Bumijanna - 50

163
17
Deskripsi

Bab 50

Janna terpukul bukan main ketika Abati kembali mendapat serangan stroke yang dipicu oleh hipertensi membuat pecahnya pembuluh darah otak. Abati langsung dibawa ke rumah sakit perumahan dan menjalani operasi hari itu juga.

"Pada akhirnya Janna tetap nyakitin Aba sama Mama. Apalagi ... pengobatan yang dijalani Aba bertahun-tahun berakhir percuma. Aba pasti sedih rencananya buat ngajar lagi enggak bisa. Aba harus terbatas lagi!"

Tangis Janna pecah di depan ruang ICU rumah sakit yang masih berada satu komplek tempat tinggalnya.

"Janna harusnya nggak ambil pilihan terlalu cepat. Janna harusnya lebih hati-hati buat percaya ke orang. Maafin Janna, Ma. Maafin, Janna ...."

Mama yang juga sedang tersedu itu memeluk putrinya. "Kita semua nggak ada yang tahu, Nak. Kami menganggap Bumi juga baik dan sayang padamu. Nggak taunya ...."

Janna semakin mempererat pelukan saat Mama tidak bisa melanjutkan kalimatnya. "Maafin Janna, Ma. Maafin, Janna."

"Sudahlah, Nak. Mau disesali bagaimana nggak akan mengembalikan keadaan. Yang terpenting, Aba masih selamat. Semoga Aba bisa melewati masa kritis ini dan kembali ke rumah bersama kita."

Dalam sesal yang menumpuk, setidaknya ada satu yang bisa membuatnya tetap kuat. Abati masih tertolong dan dengan cepat mendapat tindakan tenaga medis. Memperkecil kemungkinan buruk yang terjadi. Sebab, tidak sedikit pasien meninggal ketika mendapat serangan stroke untuk kedua kalinya. Namun kali ini, Allah masih melindungi Abati. InsyaAllah.

"Siapa yang kasih tahu Aba dan Mama tentang ini?" Janna mengernyit penasaran.

"Ibu dari laki-laki yang kamu penjarakan."

"Tante Gista!" cetus Janna marah. Ia mengepalkan tangan menahan emosi yang membakar tubuhnya. "Kenapa dia setega itu sama Janna! Dia nggak tahu apa yang dia lakukan bisa ngilangin nyawa orang!"

"Sama sepertimu yang ingin menyelamatkan orang tersayangmu. Aku pun sedang melakukan hal yang sama."

Janna dan Mama menoleh pada sumber suara. Seorang wanita paruh baya dengan casual dress polos berwarna milo sedang berjalan menghampirinya. Ketukan heels hitam yang senada dengan tas yang dijinjing itu memenuhi lorong ruang ICU yang sepi.

Tante Gista berhenti di depan Janna dan Mama, kemudian berkata, "Jangan salahkan aku. Aku hanya ingin melindungi putraku dari keegoisanmu, Janna."

Gigi Janna mengerat mendengar itu. Tangan yang mengepal sampai gemetar menahan amarah.

"Putraku selalu disalahkan. Dijadikan kambing hitam oleh ayah kandungnya sendiri demi melindungi kesalahan anak kesayangannya. Ibu mana yang tidak sakit melihat putranya difitnah seperti itu. Saat semua sudah terungkap, kamu malah memasukkannya ke penjara!" sentak Tante Gista tidak terlalu keras.

"Beruntung aku melihat dan mendengar percakapan Mas Atma dan Bumi sepulang dari rumah kalian hari itu. Selama ini kami disodorkan sepenggal cctv palsu. Bodohnya aku mempercayai itu dan menganggap putraku sangat buruk. Tapi suamiku nggak akan biarkan aku menjadikan cctv yang sebenarnya sebagai bukti pada polisi. Aku hanya bisa berharap padamu, tapi kamu sekeji itu meski sudah tahu kebenarannya."

"Saya baru tahu kebenarannya dua hari yang lalu dan kemarin saya sudah mengutus pengacara saya untuk mencabut laporan! Kenapa Tante nggak mau nunggu dan bikin Aba saya kaya gini!" seru Janna tidak terima.

"Itu salahmu sendiri, Janna. Kamu sudah tahu tapi kamu menolak kenyataan karena cintamu ke Bumi! Jadi, jika ada yang harus disalahkan dari apa yang terjadi dengan keluargamu, itu adalah kamu sendiri, Janna."

"Tolong jaga omongan Anda, Bu Gista!" seru Mama berdiri menantang wanita di depannya. "Anda tidak pantas melabeli putri saya seperti ini! Jangan jadikan putri saya tempat pelampiasan kemarahan Anda. Kami pun tidak akan menyalahkan Anda atas kejadian ini. Tolong, kendalikan diri Anda dan pergi saja dari sini. Putri saya sudah mencabut laporannya atas putra Anda."

Tante Gista memicing pada Janna. "Kamu yakin sudah melakukannya?"

"Anda bisa datangi kantor polisi dan menanyakan langsung!" jawab Janna ketus.

"Kamu tidak punya alasan membenci putraku setelah tahu kebenarannya. Dia benar-benar mencintaimu. Kamu yang jadi motivasinya untuk sembuh dari obat-obatan itu."

"Jangan berharap lebih dari saya, Tante," sahut Janna segera.

"Ya. Aku tidak akan berharap padamu lagi."

"Terima kasih atas pengertiannya."

"Jangan selalu minta dimengerti hanya karena merasa punya banyak luka dan mengalami banyak ketidakadilan. Kamu bukan satu-satunya orang yang menderita di dunia ini, Janna."

Kalimat Tante Gista barusan memantik amarah Janna. Ia bisa saja melayangkan protes tetapi wanita tersebut langsung beranjak pergi tanpa permisi.

"Sudah ... jangan diperpanjang." Mama mengingatkan dan mengajak putrinya untuk duduk. "Terima saja. Setiap ibu pasti akan membela anaknya mati-matian, Nak. Mama pun akan melakukan hal yang sama. Mama nggak akan biarkan kamu dilukai sama siapapun."

"Ma ...." Janna mengerti maksud ucapan Mama.

"Biarkan ... terima aja apa yang dia katakan."

"Nggak bisa, Ma. Dia merendahkan Janna dan mempertaruhkan nyawa Aba. Dan dia pergi tanpa kata maaf!"

Mama memberi anggukan sambil mengusap-usap punggung putrinya. "Sabar, Nak. Kita nggak pernah tahu kondisi orang lain. Kita jadikan semua ini pelajaran saja. Jangan memperpanjang urusan. Kita fokus ke Aba dulu. Setelah itu, kita pergi dari kehidupan orang-orang itu."

Memang Janna marah dengan keadaan ini. Ia pun setuju dengan ucapan Mama. Namun, dalam benak ada yang sedang membuatnya ragu dengan persetujuan yang dibuatnya barusan.

Janna beristighfar beberapa kali sampai mampu meredam amarah yang bergejolak di dada. Ia memejamkan mata sejenak kemudian bersendar dan mengatur napas. Berharap keadaan ini segera berakhir. Ia benar-benar tertekan dengan keadaan ini.

"Sebaiknya kamu lihat kondisi suami kamu dulu. Dia pasti sendirian di ruangannya."

"Ma!" Janna menolek protes.

Mama mengerjap pelan sambil menepuk tangan Janna. "Kamu masih istrinya, Nak. Meskipun tidak lama, ada baiknya kamu tahu kondisinya sekarang. Aba memukul kepalanya, Mama takut terjadi apa-apa dan keluarganya tidak terima."

Janna mendengkus kasar dan hampir menangis dengan keadaan ini. Ia sudah membuat kedua orang tuanya berhubungan dengan orang-orang yang mengerikan.

***
 

Janna masih ingat betul bagaimana Bumi mencengkeram tangannya meski pukulan dari tongkat berbahan besi itu menghujani tubuhnya. Pria itu bersikeras tidak mau melepaskan pengangannya meski tubuh sudah ambruk sampai akhirnya tangan itu merenggang juga. Sebab, Bumi juga tidak sadarkan diri berselang beberapa detik dari Abati pingsan.

Dua ambulans datang dan membawa pasien ke rumah sakit perumahan. Janna melepaskan Bumi begitu saja pada pihak rumah sakit karena fokusnya pada Abati. Mama yang sempat mengurus Bumi dan tahu dimana pria tersebut mendapat perawatan.

Janna sudah tidak mau tahu, tetapi pada akhirnya ia masih harus kembali pada kodrat sebagai seorang istri. Hanya saja, ini sudah bukan tentang kepedulian, melainkan kekhawatiran agar luka dari pria itu tidak menyebabkan hal-hal buruk pada keluarga Janna.

"Eh, silakan masuk, Bu. Pasien sudah sadar dari tadi sore dan alhamdulillah tidak ada luka serius," ujar seorang dokter yang baru keluar bersama seorang perawat dari salah satu brankar ruang IGD. "Luka di kepala pasien mendapat tiga jahitan. Di bagian punggung terdapat banyak memar, tetapi tidak ada luka serius."

"Terima kasih, Dokter."

Dokter menatap Janna sedikit keheranan. "Infusnya baru kami lepas dan kondisi pasien sudah baik. Bisa langsung pulang jika mau."

"Terima kasih, Dokter," jawab Janna singkat kemudian kedua orang itu berlalu.

Ia masuk ke ruang kecil bersekat gorden pada sisi-sisinya. Ada Bumi yang baru turun dari brankar. Tidak ada memar baru di wajah. Hanya pada pagian kepala di sisi kiri, terlihat kain kasa yang tertutup rambut.

"Gimana kondisi, Aba?" tanya pria tersebut.

"Kritis." Jawaban singkat Janna berbalas penyesalan di raut wajah Bumi.

Janna mengabaikannya dan kemudian pergi keluar lebih dulu. Ia tahu jika Bumi mengikutinya dari langkah kaki pria tersebut. Janna menyelesaikan proses administrasi, Bumi ingin menyelesaikan sendiri tetapi dicegah. Ia sengaja menggunakan uang pribadi dan bukan dari Bumi.

"Kamu bisa pakai debbit card dariku," ujar Bumi tetapi Janna abaikan.

Proses administrasi tidak terlalu lama dan Janna menyelesaikan. Keluar dari IGD, Janna menepi di teras dan menunggu Bumi menghampirinya. Rumah sakit itu terbilang sepi karena sebagian besar pasiennya adalah penghuni perumahan.

"Aku mau lihat kondisi Aba dulu sebelum pulang."

"Kamu belum puas menghancurkan keluargaku?" sela Janna. "Mau sampai mana titik pencapaianmu, Mas?"

Pria itu tidak menanggapi dan menerima begitu saja perlakuan Janna.

"Satu-satunya yang bisa kupercaya saat ini cuma Aba dan Mama. Tolong, jangan buat mereka pergi dariku."

"Harusnya masih ada aku."

Janna berdecis dan melirik sinis pria di depannya. "Ya. 'Harusnya'. Tapi kenyataannya, enggak."

"Ya ... aku mewajarkanmu jika berpikir seperti itu."

"Aku yakin kamu kuat untuk pulang sendiri. Hati-hati, Mas——"

"Janna!" panggil Bumi membuat Janna urung melangkah pergi. "Sekalipun Aba yang meminta, aku nggak akan pernah mengucap talaq untukmu."

Janna mendengkus kesal dan beranjak pergi tetapi dihadang oleh Bumi. Pria manatap melas agar diberi kesempatan bicara. Janna menggeleng pelan. Bibirnya bergetar Manahan desakan air mata yang ingin menerobos dinding pertahanannya.

"Ini semua salahku."

Janna mengangguk. Membenarkan ucapan yang keluar dari mulut Bumi. Air matanya kini tumpah dan ia menunduk untuk menyembunyikannya.

"Aku minta maaf, Janna. Aku minta maaf."

"Apa kesalahan yang sudah kulakukan selama ini? Kenapa Allah menegurku sampai begini hebatnya? Sehina apa aku sampai orang-orang dengan sangat mudah melukaiku!" rancu Janna di antara isakan tangis.

"Na ...."

"Kenapa orang lain begitu mudah menyakitiku? Menempatkanku dalam sebuah takut dan kesendirian. Kenapa?"

Bumi hendak mendekat dan Janna langsung mundur beberapa langkah sambil menggeleng kencang.

"Kamu yang membawaku sampai ke titik ini, Mas. Kamu yang menyeretku dan keluargaku dalam keadaan seperti ini." Janna menjeda kalimatnya karena dada begitu sangat sesah dan penuh oleh amarah.

"Aku sudah berusaha sangat keras memperbaiki duniaku. Tertatih aku membangunnya dengan rasa takut. Kubikin semegah dan sekuat mungkin untuk menutupi lukaku. Lalu kamu datang, memberi keyakinan bahwa kamu akan melindungiku. Tidak membiarkan orang lain menyakitiku. Tapi pada akhirnya kamu yang menyakitiku. Kamu yang mencabik-cabik hatiku. Kamu yang menghancurkanku!" teriak Janna murka.

"Harusnya aku nggak biarin kamu masuk ke duniaku. Harusnya aku nggak termakan kata-kata manismu. Harusnya aku ... harusnya ... harusnya aku nggak terima lamaran kamu, Mas. Harusnya ...." Janna tidak dapat melanjutkan kalimatnya. Ia hanya menatap pilu pria di depannya sana.

"Kamu menyesal sudah menolak lamaran Hasby?" Bumi memperjelas apa yang akan Janna katakan.

Matanya terpejam. "Apa boleh aku berkata seperti itu?" tanya Janna dan memukul dadanya marah. "Bahkan saat seperti ini aku masih memikirkan perasaanmu? Aku masih takut menyakitimu! Tapi kenapa kamu tega menyakitiku! Aku benci dengan perasaan ini! Aku benci diriku yang bingung harus seperti apa aku bersikap padamu! Aku benciiiii!"

Tubuh Janna jatuh di lantai. Ia menangis dan meraung meluapkan amarahnya. Semuanya lebur saat ini. Tangisnya yang tertahan tumpah saat ini juga. Tidak memedulikan orang di sekitar, ia hanya ingin meluapkan rasa sakit yang teramat sangat ini.

Ketika ia mulai merasa lega, ia mengusap air mata dan melepas kacamata yang sudah berembun juga basah. Dengan terisak ia berdiri, menatap pria yang masih berada beberapa langkah di depannya.

"Bedoalah untuk kesembuhan Aba agar suatu hari nanti aku bisa maafin kamu, Mas," ucap Janna sembari pergi.

***
 

Matahari baru mengintip di balik peraduan dan Janna baru tiba di rumah. Mama sempat keluar dari ruang ICU untuk salat subuh dan bertemu Janna. Ia disuruh beristirahat di rumah. Sebab hanya boleh satu orang yang menjaga pasien.

Sampai rumah bingung harus melakukan apa. Diam hanya akan membuat kepalanya berisik. Namun, beraktivitas di dalam rumah malah tidak membuat jadi lebih baik. Akhirnya Janna memaksakan diri untuk istirahat di kamar. Saat itulah Janna mendengar sebuah rintihan dari kamar sebelah.

Antara takut dan penasaran, Janna membuka pintu kamar sebelah dan ternyata ada Bumi di sana. Sedang menggigil dengan merintih pelan.

"Mas!"

Janna menyalakan lampu dan menghampiri pria yang tidur dengan mencengkeram selimut. Awalnya ragu untuk menyentuh, tetapi desakan dalam mampu membuatnya menepuk pipi Bumi yang ternyata panas.

"Mas ... Mas ...." Ia coba menyadarkan pria tersebut tetapi tidak bisa.

Panik pun melanda tetapi tetap mencoba kendalikan diri. Janna melihat obat dari rumah sakit semalam. Ternyata masih utuh. Tidak ada yang berkurang satu pun.

Janna pergi memakai cadar dan mengambil dompet lalu berlari keluar rumah menuju ke tukang bubur ayam di taman perumahan. Saking terburu-buru, ia sampai tersungkur di paving.

Mengabaikan rasa sakit pada lutut dan telapak tangan, Janna segera berdiri kemudian kembali berlari. Baru beberapa langkah, ia berhenti karena sadar akan sesuatu.

"Kamu ngapain, sih, Na!" seru Janna marah.

Ia menatap bantalan telapak tangannya yang tergores paving dan berdarah, membuatnya semakin kesal hingga menitikan air mata.

"Kamu nggak harus sepanik ini karena lihat dia sakit. Dia udah nyakitin kamu, Na! Kamu harus sadar!"

Janna memutar badan dan kembali. Inginnya seperti itu. Namun, hanya berjalan selangkah kemudian kembali berlari ke tujuan awal. Sakit melakukan hal semacam ini, tetapi tidak bisa mengabaikan hati nurani.

Hablum minannas ... hablum minannas ... hablum minannas.

Itulah yang Janna kecamkan selama perjalanan dengan membawa satu kotak bubur di tangannya.

Sampai rumah, ia membuat teh hangat kemudian membawa ke kamar Bumi. Janna pikir, semalam pria itu akan pulang ke rumahnya sendiri. Ternyata, malah ke rumah Janna.

"Mas ... Mas ... bangun, Mas. Minum teh hangat dulu."

Pria itu tidak memberi respon apapun selain menggigil. Janna tidak punya pilihan selain menyuapi. Ia mengambil sendok kemudian kembali dan meninggikan bantal Bumi. Sedikit demi sedikit Janna memasukkan teh hangat ke dalam mulut Bumi.

Sampai hampir habis segelas, Janna sudah mulai melihat perubahan Bumi yang mulai tenang. Namun ia tidak bisa langsung menyuapi bubur karena sepertinya, saat ini pria itu sedang tidur. Janna menunggu Bumi di meja makan. Namun malah ketiduran di sana.

Ketika bangun, ia melihat bantalan telapak tangan yang tergores aspal tadi sudah dibalut dua plester. Ia juga mencium aroma gurih yang menggoda perut kosongnya. Saat ia menegakkan badan, sebuah selimut jatuh di punggung.

"Kenapa nggak tidur di kamar aja?" tanya Bumi.

Janna terpaku melihat Bumi yang berjalan ke arahnya dengan membawa sebuah panci keramik berukuran kecil. Ia meletakkan pada tatakan yang terbuat dari anyaman rotan kemudian pergi mengambil dua piring lauk dan sepiring nasi lengkap dengan sendoknya.

"Makasih, udah belikan aku bubur," ujar pria yang wajahnya pucat itu sambil melipat selimut yang ada di balik punggung Janna. "Udah aku makan dan aku udah minum obat."

"Hm." Janna menjawab singkat.

"Udah agak siang, tapi kamu harus tetap sarapan," ujar Bumi sambil duduk di depan Janna.

"Kapan kamu akan pergi dari sini, Mas?" tanya Janna mengabaikan hidangan di depannya.

"Nggak akan," jawab pria itu tak acuh.

"Aku akan ikut kedua orang tuaku ke Jakarta."

"Kalau begitu, siapkan dirimu untuk menerima laknat dari Allah dan malaikatNya."

Janna mengeratkan giginya menahan geram.

"Bukan seperti ini 'kan cara menyelesaikannya?" tanya Bumi.

"Jadi, seperti apa yang baik menurutmu?" Janna menantang.

"Selesaikan berdua, tanpa melibatkan orang lain."

"Keputusanku untuk ikut kedua orang tuaku adalah keinginanku sendiri, Mas. Saat kamu menahanku, kamu sedang berusaha membunuhku perlahan."

"Aku mengizinkanmu untuk menenangkan diri, tapi aku nggak kasih izin kamu buat pergi."

"Itu cuma buang-buang waktu."

"Nggak ada yang buang-buang waktu. Kita saling mencintai tapi—"

"Aku yakin, yang tersiksa saat ini bukan aku saja. Tapi kamu juga. Kamu pun terluka setiap kali melihatku. Kamu pasti membenci dirimu sendiri di setiap detiknya. Kebersamaan kita bukan hanya akan menyakiti satu sama lain, tapi juga menyiksa diri sendiri. Allah nggak suka melihat hambaNya menzalimi diri sendiri."

Hening setelah Janna mempertegas kemungkinan yang terjadi jika mereka tetap memaksa bersama.

Bumi menggeleng pelan setelah diam beberapa saat. "Haram hukumku mengucap kata talaq, Janna."

Janna memejamkan mata dan menunduk. Meski sakit dengan setiap kata yang diucap dan didengar, air mata sudah tidak lagi mewakili rasa. Usai menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan, ia kembali membuka mata.

"Aku penasaran kenapa Pak Atmadja menunjukkan cctv yang asli padamu, Mas," tanya Janna. "Apa karena sengaja ingin membuat kamu merasa bersalah sudah menikahiku?"

"Kenapa kamu harus membahas sesuatu yang hanya akan memperkeruh, Na?"

"Dia berharap perceraian dari pernikahan yang tidak menguntungkannya?" Janna memastikan.

Bumi hanya diam menatap istrinya.

"Baiklah ... kita lakukan saja, Mas. Sepertinya, ini tidak akan berhenti di sini karena dia akan ikut campur dalam rumah tangga kita. Dan bagian yang paling menakutkan ketika orang tuaku ikut terlibat. Aku nggak mau hal buruk terjadi lebih parah dari ini."

Janna menatap Bumi dengan sorot mata yang mengiba. Ia tarik tangan pria itu dan menggenggamnya, kemudian berkata, "Mari berpisah .... "

 

 


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Bumijanna - 51
184
16
Bab 51
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan