
“Damar anak tunggal, saya tidak ingin memiliki menantu penyakitan sepertimu, apalagi penyakit epilepsi yang tujuh turunan akan memiliki penyakit itu. Saya mau Damar memiliki pasangan yang best of the best bukan sepertimu, penyakit kutukan dan memalukan!” hina Bu Haryanti yang sungguh membuat Kania semakin merasakan sakit di hati dan kupingnya pun terasa panas.
💕 Happy reading 💕
“Bu ... hanya Kania yang Damar cintai, penyemangat Damar menempuh pendidikan spesialis Neurologi karena Kania. Damar mencintai segala kekurangannya, itu bukanlah penyakit keturunan, Bu. Epilepsi yang diidap Kania bukan karena faktor genetik.”
Damar kembali berusaha meyakinkan ibunya, berharap tak ada perjodohan yang sudah pasti bertolak belakang dengan hati.
“Apakah kamu bisa menjamin? Bagaimana kalau nanti tujuh turunan kamu punya anak ayan semua?! Memang sih ibu tidak berpendidikan seperti ayahmu atau kamu yang sekarang memiliki gelar di depan dan belakang nama, tapi ibu pengusaha yang banyak pengalaman. Ayan itu menurun! Ingat Damar menurun!” ibunya tetap pada pendirian, nafsu makan Damar entah menguap kemana, ia memasok kesabaran mengahadapi sifat keras kepala ibunya tanpa menjadi anak durhaka ketika menentang keinginan beliau.
“Masih pagi, Damar. Biarkan Ayah makan dengan tenang,” kata Prof. Herdi yang ikut bergabung ke meja makan dan mendudukkan tubuh di kursi dengan santai dan sudah berpakaian rapi.
“Biarkan saja, Yah. Pokoknya hari ini Damar harus ikut dengan Ibu berkenalan dengan wanita yang lebih sempurna dari Kania si wanita penyakitan itu,” tegas ibunya ketus.
Damar mengembuskan napas kasar dengan pikiran berkecamuk, memikirkan bagaimana cara meluluhkan hati wanita yang sudah melahirkannya itu agar cintanya tetap bermuara pada wanita yang selalu ia sebut dalam doa.
**
“Benar masih mau ke kafe? Enggak istirahat dulu?” tanya Alika setelah mengantar Kania ke rumah sakit setelah pemeriksaan fisik dengan Dokter Neurologi tempat di mana Alika bertugas.
“Kakak kan dengar dokter hanya mengatakan untuk meminimalisir penyakitku kambuh, sementara menjalani diet ketogenik dengan pola makan rendah karbohidrat dan tinggi lemak, selebihnya tak perlu ada yang dikhawatirkan, Kak.” Kania meyakinkan kakak iparnya agar tidak terlalu mengkhawatirkan dirinya secara berlebihan.
Dengan berat hati Alika membiarkan adik iparnya itu beraktivitas seperti biasa, Kania memutuskan mengelola kafe yang memiliki cabang di seluruh Indonesia. Kafe yang awalnya dimiliki keluarga Alika kini jatuh ke tangan keluarga Aditama, Kania serius dalam bisnis keluarga, memilih menjadi pengusaha bukan pekerja.
“Baiklah, kalau ada apa-apa hubungi Kakak. Kalau begitu Kakak langsung jalan ya, nanti pulangnya di jemput Abang atau Ajudan?” tanya Alika yang tak membiarkan Kania membiarkan mengendarai mobil sendiri.
“Nanti Kania sewa taksi online saja, Kak.”
“Baik kalau begitu, Ajudan yang akan menjemput nanti. Tidak dengan naik taksi online, kamu tahu kan anak siapa? Bisa murka Ayah sama Kakak meninggalkan kamu sendiri,” canda Alika yang ditanggapi tawa renyah Kania.
“Siap, Kak. Terima kasih Ajudan,” kata Kania pada Alika dan Ajudan yang senantiasa mengawal mereka.
“Siap, Mbak.”
Mobil yang ditumpangi Alika pun meninggalkan parkiran kafe Kania, ia melangkah masuk ke dalam kafe dengan senyum mengembang menyembunyikan kesedihan rusaknya acara pertunangan tadi malam.
Langkah Kania terhenti, kala melihat wanita seumuran ibunya sedang terduduk di salah satu meja kafe dengan ditemani segelas jus di depannya.
“Mbak, Ibu itu nungguin Mbak dari siang,” kata salah satu karyawan kafe menghampiri Kania.
“Oh iya, terima kasih.”
Memantapkan hati Kania melangkah ke arah meja yang diduduki wanita yang ia kenali dengan baik, sebelumnya hubungan mereka sangatlah hangat. Bagi Kania, Bu Haryanti adalah sosok yang begitu penyayang dengan sikap hangat yang selalu beliau tunjukkan.
“Assalamu’alaikum, Bu,” sapa Kania ramah dengan senyuman tersungging di bibir tipisnya.
“Wa’alaikumsalam,” jawabnya ketus, sikap hangatnya pun berganti dengan wajah sinis yang membuat jantung Kania dag-dig-dug, pertama kali menghadapi ibunya Damar dengan ekspresi seperti ini.
Tangan Kania terulur, bermaksud mencium tangan Bu Haryanti dengan takzim, tapi tak mendapatkan sambutan tangan yang sudah terlihat keriput itu, akhirnya Kania menarik kembali tangan yang sudah sempat ia ulurkan.
Menyedihkan!
“Saya datang ke sini untuk meminta langsung pada kamu agar menjauhi Damar, Kania,” tegas Bu Haryanti dengan ekspresi yang tak bersahabat memandang Kania.
“Maksud ibu?”
“Ya jauhi anak saya, masa begitu saja kamu tak mengerti!”
“Tapi kami sudah memiliki komitmen, Bu. Apakah—"
“Omong kosong dengan komitmen,” potong Bu Haryanti memutuskan ucapan Kania dan tidak ingin mendengar pembelaan apa pun dari Kania yang sekarang hanya mantan calon menantu untuk ibunya Damar.
“Bu—"
“Cukup saya yang berbicara! Saya tidak mau mendengar apa pun ucapan darimu, Kania. Dengarkan baik-baik!” ucapnya penuh penekanan memotong ucapan Kania untuk kedua kali.
“Kalau saja sejak awal mengetahui penyakit epilepsi-mu itu sejak awal, saya tidak akan pernah mau menganggap kamu sebagai calon menantu.”
Deg!
Hati Kania terasa berdenyut nyeri mendengar ucapan Bu Haryanti.
“Damar anak tunggal, saya tidak ingin memiliki menantu penyakitan sepertimu, apalagi penyakit epilepsi yang tujuh turunan akan memiliki penyakit itu. Saya mau Damar memiliki pasangan yang best of the best bukan sepertimu, penyakit kutukan dan memalukan!” hina Bu Haryanti yang sungguh membuat Kania semakin merasakan sakit di hati dan kupingnya pun terasa panas.
“Saya akan menjodohkan Damar dengan wanita lain, dan perlu saya tekankan bukan kamu yang menjadi jodoh Damar, jadi jangan berharap banyak, paham?!”
Mata Kania sudah berkaca-kaca mendengar apa yang dikatakan calon ibu mertuanya, bukan hanya penghinaan tetapi fakta bahwa Bu Haryanti sudah mempersiapkan wanita lain untuk Damar—pria yang selama ini menggenggam hatinya.
“Ibu!”
Suara seseorang menyapa, menyentak Bu Haryanti dengan kedatangan Damar yang entah dari siapa mengetahui kalau ia menemui kekasih hati sang anak. Kania menoleh, mereka saling bersitatap, dengan cepat Kania mengalihkan wajah ketika air mata tanpa permisi berhasil lolos membasahi pipi.
“Kania,” gumam Damar ketika menyadari wanita yang ia kenal periang meneteskan air mata.
~Bersambung~
Tap Love dan komentar 😍
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
