
Aku sadar akan posisiku, hanya sebagai ibu tiri. Selalu mengalah dalam kondisi apapun. Bahkan saat Mas Yosi harus mendampingi acara sekolahnya Ayunda bersama Mbak Rika, mantan istrinya. Atau acara lain, jika Ayunda menginginkan papanya ikut serta bersama mereka.
Sebenarnya apa sih fungsiku di sini? Usiaku dua puluh lima tahun, apa belum pantas untuk menjadi seorang ibu. Memang selama empat tahun menikah, kami belum dikaruniai buah hati lagi setelah aku sempat keguguran di tahun pertama pernikahan kami.
(Bukan) Istri Pilihan
Part 1 Sepi
"Mas, nggak mau mengajakku bertemu Ayunda?" tanyaku pada lelaki yang baru saja duduk di kursi meja makan.
"Nanti saja kalau Ayun sudah sembuh. Dia sakit. Mas khawatir kalau kamu ikut, dia tambah histeris," jawab Mas Yosi sambil tersenyum.
Histeris? Kenapa dia memilih satu kata yang tak masuk akal ini.
Apa selain bodoh, aku ini terlihat seperti hantu yang menakutkan? Atau seperti ibu tiri yang jahat hingga membuat anak suamiku sampai histeris? Padahal sedikit pun aku belum pernah berkata kasar pada anak tiriku itu. Jangankan berkata kasar, menatapnya dengan tajam saja belum pernah. Aku selalu lembut dan ramah padanya. Walaupun ia tidak menyukaiku.
Aku sadar akan posisiku, hanya sebagai ibu tiri. Selalu mengalah dalam kondisi apapun. Bahkan saat Mas Yosi harus mendampingi acara sekolahnya Ayunda bersama Mbak Rika, mantan istrinya. Atau acara lain, jika Ayunda menginginkan papanya ikut serta bersama mereka.
Sebenarnya apa sih fungsiku di sini? Usiaku dua puluh lima tahun, apa belum pantas untuk menjadi seorang ibu. Memang selama empat tahun menikah, kami belum dikaruniai buah hati lagi setelah aku sempat keguguran di tahun pertama pernikahan kami.
"Maaf, mas pergi dulu, ya. Siang nanti mas sudah pulang," pamitnya sambil mengecup puncak kepala. Menatapku lembut, lalu melangkah pergi.
Aku mengantarnya sampai pintu depan. Setelah dia pergi, rumah terasa sepi. Aku kembali ke belakang untuk mengemas bekas sarapan di meja.
Sambil berbenah, ingat percakapanku dengan Ruli empat tahun yang lalu.
Flashback On ....
"Dia duda loh, sudah kamu pikirkan betul-betul kalau mau nikah sama dia?" tanya Ruli. Sahabat yang paling mengerti diriku. Paling tahu bagaimana aku. Tentang diriku yang kata mamaku sendiri anak paling bodoh. Aku yang paling cantik tapi tidak sepandai kedua kakak perempuanku.
"Sudah," jawabku singkat.
"Kamu juga harus siap dengan anak dan masa lalunya."
Aku mengangguk pelan. Ingat bocah perempuan umur tiga tahun yang di kenalkan oleh Mas Yoshi padaku sebulan yang lalu. Anaknya cantik, putih, dan berhidung mancung. Ada yang bilang dia mirip mamanya. Hmm, pasti cantik wanita itu.
"Kamu baru umur dua puluh satu, Nas. Masih gampang mendapatkan bujangan. Lagian buat apa buru-buru nikah."
Aku tersenyum getir. Kurasa ini pilihan yang tepat, agar aku bisa segera keluar dari rumah mewah bak neraka itu. Rumah orang tuaku sendiri. Namun tidak pernah ada keharmonisan di sana. Dari kedua orang tua yang seharusnya memberikan contoh terbaik untuk anak-anaknya.
Lagian mama sendiri yang menjodohkanku dengan duda anak satu itu. Putra dari teman baiknya.
"Papamu gimana? Sudah setuju?"
"Mungkin setuju."
"Kok mungkin?" Ruli mengernyit heran.
"Papa akan menuruti apapun keputusan mama. Mama nggak punya pilihan untuk hidupku lagi selain menikah. Mau menyuruhku kuliah, otakku udah nggak bisa mikir pelajaran. Kamu pasti tertawa kalau tahu berapa hasil tes intelegensi-ku kalau dihitung dengan skala binet. Aku mau masuk pesantren, malah diketawain oleh mamaku, oleh kedua kakakku. Mau jadi apa aku? Menghafal pelajaran umum saja nggak bisa, bagaimana aku bisa menghafal Al Qur'an. Mempelajari tafsir. Mereka merendahkan sistem pembelajaran di pesantren. Mereka menertawakanku yang pengen jadi guru Taman Kanak-kanak.
"Mereka nggak tahu saja, kalau dari pesantren sudah melahirkan berapa banyak tokoh masyarakat, sarjana, profesor, doktor, yang mumpuni dalam ilmu agama dan ilmu umum. Pesantren memiliki peran penting dalam melahirkan penghafal-penghafal Al Qur'an, melahirkan manusia unggul berakhlak karimah. Dan insan-insan mulia penerus dakwah. Pesantren juga berperan penting untuk mengembangkan pendidikan yang berdampingan dengan ilmu agama."
"Apa bisa dibilang mamamu terlalu kolot?"
Kolot? Yang berarti sosok dengan pemikiran terbelakang. Tidak. Mamaku justru memiliki pemikiran modern. Kepalanya dipenuhi segala pemikiran jauh ke depan. Bagaimana menjadi perempuan yang kiprahnya tidak akan terkalahkan oleh laki-laki. Bahkan dengan papaku sendiri, mama siap bersaing dan tidak mau tunduk.
Terlebih setelah lima tahun lalu, papa mengakui telah memiliki istri lagi. Perempuan berhijab, alim, dan cantik. Penurut juga. Inilah perempuan yang dibutuhkan oleh papa. Bukan wanita penguasa seperti mama. Papa sudah berada di barisan suami-suami takut istri. Namun belakangan ini, terkadang beliau melawan omongan mama yang tak sejalan dengan pemikirannya. Termasuk mengenai rencana mama yang memaksaku untuk kuliah mengambil jurusan ekonomi. Sedangkan kepalaku sudah tidak mampu memikirkan dengan tugas-tugas kuliah yang menumpuk. Angka demi angka beserta rumus yang memecahkan kepala.
"Sorry, kalau kata-kataku menyinggungmu," ralat Ruli karena aku diam.
"Nggak apa-apa. Sebenarnya mamaku bukan kolot. Pemikirannya malah jauh lebih brilian dari papaku. Hanya saja bagi mama, menjadi guru TK dan mondok itu sangat terbelakang. Nggak bisa melesat seperti dirinya yang menjadi wanita karir sukses. Sanggup memimpin sebuah perusahaan. Memiliki banyak relasi dan kenalan. Pengusaha skala internasional pun menjadi partner bisnisnya."
Hening. Ruli menatap awan putih yang berarak di angkasa sore. Dia selalu bilang kalau aku lebih beruntung darinya. Keluarganya tak henti menerima kesusahan yang terus menerus akhibat kemiskinan. Bahkan untuk biaya sekolah SMA saja, berapa kali ia nunggak pembayaran SPP. Berapa kali juga dipanggil ke kantor karena belum membayar uang buku.
"Kamu lebih beruntung. Apapun bisa kamu dapatkan dengan mudah. Nggak seperti aku yang pusing memikirkan pelajaran plus pembayaran SPP yang sudah lewat tanggal. Gimana aku bisa fokus pada pelajaran jika tiap hari deg-degan, takut ditagih uang pembayaran. Belum lagi kalau diejek teman-teman dengan pandangan anehnya karena aku paling telat melunasi," kata Ruli sewaktu kami masih duduk di bangku SMA.
Akan tetapi Ruli memiliki otak yang cerdas. Encer menerima pelajaran. Berbeda jauh denganku yang bebal. Sering Ruli memberikan contekan padaku. Padahal aku nggak pernah meminta imbalan apapun setelah aku membantunya membayar uang sekolah.
Mungkin Ruli kasihan padaku karena selalu salah menjawab dan menjadi bahan ejekan teman dan guru.
Kami menjadi dua sahabat yang selalu bermasalah di sekolah. Ruli dengan keterlambatannya membayar biaya sekolah, sedangkan aku karena kebodohanku.
"Rencanamu apa sekarang?" tanyaku pada gadis yang diam memandang angkasa. Ruli baru saja berhenti kerja di sebuah toko, karena gajinya sangat kecil dan sering terlambat dibayar.
"Belum tahu. Mungkin mencari pekerjaan di pabrik."
"Pabrik mana?"
"Mana saja yang ada lowongan. Aku masih pesen ke teman-teman. Kalau ada lowongan kusuruh ngabarin."
Kami kembali terdiam di balkon kafe.
"Daripada nikah muda, gimana kalau kamu ikut kerja di pabrik saja. Cari pengalaman. Siapa tahu karirmu bagus di sana." Ruli menoleh ke arahku.
Tawaku menyembur. Ruli pun terkekeh. Candaan macam apa ini. Peningkatan apa yang akan kami dapat dengan ijazah SMA. Pasti akan tetap jadi kuli. Staf Production istilah kerennya.
"Mamaku akan mencak-mencak. Aku sudah pernah bilang seperti itu. Mama khawatir kalau ada kenalannya tahu. Mama cemas kalau aku akan menjatuhkan harga dirinya. Daripada kerja di pabrik atau toko, beliau menyuruhku duduk diam di rumah saja. Makan, tidur, dan semua kebutuhan sudah tercukupi."
"Apa Tante Mega nggak lebih malu kalau kamu nikah muda?"
"Enggak. Karena Mas Yoshi seorang pengacara ternama. Dari keluarga terpandang juga. Mama kenal baik dengan keluarga mereka."
"Kamu mencintainya?"
Aku tersenyum. Mungkin memang aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Lelaki yang usianya selisih sepuluh tahun dariku. Dia sangat dewasa dan ngemong. Kurasa persetujuanku tak salah. Menikah dan lepas dari segala aturan mama. Yang memaksakan putri-putrinya perfect di hadapan orang lain.
Ingat sekali bagaimana beliau memuji-mujiku di hadapan teman sosialitanya. Aku yang penurut, kalem, cerdas, dan cantik. Padahal itu hanya untuk menutupi gengsi. Aku tak sepandai yang beliau sebutkan.
Setelah mereka pergi, mama akan masuk kamarku dan mewanti-wanti agar aku jangan sampai mempermalukannya. Semua di atur. Biar aku terlihat sempurna?
Mama memandang kesempurnaan dalam pencapaian prestasi. Baik di bangku akademik atau pekerjaan. Sekali pun kedua kakakku yang begitu glamor itu tak mengenal adanya empati. Tapi bagi mama tetap sempurna. Aku yang bodoh, tapi tahu caranya menghormati, menghargai, dan berempati, tetap dianggap tidak sempurna.
"Kapan kamu di lamar?"
Aku mengangkat bahu. Tidak tahu. Semua ikut aturan mama. Papa hanya sebagai pelengkap status saja di rumah. Sebagai kepala rumah tangga, tapi mama yang mengendalikan semuanya.
"Rul, kita pulang," ajakku mengingat hari sudah sore.
"Ayuk!" Ruli meraih tali tasnya yang usang.
"Kamu jadi mampir ke rumah ibumu?" tanya Ruli di perjalanan. Aku akan mengantarkan gadis itu pulang ke rumahnya.
"Ya. Udah lama aku nggak ke sana."
"Kamu nggak takut diamuk mamamu."
"Udah biasa itu. Aku mampir atau nggak tetap saja dicurigai. Kadang aku nih mikir, apa aku bukan anak kandung mamaku. Kadang dia begitu sengit menatapku dan memakiku."
Ruli tertawa. "Bisanya kamu mikir kayak gitu. Padahal kamu yang mewarisi wajah aristrokat Tante Mega. Malah dua kakakmu nggak ada miripnya sama mamamu. Malah plek ketiplek banget kayak papamu."
Aku tersenyum simpul. Memang kerabat kami bilang, kalau aku persis seperti mama saat masih gadis dulu. Jika foto kami disandingkan, persis anak kembar. Namun kecerdasan mama menurun pada kedua kakakku, sedangkan mama bilang, aku ini bodoh seperti papa.
Sejak aku mulai dekat dengan Tante Eri, istri muda papa, mama makin kasar padaku. Sudah bodoh, malah dekat dengan madunya. Bikin beliau selalu saja punya alasan untuk terus mengatur dan memarahiku.
Jujur saja, Tante Eri memperlakukanku dengan baik, sangat perhatian. Putranya yang bernama Fauzi juga sangat baik. Di sanalah aku menemukan sebuah keluarga. Walaupun aku dulu sempat membencinya. Kenapa dia masuk dalam kehidupan orang tuaku.
Flashback Off ....
Aku diam mematung di dekat jendela dapur. Memperhatikan kupu-kupu yang beterbangan di taman samping rumah. Hinggap dari satu bunga ke bunga lainnya.
Apa begitu lelaki yang berbagi hati? Seperti papaku dengan dua istri. Dan seperti Mas Yoshi. Ah, apa suamiku seperti itu? Tidak, kan?
Dia hanya menjalin hubungan baik dengan mantan istrinya, demi anak mereka. Mbak Mayang juga baik dan ramah padaku. Dia wanita karir yang sukses. Kadang aku sangat cemburu dalam diam.
Namun Ayunda sangat judes padaku. Dia membenciku. Padahal ibunya sangat baik. Tidak mungkin Mbak Mayang mengajari anaknya untuk membenciku 'kan?
Lamunanku buyar saat ponsel di meja ruang keluarga berdering. Tergesa aku menghampiri. Spontan senyumku terbit saat tahu siapa yang menelpon.
"Assalamu'alaikum, Rul," sapaku antusias.
"Wa'alaikumsalam, Nas. Lagi ngapain kamu?"
"Lagi beres-beres dapur."
"Aku ganggu, enggak?"
"Enggak. Ada apa?"
"Aku cuman mau ngomong sebentar saja. Semoga nggak ganggu kebersamaanmu dengan Mas Yoshi."
"Dia nggak di rumah?"
"Hari Sabtu apa masuk kantor?"
"Enggak. Dia lagi nyambangi anaknya yang sakit."
"Kamu nggak diajak?"
"Enggak."
"Dih, kok masih kayak gitu sih, Nas?"
"Ssttt, nggak apa-apa. Menikah dengan duda, aku harus berdamai dengan masa lalunya, kan."
"Tapi nggak gitu juga kali."
"Eh, kamu ada apa nelepon aku?" tanyaku cepat. Aku malas membahas tentang masalah itu.
"Besok ulang tahun kedua anakku. Kamu datang ya. Aku ngadain syukuran kecil-kecilan di rumah."
"Ashiaapp, aku pasti ke sana."
"Tapi aku nggak ganggu acara kalian kan?"
"Enggak. Aku dan Mas Yoshi nggak ada rencana mau ke luar."
"Oke. Datanglah jam sepuluh, ya. Aku tunggu.''
"Sipp."
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Ruli yang menikah setelahku, anaknya sudah berumur dua tahun. Andai dulu aku nggak keguguran, sekarang anakku sudah berumur tiga tahun.
Dulu Ruli yang mengatakan aku selalu beruntung karena tidak kekurangan uang, justru sekarang dia yang sangat bahagia dengan keluarga kecilnya. Meski sang suami hanya kuli bangunan. Tapi mereka bisa melengkapi satu sama lain. Sedangkan aku? Entahlah.
Mau sampai kapan begini. Mas Yoshi bilang, sabar, nanti Ayunda pasti bisa berubah. Padahal sudah empat tahun dan gadis kecil itu tetap tidak menyukaiku.
Di setiap kesedihan, aku selalu ingat Ibu Utari. Bukan Mama Mega, ibu kandungku sendiri. Mama bukannya memberikan simpati, tapi selalu marah jika aku bercerita.
"Kamu kurang sabar. Nggak usah ngeluh. Jadi perempuan itu yang tangguh. Kamu belajarlah pada perempuan simpanan papamu itu. Bagaimana sabarnya dia sampai bisa meluluhkan anak bodoh sepertimu. Hanya dua kakakmu yang nggak mungkin luluh karena mereka cerdas."
Tidak ada kalimat yang tak menyakitkan keluar dari bibir mama.
Next ....
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
