Wanita yang Kau Tolak 6-7

13
4
Deskripsi

Tanpa percakapan kami menyantap hidangan. Sambil sesekali aku memperhatikan tempat lain. Dan mata ini, tidak sengaja bentrok dengan sepasang mata milik Rey. Yang tampaknya memang sudah memperhatikan dari tadi. Dan ... Disty duduk di sebelahnya, sibuk dengan ponsel. Tidak menyadari kehadiranku, mungkin.

Aku kembali fokus pada nasi bakar yang dibungkus dengan daun pisang. Didalamnya berisi nasi putih, ayam, sayur sawi dan jamur

"Sudah tahu, El?" tanya Pak Firman sambil terus makan.

"Ya. Mantan saya kan,...

Wanita yang Kau Tolak
Part 6 Story

"Sejak kapan kamu tinggal sendirian?"

"Awal kelas satu SMA, Pak."

Pria itu memandangku.

"Berani ya?"

"Awalnya juga terpaksa. Tapi lama-lama biasa. Terkadang saya di temani sama Mbok Yah, sebelah rumah."

Akhirnya banyak yang terungkap malam itu. Tentang apa yang membuatku tinggal sendirian, tentang orang tua yang telah lama tiada. Tentang peristiwa yang merenggut nyawa Mas Sofyan. Dan dia ... tidak sedingin yang aku kira. Padahal selama ini jarang berbicara denganku. Kecuali bertanya hal-hal tertentu mengenai putrinya.

Pria itu menyesap teh kembali. Kemudian mengeluarkan rokok dari saku celananya.

"Boleh aku merokok?" Dia minta izin.

Merokok? Selama ini aku tidak pernah tahu kalau Pak Firman merokok. Aku mengangguk pelan, "ya, silahkan."

Hening menyelimuti kami. Bau asap rokok cukup mengganggu. Tapi aku diam menahan diri agar tidak menutup hidung. Seperti yang selalu kulakukan selama ini.

Aku hanya menjaga agar dia tidak tersinggung.

Di wajah itu terlihat menyimpan beban. Entah apa yang dipikirkan. Setahuku, hidupnya berkecukupan. Bahkan bisa dibilang mewah. Kariernya gemilang, sahamnya dimana-mana kata Bik Tanti. Apa yang kurang? Istri? Mungkin saja.

Sosok mamanya Diva cukup membuatku penasaran selama ini. Tidak ada satu jejak pun di rumah itu yang menunjukkan keberadaan seorang istri sebelumnya. Atau wanita istimewa yang pernah ada di rumah itu. Siapa dia? Wanita yang berhasil membuat pria itu gagal move on hingga detik ini.

Aku hanya mengenal Bu Siska yang dekat dengan Pak Firman. Tapi kedekatan mereka seperti apa aku juga tidak tahu.

Pernah sekali diajak jalan-jalan, dan sering melihat wanita itu diajak pulang walaupun tidak pernah turun dari mobil, tapi aku tetap tidak bisa menyimpulkan hubungan mereka sejauh mana.

"Tidak ada yang iseng gangguin kalau malam-malam?" Pak Firman bertanya setelah menjatuhkan rokok yang tinggal separuh ke lantai semen, dan menginjak dengan ujung sepatunya.

"Pernah ada. Dulu."

"Terus ...."

"Saya biarkan. Kadang saya ancam balik."

"Kamu nggak takut. Kalau dihadang di tengah jalan pas lagi sendirian."

"Semua saya awali dengan ketakutan dan was-was. Akhirnya saya menjadi berani karena terpaksa. Saya pasrah. Tapi juga melawan jika ada yang berniat nggak baik. Andai terjadi apa-apa dengan saya pun tidak akan ada yang merasa kehilangan, mungkin ... hanya akan kasihan."

Kami berpandangan sejenak. Lantas kubuang tatap pada pekatnya malam di luar. Kembali kurasakan kepahitan saat mengingat peristiwa yang sudah lewat.

Bagaimana aku harus mengatur uang agar cukup untuk sebulan. Uang yang selalu di kirim dari yayasan, entah yayasan apa aku tidak pernah bertanya. Dan sekarang aku tahu, semua itu dari keluarga Rey. Dan aku ingat ketika ada yang menyarankan agar aku tinggal di panti saja. Tapi Mbok Yah yang menahanku.

"El ... melamun? Maaf jika pertanyaan tadi mengingatkan pada sesuatu yang mungkin pahit bagimu."

"Nggak apa-apa, Pak."

"Terus tentang pernikahan itu. Kenapa dengan mudah kamu menerimanya?"

Aku diam sejenak.

"Alasannya karena saya ingin memiliki keluarga yang akan peduli satu dengan lainnya."

"Kamu sudah lama mengenalnya?"

Aku menggeleng.

"Kenapa diterima?"

"Saya mengenal mamanya adalah wanita yang sangat baik. Beliau sering ke Mbok Yah sebelah rumah. Dan beberapa tetangga menyarankan agar saya menerimanya saja. Biar saya tidak sendirian lagi. Tapi ... berpisah juga akhirnya."

Pak Firman tidak bertanya lagi. Entah dia sudah bisa menyimpulkan atau memang tidak ingin tahu lagi. Karena merasa memang tidak penting.

Beberapa menit setelahnya dia pamit. Aku mengantarnya sampai depan pintu. Setelah mobil menjauh, Mbok Yah keluar rumah.

"Siapa, El?"

"Bos saya, Mbok."

"O, si mbok pikir Rey.
Ada apa kesini?"

"Nanya mengenai yang tadi saya ceritakan sama, Mbok Yah. Waktu saya nolong anak tadi siang."

Mbok Yah berjalan mendekat. Kami akhirnya duduk di teras rumahku. Di bangku panjang usang itu.

"El, lain kali pikir panjang dulu kalau mau bertindak. Jangan sampe merugikan dirimu sendiri. Ingat bukan dengan peristiwa Masmu dulu."

Aku mengangguk. Bagaimana bisa aku pura-pura tidak tahu. Sedangkan kejadian itu di depan mata. Bagaimana harus pikir panjang sementara yang terjebak butuh pertolongan segera.

Aku pernah merasakan diabaikan saat membutuhkan bantuan. Aku pernah di biarkan ketika perlu pembelaan. Pernah juga merasakan di bully habis-habisan hanya karena hal sederhana. Aku tahu rasanya itu semua bagaimana. Menyakitkan.

Dan, apa aku harus diam saja saat melihat semua itu di depan mata. Pura-pura tidak tahu. Oh, miris sekali.

"El."

"Ya, Mbok."

"Sebenarnya, waktu kamu tidak di rumah. Rey sering kemari. Tapi mbok nggak ngasih tahu dimana kamu kerja."

"Terima kasih, Mbok. Sebaiknya memang nggak usah dikasih tahu. Libur kerja nanti saya akan menemui dan mengambil surat cerai."

Pada akhirnya aku juga menceritakan pertemananku dengan Rey di sekolahnya Diva. Mbok Yah banyak memberikan masukan dan menyampaikan pandangan. Kami ngobrol hingga larut malam.

🌷🌷🌷

Pagi itu aku melihat Tiara diantar sopir. Bukan Rey lagi. Dia berlari masuk gerbang sekolah hampir bersamaan dengan Diva.

Saat Diva menoleh dan melambaikan tangan, Tiara pun melakukan hal yang sama. Dan aku membalasnya.

Hari ini sekolah masuk seperti biasa. Makanya setelah mengantar aku segera kembali pulang. Motor melaju pelan di jalanan beraspal tengah sawah. Aku sengaja lewat sana untuk menghulur waktu.

Sebenarnya tidak banyak yang aku lakukan di rumah. Semua sudah ada yang mengerjakan. Termasuk merapikan dan mencuci baju Diva.

Bik Tanti tugasnya memasak, Mbak Erna yang membersihkan rumah dan mencuci baju. Pak Maman yang mengurus luar rumah  tidak setiap hari datang. Paling seminggu dua kali untuk bersih-bersih atau di panggil Pak Firman untuk mengemudi jika keluar kota.

Sekilas hidup yang sempurna, walaupun tanpa ada nyonya di rumah itu.

Ketika memasuki halaman luas, masih kulihat mobil Pak Firman di garasi. Dia tidak pergi ke kantor hari ini. Hari Sabtu kadang setengah hari kadang juga nggak masuk kerja sama sekali.

Aku terus ke dapur lewat pintu belakang setelah memarkir motor di garasi. Dan nimbrung sama Bik Tanti yang sibuk memasak opor ayam dan tumis pare.

"Hemm ... sedapnya, Bik," ujarku saat mencium aroma masakan yang masih mengepul asapnya di atas kompor. Bik Tanti tersenyum.

"Ini kesukaan Mas Firman, El. Tadi bibik mau masak sayur asem. E, tiba-tiba suruh ganti menu."

Aku mengangguk. Kemudian membantunya mencuci perkakas bekas untuk masak.

"Udah biarin aja. Nanti bibik yang nyuci," cegah Bik Tanti.

"Nggak apa-apa, Bik. Kadang saya bingung mau ngapain lagi kalau habis nganterin Diva sekolah."

"Ya, sudah. Nanti taruh di situ aja. Biar bibik yang nyusun di rak."

Ku bereskan semua cucian. Kemudian aku membantu Bik Tanti yang sibuk mengupas pisang, untuk dibuat pisang keju kesukaan Diva.

"Bik, boleh nanya nggak?"

"Boleh, nanya apa?"

"Bibik sudah berapa tahun kerja sama Pak Firman?"

"Sejak Pak Firman menikah."

"Terus istrinya Pak Firman kemana, Bik?" Aku bertanya dengan suara lirih.

"Cerai."

"Cerai?"

Bik Tanti mengangguk.

"Kenapa?"

"Waktu menikah hingga lahir Diva, Mas Firman belum sesukses sekarang. Mertuanya Mas Firman nyuruh mereka cerai dan Mbak Rika dijodohkan sama pria yang sudah mapan."

Mataku menyipit memandang Bik Tanti. Ada juga orang tua yang tega seperti itu. Misahin rumah tangga anaknya. Apalagi mereka sudah punya anak.

"Namanya Rika ya, Bik. Mamanya Diva."

"Iya."

"Tampaknya mereka masih saling mencintai ya, Bik. Buktinya Pak Firman belum juga menikah hingga sekarang."

Bik Tanti mengambil baskom dan memulai membuat adonan tepung. Aku masih mengupas dan membelah pisang kepok.

"Nggak tahu bibik kalau soal itu. Tapi Mbak Rika udah nikah lagi, sekarang ikut suaminya."

"Diva belum pernah ketemu mamanya, Bik."

"Waktu masih bayi dulu pernah disambangi dua kali kalau nggak salah. Setelah itu nggak pernah lagi. Karena Mas Firman pindah rumah kesini. Dan Mbak Rika tidak tahu."

Cukup pedih juga kisah rumah tangga Pak Firman. Hanya karena belum sukses, di pandang sebelah mata. Mertuanya tega memisahkan anak dari kedua orang tuanya.

"Mungkin kalau mereka sekarang tahu, Pak Firman sesukses ini pasti nyesel ya, Bik."

"Bisa jadi Mbak Rika sekarang udah nyesel, El. Cuman kita nggak tahu."

Pembicaraan terhenti ketika ada suara langkah kaki ke arah dapur.

Pak Firman muncul dengan kaos polo dan celana jeans. Masih sambil memakai arloji di lengannya.

"Kita jemput Diva, El," bilangnya.

"Kita, Pak?" tanyaku bingung.

"Iya. Mendung di luar. Nanti kehujanan kalau naik motor."

"Baik. Pak." Aku segera berdiri dan mencuci tangan di wastafel, kemudian mengeringkan dengan lap tangan. Meraih ponsel yang tadi kutaruh meja.

Setelah berpamitan sama Bik Tanti, aku tergesa mengikuti langkah pria itu ke garasi. Sambil membetulkan ikatan rambut.

"Duduklah di depan." Dia menegur saat aku membuka pintu belakang.

"Di belakang saja, Pak," tolakku.

"Di depan."

Akhirnya aku membuka pintu depan, dan duduk canggung di sebelahnya. Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Kami diam tanpa pembicaraan. Dari kaca mobil, kulihat mendung kelabu rata di angkasa.

Sampai depan sekolah, kami turun dan bersandar pada mobil. Sudah banyak penjemput di sana. Padahal masih setengah jam lagi bel pulang sekolah. Mungkin karena mendung, jadi mereka datang lebih awal.

"El."

"Ya, Pak."

"Coba lihat ke samping. Ada cowok yang merhatiin kamu dari tadi." Pak Firman berkata tanpa menoleh. Tangannya masih terlipat di dada.

Aku menoleh sesuai arahannya. Benar, ada Rey yang memperhatikanku sambil bersandar pada mobilnya juga. Yang hanya berjarak beberapa meter dari tempat kami berdiri. Memakai kaos putih dan celana pendek selutut.

"Siapa? Gebetanmu?"

"Bukan, Pak."

"Tapi merhatiin saja dari tadi."

"Dia ... dia Om dari anak yang saya tolong hari itu."

Pak Firman menoleh, kemudian membuka pintu mobil yang disandarinya.

"Ayo masuklah!"

"Masuk, gerimis ini!" katanya sekali lagi saat melihatku masih bengong.

Akhirnya aku mengikuti perintahnya. Setelah menutup pintu, Pak Firman berjalan memutar lewat depan mobil. Kemudian duduk di belakang kemudi.

Kulihat keluar, gerimis rintik-rintik mulai turun. Dan dari spion, kulihat Rey masih memperhatikan ke arah kami.

Next ....

Wanita yang Kau Tolak
Part 7 Jalan Bersama

Aku hanya melirik sekilas Pak Firman yang bersandar setengah rebah di jok mobil yang ditarik sedikit ke belakang. Matanya terpejam dengan tangan yang menjadi tumpuan kepala.

Wajah berahang kokoh itu menampilkan aura penuh pesona. Baru kali ini aku memandangnya sedekat ini. Ada yang berdesir di benak. Dan ... segera kualihkan pandangan.

Wanita itu ... tentu menyesal telah meninggalkannya. Apalagi jika dia tahu bagaimana pria itu sekarang. Aku yang orang luar saja ikut merasakan penyesalan dibenak wanita yang belum pernah aku tahu, siapa dia.

Bunyi bel sekolah terdengar. Aku segera keluar mobil. Pak Firman ikut keluar juga. Gerimis tadi menghilang. Tapi masih menyisakan mendung diatas sana.

"Mbak El," panggil Diva sambil berlari kecil menghampiriku.

Aku tersenyum. Gadis kecil itu memelukku sejenak. Kuambil tas dari punggungnya.

"Sama Papa, ya?"

"Hu'um."

Lantas ku ajak dia melangkah ke arah mobil. Tetapi langkah kami terhenti ketika ada yang memanggil.

"Tante Elisa."

Aku menoleh. Tiara berdiri tidak jauh di belakangku, sambil tersenyum. Sedangkan beberapa meter dari situ, Rey berdiri. Memandang kami. Dan menunggu keponakannya menghampiri.

"Hai!" sapaku pada Tiara.

"Udah dijemput tuh! Buruan ntar keburu hujan," kataku lagi.

Tiara mengangguk.

"Dah ... Diva," Tiara melambaikan tangan pada Diva. Dan gadis kecil di sampingku membalasnya. Lalu kami melangkah ke mobil.

"Kami sekelas," kata Diva.

"Siapa?" tanya Pak Firman, sambil membuka pintu mobil untuk putrinya.

"Tiara. Temenku yang ditolong Mbak El."

"Dia dari keluarga yang bahagia. Ada Papa dan Mamanya. Sekarang adiknya baru lahir. Laki-laki. Lucu katanya."

Pak Firman tersenyum mendengar kata-kata Diva. Kemudian menyuruhnya masuk mobil. Aku membuka pintu belakang dan segera masuk, karena gerimis kembali turun. Kali ini lebih deras.

Dalam perjalanan, Diva bercerita tentang sekolahnya hari ini. Tentang perkenalan guru baru yang gendut dan lucu. Tentang PR matematika yang banyak. Juga ulah teman-teman sekelasnya. Pak Firman menanggapi dengan serius. Dia selalu memperhatikan setiap kali putrinya berbicara, dimana saja. Meski sesibuk apapun saat di ruang kerjanya di rumah. Ayah idaman banget.

Aku memandang keluar. Memandang gerimis. Dan mobil ini melaju tidak di jalan biasanya. Tapi ke arah pusat kota.

"Kita kemana, Pa?" Diva yang akhirnya bertanya.

"Ke Royal."

"Asyik. Makan ice cream. Aku mau yang rasa matcha," seru Diva kesenengan.

Aku hanya tersenyum. Sambil memandang keluar lewat kaca. Siang yang redup. Disepanjang perjalanan, tanaman padi menghijau terbentang luas. Beberapa petani terburu-buru hendak pulang karena takut hujan makin deras.

Ada pedih menyayat hati. Aku ingat orang tua. Sewaktu kecil dulu, aku suka berlarian di pematang sawah menjelang senja bersama Mas Sofyan. Sambil menunggu ibu selesai menyiangi rumput. Lantas kami akan pulang melewati jembatan di sungai tengah sawah. Kadang masih berhenti untuk mencari wader kali. Aku rindu semua itu. Rindu orang tua dan Masku.

Tidak terasa mobil telah berhenti di depan Royal Bakery and Ice Cream. Setelah turun dari mobil, kami setengah berlari masuk melewati pintu kaca otomatis yang bisa buka tutup sendiri. Ini toko roti dan ice cream terbesar dan terkenal di kota kami.

"Aku pengen punya toko roti seperti Royal, El," kata Hani suatu ketika dulu. Dan sekarang dia benar-benar merintis usaha itu.

"Sini, El," panggil Pak Firman. Mengajak kami duduk di sofa pojok ruangan. Menepi dari beberapa pengunjung. Karena Royal memang tidak pernah sepi.

"Pesen apa?" tanya pria itu padaku setelah Diva selesai memilih roti dan ice cream. Seorang pelayan berseragam kuning dengan sabar menunggu dan mencatat pesanan kami.

"Pa, Diva mau lihat foto-foto itu, ya."

Belum sampai dijawab papanya, Diva sudah berlari ke salah satu dinding yang terpisah dari bangku tempat duduk. Dinding itu khusus untuk menempel foto-foto pelanggan yang mengadakan birthday party di Royal. Tempatnya di lantai dua. Atau sekedar party kecil-kecilan untuk merayakan wisuda atau kelulusan.

"Pemuda tadi serius banget mandangin kamu. Udah kenalan ya, sejak ponakannya kamu tolongin." Pak Firman tiba-tiba membicarakan tentang Rey. Nampaknya dia memperhatikan tadi.

"Ya, saya kenal. Namanya Rey. Reynaldi."

"Suka kayaknya sama kamu. Bisa jadi dia jatuh cinta dengan keberanian kamu nolongin ponakannya tempo hari."

Aku tersenyum tipis, "bukan karena itu, Pak."

"Terus karena apa?"

"Karena, dia mantan suami saya."

Raut kaget nampak di wajah rupawan itu. Aku hanya sekilas memandang, lalu menoleh ke arah lain.

"Serius, El?"

Aku mengangguk, "maaf, saya nggak ingin membahasnya, Pak. Maaf."

Pembahasan terhenti di situ. Karena aku yakin, Pak Firman sangat paham akan kegagalan. Nasib kami sama, mungkin dengan beban yang berbeda.

Kami menikmati pesanan yang sudah terhidang di meja. Diselingi gurauan Diva.

🌷🌷🌷

Pukul tiga sore aku bersiap pulang. PR Diva sudah selesai dikerjakan sebelum dia tidur siang. Tiap hari Minggu aku memang diberi libur. Jadi Sabtu sore bisa diperbolehkan pulang lebih awal. Kebetulan Diva belum bangun, makanya aku buru-buru pergi. Setelah berpamitan dengan Pak Firman.

"Bik, aku pulang dulu ya!" pamitku pada Bik Tanti yang sedang menyetrika bersama Mbak Erna.

"Iya. Hati-hati."

"Ya, Bik."

"Naik apa, El?" Mbak Erna bertanya.

"Naik grab Mbak. Ini mau pesan. Mbak Erna pulang juga kan?"

"Iya, bentar lagi. Beresin setrikaan dulu."

"Ya, udah. Aku duluan ya, Mbak."

Aku keluar lewat pintu belakang, dan memutar lewat samping rumah. Mbak Erna tiap hari juga pulang. Berangkat pagi dan pulang sore. Tapi dia selalu diantar jemput suaminya.

Aku berjalan menuju bawah pohon besar di pinggir jalan. Yang tidak jauh dari rumah Pak Firman. Biasanya aku menunggu Abang ojol disitu.

Langit nampak cerah. Gerimis tadi menyisakan tetes-tetes air di pucuk dedaunan. Dan hawa segar yang di hembus angin sore, membiusku sejenak. Hingga bunyi motor grab pun tidak ku sadari hadirnya.

"Melamun, Mbak?" teguran Abang ojol mengagetkan. Lalu ku jawab dengan senyuman.

Sore ini, aku akan menikmati waktuku dengan bersantai di belakang rumah. Di bangku bambu bawah pohon mangga sambil melihat matahari tenggelam. Sudah lama aku tidak menikmati itu. Kesendirian yang panjang membuatku menjadi penikmat senja dan fajar pagi. Aku benar-benar menemukan tenangnya dunia, ketika aku diam dan tenggelam menikmati saat-saat seperti itu.

🌷🌷🌷

Matahari bulat sempurna berwarna jingga tersapu awan tipis di ufuk barat. Hampir saja tenggelam di bukit yang terlihat jauh di sana. Bentangan tanaman padi di hadapan, terlihat gemulai di tiup angin. Aku masih duduk memeluk lutut di bangku tua ini.

Dulu, di tempat ini bersama teman-teman sekolah, aku sering bikin rujak buah. Bercanda dan bercerita tentang dunia kami. Dunia yang beranjak remaja.

Dan entah dimana mereka sekarang. Menjalani takdirnya masing-masing. Sebagian mungkin telah menemukan tambatan hati. Seperti impian kami saat bercerita dulu. Bahwa ingin bertemu pria yang penuh perhatian dan penuh cinta. Pria sempurna. Tapi mana ada yang sempurna di dunia ini. Kalau pun ada, pasti kesempurnaan versi masing-masing individu.

"El," panggilan itu membuatku kaget dan menoleh.

Pak Firman berjalan mendekat ke arahku. Memakai kaos hitam dan celana jeans warna senada. Aku bangkit berdiri.

"Pak Firman, kok sudah sampai sini?"

"Ya, baru saja dari ATM. Kamu lupa kalau hari ini gajian."

Pak Firman menghulurkan amplop berwarna coklat. Aku terima. Memang aku nggak ingat hari ini tanggal berapa.

"Terima kasih, Pak."

Pria itu mengangguk. Kemudian tanpa bicara, duduk di bangku panjang yang aku duduki tadi.

"Apa yang kamu pikirkan saat menikmati senja?" Dia bertanya setelah aku juga duduk.

"Apa saja. Tapi terkadang malah saya nggak tahu sedang memikirkan apa. Saya hanya menikmati indahnya saja. Menyaksikan proses mentari tenggelam di peraduan."

Hening. Kami sama-sama memandang semburat jingga di ujung sana. Dan sesekali kubetulkan rambut sebahu yang berkibar di tiup angin.

"Diva apa sudah bangun, Pak?"

"Sudah. Bangun tidur terus mencarimu. Bik Tanti yang ngasih tahu kalau kamu sudah pulang. Waktu aku tinggal keluar, dia sedang mandi."

Diam lagi. Karena dia termasuk pria yang tidak banyak bicara.

Sementara senja benar-benar hampir tenggelam. Suara azan sudah mulai terdengar di kejauhan.

"Dekat sini ada Musholla atau Masjid?"

"Ada, Pak. Depan itu ada gang, dan masuk sedikit ke dalam."

"Aku maghriban dulu. Nanti aku kembali kesini. Mau nggak, kuajak jalan?" ucapnya sambil berdiri.

Aku masih bengong karena kaget. Jalan? Apa aku nggak salah dengar? Ekspresi datarnya susah ditebak.

"Ya. Kalau keberatan atau sudah ada janji lain ya nggak apa-apa."

"Eh, bukan gitu, Pak. Jujur saya kaget," ujarku gugup.

"Mau nggak?"

Aku mengangguk, "i-iya."

Kemudian pria tinggi tegap itu melangkah lewat samping rumah untuk pergi ke Musholla.

Mbok Yah muncul dari pintu samping rumahnya sendiri. "Sholat Maghrib dulu, El," katanya mengingatkan.

"Iya, Mbok." Aku buru-buru masuk ke dalam rumah lewat pintu belakang.

🌷🌷🌷

Aku turun dari motor besar itu setengah melompat. Berusaha agar tidak berpegangan pada tubuhnya. Kupikir tadi Pak Firman datang naik mobil dan kami pergi pun akan mengajak Diva. Tapi rupanya tidak. Kami pergi hanya berdua.

Motor di parkir tidak jauh dari warung tenda lesehan pinggir trotoar di pusat kota. Kami akan makan nasi rames bakar dan kolak roti yang cukup terkenal di kalangan pemburu kuliner malam hari. Kebanyakan pengunjung adalah anak kuliahan yang baru pulang dari kampus. Ada juga pasangan suami istri.

Kami duduk di tikar paling ujung, dengan meja kecil di tengahnya.

Seorang remaja tanggung mengantarkan pesanan. Tanpa percakapan kami menyantap hidangan. Sambil sesekali aku memperhatikan tempat lain. Dan mata ini, tidak sengaja bentrok dengan sepasang mata milik Rey. Yang tampaknya memang sudah memperhatikan dari tadi. Dan ... Disty duduk di sebelahnya, sibuk dengan ponsel. Tidak menyadari kehadiranku, mungkin.

Aku kembali fokus pada nasi bakar yang dibungkus dengan daun pisang. Didalamnya berisi nasi putih, ayam, sayur sawi dan jamur

"Sudah tahu, El?" tanya Pak Firman sambil terus makan.

"Ya. Mantan saya kan, Pak?"

Pak Firman mengangguk.

"Habiskan makanmu. Setelah itu kita segera pergi."

"Saya nggak apa-apa kok, Pak."

"Tampaknya dia yang kenapa-napa. Sejak tadi terlihat gelisah."

Aku tidak berkata lagi. Dan kembali melanjutkan makan. Apapun itu, memang aku nggak perlu peduli lagi.

Next ....

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya WyKT 8-9
9
4
Kita akan bertemu di pengadilan. Tidak lama lagi. Ucapku tanpa basa-basi.“Oke. Aku tahu, pasti arsitek handal itu yang membantumu. Suruh dia mencari pengacara hebat buatmu. Aku akan bertahan dengan caraku.”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan