
Cerita pertama dari series ”Kisah Ajaib Murid-Muridku” yang terinspirasi dari pengalaman pribadi penulis saat menjadi seorang guru.
Agustus 2017
Tepat di hadapanku, lima orang remaja sedang duduk mengitari meja kayu dimana mereka biasa mengerjakan latihan soal. Dua orang dari mereka terlihat penasaran dengan sosok guru baru yang tiba-tiba muncul menggantikan guru favorit mereka. Dua orang lainnya terlihat tidak terlalu peduli dan asyik berbincang mengenai band idola yang baru saja mengeluarkan album pagi itu. Dan yang terakhir, seorang anak laki-laki yang masih memakai seragam sekolah, menatapku lekat-lekat. Aku pun mulai memberanikan diri untuk menyapa dengan nada seceria mungkin, tapi anak laki-laki itu tak bereaksi sama sekali. Ia masih menatapku dengan tajam. Hei, kenapa aku merasa sedang berhadapan dengan dosen pengujiku?. Aku pun mencoba menghiraukannya.
Aku mulai memperkenalkan diri dan meminta mereka melakukan hal yang sama. Saat gilirannya tiba, bukannya memperkenalkan diri, anak laki-laki itu malah memberikan ku sebuah pertanyaan “Miss bisa mengajar sebaik apa?”. Sepersekian detik aku membalas tatapan judgingnya lalu berkata “I’ll try my best” seraya tersenyum. Tak sampai di situ, ia kembali melontarkan beberapa pertanyaan seperti pengalaman mengajarku, kemampuan Bahasa Inggrisku, dan lain-lain. Aku menghela nafas dan menjelaskan bahwa pengalaman mengajarku memang belum banyak, dan itu adalah pertama kalinya aku mengajar secara profesional, jadi tentu banyak hal yang bisa aku pelajari.
Dari raut wajahnya, terlihat jelas bahwa ia tidak puas dengan jawabanku. Pertemuan pertama kami berakhir dengan perasaan yang mengganjal. Entah apa, tapi aku tak punya waktu untuk memikirkannya. Aku harus bergegas mempersiapkan kelas berikutnya.
Pada pertemuan-pertemuan setelahnya, suasana menyenangkan yang coba aku bangun justru semakin memburuk. Secara terus-menerus, anak laki-laki itu membombardirku dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuatku jengkel. Ia juga selalu membahas guru mereka yang lama. Bagaimana sang “mantan” guru begitu menyenangkan saat menjelaskan sesuatu, selalu mengajak mereka melakukan aktivitas yang seru, selalu membuat mereka tertawa bahagia dengan sedikit mengerjakan latihan soal, dan pujian-pujian lainnya. Parahnya, ia secara sengaja menguji kemampuan Bahasa Inggrisku dan menghasut murid-murid lain untuk tidak mendengarkan guru amatiran sepertiku. Ia juga sering mematikan keseruan yang sedang kubangun dalam permainan-permainan yang sudah susah payah aku persiapkan.
Jujur, selama 22 tahun aku hidup, aku sering dibanding-bandingkan dengan orang lain. Tapi bahwa perbandingan itu disampaikan oleh seorang bocah yang baru mengenalku, dan objek pembandingnya adalah orang yang tidak ku kenal, sungguh aku tak terima. Awalnya aku masih berusaha memaklumi sifat kekanakannya itu, tapi semakin lama aku tahan, semakin aku merasa terbebani.
Di masa-masa awal aku mengajar, ada dua hari yang paling kuhindari, Selasa dan Jumat. Hari dimana aku harus bertemu dengan seorang antagonis muda dengan suasana hati yang masih berduka. Setiap pagi rasanya aku tak ingin beranjak dari kasurku. Aku berangkat dengan hati yang berat. Aneh. Tak kusangka musuh yang kudapat saat bekerja adalah seorang anak laki-laki berusia 12 tahun. Aneh, bahwa aku hanya fokus pada 1 jam pertemuanku dengannya dan menghancurkan 23 jam lain yang kupunya. Namun, sebagai seseorang yang baru memulai pekerjaan pertamanya, tentu aku berusaha berpikir positif. Dalam benakku, aku hanya belum terbiasa dan masih banyak kekurangan. Aku harus lebih banyak belajar supaya anak itu bisa mengakui kemampuanku. Aku harus lebih berusaha. Hari itu, aku dengan giat mencari materi games yang menarik di internet. Aku juga mencari sumber latihan soal yang lebih menantang namun tetap menyenangkan. Dengan keyakinan itu, aku menyambut 1 jam ku dengan semangat baru.
Tiba saatnya mengajar. Aku menantikan kehadiran mereka berlima dengan perasaan yang positif. Awalnya, semua berjalan lancar. Hingga sebuah pertanyaan meluncur dari mulutnya. “Miss, kenapa kita harus menulis?. Ini tidak menarik, membuang energi, dan merusak lingkungan“. Aku mengernyitkan dahi “Maksudnya?”.
Ia menghela nafas dan mulai menggurui. “Miss kan tau ngeprint itu pakai listrik, kertas dan pensil itu dari kayu, kayu itu dari pohon. Jadi sekarang kita sedang merusak lingkungan. Miss nih nggak bener.” Aku tahu berdebat dengannya hanya menghabiskan waktu. Tapi aku menjawab, “Makanya Miss print hitam putih dan menggunakan dia sisi kertas untuk mengurangi penggunaan kertas. Miss juga paham setiap detik kita sedang merusak alam. Maka dari itu, yuk kerjain, supaya pengorbanan pohon tidak sia-sia”. Aku tahu dia hanya malas mengerjakan latihan soal. Anak itu memiliki kemampuan berbicara Bahasa Inggris yang sangat baik, bahkan mungkin di atas rata-rata. Dan lama setelahnya aku menyadari bahwa mereka yang pintar berkomunikasi, cenderung lemah dalam penulisan. Begitu pin sebaliknya, mereka yang suka menulis kurang cakap dalam berbicara.
Setiap kali ia melontarkan pernyataan yang menjatuhkan, aku akan membalasnya. Saat ia sengaja mencari kesalahanku, aku akan membalikkan pertanyaan itu dengan hal-hal yang tidak ia pahami. Puas rasanya saat aku berhasil mempertahankan harga diriku di hadapan bocah tengil satu ini. Terlihat bahwa ia malu. Aku pun melanjutkan kegiatan belajar mengajar dengan diskusi soal. Saat itu, ia menghasut murid-murid lain untuk kembali mengacuhkanku karna aku tidak bisa mengajar dengan baik. Ia pun mengajak mereka untuk langsung pulang dan tidak bermain game terlebih dahulu.
Saat itu aku membuang semua kesabaranku dan berkata “Oke. Kalian pulang aja“. Beberapa dari mereka tertawa, mungkin mereka mengira aku hanya bercanda, sampai akhirnya aku berteriak “Keluar kalian semua!”.
Mereka semua terlihat sedikit takut dan bingung, lau satu per satu keluar. Aku membalikkan badan untuk menghapus semua penjelasan di papan tulis yang sudah susah payah aku pelajari setiap malam. Ketika aku berbalik, aku mendapati anak laki-laki itu tak beranjak dari tempat duduknya. Sekilas, aku melihat penyesalan di raut wajahnya. Mungkin ia tidak menyangka aku bisa semarah itu. Tapi bagaimana lagi, emosi ku sudah ku tahan berminggu-minggu. “Kok masih di sini? Katanya mau pulang, pergi sana”, usirku. Aku sendiri bukan orang yang terbiasa meluapkan kemarahan, sehingga sore itu aku berjalan ke kamar mandi dan menghapus air mataku di sana. Saat aku berjalan kembali ke kelas, aku melihat ia baru selesai menuliskan sesuatu di papan tulis. “You are the worst teacher ever”. Kami berpapasan, dan sekilas kulihat matanya memerah karna tangis. Ku tatap tulisan itu sejenak dan menggigit bibir agar air mataku tidak tumpah. Sejak Juni 2016, aku mengalami gangguan tidur yang buruk. Malam itu, seperti biasa, aku tidak bisa tidur. Satu pertanyaan terus muncul di benakku “Why am I here?”.
Setelah kejadian itu aku berpikir untuk berhenti dan menyerah. Menjadi seorang guru bukanlah hal yang mudah. Terlalu banyak tanggung jawab, terlebih tanggung jawab moral. Aku khawatir dengan kondisiku saat itu, aku hanya akan menyakiti orang lain yang tidak bersalah. Beberapa hari kemudian, kami bertemu kembali. Aku kira dia akan berhenti dari kelasku dan aku akan ditegur karna membuatnya menangis. Tak kusangka, hari itu dia lebih penurut meskipun tak ada senyum di wajahnya. Beberapa pertemuan berlalu, aku masih mengingat insiden itu, tapi tampaknya ia sudah lupa. Tak lama aku tahu bahwa ia terpilih untuk mengikuti kejuaraan matematika, sehingga seluruh perhatian dan energinya teralihkan ke sana. Seketika aku sadar, anak-anak begitu cepat melupakan dan berjalan ke depan. Aku, si orang baru dewasa ini, yang justru terus terikat dengan penyesalan-penyesalan yang tidak bisa diubah.
Aku belajar darinya untuk mengalihkan perhatianku ke hal-hal lain yang lebih berguna. Setiap malam aku berlatih di depan cermin untuk menyampaikan materi, menonton puluhan video permainan lucu yang bisa aku bawakan di kelas, serta memperdalam kemampuan Bahasa Inggrisku. Anak itu tak sepenuhnya salah, masih banyak hal yang harus kuperbaiki. Mungkin Tuhan melihat usahaku dan mulai meruntuhkan ego kami masing-masing. Kelas itu perlahan mulai berwarna saat aku dan anak itu bisa menertawakan hal yang sama.
Beberapa bulan kemudian, ia ingin mencoba mengikuti sebuah perlombaan story telling, tapi tidak memiliki seorang pelatih. Aku ingat saat semua orang sudah pulang, dengan ragu ia berhenti di pintu kelas. “Miss bisa bantu aku untuk lomba?”. Aku tersenyum dan menjawab “tentu”. Ia membalas senyumanku lalu pulang. Mungkin pada detik itu aku benar-benar memaafkannya dan memaafkan diriku sendiri karna memarahinya.
Satu per satu murid-murid di kelas itu mengundurkan diri dan COVID 2020 membuat semua kegiatan belajar mengajar terhenti. Ajaibnya, saat kelas kembali dibuka, ia satu-satunya murid yang kembali. Tiga tahun berlalu, ia sudah berganti seragam putih abu-abu. Ia hampir tak pernah bolos, meskipun selalu datang terlambat. Kerap kali ia datang kepadaku untuk menceritakan keresahannya atau sekedar meminta saran untuk Klub Bahasa Inggris di sekolahnya. Di dalam format kelasnya yang baru, kami memiliki sebuah grup bernama “Yes No Not Given”, dimana belajar dan diskusi terasa lebih ringan dan menyenangkan, meskipun materi pembelajaran semakin dalam. Kini hari Selasa dan Jumat adalah hari yang dinanti-nanti. Kami masih sering berdebat, tapi ada tawa yang terselip di sana. Lalu suatu hari ia kembali bertanya “Miss, kalau aku bikin buku nanti, aku izin cantumkan nama Miss ya?“. Dia sudah banyak berubah begitu juga denganku. Kembali aku tersenyum di balik maskerku.
Kita pasti tidak suka berada di posisi yang membuat kita menderita. Keinginan untuk kabur pasti ada. Namun, cobalah untuk bertahan sedikit lebih lama. Mungkin suatu saat nanti penderitaan itu berubah menjadi sesuatu yang kita syukuri. Karna anak laki-laki itu, aku terus berbenah diri untuk bisa mengajar dengan lebih baik. Salam.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰