(Bukan) Istri Pilihan 8

10
0
Deskripsi

"Ingatkan dia, apa kurang beruntung memiliki suami seperti Yoshi?"

"Yoshi yang tidak bersyukur memiliki Sasa. Selama ini dia diam-diam sering bertemu dengan mantan istrinya. Dan itu tak kenal waktu. Aku tidak ingin anakku diperlakukan seperti itu."

Bu Mega berdecak kasar. "Apa bedanya denganmu, Pa? Kamu pun melakukan hal yang sama. Bahkan bertahun-tahun sudah. Kamu juga memelihara perempuan lain di belakangku. Bukankah itu juga diawali dengan pernikahan yang diam-diam. Nah, apa yang terjadi pada Nastasya...

(Bukan) Istri Pilihan
Part 8 Bangkit, Nastasya

Author's POV

"Papa, sembunyikan di mana Nastasya? Bisa-bisanya Papa mendukung dia untuk cerai?" Bu Mega sewot malam itu. Sepulangnya sang suami dari mengantarkan Anastasya.

"Papa nggak nyembunyiin Sasa. Dia nggak melakukan salah apa-apa kenapa harus disembunyikan. Kayak residivis saja. Sasa hanya butuh tempat untuk berlindung dan menenangkan diri."

"Pantesan dia besar kepala karena Papa mendukungnya. Papa, memfasilitasi Nastasya menggugat cerai Yoshi, kan?"

Pak Bastian menarik napas dalam-dalam. Tiga puluh dua tahun ia menikahi Bu Mega. Luar dalam semuanya dia sangat paham. Kalau ada reward untuk suami paling sabar. Dia lah yang akan memegang pialanya sepanjang zaman.

Siapapun yang paham bagaimana rumah tangga mereka, mengatakan Pak Bastian lelaki paling nerimo dan sabar. Kalau lelaki lain, Bu Mega pasti sudah ditinggalkan sejak dulu. Kurang sabar apa dia sebagai suami. Malah ada yang bilang, Pak Bastian ini type suami yang berada di bawah ketiak istri.

Di dalam rumah bergaya Eropa bak istana yang sangat mencolok di tengah kawasan pemukiman elite itu, orang tak menyangka bagaimana kehidupan di dalamnya. Ada dua anak cerdas yang begitu jumawa dan ada gadis cantik yang hanya bisa diam seolah terpenjara. Juga ada suami yang tak bisa berbuat banyak meski di luar dia sangat dihormati sebagai seorang pimpinan perusahaan dan lelaki dermawan juga budiman.

"Di mana Nastasya papa sembunyikan?"

"Untuk apa Mama tahu? Ingin menemui dan memaksakan semua kehendakmu, begitu? Biar dia menjalani hidupnya sendiri. Biar dia bahagia dengan caranya. Bukankah Mama sudah bilang kalau melarangnya datang ke rumah ini lagi? Mama, keterlaluan." Pak Bastian yang biasanya tak banyak bicara, kali ini bisa murka.

"Ingatkan dia, apa kurang beruntung memiliki suami seperti Yoshi?"

"Yoshi yang tidak bersyukur memiliki Sasa. Selama ini dia diam-diam sering bertemu dengan mantan istrinya. Dan itu tak kenal waktu. Aku tidak ingin anakku diperlakukan seperti itu."

Bu Mega berdecak kasar. "Apa bedanya denganmu, Pa? Kamu pun melakukan hal yang sama. Bahkan bertahun-tahun sudah. Kamu juga memelihara perempuan lain di belakangku. Bukankah itu juga diawali dengan pernikahan yang diam-diam. Nah, apa yang terjadi pada Nastasya merupakan karmamu. Anak kesayanganmu merasakan apa yang aku alami sepuluh tahun ini. Makanya bilang sama dia, suruh bersabar. Jangan mempermalukan aku."

Selesai bicara Bu Mega langsung masuk kamar. Meninggalkan Pak Bastian sendirian di perpustakaan sekaligus kantornya.

Kadang ia pun tak habis pikir. Bagaimana bisa hidup bertahan sebagai suami dari perempuan yang paling egois ini.

Pak Bastian menarik napas berat. Apa mereka kurang komunikasi? Terlalu sibuk dengan bisnisnya sendiri-sendiri. Bu Mega dengan perusahaan telekomunikasinya, sedangkan Pak Bastian dalam bidang properti.

Kalau kurang komunikasi, kenapa sampai memiliki tiga orang anak. Bu Mega adalah wanita sempurna secara fisik, yang membuatnya tergila-gila dulu. Bahkan sampai sekarang, tak ada perubahan berarti meski usianya merangkak jauh. Dia tetap perempuan yang cantik. Kecantikan yang diwariskan pada putri bungsu mereka.

Sementara Bu Eri, memiliki ruang tersendiri dalam benaknya. Seorang istri yang totalitas melayaninya sebagai seorang suami.

Jujur, ia mengaku salah karena menduakan Bu Mega. Namun untuk melepaskan wanita seperti Bu Eri, juga tidak mungkin. Dia yang sangat perhatian dan sayang pada Anastasya. Perempuan yang membuatnya menjadi seorang suami sejati.

Lalu, benarkah apa yang dikatakan istrinya tadi. Apa yang terjadi pada Anastasya adalah karmanya?

Netra lelaki itu berembun. Walaupun kondisi hubungannya dengan Bu Mega nyaris tidak pernah bahagia, tapi mereka masih bertahan bersama. Pernah ribut besar ketika baru ketahuan dia menikah lagi. Setelah itu Bu Mega pun diam. Sengaja membiarkan kehidupan mereka seperti ini.

***L***

Anastasya's POV

Hidup harus diteruskan. Aku sangat menikmati kegiatanku sekarang ini. Seminggu tiga kali aku kursus. Di sela waktu yang ada, aku praktek membuat masakan di apartemen. Papa telah membelikan perkakas masak yang lengkap. Jika ada waktu mampir ke apartemen, beliau yang mencicipi masakanku.

Terkadang Mas Fauzi datang dan pulang kutitipi untuk ibu.

"Enak banget, Cantik. Kamu memang berbakat. Bentar lagi jadi koki profesional," puji Bu Eri di telepon.

"Selesai kursus, kamu bisa buka rumah makan."

Setelah ini aku masih ingin melanjutkan kursus per-bakingan. Mencari ilmu sebanyak-banyaknya. Baru buka usaha. Papa sudah bilang akan membiayai semuanya. Aku juga masih punya uang. Tadi pagi waktu ke ATM, kulihat uangku bertambah. Mas Yoshi sudah mentransfer seperti biasanya.

Dia masih memenuhi kewajibannya, karena perceraian kami baru memasuki sidang pertama.

Sudah beberapa hari ini aku tidak pernah ngecek lagi nomer ponsel satunya. Aku takut kecewa, kalau ternyata Mas Yoshi tidak pernah mencoba menghubungiku lagi. Ah, aku masih berharap ternyata. Bodohnya. Ingin berpisah tapi masih ingin diperjuangkan. Padahal beberapa hari sebelumnya, tak ada pesan masuk sama sekali. Sudahlah, semua akan berakhir sampai di sini. Dan aku akan bangkit untuk kehidupanku sendiri.

Mama. Tentu saja beliau makin murka saat tahu proses persidangan terus berlanjut. Mama justru makin marah dan membenci disaat aku benar-benar butuh dukungan keluarga.

Ah, kenapa aku menangis. Sudah terbiasa aku seperti ini, kan? Kalau kedua kakakku masih tinggal di sana, pasti akan turut menyerangku. Sekarang mereka sudah tinggal di rumahnya sendiri-sendiri.

Ma, aku tetap mencintaimu. Walaupun seburuk ini mama memperlakukanku.

Kulihat jam dinding di ruang tamu. Masih pukul dua siang. Aku ingin membuat cumi asam pedas untuk makan malam. Rasanya 'ngiler' banget sejak kemarin. Tapi baru pagi tadi ada cumi di minimarket bawah sana.

Aku ke dapur dan menyiapkan semua bahan masakan. Sebenarnya badanku terasa meriang, tapi kalah dengan rasa ingin makan cumi.

Tidak butuh waktu lama untuk memasak. Karena hanya seporsi saja yang aku olah. Cukup untuk makan diriku sendiri.

Membereskan dapur juga butuh waktu beberapa menit saja. Semua kembali kinclong dan wangi.

Iseng aku membuka akun media sosial yang kubuat dengan nama samaran. Dan ... wow, ini membuatku terkejut. Ternyata postingan cup cake waktu itu mendapatkan respon yang luar biasa. Bahkan follower-ku naik drastis. MasyaAllah. Berbagai komentar positif memenuhi postingan. Banyak yang memuji karena sebagai orang yang belajar secara otodidak, aku bisa membuat karya yang lumayan.

Begini saja sudah sangat membahagiakan.

Aku kembali bangkit dan menuju pantry. Menyiapkan masakanku tadi untuk kufoto. Setelah mengganti wadah yang lebih bagus, aku mengambil gambar dari segala sisi sampai aku merasa puas dan sempurna. Kembali ku-upload foto masakan itu.

Sekarang aku tahu caranya untuk bahagia. Aku tersenyum, lantas masuk kamar. Persiapan untuk mandi, agar aku tidak terlewat untuk melihat sunset di balkon apartemen sore ini. Sesuatu yang sekarang menjadi kebiasaanku sehari-hari.

Ketika tengah wudhu setelah selesai mandi, aku baru ingat. Sejauh ini aku belum absen salat. Kenapa aku tidak menstruasi?

Aku mematung di kamar mandi. Pikiranku seketika ke mana-mana. Kalau tidak salah mungkin sudah dua kali aku tidak haid. Ini tanggal berapa? Aku mengingat-ingat. Rasanya sudah lama aku tidak mendapatkan tamu bulanan. Andai hamil, tapi kenapa perutku masih rata?

Beberapa saat mematung, aku segera keluar kamar mandi. Salat setelah itu turun ke minimarket bawah sana. Membeli alat tes kehamilan.

Hanya itu yang kubeli kemudian kembali ke apartemen. Dengan perasaan berdebar-debar, menjelang Maghrib itu aku melakukan tes mandiri.

Tanganku gemetar saat memegang testpack dengan garis dua yang terlihat sangat jelas. Aku hamil ....

Spontan air mata luruh ke pipi. Antara bahagia dan sedih. Di perutku yang masih rata ini, telah tumbuh janin yang aku tunggu selama ini. Dia hadir di tengah kemelut rumah tangga kedua orang tuanya. Disaat menunggu sidang kedua perceraianku dengan Mas Yoshi.

Beberapa saat dalam perasaan yang campur aduk. Akhirnya rasa bahagia yang dominan. Aku akan menjadi ibu. Dia-lah anak yang akan menjadi temanku nanti. Tak mengapa meski dia akan lahir tanpa kehadiran ayahnya.

Aku akan merawatnya. Papa pasti akan ikut memperhatikan. Dan Bu Eri tidak akan membiarkan aku sendirian menjalani kehamilan ini.

Selesai salat isya, dalam kondisi masih mengenakan mukena, kuketik pesan pada papa.

[Pa, sibuk nggak?] tanyaku karena biasanya kalau malam begini, papa menyelesaikan pekerjaan di ruangan yang menjadi kantornya. Tempat ternyaman di rumah itu bagi papa. Bukan diperaduan dan bercengkerama dengan mama.

[Nggak. Apa apa, Sa?]

[Papa, sedang apa?]

[Membaca buku biografi di perpustakaan.]

Aku diam bermenit-menit hingga papa menelepon. Jika beliau menghubungiku berarti sedang sendirian.

"Halo, Pa."

"Halo. Kamu nggak apa-apa, kan?"

"Ada yang mau aku sampein ke, Papa."

"Apa itu?"

"Aku hamil."

"Sa, kamu serius?"

"Iya, barusan ku-cek. Tapi Papa nggak usah bilang siapa-siapa. Nggak usah ngasih tahu Mas Yoshi. Biarlah perceraianku berjalan sebagaimana mestinya."

"Pada akhirnya Yoshi akan tahu."

"Biarlah tahu sendiri. Papa, mau kan bantuin aku ngerawat anak ini."

"Sa, demi kamu. Nyawa pun papa berikan. Jadilah wanita yang kuat, Nak. Papa akan selalu mendampingimu. Jangan terbesit rasa putus asa. Ada papa yang selalu bersamamu."

"Makasih, Pa," ucapku lirih sambil menangis.

"Papa akan carikan ART untuk menemanimu. Dalam kondisi hamil, kamu harus ada temannya."

"Nanti saja, kalau kehamilanku sudah besar. Papa, nggak perlu khawatir. Aku baik-baik saja sekarang ini."

"Tapi papa akan carikan kamu teman."

"Iya."

"Kapan periksa ke dokter?"

"Aku bisa lakukan itu sendiri, Pa. Nanti setelah pulang kursus, aku pergi ke dokter kandungan."

"Hati-hati. Ada apapun, kabari papa."

"Iya. Makasih banyak, Pa."

"Sama-sama, Nak. Istirahatlah sekarang. Jangan kecapekan."

"Iya. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Jika tidak ada papa, mungkin aku tidak sekuat ini. Papa yang membuatku merasa berharga.

***L***

"Janinnya sehat, berkembang dengan baik. Usianya sudah sembilan minggu." Dokter memberikan keterangan sambil menggerakkan tranduser. Kupandang layar dengan perasaan yang sulit kugambarkan.

Tuhan menitipkan anugerah dikala rumah tanggaku diambang kehancuran. Seperti kisah novel yang pernah kubaca. Tapi untuk kisah ini, aku tidak tahu bagaimana endingnya.

"Jaga baik-baik kandungannya ya, Mbak. Kurangi stres, walaupun sekarang Mbak dan suami tengah menjalani proses perceraian." Dokter setengah baya itu memberikan nasehat karena tadi aku cerita sekilas kenapa aku datang sendirian. Padahal Bu Eri tengah perjalanan menyusulku ke klinik bersalin. Tapi beliau belum sampai lagi.

"Vitaminnya rutin diminum." Dokter memberikan catatan resep yang harus kutebus di apotek klinik.

"Makasih banyak, Dok."

"Sama-sama."

Aku keluar ruang pemeriksaan. Duduk mengantri untuk menebus obat.

Meski aku akan menjalani kehamilan ini sendirian, tapi aku bahagia. Aku punya seseorang yang akan menjadi teman sejati-ku. Tempat menumpahkan kasih sayang.

Semangat dalam dada kian membara. Demi anak ini aku harus bangkit dan meraih cita-citaku.

"Mama akan melahirkan dan menjagamu. Kamu bestie-nya mama. Kuatkan mamamu ini. Kita akan berjuang bersama-sama, Sayang. Kalau perlu, kita pergi jauh dari Surabaya. Hanya kita berdua." Aku tersenyum sambil mengusap perut yang masih rata.

"Cantik." Bu Eri tergesa menghampiriku. Dia datang karena tadi dikasih tahu oleh papa.

"Sudah diperiksa?"

"Iya. Sekarang masih antri obat."

"Maaf, ibu telat."

"Nggak apa-apa, Bu. Aku yang nggak enak jadi ngrepotin ibu."

"Mana pernah ibu punya pikiran seperti itu."

"Ibu Anastasya," panggil petugas apotek.

Bu Eri langsung berdiri. "Biar ibu yang ngambil."

"Ayo, ibu anterin kamu pulang ke apartemen. Nanti sepulang kerja, Fauzi jemput ibu ke sana."

Aku mengangguk. Bahagianya dalam keadaan seperti ini ada yang memperhatikan. Aku bisa merasakan sentuhan hangat dari sosok ibu yang menggenggam tanganku sepanjang perjalanan pulang.

"Yoshi nggak kamu kasih tahu?" tanya Bu Eri setelah kami duduk berdua di balkon sambil minum teh.

"Nggak, Bu. Lebih baik dia tidak tahu sampai aku melahirkan dan pergi dari kota ini."

"Kamu hendak ke mana?" Bu Eri kaget.

"Masih di Jawa Timur juga. Yang pasti keluar dari Surabaya."

"Papa tahu rencanamu?"

Aku menggeleng. "Belum. Ini masih rencanaku saja."

"Membesarkan anak sendirian itu nggak gampang, Cantik. Kamu butuh kami. Jika kamu tetap di Surabaya, ibu bisa bantu kamu jaga baby. Jangan pergi dari sini. Tunjukkan pada mama dan Yoshi kalau kamu bisa sukses tanpa mereka."

"Aku nggak butuh dikagumi mereka, Bu. Aku hanya ingin hidup tenang bersama anakku. Terserah mereka mau berpikiran apa pun tentangku. Aku nggak peduli."

"Tapi anak itu nantinya akan bertanya siapa ayahnya."

"Aku tahu. Saat itu mungkin aku sudah bisa menjawabnya dengan tenang dan bijak."

"Kamu benar-benar nggak ingin Yoshi tahu kamu melahirkan anaknya?"

Aku diam. Aku tidak punya jawaban untuk itu.

"Kata papamu, sidang keduamu ditunda."

"Kenapa ditunda, Bu."

"Sepertinya Yoshi yang ada dibalik penundaan sidang cerai kalian."

Next ....

Selamat membaca.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya (Bukan) Istri Pilihan 9
11
0
Apa dia mendapatkan tekanan dari orang tuanya yang merupakan teman terbaiknya mama, agar tidak bercerai. Ah, mereka tahu apa tentang pernikahan ini. Dari luar tampak baik-baik saja, tapi mereka tidak tahu bagaimana aku menahan ini sekian lama.Kadang lihat pasangan tersenyum pada teman perempuannya saja sudah membuat hati terasa tercubit. Lalu bagaimana denganku. Meski semuanya karena alasan anak. Apa yang mereka lakukan bukan kategori perselingkuhan?Apa aku kurang sabar, kurang pengertian?Okelah, mungkin mereka menganggapku memang seperti itu. Tapi aku tahu sampai mana kekuatanku. Lihatlah tanpa batasan waktu, mereka dengan leluasa saling berkomunikasi. Terus apa aku harus tetap diam, seolah tidak punya harga diri.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan