Wanita yang Kau Tolak 1

10
2
Deskripsi

"Kalau untuk masalah tadi malam. Nggak usah khawatir. Itu tidak akan menghalangi perpisahan yang kita rencanakan. Dan nggak usah cerita hal ini sama Disty. Ia akan marah nanti. Bukankah secepatnya juga kalian akan menikah?"

Wanita yang Kau Tolak
Part 1 Malam yang Menyakitkan

"Terima kasih," ucap Rey saat ku letakkan semangkok mie instan rebus dan teh panas yang dimintanya di nakas minimalis modern sebelah tempat tidurnya.

"Ya."

Aku menjawab sambil tersenyum, kemudian melangkah hendak meninggalkan kamar itu.

"Tunggu," cegahnya.

Langkahku yang hampir mencapai pintu itu terhenti dan menoleh.

"Maaf untuk tadi malam. Seharusnya aku tidak melakukannya padamu. Karena kita berjanji tidak akan saling menyentuh bukan? Dan ... aku malah memaksamu. Disaat aku mabuk pula. Sorry, El."

Ada rasa nyeri yang menghujam di benak. Adakah seorang suami yang begitu menyesal telah menyentuh istrinya? Dan yang lebih menyakitkan lagi, wajah itu memang benar-benar menunjukkan penyesalan yang dalam.

Aku hanya tersenyum kemudian melangkah keluar kamar dan kembali menutup pintu perlahan.

Menuruni tangga dengan kaki lunglai. Ku pegang teralis besi mengkilat itu agar tidak terjatuh. Bukan menahan sesuatu yang nyeri di antara paha. Tapi lebih dari itu, nyeri di hati. Dulu ku impikan pernikahan yang indah. Dengan banyak cinta di dalamnya. Tapi yang ku dapat sebaliknya. Perlakuan yang tidak semestinya. Kami satu nahkoda, tapi berhaluan beda.

Aku melangkah ke arah dapur, duduk di bawah beralaskan koran. Meneruskan memotong wortel untuk sayur sop yang di inginkan Rey.

Sekuat hati ku tahan jangan sampai air mataku luruh kali ini. Sudah cukup aku menjadi perempuan cengeng karena meratapi nasib yang sempat kuanggap sial beberapa waktu yang lalu.

Dengan cekatan kusiapkan sayur dan lauk untuk masak. Biar aku segera bisa ke toko roti Hani. Kemarin sudah janji akan datang hari ini. Aku butuh pekerjaan itu. Untuk menopang hidup, ketika kami berpisah nanti.

"El," panggil Rey sambil meletakkan mangkok kosong dan gelas teh yang tinggal separuh diatas meja dapur.

"Iya. Biarkan di situ saja. Nanti aku cuci," jawabku tanpa menoleh lagi. Aku menyibukkan diri menaruh panci berisi air dan menyalakan kompor.

"Baiklah, aku tunggui sampai kamu selesai masak. Nanti kita bicara."

Aku tidak menjawab lagi. Terdengar ia melangkah ke ruang tengah. Menyalakan televisi disana. Dan menelfon asisten pribadinya mungkin. Karena tidak masuk kerja hari ini.

"Sudah selesai, El?" tanyanya kembali ke dapur. Saat itu aku tinggal membereskan perabot saja.

"Sudah. Mau bicara apa? Bicara saja. Ini aku dengarkan sambil beres-beres."

Aku benar-benar menjaga mata agar tidak memandangnya. Rasanya peristiwa tadi malam itu masih jelas terekam di ingatan. Jejak yang memilukan.

"Untuk tadi malam, sekali lagi aku benar-benar minta maaf. Aku ...."

"Tidak apa-apa, Bang. Lupakan sajalah. Abang, khilaf kan? Dan itu juga salahku, karena aku tidak mempunyai kekuatan lebih untuk menolaknya." Kali ini aku berbicara sambil memandangnya. Tetap dengan menahan air mata, agar tidak luruh didepannya.

"Maaf, aku harus pergi. Aku sudah janji dengan Hani untuk datang ke tokonya hari ini."

"Untuk apa?"

"Dia menawarkan pekerjaan."

Rey mengernyitkan dahi, "pekerjaan apa?"

"Di tokonya. Sebagai pelayan atau mungkin dia akan mengajariku bikin kue."

Pria itu masih memandang. Entah pandangan mata yang bermakna apa, yang ditunjukkannya itu. Aku tidak ingin menduga-duga.

"Aku butuh pekerjaan itu. Jadi maaf, aku harus pergi." Aku bergegas ke kamar di lantai bawah. Kami memang tidak tinggal satu kamar.

Aku keluar lagi membawa baju ganti, kemudian masuk ke kamar mandi. Dibawah guyuran air shower, air mataku luruh. Sesak yang ku rasakan sejak tadi malam, sedikit demi sedikit terurai.

"Sebenarnya aku ingin bicara serius, El." Rey menungguku keluar dari kamar mandi.

"Kalau untuk masalah tadi malam. Nggak usah khawatir. Itu tidak akan menghalangi perpisahan yang kita rencanakan. Dan nggak usah cerita hal ini sama Disty. Ia akan marah nanti. Bukankah secepatnya juga kalian akan menikah?"

Rey memandangku lekat. Aku mendongak dan melihat kegelisahan yang terukir jelas di rahang kokoh itu.

"Bagaimana jika kamu hamil?"

"Nggak usah khawatir, ini bukan masa suburku."

"Maaf, ya. Aku harus pergi."

Aku melangkah cepat ke arah kamar. Menyisir rambut basah. Dan mengusap Compact powder ke muka. Itu saja. Karena aku tidak suka berdandan.

Jaket di gantungan ku ambil. Ku tenteng keluar bersama tas selempang.

"Aku pergi ya!" Pamitku pada pria yang masih berdiri di tempat semula.

"Mari ku antar."

"Nggak usah. Abang, istirahat saja." Setelah berkata demikian aku segera melangkah keluar. Duduk di teras sambil memakai flat shoes, kemudian memakai jaket. Tak lupa ku lipat bagian ujung celana jeans, karena memang kepanjangan.

Aku melangkah dengan hati yang benar-benar pilu kali ini. Matahari tidak begitu terik karena mendung menggantung di atas sana. Mungkin akan segera turun hujan. Aku duduk di halte, yang berada di pinggir jalan di luar kompleks perumahan. Sendirian. Tidak ada yang menunggu kendaraan di sana.

Segala ingatan tentang tadi malam ku tepis semampuku. Bagaimana Rey datang dalam kondisi setengah mabuk. Bagaimana saat ia menahanku agar tidak keluar kamarnya. Dan bagaimana dengan kekuatannya ia melampiaskan birahi. Ah, lebih menyakitkan lagi. Saat Rey berulang kali menyebut nama Disty di sepanjang ia menikmati tubuhku.

Gerimis mulai turun. Dan belum ada satu pun angkot yang lewat. Apa perlu aku pesan grab? Ku ambil ponsel dalam tas. Mencari aplikasi berlogo hijau itu. Belum selesai membuat pesanan. Suara klakson mobil mengejutkan.

"Ayo ku antar," kata Rey sambil membuka kaca pintu mobil.

Akhirnya aku duduk di sampingnya, dan mobil meluncur membelah gerimis. Sejenak kami terjebak dalam diam.

"Benar, kamu ingin bekerja?" tanya Bang Rey membuka suara. Aku mengangguk.

Tentu aku ingin bekerja. Harus malah. Siapa yang akan memberiku uang jika kami bercerai. Aku butuh pendapatan untuk hidup selanjutnya.

"Apa tidak ingin mencari pekerjaan yang lebih baik lagi?"

Hei, apa menjadi pelayan toko kue bukan pekerjaan yang baik untuk perempuan yang hanya berijazah D1.

"Ini sudah cukup baik, Bang. Aku hanya punya ijazah D1."

Rey tidak berkata lagi, karena ponselnya berbunyi.

"Ya, honey. Aku nggak masuk kerja hari ini."

( ... )

"Oke. Nanti aku ke situ.

Telfon di tutup. Ponsel di kembalikan di dashboard. Dan kami tidak terlibat percakapan lagi. Hingga mobil berhenti di depan Toko Kue 'Honey Cake and Bakery'.

"Maaf, nanti nggak bisa jemput. Aku harus pergi."

"Hmm, ya. Nggak apa-apa."

Aku segera membuka pintu mobil. Kemudian terus melangkah ke arah toko Hani sambil berlari kecil, karena gerimis. Tanpa menoleh lagi. Sebentar kemudian, terdengar mobil meluncur pergi. Dan aku tahu, akan pergi kemana dia.

"Hai, udah ku tunggu dari tadi," seru Hani yang muncul dari ruangan dalam.

"Maaf telat."

"Duduklah!"

Aku duduk di kursi dekat kasir. Berhadapan dengan Hani.

"Naik apa tadi?"

"Diantar."

"Tumben?"

Aku tersenyum, "kebetulan dia cuti hari ini."

"Mau makan apa kamu?"

"Nggak usah, ntar aja."

Hani menyuruh seorang pelayan untuk mengambilkan sebotol teh beraroma melati.

"Masih lama lagi sidang ceraimu?"

"Belum di ajukan kayaknya. Aku juga belum nanya. Setelah mamanya ngamuk pada kami hari itu. Aku belum menanyakan lagi padanya."

Aku minum teh dingin itu memakai straw.

"Nggak usah goyah. Walaupun mamanya mencegah. Tapi yang jalanin kamu. Sedangkan kamu nggak dianggap sama sekali oleh dia. Bahkan dengan nyantenya dia menggandeng perempuan itu di hadapanmu."

Hani berkata berapi-api. Dan aku hanya tersenyum getir. Kadang dengan senyuman sudah mewakili perasaan.

Kami berbincang cukup lama. Dan sempat membantu Hani menyiapkan pesanan tiga ratus roti untuk acara aqiqah.

Hari sudah senja, ketika aku pamit pulang. Tapi aku tidak pulang ke rumah, melainkan naik angkot menuju rumahku. Rumah peninggalan orang tua yang berada di pinggir kota. Aku menemui Mbok Yah, wanita setengah baya yang tinggal tepat di kanan rumah kami.

"El, sendirian?"

"Iya, Mbok."

"Suamimu mana?"

"Kerja."

Aku duduk berdampingan dengan Mbok Yah di teras samping rumahnya. Memandang hari yang remang-remang.

"Aku mau nginap di sini, Mbok. Malam ini. Biar besok pagi bisa bersih-bersih rumah."

"Tadi pagi, sudah si mbok buka dan bersihkan. Kalau nginap di sini, nanti di cari suamimu."

"Nggak, aku sudah bilang tadi," kataku bohong.

"Yo, wis kalau gitu."

Akhirnya malam itu, aku duduk sendirian di ruang tamu yang bersih. Mbok Yah, menjaganya dengan baik. Dia tetangga kami yang sudah seperti saudara sendiri.

Tidak lama lagi aku akan menempati rumah ini lagi. Setelah perceraian itu tentunya. Ah, aku jadi kangen sama Mas Sofyan. Tragedi itu telah membuatnya pergi selamanya. Ada pedih mencabik hati.

Baru saja ku rebahkan kepalaku di meja. Ponsel berpendar, ada pesan masuk.

[Dimana?] Pesan dari Rey.

[Aku menginap di rumah ibu.]

[Lain kali bilang, biar aku bisa jawab kalau ditanya Mama.]

[Maaf.] balasku.

Sikapnya sudah kembali dingin. Ternyata penyesalan tadi pagi hanya pura-pura.

Mengingat kejadian tadi malam, hanya membuat dadaku kembali tertikam. Kenapa dengan cara itu aku kehilangan keperawanan. Sama sekali tidak sesuai impianku ketika dulu. Bermesraan dengan pasangan, dan saling melengkapi segala kekurangan.

Kembali ponsel berbunyi ketika aku hendak berdiri.

[Ku jemput sekarang?]

Aku tidak membalasnya. Percuma. Karena ia tidak bisa di bantah.

Next ....

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Wanita yang Kau Tolak 2
13
8
Pemuda yang menolongmu saat di keroyok berandalan sepulang kuliah hari itu. Kamu tahu siapa dia? Dia abangnya Elisa. Makanya mama jodohin kamu sama dia, biar dia ada yang jaga. Kasihan, dia tidak punya siapa-siapa selain abangnya itu. Makanya setelah kematian abangnya, mama yang diam-diam nanggung biaya sekolahnya.Deg. Bagaikan dihantam badai, aku terhuyung dan menabrak tembok. Memang aku tahu kalau Mas Sofyan meninggal karena accident itu. Tapi aku nggak menduga sama sekali, kalau mereka adalah keluarga yang membuat kakakku meregang nyawa. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan