
Aku menghempaskan punggung ke sandaran kursi. Terluka. Amat sangat. Di nikmati lantas di campakkan itu menyakitkan. Dan aku berharap amnesia agar bisa melupakan semuanya.
Part 1
POV Aleana
Selesai brifing, aku melangkah ke ruang kerja. Ku letakkan dengan kasar, tas tangan di atas meja. Lantas menghempaskan diri di kursi. Riri mendekat dengan wajah sumringah yang terasa menyebalkan.
"Keren kan!" ucapnya sambil mendaratkan pantat sialannya di kursi depanku.
"Siapa?" tanyaku pura-pura bodoh.
"Kepala divisi kita yang baru."
Aku hanya tersenyum tipis. Dan memulai membuka map berisi kertas-kertas laporan yang harus ku selesaikan hari ini.
Senyum ganjen itu masih menghiasi bibir bergincu tebal milik Riri. Aku tak peduli. Aku sibuk dengan perasaan ini. Yang berkecamuk sejak melihat dia, pria yang di maksud Riri.
"Perkenalkan ini kepala divisi baru kalian. Namanya Bapak Darren Dirgantara. Jadi beliau yang akan jadi manajer kalian ke depan."
Sejak Pak Rusdi masuk ruangan bersama sosok tinggi atletis yang menguras perhatian seluruh staf, jantungku masih berdetak tak beraturan hingga detik ini.
Pria itu. Di kota Batu. Lima tahun yang lalu pernah duduk di hadapan penghulu bersamaku. Mengucap ijab qobul di depan Papanya yang kritis. Untuk menikah siri.
Hanya untuk memenuhi keinginan orang tuanya. Bukan keinginan kami berdua. Lebih tepatnya bukan yang Darren inginkan.
"Aku menyetujui ini, hanya untuk Papa," ucapnya kala itu.
"Ya." Aku mengangguk.
"Kamu tahu kan aku punya Shela."
"Ya."
"Aku harap kita bekerja sama dengan baik. Setelah Papa sembuh, kita akan akhiri ini baik-baik."
Kembali aku mengangguk. Memang aku juga tidak punya pilihan, selain mengiyakan. Rasanya nggak tega menolak permintaan seorang ayah dalam kondisi di antara hidup dan mati.
Mengiyakan menikah sekaligus mengiyakan bercerai. Toh pernikahan ini tidak terdaftar di KUA. Jadi mudah saja kan untuk berpisah. Cukup talak di saksikan oleh teman mungkin, kami bukan lagi suami istri. Dan aku menyetujui semua ini, tanpa sepengetahuan keluargaku yang merestui pernikahan.
Tentu bukan tidak ada alasan aku menyetujui perkara konyol ini. Keluargaku dan keluarganya berhubungan baik, layaknya saudara. Di tengah rasa sakit kanker hati yang di derita Pak Tedja, ia meminta bapak agar menyetujui putrinya menikah dengan putra Pak Tedja, daripada Darren menikah dengan Shela, putri dari musuh bebuyutan keluarga Tedja Rahadi.
"Lea, Pak Darren memanggilmu ke ruangannya."
Toni memberitahu sambil lewat di lorong depan ruang kerjaku, yang hanya tersekat papan setinggi dada.
Aku berpandangan dengan Riri. Gadis di depanku itu berdiri. Mendekat lalu menyisir rambutku dengan jemari lentiknya.
"Ayo, pikat dia, Lea," ucap gadis itu sambil membenahi kerah blouse putih yang aku pakai.
Aku berdiri.
"Ih, apaan. Jangan sembarangan, mungkin dia itu suami orang."
Terasa getir ku rasakan sendiri saat mengucapkan kalimat itu. Kalau dia tertarik padaku, tentu kami tidak akan bercerai, sebulan setelah meninggal Papanya.
Aku melangkah dengan debaran dada yang berkejaran laksana ombak di lautan. Bergemuruh bagai petir di tengah badai. Sungguh dahsyat. Bertemu mantan suami.
Tuk ... tuk ....
Hanya dua kali ketukan, suara pria di dalam mempersilahkan masuk. Pintu perlahan terbuka. Sosok tegap di dalam menatap sambil jemarinya memainkan pena. Sorot mata itu masih setajam elang. Seperti dulu.
"Ya, Pak," ucapku formal.
Ada rasa nyeri di dada sini, saat memanggilnya 'Pak'. Dia atasanku sekarang.
"Apa kabar Lea?"
"Baik."
Aku masih berdiri. Menunduk takzim.
"Duduklah!"
"Apa ada yang harus saya kerjakan?"
"Apa kabar keluargamu?" Tak menjawab pertanyaanku, justru dia ganti bertanya hal lain.
"Alhamdulillah baik."
Pria itu berdiri, lalu duduk di pinggir meja kerjanya. Hanya berjarak beberapa depa saja di depanku. Satu langkah aku mundur ke belakang.
"Tinggal dimana sekarang?"
"Pulang ke kampung."
Sejak perceraian yang membuat geger dua keluarga, akhirnya bapak memutuskan untuk mengajak kami pulang ke Desa. Padahal dua keluarga telah merencanakan untuk bikin pesta pernikahan dan mendaftarkan pernikahan kami pada pengadilan agama.
"Di mana?"
"Maaf, Pak Darren. Jika tidak ada yang perlu saya bantu di sini. Saya akan kembali, karena ada laporan yang harus saya selesaikan hari ini."
Aku berbalik dan melangkah. Tapi gerak cepat pria itu, menghadangku.
"Bukankah dulu kita berjanji masih bisa berteman. Dan sekarang kita juga satu tim di tempat kerja. Aku kehilangan kontakmu, sejak hari itu. Kemana-mana aku mencarimu."
Mencari? Untuk apa? Semua sudah usai seperti yang di rencanakan sebelumnya.
"Iya. Tapi hari ini banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan. Mungkin kita bisa bicara lain kali."
Aku mendongak, memberanikan diri menatap wajah itu. Untuk beberapa saat kami saling tatap. Hingga bunyi ponsel di saku celana bahan yang ku pakai berbunyi.
Ku ambil benda pipih di saku. Dan segera ku tolak panggilan.
"Siapa anak kecil itu?"
Pertanyaan yang sungguh laksana sambaran petir di siang tanpa hujan. Secepat itu, ia bisa melihat foto wallpaper. Buru-buru ku masukkan kembali ponsel dalam saku.
"Saya permisi dulu."
Aku melangkah dan ia meraih lengan.
"Siapa?"
"Bukan siapa-siapa. Hanya gambar dari pixabay."
Aku keluar ruangan. Melangkah ke toilet bukan kembali ke meja kerja. Menangis di salah satu ruangnya. Aku sekuat tenaga menahan isak, agar tidak terdengar sampai luar. Walaupun toilet dalam keadaan sepi.
Untuk beberapa saat aku terdiam dalam kekalutan luar biasa. Hingga aku sadar, aku tidak boleh secenggeng ini.
***
"Lea, ntar siang aku di ajak Toni makan siang di kafe dengan beberapa kawan. Kamu ngikut ya?"
Aku masih sibuk pada layar laptop. Sibuk dengan mouse. Hari ini sungguh di bikin kalap keadaan. Aku usahakan fokus agar tidak terbawa rasa yang pontang-panting bak roller coaster.
"Nggak usah, Ri. Aku makan di kantor saja," jawabku tanpa menatapnya.
"Oke. Sejam lagi istirahat."
Riri kembali ke meja kerjanya dan sekali menoleh. Mungkin mencurigai situasiku.
Pikiranku tidak juga berhenti memikirkan tentang pria tadi. Kadang apa yang di inginkan tidak sesuai dengan rencana Tuhan. Berusaha menghindar tapi di sini di pertemukan.
Setelah bercerai, aku meninggalkan kota Malang dan pulang ke Dampit, kampung halaman. Dan pergi ke kota Surabaya, karena pekerjaan.
Kenangan silam slide demi slide menggoda di pelupuk mata. Pernikahan yang hanya di anggap sandiwara itu akhirnya berakhir juga di ranjang pengantin yang di siapkan Mamanya Darren. Tidak hanya sekali.
Aku menghempaskan punggung ke sandaran kursi. Terluka. Amat sangat. Di nikmati lantas di campakkan itu menyakitkan. Dan aku berharap amnesia agar bisa melupakan semuanya.
***
Siang ini, selera makan menguap hilang entah terbang kemana. Setelah Riri dan staf yang lain keluar makan siang, aku masih duduk di tempat kerja.
Mengeluarkan bekal dari paper bag yang ku taruh di bawah meja samping. Untuk menghemat pengeluaran, aku sering bawa bekal sendiri dari kosan.
Banyak yang harus aku pikirkan, tentang biaya hidup sendiri, untuk transfer ke rumah. Persiapan untuk tabungan masa depan. Untuk ....
Tiba-tiba rasa kangen memenuhi dada. Ku buka ponsel tanpa password. Langsung ke galeri. Menatap satu persatu foto milik pria kecil yang hanya dengan melihatnya saja, sudah membangkitkan tenaga baru bagiku.
Sambil menyuap nasi goreng ke mulut. Pandangan mata mulai kabur oleh kaca-kaca. Di tambah rasa sesak yang makin terasa.
"Nggak keluar, Lea?"
Suara di belakang mengagetkan. Hampir saja aku tersedak. Dan buru-buru ku ambil botol air minum. Menenggak isi secukupnya.
"Nggak, Pak," jawabku pada pria yang sudah berdiri di belakangku.
Ku telungkupkan ponsel di atas meja.
"Foto siapa tadi?"
Pak Darren membungkuk, menumpukan telapak tangan di atas meja kerjaku.
"Sudah lama Bapak di sini?"
"Sejak kamu membuka ponsel."
Aku terkejut.
"Dia anak Mbak Maya."
Maya adalah nama kakakku. Kami hanya dua bersaudara.
"O."
"Bapak nggak makan siang?"
"Ayo, bareng ke kantin."
"Nggak. Saya di sini saja."
"Harusnya kalau makan jangan di meja kerja, kan!"
Aku memandang pria itu. Waktu Pak Yudi jadi kepala divisi kami. Dia tidak menegur stafnya makan di ruang kerja. Harua jaga kebersihan saja.
"Untuk makan ada tempatnya bukan?" tambahnya.
"Mungkin aturan yang ku buat berbeda dengan pimpinan kalian yang lama."
Tutup ku ambil. Lalu menutup rapat kotak nasi, kemudian aku kembalikan ke dalam paper bag.
"Ayo ke kantin."
"Silahkan Bapak pergi. Saya sudah selesai makan," jawabku sambil menaruh kembali paper bag di bawah meja.
"Makanmu belum habis kan!"
"Nggak apa. Saya sudah kenyang."
Alisnya yang tebal terjungkit. Aku kembali meraih ponsel. Membuka layar. Menekan aplikasi WhatsApp. Iseng membuka chat di WAG. Sambil nunggu pria itu pergi.
Entah apa yang di pikirkan, saat ia menatapku lama. Desiran di dada kuabaikan. Aku harus rileks menghadapi jejak masa lalu yang sempat membuat haru biru perasaan seluruh keluargaku.
Next ....
Part 2
POV Aleana
Aku melangkah menyusuri trotoar di sore menjelang senja itu. Memakai celana jeans warna biru dan kaos warna senada. Biasanya aku jalan berdua bersama Riri. Untuk membeli bakso favorit Pak Man di ujung depan sana. Tapi tadi Riri cuman nitip, karena lagi setrika.
Kendaraan tidak begitu ramai di sore itu. Mungkin karena sedikit mendung, jadi orang-orang enggan keluar rumah.
Melangkah dengan perasaan gundah. Ini luka dalam, yang tak nampak dari luar. Kalau bisa nampak, luka ini berdarah lagi. Di saat hampir saja mengering.
Langkah terhenti saat sebuah motor besar berhenti tepat di sebelah.
"Lea, mau kemana?" tegurnya.
Aku menoleh. Seorang cowok sedang membuka helm teropongnya. Rafka. Dia anak dari ibu kost.
"Mau beli bakso ke Pak Man, Mas."
"Enak juga mendung-mendung gini makan bakso. Ayo, bareng ke sana," ajaknya.
Aku ragu, menerima tawarannya.
"Nggak usahlah, Mas. Aku jalan kaki saja."
"Lah, aku juga mau ke sana."
Akhirnya aku naik juga di boncengan. Agak rikuh sebenarnya. Kalau naik motor matic, bisa agak jaga jarak. Lha ini naik Ducati, mau agak mundur, takut pula kejengkang.
Aku memegangi rambut yang di hembus angin, saat motor melaju.
"Baru pulang dinas ya, Mas?" tanyaku di sela deru kendaraan. Jaket hitam yang di pakainya, menutupi seragam polisi yang jadi kebanggaan.
"Ya," jawabnya.
Tidak lama kemudian, motor berhenti tepat di warung tenda Pak Man.
Ada beberapa orang yang sedang ngantri. Kami duduk di bangku bawah pohon mangga.
"Makan sini aja ya?"
"Sebenarnya mau di bawa pulang. Tadi Riri nitip."
"Nggak apa-apa. Punya Riri aja yang di bungkus."
Akhirnya aku mengangguk. Rafka memesan dua porsi bakso dan es jeruk.
"Tumben berduaan ke sini," tegur Pak Man sambil menyodorkan dua mangkok bakso.
"Tadi ketemu Mas Rafka di jalan, Pak."
"Kasihan, Pak. Ada cewek cantik jalan sendirian menjelang Maghrib pula. Daripada kena sambar orang, aku sambar duluan."
Ucapan Rafka membuat Pak Man terkekeh. Dan aku ... tentu wajah sudah merona saat mendengar kalimat itu. Aku juga terasa saat mata itu melirikku sekilas.
Kami makan tanpa percakapan. Aku sendiri menahan lapar sejak tadi. Karena makan siang cuman sedikit. Gara-gara teguran dari pimpinan baru.
Ah, mengingatnya membuat rasa nyeri kembali timbul. Bagaimana akan terlupakan jika jejak pernikahan itu selalu bersamaku.
"Melamun," tegur pria di sisi.
Aku tersenyum dan menoleh.
"Nggak, Mas. Lagi banyak kerjaan di kantor."
Nggak bohong. Di samping karena pertemuan dengan Darren, memang kerjaan di kantor juga menumpuk.
"Oh ... pantesan kamu lama juga nggak pulang."
"Iya. Rencananya Minggu ini pulang. Tapi tanggal gajian baru Rabu depan. Mungkin setelah gajian baru pulang."
Rafka melepaskan jaket, mungkin gerah setelah makan bakso panas dan pedas. Ada tanda pangkat tiga segitiga bersusun warna perak. Bripka pangkat yang sudah di sandang pada usia tiga puluh satu tahun. Seusia Darren.
"Ada film baru. Mau nonton?" tawarnya.
"Film apa?"
"Ada Avengers end game. Mau nonton nggak?"
Aku memainkan sendok dalam gelas es. Yang di bicarakan rekan kantor ya film itu sejak beberapa hari yang lalu. Pingin nonton sebenarnya. Cuman haruskah dengan dia? Si Riri tentu pergi dengan pacarnya.
"Gimana? Mau nggak?"
"Kapan?"
"Malam ini kalau kamu longgar. Ada jadwal untuk pukul tujuh."
Ingin rasanya mengiyakan, tapi entah kenapa sisi hati yang lain melarang. Benar-benar nggak enak hati kalau sampai Bu Suryo tahu, putranya jalan denganku. Padahal dulu pernah juga pergi nonton bola, tapi bareng anak kos yang lain.
"Aku tunggu di gerbang jam enam tiga puluh."
Pria itu memutuskan seraya berdiri. Merogoh dompet di saku belakang dan menyerahkan selembar lima puluhan pada Pak Man.
Aku mengikutinya di belakang. Lidahku rasanya kelu untuk mengatakan penolakan.
***
Dandan sambil di godain si Riri itu sungguh menyebalkan. Entah kenapa sejak habis makan bakso tadi, ia nggak balik lagi ke kamarnya. Apalagi ia tahu kalau aku mau keluar sama Rafka. Tak henti dia mengoceh mengajariku bagaimana bersikap manis di depan cowok.
Sekuper itukah aku? Hingga dia cerewet mengajar bagaimana aku ber-attitude di depan laki-laki. Mentang-mentang selama ini, dia belum pernah tahu aku dekat dengan pria manapun.
"Udahlah nggak usah di ajari, aku sama dia kan cuman temenan."
"Siapa tahu bakalan jadi pacar. Hei ... di antara teman-teman kita tuh. Kamu aja yang belum punya pacar. Apa nggak pingin, pulang pergi kerja ada yang jemput. Ada yang ngajak dinner, ngajak lunch. Ada yang merhatiin. Kau ini keasyikan dating sama sopir angkot dan Abang ojol."
Aku tersenyum kecut, semasam cuka. Tidak mudah untuk memulai hubungan baru. Bukan trauma, tidak sampai separah itu. Tapi ada yang lebih aku pikirkan. Lebih dari diriku sendiri.
"Lea, jangan nolak kalau kamu mau di jadiin pacar."
Sling bag di atas kasur aku sambar. Mematut sebentar di cermin.
"Nggak usah ngelantur, dan jangan bikin gosip. Oke!"
Aku menarik lengan Riri. Membawanya keluar karena pintu akan aku tutup.
Setelah melambaikan tangan ke Riri, aku melangkah menuju pintu gerbang belakang. Suasana habis maghrib sudah gelap. Nampak di atas motor Rafka sudah menunggu. Kaki panjangnya terbalut celana jeans dan memakai jaket kulit warna hitam.
Aku menoleh ke arah bangunan rumah utama. Memastikan tidak ada yang melihat kami.
"Lihat siapa?" Rafka bertanya sambil menyodorkan helm padaku.
"Takut di lihat Mama, ya?"
Aku tersenyum, lantas memakai helm.
***
Aku duduk di bangku panjang, tepat di depan pintu masuk studio dua. Dimana kami akan masuk menonton. Sebentar kemudian Rafka datang sambil membawa seabrek makanan.
"Banyaknya, Mas," selorohku.
"Ini ceritanya pindah makan ya?" Tambahku saat melihat ada popcorn porsi jumbo, frenchfries, salad buah, hotdog dan teh botol besar. Semua serba dua porsi yang ia beli.
Rafka tersenyum. Sambil menyodorkan beberapa makanan.
"Biar nggak ngantuk nanti, film ini durasinya panjang," ujarnya.
Aku tertawa.
"Bagaimana mungkin akan ngantuk kalau nonton Avengers."
Bersamaan dengan pintu studio terbuka, suara rekaman seorang wanita mempersilahkan penonton masuk.
Inilah untuk pertama kalinya aku nonton bioskop bersama seorang pria. Hanya berdua saja. Biasanya selalu rame-rame. Dengan kawan-kawan sekantor.
Rafka memesan bangku paling belakang. Aku kesulitan menaruh makanan yang ada di tangan.
"Bisa bawa."
Aku mengangguk. Lantas duduk.
***
Seratus delapan puluh menit berlalu. Kami keluar gedung menuju parkiran. Ini film durasi terpanjang yang aku tonton. Sampai terasa kram di kaki.
"Seru nggak?" Rafka bertanya sambil memakai helmnya.
"Ya."
Akhirnya motor melaju menerobos keramaian malam. Di sebuah gang, Rafka berbelok.
"Kita cari jalan yang sepi."
Lagi-lagi aku hanya mengangguk.
Di depan kami, kira-kira jarak tiga puluh meter dua orang yang berboncengan sedang menarik tas seorang wanita yang naik motor. Aku terbelalak. Dan lebih kaget lagi, tangan Rafka menarik tanganku agar memeluk pinggangnya. Motor melaju kencang mengejar si jambret.
Tidak butuh waktu lama, motor Rafka mampu menghadang motor penjambret tadi. Motor mereka oleng dan menabrak trotoar.
Kami turun.
"Tunggu sini," ucapnya.
"Kembalikan tas itu," seru Rafka.
"Enak saja. Memangnya siapa kamu. Jangan sok jadi pahlawan,"salah seorang dari mereka berteriak.
"Mau mati ya," hardik yang seorang lagi.
Rafka mendekat, ketika hendak meraih tas, dua orang itu serentak menyerang. Aku mulai panik saat ku lihat salah satu dari mereka mengeluarkan pisau lipat. Aku menoleh kiri kanan. Sepi. Tak ada yang bisa ku mintai tolong. Di depan sana ibu yang kena jambret tadi terlihat panik juga.
Aku menjerit saat pisau itu hampir menyabet pinggang Rafka. Untung dengan sigap, pria itu berkelit.
Akhirnya aku nekad berteriak minta tolong, saat perkelahian itu tak kunjung berhenti. Salah satu jambret menatap marah. Ia hendak melangkah ke arahku. Tapi kaki Rafka dengan sigap menyepak, hingga membuatnya terjerembab.
Pada saat yang bersamaan. Datang tiga tukang ojek mendekat. Akhirnya jambret itu kabur dengan motornya.
Rafka mengambil tas wanita tadi.
"Mas nggak apa-apa?" tanya salah satu dari Abang ojol.
"Nggak, Pak. Terima kasih, bapak datang tepat waktu."
"Kami tadi kebetulan lewat, Mas. Dua jambret tadi memang sering beraksi akhir-akhir ini. Kayaknya polisi perlu bertindak ini, Mas."
Rafka mengangguk. Mereka tidak tahu, kalau pria yang di ajak bicara adalah polisi. Tapi setidaknya omongan Abang ojol akan jadi catatan Pak Polisi keren itu.
Setelah Abang ojol pergi. Rafka menyerahkan tas pada wanita tadi.
"Terima kasih, Mas, Mbak. Waduh jika tidak Mas tolong, entah bagaimana saya harus ganti uang ini."
"Ibu dari ATM"
"Iya," jawab wanita umur sekitar empat puluhan itu.
"Kenapa sendirian, lewat jalan sepi pula."
"Saya mau cepat tadi , Mas."
"Ya sudah, lain kali hati-hati."
Wanita itu membuka tas, dan mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan. Dan menyerahkan pada Rafka.
"Nggak perlu, Bu. Saya nggak bisa nerima. Hanya lain kali hati-hati saja."
Dengan perasaan nggak enak hati. Wanita itu kembali menaiki motornya dan berlalu dengan cepat. Nampak wajahnya pucat ketakutan.
"Mas, nggak apa-apa?"
"Nggak,"
"Coba di lihat, pinggang Mas tadi hampir kena sabet pisau lipat."
Rafka meraba pinggangnya.
"Nggak apa-apa. Sobek jaketnya aja."
"Syukurlah." Akupun ikut lega.
"Kamupun mesti hati-hati kalau jalan sendirian," katanya saat kami melangkah menuju motor. Aku mengangguk.
"Tapi apa yang mau di incar dariku. Aku tak pakai perhiasan apapun. Kadang keluar cari makan cuman bawa ponsel sama uang di saku."
"Apa kamu pikir hanya harta yang di cari orang berniat jahat. Kamu punya yang lebih berharga dari itu."
"Apa."
"Tubuhmu."
Aku terkejut sambil mendongak, menatap pria tegap yang berjalan di samping.
Next ....
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
