
Divanya
Lo dimana? Ega tuh berantem sama eyang. Bunda sampai nangis nangis.
Aku membaca chat dari divanya yang terkirim dari satu jam yang lalu dan emang baru kebaca sekarang karna dikantor emang lagi sibuk sibuknya. Dan aku dari tadi mantengin surel email bukan whatsapp.
Me
Nya, Ega masi disana?
Gue baru buka chat lo.
Ini gue mau balik, gue kerumah bunda atau gimana?
Divanya
Gausah njir, udah malem. Mau sampai jam berapa lo nyampe kesini.
Emang Ega gak bilang?
Orangnya tuh masih dikamar
Eyang marah banget kayanya tuh, Na. Sampai harus pindah kerumah tante.
Bunda juga tadi nangis, tapi sekarang udah enggak.
Kayanya masi dikamar Mas Ega.
Gue gak seberapa paham sih masalahnya, cuma ada sangkut pautnya ke lo Na. Si Ega marahin eyang karna terus terusan nanyain lo cepet hamil.
Membaca chat dari divanya membuatku mau tak mau mengalami gelisah dan juga panik
Me
Gue otw kerumah bunda.
Suru Ega jangan pulang dulu, Nya.
Wanya gak aktif
Setelah mengirim chat pada divanya aku langsung melajukan mobilku dengan cepat menuju rumah bunda. Walau jaraknya lumayan jauh dan cukup menghabiskan waktu aku tetep keukeh kerumah bunda. Ega memang kesana cuma gara gara aku kan? Aku yakin, Ega kesana hanya untuk meminta kejelasan kepada Eyang dan keluarganya. Tapi tuh kenapa gabilang bilang dulu coba? Seenggaknya kan aku bisa ngelarang. Eyang pasti mikir macam macam kepadaku yang mengadukan ini dan itu. Aku juga sebenernya gak enak sama eyang. Eyang tuh baik banget kok, cuma memang kepingin banget punya cicit. Lagian kan memang niat eyang baik walau sedikit berlebihan walau sedikit ngebuat aku ngerasa sakit hati juga.
Eyang tuh dulu support aku banget kok, tapi gatau akhir akhir ini memang kelewat support atau akunya yang kelewat baper.
Niat baik orang itu memang gak semua bisa tersampaikan dengan baik. Kadang memang jalannya menyakitkan walau ujungnya membuahkan hasil.
Mama juga dulu sering kok ke aku dengan sengaja atau gak sengaja Mama tuh sedari dulu selalu mendoktrin aku untuk dapet nilai sempurna. Kalau gak sempurna berarti memang prosesku salah, harus ada yang diperbaiki dan dirancang ulang. Makanya dulu setiap pengambilan rapor, Mama selalu mendudukanku. Memintaku menulis apa saja evaluasiku selama pembelajaran satu semester, kalau ada yang gak bener dan hasilnya jelek Mama selalu nyuruh aku kasi solusi untuk semua masalah tersebut.
Hasilnya apa? Selalu ada peningkatan disetiap tahunnya. Nilai nilaiku selalu konstan naik dan gak pernah turun. Cara Mama memang terbukti berhasil banget di aku. Cuman, aku selalu berpikir begini. Kalau semisal aku menerapkan hal yang sama kepada anakku kelak akan bagaimana? Apa mereka akan bisa menerimanya seperti aku? Atau tidak. Makanya menurutku pribadi, kita tuh harus bener bener mengetahui sifat si anak. Mengetahui keinganan dan cita cita setiap anak. Kita gak mungkin dong memperlakukan anak kita tuh sama. Maksudku bukan pilih kasih ya, tapi lebih tepat ke gimana cara kita menyikapi anak kita masing masing.
Kadang kan ada anak yang emang bakat di pelajaran dan akan seneng banget kalau orang tua mendukung, contohnya kaya aku. Atau ada anak yang sukanya memang melakukan hobi hobi baru, berolahraga main game atau lainnya. Nah harusnya dari situ kita juga kita sebagai orang tua ikut mensupport. Prestasi gak melulu soal pelajaran kan? Banyak kan atlet olahraga yang sukses diluar sana?
Dan ngomongin soal parenting, jujur ini menjadi topik yang bener bener ngebuat aku ngerasa seantusias itu. Gimana sih rasanya mendidik dan mengajari anak kita dari bayi sampai dewasa kelak. Akan jadi apa anak kita kelak. Ibaratnya tuh anak yang kita lahirkan sampai besar nanti akan menjadi versi yang seperti apa.
Dan yang ngebuat aku penasaran sekaligus sedih tuh, nanti anakku bakal mirip aku atau bapaknya ya? Setauku selama ini kalau anak perempuan akan mirip sama Bapak? Tapi kalau laki laki mirip dengan Ibunya? Aku juga gak tahu secara pasti, karna memang belum merasakan.
Tuhkan! Ngomongin anak tuh selalu membuat aku emosional banget. Siapa sih yang gak ngarepin banget kelahiran seorang anak apalagi dari rahim sendiri?
Aku menghapus laju airmataku, memang paling enak tuh kalau nangis sendirian. Seenggaknya gak kelihatan menyedihkan banget.
Aku sampai dirumah Bunda pukul sembilan lebih dua puluh menit. Aku disambut dengan hangat oleh Divanya yang kebetulan lagi buru buru mau pergi keluar. Divanya menitipkan pesan agar langsung ke kamar Bunda dulu, karna memang Bunda sedari tadi dikamarnya dan tak keluar keluar. Aku mengiyakan dan segera menuju ke kamar Bunda tanpa menemui Ega terlebih dahulu.
Aku mengetuk dua kali, sampai suara bunda menyahut. Dan akhirnya aku memberanikan diri untuk masuk. Aku melihat bunda sedang duduk di sofa sambil menyalakan musik dari smart tvnya. Bunda sedang mendengarkan lagunya Kodaline. Yang aku tau memang lagunya bagus banget. Aku juga sering denger dan bahkan lagu lagunya Kodaline ada diplaylistku. Yang paling aku suka adalah lagunya yang berjudul high hopes dan aku paling suka sama liriknya yang begini High hopes, when you let it go, go out and start again. Aku jadi ngerasa kalau lirik lagu itu tuh aku banget.
"Bunda"
Panggilku, Bunda terkejut melihat kehadiranku, bunda langsung menegakan badannya dan berniat berdiri namun aku urungkan karna gerakan cepat dari tubuhku untuk memeluk bunda dengan hangat.
Aku memeluk bunda agak lama, kemudian menyaliminya. "Bunda sehat?" Bunda mengangguk sumringah walau aku masi bisa melihat raut sedih dari wajahnya.
"Kok gak bilang Mbak mau kesini? Bunda tadi gak masak apa apa"
Aku tersenyum bahagia, Bunda tuh selalu perduli kepada anak dan menantunya. Bunda selalu menjamu kami dengan baik, memasakan masakan yang enak enak banget. Pokoknya persiapannya tuh banyak banget. Semua bakal ada dimeja makan kalau aku dateng. Makanya Bunda sampai meringis tak enak hati saat mengetahui aku datang secara mendadak.
"Gak apa apa Bun. Aku juga baru balik kerja. Terus kata Divanya Mas Ega disini, makanya aku samperin sekalian ketemu Bunda" Aku menjawab pertanyaan Bunda dengan wajah berbinar, walau memang sedang memikirkan banyak hal setidaknya aku gak boleh memperlihatkan hal itu dihadapan siapapun kan?
"Iya Mas Ega dari sore kesini. Apa gak bilang ke kamu Mba?"
Aku menggeleng.
Satu menit berlalu kami hanya berdiam. Kayanya memang tanpa berkata satu patah katapun masing masing dari kami sudah memahami apa yang terjadi.
Bunda menarik nafasnya panjang, "Maafin bunda ya Mba?"
Aku menggeleng lagi, "Bukan salah bunda. Aku yang harusnya minta maaf ke bunda. Belum bisa kasi yang terbaik buat Mas Ega dan juga Bunda." Aku mengatakannya sambil menahan tangis walau aku tahu akan gagal, karna tepat setelahnya air mataku kembali berderai.
Bunda menghapusnya dengan cepat, "Enggak. "Bunda menjawab dengan tegas, "Bunda yang salah gak bisa jadi penengah antara kamu dan eyang. Maafin semua kata kata Eyang ya Mba, Eyang tuh sayang banget sama kalian cuma cara Eyang sedikit salah."
Aku mengangguk dan mengiyakan. Aku tahu Eyang sayang, tapi tuh aku juga manusia biasa kan? Yang punya perasaan dan emosional? Jadi wajar wajar aja kan kalau aku merasakan sakit hati sesekali?
"Aku tahu bun gimana sifat Eyang. Aku maklumin Eyang bun. Cuma akhir akhir ini aku emang kayanya lagi banyak pikiran terus ditambah Eyang bilang gitu ke aku. Aku kesel dan gatau harus melampiasin kesiapa selain diri aku sendiri. Tapi lama kelamaan aku juga gak tahan bun, Eyang semakin paksa dan Mas Ega santai santai aja. Makanya aku kelepasan bilang ke Ega semua tentang eyang. Padahal aku tahu bun, Eyang tuh memang niatnya baik. Cuman kadang aku ngerasa gak berguna banget dan ujungnya aku cari validasi ke Ega bun." Aku membeberkan semua perasaanku kepada Bunda. Padahal aku berniat menyimpannya sendiri, sama Mama aja aku gak pernah cerita. Karna aku takut Mama akan ikut memikirkan hal yang enggak enggak. Jadinya selalu aku pendam sendiri. Dan puncaknya kemarin yang ngebuat aku harus mengeluarkan semua emosionalku pada Ega. Ujungnya kami memang bertengkar dan Ega juga bertengkar dengan Eyangnya.
"Iyaa sayang, memang harusnya kamu menceritakan isi hatimu ke Mas Ega. Itu memang kuncinya dari suatu hubungan yaitu komunikasi. Salahnya bunda gak bisa membatasi Eyang mencampuri urusan pernikahan kalian. Ujungnya jadi begini." Lagi lagi Bunda merasa bersalah, aku kembali menarik diriku memeluk Bunda.
"Bun, kalau memang ternyata aku gak bisa kasi anak gimana?" Tanyaku lemah. Jujur pertanyaan ini adalah pertanyaan yang sering banget bermunculan dipikiranku. Yang ngebuat aku merasa stress dan gak tahu harus melakukan apa.
"Mba, jangan ngomong begitu. Memang belum rezeki. Kita sama sama sabar ya Mba?"
Kan?
Gimana aku gak merasa bersyukur banget punya mertua kaya Bunda tuh? Yang sayangnya padaku tak terkira. Yang memberlakukanku seperti anaknya sendiri.
Ini harus berterimakasih ke Bunda atau makasi ke Ega yang udah kasi mertua kaya Bunda?
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
