh, kalau begitu saya ikut."
"Heh?!" Jeanne tampak kaget.
Ini cuma basa-basi, ya?! Cuma basa-basi aja dan pasti udah kelihatan jelas banget, kan, ya? Kok dia bisa-bisanya nerima ajakan absurd Jeanne ini?
Bukan hanya Jeanne saja yang kaget, melainkan semua yang ada di sana. Mereka terlonjak dan refleks berteriak kaget mendengar jawaban Alan sebelumnya.
Alan menatap satu per satu karyawan kantornya dengan wajah tanpa ekspresi andalannya. "Apa ada larangan kalau saya tidak boleh ikut? Bukannya tadi saya sudah ditawari dengan jelas oleh teman kalian ini?"
Jeanne hanya tersenyum masam. Ekspresi wajahnya jelas-jelas sedang menunjukkan, 'Lo udah tahu kalau tawaran tadi cuma basa-basi, kenapa malah lo iyain, hah?'
Alan hanya mengangkat sebelah alis merespon isyarat Jeanne untuknya. Isyarat pasti yang mengatakan bahwa dia tidak peduli mau basa-basi atau tidak, itu bukan salah dan masalahnya.
Lagi pula, malam ini dia memang tidak punya kerjaan lain selain pulang ke apartemennya. Jadi tidak ada masalah jika dia akan ikut bergabung dengan pesta anak-anak dari divisi pemasaran.
___
CEO KEPARAT (2)
JEANNE langsung berdiri karena Alan tak kunjung merevisi jawabannya tadi. Tanpa ragu apalagi merasa malu, Jeanne menarik tangan Alan dan memaksa pria itu untuk keluar dari ruangan divisi. Sekali pun kini mereka menjadi pusat perhatian, Jeanne sama sekali tidak peduli.
Begitu sampai luar, Jeanne langsung membawa Alan menuju tempat yang sepi. Dia memojokkan pria itu ke dinding lalu berbicara dengan nada menyebalkan seperti setiap kali dia bicara pada pria itu selama ini.
"Lo udah tahu kalau yang tadi cuma basa-basi aja, ngapain masih lo terima, sih! Bikin suasananya jadi nggak enak banget tahu!" omel Jeanne langsung.
Jeanne tidak takut dipecat, karena dia tahu pasti Alan bukan tipe CEO yang akan memecat pegawainya tanpa alasan jelas—semisal karena seorang pegawai yang telah membentak dan memarahinya habis-habisan—seperti itu.
Kalau Alan memang tipe CEO seperti itu, sudah sejak lama Jeanne hengkang dari perusahaan cabang, bukannya malah mendapat promosi dan dipindah ke perusahaan pusat seperti ini.
"Bukannya lo yang nawarin gue lebih dulu?" tanya Alan balik dengan wajah datar tanpa merasa bersalah sedikit pun. "Lagian malam ini gue senggang. Jadi gue bisa gabung sama kalian," lanjutnya serius.
"Aduh Pak CEO!" jerit Jeanne frustrasi. "Kalau Bapak jadi ikut, kita-kita mana ada yang berani keliaran di kelab? Lihat muka situ di ruangan aja udah bisa bikin semuanya kena serangan jantung!"
"Emang apa yang salah sama muka gue?" Alan memegangi wajahnya sendiri. "Perasaan muka gue masih ganteng, Je. Masih banyak yang muji kayak gitu akhir-akhir ini."
Jeanne menepuk jidatnya sendiri. "Auk ah, gelap banget ngomong sama lo! Lagian lo ngapain di ruangan kerja gue? Nggak biasanya CEO bisa mondar-mandir nggak jelas di divisi orang kayak gitu. Lagi kurang kerjaan ya, bos?"
"Hm." Alan memasang wajah berpikir. "Gue sebenarnya ada perlu sama direktur pemasaran. Dia udah bikin janji sama gue, tapi tiba-tiba aja nggak bisa dihubungi. Kurang ajar banget, kan, direktur lo itu?"
Jeanne menyipitkan kedua matanya. "Dia nggak ada di ruangannya, lho!"
"Serius?"
Jeanne mengangguk. "Tadi pagi waktu gue masuk dia masih ada, tapi abis itu dia keluar, gue nggak tahu dia pergi ke mana. Yang jelas dia pergi sama asistennya apa sekretarisnya, ya? Gue lupa masa!"
"Oh!" Alan hanya menggumam dengan tatapan yang tampak menyeramkan.
"Emang lo ada perlu apa sama dia? Jangan bilang lo mau ngelamar anak perawannya setelah gagal nikah dua kali sebelumnya?" tebak Jeanne.
Alan langsung memelototinya. "Gue nggak segila itu juga sampai mau nikahin bocah SMP. Lagian lo tahu dari mana kalau dia punya anak cewek?"
Jeanne memasang ekspresi tidak enak saat membalas kata-kata Alan. "Yah, tadi waktu kenalan sama gue, dia sempat nawarin anak sulungnya yang baru mau lulus kuliah tahun ini. Terus dia ceritain sekalian anak ceweknya ke gue."
"Ck, cewek mulut cabe rawit kayak lo gitu mau dijadiin mantu? Masih waras itu om-om satu!" decak Alan sambil geleng-geleng kepala tidak habis pikir.
"Waras banget, dong! Cewek cantik kayak gue gini kan limited edition!"
Alan memasang ekspresi menahan mual saat Jeanne mengatakannya dengan penuh percaya diri.
Hubungan mereka selama ini tergolong biasa saja. Setelah mengerjakan proyek pernikahan Risa dan Alva bersama-sama, mereka bisa disebut sebagai rekan atau teman. Walaupun tidak begitu dekat karena mereka lebih sering berdebat. Namun, bibir Jeanne yang suka bicara seenak jidat memang paling enak jika diajak bersilat.
"Lo baru pindah hari ini?" tanya Alan kemudian.
Alan tidak mendengar kabar adanya pertambahan personel dari kantor cabang. Namun, keberadaan Jeanne di sini jelas bukan karena perempuan itu ingin bermain-main di tempat ini.
"Gue pindah kemarin, kalau kerja emang baru hari ini. Kenapa? Lo nggak percaya kalau kerjaan gue selama ini bagus, makanya gue dimutasi ke sini, ya?" Jeanne menatap Alan penuh selidik.
"Gue cuma nggak denger kabarnya." Alan memegangi kepalanya yang terasa pusing. "Mungkin udah ada beberapa perubahan terbaru yang belum sampai ke telinga gue akhir-akhir ini."
Jeanne menyipitkan kedua matanya dan menatap Alan dengan tatapan aneh. CEO bisa ketinggalan berita tentang perusahaannya, ini benar-benar sesuatu sekali. Memangnya dia tidak punya asisten pribadi? Apa sekretarisnya tidak bekerja sama sekali?
Walaupun Jeanne sangat penasaran, tapi dia sama sekali tidak ingin mencampuri pekerjaan Alan yang pastinya sangat sibuk sekali.
"Buat pesta perayaan kalian malam ini, kalau kalian emang mau ke kelab, gue bisa pinjemin card gue kalau lo mau," tawarnya tiba-tiba.
"Lo serius?" Jeanne menatapnya dengan tatapan tidak percaya. Sumpah si Alan mau meminjaminya kartu kelab miliknya?
"Ya, daripada nggak kepakai juga. Gue udah lama nggak pernah ke sana, jadi sekalian aja kalau lo sama anak-anak lain mau pergi, kan?" Alan mengeluarkan dompet dari balik saku celana hitamnya.
Saat dia membuka dompet hitam legam yang terlihat mewah itu, diam-diam Jeanne turut melirik isi dompetnya. Bagaimanapun juga dia cewek matre. Dia cukup penasaran berapa gaji Alan sebagai CEO kantor pusat yang besar ini tiap bulannya, jika gaji kekasihnya yang bekerja di perusahaan biasa saja bisa sampai puluhan juta dalam sebulan.
Alan menyadari lirikan itu dengan jelas, karena tatapan Jeanne sangat terang-terangan sekali. Cewek seperti Jeanne memang benar limited edition. Cantik, punya mulut pedas, blak-blakan dan anti manipulatif. Cewek sepertinya tidak akan bisa selingkuh, karena dia sama sekali tidak bisa berbohong atau menyembunyikan sesuatu dari orang lain.
"Penasaran?" Alan mengambil card hitam miliknya, lalu dia berikan kepada Jeanne yang menerimanya dengan senyum lebar di bibirnya. "Masuknya ntar sama gue, biar cepet pemeriksaannya. Anak baru kayak lo pasti bakal makan waktu kalau mau diperiksa."
"Anak baru kayak gue gimana? Gue kan nggak pernah bawa senjata!" Jeanne menatapnya kesal.
Alan hanya tersenyum tipis meresponnya. "Kalau gitu gue balik dulu, masih ada banyak kerjaan yang menunggu."
"Iyain biar cepet ngilang." Jeanne meleletkan lidah, mengejek Alan yang hanya melambaikan sebelah tangan sembari melangkah menjauhinya.
Namun, sebelum sosok pria itu benar-benar hilang. Alan tiba-tiba saja berhenti dan berteriak dengan keras. "Oh ya gue lupa bilang, harga card-nya gue potong dari gaji lo secara berkala, ya?!"
"Hah, apa?!" Jeanne menatap card di tangannya. Warna hitam ini terlihat mengkilap dan agak berbeda dari kartu kelab pada umumnya. "Jangan bilang card ini yang harganya sampai puluhan juga itu?"
Jeanne mengerjap. Dia menatap ke arah kepergian Alan yang saat itu sedang tertawa sebelum sosoknya menghilang di balik lift yang menuju lantai atas.
Alan sengaja melakukannya. Dia sengaja menawari Jeanne dan memberikan card-nya, karena dia ingin memotong gaji Jeanne tiap bulannya.
Pria itu sangat tahu betul kalau Jeanne suka uang. Dia suka gaji yang besar. Lalu saat gajinya dipotong untuk melunasi hutang ....
"Dasar CEO keparat!" umpatnya sembari membanting kartu itu ke lantai, tapi kemudian dia memungutnya lagi karena sayang. Kartunya mahal.
___
ALAN MODE CURCOL (3)
GIMANA rasanya hung out sama CEO dari kantor sendiri?
Kalau orangnya asyik dan enak, sih, oke-oke saja. Tapi kalau orangnya kayak modelan Alan yang selalu memasang wajah datar layaknya mau ngajak perang, sih, siapa pun pasti bakal berpikir dua kali buat mengajaknya bicara.
Bahkan Jeanne yang notabenenya sudah kenal Alan sebelumnya saja tidak mau mengajaknya bicara. Garing banget ngajak ngomong si Alan itu. Cuma bikin emosi sendiri, apalagi setelah kejadian siang tadi.
Jeanne mengembuskan napas berat. Teman-temannya yang sudah mulai mabuk satu per satu pamitan untuk joget-joget di lantai dansa. Sisanya pamit pulang karena sudah kangen anak istrinya. Jeanne mau pergi dari sana juga, tapi dia tidak enak hati sama Alan yang dari tadi cuma diam di tempat saja.
Alan duduk di sofa paling ujung. Dia cuma berdiam diri sembari menikmati bergelas-gelas alkohol di depannya. Memang bukan hanya Alan saja yang melakukan hal seperti itu, tapi nyaris semua teman-teman kerjanya yang masih jomlo itu pun melakukan hal serupa.
Pasalnya mereka sudah tahu, pas masuk ke sini Jeanne pakai card legendaris yang tidak akan diberikan secara cuma-cuma oleh pihak kelab. Harga card yang mahal itu sudah sepaket dengan minumannya yang harganya mahal juga. Jadi mereka tidak mau buang-buang waktu selain langsung minum saja mumpung lagi ada kesempatan, kan?
"Nggak mau turun, Pak?" tanya Jeanne yang berusaha menjaga sopan santun, karena tidak enak juga kalau teman-teman barunya di kantor mendengar sapaannya pada Alan. Apalagi dia memang biasa memanggil Alan langsung dengan namanya saja tanpa embel-embel kesopanan.
Setelah siang tadi dia ditanyai macam-macam oleh teman-teman di kantornya. Bahkan dia sampai dituduh kalau punya affair dengan CEO di kantor mereka. Jeanne akhirnya bisa menjelaskan pada teman-temannya soal asal muasal perkenalannya dengan Alan. Dia juga menyangkal hubungan affair dengan Alan, karena pacarnya itu Fredy alias si bebek sawah kesayangannya.
Alan menoleh ke arah Jeanne tanpa menunjukkan sedikit pun ekspresi. "Enggak, lo sendiri nggak pengen turun?"
Jeanne tersenyum masam. Dia sangat ingin melakukannya, tapi dia tidak enak membiarkan Alan sendirian sendiri. "Kenapa nyuruh gue turun? Lo mau cosplay jadi sad boy di sini, ya? Eh salah," Jeanne menutup mulutnya kemudian meralat ucapannya, "karena lo udah bukan boy lagi, jadinya sad man, ya?"
"Mungkin. Sejujurnya gue cuma mau minum aja malam ini. Lo mau nyoba?" Alan menunjukkan gelasnya pada Jeanne yang langsung mengernyit memandanginya. "Dari tadi lo nggak minum, nggak ikutan turun juga. Kalau lo mau sok alim di depan gue, jelas nggak guna karena gue udah tahu lo bisa minum di pesta pernikahan Alva sebelumnya."
Jeanne berdecak kesal. Dia mau minum. Sangat mau, tapi sebagai orang yang disambut malam ini, dia menjadi layaknya sosok pemilik acara tersebut. Apalagi dia yang akan membayar semua biaya yang akan mereka habiskan malam ini.
Walaupun dia berhutang dulu pada Alan melalui card miliknya, tapi ending-endingnya dia juga yang akan membayarnya. Alhasil sebagai pemilik acara itu, dia harus tetap menjaga kewarasan ketika semua teman-teman kantornya sudah setengah sadar.
Kalaupun dia ingin mabuk, dia akan melakukan bagiannya terakhir. Saat semua teman-temannya sudah pulang. Karena dia mau menjadi pemilik acara yang baik dan tidak mengecewakan teman-teman barunya.
"Kalau lo mau minum, minum aja. Gue bisa sambil jagain mereka." Alan tiba-tiba saja berbicara sembari menyodorkan gelasnya yang terisi penuh minuman beralkohol yang sejak tadi dinikmati olehnya ke hadapan Jeanne. "Gue lebih kuat minum daripada kelihatannya."
Jeanne menyipitkan kedua matanya. "Seriusan lo jago minum? Kok nggak kelihatan?"
Alan tersenyum masam. Dia pernah menjadi pecandu alkohol saat masih kuliah, walaupun setelahnya dia berhasil berubah. Namun dia kembali mengulangi fase itu tahun lalu, saat dia merasa marah pada takdir yang tengah mempermainkannya.
Dia ingin melakukannya lagi tahun ini saat dia gagal mengikatkan diri pada pernikahan. Namun pekerjaannya yang terlalu banyak membuat Alan belum bisa merealisasikan keinginan. Hingga malam ini, akhirnya dia bisa menelan minuman yang bisa menghancurkan tubuhnya sekali lagi.
"Tapi kalau dipikir-pikir lagi, lo nggak mungkin bisa punya kartu itu kalau lo nggak pernah jadi langganan di tempat ini, kan?" tanya Jeanne dengan nada suaranya yang begitu khas. Kata-kata yang apa adanya, blak-blakan, jujur, dan kadang berakhir menjadi kalimat sarkas.
"Gue dapatin kartu itu tahun lalu, sebelum gue pacaran sama Risa," ceritanya.
Jeanne terdiam sejenak setelah mendengar ucapannya. Dia pikir, pria itu tidak akan pernah membahas tentang Risa saat sedang bersamanya. Apalagi sampai mengenang kembali perjalanan hidupnya bersama sang mantan pacar. Namun sepertinya Jeanne telah salah menilainya, karena Alan kini terlihat baik-baik saja saat mengatakannya.
Apakah dia benar-benar baru saja patah hati tempo hari? Kenapa dia bisa move-on secepat itu kalau dia memang sudah cinta mati?
"Eh, Risa sering ke sini juga?" tanyanya kaget.
"Enggak, Risa bukan orang kayak gitu. Dia orang baik-baik. Gue cuma pernah ke sini sekali pakai kartu itu, itu pun sebelum gue ketemu sama Risa lagi." Alan tersenyum tipis. "Sayang banget ending perjalanan cinta kami cuma sampai di sana."
"Salah lo juga, sih?! Siapa suruh lo selingkuh? Kalau lo nggak selingkuh, dia pasti masih aman sama lo sekarang, bukannya masuk kandang buaya berengsek kayak gitu."
Jeanne terang-terangan mengumpati sepupu Alan yang notabenenya mantan pacarnya juga. Walaupun hubungan mereka masih baik sekarang, teramat baik malahan, tapi itu bukan alasan yang membuat Jeanne untuk tidak menyebut pria itu berengsek.
"Gue juga nyesel, tapi keadaan gue waktu itu beneran lagi buruk banget. Waktu gue lagi digodain cewek lain, gue lagi dalam fase butuh seseorang di samping gue. Sedangkan Risa lagi nggak ada di sana." Alan tersenyum getir.
Dia menyesalinya. Sangat menyesalinya. Andaikan saat itu dia tidak terbuai dan melakukannya, mungkin hubungan mereka sampai sekarang masih baik-baik saja. Bahkan mungkin ... mereka sudah menikah dan punya anak sekarang.
Alan mengembuskan napas berat. Tepat saat Jeanne merespon ucapannya.
"Gue baru tahu kalau cowok ternyata punya fase kayak gitu atau itu cuma berlaku buat lo doang?"
Alan tersenyum masam. "Mungkin cuma gue doang yang kayak gitu."
"Kalau cuma lo doang, harusnya lo nggak pernah ngizinin Risa pergi ke kantor cabang."
Ucapannya benar. Alan mengakuinya. Dia juga menyesali keputusannya yang mengizinkan Risa pergi dari sisinya. Terlebih alasan kepergiannya hanya karena direktur lain yang takut kehilangan posisinya.
"Ya, tapi udah terlambat, sih. Sekarang si Risa udah nikah sama Alva, lagi hamil juga. Jadi lo nggak mungkin ngarepin dia balik lagi, kecuali lo emang udah gila, kan?"
"Yah, gue nggak pernah ngarepin dia balik lagi. Gue cuma berharap, kali ini dia bisa bahagia, lebih bahagia daripada saat dia masih sama gue dulu."
Kata-kata itu walaupun diucapkan dengan nada biasa, tapi Jeanne menangkap lara di balik suaranya. Alan menyimpan lukanya, menyimpan pedihnya ditinggalkan, karena dia tahu semua itu salahnya sendiri. Dia sudah menyesalinya. Dia sudah merelakan cintanya. Dia mengikhlaskannya untuk sepupunya. Dia akan menjadi orang yang baik, jika dia sudah mau berubah kali ini.
Jeanne menepuk pelan pundak Alan berulang kali. "Yang sabar ya, Lan! Ntar kalau lo nyari cewek lagi, cari yang deket aja, jangan cari yang jauh sampai LDR-an gitu lagi. Lo tipe yang nggak kuatan ditinggal cewek sendiri, jadi jangan LDR-an lagi, karena lo pasti nggak bakalan sanggup jalaninnya. Ngerti?"
Alan mendengkus keras mendapat ceramah seperti itu dari Jeanne. "Cari yang kayak lo gini, ya? Deket, suka nongol dan gangguin orang mulu gitu?"
Jeanne menatapnya dengan tatapan aneh. "Jangan bilang selera cewek lo yang kayak gue gini lagi?"
"Enggak." Alan menjawabnya dengan muka datar. "Gue lebih suka cewek yang tenang, dewasa, dan perhatian. Bukannya berisik, kekanakan, dan suka buat onar."
"Sialan lo!" Jeanne memukul punggung Alan agak keras. Kemudian dia mengambil gelas yang disodorkan Alan sebelumnya dan mulai meminum isinya. "Terus selingkuhan lo yang kemarin mana? Lo nggak pacaran sama dia emangnya?"
"Enggak, dia udah gue pecat."
"Hah?" Jeanne langsung menoleh dengan pandangan syok. "Apa?!" Kemudian dia meminum lagi minuman di gelas itu, karena ternyata rasanya lebih enak dari yang biasanya dia minum.
"Dia bilang lagi hamil anak gue, terus nyuruh gue tanggung jawab dan nikahin dia," jelas Alan dengan santainya.
Jeanne langsung menyemburkan minuman yang mau dia telan dan menatap Alan dengan tatapan tidak percaya. "Anak lo? Lo hamilin dia?!"
"Bukan, itu bukan anak gue. Ya kali, gue kayak nggak ngerti cara pakai pengaman aja!" Alan memutar bola mata dan menatap Jeanne dengan tatapan malas.
"Iya juga, sih. Cowok pengalaman kayak lo masa nggak ngerti pengaman sampai bisa kebobolan segala."
Jeanne menghela napasnya lega. Syukurlah. Dia nyaris kena serangan jantung jika Alan benar-benar sudah menghamili wanita lain saat masih berpacaran dengan Risa
"Terus kalau itu bukan anak lo, emang lo tahu dia tidur sama siapa aja selain sama lo?" tanya Jeanne dengan muka kelewat penasaran.
Alan mengangguk. "Gue nyewa orang buat ngikutin dia. Walaupun dia berhasil godain gue, tapi gue nggak setiap malam juga tidur sama dia. Cuma tiga kali, jarak pertama dan kedua lebih dari sebulan. Yang ketiga memang dekat, tapi nggak mungkin kalau baru buat bisa langsung jadi anak seminggu kemudian, kan?"
"Niat banget jebakannya kalau gitu. Makanya lo langsung pecat dia?" Jeanne mengangguk mengerti.
Alan mengangguk. "Ya, dengan bukti dia tidur sama siapa aja, juga uang seandainya dia mau aborsi anaknya."
"Serem!" komentar Jeanne blak-blakan. "Jahat banget lo sumpah! Sampai kasih uang buat aborsi juga."
Alan mendengkus pelan. "Itu uang tutup mulut aja, tapi kalau mau dipakai buat aborsi itu urusan dia. Gue cuma kasih jalan keluar aja, kalau masalah jahat atau enggak, gue bisa lebih jahat dari itu kalau emang niat."
"Ih, serem! Gue bakal inget-inget buat nggak macam-macam sama lo abis ini, deh!" Jeanne mengatakannya dengan refleks.
Namun Alan hanya menatapnya dengan tatapan datar. Jeanne berkata seperti itu seperti dia tidak pernah macam-macam dengan Alan saja. Bahkan kata-kata sarkasnya ada yang pernah menusuk hatinya.
Akan tetapi, sesarkas apa pun ucapan Jeanne, Alan merasa masih bisa memakluminya, karena memang seperti itulah sifat Jeanne yang sebenarnya.
Lagi pula, Jeanne bukan orang bermuka dua. Bahkan malah kebalikannya. Jeanne terlalu polos. Dia terlalu terbuka dan naif. Dia tidak berniat membohongi siapa pun. Bahkan jika dia menginginkan sesuatu, dia akan langsung menunjukkannya dengan gelagat yang begitu kentara.
Dia bukan orang manipulatif yang ingin menipu dan memanfaatkan Alan saja. Alasan itulah yang membuat Alan bisa tenang dan santai ketika bicara dengannya, karena Jeanne tidak akan pernah menusuknya.
Sekali pun Jeanne bisa melakukannya, tapi dia tidak akan sanggup melakukannya. Dia benar-benar sosok teman yang menyenangkan untuk diajak bicara dan dicari.
Terlebih ketika Alan butuh seseorang untuk menenangkan dirinya seperti hari ini.
___
BENCANA SATU MALAM (4)
JEANNE bangun dengan tubuh terasa remuk. Kepalanya juga terasa pusing sekali, layaknya dia akan ambruk sebentar lagi. Matanya bahkan sampai harus menyipit untuk bisa menyesuaikan pandangan dengan lampu yang menyala terang di ruangan itu.
"Gue pusing banget sumpah," katanya, sembari memegangi kepala dan mengucek matanya agar lekas bisa terbuka lebar dan melihat di mana dia berada sekarang.
Kenapa ruangan itu bisa begitu terang?
Jeanne tidak pernah suka lampu menyala terang saat dia sedang tidur. Jadi jelas saja, sekarang dia tidak mungkin berada di kamarnya sendiri.
Lalu dia ada di mana?
Jeanne kesulitan mengingat-ingat peristiwa kemarin, karena kepalanya benar-benar terasa pusing. Dia menoleh ke samping, tidak ada siapa pun di sana. Hanya seprai tersingkap yang menunjukkan jika semalam ada seseorang yang tidur di sana.
Tidur?
Bak tersadar sempurna, Jeanne mengerjap dengan kedua mata polosnya. Secara refleks perempuan itu menundukkan kepala dan melihat bagaimana keadaannya.
Tubuh polos tanpa busana. Hanya ada seprai yang kini menutupi tubuhnya sampai perut, karena dia sedang duduk. Dan jangan lupakan, bekas-bekas kemerahan yang tertinggal nyaris di semua anggota tubuh bagian atasnya.
"Apa yang udah gue lakuin semalam?" tanyanya, lebih pada dirinya sendiri karena tidak ada siapa pun di ruangan itu saat ini.
"Gue tidur sama orang asing? Lepas perawan ketika gue bakal dilamar sama pacar gue sebentar lagi?" Jeanne menatap horor tubuh bagian atasnya yang penuh bekas kissmark itu.
Jeanne menyentuh bekas kemerahan itu dengan tangannya, lalu dia menangis tanpa suara. Bagaimanapun juga dia seorang wanita biasa. Dia bisa menangis jika ada sesuatu yang telah melukai hatinya.
Terutama jika hal itu berupa penyesalan yang tidak akan bisa dia perbaiki di masa depan. Jeanne terisak pelan dalam sepinya ruangan yang terasa begitu dingin dan mencekam.
Hingga suara gemercik dari sebuah pintu lain di ruangan itu tiba-tiba saja terdengar. Jeanne menoleh ke sana. Dengan cepat dia bergerak dan berusaha untuk bangkit, tapi rasa sakit di antara pahanya nyaris membuatnya menjerit.
Sebenarnya apa yang sudah dia lakukan semalam?!
Apa dia benar-benar sudah lepas perawan, makanya dia bisa merasakan rasa sakit seperti ini?
Namun, harusnya hanya rasa sakit biasa saja, kan?
Kenapa rasanya bisa sampai seperti dia akan mati sebentar lagi?!
Jeanne menggigit bibir bawahnya yang terasa sedikit membengkak. Dia menguatkan diri untuk bisa berdiri tegak. Kemudian dia mulai mengambil seragam kerjanya serta pakaian dalamnya yang berserakan di atas lantai satu per satu.
Astaga! Sepertinya dia benar-benar sudah melakukannya semalam, walaupun Jeanne sama sekali tidak ingat apa-apa!
Jeanne mengenakan kembali pakaiannya dengan susah payah, sebelum dia merangkak menggunakan tembok sebagai penyangga tubuhnya menuju salah satu pintu yang ada di ruangan itu.
Tanpa mengetuknya lebih dulu, Jeanne langsung membuka pintu kamar mandi yang sama sekali tidak dikunci. Dia berharap bisa menemukan siapa pun pria yang sudah menungganginya semalaman dan membuatnya bisa menjadi seperti ini.
Namun nyatanya kamar mandi itu dalam keadaan kosong. Hanya ada wastafel putih dengan kaca besar yang menghiasi dindingnya. Pelakunya masih ada jauh di dalam. Dia sedang membasuh tubuhnya di bawah guyuran shower yang menyala kencang membentur lantai dengan suara keras layaknya sedang berusaha memekakkan telinga siapa pun yang ada di dalamnya.
Jeanne bergerak dengan hati-hati, karena bagaimanapun juga sekarang dia berada di kamar mandi. Saat sampai di balik pemisah shower itu, Jeanne langsung membukanya tanpa permisi. Pemandangan yang ada di depannya langsung menyerang ingatannya dengan brutal dan tanpa ampun hingga membuatnya terjengkang ke belakang.
Jeanne sudah menyiapkan diri jika pantat seksinya harus mencium lantai kamar mandi saat itu, tapi tangan panjang yang terlihat cukup kekar dan kuat itu menggapai tubuhnya sebelum hal itu terjadi. Tangan yang kini menarik Jeanne ke arah tubuh basahnya dan langsung memeluk Jeanne dengan erat.
"Lo udah gila?!"
Bukannya menjawab, Jeanne malah mengumpat dengan penuh geram emosi, "Berengsek!"
Jeanne berhasil mengingatnya kembali. Apa yang terjadi padanya setelah Alan menceritakan banyak hal padanya malam itu. Dia minum dengan berani, Alan hanya mengawasi. Teman-teman kantornya satu per satu kembali dan pamit pergi, karena esoknya mereka masih harus kerja rodi.
Sedangkan Jeanne dan Alan masih di sana. Jeanne minum dengan tidak tahu diri, karena rasa minuman yang begitu nikmat dan sangat menggoda. Alan sudah tidak minum. Dia cukup syok melihat Jeanne bisa minum alkohol hingga sebanyak itu.
"Lo udah biasa minum kayak gini?" tanya Alan saat itu.
Jeanne mengangguk, lalu menggeleng pelan. "Nggak bisa dibilang biasa juga, tapi gue emang sering hung out dan minum-minum di kelab kayak gini sama temen-temen gue. Ntar kalau lo ke Bandung, gue ajakin ke tempat hung out yang seru di sana, deh!" katanya penuh semangat.
Alan hanya geleng-geleng kepala. "Gue minum cuma buat ngilangin stres aja, bukan buat main-main kayak lo gini."
"Dih! Sok jaim!" Sekali lagi Jeanne menghabiskan minuman yang ada di gelasnya.
"Lo nggak mau udahan?" tanya Alan yang diam-diam merasa khawatir pada kesehatan Jeanne.
Apalagi Jeanne itu perempuan. Dia takut terjadi hal yang buruk pada Jeanne, karena dia terlalu banyak minum alkohol seperti ini.
"Kenapa? Lo khawatir, ya?" Jeanne terkekeh, lalu dia mengalami cegukan. Pertanda jika dia sudah mulai mabuk sekarang.
"Iya, gue khawatir. Kalau lo mabuk sekarang, kerjaan lo besok gimana? Kalau lo teler malam ini, gue harus apa?"
"Ya bawa balik lah! Masa lo tega mau ninggalin gue sendirian di sini? Kalau ada yang mau garap gue gimana? Tega banget lo jadi manusia!"
Alan tidak bisa banyak berkomentar lagi setelahnya. Sedang Jeanne melanjutkan minumnya sampai kesadarannya berada di ambang batas kendali.
Alan hanya bisa menghela napasnya pasrah, kemudian membawa pulang Jeanne dengan susah payah. Karena Jeanne sendiri yang minta, maka dia benar-benar membawa Jeanne pulang ke apartemennya.
Namun, saat mereka dalam perjalanan pulang tiba-tiba saja Jeanne mulai menggila. Dia menggoda Alan dengan banyak gaya yang membuat pria mana pun pasti bakal ikut menggila jika diperlakukan seperti itu oleh seorang wanita. Terlebih orang yang melakukannya adalah Jeanne, perempuan cantik dengan tubuhnya yang indah.
Jadi saat mereka sudah sampai apartemennya, Alan pun mulai membalas ciuman Jeanne dan melakukan sesuatu yang tak seharusnya mereka lakukan malam itu.
Jeanne yang terus menggoda dan Alan yang berusaha mengimbangi gerakannya.
Saat itu Alan hanya berpikir kalau Jeanne sudah biasa bahkan sering melakukannya. Dengan mulut setajam itu, dengan pergaulan bebasnya, juga mantan pacarnya yang berengsek. Alan tidak bisa berpikir kalau Jeanne sebenarnya wanita baik-baik biasa.
Dia sama sekali tidak bisa memikirkannya. Dia tidak bisa membayangkannya.
Dan ... dia sedikit menyesali perbuatannya.
____
TANGGUNG JAWAB? (5)
SHOWER masih menyala dengan air yang mengalir deras. Alan memeluk tubuh Jeanne dengan erat. Dia mencoba sebaik-baiknya untuk melindungi Jeanne dari guyuran air yang menghantam dengan keras.
"Berengsek lo!" Namun, Jeanne ingin lepas. Dia memaki seraya memukuli tubuh Alan yang ada di depannya dengan bebas. "Kenapa lo tega ngelakuin hal itu ke gue? Gue salah apa sampai lo tega garap gue semalam, hah?!" tanyanya dengan suara penuh emosi.
Amarahnya meluap bercampur rasa kecewa, sedih, dan terluka. Jeanne marah, tentu saja dia merasa sangat marah, karena kali ini dia tidak berhasil melindungi dirinya sendiri. Dia sangat sedih dengan kenyataan itu, tapi dia juga merasa kecewa setengah mati, karena Alan lah yang melakukan hal itu padanya.
Dia terluka dengan semua perasaan yang kini menghantamnya satu per satu. Kemarahan, kesedihan, dan kekecewaan yang berhasil melukainya dengan sangat dalam.
"Sorry!" Alan hanya bisa meminta maaf sembari mengeratkan pelukannya.
Dia mengecup pelan puncak kepala Jeanne yang kini mulai basah, karena air-air yang jatuh dari tubuhnya mulai mengenai tubuh Jeanne juga. Bahkan air itu dengan perlahan turut membasahi baju Jeanne yang sebelumnya dipungut perempuan itu dengan susah payah.
Alan ingin mematikan shower itu, tapi dia tidak bisa melepaskan pelukannya pada Jeanne saat ini. Terlebih ketika Jeanne masih mengamuk sembari memaki dan memukuli tubuhnya tiada henti. Dia tidak bisa meninggalkan Jeanne begitu saja atau perempuan itu akan merasa semakin marah padanya setelah ini.
"Berengsek lo, Lan! Bajingan tahu, nggak!" maki Jeanne dengan suara keras dipenuhi emosi.
"Gue tahu," jawab Alan pelan sembari tersenyum pedih. "Sorry, gue beneran minta maaf soal ini, Jeanne."
Jeanne merasa dadanya berdesir pelan saat mendengar Alan meminta maaf padanya. Setelah sejak tadi dia mengamuk, berteriak, memaki, dan terus memukuli Alan dengan sekuat tenaga. Pria itu hanya memeluk tubuhnya dengan erat saja. Dia hanya menciumi puncak kepalanya dengan pelan dan lembut, lalu mengucap maaf yang terdengar begitu tulus dari bibirnya.
Jeanne menangis tanpa suara, air matanya turun bercampur dengan air yang jatuh dari tubuh Alan dan ikut membasahi wajahnya. Dia berhenti mengamuk, dia berhenti memaki, dia hanya menangis dengan mulut terbuka lebar layaknya sedang berteriak, tapi tak ada suara apa pun yang keluar dari mulutnya.
"Kenapa ...." Jeanne menelan ludahnya, membasahi kerongkongannya sebelum kembali bicara, "kenapa lo sampai lakuin hal itu ke gue?"
Bukannya menjawab, Alan malah melepaskan pelukannya. Cepat-cepat dia mematikan shower agar Jeanne tidak benar-benar basah kuyup sekarang. Tak lupa dia menarik sebuah handuk untuk menutupi benda kebanggaannya dalam sekali gerakan.
"Kita bicara di luar aja, bisa?" tawarnya.
Jeanne langsung mendelik dan menatapnya murka.
Alan mengangkat kedua tangannya. Pasrah dan menyerah. Dia tidak akan pergi apalagi lari. Dia akan menjelaskannya dengan detail apa yang sudah terjadi. Tidak ada yang akan dia tutup-tutupi, karena dia tidak berani menutupi apa pun dari Jeanne saat ini.
"Lo nggak mungkin biarin gue telanjang kayak gini selagi lo ajak bicara, kan?" Dia memperjelas maksudnya agar Jeanne tidak memikirkan macam-macam tentangnya.
Jeanne pun melirik pakaiannya sendiri. Basah. Walaupun tidak parah karena sejak tadi Alan berusaha keras melindunginya dari derasnya guyuran shower, tapi tetap saja sebagian bajunya masih basah dan membuatnya merasa tidak nyaman.
"Nggak perlu khawatir kayak gitu, gue bisa pinjemin baju." Alan bicara sekali lagi sebelum keluar lebih dulu dari kamar mandi.
Jeanne mengikuti jejaknya dengan ekspresi tidak sedap dipandang. Dia benar-benar takut kalau Alan akan pergi apalagi lari darinya kali uni. Namun ternyata pikirannya salah, Alan benar-benar mencari pakaian yang bisa Jeanne gunakan sekarang.
Pria itu mencari pakaian di lemari paling bawah, kemudian dia mengeluarkan sebuah kemeja dan celana jeans yang terlihat pas untuk Jeanne.
Jeanne mengerjap saat Alan menyodorkan pakaian itu padanya. "Baju lama gue, harusnya masih muat dan pas buat lo pakai." Alan meletakkan sepasang pakaian di kedua tangan Jeanne yang menerima pemberiannya dengan kaku. "Lo ganti baju di kamar mandi aja! Gue bakal nunggu sampai lo selesai, baru setelah itu kita lanjut bicaranya."
Jeanne hanya bisa menganggukkan kepala dan menuruti ucapan Alan, karena bagaimanapun juga dia perlu mandi sekarang. Tubuhnya terasa sangat tidak nyaman. Walaupun rasa sakit yang dia rasakan sebelumnya sudah cukup hilang, tapi tubuhnya yang penuh bekas keringat, bercampur aroma parfum, dan alkohol sukses membuat tubuhnya terasa lengket dan amat menjijikkan.
Ditambah lagi dengan aroma tidak sedap yang keluar dari tubuhnya. Kepalanya langsung terasa pusing bukan main saat mencium aroma dari tubuhnya sendiri.
Setelah Jeanne menghilang ke balik pintu kamar mandi, Alan mendesah panjang sembari memegangi kepalanya yang terasa pusing.
Bagaimana dia harus memulai penjelasannya nanti?
Apa dia harus mengatakan yang sejujurnya saja, seperti saat perempuan itu menggodanya dengan cara membuka kancing celana, menurunkan ritsleting, dan mengeluarkan miliknya untuk dikulum saat mereka sedang dalam perjalanan pulang?
Alan mengembuskan napas panjang. Dia mendekati ranjang dan mengambil ponselnya yang ada di atas nakas, kemudian mulai memesan makanan untuk makan siang mereka.
Jangan kira sekarang masih pagi buta, karena hal itu tidak mungkin terjadi pada mereka. Alan bahkan baru membuka matanya saat jam di dinding sudah menunjuk angka sebelas pagi. Dan sangat terpaksa dia harus membatalkan semua janji temu dan agendanya hari ini melalui asisten pribadinya, karena ada acara mendesak yang tidak bisa dia tinggalkan begitu saja kali ini.
Acara mendesak yaitu Jeanne. Dan semua emosinya.
Semua itu adalah tanggung jawab Alan. Semua itu adalah kesalahan Alan. Jika saja dia bisa menahan diri, semua ini tidak akan terjadi. Namun pemikiran tololnya yang sudah bercampur dengan nafsu berahi membuatnya tidak bisa berpikir jernih lagi.
Setelah memesan makanan, Alan mulai mencari pakaian dan mengenakannya dengan cepat. Sembari menunggu pesanan makanannya datang, dia akan duduk dengan tenang.
Omong kosong. Dia tidak bisa tenang. Sama sekali.
Andaikan semua masalah ini bisa berakhir dengan cara Alan menikahi Jeanne, mungkin semuanya akan terasa sangat mudah sekali dijalani.
Namun, itu bukanlah solusi. Terutama untuk mereka berdua yang punya kondisi masing-masing.
Jeanne sudah punya pacar saat ini. Dia punya orang yang sudah melamar dan siap menikahinya suatu hari nanti. Walaupun Alan tidak tahu seperti apa orang itu, tapi jelas alasan itulah yang membuat Jeanne marah besar padanya hingga tak terkendali.
Sedangkan Alan, dia baru saja membatalkan pertunangannya dengan Risa bulan lalu. Dia tidak bisa tiba-tiba saja membawa calon istri baru ke hadapan kedua orang tuanya atau ayahnya benar-benar akan langsung memenggal kepalanya saat itu juga.
Terlebih ... jika kali ini dia gagal menikah lagi, maka itu akan menjadi kegagalannya untuk yang ketiga kalinya.
Alan mengembuskan napas berat. "Semoga ada jalan tengah terbaik yang tidak akan menyakitinya sebagai pihak paling dirugikan di sini."
___
KEANEHAN SEORANG ALAN (6)
JEANNE menatap pantulan dirinya di kamar mandi dengan senyuman miris. Celana jin itu ternyata benar-benar muat di kakinya, bahkan terasa pas di pinggulnya. Kemejanya memang agak sedikit longgar, tapi bisa dibilang pas juga karena Jeanne memiliki dada yang cukup besar.
Walaupun tidak bisa dibilang nyaman, tapi pakaian ini cukup lumayan. Untungnya pakaian dalamnya tidak ikut basah dan masih bisa digunakan.
Saat keluar dari kamar mandi, Jeanne tidak bisa menemukan siapa pun di ruang kamar bernuansa abu-abu itu. Lampu besar berwarna putih yang ada di tengah ruangan masih menyala terang, padahal di atas nakas juga ada lampu tidur tapi lampu itu tidak digunakan oleh Alan semalam.
Jeanne melangkah menuju satu-satunya pintu yang belum dia buka sebelumnya. Saat membuka pintu, dia langsung disambut oleh ruang tamu ukuran sedang yang merangkap juga sebagai ruang santai dengan televisi besar yang menempel di dinding dan audio sound system yang lengkap.
Jeanne mengerjap sekilas. Di mana Alan? Apakah pria itu meninggalkannya sendirian? Bukannya ini apartemen milik Alan, kenapa bisa-bisanya dia pergi dan membiarkan Jeanne sendirian di sini?
Namun pikirannya langsung ditepis ketika ia melihat Alan keluar dari lorong kecil yang sepertinya mengarah ke dapur. Terlebih laki-laki itu kini membawa beberapa piring dan peralatan makan lain. Apakah dia mau mengizinkan Jeanne untuk makan bersamanya? Tapi di mana makanannya?
"Udah gantinya?" tanya Alan sembari menatap tubuh Jeanne dengan terang-terangan. "Muat beneran ternyata."
Jeanne langsung menyilangkan kedua tangan di depan tubuh bagian atasnya, menghalangi pandangan Alan saat laki-laki itu berjalan melewatinya. Laki-laki itu terlihat tidak peduli, dia hanya berjalan menuju sofa, lalu meletakkan piring dan peralatan makan di atas meja kecil yang ada di depan sofa.
"Lo punya alergi?" tanya pria itu sekali lagi, sama sekali tidak menunjukkan kalau dia terusik dengan tindakan Jeanne sebelum ini.
Jeanne menggeleng. "Nggak ada."
"Oke, tunggu bentar, ya? Makanannya masih belum sampai." Alan duduk dan menyenderkan punggung ke sandaran sofa. Dia terlihat santai sekali, seperti tidak berniat melakukan hal buruk pada Jeanne lagi atau malah sampai pergi meninggalkan Jeanne sendiri.
Laki-laki itu terlihat biasa saja, layaknya tidak pernah terjadi apa pun sebelumnya. Dia tidak terlihat sedang merasa canggung ataupun tidak enak hati pada Jeanne, padahal tadi saat di kamar mandi Alan tampak merasa sangat bersalah padanya.
Apa itu semua cuma sandiwara? Apa diam-diam Alan ingin lari dari penjelasan dan tanggung jawab atas perbuatannya?
Jeanne mendekat dan berdiri di samping Alan yang masih duduk di atas sofa. "Lo nggak lupa, alasan kenapa gue masih ada di sini sekarang, kan?" Jeanne menatapnya tajam.
Alan balas menatap matanya, tersenyum tipis saat menjawab, "Enggak, tapi gue mau kita makan dulu sekarang. Lo belum makan apa pun setelah muntah sebanyak itu semalam."
Jeanne menatapnya tajam. "A-apa?"
"Lo muntah, banyak banget malahan sampai selimut gue penuh isi muntahan lo doang." Alan tersenyum tipis saat mengatakannya.
"Lo bercanda, kan? Buktinya waktu gue bangun tadi, gue masih pakai selimut dan nggak ada jejak muntahannya sama sekali!" Jeanne berkacak pinggang dan menatap Alan penuh emosi.
"Itu selimut gue yang lain. Warnanya aja beda sama warna seprainya, kan?"
Jeanne mengerjap. Dia tidak ingat. Memang warnanya beda? Perasaan abu-abu semua. Apa dia perlu mengeceknya ke dalam untuk memastikan ingatannya yang mungkin saja sudah bermasalah?
"Selimut yang lo muntahin ada di pojok kamar, bawa pulang, gih! Cuci sampai bersih!" perintah Alan tanpa merasa bersalah sedikit pun.
Jeanne langsung melotot mendengar perintahnya. Kenapa di sini Jeanne serasa dijadikan seperti tersangka utama penghancur selimut orang? Bukannya dialah korban yang sebenarnya karena sudah digarap habis-habisan sama laki-laki berengsek di depan matanya ini?
"ALAN!" teriak Jeanne murka.
"Gue cuma bercanda, Je. Selimutnya bisa gue anter laundry ntar sore. Lo tenang aja, gue nggak serius soal nyuruh lo nyuci sampai bersih, kok. Tapi soal muntahnya gue emang serius." Alan menatap Jeanne serius.
"Nyebelin lo!"
Umpatan itu membuat Alan tertawa pelan, lalu menepuk sofa di sampingnya. "Duduk sini, tunggu makanannya sampai."
"Lo pesan makan emangnya?" Jeanne menurut, dia sedikit menurunkan tingkat kewaspadaannya, karena dirasa Alan tidak begitu berbahaya.
"Ya, gue kan nggak bisa masak." Alan berdeham pelan. "Makanya gue pesan makanan, daripada bikin lo keracunan."
"Serem! Masakannya bisa jadi racun segala!" Jeanne menatap Alan horor.
Alan menyeringai. "Lo mau coba?"
"Emang ada manusia yang udah tahu mau diracun, tapi masih dimakan juga?" Jeanne menatap laki-laki itu dengan tatapan tidak percaya.
Alan hanya bisa tersenyum saja mendengar ucapan Jeanne. Jujur saja, Alan sedikit merasa bersyukur, karena Jeanne bisa berlaku biasa dan tidak lantas memusuhinya seperti saat pertama kali perempuan itu melihatnya tadi.
Dia merasa cukup lega, karena atmosfer di antara mereka kali ini tidak mencekam dan berbahaya. Bukan karena Alan takut berada dalam posisi seperti itu, melainkan karena penjelasannya nanti jelas tidak akan diterima dan direspon dengan baik oleh Jeanne.
Suara burung gagak yang memekakkan telinga sukses membuat Jeanne melompat ke arah Alan dan memeluk lehernya dengan erat. "Apaan, tuh?"
Alan hanya bisa tertawa melihat reaksi Jeanne yang cukup berlebihan itu. "Bel apartemen gue, keren, kan?"
Jeanne menatap Alan dengan tatapan horor. "Keren apanya, udah nggak waras iya!"
"Masih waras, kok." Alan melepaskan tangan Jeanne yang melingkari lehernya. Suatu tindakan yang berhasil membuat perempuan berumur dua puluh lima itu merasa malu dengan tindakannya. "Gue bukain pintu dulu." Pamitnya dan bergerak menuju pintu apartemennya.
Di balik pintu, kurir pengantar makanan terlihat terjengkang sambil memegangi dada. Dia menatap Alan dengan helaan napas lega, kemudian meminta maaf dan menyerahkan pesanan Alan sebelumnya.
Alan hanya mengucapkan terima kasih dan masuk ke dalam apartemennya. Dia tidak masalah makanan itu tadinya baru saja dijatuhkan. Toh itu memang terjadi karena salahnya sendiri yang iseng-iseng memakai suara burung gagak untuk bunyi bel pintu apartemennya.
"Gue nggak nyangka lo orangnya iseng banget," kata Jeanne saat Alan mendekat ke arahnya.
"Bukannya iseng, tapi buat alarm. Kalau ada yang bertamu pas gue lagi merem, gue pasti bisa langsung sadar waktu denger suara belnya." Alan memasang wajah berpikir. "Tapi suaranya udah nggak berpengaruh lagi ke gue akhir-akhir ini. Mungkin gue harus ganti suara lain, biar gue bisa langsung bangun kalau ada yang datang lagi."
"Mau diganti apa? Jangan bilang suara kuntilanak lagi nyanyi?" Jeanne menatapnya horor. Dia bersumpah tidak akan datang ke sini lagi, jika memang Alan mau memasang bunyi bel kuntilanak di apartemennya ini.
"Gue udah pernah coba dan tetangga gue pada protes semua," kata Alan dengan wajah polos tanpa dosa. "Mungkin pakai suara harimau aja kali, ya?"
Jeanne hanya bisa menatap laki-laki itu dengan tatapan tidak percaya. "Terserah lo aja, deh!" Paling tetangga lo pada langsung manggil damkar atau RSJ sekalian, karena mereka udah nganggap lo gila! lanjutnya di dalam hati.
___
MAU UNTUNG (7)
SETELAH makan Jeanne langsung berdeham keras untuk menarik perhatian Alan yang baru menyelesaikan makannya.
Alan menoleh ke arah Jeanne dengan sebelah alis terangkat tinggi. "Apa?" tanyanya.
"Jangan pura-pura nggak tahu, deh! Lo udah janji mau jelasin semuanya ke gue, kan?" Jeanne menatapnya tajam.
Alan hanya tertawa pelan. "Iya-iya! Gue nggak lagi pura-pura nggak tahu, tapi gue emang nggak tahu—"
Alan langsung merasakan sebuah tarikan kuat di kerah kausnya. Jeanne yang melakukannya, dengan sebelah kaki naik ke sofa, satu tangan menumpu di sandaran sofa menekankan tubuhnya ke arah Alan, dan satu tangan lainnya mencengkeram kerah kaus yang Alan kenakan.
Jeanne mendekatkan wajahnya ke depan wajah Alan. "Jangan main-main lo, ya!" Nadanya penuh ancaman, tatapan tajamnya pun tampak dangat mengerikan. Seketika suasana di antara mereka berubah secara signifikan.
Alan masih mencoba untuk tetap biasa saja. Dia sama sekali tidak takut ataupun gentar, karena posisi mereka sekarang jujur saja malah lebih menguntungkan Alan, karena hanya dengan satu gerak cepat dia bisa langsung membalik keadaan.
Sekalipun Jeanne pernah mempelajari ilmu bela diri sebelumnya, itu semua tidak berarti saat melawannya. Karena Alan sendiri pernah dididik keras oleh ayahnya yang seorang mantan tentara. Ayahnya yang ingin Alan menjadi tentara juga, sayangnya Alan tidak mau melakukannya.
Alan mengembuskan napas panjang, lalu memejamkan mata seraya berdoa agar dia diberi banyak kesabaran untuk tidak balik melawan. "Lo mau penjelasan dari mana? Abis dari kelab, waktu perjalanan pulang, atau waktu kita udah sampai apartemen?"
"Semuanya!" jawab Jeanne dengan penuh penekanan.
Alan membuka mata dan menatap Jeanne dengan senyum masam yang menyebalkan. "Kalau gitu, pertama-tama gue harus minta maaf dulu, karena mungkin kata-kata gue bakal sangat menganggu."
"Apa?" Jeanne menatap Alan penasaran.
"Lo masih ingat kalau lo sempat minum minuman gue semalam, kan?" tanya Alan sambil menatap Jeanne serius.
Jeanne mengangguk. "Gue masih inget waktu gue minum banyak banget, terus temen-temen gue pada balik pulang. Waktu itu harusnya gue udah setengah sadar, kan?"
Alan mengangguk. "Gue udah nahan lo biar berhenti minum, tapi lo nggak mau. Terus lo minta sama gue buat bawa lo balik, seumpama lo mabuk. Ya udah, waktu lo teler dan nggak bisa minum lagi, gue langsung bawa lo balik ke apartemen gue."
Jeanne mengangguk mengerti. Sampai di sana, dia masih bisa mengingat apa saja yang sudah terjadi. "Terus?"
"Jujur aja, iman gue tipis banget, Je. Lo yang lagi mabuk itu menggila di mobil gue," jelas Alan tanpa ditutup-tutupi sedikit pun.
"Hah?!" Jeanne menatap Alan dengan tatapan tidak percaya.
"Karena nggak ada CCTV, jadi nggak ada buktinya, tapi lo emang parah banget kalau lagi mabuk begitu. Kalau gue pacar lo, gue pasti bakal langsung larang lo minum-minum lagi abis ini!"
"Apa-apaan sih lo? Maksudnya apa coba? Gue kalau mabuk emangnya gimana? Perasaan selama ini gue cuma teler biasa aja!" Jeanne menyangkal dengan nada tidak terima.
Bukan hanya sekali dua kali dia mabuk, tapi hampir berulang kali dan semuanya selalu berakhir baik-baik saja. Dia hanya tidak sadarkan diri biasa. Tidak sampai menggila seperti apa yang dikatakan Alan padanya.
"Kalau cuma teler biasa, terus siapa yang ngoral gue di mobil sampai apartemen, hm?"
Jeanne mengerjap. "Hah?!" Wajahnya benar-benar terlihat bodoh sekali sekarang. "Lo cuma bercanda, kan?"
Alan menatapnya tajam, tatapan serius yang membuktikan jika dia tidak sedang bercanda sekarang. "Gue serius, Je. Gue sama sekali nggak bercanda. Emang itu yang lo lakuin sebelumnya."
Jeanne menjauhkan tubuhnya dari Alan sambil menutup mulutnya syok. Kalau memang begitu, itu berarti selama dia mabuk dulu ... dia pun pernah melakukannya pada mantan-mantan pacarnya itu? Makanya mereka sering mengajak Jeanne ke kelab malam atau sekadar minum-minum di bar hingga dia tak sadarkan diri dulu?
"Gue nggak tahu gimana cara orang lain menghadapi lo sebelumnya, tapi gue nggak bisa nahan diri gue sebaik mereka. Waktu gue bawa lo masuk apartemen, lo emang udah mendingan, terutama setelah lo buang semua pakaian lo sembarangan dan muntahin selimut gue. Tapi gue sama sekali nggak bisa nahan."
Alan berdeham pelan saat melihat Jeanne kini sudah memelototinya. "Jadi gue lakuin itu. Gue nggak pernah mikir kalau lo masih perawan dengan mulut seberani itu, dengan pergaulan bebas lo sebelumnya, dan dengan mantan berengsek lo yang jelas-jelas masih gue kenal baik siapa. Gue nggak pernah bisa mikir kalau lo masih perawan. Jadinya gue sama sekali nggak ragu buat ngelakuinnya," jelas Alan penuh kejujuran.
Jeanne langsung memegangi kepalanya yang terasa pusing sekali. Alan memang ada benarnya juga. Mulut Jeanne memang suka seenaknya. Pergaulannya pun liar, ditambah kalau dia mabuk bisa sampai jadi seperti itu juga. Dan mantan pacarnya adalah sepupu Alan, si Alva cowok berengsek yang sudah pasti meniduri semua kekasihnya, kecuali Jeanne saja.
Namun dia sampai berani melakukannya ....
Jeanne menggigit bibir bawahnya saat menatap Alan dan kembali bertanya padanya. "Lo kok bisa-bisanya masih nafsu sama gue setelah lihat gue muntah sebanyak itu? Normalnya, orang lain bakal langsung muak dan ngamuk, lho! Nggak mungkin mereka masih nafsu sama cewek setelah lihat itu cewek muntah-muntah parah, kan?"
"Gue emang beda. Gue udah biasa lihat orang muntah karena mabuk selama ini. Gue juga udah bersihin tubuh lo baik-baik dan gue emang pengen juga gara-gara ulah lo sebelumnya. Jadi ya ... gue garap aja, mumpung ada di depan mata, kan?"
Jeanne langsung memukuli Alan yang menerima pukulannya sembari mengaduh kesakitan. "Lo sialan! Berengsek! Bajingan! Bisa-bisanya lo kayak gitu!"
"Awwhh aduuhh duuhh duhhh! Hei, stop! Gue udah jelasin semuanya tadi sama lo. Emang kayak gitu ceritanya, nggak ada yang gue tutup-tutupi lagi! Kenapa lo masih nyalahin gue, sih?!"
Walaupun protes seperti itu, nyatanya Alan masih menerima pukulan Jeanne karena menurutnya wajar saja kalau Jeanne marah padanya. Bahkan lebih baik jika perempuan itu langsung memukulinya daripada meninggalkannya tanpa kata dan mendiamkan Alan layaknya seorang penjahat kelas kakap yang tidak layak dianggap manusia.
"Ya gimana nggak disalahin? Lo udah merawanin gue, sialan! Mana nggak cuma sekali dua kali doang, kan? Sumpah selangkangan gue sakit banget tadi pagi! Rasanya kayak mau dibelah jadi dua gitu!"
Pengakuan itu langsung membuat Alan meringis. Setelah tahu Jeanne masih perawan dan masih sadar malam itu, dia benar-benar langsung menggarapnya habis-habisan.
Sudah telanjur dilakukan, jadi dia harus menikmatinya saja sekalian, kan? Sudah terjadi dan masih ada di depan matanya juga, masa mau dia tinggalkan begitu saja?
"Ya mau gimana ...." Alan membuang pandangannya ke arah lain, enggan menatap Jeanne yang kini benar-benar sangat emosi.
"Nyebelin banget lo sumpah!"
Jeanne pikir, ada kemungkinan mantan pacarnya tidak ada yang menidurinya dulu karena mereka muak setelah melihat Jeanne muntah. Mereka menganggapnya sangat menjijikkan dan berakhir mengakhiri hubungan tak lama kemudian.
Apalagi Jeanne terang-terangan mengatakan kalau dia hanya suka uangnya saja, bukan wajah atau sifatnya. Alhasil, dia pasti sudah dicap sebagai wanita murahan setelah peristiwa menjijikkan seperti itu terjadi, kan?
"Lo mau gue tanggung jawab, nggak?" tawaran itu sontak menghentikan gerakan tangan Jeanne yang tak kunjung berhenti memukuli Alan sejak tadi.
"Hah? Tanggung jawab? Maksudnya lo mau nikahin gue, gitu?" Jeanne menatapnya dengan tatapan tidak percaya.
"Kalau lo emang mau nikah sama gue, gue sama sekali nggak keberatan. Tapi mungkin kita nggak bisa langsung nikah sekarang atau bulan depan, minimal kita butuh waktu enam bulan sebelum pernikahan itu terjadi."
"Kenapa begitu?" Jeanne menatapnya tidak mengerti.
"Ya, gue baru aja gagal nikah tempo hari, kalau gue langsung bawa calon istri baru dan nikah secepat itu, mulut-mulut keluarga besar gue pasti bakal nggak enak banget didenger telinga. Bukan soal gue yang gimana, tapi lo sama Risa pasti kena efek buruknya juga."
Jeanne mendengkus pelan. Dia tidak menyangka Alan bisa punya pemikiran seperti itu juga. Jeanne pikir Alan akan langsung menikahinya tanpa memikirkan apa pun, terutama reputasinya dan reputasi orang-orang terkait soal pernikahannya.
Ya, gimanapun juga dia CEO besar, sih! batinnya mengingat posisi Alan yang penting dan dipenuhi pertimbangan dalam setiap gerakannya.
"Lo juga masih punya pacar sekarang, kan? Kalau lo nggak keberatan putus sama dia, ayo kita nikah aja!" ajakannya terdengar ringan sekali, seperti memang begitulah niat awalnya.
Jeanne menyipitkan kedua matanya dan menatap Alan curiga. "Jangan-jangan lo emang pengen nikah sama gue, ya?"
Alan hanya menyeringai mendengar tuduhannya. Jelas saja karena dia bakal menang banyak jika Jeanne memang mau menikah dengannya. Selain punya calon istri yang baru saja dia perawani, dia juga bisa langsung meniduri calon istrinya berulang kali sebelum mereka resmi menikah nanti. Selain itu lagi, Jeanne itu perempuan yang menyenangkan dan sangat mudah dipercaya, jadi dia tidak akan takut kalau diselingkuhi.
"Sayang sekali, gue masih sayang sama bebek sawah gue. Soal masih perawan atau enggak, cewek zaman sekarang kebanyakan emang udah nggak perawan. Kayaknya dia nggak bakalan kaget juga kalau gue udah nggak perawan. Jadi itu bukan masalah besar buat gue."
Alan mendengkus kencang. Jelas sekali rencananya tadi bakalan gagal.
"Tapi lo masih harus tanggung jawab karena perbuatan berengsek lo itu. Biar lo kapok dan nggak ngulangin lagi, jadi gimana enaknya, ya?"
Alan hanya mengangkat tangannya pasrah. "Terserah lo mau apa, asal jangan musuhin gue atau sampai laporin gue ke polisi aja. Gue nggak siap masuk penjara soalnya."
Jeanne mengangguk mengerti, dia pun mulai berpikir hebat. Apa yang Alan punya dan itu adalah sesuatu yang sangat Jeanne suka. Jawabannya hanyalah satu ... uang.
Jeanne mengangkat sebelah alisnya. "Karena gue cewek matre dan udah jadi cewek murahan betulan, gue mau minta lo bayar gue buat yang semalam, gimana?"
Alan menyipitkan kedua matanya. "Lo serius minta dibayar?" Kemudian dia mengerjap dengan tatapan tidak percaya.
Jeanne mengangguk. "Seratus juta per ronde. Lo tentuin sendiri nominalnya, karena cuma lo yang bisa ngitung berapa total nominal yang sebenarnya. Kalau lo cuma ngasih gue seratus atau dua ratus juta aja, berarti lo bohongin gue dan kita jadi musuh aja, deal?!"
Alan memiringkan kepalanya. Jadi, ini ceritanya dia mau diperas, kan, ya?
____
MALAH BUNTUNG (8)
SERATUS juta per ronde. Alan memiringkan kepala dan mengerjap berulang kali setelahnya. Harga yang mahal sekali untuk lepas perawan sekali dan tidur berkali-kali saja. Padahal kalau dia ikut acara lelang di suatu kelab malam, mungkin dia bisa mendapatkan perawan dengan harga kurang dari itu.
Namun, itu adalah salah satu bentuk dari tanggung jawab atas perbuatannya. Walaupun dia harus kena getok harga, tapi sebenarnya itu bukanlah masalah besar. Dia bisa menipu Jeanne dengan hanya memberikan lima ratus juta, tapi dia merasa cukup bangga dengan performanya.
Dan lagi, dia merasa ada suatu kesempatan yang tidak boleh dia lewatkan begitu saja.
"Oke, lo mau uangnya ditransfer apa cek aja?" tawarnya kemudian.
Jeanne mengerjap, kemudian tampak berpikir hebat. Ditransfer sih sebenarnya lebih enak, tapi cek juga sama enaknya. "Transfer aja, deh!"
Jeanne pun memberikan nomor rekeningnya kepada Alan yang kini sudah mengetikkan sesuatu di ponselnya. "Lo yakin semua ini mau lewat transfer? Nggak takut dipanggil sama pihak bank?"
Jeanne mengerjap. "Emang jumlahnya sebanyak itu?"
Alan menyeringai. "Menurut lo gimana?"
Jeanne bergidik ngeri. Mengingat rasa sakit yang dia rasakan tadi pagi jelas bukan sekali dua kali, tapi bisa hanya tiga atau empat kali saja, kan? Atau malah lebih dari itu?
Si Alan berengsek ini, jangan bilang dia pakai obat kuat atau apa itu yang bisa bikin tahan lama? batinnya sambil menatap Alan horor.
"Ya udah cek aja, deh!" putusnya kemudian.
Alan pun berdiri setelah menyingkirkan Jeanne dari hadapannya. Dia masuk kamar dan keluar lagi dengan selembar cek yang tertera nominal dua milyar yang sukses membuat Jeanne memelototi kertas di tangannya.
"Sumpah lo bisa dua puluh ronde dalam semalam? Perasaan tadi malam pulangnya udah di atas jam dua belas, deh?" Jeanne menatap Alan dengan tatapan tidak percaya.
Mereka pulang di atas jam dua belas malam. Kalau bisa dua puluh ronde, itu berarti durasi per permainannya cukup sebentar, kan?
Alan hanya menyeringai mendengarnya. Untung saja Jeanne tidak bodoh-bodoh amat. Jadi dia tidak butuh merangkai banyak alasan, karena Jeanne sudah menyiapkan pertanyaan untuknya.
Alan berdeham pelan. "Nggak sampai dua puluh, cuma delapan ronde aja."
Jeanne sukses mengerjap. "Hah?! Terus kenapa di sini tertera dua milyar? Lo nggak mungkin sebaik itu dengan ngasih gue lebihan satu milyar lebih, kan?"
Alan tersenyum penuh arti. "Tentu aja nggak mungkin. Delapan rondenya udah semalam, dua rondenya gue minta sekarang, dan sepuluh rondenya lagi gue minta besok-besok kalau gue butuh service lo lagi. Gimana?"
Jeanne merasa sudut-sudut bibirnya berkedut setelah mendengarnya. Jadi ceritanya, Alan mau DP duluan gitu?
"Siapa yang bilang mau ngelakuin lagi sama lo? Gue nggak mau!" tolak Jeanne mentah-mentah.
Dia mau mengembalikan cek itu, tapi jujur saja dua milyar benar-benar berhasil membuatnya ngiler. Apalagi itu bakalan menjadi uangnya sendiri. Tapi gimana ... Jeanne ini mau untung. Kalau melayani Alan lagi setelah ini, bukannya dia malah buntung?
"Lo bikinin cek baru deh, delapan ratus juta aja, gue nggak minta lebihan—"
Jeanne menelan ludahnya susah payah saat Alan langsung menyudutkannya ke sofa. Pria itu terlihat berbahaya. Tatapan matanya, raut wajah tampannya, dan deru napasnya yang berat. Semuanya terasa sangat berbahaya untuk Jeanne.
"Lo yakin? Kesempatan ini nggak akan datang dua kali. Siapa yang mau bayar seratus juta per ronde kalau lo udah nggak perawan lagi?" Alan membelai pipi Jeanne yang terasa halus dalam sentuhan tangannya. "Bahkan bebek sawah kesayangan lo itu nggak akan mau kasih sebanyak itu buat tidur sekali sama lo, Jeanne."
Jeanne menelan ludahnya dengan berat. Apa yang Alan ucapkan memang tepat. Fredy memang orang baik, walaupun cuek bebek dia orang yang lumayan royal. Namun untuk mengeluarkan uang ratusan juta, jelas hal seperti itu tidak akan pernah dilakukannya.
"Lagian cuma dua belas kali lagi, lo nggak mungkin rugi juga, kan? Jaraknya nggak berdekatan, bukan berarti lo jadi wanita simpanan, dan lagi pacar lo jelas nggak akan keberatan. Dia nggak tahu Jeanne, cuma lo sama gue aja yang tahu masalah ini." Alan terus menghasut dengan nada penuh provokatif.
Sialan CEO satu ini benar-benar ahli memprovokasi. Jeanne membalas tatapan Alan yang kini terasa intens dan begitu dalam. "Selama ini lo kayak gini juga sama cewek-cewek selingkuhan lo, ya?"
"Mereka semua murahan, Jeanne. Gue nggak perlu keluarin uang seperti itu pun mereka rela ngangkang demi bisa milikin gue, tapi lo beda ...." Alan menjalankan tangannya ke leher Jeanne dan menelusuri leher itu turun hingga tulang selangkanya. "Lo istimewa, Je."
"Emang apa istimewanya gue?" tanya Jeanne dengan tatapan tidak mengerti.
Alan sudah tidak bisa menahan dirinya lagi. Dia ingin memiliki Jeanne sekali lagi. Menenggelamkan dirinya dalam nikmat yang begitu memikat hingga sanggup membuatnya hilang kendali.
"Lo bakal ngerti kalau kita melakukannya sekali lagi," jawab Alan yang kini mendekatkan wajah dan lantas mengambil sebuah ciuman dari bibir Jeanne yang sangat berpengalaman.
Jeanne tidak punya pilihan lain selain menganggukkan kepala. Alan benar, tidak ada kesempatan kedua. Setelah dia menolaknya hari ini, Alan belum tentu datang padanya untuk meminta lagi. Toh, dia tidak akan rugi, karena dia memang sudah tidak perawan lagi.
Dan lagi ... dia merasa penasaran dengan Alan yang menyebutnya istimewa tadi. Apakah dia memang istimewa seperti apa yang pria itu katakan? Ataukah itu hanya mulut manis buaya yang ingin memperdaya mangsanya?
Alan yang mendapat persetujuan itu pun langsung bangun dari posisinya. Dia mengingatkan Jeanne untuk menyimpan cek pemberiannya, sebelum dia mengangkat Jeanne untuk kembali dia bawa masuk ke kamar.
Karena dia akan kembali berpesta. Menikmati setiap sentuhan dan setiap kenikmatan dari penyatuan tubuh mereka yang terasa luar biasa.
***
Alan merebahkan tubuh Jeanne di atas ranjangnya dan mulai membuka semua kancing kemeja Jeanne satu per satu. Dia melakukannya dengan pelan dan hati-hati, sekali pun dia sudah kesulitan untuk menahan diri.
Jeanne merasa pipinya mulai memanas saat melihat Alan melepaskan pakaian luarnya dengan sangat hati-hati. Bahkan saat Alan melepaskan celana jeans itu pun, dia sangat pelan dan hati-hati layaknya dia sedang menikmati semua proses yang dia lakukan saat ini.
Jeanne mengerjap saat Alan menyentuh perutnya secara tiba-tiba. Sentuhannya terasa lembut dan halus, merayap dengan pelan menuju kedua bukit indahnya yang masih tertutupi bra.
Alan menjalankan tangannya menyusuri bagian bawah bra ke belakang untuk menemukan pengaitnya dan ia pun melepaskannya. Membiarkan dua bukit kembar yang luar biasa itu terlepas dari sarangnya dan bergerak bebas untuk menyapa.
Alan berdiri untuk melepas kausnya dengan cepat juga celananya sebelum bergabung kembali dengan Jeanne di atas ranjang untuk mulai menikmati tubuhnya.
"Lan?" panggil Jeanne saat Alan memosisikan dirinya di depan dua bukit kembar yang sejak tadi terekspos dengan sempurna.
"Ya?"
"Lo nggak ngerasa lagi buang-buang waktu, ya? Bukannya lo cuma mau seksnya aja?" Jeanne langsung menutup mulutnya dengan tangan tangan kanan saat Alan mendaratkan bibirnya di atas puncak payudaranya.
Sialan! Kenapa rasanya nikmat sekali sampai Jeanne ingin berteriak saat ini?
"Enggak, gue mau semua yang ada di tubuh lo, Je. Tanpa terkecuali." Alan mengatakannya sembari meninggalkan puncak payudara Jeanne, walaupun tidak benar-benar meninggalkannya karena mulut dan puting itu hanya berjarak satu senti saja.
Jeanne hanya bisa menatap semua itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Apa ini? Kenapa rasanya bisa begini?
Rasanya luar biasa sekali saat melihat seorang pria dewasa terlihat asyik menelan puting payudaranya sembari memainkan kedua tangannya di setiap sisi payudaranya.
Jeanne melepaskan tangan yang menutupi mulutnya dan menjalankan tangan itu menuju rambut lurus Alan yang panjang hingga menutup sebagian wajah tampannya. Dia menyelipkan jarinya di antara rambut Alan dan dia menyingkapnya ke atas, memperlihatkan bagaimana tatapan mata hitam tajam itu menghunjam langsung ke arahnya sedang mulut dan kedua tangannya sedang memanjakan payudaranya.
Saat itulah satu demi satu puzzle yang tertahan di memorinya mulai keluar. Saat dia tidak sadarkan diri semalam sedangkan Alan tengah menikmati tubuhnya. Menciumi setiap inchi kulit leher, bahu, dan dadanya hingga meninggalkan kissmark yang membuat Jeanne tertawa saat melihatnya.
Alan yang terlihat bahagia saat mengetahui Jeanne tertawa melihat hasil dari perbuatannya pun tampak semangat membuat bekas kemerahan lain di bagian tubuhnya. Seperti perut dan paha putih yang mengarah ke area selangkangannya.
"Ouhh!"
Desahan Jeanne ditambah remasan kuat tangan perempuan itu di rambutnya membuat Alan tersenyum di balik aktivitasnya. Jeanne yang merasakan hal itu pun ikut bahagia. Dia membiarkan kendali dirinya lepas dan menikmati setiap sentuhan Alan di tubuhnya dengan tawa merdunya.
Sentuhan pelan yang begitu lembut dan memabukkan. Sentuhan yang menghantarkan Jeanne pada sisi liar yang tak pernah dia tunjukkan.
Jeanne menikmati semua ini. Jeanne menyukai setiap sentuhan lembutnya. Dia menyukai senyuman Alan yang terasa memikat dan menggoda. Dia pun sangat menyukai penyatuan di antara mereka.
Rasa penyatuan mereka yang begitu pas dan luar biasa, dalam dan menggairahkan. Jeanne benar-benar sanggup menggila saat menikmatinya. Bahkan tanpa bantuan alkohol pun, dia bisa menikmati sebuah percintaan panas yang mungkin tidak akan pernah dia lupakan seumur hidupnya.
Ah ... bukan sebuah ... masih ada sebelas penyatuan lagi yang akan mereka lakukan bersama. Penyatuan luar biasa yang tidak akan pernah dia lupakan selama-lamanya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
