
Tapi keraguan yang sama tidak tergambar di mata Farel sedikitpun meskipun Chia memberi mereka jarak. Bahkan tidak butuh usaha besar bagi Farel untuk menyatukan mereka dalam sebuah ciuman. Saat bibir mereka masih terpaut, Farel mendorong pelan tubuh Chia menuju sofa. Begitu mereka mencapai sofa, Chia memutus ciuman keduanya.
"Rel. Bentar lagi bel bunyi," ujar Chia sambil menjauhkan tubuhnya meskipun hanya dalam rentang yang sedikit dengan kembali memalingkan wajah. Ada hal yang tidak bisa dijelaskan...
04. Selapis harapan Dion
***
Hera dan Gea yang sejak tadi menemani, pamit meninggalkan Chia dengan Farel karena ingin memberi mereka waktu berdua setelah melihat isyarat mata dari Farel.
Chia hanya bisa menghela napas karena tidak bisa menahan dua orang itu untuk tidak meninggalkannya berdua dengan Farel. Selama seminggu ini Farel memang memberinya waktu dengan tidak mengganggu Chia sama sekali. Tapi Chia merasa ia masih butuh jeda untuk memikirkan semuanya. Satu minggu rasanya belum cukup untuk menata pikirannya yang kusut.
Farel tersenyum ketika tidak ada lagi yang akan mengganggu waktunya dengan Chia. Ia mengecup singkat bibir Chia sebelum mengambil duduk di samping cewek itu.
"Chi, kamu kenapa sayang?" tanya Farel lembut begitu menyadari Chia sedikit berpaling saat ciuman tadi.
Chia menarik napas panjang. Matanya menatap Farel dengan ragu sebelum kembali menatap rerumputan yang ia injak. Chia menggenggam tangannya sendiri penuh kegugupan yang pekat. Hari ini akan terasa berat, namun jika Chia berhasil mengatasinya, mungkin keadaan hatinya di hari-hari berikut bisa jauh lebih baik.
Anggap saja ini hanya sebuah tanjakan kecil yang harus ia lewati dengan cepat agar tidak mengulur waktu lebih lama.
"Setelah aku pikir-pikir ... aku tetap mau putus ..." lirih Chia akhirnya.
Bagi Chia ini adalah keputusan berat. Jika hubungan pacaran mereka hanya seperti anak SMA biasa, mungkin Chia tidak akan merasa terlalu terbebani memutuskan hubungan ini. Namun hubungan dewasa yang telah sering mereka lakukan menjadi salah satu alasan kenapa Chia susah untuk mengakhiri semua ini.
Tidak mudah menyudahi hubungan yang sudah sedekat ini. Keadaannya benar-benar berbeda karena hubungannya dengan Farel bukan seperti mantan-mantannya yang hanya bertahan paling lama tiga bulan.
Farel menggeleng. Jelas tidak menerima keputusan itu begitu saja.
"Aku kan udah minta maaf, yang," ucap Farel. Tangannya lalu menangkup kedua pipi Chia, menuntun Chia agar melihat padanya.
"Chi. Liat aku. Aku masih sayang sama kamu."
Chia menggigit bibir. Biasanya Chia tidak akan lemah soal urusan beginian. Tapi hal yang menjadi masalah utama adalah Chia selalu luluh di hadapan Farel.
"Bisa aja kamu bakal ngulangin itu lagi," ucap Chia, melarikan tatapannya kemana-mana karena ia takut pendiriannya akan runtuh begitu saja jika bertatapan dengan mata itu lebih lama.
Kembali, Farel menggeleng. "Enggak Chi. Aku janji."
"Aku ... aku tetap mau putus, Rel," tanggap Chia. Berusaha agar keteguhannya tidak akan goyah hanya karena diusik rasa sayang yang masih ada.
Farel menghela napas panjang. "Chia. Cuma aku yang nerima kamu apa adanya. Kamu yang paling tau hal ini, Chi."
Tangan Farel terjulur, membelai lembut pipi Chia. "Kamu gak bakal nemu cowok yang bisa menuhin ekspektasi kamu lebih dari aku, Chi. Percaya sama aku."
Farel memang benar. Chia merasa tidak ada yang bisa menarik hatinya lebih dibandingkan bagaimana Farel membuatnya jatuh cinta setiap hari pada cowok itu. Tidak ada yang seperti Farel. Setidaknya sampai saat ini.
Tapi Chia juga tidak ingin terjebak dalam kesalahan yang sama hanya karena perasaan suka ini. Ketakutannya akan perselingkuhan dan kekalutannya hal itu akan terulang lagi benar-benar membuatnya ingin segera lepas dari ikatan yang dinamakan pacaran.
Saat ingin kembali bersuara, Chia terlambat menyadari ketika bibir Farel sudah kembali menempel di bibirnya. Kembali membuat tautan yang tidak ingin dilepas begitu saja dengan beberapa kali gigitan kecil di bibir atas dan bibir bawah.
Chia memejamkan mata begitu saja, menikmati setiap lumatan yang Farel berikan. Chia awalnya ingin memberontak, namun tubuhnya yang kini terasa panas memilih untuk menikmati ini sebentar. Benar. Chia tidak perlu merasa bersalah hanya karena ciuman ini. Anggap ini terakhir kali ciuman penuh afeksi ini Chia lakukan meskipun sadar bahwa ia sedang terlarut dalam kebodohannya sekali lagi.
Balasan dari Chia yang terasa nyata semakin membuat Farel memperdalam ciuman mereka dan tak ingin membiarkannya usai dalam waktu cepat. Namun kedatangan seseorang membuat keduanya berhenti.
Farel mendengus, berdecak kesal begitu mengetahui siapa yang menginterupsi mereka.
Dion bersiul kecil begitu kegiatan panas itu berhenti karena kedatangannya.
"Lo pada gak sadar ini lagi di sekolah?" ucap Dion dengan nada geli. Awalnya ia datang karena menemukan Hera dan Gea dari arah sini, namun ternyata hal tersebut mengantarkannya pada pemandangan seperti ini. Dalam hati rasanya ia ingin menarik Chia dari sana dan memberi bogem mentah pada Farel.
Farel tertawa remeh lalu kembali berdecak kesal mendengar kalimat yang Dion lontarkan.
"Gue sadar. Tapi sayangnya gue gak butuh polisi moral," ujar Farel dengan nada tidak senang yang lalu menarik tangan Chia menjauhi tempat itu sebelum Dion kembali mengganggu mereka. Untungnya Dion tidak bertindak lebih jauh dengan mengejar mereka.
Mungkin karena ketidakpunyaan Dion terhadap statusnya dengan Chia membuat cowok itu tidak bisa berbuat banyak selain memendam kekesalan dari hati. Karena Dion tidak memperkirakan seberapa jauh yang akan Farel perbuat hari ini.
"Farel!" ucap Chia berusaha melepaskan genggaman tangan yang tidak bisa ia urai hingga mereka sampai di depan ruang ekskul band.
Chia meneguk ludah begitu Farel membawanya masuk dan mengunci ruangan itu. Ia tahu jelas kemana alur ini akan membawanya.
"Rel ...," gumam Chia ragu.
Tapi keraguan yang sama tidak tergambar di mata Farel sedikitpun meskipun Chia memberi mereka jarak. Bahkan tidak butuh usaha besar bagi Farel untuk menyatukan mereka dalam sebuah ciuman. Saat bibir mereka masih terpaut, Farel mendorong pelan tubuh Chia menuju sofa. Begitu mereka mencapai sofa, Chia memutus ciuman keduanya.
"Rel. Bentar lagi bel bunyi," ujar Chia sambil menjauhkan tubuhnya meskipun hanya dalam rentang yang sedikit dengan kembali memalingkan wajah. Ada hal yang tidak bisa dijelaskan Chia jelaskan ketika mata mereka saling bertatapan. Ia tidak bisa menolak tawaran tersirat Farel setiap mereka beradu pandang.
Farel menggeram protes. Ia tidak peduli apapun saat ini selain memenuhi keinginannya. Tangannya terjulur dan dengan cepat membuka bajunya sendiri serta baju seragam Chia —menyisakan dalaman berwarna hitam yang masih menutupi bagian privasi Chia sebelum berciuman untuk kedua kali hingga Chia kehilangan fokus.
"Farel ...," lirih Chia di sela ciuman yang telah berubah menjadi lumatan, berusaha menyadarkan Farel dari apapun yang sedang merasuki cowok itu sebelum mereka berbuat lebih jauh.
Tapi Farel jauh lebih keras kepala. Bagaimana pun sikap Chia setelah ini padanya, ia tidak peduli.
Farel sudah melepaskan bibirnya dari bibir Chia dan beralih menelusuri kulit leher Chia dengan tangan yang kini telah menyentuh dada Chia, mengusir semua akal sehat yang akan menginterupsi mereka.
Entah kenapa, Chia akhirnya memilih untuk terlarut dalam gairah yang mereka bangun. Tidak mengambil pusing dengan peringatan dalam kepala dan segala pendirian yang tadi ia terguhkan. Chia memilih untuk menerima semua sentuhan yang Farel tawarkan padanya.
Chia memilih menyerahkan diri pada jantungnya yang berdetak gila-gilaan dan rasa panas pada tubuhnya.
Diam-diam Farel tersenyum, melanjutkan kegiatannya menelusuri tubuh Chia sepenuhnya karena tidak ada lagi pemberontakan yang Chia lakukan. Kalau ini akan jadi hari terakhir mereka berpacaran, setidaknya Farel bisa mendapatkan kesempatan untuk meniduri Chia terakhir kalinya, kan? Tanpa pengaman tentunya.
***
Setelah menenangkan diri karena ia sedang safe day dan telah meminum pil kontrasepsi, Chia diam-diam mengambil wine milik mamanya dan membawa ke kamar. Dalam keadaan tipsy, setengah sadar Chia menatap langit-langit kamar lalu tertawa miris pada dirinya sendiri.
Mungkin orang-orang akan menertawakan Chia jika tahu, sebelum putus Chia masih sempat-sempatnya memilih untuk memenangkan hasratnya bersama Farel. Masih sempat-sempatnya memberi Farel kehangatan padahal semua orang tahu kesalahan Farel cukup fatal.
Chia dan Farel bahkan bercinta dengan begitu hebatnya untuk terakhir kali —mungkin. Seakan lupa bahwa mereka masih di area sekolah meski ruang ekskul band tersebut punya peredam bunyi. Seakan memiliki pikiran yang sama bahwa satu sama lain tidak akan menemukan pasangan yang sama hebatnya.
Chia tidak lupa bagaimana milik Farel terasa penuh dan hangat di dalam tubuhnya. Chia tidak lupa bagaimana Farel terlihat sangat kecewa karena Chia tetap memintanya putus dan bagaimana itu juga membuat Chia merasa sama sakitnya.
Tapi Chia juga tidak lupa foto-foto yang Dion perlihatkan padanya tentang kebersamaan Bella dan Farel. Hal yang Bella dan Farel lakukan ternyata bukan sekadar ciuman.
Setidaknya setelah kebodohannya untuk bercinta dengan Farel, Chia masih bisa bersikukuh untuk ingin putus meskipun Farel terlihat marah dan sangat kecewa.
Chia menyesali kelabilannya yang selalu saja muncul. Tapi setidaknya Chia bisa sadar, bagi Chia perasaannya ke depan juga jauh lebih penting. Chia tidak ingin terjebak dalam rasa bersalah pada dirinya sendiri karena memilih bertahan setelah menjadi korban selingkuh.
***
Berita tentang putusnya Chia dan Farel menyebar dengan cepat dan menjadi pembicaraan hangat selama beberapa minggu terakhir. Memberi secercah harapan bagi cowok-cowok yang mengincar Chia untuk mulai membuat gerakan.
Salah satunya adalah Dion, sebagai peringkat nomor satu yang merasa paling bahagia atas putusnya Chia dan Farel.
Raut bahagia itu nyaris terlihat setiap hari. Guru-guru yang biasanya kesulitan menghadapi Dion juga ikut merasakan pancaran rasa bahagia itu lewat kelakuan Dion yang tiba-tiba mudah diatur. Raut bahagia itu juga hari ini ketika di lapangan basket indoor.
Karena bukan dalam rangka latihan dan cuma ingin bermain, hanya ada beberapa anggota basket yang bermain di satu sisi lapangan. Salah satunya Dion yang sepanjang permainan tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Hal yang tidak biasa bagi seorang Dion untuk tersenyum selebar itu. Biasanya, cowok itu uring-uringan karena kecemburuannya terhadap Farel yang sering melihat Chia latihan cheers di tribun.
Kali ini, sejak Chia dan Farel putus, Dion tidak harus melihat pemandangan itu. Setengah beban hidupnya terasa terangkat.
"Anjing!" seru Dion karena Aji sengaja melempar bola ke arah wajahnya.
"Muka lo udah kalah serem dibanding titan," ujar Aji sambil bergidik ngeri dibalas lemparan bola penuh kesal oleh Dion yang sayangnya bisa ditangkap mudah oleh Aji yang memang tidak ikut bermain dan hanya duduk di sudut lapangan.
Sementara itu, tim cheers lebih leluasa untuk melatih formasi mereka karena sisi lapangan lain tidak dipakai tim basket. Mundurnya Bella sebagai salah satu flyer membuat mereka harus menyusun formasi baru. Chia menjadi orang yang harus berusaha lebih keras karena merasa bersalah telah membuat kekacauan pada timnya.
Meskipun Clara mengatakan tidak apa-apa, Chia tetap tidak bisa diam begitu saja dan akhirnya ia mengajukan diri sebagai flyer pengganti posisi Bella. Selang waktu yang lama tidak kembali menjadi flyer membuat tubuhnya kaku dan tidak selincah dulu. Tidak mudah untuk menggantikan Bella yang punya jam terbang lebih sebagai flyer. Tapi juga tidak mudah untuk mengubah formasi yang biasanya menggunakan tiga flyer menjadi hanya dua flyer.
Chia berusaha tetap profesional dengan menyingkirkan jauh-jauh ingatan tentang Farel. Putus dengan Farel tidak berarti perasaannya usai begitu saja. Tapi ia tidak bisa membiarkan hal itu berlarut mengganggu sisi kehidupannya yang lain.
Semua mata tertuju pada Chia. Seragam cheers yang ketat membalut lekuk tubuh indahnya. Kibaran rambut yang dicat warna coklat samar yang diikat kuncir kuda ikut menari mengikuti gerakan Chia. Senyum manis yang Chia pasang ketika berhasil berada di puncak tertinggi formasi mampu membuat anggota basket terdiam dan menghentikan permainan mereka untuk sejenak. Bola basket yang sebelumnya menjadi korban rebutan pun dibiarkan bergulir.
Pemain basket yang ada di dalam gedung ikut bertepuk tangan ketika Chia tiba-tiba melemparkan senyum ke arah mereka. Chia tetap terlihat begitu indah meskipun mereka tahu bahwa cewek itu terlalu nyablak dan tidak punya reputasi begitu baik soal cowok-cowok.
Chia tetap terlihat indah.
Termasuk bagi orang paling bucin Chia sedunia, Dion.
Anggota basket baru melanjutkan permainanannya kembali ketika Chia turun dan tubuhnya disambut para bases.
"Sorry banget udah pada bikin repot lo semua," ucap Chia dengan rasa menyesal.
"Gapapa kali, Chi," ucap Clara yang disambut anggukan anggota cheers yang lain.
Tim cheers kembali sibuk mengatur posisi piramid mereka. Keberhasilan Chia tadi baru permulaan karena yang lebih penting adalah keberhasilan untuk seterusnya. Untuk kesekian kali Chia sudah berdiri di posisi puncak formasi. Namun mungkin karena rasa lelah dan otot-otot yang terlalu dipaksakan, salah satu anggota tim yang menjadi bases mengalami kram dan membuat formasi kehilangan keseimbangan.
Chia yang masih berada di puncak hanya bisa menutup mata pasrah ketika kakinya kehilangan tumpuan.
BHUG!
Chia menyangka yang menangkapnya adalah anggota cheers yang lain seperti biasa ketika ada flyer yang jatuh.
Namun ternyata yang menangkapnya adalah Dion?
Dion, —mantan pacar Chia.
Chia mendorong tubuh Dion untuk melepaskannya. Namun Dion malah mengeratkannya. Mana mungkin Dion melewatkan kesempatan ini begitu saja. Memandangi wajah cantik Chia dalam jarak begitu dekat begitu membuatnya tidak ingin waktu berlalu begitu saja.
"Dion!" pekik Chia karena sorak-sorak sudah memenuhi isi gedung.
Sudah rahasia paling umum jika Dion masih berusaha mengejar Chia. Kata orang, Chia mampu mengalahkan basket sebagai peringkat utama yang mengisi hati Dion. Dion bahkan membagi konsentrasinya antara bola basket dan Chia dari sejak permainan mereka dimulai tadi.
"Gue duluan ya, Yon," ujar Aji, tidak ingin berlama-lama matanya dinodai oleh scene cringe seperti ini.
Dion tidak bersusah payah menyempatkan dirinya untuk membalas ucapan Aji karena sepenuh atensinya hanya pada Chia.
Sebagai pengamat, Aji hanya bisa berdecak kesal. Berpikiran kalau sahabatnya itu cukup bodoh. Ada banyak cewek-cewek yang lebih baik dan rela mengantri untuk mendapatkan hatinya. Dion punya kuasa untuk bisa mendapatkan cewek lain dengan mudah.
Meskipun sebenarnya di mata cewek-cewek, apalagi melihat situasi sekarang, Chia begitu disukai dna punya banyak dukungan. Tapi di mata cowok-cowok kebanyakan, Chia tidak lebih dari cewek popular yang punya tubuh seksi dan ... bispak. Alasan Chia diincar banyak cowok hanya karena mereka ingin menikmati tubuh cewek itu.
Aji sekali lagi menggelengkan kepala. Tidak mengerti kenapa Dion hanya memandang Chia yang bahkan tidak pernah peduli pada Dion?
"Aji!"
"Aji!"
"Aji!"
"Lo denger gue manggil gak sih?"
Seorang cewek menghampiri dan menarik lengan bajunya, membuat Aji yang semula cuek dan menulikan telinga terpaksa memberi respon.
"Apaan?" tanya Aji kesal begitu tersadar bahwa yang memanggilnya adalah teman sekelasnya yang kalau tidak salah namanya Bella ... ?
"Ada yang ngempesin ban mobil gue," gerutu Bella sambil memanyunkan bibirnya.
"Periksa cctv aja," tanggap Aji sambil terus berjalan menuju tempat motornya diparkir.
"Ihh bukan itu." Bella kembali menarik baju Aji dan terlihat kesal dengan tanggapan Aji yang sangat jauh dari harapan.
"Bantuin gue," cicit Bella. "Tolong."
"Kenapa gue? Kan ada banyak ... " ucapan Aji terhenti ketika melihat kondisi parkiran sepi. Karena tidak ada lagi yang berada di parkiran kecuali mereka. Yang benar saja?
Aji kesal sendiri dengan nasibnya. Biasanya cowok-cowok yang hobi nongkrong di parkiran seperti Nathan, Tian, dan lain-lain ada di sini sampai sore. Kenapa di saat sedang dibutuhkan seperti ini mereka tidak ada?
Bella tidak menunggu lama untuk mengeluarkan ban cadangan dan tool kit dari bagasi mobil. Ia kemudian memasang kunci roda untuk mengendurkan baut ban mobil.
"Lah ternyata elo bisa sendiri."
Bella menatap kesal. "Enggak bisa. Gue tau teori. Tapi prakteknya enggak bisa," jelas Bella.
Decakan kesal Aji kembali keluar. Ia akhirnya membantu Bella mengendurkan baut-baut ban mobil. Lalu Bella mengambil dongkrak, berniat mulai memasangnya. Namun saat berjongkok untuk menaruh dongkrak, ia segera memperbaiki posisi dengan menggunakan lutut sebagai tumpuan dan menahan rok yang super pendek ini agar tidak terangkat lebih jauh lagi memamerkan pahanya.
Aji tertawa remeh. "Lo kalo gak nyaman ngapain sok-sok an pake rok mini gini sih," sindir Aji sambil mengambil alih dongkrak dan memasangnya sendiri.
Bella berdiri dengan cepat dan membersihkan lututnya dari sisa debu lantai parkir.
"Padahal lo suka kan ngeliatnya?"
Aji mendengus. "Ya jelas gue suka. Gue cowok normal. Tapi kalo sendiri ngerasa gak suka buat diliat, ngapain dipake?"
Bella tidak menjawab lagi setelah itu, memilih untuk sibuk membantu melepas baut dan memasang ban yang baru. Tidak mengindahkan tatapan tajam Aji padanya. Mungkin kehabisan cara untuk melawan Aji atau mungkin sekadar hanya ingin cepat pulang.
"Makasih," ucap Bella singkat dengan senyum yang sama singkatnya ketika ban selesai terpasang dan mobilnya melaju meninggalkan halaman sekolah.
Aji memilih untuk tidak menanggapi karena merasa tidak ada gunanya. Saat Aji duduk di motor dan menghidupkan mesinnya, ia baru sadar. Padahal Aji kan punya nomor orang bengkel. Kenapa ia malah bersusah payah menolong cewek ini?
Sial, Tuhan benar-benar mempermainkannya dengan cara yang begitu lucu.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
