EPOCH - [ Chapter 8 ]

0
0
Deskripsi

 

 

 

  Laut dan ombak adalah kesatuan yang saling berkaitan, namun goncangan dari 2 hal tersebut tidak bisa dipungkiri. Bagaikan Allura dan Arga. 

Kali ini Allura makan dengan tidak tenang, dengan pakaian formalnya ia duduk di meja makan bersama dengan Arga dan ayah mereka. Pembicaraan dengan 2 bapak di depannya ini tidak bisa ia dengar begitu lama.

"Allura, di sekolah Arga nakal lagi ngga?" tanya Indra, Allura reflek menoleh ke Arga yang berada di sebelah kirinya.

"Oh udah engga kok, Arga udah lebih banyak diemnya," sahut Allura.

Saat SMP setelah kejadian kebakaran itu dan Indra yang membawa istri baru membuat Arga menjadi pemberontak, guru yang menanganinya sudah malas berurusan dengan Arga setiap harinya. Bahkan Arga sudah tidak takut lagi dengan cambukan di punggung yang diberikan oleh Indra. Merasa anaknya itu di luar kendali dan semakin membenci Allura, akhirnya ia membuat Arga bertunangan dengan Allura tanpa kontrak karna memang Allura yang bisa menjadi penopang untuk Arga, meskipun Allura sendiri dibenci oleh Arga.

"Papa liat kalian lebih banyak diem-dieman ya," celetuk Padmana. Allura hanya tersenyum bingung.

"Itu di depan om aja," sahut Arga secara tiba-tiba.
 

"Iyaa yang papa liat kita diem-dieman, aslinya engga kok, iya kan Arga?" Allura sengaja memukul lengan tunangannya itu. Berharap sang ayah mengira kalau Allura semakin dekat dengan Arga.

Arga tersedak dan terbatuk karena tiba-tiba lengan kanannya dipukul disaat ia sedang memasukkan makanan ke mulutnya. "Eh maaf Arga," ucap Allura, lalu ia menuangkan air di gelas Arga dengan cepat, dan memberikan gelas tersebut kepada Arga agar diminumnya.

Padmana dan Indra hanya diam melihat mereka berdua, merasa lega mengira mereka kembali menjadi dekat seperti dulu lagi.

Setelah makan malam tersebut, Allura kembali ke kamarnya, setelah lamanya akhirnya ia bisa bermain dengan ponselnya. Kini ia duduk di kursi yang berada di balkon kamarnya. Menghirup segarnya udara dan melihat bintang-bintang bersinar di atas sana.

Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka dengan kasar. Siapa lagi sosok yang tidak pernah mengetok pintu terlebih dahulu jika bukan tunangannya sendiri. Memang Arga sering masuk kamar Allura.

“Ngagetin aja, bisa ga ngetuk pintu dulu, Arga?” celetuk Allura.

 “Dari dulu juga gue ga pernah ngetuk pintu, kenapa sekarang lo permasalahin?” 

  Allura memutarkan bola matanya, tanda ia malas berdebat dengan Arga. “Soalnya sekarang aku udah besar, kamu cowok, masa gitu perlu aku ajarin?” 

Terlihat Arga menutup pintu itu kembali dan menghampiri Allura yang berada di balkon dengan pintu terbuka. “Berani banget lo bilang gitu?” jawab Arga datar.

 Allura hanya menaikkan satu alisnya tanda ia bingung harus jawab apa, Allura hanya menghela napasnya. “Terserah.” 

 Arga menyodorkan segelas susu untuk Allura. "Dari ayah lo, kebiasaan lo minum susu tiap malem ternyata masih lanjut ya?" 

Terkejut Arga mempertanyakan kebiasaannya dari kecil, biasanya juga Arga enggan untuk membicarakan hal tersebut, ia sudah menganggap tidak pernah mengenal Allura.

Allura menerima gelas tersebut lalu ia hanya meletakkanya di meja. “Iya, dulu minum karena emang buat nambah berat badanku, tapi sampe sekarang juga ga nambah-nambah, akhirnya berubah fungsi.”

Arga menatap teman semasa kecilnya yang sudah sering ia sakiti itu. "Berubah gimana?" tanya Arga.

Allura tersenyum, "Sekarang aku minum susu biar bisa tidur tenang.

Tidak sengaja Arga melihat suatu obat di meja samping tempat tidur Allura. Memang obat tidur, Allura akan meminum obat tersebut jika 2 jam susu yang ia minum tidak membuatnya tertidur. Hal itu menjadi rutin buat Allura sejak orang yang di depannya ini membuat pikirannya terganggu, tetapi tenang obat tersebut ia konsumsi berdasarkan resep dokter.

"Minum susunya, keburu dingin," titah Arga. Entah mengapa Allura menurutinya, gadis itu segera meminum susu yang sudah diberikan. Ia langsung menghabiskannya membuat Arga bergidik ngeri, kebalikan dengan Allura, Arga tidak suka minum susu.

"Gue pulang dulu," pamit Arga, ia lalu pergi dari kamar Allura.

Tidak lama, mobil yang Arga dan Indra tumpangi berjalan pergi dari area rumah, Allura melihat dari balkonnya. Memang seperti itu Arga, memarahi dan memaki Allura namun di pertemuan selanjutnya ia bersikap biasa seperti tidak pernah memaki Allura.
 

                                      . . . .

 

"Sekali-sekali kamu yang bersikap romantis ke Allura saat makan malam," ujar Indra secara tiba-tiba di dalam mobil. Arga hanya diam tidak merespon perkataan ayahnya tersebut. "Masih nyimpen dendam ke Allura?" tanya Indra.

"Iya," sahut Arga singkat, ia kali ini hanya bisa menatap jendela mobil. Mereka di tengah mobil.

“Udah 4 tahun lewat, buang jauh-jauh dendam kamu itu, buat rugi diri sendiri.”

“Iya aku coba.”

“Kamu harus jaga baik-baik hubunganmu sama Allura, terutama Padmana. Kalo kalian udah nikah, kamu yang nerusin perusahaan Padmana. Biar perusahaan papa diterusin sama Mahen.”

Arga ingin mencakar muka Indra sekarang, kenapa harus Mahen. Dia anak satu-satunya yang kandung kenapa harus nerusin perusahaan orang. Mahen tentu saja anak dari wanita yang 4 tahun ini menjadi ibu tirinya. Tidak ada darah daging Indra di dalam diri Mahen.

"Kenapa harus Mahen, anak tiri papa sendiri," jawab Arga tidak terima, anak itu menatap Indra dengan tajam di sampingnya.

“Suatu saat kamu tau sendiri.”

Jawaban teraneh yang pernah ia dengar, sudah 2 kali perkataan tersebut keluar dari mulut Indra. Apalagi yang disembunyikan Indra mengenai kehidupannya.

Sesampainya mereka di rumah. Arga langsung jalan dengan langkah yang panjang menuju kamarnya. Meskipun dirinya dipanggil oleh Artanti, namun ia tidak menghiraukan ibu tirinya itu.

Arga memasuki kamarnya, wajahnya terkejut ketika seorang Jester berada di sana. Temannya itu fokus terhadap layar monitor yang biasanya dibuat main game oleh Arga.

"Lo udah dari tadi di sini?" tanya Arga sambil menutup pintu kamarnya.

"Barusan, sekitar jam 6 an," sahut Jaster sambil menoleh sekilas ke Arga.

Arga melihat jam tangannya, jarum jam tersebut sudah menunjukkan pukul 8 lebih 45 menit. "Minta rokok jes," pinta Arga, sambil berjalan ke arah balkon kamarnya yang sudah terbuka. 

 Jester melempar kotak yang berisi beberapa batang rokok dari sakunya, dan kotak tersebut tepat diterima oleh Arga. "Lo habis dari Allura ya?" tanya Jester.

 Arga mengambil sebatang rokok yang diberikan oleh Jester, memasukkannya ke dalam mulut dan membakar puntung rokok tersebut dengan korek yang ia ambil di saku celananya. "Iya, kenapa lo ga bilang dulu kalo mau ke rumah gue?" Arga memanglah perokok aktif dari awal masuk SMA.

"Gapapa, santai aja dari tadi gue mainin pc lo," ujar Jester sambil mematikan komputer Arga, kini matanya sudah tidak kuat melihat layar tersebut. Jester berjalan mendekati Arga. "Lo kalo ke Allura pake baju formal begini? Apa habis ngelamar dia?" pertanyaan dari Jester membuat ia mendapatkan pukulan di kepalanya dari Arga.

"Emang biasa gini, cuma makan malam aja," sahut Arga, sambil melepaskan jas hitamnya itu. “Lo udah makan belum?”

"Udah, tu disuguhin nyokap tiri lo. Btw dia baik juga ya lemah lembut." Jester menunjuk piring dan gelas yang berada di meja dekat komputer tersebut.

"Berani banget lo bilang dia lemah lembut." sahut Arga ketus, membuat Jester menutup mulutnya seketika.

"Maaf-maaf. Hm tapi ya, gue liat sebenci-bencinya lo sama Allura. Lo masih nyimpen foto masa kecil dia di kamar." Jester menyusuri kamar Arga tersebut, banyak bingkai foto di sana. Seperti kamar Allura. Memang kenangan mereka banyak. "Gue tau lo sebenernya gengsi ke Allura. Ya meskipun tunangan karena dijodohin." Jester memegang pundak Arga yang berada di depannya itu.

“Gue emang benci dia.”

Satu sekolah tahu kalau Allura adalah tunangannya Arga, namun seisi sekolah tidak tahu apa yang membuat Arga mencampakkan Allura. Mereka hanya membuat gosip sendiri bahwa Arga dan Allura bertunangan karena masalah bisnis.

"Gapapa, pelan-pelan aja kalo mau terima cintanya Allura." Senyum Jester terpancar.

"Gak akan lah," sahut Arga singkat.

“Gue tau lo denial, tapi semoga lo cepet sadar ya Ga. Sebelum Allura nyerah karna diri lo sendiri.”

 Perkataan Jester membuat Arga berpikir sejenak. "Gue ga denial, emang gue udah ga suka sama anak itu." 

 "Terserah lo, tapi lo pikir baik-baik tentang perasaan lo sendiri." 




 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya EPOCH - [ Chapter 9 ]
0
0
Kita baru tahu makna suatu kejadian di masa lalu saat kita sudah melewatinya sebab hanya waktu yang membantu kita mendapatkan jawabannya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan