
“Kamu seneng, kan?” tanya Bani.
Rindu mengangguk. Senyumnya semakin lebar.
Rindu sering mengingatkan dirinya sendiri kalau Rindu beruntung bisa merasakan cinta. Bisa merasakan beratnya berpisah dari seseorang. Bisa merasakan betapa mengagumkannya dicintai sedalam ini. Biasanya Rindu akan merasa bersalah ketika pergi main atau melakukan sesuatu yang bukan bekerja apalagi bukan belajar.
Atau, ini adalah cerita pertama kalinya Rindu dan Bani mengunjungi Pasar Kangen di salah satu universitas besar di...

“Apakah kamu ingin membeli sesuatu ?”
Rindu tidak menjawab. Dia memainkan jemarinya yang digenggam Bani. Perlahan, tangan Rindu merambat naik. Merangkul lengan Bani. Ragu-ragu, dan menjadi yakin saat Bani menatap matanya.
Mereka menggelikan. Rindu tahu. Tapi pasangan yang sibuk dengan dunia mereka sendiri di Pasar Kangen ini tidak hanya Bani dan Rindu. Jadi… tidak apa-apa bersikap menjijikkan sekali-kali. Rindu dan Bani bertatapan dibawah cahaya lampu oranye dan bendera-bendera kain perca warna-warni. Keduanya berdiri ditengah jalan selama beberapa saat. Sebelum Rindu menuntun mereka untuk kembali berjalan. Takut kalau berdiam disana terlalu lama akan dipelototi karena membuat jalan macet.
Pasar Kangen di Universitas Negeri Yogyakarta tahun ini amat riuh. Dari Fakultas Ekonomi sampai Fakultas Ilmu Pendidikan. Melintasi Taman Pancasila, hingga memenuhi Taman Ganesha milik Fakultas Ilmu Sosial. Dipenuhi pedagang-pedagang dan disesaki pengunjung. Ramai. Berjalan pun agak sulit. Tapi Rindu tidak takut karena Bani selalu menggenggam tangannya. Berkali-kali menoleh untuk memastikan Rindu tidak terseret orang-orang.
Rindu tidak pernah pergi ke tempat seperti ini. Seumur hidupnya, Rindu hanya tahu bekerja. Bertahan hidup. Tidak pernah menikmati masa muda, mencoba kafe baru atau mengunjungi tempat-tempat rekreasi. Pengalaman Rindu mencoba makanan mewah (iya, croissant seharga 20 ribu dan es krim matcha seharga 15 ribu itu mewah untuk Rindu), mengunjungi tempat baru (museum-museum yang Rindu tidak tahu ternyata ada), atau menangis di bahu seseorang, semuanya Rindu peroleh dari ajakan Bani.
“Ah, es gabus.” Rindu bergumam kecil saat matanya menangkap kios dengan papan bertuliskan es gabus dan limun.
“Mau beli?” tanya Bani.
Rindu menggeleng pelan. “Mahal banget. Delapan ribu. Dulu kalau beli di sekolah dua ribu udah bisa dapet.”
Bani tertawa kecil. “Kamu sudah bukan anak sekolah lagi. Nggak apa-apa. Kita kan nggak jajan mahal setiap hari.”
Bani menarik lembut langkah Rindu. “Ayo.”
Rindu mengerjap pelan. Memalingkan muka saat melihat Bani tersenyum seraya kembali menatap lurus kedepan. Mereka membeli dua es gabus. Dan meskipun mahal, es gabus itu adalah es gabus terenak yang pernah Rindu makan.
Sekilas, mungkin Pasar Kangen terlihat seperti pasar malam biasa yang akan kamu temukan dimanapun mereka memutuskan untuk berada. Tapi seperti namanya, ada hal-hal yang kamu rindukan di Pasar Kangen. Mungkin wadah beras dari bambu. Mungkin kios-kios yang alih-alih terbuat dari terpal plastik atau besi, malah terdiri dari kayu, bambu dan/atau jerami. Mungkin makanan-makanan tradisional yang banyak digeser makanan korea. Mungkin juga pernak-pernik unik seperti yang sekarang mencuri perhatian Rindu.
“Cantik sekali,” Rindu menyentuh wadah lilin kuno yang dihiasi ukiran-ukiran cantik. Mereka berada di lorong kios yang menjual barang-barang dan buku antik. Ada jam tangan lama yang berhenti berdetak. Rusak tetapi menggelitik hati. Ada kamera-kamera lama yang masih bisa menjepret gambar. Radio lawas yang memutarkan musik dari kaset-kaset tak kalah lawas. Bani mengantongi dua lembar surat tua dari tahun 1970-an. Rindu juga tergoda. Jadi dia membeli kartu pos dari rentang tahun yang sama.
“Aku tidak bisa membaca tulisan ini,” Rindu mengadu sambil tergelak. Menunjuk pesan di kartu pos yang ditulis dengan tinta biru. Gaya menulisnya khas sekali seperti orang jaman dulu. “Bagaimana mereka bisa menulis sesuatu seperti ini?”
Bani ikut tertawa. Kepala mereka bersentuhan dan Bani memberi Rindu dorongan pelan.
Surat-surat tua yang tidak bisa mereka baca. Es gabus delapan ribu sepotong. Ada terlalu banyak hal disini sampai Rindu kebingungan mau membeli apa. Gulali memberi Rindu nostalgia pada masa dimana Rindu kecil tidak bisa membelinya. Setelah Rindu menyebutkan, Bani menarik Rindu ke kios dan membelikan Rindu gulali. Cowok itu menggeleng saat Rindu menawarkan untuk berbagi.
“Aku nggak suka makanan manis. Ingat?” kata Bani.
“Tapi kamu selalu memakan roti bakar yang aku buat.”
“Itu masakan buatanmu. Tidak mungkin aku tolak. Selain itu selai stroberi juga tidak semanis gula yang diwarnai.”
Setelah gulali berbentuk ayam milik Rindu habis. Bani menarik Rindu ke photobooth Pasar Kangen. Bersama, mereka mengantri sambil menggoda adik bayi berpipi tembam yang ikut menunggu giliran. Keluarga kecil. Pasangan yang masih muda. Si Ayah diam saja sementara Rindu menggoda putrinya yang bernama Nyala. Pipinya seperti moci. Nyala bersandar di bahu Ibunya yang murah senyum. Bayi lucu itu meringis saat Rindu membuat gerakan ingin mencakar wajahnya.
Empat foto. Empat gaya. Rindu dan Bani berfoto setelah keluarga Nyala. Di foto pertama, Rindu merangkul lengan Bani dan bersandar di bahunya. Di foto kedua, Bani dan Rindu saling menatap sambil tersenyum. Di foto ketiga, Rindu tidak siap. Agak menunduk dan kelihatan bingung. Sementara Bani tersenyum dan menyingkap rambut Rindu ke belakang telinga. Foto terakhir candid lagi. Rindu tergelak malu. Bani nyengir lebar.
“Lucu banget,” Rindu berseri-seri. Bani ikut tersenyum.
Ketika Rindu menengadah, menatapnya sembari berjingkrak-jingkrak, Bani terkekeh. Biasanya antara Rindu dan Bani, Rindu yang lebih pendiam dan banyak menahan diri. Tapi di momen-momen seperti ini, kepribadian mereka seperti tertukar. Itu karena Bani kewalahan berhadapan dengan Rindu yang bahagia dan banyak tersenyum. Saking kewalahannya, Bani hanya bisa diam menonton Rindu bersenang-senang.
Langkah mereka melambat di lorong yang menjual pernak-pernik. Gelang dan kalung manik-manik, boneka rajut, kalung dari resin dan kalung yang dilukis bunga-bungaan. Ada juga gantungan ponsel yang sangat menawan di mata para gadis tetapi akan membuat para laki-laki mengernyit.
Bani menatap gantungan kunci manik-manik itu dan Rindu yang terpana bergantian.
“Mau lihat-lihat?” ia bertanya. Rindu mengangguk malu.
Mereka menghampiri kios yang agak sepi. Rindu meneliti gantungan kunci berhias mutiara dan pita berwarna putih. Phone strap model serupa tetapi beda warna juga tidak lepas dari jemarinya yang diliputi rasa penasaran. Sampai Rindu tiba di bagian yang menampilkan koleksi gelang-gelang cantik. Bani melihat Rindu menahan nafas, meraih salah satu gelang yang berwarna biru.
“Yang itu harganya berapa, kak?” tanya Bani kepada penjaga toko.
“Satunya lima belas ribu. Kalau yang ini,” penjaga toko menunjuk ke gelang-gelang yang hiasannya lebih rumit. “Dua puluh ribu kak.”
Perbani paham kenapa gelang yang itu harganya lebih mahal. Ada manik-manik berbentuk matahari, bintang dan rembulan. Ketika disentuh, manik-maniknya dingin. Sepertinya terbuat dari batu. Bani meraih salah satu gelang. Pengait besinya kuat dan lingkaran pengikatnya rapi. Tidak seperti kebanyakan gelang bikinan rumah yang kadang berantakan dan gampang rusak.
Bani merapat pada Rindu. “Kamu mau beli yang mana?” bisik Bani.
Rindu menimang gelang berwarna biru dengan manik-manik bintang semi transparan dan bunga-bunga berwarna putih. Tatapannya kemudian mengedar lagi ke jajaran gelang-gelang. Bani mendengung saat mengamati warna gelang yang dipilih Rindu.
“Bukannya kamu suka pink?” tanya Bani.
Rindu tertawa pelan. “Biru itu… melambangkan kesepian. Ini warna kesukaanku yang dulu,” Rindu meraih gelang lainnya yang didominasi warna merah jambu. Ada manik-manik kupu-kupu dan bunga sakura berwarna merah jambu pucat, menemani manik-manik bulat yang lebih besar. Rindu menimang keduanya tanpa kata. Mata hitamnya berpendar lembut saat balas menatap Bani. Menyadari kalau dirinya sedang dipandangi.
Sebelum sempat mengeluarkan dompet untuk membayar, Bani meraih lengan Rindu dengan lembut. Menggeleng pelan saat mata Rindu membulat penuh tanya. Cowok itu mengulas senyum tipis.
“Aku aja,” kata Bani. Rindu melotot sedikit. “Nggak apa-apa. Tolong belikan es kelapa muda di kios sebelah ya?”
Mulanya Rindu enggan. Tapi akhirnya mendengung mengiyakan setelah Bani mencubit pipinya dan melontarkan tatapan tegas. Tidak mau mendengar tidak.
Ketika Rindu meninggalkan kios gelang manik-manik, pandangan Bani kembali jatuh pada gelang-gelang lain yang hiasannya lebih rumit.
….
“Ngantrinya lama ya?” tanya Bani pada Rindu yang menghampirinya didepan pagar yang membatasi Taman Pancasila dan deretan kios. Dia menjinjing plastik berisi gelas-gelas es di satu tangan, dan sekotak rambut nenek di tangan yang lain.
“Mm! Kita hampir kehabisan—mereka juga punya rambut nenek. Lihat! Warna-warni.”
Mereka menepi ke taman Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Keduanya duduk di bangku kosong yang ada dibawah pohon mangga tua. Nyala lampu disekeliling mereka semakin terang karena malam sudah menjemput. Orang tua, remaja, anak-anak kecil, berkerumun—berlalu lalang di Pasar Kangen. Membuat pemandangannya makin ajaib.
“Mau lihat gelangnya,” kata Rindu setelah menyeruput es kelapa mudanya hingga setengah.
Bani tersenyum. Tangannya yang tadi meraih sejumput rambut nenek dibersihkan dengan tisu basah. Alih-alih menyodorkan plastik berisi gelang pada Rindu, Bani malah meraih lengan kiri Rindu dan mengeluarkan gelang biru yang Rindu pilih. Gelang tersebut terbuat dari berbagai manik-manik plastik. Ada hati yang berwarna putih kebiruan dan berkilau. Mutiara, permata dan hati biru pastel, ditemani manik-manik kecil berwarna putih dan berbagai jenis warna biru yang lain. Ada pengait dari alumunium ringan yang panjang dan menjuntai saat Bani mengaitkan gelang tersebut di pergelangan tangan Rindu. Rindu menahan nafas karena gugup. Sesekali mencuri pandang pada Bani yang serius. Gelang merah jambu menyusul di lengan yang sama. Desainnya agak berbeda karena alih-alih hati, ada bunga sakura. Sebelum Rindu sempat menarik tangannya atau menggumamkan terimakasih, tangan Bani kembali terulur untuk meraih tangan kanan Rindu, mengaitkan gelang berhias manik-manik putih dan kuning, dengan hiasan matahari dan rembulan.
Rindu tidak memilih gelang itu.
“Oke,” Bani mengeluarkan gelang yang lain. Sama persis seperti gelang rembulan-matahari yang Rindu kenakan. “Gantian?”
Rindu mengerjap. Mendadak meloloskan tawa kecil, dan mengaitkan gelang itu di lengan kiri Bani. Rindu menyandingkan tangan mereka yang berhias gelang kembar. Lucu melihatnya karena tangan Bani kokoh dan panjang. Sementara Rindu kebalikannya. Kecil dan ringkih. Manis sekali.
“Nggak setiap tahun ada Pasar Kangen. Mungkin kalau mereka mengadakan acara ini lagi, kita udah nggak di Jogja,” Bani menyentuhkan hidungnya pada hidung Rindu sekilas. “Kenangan yang baik. Jangan sampai hilang.”
“Harusnya aku yang berkata begitu. Kamu ceroboh.”
Bani tertawa. Es kelapa muda yang Rindu beli rasanya pas. Betulan kelapa muda dan tidak terlalu manis. Rambut nenek pelanginya habis. Bani membelikan kue cubit dan arum manis untuk Rindu, yang ujung-ujungnya membagi kapas berperisa gula itu pada Bani. Rasanya lembut dan manis seperti kebaikan Bani. Merah jambu pucat juga, seperti warna kesukaan Rindu.
Ada kalimat yang tidak Rindu utarakan tetapi Bani dengar dengan baik saat mereka memilh gelang.
Merah jambu adalah warna yang melambangkan kehangatan, kasih sayang, dan kelahiran kembali. Rindu pernah hidup bersama kesepian untuk waktu yang lama. Saking lamanya, Rindu sampai belajar menyayangi kesepian itu sendiri dan berhenti merasa dilukai. Bagi Rindu, menyukai warna merah jambu adalah bentuk kelahiran kembali. Karena dia berhenti merasa kesepian. Berhenti merasa sedih. Dan karena sekarang, Rindu merasakan banyak kehangatan. Bani paham kenapa Rindu memilih merah jambu dan biru. Rindu masih kesepian, kadang-kadang. Tetapi sekarang dia dia sudah bisa merasakan berbagai emosi berwarna merah jambu. Yang lembut, hangat dan menyenangkan.
“Kenapa matahari dan bulan?” tanya Rindu saat dia mengamati gelang yang melingkari tangan kanannya.
“Bukan apa-apa. Aku Cuma merasa itu satu-satunya gelang yang bisa aku pakai tanpa disebut mirip banci. Terus… kamu masih bisa memakai gelang itu dan merasa seperti gadis manis.”
“Ah….”
Bani mengamati gelang rindu lamat-lamat.
“Juga karena… matahari dan bulan berada di langit yang sama meski mereka jarang bareng. Itu mengingatkan aku pada hubungan kita berdua.” Imbuhnya.
Oh, itu. Mereka memang jarang bersama. Rindu dan Bani satu kampus—beda jurusan. Orang-orang di kampus terbiasa melihat spesies berpacaran menempel seperti direkatkan lem. Kebanyakan teman-teman mereka seperti itu. Misalkan si cowok sedang ada kegiatan. Mau itu pertandingan bola bersama teman-teman cowoknya, atau nongkrong bareng buat ngerokok sambil ghibah, kadang-kadang (atau bahkan sering) pacarnya bakal diajak buat ikut nongkrong. Nugas bareng. Belajar di perpustakaan bareng. Berangkat atau pulang dari kampus bareng. Apapun yang bisa kamu pikirkan. Terus mereka juga suka mengunggah postingan yang membagikan serba-serbi kisah pacaran mereka.
Rindu dan Bani tidak seperti itu. Jadwal mereka sangat berbeda. Mereka bisa tidak berkencan sebulan sampai lamanya. Atau kalau bertemu hanya ketika belajar di kampus. Kadang Cuma sekilas. Kemudian mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Bani sering tinggal di kampus sampai larut. Rindu datang ke kampus kalau sedang ada kelas atau sedang butuh Wi-Fi. Sebab selain belajar, Rindu juga harus mengerjakan pesanan rajutan dan pekerjaan sampingan lainnya yang lebih enak dituntaskan di kos. Makanya, baik teman Bani maupun teman Rindu, kerap melontarkan pertanyaan seperti “kalian itu sebenarnya masih pacaran atau udah putus?”
Yang akan mereka jawab dengan, “masih kok.” Tidak ditambah dengan emangnya kenapa? Karena Rindu dan Bani tidak mau memperpanjang percakapan yang ditimpali celetukan: eh, si A kayaknya suka sama kamu deh. Nggak mau coba dikasih kesempatan?
Bani menggandeng tangan Rindu saat mereka berjalan pulang. Kos Rindu cukup jauh dari kampus. Tapi mereka ingin menikmati waktu bersama lebih lama. Makanya Bani dan Rindu memilih menggunakan bis alih-alih motor. Hari sudah mulai gelap. Bis terakhir masih setengah jam lagi. Ada waktu selagi mereka menunggu di halte. Diatas bangku besi yang sudah karatan, jemari Perbani dan Purindu masih bertaut. Bis yang tiba agak sepi. Jadi Rindu dan Bani bisa duduk bersebelahan. Kepala Rindu bersandar pada pundak Bani. Lagi, jemari mereka belum ingin berpisah. Gelang matahari dan bulan yang mereka kenakan saling bersentuhan. Tidak ada yang berbicara selain kondektur bus yang tengah merecoki seseorang di seberang telepon.
“Cowok-cowok yang ngekos dibelakang kosmu masih suka ribut?” tanya Bani ketika mereka turun di halte.
“Udah kena tegur Pak RT. Kemarin waktu aku mengintip dari lantai tiga kosnya lebih sepi. Kayaknya ada yang pindah.”
“Baguslah.”
Hari itu rambut Rindu yang panjang dibiarkan tergerai jatuh. Dihias jepit bulu yang ada boneka beruang kecilnya. Rindu mengayunkan lengan mereka. Mengulas senyum saat bersitatap dengan Bani yang meloloskan tawa tanpa suara. Helai rambut Rindu yang lembut jatuh dari bahu, turun menutupi wajahnya saat dia menunduk sedikit. Menyembunyikan senyum malu.
….
“Ini pertama kalinya aku ke Pasar Kangen, terimakasih.” Kata Rindu.
Dia sudah berganti pakaian. Riasan wajahnya juga sudah dibersihkan. Kalau sudah seperti ini Rindu lebih mirip anak-anak daripada mahasiswa berusia dua puluhan. Tangannya ditautkan dibelakang punggung. Mengamati Bani yang tengah bersiap pulang. Mulanya Bani sudah mau mengenakan helm. Tapi melihat tatapan hangat Rindu, helmnya diturunkan. Bani belum ingin pulang. Rindu yang tersenyum lembut. Aroma parfumnya yang seperti harum bedak bayi. Sebelum menyadari apa yang dia lakukan, Bani sudah meraih tangan Rindu dan menggenggam jemarinya lagi. Gelang rindu yang sedikit longgar di lengan kurusnya bersentuhan dengan punggung tangan Bani.
“Kamu seneng, kan?” tanya Bani.
Rindu mengangguk. Senyumnya semakin lebar.
“Baguslah.”
Rindu menurunkan pandangannya. Tatapannya jatuh pada jemarinya dan jemari Bani yang saling menggenggam.
“Kalau kamu? Tadi uangmu keluar banyak.”
“Aku senang-senang aja,” Bani mengeratkan genggaman mereka. “Aku suka melihat kamu banyak tersenyum. Biasanya kamu selalu memikirkan sesuatu. Mengerjakan sesuatu. Hampir tidak pernah bersantai. Jadi… aku lega, kalau kencan hari ini bisa membuat kamu senang.”
Rindu dan Bani kembali bertatapan. Rindu tertawa pelan. Meremas pelan jemari Bani sebelum mengurai jemari mereka. Tangannya kembali disimpan dibelakang punggung.
“Kamu harus pulang.” Kata Rindu.
“Aku tahu.”
Rindu mengambil beberapa langkah mundur. Kalau tidak begitu Bani tidak akan pulang. Dia akan menggenggam jemari Rindu entah berapa lama. Semaunya. Sebetahnya.
Rindu menonton pacarnya memasang helm lambat-lambat. Bani menyalakan motor, melirik Rindu yang tidak mengalihkan pandangan sekalipun dan mengangguk pelan.
Kemudian Bani pulang.
Rindu berbalik setelah sosok Bani menghilang di tikungan. Gerbang besi yang melindungi kosnya ditarik. Berat. Sama seperti langkah kaki Rindu saat mundur dari jangkauan tangan Bani.
Rindu sering mengingatkan dirinya sendiri kalau Rindu beruntung bisa merasakan cinta. Bisa merasakan beratnya berpisah dari seseorang. Bisa merasakan betapa mengagumkannya dicintai sedalam ini. Biasanya Rindu akan merasa bersalah ketika pergi main atau melakukan sesuatu yang bukan bekerja apalagi bukan belajar.
Tetapi bersama Bani, Rindu merasakan hatinya disesaki hangat. Tidak ada beban, karena Bani sudah memastikan semua tugas Rindu tuntas. Tidak ada tanggungan pekerjaan karena Bani memastikan Rindu tidak perlu mengkhawatirkan uang saat mereka pergi keluar.
“Aku pengen kamu istirahat sebentar,” kata Bani tiap kali mereka menghabiskan waktu bersama. “Istirahat sungguhan. Jadi semuanya beres. Semuanya sudah selesai. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan apa-apa.”
Bani orang baik. Rindu akan menemukan dirinya menengadah untuk menatap Bani yang mengucapkan banyak kata-kata baik seakan itu bukan hal-hal penting. Seakan itu bukan apa-apa. Seakan semua itu hanya fakta. Tidak ada senyum pongah seperti yang biasa Rindu temukan pada seorang laki-laki. Apalagi sorot mata arogan karena terganggu oleh kerja keras Rindu. Menyinggung ego mereka. Padahal justru mereka sendiri yang enggan bersusah payah. Rindu sering melihat laki-laki seperti itu. Rindu pernah merasa kalau mereka semua sama. Sampai dia berjumpa dengan Bani yang sering memasang topeng. Sering berusaha terlihat sempurna. Seperti Rindu, dia juga menyembunyikan banyak kesedian dan memendam kesepian yang menggerogoti jiwanya dalam-dalam.
Sekarang, Bani berkata jujur. Dia suka membuat Rindu senang. Dia suka melakukan sesuatu yang akan mengundang senyum Rindu. Karena Rindu jarang tersenyum, katanya. Karena Rindu menanggung begitu banyak beban di usia yang begitu muda.
“Aku ini biasa saja,” Rindu menanggapi pengakuan Bani. “Mungkin karena kita hidup di dunia yang sedikit berbeda. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan uang. Aku perlu. Teman-temanmu sepertimu. Teman-temanku juga sepertiku.” Rindu menarik senyum tipis. “Aku tidak seistimewa itu.”
Waktu itu Bani Cuma mendengung. Besoknya, Rindu mendapat kabar kalau Bani mendapat pekerjaan untuk bernyanyi di kafe-kafe. Honornya lumayan. Ditambah makanan gratis, kadang-kadang. Saat awal-awal mereka berpacaran, Bani pengangguran. Tapi setelah percakapan itu hingga sekarang, Bani selalu menemukan cara untuk memperoleh uang saku tambahan. Rindu tidak tahu harus merasakan apa ketika Bani pertama kali mengirim uang ke akun salah satu e-wallet Rindu. Saat Rindu bertanya, Bani berkata, “itu gaji pertamaku sebagai live-streamer. Kamu simpan aja. Buat jajan benang. Jangan dikirim ke aku lagi. Pamali.”
Rindu duduk bersandar pada lemari bajunya. Memandangi kartu pos lawas dan pembatas buku berhias bunga kering yang dibelikan Bani. Benda-benda itu tersebar di atas seprai. Dengan hati-hati Rindu mengumpulkan mereka dan menyimpannya didalam sebuah kaleng persegi bekas biskuit lebaran. Didalamnya ada foto yang Rindu ambil bersama Bani ketika mereka pergi ke pantai beberapa bulan yang lalu. Kenangan-kenangan yang Rindu peroleh dari banyak menit yang Rindu habiskan bersama Bani. Surat-surat yang iseng Rindu tulis tapi tidak pernah dia serahkan pada Bani karena terlalu malu. Atau sticky note yang Rindu dapat dari Bani saat cowok itu tiba-tiba menghampirinya di perpustakaan. Memberi Rindu makanan ringan dan post-it bertuliskan kata-kata penyemangat (pengingat supaya Rindu tidak terlampau keras pada dirinya sendiri dan kadang-kadang ada omelan-omelan lain).
Rindu tertawa pelan, “dia manis sekali.” Katanya pada udara kosong.
Saat Rindu mematikan lampu kamar dan bersiap tidur, ponselnya berdenting. Rindu menyingkap rambutnya ke belakang telinga. Gadis itu tersenyum kecil, mengetikkan balasan, lalu berbaring di tempat tidur.
Rindu tidak langsung tidur. Tangannya memeluk boneka kelinci besar berwarna putih. Bulunya lembut dan baunya harum karena baru dijemput dari binatu.
Ketika matanya kian berat, yang berputar di benak Rindu adalah kenangan lain yang ia buat bersama Bani.
Game center di salah satu pusat perbelanjaan besar yang ada di Yogyakarta. Mereka pergi kesana karena ada bazar buku murah di salah satu lantainya. Sekembalinya dari bazar, Rindu dan Bani tidak langsung pulang berhubung Yogyakarta diguyur hujan deras.
Bani menarik Rindu ke Game center itu karena Rindu bilang dia belum pernah pergi kesana. Rindu yang menyukai hal-hal lucu beringsut mendekat ke sebuah mesih cakar yang memenjarakan banyak boneka. Senyum Rindu merekah. Dia bergumam, “bonekanya imut-imut.” Ada yang besar dan ada yang kecil. Yang sebesar si kelinci putih pasti mahal kalau beli di toko. Melihatnya saja sebenarnya Rindu sudah senang. Tapi Bani memiliki pendapat berbeda. Dia menghilang sebentar untuk menukar uang dengan koin. Lalu kembali, dan dengan percaya diri tahu-tahu sudah berhasil memperoleh dua boneka besar yang sejak tadi Rindu amati.
Rindu melongo saat Bani menyodorkan si kelinci putih padanya.
“Aku sering kesini bersama teman-temanku,” Bani nyengir lebar. “Aku hebat, kan?”
Rindu tidak mengatakan apa-apa. Masih memproses keadaan saat memeluk boneka lucu itu. Dia berkali-kali bolak-balik menatap si kelinci dan Bani. Tidak ada yang pernah memberi Rindu boneka. Tidak pernah.
Rindu berbaring menyamping. Si kelinci dipeluk erat-erat.
Boneka yang lain dibawa pulang Bani. Sama-sama kelinci juga. Tapi warnanya cokelat. Boneka itu berbaring disebelah Bani yang matanya mulai berat. Cowok itu meletakkan ponselnya di meja belajar dan beringsut merapat pada dinding kamar. Menguap lebar, menarik selimutnya, lalu membenamkan wajahnya di perut si kelinci cokelat.
Gelang matahari dan rembulan di lengan Bani menekan wajahnya dan pagi nanti, akan ada pola matahari dan bulan di pipinya yang membuat adiknya terpingkal-pingkal.
…
Perbani
Istirahat
Mimpi indah
21.48
Purindu
Mimpi indah
21.50
Fin.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
