Cinta yKBP 4

6
0
Deskripsi

Lalu, Barra tidur di mana? Bagaimana jika mertuanya tahu kalau dirinya telah mengunci pintu dan membiarkan suaminya tidur di luar? Bagaimana kalau Barra marah?

Ketakutan menguasai pikiran Delia. Dia mematung di tengah ruangan sambil memandang pintu-pintu kamar yang masih tertutup rapat. Tidak mungkin ia akan membuka satu per satu kamar untuk mencari suaminya. 

Cinta yang Kau Bawa Pergi
Part 4 Dinner

"Apa perkataanku salah?" tanya Barra penuh selidik.

"Seorang kakak pasti mencintai dan akan melindungi adiknya," jawab Samudra. Dia harus mengendalikan emosi. Jika sampai mengaku, keadaan bisa runyam. Barra bisa menimbulkan masalah baru dengan memanfaatkan pengakuannya. Bisa saja Barra menuduhnya menjadi penyebab kehancuran rumah tangganya dengan Delia. Padahal sejak awal Samudra sudah bisa merasakan kalau hubungan mereka tidak sebaik yang dikira keluarganya. Jika suatu hari nanti dia harus bicara jujur, mesti dipastikan waktunya tepat saat itu.

"Aku titip adikku."

"Seorang suami juga tahu apa yang harus dilakukan pada istrinya," jawab Barra cepat.

Samudra menarik napas berat. "Oke, kamu lebih berhak. Tapi jangan buat dia lebih sakit dari sebelumnya. Kamu tidak tahu bagaimana dia berjuang mengatasi trauma."

Hening.

"Aku mengenalmu sudah lama, dokter. Semenjak remaja kita sering bertemu. Sebagai sesama lelaki, aku bisa merasakan bagaimana perasaanmu pada Delia. Bukan perasaan seorang kakak pada adiknya, tapi lebih dari itu."

Hanya senyuman manis yang diberikan Samudra untuk lelaki bermuka sinis di hadapannya. Dia tidak perlu menanggapi omongan itu. Yang terpenting sekarang, mengingatkan Barra agar tidak membuat Delia makin tertekan.

Soal perasaannya itu tidak penting. Karena seorang kakak tidak mungkin akan menikahi adiknya sendiri. Jika bagi keluarganya pantas, tentu Samudra sudah dijodohkan dengan Delia. Bukankah selama ini dirinya yang berusaha mati-matian memulihkan gadis itu?

Bagi Pak Irawan dan Bu Hesti, Samudra tetaplah anak bagi mereka. Sesama anak tentunya tidak akan dinikahkan bukan?

Ketenangan yang ditujukan oleh Samudra membuat Barra makin tak nyaman. Usia mereka sama, tapi terlihat sekali kalau Samudra jauh lebih dewasa dari Barra. Padahal Barra memiliki koneksi lebih luas dibandingkan Samudra, dari orang-orang kalangan kelas atas tentunya.

Dokter itu hanya disibukkan dengan pasiennya yang berasal dari beberapa kalangan. Semua yang datang karena sakit dan butuh pengobatan. Sementara dirinya, pertemuannya dengan banyak orang karena bisnis. Mereka yang datang rata-rata orang ber-uang dan memiliki kerajaan bisnis yang mengular hingga ke manca negara.

"Hanya itu kan yang ingin kamu katakan? Aku harus menjaga Delia dan bersikap baik padanya," ucap Barra dengan angkuhnya.

"Barra, Delia yang tergganggu psikologisnya. Bukan sakit biasa setelah minum obat, istirahat, terus sembuh. Jangan membuatnya makin tertekan dan trauma."

"Makasih, kamu sudah mengingatkanku." Barra berdiri dan meninggalkan Samudra sendirian. Melihat sikap Barra seperti itu, membuat Samudra makin yakin kalau Delia tak baik-baik saja di sana.

Dirinya, keluarganya, sedaya upaya mengusahakan bagaimana agar Delia lekas pulih. Ketika mendekati sembuh, malah dia dijodohkan dengan lelaki yang belum tentu mencintainya. Tentu perjodohan itu ada tujuannya. Apakah ini paksaan dari pihak keluarga Barra, karena mereka pernah dibantu oleh Pak Irawan? Atau ada tujuan lain? Entahlah.

☘️☘️☘️

Langkah Barra tergesa-gesa memasuki lift. Sudah jam tujuh lebih lima belas menit. Mamanya berulang kali menelepon, kenapa dirinya dan Delia belum sampai juga. Padahal keluarga besar sedang menunggu.

Setelah bertemu dengan Samudra tadi, ia masih menyempatkan diri menjemput Cintiara dan mengantar pulang ke rumahnya. Gadis itu makin posesif saja setelah bertemu dengan Delia. Gadis gila yang dipikirnya biasa-biasa saja, ternyata sangat cantik dan menarik. Kekasih mana yang tidak was-was. Posisinya terancam, tapi apa yang bisa ia lakukan. Selain menunggu Barra melakukan tindakan. Dia tidak bisa memaksa karena tahu juga batasannya.

Barra termangu sejenak setelah membuka pintu rumah dan melepaskan sepatunya. Di sofa ruang tamu, Delia sudah menunggu dengan gaun warna ungu lilac sepanjang mata kaki, lengannya sebatas siku, dengan aksen pundak puffy. Menampilkan leher jenjangnya karena rambut yang biasa terurai panjang itu di ikat rapi ke atas. Penampilan yang berbeda, feminine look. Wajahnya tersapu bedak tipis dengan lipglos yang terlihat membasahi bibirnya yang sensual.

Delia menatap Barra sekilas. Jemarinya yang saling bertaut dan meremas menunjukkan dia sedang gelisah dan merasa tak nyaman.

Dari balik dinding dapur, Mak Ni melihat dua majikannya yang saling adu pandang. Menunggu reaksi Barra saat melihat penampilan istrinya yang berbeda. Tadi memang sengaja, dirinya memaksa Delia untuk berdandan. Memakai satu-satunya gaun yang sempat dibawa Delia dari rumah orang tuanya. "Ketemu mertua harus tampil cantik dan segar, Mbak. Apalagi banyak keluarga yang berkumpul di sana. Tadi mamanya Mbak Delia telepon saya, kalau beliau dan bapak akan hadir juga. Tentunya beliau akan bahagia melihat penampilan putrinya." Mak Ni membujuk. Akhirnya Delia mau juga untuk berdandan.

Tanpa bicara apa-apa, Barra segera masuk ke kamar untuk mandi. Tidak lama kemudian keluar memakai hem warna abu-abu dan celana hitam. "Ayo, kita berangkat," ucapnya sambil menyambar kontak mobil yang tadi diletakkannya di meja televisi.

Delia mengambil tas tangannya, kemudian tergesa-gesa mengejar langkah panjang Barra menuju lift. Tak ada pegangan tangan, atau hanya sekedar berjalan beriringan.

Dalam perjalanan pun mereka hanya saling diam. Barra fokus pada kemudi, sedangkan Delia memandang lalu lintas malam kota Surabaya. Ketika melewati Taman Bungkul, Delia sejenak bernostalgia. Dulu sebelum peristiwa laknat itu terjadi, tiap akhir pekan ia akan ke sana bersama kakak dan teman-temannya. Usianya dengan Melia hanya terpaut dua tahun saja, membuat keduanya terlihat seperti gadis kembar.

Taman itu tempat nongkrong untuk segala usia, dari anak-anak, remaja, hingga orang tua. Banyak sekali kuliner yang bisa dinikmati. Jajanan yang relatif murah dengan rasa yang terbilang lumayan enak. Suasananya sederhana untuk bersantai bersama orang-orang terdekat. Delia tiba-tiba merasa rindu pada sosok Melia yang bawel.

Seandainya saja sang kakak mau mendengarkan sarannya, tentu peristiwa kejam itu tidak akan pernah terjadi. Namun Melia terlanjur cinta mati pada lelaki yang membuat hidupnya berakhir.

Tangan Delia mulai gemetar saat ingat bagaimana lelaki jahanam itu menggagahi dan menyiksa kakaknya. Gadis itu menunduk dan memejamkan mata. Kedua tangannya diapit di antara paha untuk menyembunyikan getarnya. Kemudian menarik napas berulang kali hingga dadanya tak sesak lagi.

Barra yang mulai paham dengan kebiasaan Delia mengambil air minum di pintu mobilnya. "Minumlah!"

"Terima kasih."

Dua puluh menit kemudian mereka memasuki gerbang pemukiman elite kediaman Pak Adibrata. Mobil masuk ke halaman sebuah rumah mewah berlantai dua.

Barra meraih tangan Delia ketika mereka melangkah menuju teras rumah. Tangan wanita itu terasa dingin dan gemetar dalam genggaman suaminya. Baru kali ini Barra bisa merasakan kecemasan Delia. "Yang berada di dalam sana kerabat semua. Kamu nggak usah takut."

Delia mengangguk pelan. Di depan keluarga mereka harus terlihat mesra.

Kehadiran mereka jadi pusat perhatian karena datang paling telat. Dengan senyum ramah, Barra membalas sapaan para kerabat dan membawa Delia menyalami mereka satu per satu.

Bu Hesti segera menghampiri dan meraih tangan putrinya. "Kamu cantik malam ini, Sayang," bisik wanita itu di telinga Delia. "Sini duduk dekat mama." Bu Hesti mengajak sang anak duduk di sebelahnya dan berseberangan dengan Barra.

Meja panjang di ruang makan yang luas itu penuh dengan hidangan spesial dalam rangka perayaan anniversary pernikahan Pak Adibrata dan Bu Diyah yang ke tiga puluh empat tahun.

Setiap tahun mereka akan mengundang para kerabat dan besan untuk dinner bersama.

"Kapan nih resepsinya Barra dan Delia? Entar keburu hamil lho si Delianya." Salah seorang adik dari Pak Adibrata bertanya. Membuat Barra dan Delia saling memandang.

"Inilah yang akan kami bahas malam ini juga," jawab Pak Adibrata. Jawaban yang membuat Barra dan Delia kaget.

Bu Hesti meraih jemari putrinya dan digenggam erat. Wanita itu sebenarnya menyadari kalau tubuh Delia terlihat makin kurus, meski tidak mengurangi kecantikannya. Mungkin karena efek adaptasi dengan pernikahannya. Atau bisa jadi Delia tengah berbadan dua. Senyum wanita itu merekah saat berpandangan dengan putrinya. Andai itu benar, tentu akan menjadi kabar yang menggembirakan.

Acara makan malam telah usai, para kerabat sudah pamitan pulang. Ineke, adik bara yang sudah menikah juga pulang bersama suami dan mertuanya. Tinggallah Pak Irawan dan Bu Hesti.

Mereka duduk berenam di sofa ruang tamu.

"Barra, pernikahanmu dan Delia sudah diketahui banyak rekan bisnis kita. Sebaiknya kita segera menentukan kapan resepsi. Besok segera persiapkan surat-surat untuk pernikahan kalian di KUA. Supaya bulan depan kita langsung mengadakan resepsinya saja." Pak Adibrata bicara sambil menatap putranya.

"Bulan depan?" Barra kaget. Pun begitu juga dengan Delia.

"Ya. Papa dan Pak Irawan sudah membahasnya tadi."

"Kondisi Delia belum memungkinkan, Pa," bantah Barra. Itu bisa menjadi alasannya untuk menghindari resepsi.

Pak Adibrata memandang Delia yang diam di sebelah mamanya. Laki-laki itu juga melihat kalau sang menantu terlihat makin kurus. "Bagaimana Pak Irawan? Saya khawatir dengan kondisi Delia."

Pak Irawan memandang istri dan putrinya. Kemudian mereka membahasnya bersama dan sepakat kalau resepsi akan dilaksanakan dua bulan lagi.

Jam sebelas malam Pak Irawan dan Bu Hesti pamitan pulang. Wanita itu memeluk putrinya dengan rasa khawatir. Perasaan seorang ibu tentu saja peka, meski tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tadi ia sempat bertanya pada Delia, ternyata putrinya tidak sedang mengandung.

Barra mengajak istrinya menginap karena ada urusan penting yang hendak dibahasnya dengan sang papa.

"Nai, ambilkan piyama untuk Mbak Delia. Biar dia ganti baju." Perintah Bu Diyah pada anak bungsunya.

Naila pergi ke walk in closed untuk mengambil piyama. "Ini masih baru, Mbak. Tapi udah dicuci sama bibik." Sebuah piyama warna merah hati diberikan Naila pada kakak iparnya.

"Makasih." Delia masuk kamarnya Barra. Ini kali kedua dia akan bermalam di sana. Yang pertama sewaktu mereka baru menikah.

Wanita itu melepaskan gaunnya di depan cermin. Melihat lagi bayangan diri di sana. Benarkah yang dikatakan mamanya tadi kalau tubuhnya makin kurus?

Jemari Delia meraba tubuhnya sendiri. Dari lekuk dada hingga ke panggul. Memang benar, kalau tubuhnya lebih kurus daripada sebulan yang lalu. Padahal sebelum menikah badannya makin berisi setelah ia mulai pulih dari depresi.

Delia yang terlalu asyik kaget ketika pintu kamar terbuka tiba-tiba. Barra pun tercekat setelah menutup pintu. Selimut warna hitam ditarik Delia untuk menutupi tubuhnya. Dadanya berdebar hebat saat Barra menatapnya dalam diam. Seperti elang memperhatikan mangsanya.

Beberapa detik kemudian Barra kembali membuka pintu dan keluar. Tujuannya masuk kamar karena ingin mengganti celana panjangnya dengan celana pendek. Nyatanya dia disuguhkan oleh pemandangan tubuh mulus Delia yang baru kali ini dilihatnya.

"Ada apa? Katanya kamu mau ganti celana dulu?" tanya Pak Adibrata yang heran melihat putranya kembali dengan wajah tegang.

"Nggak jadi, Pa. Nanti saja!" Barra kembali duduk di kursi depan sang papa.

Sementara di kamar, Delia buru-buru lari ke arah pintu dan memutar kunci untuk memastikan dirinya aman di dalam. Dengan cepat, ia pun memakai piyama dari Naila tadi. Kemudian duduk di pinggir ranjang dengan perasaan ketakutan. Kejadian yang menimpa Melia masih menyisakan trauma.

Delia ingat bagaimana sang kakak diperlakukan oleh manusia sebejat laki-laki itu. Baju Melia terkoyak, dia diterkam dengan penuh keganasan. Sementara Delia diikat tidak jauh dari situ. Melihat dan mendengar bagaimana kakaknya meraung minta tolong, tapi dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Sedangkan di luar, anak buah kekasih Melia mengambil apapun barang berharga yang tampak di depan mata. Menyikat tanpa ampun para asisten rumah tangga dan satpam yang menghalanginya.

Sungguh itu malapetaka yang menjadi berita paling menggemparkan satu tahun yang lalu. Waktu itu Delia hanya di rumah berdua dengan kakaknya saja. Orang tuanya dan Nira sedang pergi liburan. Sementara Samudra memang sudah tinggal di rumah kontrakannya dekat rumah sakit.

Keringat dingin membasahi pelipis Delia yang menunduk dan gemetar.

☘️☘️☘️

Suara azan subuh yang berkumandang dari toa masjid membangunkan Delia yang tidur meringkuk di pinggir pembaringan. Wanita itu langsung duduk dan melihat ke sebelahnya. Kosong. Barra tidak ada di sana. Kemudian ia teringat kalau tadi malam telah mengunci pintu.

Delia keluar kamar. Suasana masih temaram dengan lampu malam yang menyala di ruang tengah lantai dua. Sepi. Baru dirinya dan asisten rumah tangga dibawah sana yang terbangun.

Lalu, Barra tidur di mana? Bagaimana jika mertuanya tahu kalau dirinya telah mengunci pintu dan membiarkan suaminya tidur di luar? Bagaimana kalau Barra marah?

Ketakutan menguasai pikiran Delia. Dia mematung di tengah ruangan sambil memandang pintu-pintu kamar yang masih tertutup rapat. Tidak mungkin ia akan membuka satu per satu kamar untuk mencari suaminya.

Next ....

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Air Mata
Selanjutnya Cinta yKBP 5
8
2
Ponsel di nakas berdering. Delia melihat siapa yang telepon. Mungkin dari kantor karena Barra tidak masuk kerja. Cintiara My Beloved Girl, nama yang tertera di layar bening. Membuat hati Delia terusik dan nyeri. Bagaimanapun hubungan mereka dimulai, seorang istri pasti akan merasakan kecewa jika ada perempuan lain yang mencintai dan berhubungan dengan suaminya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan