
Vanya meremas ujung dressnya dengan penuh kegugupan. Di atas meja di hadapannya terdapat berbagai macam jenis alkohol yang ia tidak tahu namanya. Hanya tinggal mereka berempat di sini. Arga memutuskan pulang lebih dulu dan Vanya gagal memanfaatkan momentum untuk ikut pulang bersama Arga.
Dengan terpaksa, dirinya duduk di antar kedua kaki Jovan. Lengkap dengan Jovan melingkar erat diperutnya. Vanya mendongak, menatap Sella dengan penuh permohonan untuk menolongnya.
"Kak. Aku mau pulang," rengek Vanya.
Jovan menggeleng. Tangannya merangkul pinggang Vanya. "Setelah ngeliat adegan tadi lo pikir gue bakal ngebiarin lo pulang?"
***
Vanya meremas ujung dressnya dengan penuh kegugupan. Di atas meja di hadapannya terdapat berbagai macam jenis alkohol yang ia tidak tahu namanya. Hanya tinggal mereka berempat di sini. Arga memutuskan pulang lebih dulu dan Vanya gagal memanfaatkan momentum untuk ikut pulang bersama Arga.
Dengan terpaksa, dirinya duduk di antar kedua kaki Jovan. Lengkap dengan Jovan melingkar erat diperutnya. Vanya mendongak, menatap Sella dengan penuh permohonan untuk menolongnya.
Sella meletakkan kembali sloki-nya begitu matanya bertemu dengan mata Vanya. Memutar otak bagaimana caranya membawa Vanya agar bisa pulang tanpa membuat Jovan emosi. Kuasa Jovan terlalu sulit untuk ia dan Gaxel tangani.
Dipikir-pikir mungkin awal kelemahannya karena ia sendiri yang menawarkan diri menjadi pemuas orang-orang ini. Kemauannya sendiri karena ingin memenuhi hasrat dan gairahnya. Tapi jika ditelusuri lagi, tidak ada yang berbeda jika semisalnya itu tidak pernah terjadi.
Nyatanya, Jovan akan tetap bertindak menggunakan seluruh kuasanya jika ada orang yang berusaha mencampuri urusannya.
"Jo..." panggil Sella setelah mengumpulkan keberanian.
"hmm?" Jovan menjawab dengan gumaman setelah meneguk Rokk Vodka.
"Kayaknya gue sama Vanya mesti pulang sekarang. Soalnya dia butuh datang cepet buat nyiapin rapat sama social media specialist,"
Jovan beringsut menyenderkan punggungnya pada sofa. Ia mengusap bibirnya sendiri. Lalu tersenyum ketika menyadari kegugupan Sella.
"Gue gak peduli. Lo bisa pulang duluan," balasnya.
"Kalo lo ngomong ini cuma buat bawa Vanya pulang, bukan cuma lo yang bisa gue bikin hancur, tapi Reyna juga," ancamnya lagi. Jovan tidak butuh nada tinggi untuk membuat Sella dan Vanya terhenyak.
Mereka tidak mungkin membiarkan Reyna jadi korban, mengingat Jovan adalah tipe orang yang akan melakukan apapun untuk mencapai tujuannya. Meskipun itu harus berhadapan dengan sahabatnya sendiri.
Gaxel melempar sloki nya ke lantai hingga gelas itu pecah. Mendengar ancaman Jovan terhadap Sella membuatnya tidak bisa menahan emosi.
"Lo—"
"Xel. Kita sepakat. Gue ga bakal ganggu atau maksa cewek lo, selama lo dan cewek lo ga ikut campur. Barusan apa yang dia lakuin udah masuk nyampurin urusan gue," potong Jovan.
"Atau kalo lo mampu ngelawan gue, gue ladenin sekarang juga," lanjutnya.
Gaxel menggeram kesal. Ia menarik tangan Sella dan membawanya pergi dari sana.
"Lo sejak kapan emang sedeket dan sepeduli itu sama Vanya?" tanya Gaxel ketika mereka sudah masuk ke dalam mobil.
Sella menunduk. Ia memang tidak sedekat itu. Namun rasanya ia juga tidak bisa membiarkan Vanya berada dalam keadaan yang tidak cewek itu inginkan. Mungkin jika Sella berada di posisi itu, ia akan menikmatinya.
Tapi Vanya hanyalah korban kebrengsekan Jovan.
"Gue gak bisa lawan tu cowok, Sel," ucap Gaxel frustasi. "Oke. Mungkin soal kekuatan bisa imbang. Tapi setelah itu? Di luar itu?"
Gaxel mengacak rambutnya kesal. Bukan kesal pada Sella. Namun merutuki keadaannya yang tidak bisa mengimbangi Jovan. Ia harusnya kuliah di jurusan yang dipilih orang tuanya, memulai dengan jabatan lebih tinggi agar bisa seperti kakak laki-lakinya. Namun Gaxel memilih jurusan yang ia sukai. Bekerja sesuai apa yang ia impikan.
Semua itu harus ia bayar dengan merelakan nyaris semua privilese yang ia dapatkan dari orang tuanya. Bagi Gaxel tidak masalah. Gajinya cukup. Ia bisa menikmati hidupnya dengan bebas. Ia memiliki Sella di sampingnya. Setidaknya ia tidak diusir dari rumah dan ia masih diberi mobil, walaupun hanya civ*ic.
Namun jika dihadapkan dengan kenyataan seperti ini, membuatnya kembali insecure sejadi-jadinya. Ia menjadi tidak berdaya dan merasa berada di posisi terbawah karena tidak bisa menjadi tempat bagi Sella untuk berlindung.
Yang membuatnya percaya diri hanyalah rasa saling percaya antara dirinya dan Sella. Bahwa mereka akan ada untuk satu sama lain.
"Gue gak punya power apa-apa selain nama Haury di belakang gue," gumamnya lirih.
Sella mengerjap. Gaxel tidak pernah sefrustasi ini. Biasanya ia hanya akan menertawakan nasibnya. Mungkin ini pertama kalinya Sella melihat sisi pacarnya yang seperti ini.
"Sorry," gumam Sella. Ia menggenggam tangan Gaxel. "Apa ini juga gara-gara gue dulu—"
"Enggak," Gaxel menggeleng dan memeluk Sella. Ia tidak ingin Sella menyalahkan diri sendiri untuk hal yang jelas bukan penyebabnya.
"Walaupun kita gak mulai hal itu, Jovan tetap punya banyak cara buat jatuhin lo atau gue kalau kita ikut campur urusan dia,"
"Just stay away," ucap Gaxel. "Jangan ikut campur lagi urusan Jovan sama Vanya,"
Gaxel mengecup pipi Sella. "Untuk urusan grup seks kita, lo tau kan lo bisa berhenti kapan pun lo mau," lanjutnya.
Sella mengangguk.
Dari awal, teman-teman Gaxel menganggap orgy yang mereka lakukan berada di jalur yang terpisah. Mereka menyusun perjanjian yang membuat urusan seks di antara mereka tidak akan ada sangkut pautnya dengan masalah real life, dengan syarat tidak menyampuri urusan asmara masing-masing pihak. Sella pun bisa berhenti kapan pun dia mau dan mereka tidak akan berusaha menahannya atau melakukan hal buruk demi membuatnya kembali.
***
Jovan membenamkan wajahnya di bahu Vanya. Sesekali bibirnya mengecup bagian tubuh yang terbuka itu.
"Gue udah bilang, kan. Lo gak bisa kabur dari gue," bisik Jovan.
Jovan kembali mengeratkan pelukannya hingga punggung Vanya bertemu dengan dadanya. Jovan juga memajukan duduknya agar miliknya beradu dengan pinggul Vanya.
"Lo tau kan itu apa?" tanya Jovan.
Vanya menggeleng. Ia ingin bergeser maju, namun Jovan tidak membiarkannya, bahkan tangan cowok itu menahan tepat di selangkangannya, hingga Vanya semakin merasakan tonjolan milik Jovan menggesek di belahan pinggulnya.
"Hmm.. perlu gue jelasin?"
Vanya menggeleng kuat.
Jovan tertawa. Ia lalu membalikkan tubuh Vanya.
"Dia butuh perhatian lo," ucap Jovan. Ia menarik dress Vanya ke atas hingga pinggang. Lalu ia tempatkan selangkangan Vanya yang masih tertutup celana dalam tepat di atas ketegangannya. Tangannya menahan pinggang Vanya.
Jovan menggigit bibir merasakan denyutan kenikmatan yang menjalar di seluruh pembuluh darahnya.
Vanya rasanya ingin menangis. "Kak. Jangaan. Please," pintanya sembari berusaha melepaskan diri.
Tapi Jovan tidak akan berhenti sebelum keinginannya terpenuhi. Vanya harus berpikir keras subsitusi apa yang harus ia tawarkan dan cukup seimbang bagi Jovan.
"Aku bakal cium kakak, asalkan kakak stop yang ini!" ucap Vanya cepat ketika Jovan kini berusaha menggerakkan tubuh bagian bawah Vanya.
"Okay. Do it then,"
Vanya terdiam sebentar sebelum mencium pipi Jovan dengan cepat.
Jovan tertawa. "Bibir, sayang," ucapnya gemas sambil mencubit pelan pipi Vanya.
Apa yang Vanya lakukan selalu menggemaskan. Wajah chubby dan baby face itu selalu membuat Jovan ingin menciumnya berulangkali. Belum termasuk ekspresi kekhawatiran, kaget, maupun ketakutan Vanya yang entah kenapa memberinya pecutan gairah.
Cewek polos seperti Vanya akan ia buat semakin paham berbagai aktivitas dewasa.
***
Apa yang Vanya lakukan selalu menggemaskan. Wajah chubby dan baby face itu selalu membuat Jovan ingin menciumnya berulangkali. Belum termasuk ekspresi kekhawatiran, kaget, maupun ketakutan Vanya yang entah kenapa memberinya pecutan gairah.
Cewek polos seperti Vanya akan ia buat paham dan belajar berbagai aktivitas dewasa.
"Cium gue," ucap Jovan pelan. Vanya mengulur waktu terlalu banyak dan Jovan tidak bisa menunggu lebih lama lagi.
Vanya meneguk ludah. Dengan teramat canggung ia mendekatkan wajahnya. Pelan-pelan, ia satukan bibirnya dengan bibir Jovan. Ini jelas bukan ciuman pertamanya, karena cowok itu pernah menciumnya secara sepihak beberapa kali sebelum ini. Tapi ini pertama kali Vanya yang menjadi inisiator ciuman.
"Buka mulut lo dikit," bisik Jovan di sela ciuman mereka.
Vanya menurut.
Tanpa segan, Jovan menautkan lidahnya. Menuntut ciuman mereka untuk lebih dalam daripada ini. Begitu agresif membuat Vanya semakin kewalahan. Napas mereka terdengar memburu di sela tautan bibir.
Jovan mengecup singkat bibir Vanya sekali lagi sebelum melepas ciuman mereka. Vanya terlihat kehabisan napas. Ia rasanya ingin memeriksa apakah Vanya basah atau tidak, namun untuk kali ini ia akan menahan diri.
Cewek itu amatir dan begitu menggemaskan.
"Sejak temenan sama Reyna, lo udah pinter dandan ya?" ujar Jovan setelah menyadari ada rasa manis lain dari bibir Vanya. Pasti karena ada produk semacam liptint yang dipakai oleh Vanya.
Vanya hanya menjawab dengan gumaman pelan.
"Selama ke club bareng Reyna lo gak diajarin minum?" tanya Jovan lagi. Lebih mirip interview ketimbang obrolan biasa.
"Cuma mocktail," jawab Vanya singkat.
"Yaudah biar gue yang ajarin," Jovan kembali membalikkan tubuh Vanya dan menempatkannya di antara kedua kakinya.
Ia lalu menuangkan salah satu minuman berakohol ke dalam satu sloki. Ibu jari dan telunjuknya mencengkram kedua sisi pipi Vanya. Sebelum Vanya sempat mengeluarkan protes, sloki itu telah Jovan bawa ke depan mulutnya.
Vanya nyaris menangis saat meneguk minuman yang Jovan paksakan. Rasanya begitu aneh dan asing. Begitu ingin memuntahkan minuman itu, Jovan menutup mulut dan hidungnya. Mau tak mau, Vanya menelannya.
"Udah kak!!" ucap Vanya ketika Jovan masih memaksanya minum pada gelas ke-empat. Sisa alkohol itu tumpah dan menetes di dagunya.
Vanya lalu berpindah duduk ke samping Jovan. Ia berpegangan pada sofa karena merasakan hujaman rasa pusing menyerang kepalanya. Pandangannya terasa melayang dan perutnya mual.
"Sekarang jawab, lo kemaren ngapain sama Arga," tanya Jovan. Ia membersihkan sisa tumpahan alkohol itu di dari dagu dan dada Vanya. Lalu menggunakan kesempatan itu untuk merabanya. Jovan tidak mengerti kenapa Vanya selalu mengatakan dirinya tidak seksi. Padahal body tidak jauh berbeda dengan Sella.
Vanya memejamkan mata. Jovan selalu cemburu berlebihan setiap kali ia berinteraksi dengan Arga. Sementara Arga malah menggoda Jovan dan tidak mau mengatakan kebenaran bahwa mereka hanya berteman. Keputusan yang malah membuat Vanya semakin terpojok.
"Kita sama-sama suka One OK Rock sama Paramore. Kak Arga cuma bantuin aku dapetin vinyl nya Paramore,"
"Enggak pacaran, kan?"
Vanya menggeleng. "Gimana mau pacaran. Kakak yang bikin aku gak bisa pacaran sama siapapun,"
"Oh lo maunya pacaran sama Arga?"
"Bukan!"
"Terus kenapa dulu lo sering pulang bareng dia?"
Vanya mendesis kesal. Efek minuman alkohol membuat kepalanya semakin sakit. Double sakit karena ia harus dihadapi orang sakit macam Jovan.
"Kak Jo bawel banget. Berapa kali sih harus aku jelasin. Kak Arga nawarin aku karena kita temenan. Dan kita temenan karena suka band yang sama,"
"Gue gak suka lo flirting sama cowok lain,"
"Yang flirting juga siapa," Vanya memutar bola matanya. Ia tidak pernah seberani ini menjawab semua pernyataan Jovan. Mungkin minuman alkohol membuat keberaniannya sedikit lebih naik dari biasanya.
Jovan tidak menanggapi lagi. Ia lalu berdiri, menjulurkan tangannya agar disambut oleh Vanya.
"Hari ini tidur di rumah ya? Mami nanyain kamu,"
Vanya menggeleng.
"Maunya di VVIP room?"
Vanya merengek kesal.
"Yaudah di rumah," ketus Vanya. "Tapi sewa supir. Aku gak mau mati cepet karena kakak nyetir sambil mabuk."
Jovan mengangguk lalu membawanya menuju parkiran.
Vanya menghela napas lelah. Tidak sempat lagi memikirkan Reyna, karena nasib dirinya malam ini juga tidak pasti. Satu hal yang jelas, sepanjang malam pasti cowok itu akan tidur memeluknya dengan tangan yang setia mempermainkan dada Vanya.
Ia hanya bisa berdoa Jovan tidak berbuat lebih daripada itu.
***
Darren terbangun keesokan paginya ketika merasakan kasur yang ia tiduri bergerak. Setelah beberapa detik mengumpulkan nyawa, Darren menggigit bibir kesal. Ia berdecak. Ingatan semalam menghantamnya dengan penuh rasa penyesalan.
Darren ikut duduk. Ia menahan lengan Gaby hingga membuat cewek itu menoleh dengan ekspresi terkejut. Gaby dengan cepat menahan selimut di dadanya agar tidak turun dan memperlihatkan tubuhnya. Mereka kini berhadapan dengan saling canggung.
"By.. Sorry," ucap Darren pelan. Butuh beberapa detik bagi Darren untuk mengucapkan itu. Bibirnya terasa kering dan kelu.
Gaby menunduk "Iya..." jawabnya pelan. Memangnya jawaban apa lagi yang bisa ia berikan?
"Gue udah ngambil keperawanan lo," ucap Darren.
"It's okay, Ren. Semalem kecelakaan. Seenggaknya bukan cowok-cowok di lantai satu itu yang ngambil," tanggapnya sambil tersenyum getir.
Darren mengusap wajahnya dengan kasar. "Harusnya semalem gue berhenti dan gak ngelanjutin lagi,"
Ribuan rasa penyesalan serasa memecutnya sekarang. Semalam di kamar ini, tanpa mempertanyakan akal sehat dan hanya mementingkan nafsu, mereka kembali melanjutkannya. Lirihan Gaby yang penuh gairah dan sentuhan antar kulit, membuat Darren kembali tidak menahan diri untuk memasuki kewanitaan Gaby. Mereka melakukannya hingga mencapai klimaks masing-masing dan bara gairah mereda.
Gaby lalu meraih tangan Darren dan menggenggamnya dengan erat. "Ren. Jangan gitu. Lagian gue juga udah gak virgin, kan? Gak ada yang berubah juga kalau kita semalem langsung tidur. Gue gak bakal kembali perawan juga," ucapnya tenang sambil tertawa canggung.
"Tapi.. By... that was your first time. Emangnya lo gak sedih?"
"Jujur... gue emang sedih. Tapi kalau pun sekarang gue nangis atau gue nyesel sejadi-jadinya, itu cuma bikin keadaan tambah buruk, kan?" tanggap Gaby. Meski kini mungkin suaranya bergetar, ia tidak ingin terlihat membuat masalah ini menjadi lebih besar dari apa yang seharusnya.
Mendapati Darren yang masih terlihat tidak puas, Gaby kembali menambahkan. "Kita di bawah pengaruh obat. Gak ada yang perlu disesali, Ren,"
Darren yang melihat ekspresi tenang Gaby hanya bisa menghembuskan napas. Entah Gaby sadar atau tidak, apa yang ia ucapkan justru membuat Darren semakin merasa bersalah. Ia telah merebut sesuatu hal yang paling berharga bagi Gaby. Hal yang paling dijaga oleh cewek itu. Lalu karena keteledorannya, Gaby kehilangan semua itu. Bagaimana mungkin Darren bersikap biasa saja setelah semua ini terjadi.
Getaran ponsel membuat Darren mengalihkan perhatiannya. Ia menghela napas berat. Baru ingat sesuatu hal penting.
Reyna.
Darren lalu mendongak. Menatap lurus pada manik mata Gaby.
"By..." gumam Darren. Ia memutar otak demi bisa menyampaikan kalimat yang tidak akan membuat Gaby sakit hati.
"Tenang aja. Gue gak bakal minta pertanggungjawaban lo. Lagian lo udah punya Reyna," sambar Gaby cepat.
"Gue gak bakal ngasih tau cewek lo kok," lanjutnya. Ia tahu kekhawatiran Darren.
Meski jelas, melihat nama Reyna di ponsel Darren membuat hatinya teramat sakit. Gaby kesekian kali dibuat sadar bahwa ia tidak bisa memiliki hati Darren. Cowok itu hanya melihat Reyna.
"Thanks, By," ucap Darren singkat.
"Yep," ucap Gaby sambil tersenyum. "Tadi Sella datang bawain baju ganti sama sarapan," lanjutnya sambil meraih jubah mandi dan pakaiannya.
Darren mengangguk, lalu duduk membelakangi Sella. Membiarkan cewek itu pergi ke kamar mandi dengan nyaman. Ia lalu membalas pesan Reyna. Malam ini ia dan Reyna akan menghabiskan malam bersama, jadi seharusnya Darren berusaha mengubur dalam-dalam perasaan bersalahnya. Karena semua itu hanyalah sebuah kecelakaan.
Nyatanya Darren saat itu tidak tahu bahwa apa yang ia dan Gaby lakukan di club telah diabadikan di kamera ponsel seseorang. Petaka lain yang tidak ia prediksi, potongan video itu sampai di tangan Reyna dan menjadi penyebab Reyna mengalami trust issue. Serta menjadi alasan utama Reyna memutuskan hubungan mereka.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
