(TEASER) THE WEDDING AGREEMENT SEASON 2

26
24
Deskripsi

Bimasena Adrian Russel membutuhkan seseorang untuk dijadikan pendamping hidup secepatnya, agar pemuda cantik yang diam-diam dicintainya tahu dirinya sudah move on. 

Sabdayagra Tiandaru Ariacitta membutuhkan seseorang untuk melindunginya dari mantan pacar yang kini kembali menghantui hidupnya. 

Keduanya akhirnya sepakat menikah, dengan beberapa perjanjian yang cukup menguntungkan satu sama lain.


 

PART 01.

Sabdayagra Tiandaru Ariacitta jatuh cinta pertama kali di usia 14 tahun, pada salah satu teman di kelompok les fisika.

Namanya Benjamin. Bukan tipe nerd, tapi juga bukan model bad boy atau berandalan favorit sejuta umat. Pokoknya Tiandaru suka karena Benjamin biasa-biasa saja. Cocok untuk dunianya yang juga ordinary ini. 

Gayung bersambut, Tiandaru begitu bahagia ketika Ben, si teman les ternyata juga merasakan benih cinta yang sama. Tak perlu menunggu lama, Benjamin dan Tiandaru pun berpacaran. 

Selama beberapa bulan kemudian, mereka tak terpisahkan. Asal ada waktu luang untuk bersama pasti keduanya mengusahakan bertemu. 

Meski ini pertama kalinya ia berpacaran, namun bagi Tian kala itu, Ben adalah pelabuhan cinta terakhirnya. Benjamin adalah nafasnya, dunianya, cinta dalam hidupnya. 

Ben membuatnya bahagia, melimpahinya dengan banyak kasih sayang dan perhatian yang jarang Tian dapatkan dari kedua orang tuanya yang sibuk bekerja. 

Dan sebagaimana orang jatuh cinta lainnya, Tiandaru akan memberikan apapun untuk orang yang dicintainya. Tian mode bucin akan selalu mengatakan iya pada Benjamin, apa saja permintaannya. Termasuk ketika Ben merayunya untuk tidur bersama. 

Tak apa, pikir Tian saat itu. Jiwa raganya memang milik Benjamin seutuhnya. Satu kali, dua kali, lima kali.. itu adalah penyatuan paling indah bagi anak yang baru mengenal cinta macam Tiandaru. 

Lalu, Benjamin meminta hal lain, ketika mereka bercinta.  Kekasihnya itu ingin merekam adegan keduanya saat memadu kasih. Untuk koleksi pribadi katanya. —Hanya untuk dilihat Ben seorang diri saat ia sedang didera rindu atau untuk nanti dijadikan album kenangan keduanya di masa tua. 

Kalimat semanis madu yang dikatakan Benjamin sore itu sungguh membuai. Tiandaru tanpa pikir panjang pun mengiyakan begitu saja. 

Meski menjadi tidak nyaman karena setiap kali berhubungan Benjamin lebih fokus pada konten daripada dirinya, tapi Tian tak pernah berani mengeluh. Yang penting kekasihnya happy, dan hubungan mereka tetap langgeng, begitu pemikiran Tian.  

Sebulan dua bulan, permintaan Ben semakin diluar nalar. Dari meminta Tian mencoba berbagai macam gaya bercinta, menggunakan seks toys, hingga aneka kostum nakal yang dibeli di online shop. 

Yang membuat Tiandaru akhirnya protes adalah ketika sang kekasih meminta adegan threesome. Benjamin bahkan sudah memiliki kandidat siapa yang akan menjadi pemeran tambahan.

Tidak! 

Tiandaru masih waras!! Tak ada kenangan bahagia apapun yang bisa diambil dari threesome, yang artinya Tian harus berbagi tubuh Benjamin dengan pria lain. 

Tidak! Sampai kapanpun Ben hanya miliknya, tidak untuk dibagi dengan siapapun, untuk kepentingan apapun! 

Mereka bertengkar hebat sore itu, dan berujung Ben memutuskan hubungan. Patah hati pertamanya. Tian semalaman menangisi kisah cintanya yang ternyata tak seindah cerita wattpad. 

Dan tak cukup Benjamin hanya menyakiti hatinya, kabar tak mengenakkan lain datang keesokan paginya. 

Sekolah Tiandaru digegerkan dengan adanya beberapa video asusila yang tersebar. Di dalam video itu jelas terlihat wajah Tiandaru tanpa sensor, sementara pemain lawannya sama sekali tak nampak. Karena kehebohan itu, Tiandaru dikeluarkan dari sekolah. Meski ujian akhir nasional sudah didepan mata. 

Kesialan terus bertambah ketika kedua orangtuanya yang sudah kepalang malu menghajarnya hingga babak belur. Belum lagi proses hukum yang harus ia jalani sebagai pembuat dan penyebar video asusila. Tiandaru harus tinggal di LPAK selama dua tahun untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. 

Benjamin? Dia sama sekali tak terjangkau. Tak ada yang pernah bertanya siapa lawan main Tian dalam video-video tersebut. 

Pun Tian baru tahu, ternyata Benjamin bukan anak orang sembarangan. Mantan kekasihnya adalah putra salah satu pejabat tinggi pemerintah. 

Darimana Tian akhirnya tahu? 

Pemuda yang kini begitu dibenci Tian itu pernah datang menemuinya sekali di lapas. Bukan untuk menyelamatkannya. Tapi untuk memberikan sejumlah uang tutup mulut sekaligus mengancam agar tidak menyebutkan namanya pada siapapun, atau hidup Tian akan lebih hancur. Benjamin masih memiliki puluhan koleksi video porno Tian. Ada banyak yang lebih mengerikan daripada yang kemarin disebar. 

Hahaha.. 

Bisa apa Tiandaru yang kala itu berumur 15 tahun menghadapi semua badai yang menghadang? 

Dia hanya mampu diam, sampai akhirnya badai itu mengecil lalu perlahan menghilang dengan sendirinya setelah membuat semua hal porak poranda. 

 Tiandaru tidak pulang ke rumah orang tuanya ketika ia akhirnya menghirup udara bebas. 

Untuk apa pikirnya saat itu. 

Ayah ibunya tak pernah sama sekali menjenguk selama ia berada di LPAK. Mungkin ia sudah tak lagi dianggap ada, setelah skandal memalukan itu.  

Menggunakan uang yang diberikan Benjamin ketika terakhir mengunjunginya, Tian memilih pergi jauh. Menaiki sembarang jurusan bus AKAP ekonomi, berganti beberapa kali, Tiandaru jauh meninggalkan kota kelahirannya. 

Tian pergi membawa tekad kuat, bahwa hidupnya akan baik-baik saja setelah ini. Dan ia berjanji tidak akan dengan mudah jatuh cinta lagi!! 

And here he is.. 

Hampir enam tahun sudah berlalu semenjak kedatangannya di kota ini. Dan keadaan Tiandaru saat ini sudah lebih dari kata 'baik-baik saja'  

Ia hidup dengan baik, punya pekerjaan yang menyenangkan, memiliki kamar kost yang nyaman, ada banyak teman yang menyayanginya, dan minggu depan Tian akan resmi menyandang gelar sarjana.  

Sayangnya janji untuk tidak mudah jatuh cinta itu sudah lama dilanggar. Tian langsung jatuh cinta untuk kedua kalinya, satu bulan setelah berada di kota ini. Pada seorang Reino Gaurishankar Sumargo, bos tempatnya bekerja. 

Please, jangan salahkan Tian yang tak mampu menepati janjinya sendiri. Reino sangat sangat berbeda dengan Benjamin. Kalo Ben tipe serigala berbulu domba. Reino adalah sebenar-benarnya malaikat. 

 Reino-lah pria yang pertama kali menemukannya, menolong dari para pencopet yang mengincar uang terakhirnya. 

 Reino yang berbaik hati mengulurkan tangan, menawari pekerjaan dan mencarikan tempat untuk tinggal. 

 Tiandaru bisa mengikuti kejar paket B dan C, lalu masuk kuliah juga karena bujukan dan dorongan dari Reino. Pun pria baik hati itulah yang membiayai semua, memberikan beasiswa untuk Tian selama kuliah. 

 Sayangnya, kali ini bahkan tak perlu kata 'putus' untuk membuatnya patah hati. Karena kisah mereka tak pernah dimulai. Cinta Tiandaru pada bosnya bertepuk sebelah tangan. 

 Yah.. Perhatian Reino hanya sebatas bantuan finansial serta nasehat ketika Tiandaru membutuhkan. 

 Dan bukan hanya Tian yang mendapatkannya, hampir semua karyawan Reino pun diperlakukan sama oleh pria itu. Reino dengan mudah mengulurkan tangan, memberikan bantuan pada siapapun yang membutuhkan. 

 Sementara hati pria itu sama sekali tertutup dan tak terjangkau, seberapa gencar pun Tian mencoba meraih. 

 Yang Tian tahu Reino sedang menanti kekasihnya pulang, yang entah pergi kemana. Kesetiaan Reino, cintanya yang terlihat jelas untuk sang kekasih malah membuat Tiandaru susah move on. 

 Reino Sumargo adalah gambaran sempurna jodoh terindah. 

 Dan Tian berharap suatu hari Reino akan sadar, bahwa kekasih yang ia tunggu takkan pernah kembali lalu memulai membuka hati untuknya. 

 Sayangnya, doa itu tak pernah terkabul. 

 Pacar mas Reino akhirnya pulang, dan mereka kembali bersama. Meninggalkan Tian yang harus memunguti serpihan hatinya sendiri. 

 Sekarang sudah tak ada lagi waktu untuk berharap. Tiandaru harus segera melupakan cinta keduanya. 

 …

 …

 Setting Time: Epilogue Kali Kedua. 

 "Kedip woi..kedip.. belekan tuh mata, ngintip orang pacaran mulu." 

 Tiandaru menoleh malas ke asal suara, dan tak begitu kaget ketika mendapati Bimasena, bosnya yang lain sudah berdiri disampingnya. 

 "Mas Bima! Bikin kaget aja lu kerjaannya!" Balas Tian nggak sopan. 

 Jika berdekatan dengan Reino membuatnya gugup, jantung berdebar tak karuan, bersama Bima lain lagi ceritanya. Bisa dibilang Bima dan Tian adalah partner adu mulut abadi di Runaway, cafe tematik tempatnya bekerja. 

 Dari awal Bima yang selalu salah memanggil nama, seenaknya mengejek, membuat Tian gampang darah tinggi. 

 Anehnya, mas bos yang ini tak pernah mempermasalahkan mulut Tian yang nggak pernah sekolah, asal jeplak dan berani membalas ejekan. Sama sekali tak pernah ada hukuman, sejahat dan sekurang ajar apapun mulutnya balas mengatai Bima.  

"Ck.. makanya nggak usah terlalu fokus ngeliatin Reino sama Bintang cipokan! Jadi nggak nyadar kan lu kalau gue udah lama berdiri disini." Decak Bima mencibir.  

Pria berwajah bule itu melihatnya dengan tatapan mengejek, nggak ada simpatinya sama sekali. Padahal Bima adalah salah satu yang tahu bagaimana perasaan Tian untuk Reino.  

Memutuskan untuk mengacuhkan bosnya yany menyebalkan, Tiandaru kembali fokus mengintip pasangan yang sedang berduaan di taman. 

Siapa lagi jika bukan Reino dan kekasihnya, Bintang.  

Malam ini rasanya hati Tian nggak cuma patah jadi dua tapi juga kena geprek, cincang, lalu masuk blender, halusin sekalian!  

Dimulai dari malam tadi saat mas Bintang, pacar mas Rei nyanyi lagu 'Kali Kedua' di stage.  

Intro yang dipakai pria itu, permintaan maaf dan pernyataan cintanya untuk mas Rei, mampu membuat siapapun yang mendengar ikut terhanyut perasaannya. 

Mana posisi Tian pas banget, lagi mau masuk sekat lorong pembatas antara bagian depan cafe, stage dan dapur.  

Dia dapet dua view, mas Bintang yang nyanyi penuh penghayatan, dan mas Rei yang ada di depan pintu dapur ngusap dadanya sambil senyum-senyum penuh cinta. 

Tian tidak cukup masokis untuk mengatakan, ia bahagia asalkan mas Reino bahagia meski itu tak melibatkan dirinya. 

Hah! Bulshit quote-nya!  

Karena nyatanya nyes banget liat mas Rei yang dulu tak terjangkau sekarang full senyum, jatuh cinta sama pria lain. 

Dan adegan romantis itu bukan hanya satu-satunya malam ini.  

Tian juga nggak sengaja liat keduanya saling menggenggam tangan dibawah meja, ketika  mas Rei nemenin mas Bintang dinner, beberapa jam kemudian setelah cafe lumayan sepi. 

Cara mereka ngobrol dan bercanda, seolah keduanya punya dunia sendiri, sekali lagi membuat Tian merasa nyes. 

Belum cara mereka menatap satu sama lain, dengan senyum hangat yang menghiasi bibir keduanya. 

Tian tahu pasti, dia sama sekali nggak ada harapan. 

 "Ngapa lu masih disini? — Yang lainnya aja udah pada balik." Bima kembali mengusik, padahal udah dicuekin dari tadi. 

Tian yang malas memandang Bima pilih mengedarkan pandangan ke sekitar. 

Malam sudah semakin larut, dapur yang tadinya rame sekarang udah sepi. Tapi lampu dalam masih nyala, pintu dapur juga masih buka. Mungkin tinggal bang Robin, kepala dapur yang masih cek ricek peralatan. 

"Tadinya mau pulang, tapi lihat mas Rei di depan sana, jadi nggak bisa berpaling." Tian menjawab pertanyaan Bima, fokus matanya kembali pada pasangan yang ada di taman depan dapur. 

"Mas Rei ngelamar mas Bintang." Bisiknya sendu, merasa patah hati. 

Padahal baru dua bulan pacarnya balik, tapi mas Rei udah tancap gas aja. Langsung main lamar, mungkin biar mas Bintang nggak pergi lagi.

Dia benar-benar sudah tak boleh lagi menghalu sedikitpun, karena malam ini mas Rei udah resmi sold out. Patah hatinya saat bersama Benjamin dulu bahkan tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan sekarang. 

Tian meringis. Hatinya berdenyut ngilu ketika didepan sana melihat mas Reino mendekatkan diri lalu melumat lembut bibir kekasihnya. 

Tian dari dulu udah bisa bayangin, mas Rei ini kalo punya pacar pasti tipe-tipe yang perlakuin pacarnya dengan lembut, ngeratuin banget. 

Dan terbukti dia bener kan. Nyiumnya kek mas Bintang harta paling berharga yang harus disentuh dengan penuh kehati-hatian. 

Nggak kayak Benjamin dulu. Nggak fokus asal lumat, nggak ada lembutnya. Cuma nganggep Tian sebagai objek video doang. 

Hah! Stop mikir tentang bajingan itu. Udah tutup buku! 

"Reino udah ketemu bahagianya. Lu lupain dia. — Suatu hari nanti, pasti ada pangeran yang ditakdirin buat lu juga, dan bisa jadi lebih keren daripada Reino." Suara Bima terdengar lagi, kali ini sok bijak memberikan nasehat. 

Tiandaru melirik menggunakan ekor mata. Tumben Bima ngomongnya waras, nggak ada ejekan dalam suaranya.  

"Iye mas. Tau diri mah gue. Pacarnya mas Reino se-uwow itu, mana mungkin gue saingin." Balas Tian datar. 

Sori nih, tapi nasehat Bima bukannya bikin adem tapi malah nambahin bunyi kretek patah hatinya.  

Ya ya ya.. Tian sungguh tahu diri. Mas Bintang ini jauh banget kalo dibandingin sama dirinya. 

Dari fisik, jelas mereka beda jauh. Tian tipe pria mungil stunting kurang kalsium dan vitamin D, sementara perawakan Bintang tinggi atletis kek model peragaan busana. Kadar glowing wajah Tian cuma hasil dari sabun cuci muka harga 30 ribu, sementara Bintang tipe tampan rupawan ala mas mas drakor. 

 Belum oufit yang dipakai Bintang, dari atas ke bawah udah keliatan mahalnya. Nggak kayak Tian yang bajunya hasil buruan diskon harbolnas. 

Ini belum masuk ke ranah apa pekerjaan Bintang, kapasitas isi kepala pria itu, juga kedekatannya dengan papa Reino. 

 Ah, pokoknya Tian tau, dia udah kalah telak!! Nggak ada apa-apanya kalo dibandingin sama pacar mas Rei. 

"Bintang juga dulu kek lu. Sebatang kara, diusir orang tuanya. Kerja keras dari jaman SMA." Bima bercerita. 

"Cinta keduanya pun sudah melewati berbagai halangan dan rintangan." 

"Kalau Bintang udah dapet happy endingnya, ya itu karena buah manis dari usaha yang selama ini sudah dia lakukan."

Tian mendengus sebal.  

"Iye mas, iye. Udah dong, jangan bikin hati gue tambah potek dengan muji-muji pacarnya mas Rei depan gue." Tukasnya cepat, merasa nggak terima. 

Bima membalasnya dengan tawa yang nadanya nggak enak didengar. Sumpah pengen nonjok! Ini manusia emang minus simpati empati merpati.

"Ck, lemah. Jadiin motivasi dong, bukan malah merasa terintimidasi sama kesuksesan Bintang." 

Tuh kan! 

Tian mendelik, memelototkan mata sebesar mungkin. 

"Buset dah. Ni masih tengah malam mas, kagak usah sok bijak!! Kultum aja biasanya baru mulai abis subuh, lu kegasikan." Balasnya sewot, nggak pake adab. 

"Bentar.. -- gue berasa dejavu deh. Kita berdua ngobrol gini sambil ngeliatin mas Rei dari kejauhan." Ujarnya terdistraksi. 

Rasanya ini seperti repetisi. 

"Bukan lagi dejavu, tapi emang elu sering ke-gap gue kalau lagi ngintipin Reino!" Timpal Bima. Tangan besarnya terulur untuk mengusap wajah Tian yang tidak lebih lebar dari ukuran telapak tangan pria bule itu. 

"Heran deh, demen banget curi-curi pandang. Bahagia kagak, belekan iya." Lanjutnya geli.

Tian menghela nafasnya berat. Patah hatinya kembali lagi. 

Iya sih, kalo diingat, ini memang seperti adegan yang diulang-ulang. Tian yang mengintip Reino, lalu datang Bima memergoki. Mereka akan ngobrol berdua, dengan Tian yang mendadak curcol. Keduanya dekat kan karena alasan ini. 

"Kalau kata lagunya bang Tulus, gue itu mengagumi mas Reino dari jauh." Tian berkata. Sudut bibirnya membentuk senyuman, meski hati sedang pedih. 

"Bukan tak percaya diri. Karna aku tau diri." Tambahnya menyanyikan sepenggal lagu yang dimaksud.

"Btw, santai aja. Ini terakhir kalinya kok gue ngintip. Gue mau move on! Waktu buat ngarepin mas Rei sudah berakhir." Ia berujar penuh tekad. 

Mas Rei udah sold out. Tiandaru harus bergerak maju, nyari pangeran lain yang masih available. 

"Move on sama gue aja gimana?" 

Tian memicingkan mata. Tau pasti tawaran Bima padanya hanya asal jeplak, nggak serius. Bosnya ini macem tuan Crab, lebih suka bau cuan daripada bau parfum cewek. 

"Ma-les!" Tolaknya penuh penekanan.

"Udah gue bilang dari dulu, gue demen lokalan bukan blasteran kayak elu. Cinta produk-produk dalam negeri gue mah." Tian menambahkan. 

 Bima hanya tertawa. Nggak ada patah hati atau sedih abis ditolak. 

"Awas tuh mulut kalau kena karma. Lu liat aja, bulan depan mendadak suka sama gue, bakal gue tolak." Bosnya membalas, nggak kalah songong. 

"Nggaaakk bakal!! Amit-amit jabang bayi dah. Jangan sampai gue sama elu mas. Mendingan gue kelon sama mixer." Tian berjanji dramatis, tangan sambil menepuk-nepuk perut. 

Bima mengerutkan keningnya heran. 

"Lah, kenapa elu segitu ngerinya sama gue?" 

"Lu, sebelas dua belas sama Tuan Crab. Mata lu lebih ijo liat duit daripada liat paha." Jawab Tian jujur. 

Tatapannya kembali dialihkan ke depan, pada mas Rei dan mas Bintang yang semakin malam malah semakin betah uwu uwu di taman. 

"Gue pengen ngerasain cinta yang sebenarnya. Seperti saat liat mas Rei sama pacarnya tatap tatapan." Ujarnya pelan, nggak peduli Bima denger atau nggak. 

"Yang mereka diem aja saling menatap, dibawah udah keluar subtitle 'Gue sayang sama elu, selamanya sampai maut memisahkan, dan sederet kalimat manis lainnya."

"Kapan ya, ada mas-mas ganteng kaya raya bilang cinta mati sama gue. Biar gue nggak perlu capek kerja tiap hari sampai tengah malam kek gini." 

"Kerjaan gue nantinya cuma mandangin dia sehari semalam, ngurusin dia layaknya istri teladan." Lanjutnya berandai-andai. 

Tian nggak butuh banyak kok. Cukup satu aja. Untuk dicintai sampai mati. 

Tangan Bima sekali lagi terulur, kali ini sasarannya bukan wajah tapi rambut Tian. Diacak kasar beberapa kali. 

"Suatu hari nanti pasti ada!" Bima menjawab optimis.

"Lu liat Reino. — Dia aja yang selama delapan tahun ini ngegalau nyanyi Samudera Mengering-nya Jikustik sekarang bisa dapet happy ending. Masa lo nggak?"

Meski mas Rei nggak pernah gamblang cerita tentang kisah cintanya, tapi hampir semua pegawai Runaway tahu lumayan detail. 

Tentang kekasihnya yang pergi karena tidak direstui keluarga. Papa Reino sendiri yang meminta Bintang memutuskan hubungan. 

Tentang Reino yang pergi dari rumah karena ingin membuktikan bahwa menjadi gay tidak membuatnya miskin dan dikucilkan. 

Dan selama beberapa tahun bekerja di cafe ini, Tiandaru sudah ratusan kali melihat mas Rei duduk di taman dapur, memetik gitarnya menyanyi lagu galau. 

Dia sampai hafal lirik lagu 'Samudera Mengering'-nya Jikustik karena itu yang paling sering dinyanyikan Reino.  

Mas Rei yang akan setia menanti kekasihnya pulang, sampai samudera mengering.  

Ketika kekasihnya kembali dua bulan yang lalu, cerita baru kembali beredar. 

Mas Bintang ternyata selama ini berada di Inggris. Kuliah sambil merintis usahanya, sampai ia akhirnya sekaya ini. Ada yang bilang, dibanding mas Rei, mas Bintang lebih kaya. Makanya akhirnya papa mas Rei merestui. 

Tian mengangguk beberapa kali. Sedikit mendapatkan motivasi dan harapan dari kalimat Bima barusan. 

 "Thanks ya mas. Walaupun nyebelin dan sok bijak, nasehat lu oke juga."

 "Hm.. Ya udah yuk gue anterin pulang kost. Udah hampir pagi." 

 Tian tersenyum, yang dibalas senyum juga oleh pria yang lebih tua. Meski suka mengejek, Bima ini care sama pegawainya. Kalo ada yang pulangnya kemaleman dan nggak bawa kendaraan, pasti dianterin balik. Tian salah satu yang sering dapet tebengan. 

-------TBC -----------

PART 02

Setting Time: Setelah Epilog The Wedding Agreement. (Dua Tahun setelah Part 01)

Bimasena berdiri di sebuah ruangan kecil berukuran 3x3 meter, dengan cat putih yang sudah pudar, dan mengelupas. 

Meski ruangannya agak gelap, karena memakai bohlam warna kuning, tapi ia tahu pasti ini bangunan apa. Ini rumah kontrakan lamanya. Yang dulu ia tinggali bersama mbak Raras. 

Ada rasa takut yang tiba-tiba hadir, mengusik hatinya. 

Bagaimana mungkin rumah ini masih ada? Tempat ini harusnya sudah lama diratakan menjadi tanah dan sekarang berganti menjadi Nedha, rumah makan milik Niel serta Rega. 

Bima memandang sekitar, meneliti satu demi satu isi ruangan, menyentuh lemari usang dan kursi reyot didekatnya. 

Semua terasa begitu nyata. 

Cklek.. 

Awalnya Bima hanya menolehkan kepala, tapi tubuhnya langsung ikut berputar ketika ia melihat siapa yang datang. Senyum terbentang lebar diwajah, ketika sosok itu melangkah mendekat. 

"Mbak.." Panggilnya tak percaya. Benar! Itu kakaknya, mba Raras. 

"Ya Tuhan mbak.. akhirnya.." Lanjutnya setengah berteriak. Antara girang dan kaget. 

Bima tidak tahu apakah ini nyata, halusinasi, atau hanya bunga tidur. Tapi yang ada di hadapannya saat ini memang benar mbak Raras, kakak kandungnya. 

Sama sekali tak menua, masih sangat cantik dengan rambut terurai panjang dan baju sederhana. 

Namun berbeda dengan Bima, mbak Raras sama sekali tak tersenyum. Hanya diam menatap adiknya dengan wajah sendu. 

"Mbak sangat kecewa sama kamu." Sang kakak berkata setelah lama terdiam. 

"Mbak masih marah sama aku?" Bima bertanya getir. 

"Maaf mbak.. Maaf.." Ia langsung memohon ampun. 

"Ampuni aku mba.." 

Mbak Raras menggeleng, bibirnya bergetar menahan tangis. 

"Bagaimana bisa kamu melakukannya dek?" Kakaknya bertanya sedih. 

"Maaf mbak.." Bima hanya bisa meminta maaf. 

Bayangan pertengkaran mereka dulu kembali hadir di kepala. Seketika ketakutan menghampiri dirinya. Takut kehilangan mbak Raras yang sekarang ada di hadapan. 

"Aku janji nggak akan ngulangin lagi. Ampuni aku mbak.." 

"Benarkah?" Mbak Raras bertanya tak percaya. 

"Nggih mbak. Saestu. Aku sekarang udah jauh jauh dari judi sama narkoba mbak." Bimasena meyakinkan kakaknya. 

"Aku tidak sedang bicara tentang judi dan narkoba." Tukas mbak Raras cepat. 

"I'm talking about my son, Sage!" Lanjutnya, lembut namun penuh penekanan.

Mata Bimasena terbelalak lebar, begitu kaget. Tak bisa dicegah, ia jatuh terduduk, wajahnya pucat pasi. Meski sudah disembunyikan, disimpan rapat-rapat, jauh di lubuk hatinya. Namun tetap saja seseorang akan tau. 

"Bagaimana bisa kamu melakukannya?" Mbak Raras bertanya, mulai menangis. 

"Bisa-bisanya kamu tega! Dia keponakanmu sendiri." 

"How could you?" Mbak Raras mulai berteriak marah, dengan jari telunjuk yang menunjuk ke arahnya. 

Bima terbangun, dengan peluh yang mengalir sepanjang dahi. Nafasnya ngos-ngosan. Dan jantung yang berdetak sangat cepat. 

Hah! Ia ternyata hanya bermimpi. 

Diusapnya keringat yang bercucuran dengan lengan baju, lalu mengambil air putih yang ada di meja. 

Bahunya sakit, karena Bimasena tidak tidur di ranjang kamarnya, tapi sofa ruang kerja. 

Menenangkan detak jantungnya, ia kemudian mengambil bungkus rokok berwarna putih dan pemantiknya di meja lalu keluar ruangan. Ingin mencari udara segar. 

Taman yang ada di seberang dapur ini biasanya dipakai Reino duduk menggalau, jaman dulu sebelum Bintang pulang. Bima sering menemani sahabatnya itu, entah kadang menjadi sok bijak menasehati Reino, atau malah mengejek pilihan lagu galau yang dinyanyikan. 

Sekarang situasi itu berbalik padanya. Setelah Reino nikah sama Bintang, ganti Bima yang sering duduk disini bergalau ria. 

Haish.. Kena karma nggak sih ini namanya? Untung sekarang dia sendirian. Paling nggak, nggak ada yang ngejekin lah. 

Membuka bungkus rokok, Bima kemudian mengambil sebatang dan menyalakannya. 

Udah lama Bima nggak ngerokok. Ini aja punya karena tadi baru beli. Sekalian pas mau nyari sikat gigi di minimarket seberang cafe. Dirumah, Niel dan Rega sama sekali nggak ngerokok. Sementara penghuni lain, ayahnya Niel tidak diizinkan merokok, demi kesehatannya. Jadilah Bima pun mau tidak mau akhirnya terpaksa tidak merokok selama tinggal bersama mereka. 

Satu hisapan dan satu hembusan, Bima menikmati nikotinnya pelan pelan sembari pikirannya berkelana. 

Sebenarnya tak ada hal urgen yang membuatnya malam ini tak bisa pulang ke rumah dan malah stay disini. Tadi ada urusan sedikit di pelabuhan, tapi nggak butuh waktu semalaman juga, sampe nggak bisa balik. 

Nope. Bima sengaja nggak pulang karena lagi pengen menghindar. 

Dari Niel. 

Dari Niel dan Rega. 

Dari Niel, dan Rega dan pikiran laknatnya. 

Hah! Lagi dan lagi ia menghancurkan semuanya. Karena hasratnya yang tak bisa dibendung. 

Sekali lagi ia membiarkan dirinya disetir oleh nafsu. 

Padahal kehidupannya saat ini sudah jauh lebih baik, semenjak Niel memaafkannya. 

Apalagi setelah ia juga legowo, memaafkan mantan suami mbak Raras dan memulai hidup baru bersama Niel dan ayahnya. 

Bima merasa damai dan tenang. 

Bima menyukai keluarga barunya, meski komposisinya tidak terdiri dari ayah, ibu dan anak. 

Bima seakan menemukan kembali apa arti sebuah rumah. Tak hanya bangunan untuk tinggal tapi juga tempat berteduh, tempat kembali pulang, tempat ternyaman ketika kamu selesai menjalani hari yang berat. 

Bima memejamkan mata, meresapi sakit di dada, membayangkan jika semua ini sebentar lagi akan berakhir. 

Mbak Raras yang ada di surga sana aja sampai datang ke mimpinya, hanya untuk marah-marah. 

Bagaimana jika sampai ayahnya Niel tahu? 

Bagaimana jika Rega, suaminya Niel tahu? 

Dan Bimasena sangat takut membayangkan, jika Niel sendiri tahu apa yang sudah diperbuatnya. 

Aaargh.. !! 

Pikirannya melayang semakin jauh, mengingat kembali awal mula semuanya bisa menjadi serumit ini.

Bimasena tidak pernah tahu pasti apa sebenarnya orientasinya. 

Dulu dia pernah menyukai perempuan, sempat tidur dengan beberapa dari mereka dan menikmatinya. Lalu, ketika ia kehilangan mbak Raras, semua hasrat itu juga ikut tiada. 

Bimasena tidak pernah lagi sekalipun menyentuh dalam artian berhubungan badan, entah itu dengan wanita atau pria. 

Ia bahkan tak pernah menyalurkan hasratnya, meski sekedar menggunakan tangan kanannya. 

Tak ada mimpi basah sama sekali. 

Maybe sekali atau dua kali dalam setahun, ia terbangun dalam keadaan basah dibawah sana, tapi tak pernah ada mimpi erotis apapun. 

Bimasena sepertinya aseksual. Sampai kemudian ia kembali bertemu Niel dan mendapatkan pengampunannya. 

Bima begitu menyayangi Niel, dan bertekad kuat untuk membahagiakan sang keponakannya. Menjaganya sekuat tenaga, agar Niel tak menghilang, pergi jauh darinya seperti mbak Raras. 

Niel adalah cahaya kehidupannya, mataharinya. 

Niel adalah segalanya bagi Bima. 

Cinta dan kasih sayangnya untuk Niel begitu besar, hingga akhirnya sedikit melenceng. 

Aargh..!! 

Ini semua karena mimpi laknat itu!! Mimpi yang sudah mengubah segalanya. Mimpi tentang sang keponakan yang tersenyum cantik padanya.

Niel yang dengan begitu lembut mengatakan "aku memaafkanmu uncle."

Dalam mimpi itu, Niel teramat cantik. Manik cokelat kehitamannya bersinar penuh kasih. 

Mimpi indah itu berubah menjadi sesuatu yang lain ketika Bima mulai merengkuh sang keponakan dalam dekapan. 

Tak hanya pelukan, tapi juga ciuman. 

Bukan sekedar kecupan di kening seperti yang pernah dilakukannya pada Niel asli. Ia mencium di banyak tempat, di seluruh tubuh Niel, yang tergolek pasrah dibawahnya. 

Bima bangun dalam keadaan basah pagi itu. 

Dan setelahnya, ia tak bisa lagi menatap Niel dengan cara yang sama. Karena ada hasrat laknat yang menggelegak setiap kali dirinya memandang Niel.

Yah.. Bima mencintai Niel, tak hanya sebagai keponakannya. 

Bima mencintai Niel, sebagai pria yang ingin dimilikinya, jiwa dan raga, fisik dan hatinya. 

Ketika Bima ingin menyingkirkan Rega saat melihat mereka sedang berduaan, itu bukan untuk bercanda. Ia sepenuh hati melakukannya, karena dibakar api cemburu. 

Hal yang awalnya dengan mudah dilakukan, sekaligus ditutupi. Tapi satu tahun lebih tinggal bersama, membuat Bima lama kelamaan merasa… entahlah. 

Patah hati, karena melihat Niel yang semakin mesra bersama suaminya. Tak ada sedikitpun celah dan kesempatan untuk Bima masuk. 

Dan dengan Rega yang begitu baik padanya, menganggapnya sebagai keluarga, Bima merasa dirinya sangat sangat brengsek karena jatuh cinta pada Niel. 

Ia harus segera membuang perasaan ini, sebelum semuanya terlalu jauh, dan berakhir dirinya kembali sendirian. 

Bima sedang mengoles selai coklat pada roti tawar, dan menunggu cangkir kopinya full ketika mendengar teriakan dari pintu.

"Si..apa?" 

"Loh.. Mas Bima!" 

"Pagi Kristian.." Bima menyapa santai, pada salah satu pegawainya yang sudah datang. 

"Ck! Masih pagi ya mas ini, jangan ngajak ribut. Gue belum sarapan." Pria mungil itu membalas sewot, karena namanya memang bukan Kristian, tapi Tiandaru. 

"Duduk sini, ayo sarapan bareng." Ajak Bima, menepuk kursi disampingnya. 

"Inget kata quote yang biasa lewat di status. ---Dahulukan sarapan daripada harapan. Karena sarapan tak sepalsu harapan."

"Nih, roti ama selainya. Kopi bikin sendiri." Lanjutnya menawarkan bungkus roti tawar yang ada di meja. 

Tiandaru menurut, mengambil tempat di samping Bima. 

"Mas Bima kok udah ada disini pagi-pagi?" Si mungil bertanya heran. 

"Serah gue lah. Ini tempat gue yang punya.." Bima membalas songong. 

Bukan karena sebal atau ada dendam pribadi, tapi dia memang suka beradu mulut dengan bocah ini. Ada kepuasan tersendiri setiap kali berhasil membuat Tian tersulut emosi. 

"Tumben maksudnya! Biasanya baru kesini pas siang." Tian meralat geregetan. 

"Lagi pengen aja." 

Dari cara Tian mengoles selainya yang kasar, berasa kek lagi pegang boneka voodoo, ia tahu pemuda itu sedang mengatainya dalam hati. Bima jadi gemes sendiri melihatnya. Perasaan gloomy yang sedari tadi melingkupi perlahan hilang. 

"Lu ngapain pagi-pagi kesini?" Bima ganti bertanya. Biasanya pegawai yang shift malam, nggak kebagian shift pagi di hari berikutnya. 

"Gue masuk pagi. Gantiin Luna, biar nanti pas wisuda bisa libur seharian." Tian membalas sopan, sembari menggigit rotinya. 

Bima mengangguk. Beberapa pegawainya memang bekerja sambil kuliah. Ia tak pernah protes, selama mereka sanggup mengatur waktu dan bekerja dengan profesional. 

"Kapan wisuda?" Bima bertanya lagi. 

"Dua minggu lagi."

"Nggak usah tukeran shift sama temen lagi. Ambil aja libur dua hari, gue ijinin." Bima memberikan kelonggaran. 

"Nggak papa mas. Sanggup kok gue dobel-dobel." Tian menolak cepat. 

Bima mengerutkan kening. Ada gitu pegawai yang dikasih libur malah nolak?

"Biar apa?" 

"Biar nggak potong gaji. Gue lebih suka gaji full." Tian menjawab semangat, senyumnya lebar sekali kalo bahas gaji. 

"Ck.. Kan tadi gue bilang libur. — Gue yang ngeliburin elu. Hadiah kelulusan." Bima berdecak, ternyata ni bocah nggak mudeng maksudnya. 

"Serius mas?" Tian masih nggak percaya. 

“Emang ini muka gue ada setelan becandanya? Serius lah! Ntar gue bilang sama Chika." Balas Bima, nggak terima diragukan.

"Aaaaa… Makasih.. makasih.. Mas Bima baik banget siiiih.." Tian berseru kegirangan. Bahunya bergoyang-goyang, seakan ia sedang menari. 

"Beneran nggak ada syarat dan ketentuan berlaku kan ini liburnya?" Tanyanya memastikan, setelah selesai selebrasi. 

"Ada. Sini geser, duduknya deketan." Bima menepuk tempat kosong tepat di sebelahnya. 

Tian memicingkan matanya curiga, namun meski begitu ia tetap bergeser sampai lutut mereka bersentuhan. 

Kalau duduk jejer gini, keliatan banget gap mereka. Bima yang tinggi besar, dan Tian yang keturunan liliput. Niel aja nggak sekecil ini lho. 

Bima kemudian dengan santainya menjatuhkan kepala ke bahu pria yang lebih muda. Nggak nyaman, bahu Tian kekecilan. Tapi aroma parfum bocah itu lumayan menenangkan.

"Gue lagi butuh sandaran, lu diem bentar disini." Ujar Bima, memberikan instruksi. 

"Lu pake parfum apa cil?" 

Bima ini jarang banget manggil Tian dengan nama sebenarnya. Paling sering nyebut Kristian atau bocil. Atau kadang kalo lagi iseng, manggil sayang, atau si cantik, si manis. 

"Parfum apapun yang lagi diskon di minimarket seberang cafe. — Ini wangi bulgarian rose kalo nggak salah." 

"Besok pake lagi. Gue suka baunya." Lagi, Bima memberikan instruksi. 

Dan anehnya, tumben Tian protes, atau bantah. Ngangguk doang. Mungkin dikiranya ini termasuk bagian dari 'syarat dan ketentuan berlaku' dari hadiah cutinya. 

"Mas Bima lagi galau kenapa? Tumben.." Tian bertanya lamat-lamat. 

"Mana ada gue galau.." Sanggah Bima. 

"Galau itu konteksnya cuma buat anak muda kek elu. Gue taun depan udah umur 40, nggak pantes buat galau." 

"Lha terus ini lagi apa namanya kalo nggak galau?" Timpal yang lebih muda. 

"Lagi bimbang, resah dan gelisah." Bima membalas sekenanya. 

"Dih, sama aja kali bos!! Sinonim itu. Lebih formal aja." Tian terkekeh geli, merasa lucu dengan Bima yang denial. 

"Galau kenapa mas? —Silahkan kalo mau curhat, gue bakal dengerin." Tambahnya menawarkan. 

"Gantian, biasanya kan gue yang suka curcol, ngeluh belum bisa move on dari mas Rei." 

Bima hanya diam, tidak menjawab apapun. Tangannya bergerak sendiri, tanpa persetujuan otak, melingkari perut pria disampingnya, untung tidak ditolak. 

"Masalah cinta ya mas?" Tian menebak, sama sekali tak terganggu dengan tangan Bima yang memeluknya. 

"Mas Bima punya gebetan?" 

"Hm.." Bima hanya menjawab dengan deheman. 

"Siapa?" 

"Kepo banget.." Bima mencibir. 

"Gue kenal nggak orangnya?" Tian tetap laju bertanya. 

"Kenapa jadi elu yang semangat nanya-nanya?" Bima menimpali heran. 

"Hehehe.. Kepo mas. Sumpah." Ujar Tian cengengesan.

Akhirnya Bima menegakkan kepala, biar bisa liat wajah penasaran si bocil. Pelukannya pada pinggang Tian juga dilepas, tapi ganti merangkul bahu. 

"Lu kenal kok orangnya." Jawabnya malas. 

"Ibu atau bapak?" 

"Selera gue kira-kira yang kek gimana?" Bima balik nanya. 

"Yang bau duit?" Tebak Tian, disertai cengiran lebar. 

Bima membayangkan Niel yang memang pewaris tunggal AW group. 

"Dia kaya raya. Apalagi kalo nanti dia resmi gantiin bokapnya. Dia bakal masuk deretan 10 orang paling kaya di negara ini." 

"Woah.. Sultan dong." Komen Tian takjub. 

"Salah satu rekan bisnis mas Bima yang suka diajak meeting disini?"

"Atau pengusaha yang sering nongol di tipi?" Berondong Tian terus bertanya. Berasa lagi main kuis tebak-tebak berhadiah. 

"Dia sering kesini. Jarang  mau masuk TV atau wawancara majalah. Males acara pencitraan yang gitu-gitu." Bima kembali memberikan clue, sembari membayangkan Niel yang memang seperti itu. 

Duh, jadi kangen. Jam segini anaknya pasti udah bangun trus bikin sarapan.  Pengen Vidcall, tapi inget kalo harus segera move on. 

Damn! 

Kekehan riang Tian, kembali menyadarkan Bima dari lamunannya. Karyawannya itu sekarang sedang memandangnya lekat. Dari nada ketawanya, biasanya ni bocah mau ngejekin. 

"What?" Tanya Bima galak. 

"Gue nggak expect, bakal liat lu mode jatuh cinta gini mas. Senyum-senyum gaje pas lagi nyeritain si 'dia'. ---Iyuh banget tau nggak." 

Bima melotot galak. Tangan yang tadi merangkul bahu, naik sedikit biar bisa nyubit pipi. 

"Lu muji apa ngejek sih bangsat!" Makinya sebal. 

"Huahahaha…" Bukannya berhenti, Tian malah semakin kencang tertawa. 

"Nyesel gue curhat sama bocil. Dapet pencerahan kagak, darah tinggi iya." Sungut Bima, pura-pura marah. 

"Dih, sensi amat bapak yang lagi jatuh cinta iniiii…" 

Nggak ada yang namanya takut, atau merasa bersalah, Tian justru makin makin ngejekinnya. 

"Diem lu bocil! Kepala gue tambah pusing, denger suara lu yang cempreng melengking." Bima menghardik main-main. 

Santai. Dia udah biasa main galak-galakan sama ni bocah satu. Tian cukup tahan banting, nggak mlempem meski sering diteriakin Bima. 

"Iya ini diem. Lanjut cerita dong mas." Tian balik ke mode manis. Suaranya lebih lite. 

"Jadi si dia ini, cewek apa cowok? Duda apa janda apa single dari lahir?" Lanjutnya, tetep kepo. 

"Dia suami orang." Bima memberikan clue lain. 

"Anjing!" 

"Kok ngatain?" Bima sedikit ngegas. Nggak ada angin nggak ada hujan, ni bocil satu malah misuh. 

"Lu suka sama mas Rei juga?" Tian bertanya horor. Sama-sama ngegas. 

"Sembarangan!" Bima sama sekali tak menurunkan nadanya. Dapur masih sepi, nggak ada saksi mereka lagi adu bacot. 

"Tadi kata mas Bima ciri-cirinya dia sering kesini dan gue kenal. Dia juga kaya raya. Tambah kaya kalo udah gantiin bapaknya. Trus dia suami orang." Tian menyebutkan satu persatu, sambil jarinya ikut menghitung. 

"Mas Rei banget kan itu?" Tuduhnya, sembari melotot tak terima. 

"Sembarangan! Bukan Reino!" Sanggah Bima cepat. Sedekat apapun dia dengan Reino, tak ada perasaan berlebih sama sekali. Murni sahabat, atau mungkin saudara. 

"Ada banyak suami orang, yang kaya raya, dan sering kesini. Nggak cuma Rei doang!" Tambahnya penuh penekanan. Jangan sampai ada gosip tak benar yang beredar gara-gara ni bocil salah tafsir. Nggak enak sama Bintang. 

"Iya. Tapi yang masuk kategori 10 orang terkaya di negara ini cuma ada tiga. Mas Rei, mas Niel, sama pak Mario." 

"Kalau mas Rei bukan, berarti kandidatnya sisa pak Mario dong?" Tian terkesiap setelah selesai menganalisis. 

Bima malah jadi terdistraksi pada wajah lucu yang sedang kaget di depannya.  Mata rusa itu membulat cantik. Enak dilihat. 

Eh? 

Bima mengerjapkan mata, kembali fokus pada suara Tian yang masih aja ngoceh nggak bener. 

"Buset.. seleranya mas Bima ngeri! Nggak kaleng-kaleng." 

"Pak Mario emang debes sih, perfecto. — Kalo kata quotes, Tuhan pasti sedang in a good mood pas nyiptain pak Mario." 

"Sayangnya gue demen lokalan, yang kayak mas Rei. Jadi aman, kita beda jalur mas. Nggak saingan." 

"Malahan kita senasib seperjuangan, sama-sama calon pelakor. Iya nggak sih?" 

"Eh, wait… yang di bawah siapa dong kalo kalian beneran jadi?"

"Mas Bima?"

"Bisa jadi.. Lu kan sukanya pedes mas. — Kata orang-orang cowok yang hobi makan pedes biasanya uke." 

Tiandaru mengangguk beberapa kali dengan wajah sok tahu setelah memberikan analisis panjang lebarnya. 

"Lu mau ditabok, diplintir apa ditebas sekalian bibirnya?" Bima bertanya sebal. 

"Omongan lu nggak ada yang bener semuanya!" 

"Bukan Rio! Dan gue bukan uke!!" Tandas Bima tegas. Kepalanya semakin pusing gara-gara denger ocehan ni bocil satu.

"Ya terus siapa dong?" 

"Kandidat lu tadi udah ada yang bener." Bima menjawab ogah-ogahan. 

Tian bukan orang bodoh, ia jelas tahu kemana clue ini mengarah. Matanya melebar tak percaya ketika Bima selesai berkata. 

"Mas Bima suka …mas Niel?" Tanyanya memastikan. 

Bima sama sekali tidak memberikan konfirmasi apapun. Kepalanya disandarkan kembali pada bahu sempit Tiandaru. 

"Gila lu mas.. Gilaa!" Pemuda itu berbisik, kepalanya berulang kali menggeleng dramatis. 

Bima mendesah pelan, hatinya kembali sesak. Tian aja yang orang asing responnya begini, apalagi kalau sampai keluarganya ada yang tahu. 

"Namanya juga jatuh cinta cil. Nggak bisa milih sama siapa. Salahin cupid ama dewi cinta sono!" Bima menyahut sendu, berusaha membela diri. 

"Tapi lu parah mas. Dosa lu bakal dobel-dobel. Udah gay, incest, pedo lagi!" Cerca Tian  savage. 

Astaga! Ni bocah satu bukannya ngademin malah bikin Bima tambah ngerasa bersalah. 

"Gue harus gimana cil?" Tanyanya nelangsa. 

"Lupain lah mas. Lu sama kek gue, nggak ada harapan!" Tian menjawab tanpa ampun. 

"Nggak segampang itu bangsat! Gue cinta sama dia." Bima berkata desperate. 

"Kebanyakan nolep sih lu mas! Nggak pernah gaul nyari yang bening-bening." Lagi, Tian menceramahinya. 

"Sekalinya ketemu yang enak dilihat langsung klepek-klepek, nggak inget status!" 

Si bocil ini entah niat bales dendam, atau emang nggak bisa jadi temen curhat. Bukannya puk-puk, ngasih kalimat positif dan nasehat bijak malah nyalah-nyalahin mulu dari tadi. 

"Asal lu tau yang bocil kampret, lingkup pergaulan lu sama gue itu, of course luasan gue." Bima yang nggak terima, auto bales. Kepalanya ditegakkan, biar bisa puas melotot ke bocah kurang ajar disampingnya. 

"Bisnisman, pejabat sampe penjahat gue banyak kenal. Nggak kayak elu, yang taunya Reino ama Robin doang."

"Ada banyak cewek cantik, cowok ganteng, kakak genit, dedek gemes yang udah gue liat."

"Tapi cuma pesona Niel yang bisa bikin gue panas dingin. Apalagi kalo dia lagi senyum cantik ke gue.." 

Tian menatap Bima dengan tatapan aneh, alisnya tegak menyatu. 

"Kenapa wajah lu kek gitu?" Tanya Bima curiga. 

"Ngaca sono mas! Wajah lu aneh sumpah pas lagi senyum-senyum gitu.." 

"Aneh gimana? Tampan rupawan gini.." Balas Bima pede. 

"Njir! Jijik!! Tampan tuh mas Rei, elu mah jauh." Tian meralat, kurang ajar. 

"Setan lu! Beneran kan, emang nyesel gue curhat sama elu. Dapet pencerahan kagak, emosi iya!" 

Tian meringis, tangannya membentuk sign damai. 

"Sori.. Sori.. Baperan amat elah ini bos satu. Biasanya juga demen ngejek kalo gue curhat." 

"Lagi haid." Jawab Bima sekenanya. 

"Yang bikin mas Bima galau itu karena mas Niel yang emang nggak kejangkau, — atau mas Bima jadi ngerasa bersalah karena punya perasaan ini?" Tian akhirnya mulai serius. 

"Awalnya yang pertama. Ada beberapa kali gue berdoa biar Niel nggak jodoh sama Rega." 

"Tapi setelah setahun lebih tinggal bareng, dan ngeliat mereka berdua. Tahu Rega anaknya kek apa.. gue jadi ngerasa bersalah." 

"Kek apa ya.." 

"Satu Niel itu ponakan gue, nggak sepantesnya gue nyimpen perasaan kek gini." 

"Kedua, Rega tuh emang udah paling pas sama Niel. Tega banget kalo gue sampe ngerusak hubungan mereka."

"Rega itu nggak cuma sayang sama Niel, tapi juga baik ke gue atau ayahnya Niel." 

"Gue harusnya terima kasih ke dia. Karena Rega, Niel bisa lapang dada maafin gue sama ayahnya, buka lembaran baru kek sekarang."

Padahal Bima punya Reino, tempatnya curhat dari dulu kala. Namun entah mengapa, tak ada yang pernah keluar dari bibirnya tentang masalah Niel. Baru pagi ini, mulutnya lancar memuntahkan keluhan, segala yang dirasakannya, pada sosok pemuda dihadapannya. 

"Pelan-pelan aja mas. Yang penting mas Bima udah ada niat buat lupain mas Niel." Nasehat Tian. 

"Nginep sini juga dalam rangka ngehindar ya?" Tebak pria yang lebih muda. 

"Kind of.." Bima mengakui. 

"Besok-besok kalo butuh tempat nginep ke kost-an gue aja mas. Daripada disini, mas Bima tidur di sofa kan?" Tian menawarkan kamar kostnya. 

"Boleh?" Bima bertanya. Padahal dia masih punya apartemen, atau tidur di hotel kalo mau. 

"Bolehlah. Tapi ya gitu, seadanya." 

"Tapi kalo bisa ya mas, menurut gue cara ngelupainnya jangan dengan menghindar." 

"Dibiasain aja mas. Tetep sama mas Niel, ntar juga lama kelamaan perasaan lu mati sendiri." 

"Ini sambil curcol ya ceritanya? Self experience?" Bima bertanya menggoda. 

Tiandaru terkekeh kecil, semburat merah muda menghiasi pipi hingga ke telinga. 

Bimasena sejenak terdistraksi, memandang dalam diam wajah malu-malu didepannya. Kalo dilihat seksama dan dianalisis, Tian dan Niel sama-sama cantik, tapi dengan style yang berbeda. 

Mengutip kalimat yang selalu dipakai Rega, Niel itu cantiknya kek malaikat. Diem doang, wajah datar, cantiknya udah menguar. 

Tian beda lagi. Wajahnya lebih terlihat bersinar cantik ketika dia berbicara dan berekspresi, entah pas lagi galak, atau malu-malu kek gini. Apalagi ketika mata rusanya melotot, bukan terlihat galak malah menambah aura cantiknya.

"Kita pacaran aja yuk cil.." Ajak Bima, out of the blue. 

"Lu ngapa deh, nembak gue mulu. Nggak bosen apa?" 

Wajah malu-malunya sudah hilang, Tiandaru terlihat kesal. 

Bima memang sudah teramat sering mengajak pegawainya ini berpacaran. Main-main aja sih, nggak pake perasaan. 

"Nggak ada. Random aja. Gue lagi butuh beban.." Jawabnya asal. 

"Mayan kan, kalo pacaran sama gue, lu jadi bisa free vietnam drip tiap hari." Ia negosiasi. 

"Itu doang?" Tian membalas remeh. 

"Free kentang goreng porsi reguler?" Bima naikin tawaran. 

"Nggak yang jumbo?" Nego Tian, ikut dalam permainan. Nggak ada baper emang ini manusia satu. 

"Nggak! Kemahalan!" Balas Bima, kumat pelitnya. 

Keduanya tertawa bersama. Ending acara tembak menembak selalu begini. Nggak jelas!

"Gue doain ya mas, tulus dari dalam hati ini." Ujar Tian ketika tawanya sudah reda. 

"Semoga suatu hari nanti lu bakal beneran jatuh cinta, setelah move on dari mas Niel, dan dia bikin lu ngeluarin duit banyak." 

"Maksudnya gimana tuh?" Tanya Bima, matanya mulai memicing. Tau pasti, Tian biasanya doa nggak bener. 

"Ya biar lu ada tantangan aja, lebih sayang mana, duit lu apa pacar." 

Bima mengerlingkan mata, menggoda genit. 

"Nggak usah kebanyakan doa, langsung praktek aja yuk. — Ntar pas kita udah pacaran, lu buktiin sendiri, gue lebih sayang duit apa elu." 

"Ogah! Nggak minat! Lu bukan tipe gue.." Tiandaru menolak mentah-mentah. 

"Lu pernah nanya kan, kapan ada pangeran ganteng,kaya raya mau sama lu?" Bima teringat salah satu sesi curhat mereka dulu. 

"Nah ini, ada gue.. Ganteng iya, kaya juga iya!" Tambahnya percaya diri. 

"Ntar abis ini gue beli gelar kerajaan dulu biar bisa jadi pangeran. Bisa diatur!" 

"Ck.. Gue nggak demen pangeran. Pengandaian aja itu mah." Dalih Tian cepat. 

"Cuma pangeran di film yang ganteng, real world mah kebanyakan kalo nggak botak ya brewokan." 

"Ya terus tipe lu yang kayak apa?" Bima bertanya gemas. 

"Yang bukan kek elu!" 

Bima mencibir sebal. 

"Tiyati sama omongan lu. Gue jadi tertantang buat main dukun."

"Mau ngapain? Melet gue?" Tian bertanya penasaran. 

"Dih males! Lebih enak bikin lu muntah paku, biar mulutnya nggak hobi ngomong sembarangan." 

—----- TBC —------

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Sebelumnya SYMPHONY
21
20
Password: tahubulat.Isi PDF berisi full dari chapter 1- bonus chapter ke 3. PDF ini sudah saya masukkan dalam paket Early Access. Jadi yang sudah beli langsung bisa download. untuk yang sudah memberikan dukungan per part sebelumnya, dengan minimal pembelian 25.000 silahkan DM saya alamat email kamu, akan saya kirim geratis tanpa bayar sepeserpun. Terima kasih.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan