Bab 6-10 Let Me In

8
0
Deskripsi

Bab 6 - What She Wants to Hear

Bab 7 - His Shocking Question 

Bab 8 - Rahasia yang Terkuak

Bab 9 - Sushi Time

Bab 10 - Counting Days

Bab 6: What She Wants to Hear

 

 

 

 

Alesia tahu, ia enggak mungkin bisa menutupi kehamilannya ini selamanya. Pada akhirnya orang-orang di sekitarnya pasti akan tahu. Namun, ia tidak menyangka sahabatnya bakal tahu secepat ini. 

Tiba-tiba saja pagi ini Vika muncul di villa. Wanita itu bahkan memesan satu unit villa melalui Airbnb, sengaja ingin liburan sekaligus ingin tahu bagaimana kondisi Alesia, karena Alesia sulit dihubungi.

Beberapa tahun lalu Alesia memang pernah mengirimkan link tautan lokasi villa milik Kakaknya pada grup chat yang berisi teman-teman kuliahnya. Biasalah, mereka suka minta rekomendasi villa atau hotel yang bagus untuk staycation. Apalagi Karen juga mengelola villa milik keluarganya, yang membuat mereka saling sharing di mana letak villa mereka untuk tahu apakah jaraknya berdekatan. 

Makanya tidak sulit bagi Vika untuk datang ke sini tanpa sepengetahuannya. 

Sekarang usia kandungan Alesia sudah sepuluh minggu. Perutnya masih rata, yang seharusnya bisa dia sembunyikan dengan baik. 

Namun, wajahnya yang pucat dan lemas karena setiap hari selalu morning sickness, membuat Vika sedikit curiga, dan iseng bertanya, "Muka lo pucet banget, Beb, lagi hamil ya lo?" 

Pertanyaan itu terdengar asal-asalan, yang sebenarnya bisa Alesia sangkal dengan mudah. Namun, pagi ini energinya terkuras habis setelah muntah-muntah beberapa jam lalu, dan ia belum sarapan lagi, karena masih mual. 

"HAH? SUMPAH?!" Vika langsung berseru heboh ketika Alesia menjawabnya dengan dua kali kedipan mata. 

Tentu saja setelah itu Vika langsung menuntut penjelasan. Mereka duduk di ruang tengah villa yang dipesan Vika. 

"Waktu di apartemen lo gue beneran belum tahu kalau hamil. Bahkan gue enggak kepikiran sama sekali." Penjelasan Alesia membuat kekesalan Vika sedikit berkurang. 

Namun, perempuan itu tetap kesal. "Ya tetep aja, kenapa lo nggak bilang-bilang dari kemarin? Coba kalau gue enggak ke sini dadakan, apa lo bakal tetap merahasiakan ini sampai lahiran?" 

"Gue udah niat mau ngasih tau lo, cuman lagi cari timing yang pas aja. Lagian belakangan ini gue juga lagi sibuk morning sickness, terus nonton FTV, enggak sempet megang hape!" 

Kini Vika mulai menyadari hari-hari berat yang dialami Alesia selama dua bulan terakhir. Ia pun memeluk sahabatnya itu, dengan penuh kekhawatiran. "Tapi sekarang lo oke, kan?" 

Dalam pelukan Vika, Alesia mengangguk. "Ya ... meski awalnya berat banget. Sekarang gue udah di tahap menerima dan sayang banget sama anak ini." 

"Lo nggak kasih tau Mario?" 

Alesia menggeleng tegas. "Buat apa? Mending sejak awal anak ini enggak usah dikenalin ke bapaknya, kan? Daripada dia tau siapa bapaknya, terus malah jadi stres karena bingung kenapa pacar bapaknya ganti-ganti terus." 

“Iya juga sih, gue kalo jadi lo juga enggak akan ngasih tau. Lagian keluarga lo mah tajir. Enggak perlu banting tulang juga lo bisa tetap nyekolahin anak lo di sekolah swasta elit! Tinggal nunggu waktu, nyokap lo bakal ngirimin Alphard dama supirnya buat anter jemput anak lo ke sekolah tiap hari." 

Ucapan Vika memang benar, tapi tampaknya hal itu enggak mungkin terjadi. Keluarganya punya perusahaan turun temurun yang masuk ke dalam sepuluh besar perusahaan terbesar di Indonesia. Tapi bukan berarti Alesia juga kaya. Tahu sendiri, orangtuanya berhenti memberinya uang semenjak ia lulus kuliah, karena tidak mau bekerja di perusahaan orangtuanya. 

Meski tidak sekaya yang dipikiran Vika, Alesia masih punya aset yang ia peroleh dari hasil menabung uang sakunya selama kuliah. Tinggal di Yogyakarta dengan teman-teman yang uang sakunya pas-pasan membuat Alesia menyesuaikan diri dengan gaya hidup mereka, sehingga bisa menabungkan 80% dari uang sakunya setiap bulan. 

Saat mulai memasuki dunia kerja dan sadar kalau mencari uang itu sulit, Alesia memasukkan sebagian tabungannya pada deposito, dan sebagian lagi ia simpan di rekening lain sebagai dana darurat. 

Benar saja, uang itu akhirnya berguna sekarang. Ketika Alesia tidak memiliki penghasilan sama sekali selama dua bulan terakhir, ia tetap bisa bertahan hidup menggunakan dana daruratnya. Meski begitu, tetap saja dia enggak bisa menganggur terus-terusan. Ia harus mulai memutar otaknya untuk mencari penghasilan. 

"Gue malah mau nanyain loker ke elo. Sekarang tabungan gue emang masih ada, tapi enggak mungkin gue nganggur terus. Kebutuhan bayi makin mahal sekarang!"

Ucapan Alesia membuat kening Vika mengernyit. "Lo belum ngasih tau orangtua lo?" 

Alesia menghela napas lemah. "Kalau orangtua gue tau, lo nggak mungkin bisa nemuin gue di sini! Udah pasti sekarang gue di Jakarta, lagi persiapan kawin sama Mario. Atau bisa jadi sekarang gue lagi dibawa ke Singapura buat aborsi."

Bola mata Vika membulat tidak percaya. "Masa sih, Mami segitunya?" 

Sebagai tanggapannya Alesia mengendikkan bahu. Dalam pandangannya, Maminya memang segitunya. Namun, itu tetap tidak valid karena itu hanya sebatas dugaan.

"Lo ada loker freelance gitu nggak? Yang bisa gue kerjain dari sini? Biar gue enggak terlalu stres, harus ada sesuatu yang menyibukkan kepala gue." Alesia mengulang lagi pertanyannya. 

"Kalau di kantor gue sih, nggak ada. Lagian mana ada laboratorium yang bisa freelance sambil WFH gini?" Vika menyandarkan kepala pada sofa, tampak berpikir keras.

Ada keheningan yang menguasai mereka. Niat Vika untuk liburan dan melepas penatnya sesaat langsung pupus. Dia enggak bisa lagi liburan santai dengan melihat kondisi sahabatnya yang sedang terpuruk begini. Meski Alesia bilang kalau dia baik-baik saja dan sudah menerima takdir yang digariskan padanya, tetap saja Vika yakin, sahabatnya ini tidak sebaik kelihatannya. 

"Eh, gambar lo kan, bagus-bagus, Le! Kenapa lo nggak open commision gambar gitu? Atau jualan merchandise dari gambaran lo. Si Karen kan Kpopers tuh, coba aja ko konsultasi sama dia, bikin fan art gitu, terus dijual. Nanti gue bantuin buat hiring karyawan yang ngurusin merchandise-nya deh! Jadi lo tinggal fokus gambar aja, biar tetek bengek yang lainnya diurus karyawan!" Vika menegakkan punggungnya dengan penuh semangat. 

Alih-alih menyahut, mata Alesia malah berkaca-kaca. Lalu menit berikutnya Alesia menangis. 

Vika hanya menganga, sambil berusaha memutar ulang apa yang barusan dia katakan. Apa ada perkataan yang menyakiti hatinya?

"Kenapa sih, Les?" 

Alesia menggeleng, kemudian memeluk Vika sambil berusaha meredakan tangisnya. "Gue terharu, karena lo bilang gambaran gue bagus-bagus. Jujur aja, enggak ada orang yang mengapresiasi gambar gue." 

"Hah? Demi apa? Padahal gambar lo beneran bagus banget, Les! Style art lo tuh unik, punya ciri khas sendiri. Cocok buat dibikin merchandise, karena sekali lihat, orang bisa langsung ngenalin gambar lo!" 

Sejak kecil Alesia memang suka menggambar. Awalnya gambarannya sebatas untuk mengungkapkan perasaannya, karena dia enggak punya banyak teman untuk berbagi. Juga menjadi aktivitas yang sering ia lakukan kalau sedang bosan, karena ia nggak punya sepeda, tidak bisa ikut teman-temannya main keliling komplek.

Lama kelamaan menggambar menjadi candunya, dan terus ia lakukan, mulai dari gambaran sederhana, sampai yang agak rumit. Awalnya dia menabung dari uang sakunya untuk membeli crayon.

Lalu saat SMA dia menabung selama setahun penuh untuk membeli iPad. Orangtuanya tidak mendukung hobi menggambarnya, karena menggambar bukanlah kecerdasan akademik. Bahkan Maminya sering mengomel karena dia keseringan menggambar, bukannya belajar. 

Padahal Kakaknya juga suka menggambar. Tapi menurut Mami kecerdasan akademik tetap nomor satu. Kakaknya didukung penuh saat menggambar atau melukis, karena tugas-tugas di sekolahnya sudah selesai, dan nilainya bagus semua. Enggak seperti Alesia yang suka menggambar seharian karena malas belajar.

Sampai kuliah, Alesia masih sering menggambar kalau lagi senggang. Teman-teman terdekatnya tahu soal hobinya, tapi tidak terlalu menaruh perhatian. Selama hampir sepuluh tahun mereka berteman, Vika atau temannya yang lain enggak pernah membahas hasil gambarannya. Ini pertama kalinya Vika memuji gambar Alesia.

"Gue pikir kalian enggak terlalu ngeh sama gambar-gambar gue. Kalian nggak pernah bahas sih!" 

"Gue sama yang lain suka ngomongin gambaran lo kok. Bagus banget, serius deh! Cuman kita enggak terlalu sering bahas karena kita nggak pernah ada topik yang menyangkut, kan? Tapi diem-diem gue kagum sama lo kok. Setiap lo gambar, kayaknya effortless, tapi hasilnya bagus banget! 

"Dulu gue sama yang lain pernah bahas, kalau custom art commision gitu mahal banget! Karen juga ikut ngeluh karena sebagai kpopers, dia pengen bikin fan art idolnya gitu, tapi enggak bisa gambar sendiri. Dan kalau custom di orang, fee-nya mahal banget! Gue lupa ya, waktu itu lo kenapa nggak ikut nongkrong. Pokoknya habis itu kita jadi ngomongin lo gitu, “Alesia tuh kalau semua gambar di iPad-nya dijual, dia bisa untung berapa puluh juta ya? Gambarnya aja ada ribuan! Mana cakep-cakep semua lagi!“ Setelah itu Tyra bilang, “Alesia mah nggak perlu susah-susah jual gambar juga udah tajir.” Dan emang bener, kan? Entah kenapa pas ada lo, kita malah jarang ngomongin soal gambar-gambar gitu. Mungkin karena mikirnya, lo dari kalangan old money, yang enggak butuh duit tambahan, jadi ya buat apa juga kita nyaranin lo jual hasil gambar." 

Air mata Alesia kembali mengalir. "Makasih. Gue tuh beneran happy banget kalau ada yang muji gambaran gue. Jarang banget soalnya. Bahkan Mario sempet nuduh gue nyolong gambar di Pinterest. Padahal yang nge-post gambar itu di Pinterest gue sendiri. Dia baru percaya gue bisa gambar, pas gue gambar langsung di depannya." 

Vika berdecak kesal. "Untung aja lo udah putus dari cowok brengsek mokondo itu!" 

"Vik! Jangan misuh di depan gue! Anak gue bisa denger!" peringat Alesia tajam.

"Sori-sori! Mending kita balik lagi ke topik awal. Jadi, ayo kita mulai rencanain bisnis ini. Kerjaan gue sampai akhir tahun nanti lumayan longgar kok! Gue punya banyak waktu buat bantuin. Santai aja, nggak usah ngerasa nggak enak. Anggap gue sebagai patner lo. Jadi nanti gue tetap dapat gaji. Kita bisnis, harus profesional!" Vika melepaskan pelukan mereka sambil berseru antusias. Dia mengambil tasnya, mengeluarkan ponsel dari sana. 

"Dari dulu gue tuh pengen bikin small business yang lucu-lucu gini, Les! Akhirnya gue nemu patner yang pas! Kita bisa bikin custom scraft, scrunchie, totebag, dan masih banyak lagi, yang desainnya pake gambar lo! Nanti gue cariin vendor yang bagus juga, biar hasilnya premium!" 

"Masalahnya, iPad gue ketinggalan di apartemen Mario. Gue males ambil. Males berurusan sama dia lagi." Berbanding terbalik dengan Vika yang penuh semangat, Alesia malah terkulai lemas pada sandaran sofa. 

"Mau gue yang ambilin?" Tawaran Vika langsung buru-buru diralat. "Nggak jadi deh, gue males berurusan sama orgil!" 

Alesia terkekeh. "Kenapa emang?" 

"Tepat sorenya setelah lo cabut dari apartemen gue, si breng—dia dateng. Dia ‘kan enggak tahu lo di unit mana, dia nanya ke resepsionis, nanyain unit atas nama lo. Resepsionis enggak bisa kasih datanya, soalnya dia ngomongnya juga enggak jelas. Terus dia nunggu di lobi sampai malem. Sekitar jam sepuluh, tetangga apartemen gue cerita, ada cowok nggak jelas ngamuk-ngamuk di lobi, nyariin pacarnya. Sempet gue cek, memang beneran sih. Semua orang yang lewat dia tanyain, kenal Alesia atau enggak. Terus heboh sendiri gitu, kayak orang kesetanan. Gue cuma ngelihat dari depan lift, terus langsung naik lagi. Jujur gue takut banget sih!" 

Sebetulnya mendengar cerita itu Alesia enggak terlalu kaget. Pasalnya beberapa hari setelah ia pindah ke villa, ada banyak nomor asing yang menerornya, dan itu semua nomor Mario. Sampai akhirnya Alesia harus ganti nomor demi ketentraman jiwanya. 

Entah. Alesia heran juga, kenapa Mario tetap bersikeras mencarinya, di saat dia sudah selingkuh.

Bukannya seharusnya pria itu lega karena Alesia mengalah dan membiarkan Mario menempati apartemen yang sudah dibayar sampai akhir tahun nanti?

Kalau dihitung-hitung, selalu Alesia yang mengeluarkan uang lebih banyak. Apartemen itu sebenarnya kosongan, tidak ada perabotannya. Hampir semua perabotan di sana dibeli pakai uang Alesia. Jadi kalau Mario pindah dari apartemen itu, ia bisa membawa pergi semua perabotannya. Gila, untung banyak banget, kan?

 

Belum lagi, barang-barang Alesia banyak tertinggal di sana. Tas-tas branded, sepatu, gaun-gaun mewah, perhiasannya dan masih banyak lagi perintilan mahal di sana terpaksa Alesia tinggal karena kopernya enggak muat. Kalau Mario mau effort sedikit, dia bisa menjual semuanya dan mendapatkan uang ratusan juta! 

Jadi, untuk apa pria itu masih bersikeras mencarinya? 

"Sayang banget itu iPad-nya enggak bisa diambil. Gue yakin Mario juga nggak akan semudah itu ngasihin iPad-nya sih. Pasti dia bakal mendesak gue buat ngasih tau keberadaan lo, dan itu sama aja cari mati." Vika menghela napas kasar. 

"Itu pun kalau iPad-nya belum dijual," sahut Alesia enteng. "Dulu dia pernah ngancem bakal jual iPad gue, karena ngambek gue sibuk gambar terus. Padahal kalo dia sibuk main game, gue nggak pernah ngambek!" 

"Idih, ancemannya jelek banget!" cibir Vika. 

Alesia mengangguk setuju. "Dia emang agak perhitungan sama uang. Dikit-dikit mikirin keuntungan ini dan itu, seolah-olah semua hal bisa diuangkan." 

"Wah, kalau Mario tahu kehamilan lo, pasti dia bakal maksa nikahin lo biar bisa mengeruk kekayaan keluarga lo sih, gue yakin!" 

"Makanya jangan sampai dia tau!" 

"Terus, berarti kita harus beli iPad baru, buat lo gambar?" Pertanyaan Vika tidak langsung dijawab, karena jujur saja saat ini Alesia sedang sangat berhemat. 

"Gue masih belum tahu bakal lahiran di mana dan dengan metode apa. Gue pengen metode ERACS biar recovery-nya cepet, mengingat gue kan, single mom. Nggak ada yang bisa direpotin buat ngurus ini-itu. Tapi ngeliat harganya ngeri juga. Makanya gue enggak berani ngeluarin duit banyak buat jaga-jaga, kalau sampai beberapa bulan ke depan gue masih belum bisa ngehasilin duit." 

Kini Vika malah berseru takjub, kemudian menepuk bahu Alesia bangga. "Gila, lo udah mikirin sejauh itu? Jujur gue kagum melihat perubahan lo, yang dalam waktu dua bulan aja, udah berubah drastis!" 

Alesia mendengus. "Ini namanya didewasakan oleh keadaan!" 

Vika terbahak. "Ya udah, mending sekarang lo mandi gih, siap-siap! Siang ini kita ke Amplaz buat beli iPad. Sekalian jalan-jalan! Lo ngidam makan apa?" 

"Vik, sumpah, gue nggak mau ngerepotin lo lagi! Ini aja gue udah makasih banget karena lo mau dengerin curhatan gue, dan ngertiin gue. Lo nggak perlu sampai segininya, gue nggak tau nanti balesnya gimana!" Alesia langsung menggeleng tegas. 

"Ih, santai aja lagi! Kan, gue bakal jadi patner bisnis lo. Ya anggap aja, gue lagi nanam modal. Setelah gue beliin iPad, lo harus gambar yang bagus! Biar small business kita lancar! Siapa tau, omsetnya bisa lebih gede dari gaji gue. Nanti gue langsung resign, biar bisa full time jadi kacung lo!" 

Dan, lagi-lagi Alesia malah menangis. 

"Hormon ibu hamil bikin lo jadi secengeng ini ya? Gila, padahal dulu pas kuliah tuh Tyra yang paling rewel. Dan gue pikir, lo cewek kedua yang paling mandiri setelah Karen. Ternyata, lo bisa jadi secengeng ini juga ya?" 

"Besok kalau gue kebagian warisan dari Mami-Papi, gue bakal beliin lo tas Hermes yang jadi wishlist lo sejak lima tahun lalu. Gue janji! Lo doain aja, gue masih dianggap anak, biar kebagian warisan juga!" 

Vika cuma terkekeh. "Kayaknya daripada tas Hermes, mending lo beliin gue rumah deh! Kalau perlu sekalian sama yang udah ada kepala keluarganya, biar gue nggak usah pusing cari-cari lagi!" 

Alesia langsung mengangguk sambil mengelap air matanya. "Nanti kalau nyokap gue mau ngenalin gue ke anak temennya, gue bakal langsung ajak cowok itu kenalan sama lo. Biar lo cepetan tajir, jadi crazy rich aunty buat anak gue!" 

Mereka kembali berpelukan. "Aduh, gue enggak sabar mau lihat dia lahir! Gue boleh nyumbang nama nggak?" 

Alesia tampak menimbang. "Mungkin bisa aja dijadiin nama tengah. Buat nama depannya sih, gue udah ada." 

"Gila! Lo udah kepikiran namanya?" 

Belakangan ini setiap sebelum tidur adalah waktu paling berbahaya baginya. Karena pikirannya terus berkelana tanpa arah, menghasilkan pemikiran-pemikiran buruk yang membuat kondisinya semakin terpuruk. Sadar kalau itu tidak boleh diteruskan lagi, Alesia pun berusaha mencari hal-hal positif untuk dipikirkan sebelum tidur. Dan mencari ide nama anak berhasil membuat pikirannya terdistraksi dari hal-hal negatif. 

"Gue nggak nyangka, baru berapa bulan nggak ketemu lo, terus sekarang lo udah berubah sejauh ini." Mata Vika tampak berkaca-kaca. 

Senyum Alesia mengembang. Ia juga sedikit bangga dengan dirinya sendiri karena berhasil ada di titik ini, setelah melewati hari-hari yang sangat terpuruk. Semoga saja sampai seterusnya, hidupnya bisa berangsur-angsur membaik, dan kembali bahagia. 

"Gue juga kadang masih suka nggak nyangka, bentar lagi gue jadi ibu. Kayak lo kebayang nggak sih, baru kemaren gue stres karena diselingkuhin. Tau-tau sekarang gue harus mikirin tabungan buat masa depan, bingung nentuin rumah sakit buat lahiran, dan tetek bengek lainnya. Tahun depan gue bakal bertransformasi jadi emak-emak, Vik!" 

Vika terbahak. "Berarti di circle kita, tinggal gue nih ya, yang bukan emak-emak."

"Gue yakin bentar lagi lo juga bakal nyusul. Tapi semoga nyusulnya  dalam hal baik saja ya. Kayak lo tiba-tiba ketemu sama cowok baik-baik yang bertanggung jawab dan ngebucinin lo setengah mampus, atau semacam itu deh, kayak kisah cinta teman-teman kita yang lain, yang normal-normal aja. Please, ati-ati ya, Vik! Jangan kayak gue, yang gampang percaya sama omongan cowok mokondo."

 

 

 

 

***

 

 

 

 

Bab 7: His Shocking Question

 

 

 

 

Membangun bisnis dari nol jelas enggak mudah. Butuh waktu sebulan penuh untuk Vika mencari vendor dan segala macam tetek bengeknya, sampai akhirnya mereka mulai merilis produknya.

Minimnya modal membuat mereka tidak berani membuat banyak stok tersedia. Selain itu Alesia juga belum percaya diri dengan gambarannya. Perempuan itu sudah merevisi belasan kali, tapi hasilnya tetap kurang memuaskan menurutnya. Sampai Vika gregetan sendiri menghadapi insecure Alesia tanpa alasan. 

Pasalnya, menurut Vika justru sebaliknya. Vika sangat percaya diri dengan produknya, karena gambar Alesia sangat bagus dan authentic. Akhirnya mereka sepakat untuk membuat stok tersedia 24 buah saja, sebagai permulaan. 

Produk pertama yang mereka jual adalah printed blouse bergaya kasual dengan tiga pilihan warna basic. Vika membuat akun Instagram dan marketplace, mencarikan ide-ide marketing, dan berkomunikasi dengan vendor. Sedangkan Alesia bertugas menggambar desain, juga membuat desain postingan di Instagram juga header untuk online shop mereka, dan mengoperasikan Instagram sebagai admin. 

"Hah?! Sold out?" Alesia menatap Vika yang tersambung pada video call, dengan beruraian air mata. 

Belum ada sehari setelah launching, blouse mereka sudah sold out 2 lusin

"Apa juga gue bilang? Gambar lo tuh bagus! Coba deh lo cek Instagram sekarang! Banyak yang marah-marah karena enggak dapet!

Alesia tidak menyahut lagi. Isak tangisnya pecah. Jujur saja dia tidak menaruh ekspektasi apa pun. Ia sudah lelah dengan rasa kecewa, sehingga tidak ingin dirinya kembali merasakan itu karena ekspektasi yang ia punya. Makanya sejak awal Alesia sudah menyiapkan diri kalau tidak ada yang mau membeli produknya, dan mereka merugi. 

"Ya udah, nanti gue buatin form pre-order ya! Jadi yang belum dapet bisa ikut PO. Lo kenapa malah nangis sih?" gerutu Vika. 

"Itu dua puluh empat, yang beli temen kantor lo semua ya?" tuduh Alesia dengan sisa-sisa tangisnya. 

Vika langsung terbahak. "Enggak semua kok. Temen kantor gue ada yang protes enggak kedapetan. Padahal gue enggak maksa mereka buat beli. Gue cuma promosi biasa aja, bilang kalo produk gue dijamin bagus, nggak akan mengecewakan. Ternyata mereka beneran tertarik. Gue juga nggak nyangka.

"Dan kayaknya ini rame juga gara-gara kemaren gue sempet bikin video Tiktok di akun pribadi gue. Lumayan, viewers-nya 10k. Dan ternyata dari 10k itu, banyak banget yang tertarik buat beli."

"Makasih banget ya, Vik!" Alesia mengelap sisa air matanya, masih dipenuhi rasa haru. "Sumpah, gue bener-bener utang budi banyak banget sama lo. Kalau enggak ada lo, mungkin sekarang gue lagi luntang-luntung di jalan cari duit buat beli popok anak gue!" 

Vika mendengus. "Nggak usah alay deh! Ini bukan sepenuhnya kerjaan gue doang! Kan lo juga punya banyak kontribusi! Kita sama-sama berusaha keras buat ini. Dan gue rasa, ini tuh rezeki anak lo deh! Gue yakin kalau gue bikin bisnis semacam ini sendirian, tanpa campur tangan lo, belum tentu hasilnya bisa kayak gini." 

Lagi-lagi Alesia mengucap syukur karena dipertemukan dengan sahabat sebaik Vika. Padahal saat kuliah dulu, hubungan mereka enggak sedekat ini. Mereka hanya sebatas teman nongkrong, main bareng, atau ngobrol santai di kelas. Tidak pernah saling ikut campur urusan pribadi masing-masing.

Siapa sangka, seiring bertambahnya usia, hubungan mereka malah semakin dekat. Barangkali ini juga karena mereka merasa satu nasib, karena dalam circle mereka, tinggal mereka berdua yang belum menikah.

"Besok kalo tabungan gue udah lumayan stabil, gue serius bakal traktir lo deh! Yang penting sekarang, lo jangan lupa traktir temen kantor lo! Salamin juga ya! Gue bener-bener berterima kasih banget, karena mereka udah bantu ngelarisin di awal-awal kita merintis ini." 

"Gampang sih itu mah! Santai aja deh, Les, kayak sama siapa aja lo! Kan ini gue juga dapet cuan! Bukan lo doang yang untung! By the way, gimana kalau kita bikin akun Tiktok khusus toko kita gitu? Biar promosinya lebih intensif!" 

Alesia manggut-manggut. "Oke, nanti gue bikin. Di Tiktok tuh, sekalinya masuk FYP bisa langsung rame banget ya!" 

"Makanya! Kita tinggal pinter-pinter bikin konten sesuai yang lagi ngetrend sekarang! Gue tuh suka take videonya, cuman gue males ngedit!"

"Kirim ke gue aja video-videonya! Biar gue editin sini! Mumpung gue sering gabut!" 

"Oke, nanti gue masukin ke shared album aja ya, biar lebih praktis. Ya udah, gue mau bikin form pre order, sama ngehubungin vendornya dulu, buat mastiin kira-kira mereka bisa bikin berapa piece lagi dalam bulan ini." 

"Oke, makasih, Vik!" 

Tepat begitu sambungan telepon terputus, pintu kamarnya di ketuk. Pandangannya langsung melirik jam dinding. Rupanya ini sudah pukul tiga sore, dan ia belum makan. Sejak tadi ia terlalu tegang memantau laman penjualan blouse mereka di marketplace, sambil merencanakan pembuatan produk selanjutnya. 

Selama beberapa saat ia meregangkan tubuhnya, lalu bergegas membukakan pintu. Dadanya langsung dihinggapi rasa bersalah pada Mbok Yati, karena belum makan sejak tadi. Masakan Mbok Yati pasti sudah dingin, dan beliau jadi harus memanaskan lagi. Bahkan sekarang pun Mbok Yati harus repot-repot mengetuk pintu kamarnya untuk mengingatkan makan, padahal ini kan kebutuhannya sendiri. 

Namun, alih-alih mendapati Mbok Yati di balik pintu, Alesia tersentak ketika melihat orang yang berdiri di balik pintu adalah Geryl. 

 

Alesia menghela napas panjang. Entah apa lagi alasan Geryl kembali muncul di sini. Memang sih, ini villa milik Kakaknya, yang mana merupakan istri Geryl. Jadi secara enggak langsung Geryl juga berhak atas villa ini. 

Namun, hubungan mereka yang enggak akrab membuat Alesia malas berhadapan dengan kakak iparnya ini lama-lama. 

Tanpa mengatakan apa pun, Geryl langsung balik badan, berjalan menuju ruang makan. Dengan agak canggung, Alesia mengikuti langkah pria itu.

"Bentar ya, makanannya Mbok hangatkan dulu. Ini Mas Geryl ada kerjaan di Jogja lagi, terus mampir ke sini. Pas banget Mas Geryl belum makan. Jadi Mbok suruh makan bareng, biar Mbok nyiapinnya sekalian." Mbok Yati menyambut keduanya di meja makan dengan senyum ramah. 

"Maaf ya, Mbok, dari tadi aku sibuk, sampe lupa makan siang!" Alesia ingin membantu, tapi Mbok Yati melarangnya, menyuruh ia duduk saja di meja makan. 

Masalahnya, Alesia tidak suka berdiam diri di meja makan bersama Geryl saja. Pria itu menguarkan energi negatif yang takutnya bisa berefek buruk pada janin dalam kandungannya. Alesia tidak suka dengan sorot mata pria itu. Jadi lebih baik ia membantu Mbok Yati di dapur, kan? 

Namun, ketika Alesia ingin bangkit dari kursinya, suara berat pria itu menahan pergerakannya. "Kenapa ingkar janji?" 

Kening Alesia mengerut bingung. "Maksudnya?" 

"Bulan lalu kamu janji bakal telepon Kakakmu. Dan sampai sekarang, kamu belum telepon dia sama sekali. Bahkan nomormu masih enggak aktif. Ponselmu masih rusak?" 

Ya Tuhan! Ia betul-betul lupa! 

Kesibukan Alesia menggambar dan merevisi desain-desain bajunya, membuat ia lupa dengan janjinya pada Tishia. Benar-benar tidak ada niat sedikit pun untuk sengaja mengabaikan Tishia. 

Meski dia memang kurang nyaman ngobrol lama-lama dengan Tishia, dia tetap akan berusaha menghargai perhatian Kakaknya itu. 

"Aku ganti nomor. Maaf lupa ngabarin," cicit Alesia pelan. 

Setelahnya Mbok Yati datang membawakan berbagai macam lauk pauk yang masih mengepulkan asap. Obrolan mereka terhenti. Keduanya mulai sibuk menikmati hidangan masing-masing tanpa obrolan sedikit pun. 

Begitu makanannya habis, Alesia tidak ingin membuang waktu lebih lama dalam kecanggungan. Ia pun segera beranjak ke kamar, mengambil ponselnya. 

"Aku nge-restart hape, jadi semua kontakku hilang. Boleh tolong tulis nomor Kak Tishia di sini?" Alesia menyodorkan ponselnya pada pria kaku yang sejak tadi menatapnya tajam. 

Begitu pria itu selesai mengetikkan nomor telepon yang dihafal di luar kepala, Alesia langsung menekan tombol panggilan. Ia berjalan ke teras villa, agar lebih leluasa mengobrol dengan Kakaknya. Meski sebenarnya lebih banyak Kakaknya yang bicara, sementara ia cuma mendengarkan dan menyahut seadanya. 

"Kemarin Mami sama Papi nemenin aku check-up ke rumah sakit. Mereka happy banget, dan enggak sabar pengen tahu jenis kelaminnya. Kemungkinan baru bisa lihat jenis kelaminnya bulan depan. Mami pengen cucu cewek, Papi pengennya cowok. Kalau kamu, pengen ponakan cewek atau cowok?

"Apa aja yang penting sehat." Sumpah Alesia sudah berusaha menjawabnya dengan sesantai mungkin, tapi entah kenapa nada suaranya tetap terdengar sangat dingin. 

"Aaamiin. Bantu doain terus ya, Les!" Herannya, Tishia tetap menanggapi dengan ceria. "Dan kamu tahu, sekarang Mamai lagi ribet nyari jasa desain interior buat bikinin kamar bayi! Padahal aku baru hamil dua belas minggu! Tapi Mami udah ribet banget pengen bikin kamar dengan tema macem-macem di rumah. Katanya, biar kalau aku ngajak Adek bayi nginep di rumah, dia bisa nyaman di kamarnya sendiri.

"Padahal aku udah berkali-kali bilang ke Mami supaya enggak perlu berlebihan. Toh juga lahirnya masih lama. Aku pengen Mami tuh fokus sama check-up kesehatan Papi aja. Kamu tahu kan, bulan lalu waktu aku tahu kalau hamil, Papi yang lagi medical check-up di Singapura langsung maksain buat pulang secepatnya. Aku pengen protes lagi, tapi enggak jadi. Maklum deh, ini kan cucu pertama mereka setelah penantian lima tahun. Ini juga bakal jadi cucu pertama di keluarga Mas Geryl. Kadang aku agak ngerasa tertekan, karena takut enggak bisa maksimal menjaga Adek bayi. Aku sering ngerasa khawatir, gimana kalau aku nggak bisa jadi ibu yang baik? Tapi untungnya Mas Geryl selalu ada buat aku, nenangin aku, dan berhasil meyakinkan aku kalo aku pasti bisa melakukan yang terbaik buat Adek bayi. Dan aku juga—" 

Cerita Tishia membuat pikiran Alesia menerawang jauh. Curhatannya kurang lebih sama dengan yang Alesia rasakan selama ini. Berbagai kekhawatiran semacam itu kerap bercokol di kepalanya. Bedanya, Alesia tidak punya siapa pun untuk bersandar.

Kepala Alesia berputar cepat. Tishia yang dikelilingi oleh orang-orang yang menyayanginya saja, sering merasakan kekhawatiran itu. Apalagi dirinya yang sebatang kara di sini? 

Bagaimana ia bisa menjaga anak itu seorang diri, dan mendidiknya sampai anaknya bisa berdiri dengan kakinya sendiri? 

Lagi-lagi seluruh kekhawatiran itu menyeruak. Ia mulai ragu dengan kemampuannya sendiri. Di luar sana ada banyak sekali orang tua utuh yang gagal membesarkan anak mereka. Lalu bagaimana bisa Alesia menyombongkan diri ingin mengurus anaknya sendirian? 

Kemudian ia sadar bahwa usia kandungannya cuma selisih beberapa minggu dengan kandungan Tishia. Itu artinya, HPL mereka hanya selisih kurang dari sebulan, kan? 

Maka anaknya akan tumbuh bersamaan dengan anak Tishia, yang situasinya berbeda 180 derajat. Ia bisa langsung membayangkan bagaimana perlakuan orangtuanya nanti pada anaknya. Hatinya langsung terasa nyeri. Apakah kelak anaknya akan merasa tersingkirkan seperti yang ia rasakan dulu? 

"Bisa kan, Les?" 

Pertanyaan Tishia membuat Alesia terkejut. "Hah? Bisa apa, Kak?" 

"Datang ke Jakarta pas aku lahiran besok?" 

Tishia sudah menanyakan itu berkali-kali, dan Alesia hanya menjawabnya dengan gumaman. Iya, bahkan di saat usia kandungannya baru dua belas minggu, perempuan itu sudah sama rewelnya seperti Maminya. 

"Gampang deh, Kak. Nanti kita obrolin lagi kalau udah dekat harinya. Belakangan ini aku agak sibuk karena lagi mulai bikin bisnis kecil-kecilan bareng temenku. Nanti kalau udah agak stabil, aku bakal ceritain lebih detail tentang itu." 

"Oke, besok bakal aku tanya lagi.

Kemudian Tishia membelokkan topik pada beberapa resep makanan yang sedang ia coba belakangan ini. Alesia menanggapi seadanya, sampai Tishia menyudahi panggilan mereka saat ingin ke kamar mandi. 

Napas Alesia menghembus panjang. Mendengarkan ocehan Kakaknya begini saja sudah cukup menguras energinya. 

Kini perasaannya berkecamuk. Menanyakan, apakah ia masih boleh mengharapkan masa depan yang cerah setelah semua hal yang menimpanya? 

"Apa susahnya datang ke Jakarta buat menjenguk Kakak kandungmu saat melahirkan?" Suara berat dari belakangnya, membuat napas Alesia yang barusan berhembus lega, kembali terasa berat. 

"Waktunya masih lama. Aku nggak tahu apa yang bakal terjadi beberapa bulan ke depan, Mas." Alesia berusaha tetap tenang menjawabnya. 

"Nggak ada salahnya kamu bilang iya. Setidaknya biar dia lebih tenang, dan tahu kamu bakal mengusahakan untuk datang!" 

"Terus nanti kalau aku udah bilang iya, tapi ternyata ada sesuatu yang bikin aku nggak bisa ke datang, Mas Geryl bakal ngatain aku ingkar janji lagi, iya kan?" sahut Alesia sengit. 

Tanpa Alesia duga, nada suara pria itu merendah. "Kakakmu nggak punya teman ngobrol di Jakarta. Dia kesepian setiap aku kerja. Dia butuh teman ngobrol, dan merasa bersalah karena selama ini hubungan kalian enggak baik. Dia berusaha keras buat memperbaiki hubungan kalian. Setiap hari, dia mencemaskan kamu, penasaran apakah kamu makan dengan baik setiap harinya? Karena selama ini kamu jauh dari jangkauan orang tua. Hidup sendirian. Dia selalu khawatir sama kamu." 

Bibir Alesia menganga. Kemudian ia berdecak. "Ternyata kamu bisa ngomong panjang juga ya, Mas." 

"Setidaknya hargailah usahanya buat memperbaiki hubungan kalian," ketus Geryl. 

Alesia diam saja. Mendadak pandangannya tentang Geryl berubah. 

Tadinya, Alesia cuma menganggap pria itu serupa robot menyebalkan yang sok tahu. Alesia tidak suka dengan tatapan penuh menghakimi yang selalu terlihat setiap kali mereka berhadapan. 

Berkali-kali Alesia kesal dengan sikap Geryl yang kadang suka mencampuri urusannya dengan Tishia, dan asal menyimpulkan semaunya. 

Namun, hari ini Alesia menyadari sesuatu yang lain, bahwa selama ini, Geryl hanya berusaha membantu istrinya. Geryl tidak suka dengan Alesia, tapi berusaha menahan dirinya, dan tetap menemui Alesia demi istrinya. 

Geryl hanyalah pria bucin yang rela melakukan apa saja untuk kebahagiaan dan ketenangan istrinya. 

Entah Alesia harus prihatin dengan kebucinan Geryl yang sepertinya tidak tertolong lagi, atau harus menahan dengki atas keberuntungan Kakaknya dalam mendapatkan suami seperti ini. 

"Oh iya, kira-kira kapan kamu bakal menikah?" 

Hah?

Mulut Alesia terbuka tanpa suara. Baru saja Alesia mengubah penilaiannya terhadap Geryl menjadi sedikit positif, kini pria itu kembali bersikap menyebalkan yang membuat poinnya anjlok menjadi minus. 

"Kamu punya pacar, kan? Kamu pernah cerita ke Tishia kalau hubunganmu dengan pacarmu sudah berada di tahap serius. Jadi, kapan kamu akan menikah?" 

 

 

 

***

 

 

 

 

Bab 8: Rahasia yang Terkuak

 

 

 

 

Semakin hari bisnis yang mereka bangun semakin berkembang. Pesanan pre-order yang mereka buat pertama kalinya langsung menembus 200 orderan. Sampai mereka harus membatasinya karena tim produksi vendor mereka terbatas. Selanjutnya, produk-produk yang mereka rilis berhasil menarik minat ratusan orang, dan selalu sold out di hari perilisan. 

Vika mulai bekerjasama dengan influencer dan seleb Tiktok untuk mempromosikan produk mereka, sehingga jangkauan audiens-nya semakin luas. Hanya dalam waktu empat bulan, usaha mereka mulai stabil. Penghasilan mereka terus naik setiap bulannya. 

Kesibukan Alesia setiap harinya makin padat. Kini ia juga bertugas merekap stok barang, juga pengemasan sampai paket diangkut oleh ekspedisi. 

Berhubung apartemen Vika tidak memiliki kamar kosong, ia tidak bisa mengemas produk di apartemen. Lagi pula membawa barang berat dari lobi apartemennya sampai ke lantai 10 itu sangat melelahkan. Belum lagi setelah itu ia harus mengangkat puluhan paket dari unitnya ke lobi sambil menunggu dijemput oleh kurir.

Vika pernah melakukan itu sekali, dan langsung kapok. Energinya yang sudah terkuras setelah bekerja seharian, tidak bersisa lagi untuk mengurus puluhan paket. 

Masalahnya Vika juga masih belum menemukan karyawan yang sesuai dengan kriterianya. Jadi semuanya masih dikerjakan mereka berdua. 

Oleh karena itu, Alesia menawarkan untuk melakukan pengemasan produk di villa Kakaknya saja. Villa itu cukup luas, masih memiliki ruangan kosong yang biasanya dijadikan gudang, padahal barang-barang yang ditaruh di dalamnya tidak begitu banyak. Selain itu, Alesia bisa dibantu angkat-angkat barang oleh Pak Aryo. 

Seiring dengan kehamilan Alesia yang semakin besar—sekarang sudah memasuki 29 minggu, Alesia tidak bisa lagi packing ratusan paket sendirian. Apalagi selama kehamilan dia mengalami hipertensi, sehingga kondisi tubuhnya sudah tidak fit. Ia pun kini dibantu oleh Melati, keponakan Mbok Yati yang baru lulus SMK. 

Keberadaan Melati di villa sangat membantunya. Perempuan itu sangat cekatan, dan semua pekerjaannya selesai dengan baik. Ditambah lagi, Melati sangat ceria yang meski usianya terpaut cukup jauh dengan Alesia, perempuan itu bisa menyesuaikan diri dengan baik. Sehingga sekarang Alesia punya teman ngobrol baru. 

"Hari ini ngidam apa, Mbak?" Melati juga sangat ceria, dan selalu rajin menanyakan itu setiap harinya. 

Alesia berpikir sejenak, lalu menggeleng sambil mengelusi perutnya. "Nggak ngidam apa-apa." 

"Beneran, Mbak? Kalau pengen apa gitu, langsung ngomong aja loh! Jangan ditahan-tahan, Mbak! Nanti Adek bayinya ngileran!" seloroh Melati. 

"Beneran! Nanti kalau kepengen sesuatu, aku bakal langsung bilang kamu, biar kamu kerepotan cariin makanan yang aku mau," sahut Alesia sambil terkekeh. 

"Tenang aja, Mbak, aku siap manjat pohon di belakang villa kalau Mbak kepengen mangga muda. Dan aku juga pembalap loh! Aku bisa naik motor muterin Jogja buat beliin makanan apa pun yang Mbak mau." 

Alesia makin terbahak. "Ini ada maksud terselubung ya?" 

Sesuai dugaan, Melati menyengir. "Hari ini aku izin pulang cepet ya, Mbak?" 

Kening Alesia mengernyit. "Ini hari Sabtu, kan? Perasaan kamu selalu pulang cepet setiap hari Sabtu." 

"Kali ini, aku harus pulang jam dua siang, Mbak. Soalnya, habis asar aku mau nonton gebetanku tanding basket! Kan aku perlu waktu buat mandi sama dandan dulu." 

Senyum Alesia mengembang ketika menyadari wajah Melati dipenuhi semburat kemerahan. Ia kembali teringat dengan masa-masa remajanya, ketika sedang dekat dengan gebetan, dan antusias saat mau nge-date. Ia masih ingat bagaimana jantungnya berdegub tidak karuan, juga perutnya yang tergelitik tidak nyaman oleh gejolak kupu-kupu yang berterbangan tanpa arah. 

Dan Alesia baru sadar kalau sudah lama sekali ia kehilangan sensasi mendebarkan semacam itu. 

"Oke, boleh." 

"Makasih Mbak Ales!" seru Melati kegirangan. Perempuan itu melanjutkan pekerjaannya membungkus paket. Sedangkan Alesia duduk di balik meja, memeriksa laporan keuangan bulan ini yang belum selesai ia kerjakan. 

Alesia dan Vika sepakat untuk membuat pembukuan bisnis mereka serapi mungkin, supaya tidak ada kelalaian yang dapat merugikan keduanya. Mereka benar-benar profesional dalam menjalankan ini, dan membagi keuntungan menjadi dua sama rata. 

"Tapi aku beneran penasaran, masa Mbak Ales enggak ada ngidam sama sekali sih? Udah tiga bulan aku kerja di sini, enggak pernah lihat Mbak Ales ngidam apa-apa!" 

Memang benar, selama kehamilannya Alesia enggak pernah ngidam apa pun. Ia pun penasaran juga, ingin tahu bagaimana rasanya mengidam. Entah kenapa, ia benar-benar tidak merasakan apa pun. 

Setelah melewati trimester pertama, rasa mualnya mulai berkurang. Nafsu makannya pun meningkat. Alesia bisa makan dengan normal tanpa muntah-muntah lagi. Lalu setelah melewati trimester kedua, berat badannya naik 10 kg. Rekor berat badan terberat yang pernah ia rasakan. 

Semua makanan yang dihidangkan di meja makan oleh Mbok Yati bisa masuk ke perutnya dengan baik. Tidak ada kendala sama sekali. Paling Alesia harus membatasi makanan pedas dan asin. Selain itu, semuanya normal. 

"Iya, aku juga penasaran kenapa enggak kepengen apa-apa. Tapi kata dokter, ngidam tuh bukan gejala kehamilan yang wajib dilalui semua orang. Jadi, nggak masalah juga kalau aku nggak ngidam apa-apa. Bukannya malah bagus, jadi kamu nggak usah repot-repot manjat pohon mangga di belakang villa?" sahut Alesia enteng. 

Melati terkekeh. "Dedek Jean baik banget ya, Mbak! Dia pengertian loh! Enggak mau bikin Mamanya kerepotan! Aku makin enggak sabar pengen dia cepet lahir!" 

Iya, namanya Jean. 

Melati tahu dari nama brand mereka, Jean.id. Pada minggu pertama Melati bekerja, perempuan itu ceriwis sekali menanyakan banyak hal. Seperti filosofi gambar-gambar Alesia yang dituangkan dalam produk mereka, juga alasan brand mereka dinamai Jean.id.

"Mbak Ales 'kan enggak jualan celana jeans. Kenapa nama brand-nya Jean?" 

"Jean itu nama anakku. Artinya kehidupan. Diharapkan, anak ini bisa menjadi alasan ibunya untuk tetap bertahan hidup." Begitu Alesia menjawabnya dengan senyum lebar sambil mengelusi perutnya. 

Kemudian bola mata Melati malah berkaca-kaca. "Mbak ngingetin aku sama Ibu. Ibuku juga single parent. Bapak pergi sejak aku bayi, enggak tahu ke mana. Sampai sekarang pun aku nggak pernah ketemu Bapak, dan nggak kepengen juga sih. Dari kecil Ibu ngurus aku sendirian. Semuanya sendiri. Ibu juga jadi petani, kerja keras sekuat tenaga biar aku bisa sekolah. Dan semua usaha Ibu berhasil. Aku bisa sampai ada di titik ini, berkat Ibu." 

"Aku selalu bersyukur punya Ibu sehebat itu. Dedek Jean juga pasti bakal merasakan hal yang sama. Mbak Ales kan, keren banget!" 

Alesia langsung menyangkal. Rasanya ia tidak akan bisa sehebat Ibunya Melati. Namun, jawaban Melati setelah itu membuat Alesia termenung. 

"Mbak, tolok ukur keberhasilan seorang Ibu dalam membesarkan anaknya itu, bukan dilihat dari seberapa sukses anaknya. Tapi dari bagaimana anak itu bisa tumbuh dengan merasa cukup. Karena dengan rasa cukup, kita enggak butuh apa-apa lagi di dunia ini selain menjalani hidup kita dengan tenang." 

"Kasih sayang dari Ibu juga berhasil bikin aku merasa cukup. Aku enggak pernah lagi penasaran gimana rasanya dapet kasih sayang dari Bapak. Karena aku mikirnya, kalau aku dapat peran Bapak dalam hidupku, belum tentu aku bisa dapat kasih sayang sebesar ini dari Ibu. Jadi, aku lebih pilih hidup seperti ini terus menerus bareng Ibuku, dibanding harus membayangkan bagaimana jadinya kalau hidupku berjalan dengan sebaliknya." 

Dan semenjak hari itu, kedekatan Alesia dengan Melati semakin lengket. Gadis itu meski umurnya cukup jauh di bawahnya, tapi punya pemikiran yang sangat dewasa. Nggak jarang mereka saling curhat, meski seringnya memang Melati yang curhat, karena Alesia masih belum bisa terbuka sepenuhnya.

"Kira-kira Dedek Jean lahirnya kapan sih, Mbak?" Melati membantu Alesia menggulung lamunannya dengan pertanyaan—yang sudah dia tanyakan berulang kali bulan ini.

"HPL-nya 6 minggu lagi. Doain lancarnya!" 

"Harusnya sekarang Mbak Ales udah nggak ngurusin kerjaan lagi. Biar aku aja, Mbak. Mending Mbak is—" 

Suara Melati terhenti karena dering ponsel Alesia. Nama Tishia langsung terpampang di layar. 

Alesia pun mengangkatnya, sambil berjalan ke halaman belakang. 

"Paketnya udah sampe, Les! Makasih ya! Bagus banget sihhh! Padahal ini bukan pertama kalinya aku buka paketnya, tapi aku selalu kagum, dan masih nggak nyangka kamu bisa bikin brand baju sebagus itu!" Suara antusias Tishia langsung menyeruak.

"Makasih, Kak. Cukup nggak?" 

"Kekecilan sih, lengannya. Beratku naik 13 kg selama hamil. Jadi sekarang badanku melar banget. Baru kali ini aku pake baju ukuran L enggak cukup. Padahal biasanya selalu pake ukuran S." 

Alesia sudah menceritakan bisnis kecil-kecilan yang sedang dikelola pada Tishia. Sebenarnya, dulu ia cerita karena sekalian minta izin Tishia sebelum menjadikan villa ini sebagai gudang pengemasan produk. 

Sesuai dugaannya, Tishia sangat antusias. Perempuan itu membanjiri Alesia dengan berbagai pujian dan langsung mengikuti akun Instagram Jean.id. Saking antusiasnya, berkali-kali Tishia ingin datang ke villa untuk mencoba produknya secara langsung, juga ingin tahu keseharian Alesia di villa. Namun, Alesia berusaha mencegahnya dengan berbagai alasan. 

Untung saja sampai detik ini, Alesia bisa mencegah kedatangan Tishia maupun Kakak iparnya ke villa. 

Sudah empat bulan Geryl tidak berkunjung lagi. Sehingga mereka semua belum tahu tentang kehamilan Alesia. 

Sebagai gantinya, Alesia jadi harus lebih sering mengangkat telepon Tishia, mengirimkan produk barunya setiap bulan, juga banyak bercerita tentang kesehariannya agar Tishia tidak khawatir dengan keadaannya di sini. 

Pasalnya, Tishia itu agak berlebihan. Baru beberapa hari Alesia enggak bisa dihubungi, perempuan itu langsung berencana datang ke Jogja, atau mengutus sang suami untuk memastikan keadaannya. 

Jadi, Alesia betul-betul tidak boleh melewatkan satu hari pun tanpa mengabari Tishia.

Semakin lama, Alesia mulai terbiasa dengan rutinitas ini. Ia jadi lebih santai setiap kali mengobrol dengan Kakaknya, tidak lagi merasa secanggung itu. 

Kakaknya pun sudah tahu kalau dirinya sudah putus dari Mario. Alesia bercerita setelah dia mengabaikan pertanyaan Geryl waktu itu, tentang kapan ia akan menikah. 

Beberapa hari setelah Geryl pulang, Tishia menelepon untuk minta maaf mewakili suaminya, dan mengaku kalau sebenarnya pertanyaan itu berasal dari rasa penasaran Tishia. Kemudian Alesia memutuskan untuk memberi tahu Tishia, agar ia tidak perlu lagi ditodong dengan pertanyaan menyebalkan semacam itu. 

Untungnya, setelah itu Tishia betulan tidak pernah membahas apa pun soal pacar atau status Alesia saat ini. 

"Ya udah, Kak, nanti aku kirimin yang ukuran XL. Yang itu, disimpen aja dulu buat dipake setelah lahiran." 

"Makasih banyak, Les! Besok kalau baju yang ukuran XL udah sampe, langsung aku fotoin deh! Sayang banget ya, Les, kita belum bisa ketemu juga sampai sekarang! Padahal aku kangen banget sama kamu! Illian juga pasti happy banget bisa ketemu Tantenya." 

Illian itu nama calon keponakannya. Takdir memang sedang lucu-lucunya, saat Alesia mengetahui kalau ternyata jenis kelamin anak Tishia sama seperti anaknya. Laki-laki. Dalam benak Alesia langsung terbayang bagaimana menyenangkannya melihat Illian dan Jean berlarian bersama, saling berbagi satu sama lain sampai dewasa. Impian itu enggak kejauhan, kan?

Meski di pojok hatinya, ia menyangsikan hal itu bisa terjadi, mengingat orangtuanya yang belum tentu bisa menerima kehadiran Jean dengan baik. 

Alesia menjawabnya dengan tenang. "Kalau sekarang aku ke Jakarta, Illian belum bisa lihat muka Tantenya yang paling cantik ini. Jadi, aku ke sana besok-besok aja setelah Illian lahir." 

Tishia terbahak. "Bener, ya! Besok seminggu sebelum HPL-ku, kamu nginep sini ya!

Kali ini Alesia tidak langsung menjawab. Biasanya dia selalu mengiakan dengan santai semua permintaan Kakaknya, agar perempuan itu lebih tenang. Padahal jelas-jelas Alesia nggak mungkin bisa datang, karena di saat yang sama, ia juga sedang fokus menyiapkan kelahiran putranya sendiri. 

Dan rencananya Alesia baru akan membatalkan janjinya untuk ke Jakarta, saat harinya sudah semakin dekat. 

"Iya, Kak. Harus banget ditanyain terus ya?" Akhirnya Alesia menjawab dengan berat hati, karena tidak tega membohongi Kakaknya terus. 

Sampai sekarang dia masih belum punya nyali untuk mengungkapkan kehamilannya pada keluarganya. Semuanya masih tertutup rapat, yang diharapkan bisa terus begini sampai Jean lahir. 

Satu-satunya yang menjadi pertimbangan Alesia merahasiakan ini adalah kesehatan mentalnya. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana murkanya Mami dan Papinya saat tahu soal ini. Yang pasti tidak akan bagus untuk kesehatan mentalnya.

Sulit sekali baginya untuk sampai di titik ini. Alesia sudah melewati banyak sekali malam-malam yang menyesakkan. Dan ia berhasil berdamai dengan semuanya. 

Saat ini yang ia inginkan hanya ketenangan.

Menurut saran dokter, ia tidak boleh stres. Selain genetik, tekanan darah tingginya juga disebabkan oleh stres. Padahal hipertensi pada kehamilan ini sangat berbahaya, bisa menyebabkan masalah yang fatal. Sehingga Alesia harus menjauhkan dirinya dari hal-hal yang berpotensi membuat tensinya naik.

"Mami tuh juga sebenarnya kangen banget sama kamu, Les! Tapi biasalah, Mami kan gengsian. Dia suka nanyain kamu lewat aku. Pas aku kasih tahu kalau kamu putus dari pacarmu, Mami malah mau ngejodohin kamu sama anak temennya. Tapi tenang aja, aku udah bilang ke Mami buat stop ganggu kamu. Terus Mami udah janji nggak akan ngusik kamu lagi. Jadi kamu bisa tenang di sama menjalani rutinitasmu kayak biasa. Dan nggak ada salahnya juga kan, sesekali kamu main ke sini.

"Nanti aku bakal bilang ke Mami supaya enggak bahas apa pun soal pacar, jodoh atau apa pun itu. Jadi kamu bisa ngobrol sama Mami bahas yang lain, tanpa perlu khawatir." 

"Iya, Kak. Nanti kalau kesibukan di sini udah agak reda, aku bakal sempetin buat ke Jakarta. Sekarang karyawanku baru satu. Ini juga temenku lagi proses rekrut karyawan baru. Dan kita juga udah sewa ruko buat kantor, jadi nggak perlu menuhin villa sama karung-karung baju lagi." 

"Gila, keren banget deh kamu! Dalam waktu beberapa bulan aja, bisnis kamu udah sebesar ini. Jujur, kayaknya aku nggak akan bisa mengembangkan bisnis sampai segininya tanpa bantuan Mami dan Papi. Dan kamu bisa loh! Aku bangga banget sama kamu!" 

"Nggak usah lebay deh, Kak. Aku yakin kamu jauh lebih pinter buat bikin bisnis kecil-kecilan kayak gini!" 

"Kamu selalu rendah hati gitu, padahal punya kemampuan yang luar biasa buat dikembangin. By the way, sekarang Mas Geryl lagi di Solo. Kemarin aku udah minta dia buat mampir ke villa. Udah lama kan, dia enggak ke sana? Kamu boleh ngerepotin dia lho! Kayak suruh dia beliin apa gitu? Makanan? Atau tas? Apa aja! Bebas! Aku baru tahu belakangan, ternyata dia kalau main ke villa enggak pernah bawa apa-apa ya? Bener-bener deh, dia tuh, kalau aku enggak suruh, nggak pernah inisiatif sendiri." 

"Kemarin aku udah pesen ke dia buat bersikap lebih ramah sama kamu, jangan terlalu kaku dan nyebelin! Gila ya, buat hal kayak gini aja, dia harus dipesen dulu." Tishia terkekeh ringan. "Maklum ya, Les. Dia setelan pabriknya emang begitu. Dia tuh sebenernya orang yang hangat kok. Dia sama sekali enggak berniat buat jutek atau ketus. Cuma cover-nya aja yang bawaan lahir kelihatan datar gitu. Nanti kalian ngobrol-ngobrol ya, yang santai gitu, kayak di pantai!

Seketika Alesia panik. Sekarang ia tidak bisa lagi menutupi perutnya yang sudah sebesar ini. Mau pakai baju oversized seperti apa pun, tidak akan bisa menyembunyikannya. Jadi, jalan satu-satunya memang ia tidak boleh bertemu Kakak iparnya sama sekali. 

"Nggak usah, Kak! Dari Solo ke Jogja itu jauh! Mas Geryl pasti capek 'kan, habis ngurus kerjaan malah disuruh ke sini? Mending waktunya buat dia istirahat di hotel aja! Lagian aku tuh enggak bisa ngobrol sama dia lama-lama, Kak! Dia kaku banget, dan wajahnya nyebelin. Jadi, mendingan kamu suruh suamimu jalan-jalan sendiri cari oleh-oleh yang banyak buat kamu, Kak!" 

Tishia tertawa ringan. "Justru karena kalian enggak akrab, aku suruh dia sering-sering ke sana. Biar kalian bisa ngobrol lebih akrab. Masa udah lima tahun lebih aku nikah sama dia, tapi hubungan kalian masih canggung begitu kayak orang asing?"

Otak Alesia berpacu cepat, mencari alasan lain untuk mencegah Kakak iparnya ke sini. Namun, ia tidak bisa mengatakan apa pun, karena Tishia terus mencerocos panjang lebar. "Mending kamu porotin dia, Les! Minta ditraktir apa gitu, yang mahal! Rugi deh, kamu tuh, punya Kakak ipar tajir gitu, enggak dimanfaatin! Asal jangan minta apartemen ya!" 

Sampai sambungan telepon selesai, Alesia tidak berhasil mencegah kedatangan Kakak iparnya. Jadi, cara lain yang bisa ia lakukan adalah pergi dari sini, supaya Geryl tidak menemuinya. 

Alesia segera bersiap-siap. Tidak butuh waktu lama baginya untuk berganti baju dan memakai makeup tipis. Dia bisa nongkrong di kafe yang agak jauh dari sini sampai malam, atau sampai kapan pun itu setelah Geryl pulang.

Ketika menengok ke dalam ruang packing yang sudah tertutup rapat, tampaknya Melati sudah pulang. Mungkin perempuan itu pamit saat ia sedang di kamar mandi, sehingga ia tidak dengar. 

Berhubung Mbok Yati juga tidak ada, Alesia berinisiatif untuk berpamitan melalui pesan saja. Ia pun segera memesan taksi online. Meski Tishia tidak menyebutkan pukul berapa suaminya bakal ke sini, Alesia tetap harus buru-buru pergi.

Sialnya, takdir tidak berpihak padanya. 

Ketika Alesia mendengar suara mobil berhenti di depan, langkahnya buru-buru keluar. Ia pikir, itu adalah taksi pesanannya. 

Namun, tubuhnya langsung membatu saat mendapati manusia kaku yang sangat tidak ingin ia temui, keluar dari kursi penumpang. 

Seperti ada paku yang menancap di kakinya, sehingga ia tertanam dengan tanah yang dipijaknya. Tidak bisa beranjak ke mana pun. 

Dadanya berdebar tidak karuan, ketika mata tajam itu menatap perut bucitnya dengan kening mengerut penuh tanya. 

Tolong serukan mantra sihir apa pun agar Alesia bisa lenyap dari sini! 

 

 

 

 

***

 

 

 

 

Bab 9: Sushi Time

 

 

 

 

Alesia tahu, cepat atau lambat rahasianya pasti akan terbongkar. Seperti kata pepatah, sepandai-pandainya bangkai disembunyikan, pasti akan tercium baunya. Alesia juga yakin dirinya enggak mungkin bisa merahasiakan ini selamanya. 

Namun, ia sama sekali tidak menyangka kalau keluarganya yang tahu lebih dulu adalah Geryl. 

Ada jeda cukup lama di antara mereka. Berhubung Alesia enggak mungkin membiarkan Kakak Iparnya terus di luar, ia pun mempersilakan masuk melalui gestur tubuhnya. 

Ruang tamu yang cukup luas itu terasa lengang. Dua orang yang duduk berhadapan tampak sibuk dengan pikiran masing-masing. 

"Tolong rahasiakan ini dari semua orang ya, Mas! Jangan bilang ke Kak Tishia, apalagi Mami-Papi," pinta Alesia dengan suara rendah. Kepalanya tertunduk, penuh permohonan. 

Alesia betul-betul belum siap menghadapi amukan Mami dan Papinya. Ia tahu dirinya memang pengecut. Dan ia sama sekali tidak peduli, mau berapa ribu orang yang mengatainya begitu. Yang jelas, untuk saat ini dia perlu mementingkan kesehatan mentalnya, dan fokus pada kelahiran anaknya sebentar lagi.

"Nanti ... kalau aku sudah siap, aku pasti bakal bilang ke mereka semua. Setidaknya ... sampai anak ini lahir dengan baik. Tolong biarkan aku melahirkan dengan tenang." 

Kini Alesia benar-benar putus asa. Raut wajah Kakak iparnya menyorot dengan tajam, tidak berubah sedikit pun setelah mendengar penjelasannya. Pikirannya semakin kalut. Jelas pria ini enggak mungkin berpihak padanya. Melihat bagaimana Geryl sangat mencintai istrinya sebesar itu, bisa dipastikan, dalam hitungan menit Tishia akan mengetahui kehamilannya. 

"Mas, please jangan diem aja gini dong! Aku udah kehilangan semuanya. Dan cuma anak ini satu-satunya yang aku punya sekarang. Aku belum siap ngasih tau Mami-Papi, karena aku takut mereka ambil anak ini dari aku. Kalau Kak Tishia tahu, aku yakin cepat atau lambat Mami dan Papi juga bakal tahu."

Alesia menarik napas panjang, berusaha meredakan sesak di dadanya. "Mami dan Papi pasti bakal minta aku buat menikah secepatnya. Dan aku nggak bisa ngelakuin itu, karena ayah dari anak ini—mantanku, udah pergi entah ke mana. Bahkan kalau dia ada di sini pun, lebih baik aku mati ketimbang menikah sama dia." 

Saking frustasinya, air mata Alesia mengambang di kelopak matanya. Dia langsung membayangkan dunianya akan kembali kacau jika Mami dan Papinya sampai tahu. 

Butuh waktu berbulan-bulan baginya untuk mengais kepingan hidupnya yang hancur, menyusunnya kembali satu per satu sampai ia bisa merasakan ketenangan ini. Jadi, ia akan melakukan segala cara—termasuk memohon, atau kalau perlu bersujud di kaki Kakak iparnya kalau, agar bisa merahasiakan ini. 

"Mas, Kak Tishia juga perlu fokus dengan kehamilannya. Dia pasti bakal kaget kalau tahu ini, dan itu enggak bagus untuk—" 

Suara Alesia berhenti ketika Geryl akhirnya bicara. 

"Kamu udah makan?" 

Hah?

"Mau makan apa?" 

Alesia masih menganga tanpa suara. Tidak mengerti dengan pertanyaan yang barusan dilontarkan Kakak Iparnya.

"Mbok Yati nggak ada ya? Mau makan di luar?" 

Gantian Alesia yang membisu. Masih kesulitan mencerna situasi yang tengah dihadapinya. 

Ah, jelas Geryl enggak peduli dengan hidupnya. Bahkan seharusnya Alesia nggak perlu menjelaskan apa pun pada Geryl. Pria itu juga tidak perlu memahami situasinya. Apa pun yang Alesia hadapi sekarang, sama sekali bukan urusan Geryl. 

"Kalau kamu udah makan, dan nggak kepengen makan apa pun, aku mau keluar cari makan sendiri." Pria itu sudah bersiap bangkit dari sofa, yang langsung membuat Alesia menyerukan satu kata yang tiba-tiba muncul di otaknya. "Sushi!" 

Sadar kalau suaranya memekik terlalu nyaring, Alesia pun berdeham. "Aku ... mau nitip sushi, Mas."

Alesia pun bingung dengan dirinya sendiri. Padahal tadi saat Melati menanyakan makanan apa yang sedang dia idamkan, Alesia enggak kepikiran makanan apa pun. Dia juga sudah makan beberapa jam lalu, dan sebelum Geryl muncul di hadapannya, perutnya masih kenyang setelah ngemil biskuit. 

Lalu tiba-tiba saja, sekarang ia lapar lagi. Bayangan sushi yang menggiurkan langsung memenuhi kepalanya. Apa ini karena muka Geryl mirip salmon sashimi? 

Atau karena tatapan tajamnya yang terlalu menyengat seperti wasabi?

Tanpa mengatakan apa pun, Geryl bangkit dari sofa, kemudian berjalan keluar villa. Alesia masih terpaku di sofa, sedikit kebingungan dengan sikap Kakak Iparnya itu. 

"Jadi mau sushi nggak?" Tiba-tiba suara berat itu kembali menyerukan namanya dari luar villa. 

Ketika Alesia melangkah keluar, rupanya pria itu tengah berbincang dengan supir taksi yang baru datang. 

Melihat Alesia yang hanya berdiri di ambang pintu seperti patung, Geryl pun kembali bicara. "Ayo! Katanya mau sushi? Ini taksi pesenan kamu, kan?" 

"Kamu aja yang beli, setelah cari makanan buat kamu sendiri. Aku suka semua menu yang ada di Sushi Tei." 

"Tetap lebih praktis kalau kamu ikut beli. Aku malas mikir mau beli apa aja yang kira-kira kamu suka." 

Sebenarnya bisa saja Alesia mengulangi kalimatnya, bahwa ia suka semua menu yang ada di Sushi Tei. Apa pun. Dijamin ia tidak akan protes dengan apa pun yang dibeli Geryl. 

Namun, alih-alih mengatakan itu dengan lebih jelas, Alesia berbalik badan, menutup pintu villa di belakangnya, kemudian menyusul Geryl masuk ke taksi.

 

 

 

 

***

 

 

 

"Kalian 'kan udah sering teleponan. Setiap aku ke sana juga dia kelihatan baik-baik aja. Jadi, buat apa aku ke sana lagi sih, Sayang?" tanya Geryl yang terlihat ogah-ogahan saat istrinya kembali memintanya main ke villa, menjenguk Adik iparnya. 

"Kamu 'kan belum sempet minta maaf setelah nanya nggak sopan sama dia waktu itu, Mas!" 

Geryl menjauhkan ponselnya semata-mata agar sang istri tidak mendengar helaan napas beratnya. Selain malas basa-basi dengan adik iparnya itu, jarak tempatnya menginap di Solo itu jauh sekali dengan villa mereka di Jogja. Butuh perjalanan hampir tiga jam, karena lokasi villa-nya jauh dari kota. Dan tubuhnya saat ini sudah sangat lelah. Ia hanya ingin tidur panjang, lalu besok paginya bisa bangun dengan tubuh lebih fresh, dan pulang ke Jakarta. 

"Aku 'kan udah minta maaf." 

"Kamu minta maaf dengan wajah lempeng begitu, yang ada malah bikin Alesia makin kesel, Mas! Lagian kamu nih, kenapa sih, kesel banget sama Adik aku? Semua sikap dinginnya itu bukan sepenuhnya salah dia, Mas. Aku, Mami dan Papi punya peran besar buat bikin dia jadi kayak sekarang.

"Oke, nanti aku ke sana." 

"Makasih, Ayah! Jangan lupa nanti pas ke sana kamu bawain makanan ya?" 

"Oke." 

"Mas, nanti pas kamu ngobrol sama Alesia, bisa nggak, kamu tanyain sekali lagi apa dia bisa dateng ke sini pas aku lahiran? Support dari kamu dan Mami selama proses persalinan udah cukup bikin aku bahagia. Tapi aku rasa bakal lebih happy kalau ada Alesia juga! Kan udah lama juga kita enggak ketemu. Bisa kan, Mas?

Kali ini Geryl hanya terdiam. 

"Tapi kamu tanyanya tuh jangan langsung to the point gitu dong, Mas. Kamu basa-basi dulu. Dia kesibukannya apa, dan lagi sakit apa enggak? Soalnya belakangan ini aku dengar suaranya kayak beda gitu, agak bindeng. Terus kamu bilang ya, kalau aku udah siapin satu kamar buat Alesia nginep di rumah. Itu memang kamar tamu yang aku dekor ulang. Tapi mulai sekarang, enggak akan aku jadiin kamar tamu lagi. Soalnya cuma Alesia yang boleh nempatin.

"Iya."

"Makasih, Ayah, udah selalu ngertiin aku! Ya udah ya, aku mau yoga dulu! Aku nggak sabar banget nunggu Illian lahir! Dia pasti bakal mirip banget sama kamu deh, Mas!" 

Karena telepon istrinya itulah, Geryl memaksakan diri untuk mengunjungi villa lagi, yang sudah cukup lama tidak ia kunjungi. 

Beberapa bulan terakhir, setiap kali ada pekerjaan di sekitar Jogja, Geryl sengaja meminta sekretarisnya untuk memadatkan jadwalnya sampai pulang ke Jakarta, sehingga ia tidak perlu repot-repot ke villa hanya untuk berbasa-basi dengan adik iparnya. 

Namun, kali ini ia tidak bisa menghindar lagi. 

Sebenarnya Geryl tidak membenci Adik iparnya. Dia hanya ... kurang suka dengan sikap adik iparnya, yang seringkali mengabaikan perhatian istrinya. Ia tidak suka melihat sorot kecewa istrinya tiap kali Adik iparnya tidak menjawab telepon atau pesannya. 

Dan yang lebih menyedihkan, Geryl sempat melihat buku catatan harian istrinya yang menuliskan sederet ungkapan penyesalan atas hal-hal di masa lalu yang membuatnya 'kehilangan' adiknya. Tishia betulan setulus itu ingin memperbaiki hubungannya dengan sang adik, tapi responnya sangat dingin. Membuat Geryl sangat geram. Betapa kekanakan sekali gadis itu! 

Maka di sinilah Geryl berada. Di dalam taksi yang ia tumpangi dari Stasiun Tugu, setelah naik KRL dari Solo Balapan. Ia sengaja tidak membawa makanan apa pun—mengabaikan pesan istrinya—karena berpikiran bahwa Mbok Yati selalu memasak untuk mereka, jadi ia tidak perlu repot-repot membeli makanan. 

Namun, yang ia dapati begitu sampai villa membuat semuanya buyar. 

Geryl sama sekali tidak mengira akan mendapati sosok Alesia dengan tubuh yang mengembang dua kali lipat seperti ini. Memang beberapa bulan lalu, ia merasa bahwa tubuh Alesia lebih gemuk dari yang ia ingat. Tapi ia pikir, itu hanya perasaannya, dan bukan sesuatu yang penting. 

Siapa sangka, tubuh Alesia yang ditemuinya sekarang, lebih besar lagi—dibanding empat bulan lalu, dengan perut yang membuncit, mengingatkannya pada sang istri. 

Di antara semua pikiran yang berkecamuk di kepalanya, yang paling mengganggu pikirannya adalah ... apakah Alesia makan dengan baik?

Maksudnya, ia ingat pada istrinya yang ngidam berbagai macam makanan selama hamil. Mulai dari makanan yang mudah dicari, sampai makanan yang membuat Geryl harus menempuh perjalanan empat jam lebih untuk menemukannya. 

Sedangkan Alesia, menurut penjelasan singkat gadis ini, ia sudah putus dari laki-laki brengsek yang menghamilinya. Berarti sekarang Alesia hanya ditemani oleh Mbok Yati dan Pak Aryo. Dan apakah keduanya bisa memenuhi ngidam Alesia dengan baik?

Tanpa sadar seluruh rasa kesal Geryl terhadap Alesia tersingkirkan oleh tanda tanya besar yang memenuhi kepalanya. Namun, ia tidak menyuarakan itu, memilih diam saja sepanjang perjalanan menuju mal. Entah kenapa, Geryl merasa tidak berhak untuk menanyakan apa pun, meski ia sangat ingin. 

Sampai taksi berhenti di lobi mal pun, keduanya masih sama-sama diam. Langkah Alesia bergerak mendahuluinya menuju restoran sushi. Ia mengekorinya dengan lebih pelan, tidak mau membuat Alesia terburu-buru. 

Langit sudah menjelang petang ketika mereka sampai mal. Ini sudah memasuki waktunya makan malam, sehingga restoran sangat ramai. Mereka mendaftarkan nama pada waiting list, dan diperkirakan menunggu sekitar tiga puluh menit. 

"Kalau gitu, kita bisa ke sana sebentar!" Geryl menunjuk toko sepatu tidak jauh dari restoran sushi. 

Meski tampak bingung, Alesia mengikuti langkahnya menuju toko itu. 

"Pilihlah sandal yang nyaman dan pas untuk kakimu! Aku tunggu di kasir." Tanpa menunggu jawaban, Geryl melangkah pada kursi di dekat kasir sambil mengeluarkan ponsel dari saku, untuk membunuh waktu selagi menunggu. 

 

 

 

 

***

 

 

 

Alesia lupa kapan pertama kali dia mengetahui bahwa ia mengalami preeklamsia. 

Mulanya pada trimester pertama kehamilan, semuanya baik-baik saja, tekanan darahnya normal. Lalu saat memasuki trimester kedua, dokter mengatakan bahwa tekanan darah Alesia tinggi, sehingga dokter meresepkan obat vitamin dan mewanti-wanti agar lebih berhati-hati menjaga pola makan. 

Lalu pada bulan berikutnya, tekanan darahnya tidak juga normal, dan pada hasil cek laboratorium, terdapat kandungan protein pada urine. 

Alesia langsung teringat kalau Papinya memiliki riwayat hipertensi. Dan selain karena keturunan, hipertensi yang dialaminya diperparah oleh banyaknya pikiran yang berkutat di kepalanya, yang secara tidak langsung membuat ia stres.

Beruntung kondisi janinnya baik-baik saja, hanya saja ia perlu kontrol ke dokter seminggu sekali untuk memantau perkembangan janinnya. 

Salah satu efek yang paling terasa dari preeklamsia adalah pembengkakan tidak normal di beberapa bagian tubuhnya. Selain itu, berat badannya juga naik drastis secara tiba-tiba. 

Pembengkakan yang paling Alesia rasakan ada pada kedua kakinya. Makanya belakangan ini ia lebih sering memakai kulot ketimbang dress selutut, karena insecuredengan ukuran kakinya yang lebih mirip kaki gajah. Untung saja ia menemukan beberapa brand celana yang cocok untuk ibu hamil, sehingga perutnya tetap terasa nyaman—tidak tertekan. 

Selama ini Alesia hanya berfokus pada pakaian yang harus dibeli dengan ukuran paling besar, sampai tidak sadar kalau ia juga perlu membeli sandal atau sepatu baru untuk kakinya yang membengkak. 

Sebelum hamil ukuran sandalnya 37. Setelah kakinya membengkak, ia pun membeli sandal ukuran 39. Tapi karena belinya secara online, ia tidak tahu kalau ternyata ukuran kakinya lebih besar dari itu, sehingga sandalnya kekecilan. 

"Lagian kenapa nggak ukur kaki dulu sebelum beli? Sayang banget deh, udah beli sandal sejutaan gitu, enggak kepake!" omel Vika saat tahu tentang kebodohannya. 

"Gue cuma ngukur panjang kaki. Enggak memperkirakan kalau kaki gue bengkak segede ini." Begitu balasan Alesia untuk membela diri. 

"Masih bisa dituker nggak sih? Coba sini gue bantu urus ke customer service-nya buat nukerin!" 

"Nggak usahlah, ketimbang ribet. Lagian ini kandungan gue udah tujuh bulan, kan. Bentar lagi juga lahiran, terus gue jadi kurus lagi. Dan gue kan juga jarang pergi-pergi. Jadi nggak butuh-butuh amat lah, sendal buat keluar gini." 

Atas dasar pemikiran itulah, Alesia membiarkan sandal kekecilan ini tetap bertengger di rak sepatunya. Ia sama sekali tidak menduga hari ini akan terjadi. Hari di mana ia harus keluar rumah—lebih tepatnya ke mal yang nggak memungkinkan untuk pakai sandal rumahan bulu-bulu dengan kepala kucing di atasnya yang biasa dia pakai di rumah. 

Berhubung tidak punya pilihan lain, Alesia pun memakai sandal mules kekecilannya ini. 

Dan sekarang ia menatap pantulan kakinya di cermin toko sepatu, menyadari kalau ternyata bentuk kakinya yang sangat sesak dengan sandal ini terlihat sangat menyedihkan. Pantas saja hati nurani Geryl tergerak untuk membelikannya sandal baru. 

"Menurut kamu, lebih bagus yang mana, Mas?" Supaya Alesia enggak terlalu canggung, ia berinisiatif mengajak Kakak Iparnya itu ngomong. 

Alesia mendekat dengan menunjukkan dua buah sandal, yang satu bermodel flatformberwarna hitam, dan satu lagi bermodel mules berwarna krem, tidak jauh beda dengan model sandal yang dipakainya sekarang.

"Beli aja keduanya." 

Alesia mendengus. Jawaban Geryl persis dengan dugaannya. Pria itu pasti enggak mau repot memilih. Namun, Alesia bersikeras memintanya memilih. "Aku mau beli ukuran paling besar, yang cocoknya dipake pas lagi hamil aja. Setelah lahiran dan badanku jadi kurus lagi, sandal ini nggak akan kepake lagi. Jadi, sayang kalau beli dua." 

"Pilih yang paling nyaman."

Akhirnya Alesia menyerah. Ia tidak mau lagi repot-repot meminta pendapat si tiang listrik itu lagi. Dia pun balik badan, memanggil pegawai toko. 

Sebelum Alesia mengatakan apa pun pada pegawai yang mendekat, suara Geryl memasuki pendengarannya. "Yang hitam lebih cocok dengan kepribadianmu." 

Alesia menoleh pada asal suara dengan kedua alis bertautan. Pertama, ia terkejut karena pilihan Geryl sesuai dengan yang ia putuskan satu menit yang lalu di pikirannya. Ia memang lebih suka yang hitam sejak pertama kali melihatnya. 

Kedua, apa yang Geryl tahu tentang kepribadiannya? Bukankah selama ini hubungan mereka jauh dari kata akrab? Atau pria itu hanya asal memilih, dan kebetulan pilihannya sesuai dengan seleraku?

"Mbak, saya mau yang ini ukuran 40 ya!" 

Sepeninggal pegawai toko, Alesia langsung mendekati Geryl dengan penuh penasaran. "Maksud kamu soal cocok dengan kepribadianku itu, gimana? Emang kamu tahu apa soal kepribadianku?" 

Geryl mengangkat bahu acuh. "Aku nggak tahu apa-apa." 

Sebelah alis Alesia terangkat. "Terus?" 

"Model sandal yang hitam ada tali di belakangnya. Sedangkan yang cokelat nggak ada. Jadi saat dipakai, sandal yang hitam itu nggak akan mudah lepas. Cocok buat kamu yang ceroboh." 

Alesia mendengus tidak terima. Geryl bahkan tidak pernah menghabiskan waktu lebih dari tiga jam dengannya. Dan pria itu bisa langsung mengatainya ceroboh? 

"Ceroboh gimana? Nggak usah sok tahu deh, Mas!" 

Kemudian Geryl berdiri dari duduknya. Pandangannya menurun, berhenti di perutnya. "Kalau nggak ceroboh, dia nggak mungkin ada." 

 

 

 

 

***

 

 

 

 

 

Bab 10: Counting Days

 

 

 

 

Ketika usia kehamilannya yang memasuki 33 minggu, Alesia mulai merasakan banyak keluhan. Ditambah lagi, dia juga mengalami preeklamsia sehingga keluhan yang dia rasakan dua kali lipat lebih parah dibanding kehamilan normal. Seperti pinggangnya yang sakit dan mudah kebas, kaki yang gampang kesemutan, kepalanya sering terasa pusing, dan gejala mualnya kembali datang lagi setelah beberapa bulan terakhir ia jarang mual. 

Namun, dibanding itu semua, hal yang paling membuatnya ngilu adalah payudaranya yang kini membengkak dan terasa nyeri. 

Menurut dokter, pada usia kehamilannya yang semakin besar, produksi ASI sudah semakin banyak. Hal ini sangat wajar terjadi. Dokter juga menganjurkan Alesia untuk mulai mempersiapkan ASI-nya, karena preeklamsia yang dialaminya, membuat adanya kemungkinan kalau anaknya lahir lebih cepat dari HPL. 

Untuk menghindari adanya penyumbatan saluran ASI, Mbok Yati pun menyarankan untuk melakukan pijat laktasi. Beliau memiliki kenalan bidan yang ahli melakukannya, dan Alesia nurut-nurut saja. 

Baru tadi pagi dia menjalani pijat laktasi, untuk memperlancar produksi ASI agar tidak ada sumbatan. Lalu siang harinya kedua payudaranya mengeluarkan kolostrum. Kolostrum itu ASI pertama yang dikeluarkan untuk proses menyusui. Tidak banyak ibu hamil yang ASI-nya keluar sebelum melahirkan seperti ini. Jadi, Alesia harus bersyukur dan terus mengupayakan yang terbaik agar saat anaknya lahir nanti, ia langsung siap menyusui. 

Mbok Yati memasak lebih banyak, juga membelikan berbagai macam makanan yang menurutnya merupakan ASI booster, agar produksi ASI-nya lancar setelah melahirkan nanti. Alesia bahkan sudah membeli kulkas freezer untuk menyimpan stok ASI-nya. Dia akan berusaha sekuat tenaga untuk menyusui Jean sampai dua tahun. 

Dengan kondisi tubuh yang sudah tidak fit, Alesia tidak bisa lagi mengurus Melati mengemas produk. Beberapa minggu lalu ia merekrut satu karyawan lagi untuk membantu Melati mengurus packing dan rekap stok produk di beberapa market place

Vika sudah mendapatkan ruko yang cocok untuk mereka sewa, tapi untuk memindahkan semuanya ke sana butuh waktu. Rencananya mereka baru akan pindahan ke ruko itu setelah Alesia melahirkan. Jadi, untuk saat ini mereka semua hanya fokus dengan proses persalinan Alesia yang diperkirakan dua minggu lagi. 

Di kamar Alesia sudah disesaki oleh perintilan bayi. Mulai dari box bayi, meja untuk ganti popok, bak kecil untuk memandikan bayi, dan tambahan lemari kecil berisi baju-baju bayi. Semua sudah dipersiapkan sejak kehamilannya memasuki dua puluh minggu, dengan bantuan Melati dan Vika. 

Sekarang semuanya sudah beres. Ia hanya perlu rajin jalan kaki dan senam, untuk memperlancar proses persalinan. 

"Kamu beneran enggak bisa ke sini, Les?" Nada kecewa dari Tishia terdengar dari sambungan telepon. 

Ini kedua kalinya Tishia menelepon hari ini. Minggu depan adalah hari perkiraan Tishia melahirkan. Usia kandungan mereka hanya selisih dua minggu. Artinya, tiga minggu lagi merupakan hari perkiraan Alesia melahirkan. Mana mungkin Alesia bisa berpergian dengan kondisi seperti ini. Bahkan kata dokter, Alesia bisa melahirkan lebih cepat dari HPL.

Lagi pula, Alesia enggak mau membuat Tishia jantungan dengan tiba-tiba datang dengan perut sebesar ini. 

"Sori banget, nggak bisa, Kak. Pindahan ini tuh beneran repot banget. Karena biasanya aku yang ngurusin semuanya, aku jadi harus bertanggung jawab dalam penataan kantor baru juga. Nggak mungkin lepas tangan gitu aja." Alesia beralasan bahwa ia harus mengurus pindahan gudang produknya. 

"Itu ... nggak bisa diundur beberapa minggu aja gitu? Kan aku udah pesen sejak jauh-jauh hari, supaya kamu ngeluangin waktu di akhir bulan ini." Kakaknya masih saja merengek. 

"Nggak bisa, Kak. Lagian pindahannya tuh enggak bisa cuman sehari dua hari. Kita juga ngejar waktu supaya dua minggu lagi, pas produk baru yang sekarang lagi proses produksi, bisa langsung sampai di kantor baru dalam keadaan kantor udah rapi. Kalau produk baru datengnya dengan kondisi kantor masih berantakan, kita sama aja kayak harus kerja dua kali, dan itu merepotkan banget." Alesia masih berusaha sabar menyebutkan alasannya dengan lebih rinci dan dilebih-lebihkan, berharap Kakaknya bisa segera menerima alasannya. 

"Maaf ya, Les, kalau aku sering ngerepotin kamu," cicit Tishia pelan. Suaranya bergetar, yang membuat Alesia yakin kalau perempuan itu akan menangis sebentar lagi. "Aku tuh kangen banget sama kamu, kita udah setahun lebih enggak ketemu, kan? Dan aku merasa, dengan kehadiran kamu di sini saat aku melahirkan, bisa bikin aku lebih happy, karena keluarga kita kan udah lama banget enggak bisa kumpul. Entah kenapa, aku bener-bener kangen kita kumpul bareng." 

Emosi Alesia bergejolak. Dia enggak tahu apa yang sedang dibayangkan Tishia saat ini tentang keluarga mereka. Apakah Tishia benar-benar membayangkan keluarga mereka bisa berinteraksi dengan hangat saat berkumpul? 

Demi Tuhan, itu adalah sesuatu yang mustahil, mengingat sebesar apa Maminya membenci dirinya. Bahkan jika saat ini Alesia tidak hamil pun, sepertinya ia juga malas ke sana untuk berhadapan dengan Mami dan Papinya. Ia betulan bisa langsung membayangkan bagaimana raut sinis Maminya saat menanyakan soal pacarnya, atau mungkin merendahkan karirnya. 

Walaupun bisnis yang sedang dirintis makin besar setiap bulannya, ia yakin kalau Mami dan Papinya tidak akan menganggap ini sesuatu yang luar biasa. Pasti mereka cuma menganggap bisnis yang dikembangkan Alesia ini hanyalah seujung kuku dari semua bisnis yang bisa mereka bangun. Sama sekali tidak membanggakan. 

Bukannya ia kekanakan dengan terus menghindari Mami dan Papinya. Justru karena sudah semakin dewasa, ia ingin menghindari orang-orang yang menguji kewarasannya.

"Aku bakal tetap doain kamu dari sini, Kak. Semoga proses persalinannya lancar. Kamu dan Illian sehat, tanpa ada yang kurang satu pun. Nanti kalau urusan pindahan ini udah beres, aku janji bakal ke Jakarta buat jenguk kamu sama Illian." Dengan napas terengah-engah, Alesia menyahut. 

Semakin besar usia kandungannya, napas Alesia jadi makin sering ngos-ngosan. Rasanya dadanya sering sesak dan napasnya tersendat. Dan sekarang, napasnya semakin tidak beraturan karena harus susah payah menutupi emosinya, mendengar Kakaknya yang semakin manja. 

Sejak kecil Tishia terbiasa menjadi pusat perhatian. Semua pujian dan kasih sayang tercurahkan padanya dengan utuh. Mami dan Papi selalu datang mengambil rapot Tishia dengan penuh suka cita, merayakan semua pencapain Tishia, sekecil apa pun itu. 

Sedangkan giliran rapot Alesia yang harus diambil, Mami dan Papinya lempar-lemparan, keberatan mengambil rapotnya dengan menyebutkan sederet kesibukan mereka di kantor. Pada akhirnya asisten rumah tangga mereka yang diutus untuk mengambil rapotnya. 

Dan sekarang, Tishia kembali berulah. Alesia tahu hormon kehamilan membuat emosi Tishia tidak stabil. Namun, lama kelamaan dia lelah juga kalau harus menanggapi semua kemauan Tishia. Padahal di sini yang hamil bukan cuma Tishia! 

Alesia sekuat tenaga berusaha berdiri dengan kakinya sendiri. Menahan berbagai keluhan yang ia alami selama hamil, dan berusaha sekuat tenaga untuk tidak merepotkan siapa pun. Sementara Tishia terus-terusan merengek setiap hari, meneleponnya dengan berbagai keluhan yang membuat Alesia ikut lelah. 

Jadi, wajar kan, kalau sekarang ia makin kesal dengan tingkah Kakaknya—yang belum berubah sejak kecil—yang merasa semua keinginannya harus diwujudkan. 

"Ya tetap aja beda, Les. Aku pengen lihat kamu dulu sebelum proses persalinan. Nanti setelah melahirkan, aku pasti bakal sibuk ngurusin Illian jadi enggak bisa ngobrol atau peluk kamu yang lama gitu. Aku punya banyak hal yang mau aku omongin ke kamu, tapi lebih nyaman diomongin secara langsung.

"Iya, Kak. Nanti aku pasti ke sana. Tapi enggak bisa minggu ini. Aku bener-bener nggak bisa, Kak, maaf." Alesia menggigit bibirnya menahan tangis. Perasaannya yang campur aduk mengundang air matanya untuk keluar. 

Tishia sudah memiliki suami yang sangat menyayanginya, perempuan itu juga dekat dengan orangtua yang mencurahkan seluruh kasih sayang padanya, tapi masih rewel mencari dukungan dari orang lain. Bagaimana dengan dirinya?

Memang tidak seharusnya Alesia membandingkan situasinya dengan Tishia, karena sejak awal semuanya sangat berbeda.

Jadi, sebelum emosinya semakin berkecamuk lebih parah, Alesia berusaha mengakhiri telepon. "Udah ya, Kak. Aku masih perlu bantuin karyawanku beres-beres." 

Setelah sambungan telepon terputus, tangis Alesia pecah. 

 

 

 

***

 

 

 

 

Sehari setelahnya, Alesia bangun tidur dengan payudara terasa nyeri. Kemudian baru sadar kalau bagian dada dress-nya basah. Tercetak dua lingkaran agak besar di dadanya.

Ia pun membuka laci, mengeluarkan alat pompa ASI yang sudah ia beli sejak lama. Butuh waktu beberapa menit untuk Alesia membaca buku petunjuknya. Bahkan ia juga menonton video tutorial di Youtube, untuk memastikan caranya sudah benar. 

Tangis Alesia pecah. Kali ini perasaannya lebih complicated. Ia terharu karena ASI-nya bisa keluar cukup banyak, sehingga nantinya ia bisa menyusui Jean dengan baik. Dan juga sangat excited, tidak sabar menantikan hari persalinannya, ingin segera bertemu dengan Jean. 

Namun, di sisi lain ia juga terharu karena bisa melewati delapan bulan terakhir dengan sangat baik. Sungguh Alesia tidak pernah membayangkan dirinya bisa bertahan sekuat ini. Bahkan di sela lika-liku kehidupannya yang menguras tenaga dan emosi, Alesia masih bisa membangun bisnis bersama Vika. Sesuatu yang sekali lagi membuat Alesia bangga dengan dirinya sendiri. 

Dalam hati ia terus mengucap terima kasih pada dirinya sendiri, karena sudah bertahan sampai sejauh ini. 

Tinggal selangkah lagi. 

Ya, sedikit lagi ia bertemu Jean, pelipur lara yang akan menjadi teman sejatinya. Satu-satunya orang yang ia cintai dengan tulus, dan akan ia berikan seluruh hidupnya. 

Meski di sisi lain, ia tidak bisa menampik banyaknya kekhawatiran yang mengisi pikirannya. 

Di antara semua kekhawatirannya, yang paling mendominasi adalah apakah Alesia benar-benar bisa merawat anak ini sendirian dengan baik? Apakah ia bisa menangani semua tanggung jawab—yang seharusnya dipikul berdua, sendirian?

Alesia pernah membaca kalimat, "Mau sebanyak apa pun teman yang kamu punya, kalau kamu nggak punya pasangan, maka kamu bakal tetap merasa kesepian. Tapi jika kamu enggak punya teman sama sekali, kamu tidak akan pernah kesepian selagi punya pasangan." 

Dan sepertinya ungkapan itu benar. Meski Vika berkali-kali bilang kalau dirinya siap membantu apa pun dan kapan pun, tetap saja Alesia merasa sendirian. Dia benar-benar membutuhkan support dari seseorang yang bisa ia jadikan sebagai tempat bersandar. 

"Mbak Alisia?" Panggilan Mbok Yati beserta ketukan pintu terdengar lagi. 

"Masuk aja, Mbok!" 

Menit berikutnya, pintu kamar Alesia terbuka, Mbok Yati mengintip. "Ayo makan, Mbak!" 

"Sebentar Mbok, lagi pumping." 

Ketika menyadari apa yang sedang Alesia lakukan, Mbok Yati melangkah masuk. "Wah, udah mulai keluar banyak ya, Mbak?" 

"Iya, Mbok. Tadi sempet rembes, sakit banget." Salah satu penyebab Alesia menangis juga karena memerah ASI ini sakit dan ngilu sekali.

"Alhamdulillah! Nanti Mbok bikinin jamu lagi ya, Mbak! Biar makin lancar ASI-nya!"

"Makasih, Mbok!" 

Setelah dirasa cukup, Alesia melepaskan alat pompa ASI-nya. Ia memang cuma mendapatkan seperempat botol, tapi rasanya tetap puas dan bahagia sekali. Dia akan mengerahkan seluruh kemampuannya untuk merawat Jean, dan menyusui adalah salah satu hal paling penting yang harus dia lakukan. Makanya dia akan melakukan apa pun agar ASI-nya lancar.

Kini Mbok Yati cekatan membantu Alesia merapikan alat pompa ASI-nya. Sementara Alesia tengah memindahkan ASI-nya pada kantong khusus dan menuliskan tanggal hari ini.

 

+628: HPL-mu kapan?

 

Alesia mengernyit ketika mendapati pesan dengan nomor asing yang baru saja muncul di layar ponselnya. Dia langsung mengeceknya, dan mendapati sebaris nama di sebelah deretan nomor asing tersebut. 

Geryl H.

Semenjak Kakak iparnya itu mengetahui kehamilannya tiga minggu lalu, tidak ada komunikasi apa pun lagi di antara mereka. Bahkan selama makan sushi, mereka sama-sama diam. Geryl hanya bicara saat bertanya pada pelayan restoran, menu apa saja yang dimasak dengan baik dan bisa dimakan oleh ibu hamil. Geryl melarangnya makan sushi yang mentah, dan memastikan apakah Alesia sudah kenyang atau belum. 

Selain itu keduanya tampak sama sekali tidak ingin membangun percakapan apa pun. Sepanjang perjalanan pulang pun, Alesia bersandar pada sisi jendela taksi, kemudian ketiduran. 

Setelah memastikan Alesia sampai villa dan masuk ke kamarnya, sayup-sayup ia mendengar suara Geryl berpamitan pada Mbok Yati di dapur. 

Sudah, itu saja. Dan Alesia sangat bersyukur atas ketidakpedulian Geryl, sehingga dia tidak perlu menguras tenaganya dengan bercerita. 

Lalu sekarang, tiba-tiba saja pria itu mengiriminya pesan. Jelas tidak sulit bagi Geryl untuk mengetahui nomornya. Bagaimanapun tidak harmonisnya keluarganya, mereka tetap punya grup Whatsapp yang berisikan anggota keluarganya lengkap termasuk Kakak iparnya. Grup itu selalu Alesia bisukan. Dia bahkan baru sadar kalau sekarang grup itu penuh dengan pesan-pesan Mami, Papi dan Tishia. 

Alesia memutuskan untuk menjawab pesan Geryl setelah menyimpan nomor Kakak Iparnya itu. Barangkali suatu saat Alesia butuh, ia bisa dengan mudah menemukan kontaknya. 

 

Alesia: tanggal 15

 

Kemudian Alesia berpindah membuka grup keluarga. 

 

Mami: @Alesia kenapa enggak bisa pulang minggu ini? 

Mami: kakak kamu bakal melahirkan minggu ini, kamu pulang secepatnya!

Papi: Alesia nggak bisa ambil cuti?

Papi: kan bisa ke sini Jum'at malam sampai Minggu. perkiraan Tishia melahirkan hari Sabtu

Papi: itu kalau memang enggak bisa cuti sama sekali

Papi: kamu bisa balik ke Jogja Senin pagi 

Mami: tapi seharusnya kantor kamu nggak berhak melarang kamu ambil cuti 

Mami: cuti itu hak semua karyawan

Mami: seenggaknya kamu ambil cuti tiga hari

Mami: kalau enggak bisa, kamu resign aja

Mami: buat apa kerja capek-capek kalau gajinya kecil?

Tishia: Mi, Alesia udah enggak kerja kantoran 

Tishia: sekarang dia buka bisnis sama temennya

Tishia: brand baju printed gitu, bagus banget lho, Mi 

 

Alesia menghela napas kasar. Dia sudah mewanti-wanti Kakaknya agar merahasiakan bisnisnya dari Mami dan Papinya untuk sementara. Dan ia ingat betul Tishia mengumbar janji dengan sungguh-sungguh kalau dia bisa jaga rahasia. 

Nyatanya, sekarang bocor juga. Ini sebabnya Alesia enggak mau memberitahu Tishia soal kehamilannya, karena Kakaknya itu enggak bisa memegang janjinya! 

Namun, Alesia enggak bisa marah. Bisa jadi Tishia sengaja melakukan ini karena kesal padanya, yang tidak bisa datang ke Jakarta di hari persalinan wanita itu. 

 

Mami: halah paling juga bisnis recehan

Mami: duitnya pasti nggak seberapa kan, Les?

Mami: udahlah, nggak usah sok serius bisnis

Mami: kamu harus tetap lebih mentingin keluarga kamu

 

Benar 'kan, dugaannya? 

Sampai kapan pun Maminya enggak akan pernah menghargai usahanya. 

Air mata Alesia menyeruak keluar. Tangannya mengusap perutnya lembut, dengan pandangan tertuju pada meja riasnya, di mana ia menempelkan selembar foto USG Jean minggu lalu. Di bagian bawahnya ia menuliskan Jeandika Madhava🤍.

Di sela isak tangisnya, ia berjanji pada Jean, "Nak, Mama memang nggak sempurna dan memiliki banyak keterbatasan. Tapi Mama janji, Mama nggak akan pernah membuat kamu merasa diasingkan, diabaikan, dicurangi, dan diremehkan. Mama janji akan mengurus dan mendidik kamu dengan sekuat tenaga, sehingga kamu tumbuh menjadi anak yang penuh kasih sayang." 

Mbok Yati yang baru selesai memasukkan kantong ASI ke dalam kulkas di luar kamar, langsung masuk dan menghambur untuk memeluk Alesia. Wanita paruh baya itu bisa mendengar sebagian besar ucapan Alesia, meski suaranya parau. 

"Mbok yakin, Dek Jean akan bangga sekali punya Ibu seperti Mbak Alesia. Semoga persalinannya besok dimudahkan ya, Mbak!" 

Isak tangis Alesia pun semakin deras. 

"Meski Mbok nggak tahu bagaimana rasanya, Mbok tahu itu nggak mudah. Dan Mbak Alisia bisa melewatinya dengan sangat baik sejauh ini. Nggak semua orang bisa melalui ini semua sendirian," lanjut Mbok Yati sambil mengelap sudut matanya yang berair. "Jadi Mbok yakin ke depannya Mbak Alisia akan lebih kuat menghadapi banyak hal." 

"Makasih banyak, Mbok. Saya nggak mungkin bisa melewati semuanya tanpa bantuan Mbok sama Pak Aryo!" 

"Tetap saja, Mbok yakin, tanpa bantuan Mbok atau pun Pak Aryo, Mbak Alisia pasti bisa bertahan dengan sama baiknya."

Sekitar lima menit keduanya sama-sama diam, sibuk meredakan tangis masing-masing. 

Tangan Alesia terus mengelusi perutnya, sampai ia merasa ada sesuatu yang aneh. "Mbok, kok Jean enggak nendang-nendang ya? Biasanya tiap aku nangis, atau aku elus-elus gini, dia selalu nendang-nendang!" 

 

 

 

***

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Let Me In
Selanjutnya Bab 11-15 Let Me In
13
0
Bab 11 - RuntuhBab 12 - Hi ByeBab 13 - Another HeartbreakBab 14 - KehangatanBab 15 - New Hope
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan