Bab 41-43 Let Me In

34
0
Deskripsi

Bab 41 - Luka-Luka yang Terpendam

Bab 42 - Api Cemburu

Bab 43 - Deep Talk

Bab 41: Luka-Luka yang Terpendam

 

 

 

 

Sesuai tebakannya, sakit Alesia minggu lalu hanya nyeri haid. Pada hari ketiga menstruasi, rasa sakitnya sudah mulai membaik. Ia pun bisa beraktivitas lagi seperti biasa, dan kembali mengabaikan Geryl yang belakangan ini semakin gencar menghubunginya.

Hari Minggu ini, Geryl memaksanya ikut berenang bersama Illian. Tapi ia bersikeras menolak. Pria itu menjadi rewel sekali akhir-akhir ini, membuat Alesia kerap bingung, dengan siapa ia sedang berhadapan.

Setelah lebih dari lima belas kali menolak, Geryl pun bertanya dengan jutek, "Memangnya kamu mau ke mana sih?"

Nada jutek itu pasti muncul karena mengamati Alesia yang sedang berdandan rapi, memakai blazer formal yang dipadukan dengan rok span. Geryl menatap tajam rok pendeknya, tapi Alesia melengos, enggak peduli. 

"Mau ketemu teman." 

"Temanmu punya nama, kan?" 

Namun, Alesia enggan menjawabnya. Membiarkan Geryl kepanasan dengan asumsinya sendiri. 

Alesia bahkan sengaja menyemprotkan parfum lebih banyak, yang membuat Geryl semakin dongkol. 

"Perempuan atau laki-laki?" 

Sampai Alesia keluar dari unit apartemennya, pertanyaan itu tidak dijawab. 

Kini taksi yang Alesia tumpangi sudah berhenti di depan kafe bernuansa industrial, tempat ia janjian bertemu dengan temannya. Beruntung, siang ini kafe tidak terlalu ramai. 

Alesia langsung memesan caramel machiato, lantas memilih duduk di bagian pojok dekat jendela agar obrolannya nanti bisa lebih leluasa, tanpa khawatir menjadi pusat perhatian. 

"Hai, Alesia! Aku enggak telat, kan?" Sapaan tersebut terdengar tepat lima menit setelah Alesia duduk. 

Ia langsung bangkit dari kursi, menyalami seseorang yang barusan menyapanya. "Enggak kok, Mbak. Pas banget nih, jam 10. Aku juga baru nyampe!" 

Anggia—wanita yang memiliki janji temu dengan Alesia hari ini, duduk di seberangnya. 

"Maaf ya, Mbak, untuk ke sekian kalinya aku ngajak meetingnya hari Minggu gini." Alesia berkata dengan sungkan, sambil mengeluarkan laptopnya.

"Oh, santai aja. Kamu menyenangkan banget, jadi aku nyaman ngobrol sama kamu lama-lama. Hari Minggu pun, enggak masalah." Anggia mengibaskan tangannya santai.

Kemudian Anggia mengeluarkan paper bag berisi berbagai macam sampel essential oil. "Ini beberapa wangi yang sesuai sama deskripsi kamu kemarin. Beberapa aku modifikasi lagi untuk jadi opsi." 

"Wah, banyak banget! Makasih Mbak!" Dengan antusias, Alesia mengambil satu per satu sampel tersebut untuk mengecek wanginya. 

Belakangan ini Alesia punya kesibukan baru. Ia sedang dalam proses berkolaborasi dengan brand lokal untuk meluncurkan essential oil dengan wangi yang ia rancang sendiri.

Di tengah rumitnya masalah rumah tangganya, ia menyibukkan dirinya dengan mengulik tentang essential oil. Supaya pikirannya terdistraksi dan enggak galau melulu. 

Kebetulan sepupu Vika bekerja di salah satu kantor local brand essential oil, sebagai PR. Melalui Vika, Alesia mengenal brand tersebut dan langsung menyukainya. 

Setelah beberapa kali kunjungan, Alesia jadi ketagihan dengan semua produk mereka. Saking seringnya berkunjung, Alesia sempat diajak membuat Tiktok untuk video promosi, dan berhasil membuat penjualannya naik pesat. Sampai akhirnya, owner brand tersebut—Anggia, mengajaknya kerjasama untuk meluncurkan produk signature kolaborasi spesial dengan Alesia.

Mulanya kerjasama mereka akan menggunakan nama brand Jean.id. Tapi karena belakangan kantornya sedang sangat sibuk, Anggia menawarkan untuk kerjasama menggunakan nama Alesia sendiri. 

Terutama semenjak Salsa memperbarui thread-nya di Twitter dan menjelaskan dengan detail kesalahpahaman mereka, netizen berbondong-bondong mengikuti Instagramnya. Followers-nya langsung naik lima kali lipat dalam semalam. Dan terus bertambah seiring berjalannya waktu. 

Pun dengan Jean.id yang kebanjiran orderan, karena mendapat eksposur gratis dari masalah tersebut. Banyak customer-nya yang memberikan testimoni memakai Jean.id, membuat orang-orang makin penasaran. 

Jadi, ini adalah waktu yang tepat untuk merilis kolaborasi mereka. Dan Vika sangat mendukungnya dengan berapi-api, "Bener! Lo emang harus cari kesibukan biar makin banyak duit, jadi cowok-cowok enggak bisa memperlakukan lo seenaknya. Inget, lo punya duit, lo punya kuasa!" 

Bahkan sahabatnya itu rela meng-handle beberapa kerjaan Alesia di Jean.id kalau ia terlalu sibuk mengurusi kolaborasinya dengan Berkala—nama brand essential oil milik Anggia.

"Biasanya aku tuh suka nyampurin beberapa wangi sendiri gitu, Mbak. Nah, biar orang-orang enggak perlu repot nyampur-nyampur sendiri, aku pengen bikin essential oil yang nyaman untuk menenangkan pikiran dan bikin tidur nyenyak, Mbak," ujar Alesia sambil mengirup satu per satu wangi sampelnya dengan serius. 

"Kayaknya yang paling aku suka yang ini deh, Mbak. Aroma geraniumnya segar. Ada sedikit hint wangi bergamot. Sama middle note-nya lavendel. Sejuk banget, berasa lagi liburan di Bali, bawaannya jadi pengen lari-lari di pinggir pantai."

"Jujur aja sampel yang kamu kasih ke aku minggu lalu enak banget. Dan semua wangi yang kamu pegang itu aku aku suka semua. Gimana kamu bisa ngeracik formula itu sendiri?" Anggia tampak antusias menatap Alesia. 

"Karena aku suka banget sama pantai, Mbak. Aku suka wangi yang segar dan menenangkan. Awalnya cari formulanya di Google. Terus aku ubah-ubah sendiri sesuai selera." 

Kemudian Alesia mengambil satu botol mini dengan label berwarna pink. "Aku suka yang ini deh! Tapi coba aku pakai semingguan dulu gitu ya, Mbak. Buat bener-bener ngerasain wanginya setelah dimasukin ke diffuser jadi gimana." 

Anggia manggut-manggut. "Boleh. Santai aja, kita enggak perlu buru-buru di projectini." 

Lantas pesanan mereka datang. Obrolan terjeda sejenak. Mereka sama-sama mencicipi pesanan sambil mengobrol ringan soal kesibukan masing-masing. 

"Kamu udah lama suka essential oil?" tanya Anggia. 

"Belum lama, Mbak. Baru setahun terakhir, aku suka beli, tapi ya asal beli random aja gitu, enggak ada waktu buat ngulik-ngulik lebih dalem berbagai macam aroma wanginya. Kadang misal aku enggak suka wanginya pun, tetep kupake karena sayang, udah terlanjur beli. Terus dua bulan terakhir, insomnia aku kambuh lagi. Aku cari di Google cara alami buat mengatasi insomnia tanpa obat-obatan atau vitamin apa pun. Dan aku baru sadar kalau wewangian tuh mempengaruhi kualitas tidur juga. Akhirnya aku coba ngulik-ngulik lebih detail tentang essential oil." Tatapan hangat Anggia membuat Alesia bisa bercerita dengan santai seolah mereka sudah akrab bertahun-tahun. 

"Baru setahun terakhir? Terus sebelumnya, kalau kamu insomnia, gimana cara kamu mengatasinya?" Anggia bertanya dengan antuasias. 

Alesia menyengir lebar, tidak langsung menjawab. "Ya, pakai cara-cara yang enggak sehat, Mbak. Dulu aku pernah ada di fase minum Antimo dua bungkus tiap sebelum tidur, supaya bisa tidur nyenyak. Dan itu aku lakukan hampir setiap hari." 

"Pernah juga ngerokok satu bungkus dulu, setelah itu baru bisa tidur. Pernah juga ... minum alkohol dulu sampai mabuk, baru bisa tidur. Ya, tergantung saat itu masalah apa yang lagi aku alami." 

Anggia manggut-manggut tanpa ada sorot menghakimi sama sekali. Tatapannya penuh simpati, seperti bisa ikut merasakan bagaimana menyiksanya masa-masa terpuruk Alesia. 

"Tapi kamu hebat loh, sekarang bisa berubah dengan sangat signifikan gini. Enggak tergoda buat pakai cara-cara enggak sehat itu lagi." Anggia menepuk punggung tangannya beberapa kali dengan penuh kebanggaan. 

"Ya, itu karena sekarang aku punya bayi, Mbak. Mana bisa pakai cara enggak sehat gitu lagi. Kalau aku enggak punya bayi, mungkin sampai sekarang aku enggak akan pernah lepas dari itu semua. Atau barangkali, sekarang aku udah mati karena overdosis Antimo?" Alesia tertawa kecil di akhir kalimatnya. 

Anggia langsung tampak antusias. "Oh, iya, aku baru inget! Siapa namanya? Aku sempat lihat foto anak kamu di Instagram. Lucu banget!" 

"Illian, Mbak. Dia satu-satunya alasan yang bikin aku bertahan sampai sejauh ini." Alesia tersenyum lebar, tapi bola matanya berkaca-kaca. 

"Illian pasti bahagia sekali, punya Mama sehebat kamu." Anggia menyentuh tangannya lembut. 

Perkataan Anggia malah mengundang seluruh emosi Alesia yang selama ini susah payah dia pendam. Berbagai macam emosi dan luka itu menghimpit dadanya begitu kuat, membuatnya terasa sesak dan nyaris tidak bisa bernapas dengan tenang selama bertahun-tahun. 

"Sebenarnya belakangan ini aku malah merasa sudah mengecewakan Illian, Mbak. Aku merasa ... enggak bisa menjadi Ibu yang baik untuk dia. Dan juga aku terlalu egois untuk menjadi seorang Ibu." Bulir air mata Alesia menetes satu per satu. 

Anggia tidak mengatakan apa pun, tapi sorot matanya seperti mengungkapkan bahwa wanita itu sudah bersiap mendengarkan semuanya. Jadilah Alesia mencerocos panjang lebar. 

"Semua orang pasti menganggap aku egois, karena aku langsung kepikiran untuk cerai." 

Setelahnya cerita Alesia terputus karena tangisnya semakin kencang. Anggia menyodorkan tisu, lantas berpindah duduk ke sebelahnya untuk memeluknya erat. 

"It's fine. Kamu bisa nangis sepuasmu di sini." Anggia menepuk-nepuk punggungnya lembut. 

"Sebenarnya aku minta cerai karena belakangan ini merasa enggak pantas sama dia, Mbak. Aku punya banyak luka-luka, yang bikin aku enggak punya kesabaran seluas itu untuk menghadapi masa lalunya. Seandainya dia menikah dengan perempuan baik-baik yang enggak punya trauma masa lalu, pasti semuanya enggak akan serumit sekarang, kan?" 

"Sebenarnya sejak awal aku tahu, kalau menikah dengan Kakak Ipar, mempunyai banyak risiko. Ini salah satunya; dia belum bisa move on dari istri pertamanya, yang mana itu adalah kakak kandungku sendiri. Awalnya aku pikir, itu enggak akan jadi masalah besar. Lagi pula tujuanku menikah bukan karena ingin mencintainya. Namun nyatanya, seiring berjalannya waktu semuanya berubah. Dan semakin lama, semuanya terasa sangat menyesakkan, Mbak." 

"Mungkin orang lain yang enggak pernah ada di posisiku bakal menganggap ini tuh urusan sepele. Tapi buatku, lebih dari itu, Mbak." 

"Aku udah bertahun-tahun jadi bayang-bayang Kakakku. Semua hal yang kulakukan selalu dibandingkan dengan Kakakku. Seringkali aku merasa dikucilkan di rumah. Masa-masa itu sangat menyesakkan, Mbak. Jangankan orang lain, dulu aku juga sempat ada di fase denial. Orangtuaku hanya mau yang terbaik buat aku. Mereka enggak niat pilih kasih awalnya. Mereka hanya berusaha bersikap seadil mungkin. Misal, kalau beli sepeda, aku dan Kakakku harus ranking 1. Kakakku bisa dengan mudah dapat ranking 1 karena dia pintar. Tapi aku enggak bisa. Dan supaya Kakakku mau tetap rajin belajar untuk mendapatkan sesuatu, Mami enggak ngasih toleransi ke aku sedikit pun. Karena Mami takut kalau aku tetap dibelikan sepeda, meski enggak juara satu, nanti Kakakku jadi iri. Terus dia enggak mau belajar lagi, karena tahu kalau dia tetap bisa mendapatkan apa yang diinginkan tanpa belajar susah-susah." 

"Aku sempat merasa kalau Mami dan Papi itu benar. Aku aja yang bego, dan enggak mau usaha sedikit lebih keras untuk mendapatkan itu. Terus aku malah membela diri dengan menyalahkan cara orangtuaku mendidik. Padahal sebenarnya aku cuma malas belajar. Aku sering kepikiran begitu. Tapi kenapa rasa sakit yang membekas di dadaku susah banget dihapus ya, Mbak?" 

"Seringkali aku kepikiran, apakah aku bisa punya masa depan yang jauh lebih baik, kalau sejak kecil aku enggak pernah mengalami masa-masa menyesakkan kayak gitu?"

"Wajar enggak sih, Mbak, kalau sampai umurku sekarang, aku masih menyimpan luka-luka masa kecil itu? Wajar enggak, kalau aku masih enggak bisa memaafkan orangtuaku? Padahal sekarang aku sudah menjadi orangtua, dan kalau dipikir-pikir itu masalah sepele, kan? Apa itu artinya aku childish banget ya, karena enggak bisa memaafkan orangtuaku, bahkan aku menganggap hal-hal sepele itu jadi serius?" 

"Enggak, dong. Perasaanmu valid, dan itu bukan masalah sepele. Yang namanya luka, pasti terasa sakit. Dan toleransi seseorang dalam menghadapi rasa sakit itu beda-beda. Enggak ada yang bisa menilai bagaimana rasa sakitnya sebuah luka, selain orang itu sendiri yang mengalaminya." Anggia tersenyum lembut, menyodorkan tisu lagi. 

"Jadi, luka-luka masa kecilmu itu juga mempengaruhi keputusanmu untuk minta cerai? Kamu masih dendam sama orangtuamu, dan Kakakmu? Makanya ketika suamimu saat ini masih mencintai Kakakmu, kamu enggak terima?" Anggia berusaha menyimpulkan. 

Alesia mengambil jeda untuk mengelap air matanya terlebih dahulu, sebelum menjawab. "Itu salah satu alasannya. Tapi alasan utamanya itu, karena aku punya prinsip yang terlalu gampang cut off orang. Sejak kecil aku sering merasa diasingkan, dan enggak ada yang peduli sama aku. Aku selalu sendirian. Aku ingat, dulu pernah curhat sama guru BK di sekolah, ketika aku benar-benar merasa kesepian, kehilangan arah, dan enggak tahu harus ke mana. Kalau ada konflik di sekolah, aku enggak tahu harus cerita ke siapa. Mami dan Papi pasti bakal semakin mojokin aku. Dan waktu di rumah ada konflik sama Mami-Papi, aku enggak punya teman buat cerita, karena hampir semua temanku di sekolah keluarganya harmonis semua. Untung saat itu Guru BK di sekolahku masih muda dan enak diajak ngobrol. Guru BK bilang, bahwa di dunia ini kita enggak boleh bergantung pada siapa-siapa. Kita cuma punya diri kita, enggak bisa menyandarkan diri kita pada siapa pun. Kita harus bisa berdiri di atas kaki kita sendiri. Guru BK-ku menyarankan, kalau aku lagi sedih dan butuh teman curhat, aku bisa menulis diary. Enggak butuh menceritakannya pada siapa pun, karena itu bisa jadi boomerang untuk kita nanti. Intinya ... ada banyak tips dari beliau, yang menyarankan aku untuk tidak bergantung pada siapa pun.

"Karena pemikiran itu, aku jadi punya self defense yang tinggi. Aku terlalu mudah cut off orang. Setiap kali aku bertemu dengan orang yang mengecewakanku, atau bikin aku sedih, selalu aku cut off tanpa pikir panjang. Bahkan orangtuaku pun termasuk dalam salah satunya. Selama 12 tahun aku merantau, aku pulang ke rumah cuma setahun sekali. Bahkan pernah tiga tahun berturut-turut enggak pulang. Seandainya mereka enggak terikat darah sama aku, pasti aku enggak mau ketemu mereka lagi sama sekali. Termasuk mantan-mantanku dulu. Sekali mereka ngecewain aku, aku bisa langsung pergi sejauh mungkin dari dia." 

Anggia tersenyum tipis. "Bagus dong. Kamu jadi terhindar dari toxic relationship.Enggak semua orang bisa langsung pergi saat berhadapan dengan orang yang menyakitinya. Jadi, kamu termasuk orang yang anti balikan sama mantan ya?" 

Candaan Anggia membuat Alesia ikut tersenyum. "Tapi masalahnya, ini juga terjadi di pernikahanku, Mbak. Dia mengecewakan aku, dan rasanya menyakitkan sekali. Makanya satu-satunya yang ingin aku lakukan adalah cerai, karena aku harus segera melindungi diriku sebelum semakin hancur.

"Karena prinsipku, enggak akan ada yang bisa menyelamatkan aku kalau sudah terperosok ke dalam jurang. Makanya aku harus segera menjauh secepat mungkin dari orang-orang yang mendekatkan aku ke jurang." 

Anggia manggut-manggut, tampak mulai mengerti alur ceritanya. "Terus setelah kamu memutuskan untuk cerai, gimana perasaanmu?" 

"Aku malah semakin gelisah, takut, cemas. Enggak tahu, Mbak, aku bingung banget. Padahal sejak awal aku yang mau cerai, tapi setelah ngobrol dengan pengacara untuk membicarakan perceraian, aku malah semakin ragu." 

"Mungkin itu sinyal, kalau sebenarnya bukan perceraian yang kamu inginkan," ujar Anggia pelan. "Aku paham gimana menyesakkannya luka-luka yang sudah terpendam selama bertahun-tahun itu. Memang secara tidak sadar itu mengubah prinsip, cara berpikir, juga bagaimana kita menyelesaikan masalah. Itu hal yang wajar kok." 

"Mungkin kamu bisa mulai dengan berdamai pada diri sendiri. Memang prinsip yang kamu pegang selama ini ada benarnya. Kamu harus berdiri dengan kakimu sendiri, dan jangan menggantungkan kebahagiaanmu pada orang lain. Itu benar. Tapi, kamu tetap harus ingat bahwa yang namanya pernikahan itu, tentang toleransi. Kamu harus mentoleransi banyak hal, dan mengizinkan suamimu ikut serta dalam berbagai penyelesaian masalah. Setelah menikah, hidupmu bukan lagi cuma tentang dirimu sendiri. Tapi ada suami dan anak yang turut menyertaimu. Enggak ada salahnya, sesekali kamu cerita dengan suamimu, tentang apa yang kamu rasakan. Dimulai dari hal-hal yang sepele dulu." 

Kemudian Anggia bertanya dengan hati-hati. "Gimana tanggapan suamimu saat kamu minta cerai?" 

"Dia enggak setuju." 

"Kalau gitu, bisa jadi memang permasalahan kalian bisa diselesaikan dengan cara baik-baik, selain perceraian." 

"Tapi aku enggak punya kesabaran sebesar itu untuk menghadapi masa lalunya, Mbak." 

"Suamimu sudah berusaha untuk move on, atau memang sejak awal dia menjadikanmu prioritas nomor dua?" tanya Anggia pelan. 

"Dia ... sedang berusaha." 

"Mungkin, kamu bisa diskusi dengan suamimu, usaha sebesar apa yang bisa dia lakukan. Kemudian bandingkan dengan toleransi kesabaranmu. Bisa enggak, kamu menanganinya. Kalau enggak, perlu dicari garis tengahnya, apa yang harus kamu atau suamimu lakukan." 

Alesia menarik napas panjang. Membayangkan dia berdiskusi dengan Geryl membuatnya mengingat kembali pertengkaran mereka beberapa bulan lalu. Dipikir-pikir mereka enggak pernah berdiskusi dengan kepala dingin. Selalu ada nada sinis dan amarah yang menyertai. 

Dan sepertinya, Anggia bisa langsung menyadari makna dari sorot mata Alesia. "Kamu bisa mengajak suamimu berdiskusi pelan-pelan. Kamu perlu menurunkan sedikit ego untuk mendengarkan dia. Coba lihat dari sudut pandang dia. Melepaskan seseorang yang dicintai memang sangat sulit. Mungkin kamu perlu memberikan waktu sedikit lebih banyak untuk dia." 

"Yang jelas, perceraian itu keputusan yang besar. Kamu harus mengambil keputusan itu dengan kepala dingin dan pemikiran yang serius. Jangan nekat mengajukan cerai di saat kamu sendiri masih ragu-ragu. Barangkali, hubungan kalian memang masih bisa diperbaiki."

"Makasih banyak, Mbak. Ini betulan sangat membantu. Selama ini aku enggak pernah benar-benar cerita soal ini pada siapa pun. Lebih tepatnya, aku enggak terbiasa cerita ke siapa pun. Ke pacar atau suamiku sendiri juga enggak pernah cerita apa pun. Aku sering kepikiran buat datang ke psikolog, tapi belum apa-apa udah berasa ngeri aja gitu, entah kenapa. Jadinya, enggak berani deh, sampai sekarang." 

Anggia terkekeh. "Terus sekarang gimana, setelah cerita panjang lebar gini sama aku, berasa ngerinya enggak?" 

Pupil Alesia membesar. "Hah?! Jangan bilang, Mbak itu Psikolog?!" 

Anggukan samar Anggia membuat Alesia ssmakin menganga tidak percaya. "Pantesan aja bahasa Mbak tuh rapi gitu loh, tertata, dan hangat banget! Ya ampun, aku jadi malu!" 

"It's okay, Alesia. Aku senang bisa dengar ceritamu." Anggia menepuk bahu Alesia santai. "Aku memang membangun Berkala sebagai side hustle aja." 

"Ya ampun! Mbak keren banget deh! Aku jadi makin salut! Makasih ya, Mbak, udah ngasih sesi konsultasi gratis kayak gini. Ditambah lagi, Mbak juga berhasil menghapus stigma menyeramkan dari Psikolog di kepalaku." Alesia memeluk Anggia sebentar, kemudian bertanya dengan penuh antusias. "Gimana ceritanya Mbak bisa bikin bisnis ini di tengah kesibukan?" 

"Karena aku suka essential oil yang punya banyak manfaat. Dulu setiap kali ada klien yang cerita panjang lebar tentang masalahnya, terus berujung enggak bisa tidur, selalu aku kasih rekomendasi berbagai macam essential oil. Sampai akhirnya aku kepikiran, kenapa aku enggak bikin essential oil sendiri buat klien-klienku ya?" 

"Wah, secara enggak langsung Mbak sudah menyelamatkan nyawa banyak orang ya! Terima kasih banyak ya, Mbak! Aku bakal berusaha keras supaya kolaborasi kita sukses. Aku beneran berhutang banyak sama Mbak." 

"Jangan gitu. Aku beneran senang bisa membantu kamu. Setelah ini jangan anggap aku sebagai Psikolog. Anggaplah aku sebagai teman. Kamu bisa cerita apa saja." 

Untuk yang kedua kalinya Alesia memeluk Anggia. Wanita itu seperti nyala lilin yang pelan-pelan menghangatkan dan menerangi hidupnya yang berantakan ini. 

"Nanti malam aku bakal mencoba mengajak suamiku berdiskusi." 

"Semoga kalian bisa menemukan jalan keluar terbaik ya?" 

"Amin." 

"Dan tentang orangtuamu, kira-kira kamu sanggup enggak untuk mengajak mereka ngobrol membahas luka-lukamu?" tanya Anggia hati-hati. 

Tanpa berpikir panjang, Alesia menggeleng. "Enggak mungkin sih, Mbak. Mami tuh ... keras kepala banget. Sampai sekarang pun, Mami enggak pernah merasa salah mendidik. Segala hal buruk yang menimpaku, selalu dia anggap sebagai kesalahanku karena sudah membangkang. Mami enggak pernah sedikit pun mikir kalau cara mendidiknya mempengaruhi banyak hal dalam hidupku."

Anggia manggut-manggut. "Okay, memang anak tuh yang paling tahu orangtuanya gimana. Kalau dirasa memang enggak memungkinkan kamu buat ngobrol, mungkin kamu bisa pakai cara lain untuk melepaskan amarah dan emosi yang terpendam pelan-pelan." 

Wanita itu mengambil jeda untuk menyesap minumannya sebentar. "Seperti mengubah pola berpikir kamu. Kayak yang tadi kamu bilang, kamu sering mikir, seandainya orangtuamu mendidik kamu dengan lebih baik sehingga kamu enggak mengalami masa-masa yang menyesakkan, apakah masa depanmu bakal menjadi lebih baik?

"Pemikiran itu bisa kamu balik, bagaimana kalau ternyata masa-masa menyesakkan yang kamu rasakan dulu itu adalah sumber kekuatanmu sekarang?" 

Kening Alesia mengerut. "Maksudnya gimana, Mbak?"

"Ini emang enggak semua ya, tapi banyak aku temukan. Kebanyakan orang yang masa kecilnya enggak sempurna dan sering terluka seperti kamu, tumbuh menjadi orang yang lebih kuat. Ibaratnya, perasaannya jadi lebih kebal menghadapi rasa sakit. Ketimbang orang yang dari kecil hidupnya enak dan sempurna, ketika menghadapi masalah besar saat dewasa, cendenrung bingung, kehilangan arah, dan tidak sanggup menghadapinya. Barangkali, seandainya masa kecilmu enggak terlatih merasakan sakit dan terluka, sekarang kamu udah depresi, saking enggak tahannya menghadapi semuanya. Siapa tau masa depanmu bakal lebih buruk dari ini." 

Perlahan Anggia meraih tangannya, menggenggamnya lembut. "Bukan berarti aku suruh kamu bersyukur karena pernah mengalami masa-masa menyesakkan itu. Tapi setidaknya kamu bisa sedikit mengambil hikmah. Karena di dunia ini enggak ada yang sia-sia.

"Dan yang paling penting, Mami dan Papimu enggak membencimu, kan? Aku rasa itu cukup untuk membuat kamu pelan-pelan mengikhlaskan semuanya. Mungkin kamu bisa sering-sering tarik napas panjang, sambil mengingat satu per satu kebaikan Mami dan Papimu.

"Aku harap satu per satu hal baik itu bisa menyembuhkan luka-lukamu dan menyingkirkan emosi-emosi yang terpendam di dadamu." 

"Mbak, aku boleh peluk enggak sih?" Alesia sudah bercucuran air mata mendengar penuturan lembut Anggia. 

 

 

 

 

***

 

 

 

 

 

Bab 42: Api Cemburu

 

 

 

 

"Wah, sama Mbak, Illian juga suka banget berenang. Mungkin kalau nanti udah lebih gede, bakal langsung aku ikutin les renang. Dia bisa seharian di air, apalagi kalau kolamnya air hangat." Alesia bercerita dengan antusias.

Obrolannya dengan Anggia jadi melebar ke mana-mana. Mulai dari membicarakan essential oil, masalah pribadi, berlanjut sampai resep MPASI karena Anggia juga punya anak balita. Dan sekarang mereka membahas keluhan masing-masing tentang anak mereka yang sedang aktif-aktifnya.

"Chia juga suka banget berenang! Dia jadi nempel banget sama Omnya, karena di apartemen Omnya ada kolam renang air hangatnya. Boleh tuh, kapan-kapan Chia renang bareng Illian!" 

Bola mata Alesia langsung berbinar-binar. "Mau banget, Mbak! Illian tuh jarang bisa main sama anak seumuran dia. Sering kuajak ke playground, tapi dia kalo dideketin sama anak lain, langsung kabur. Aku pengen masukin dia ke pre-school gitu, biar dia ada temen main. Tapi umurnya masih terlalu kecil. By the way, Chia umur berapa sih, Mbak?" 

"Chia umur dua tahun. Baru aja bulan kemarin ulang tahun. Boleh yuk, Chia playdatesama Illian! Mungkin setelah proyek kolaborasi kita beres ya, supaya waktunya agak lega." 

Obrolan mereka terputus ketika pandangan Anggia mengarah pada pintu masuk kafe. "Nah, itu dia!" 

Terlihat seorang pria jangkung tengah menggendong balita cantik berjalan ke meja mereka.

"Nyebelin banget deh, Mbak! Bilangnya mau meeting bentar doang dua jam! Udah empat jam enggak kelar-kelar!" Pria itu langsung menurunkan balita dalam gendongannya sambil misuh-misuh. 

Tadi di sela obrolan mereka yang enggak habis-habis, Anggia mendapat telepon. Kemudian wanita anggun itu berkata pada Alesia, "Tadi aku nitipin Chia ke apartemen Adikku. Aku kira meetingnya bakal bentar, tapi ternyata kita jadi asyik banget ngobrolnya. Adikku udah ngomel-ngomel karena melebihi janjiku. Enggak apa-apa kan, kalau aku suruh Adikku bawa Chia ke sini aja? Soalnya kalau melebih perjanjian gini, dia suka minta uang lembur dua kali lipat lebih mahal ketimbang tarif normal."

Tentu dengan senang hati Alesia langsung mengiakan. Kemudian lima belas menit berikutnya, princess cantik yang Anggia ceritakan datang. 

"Ayo salim dulu sama Tante!" Anggia memberikan instruksi pada Chia. 

Dengan malu-malu, anak itu mengulurkan tangan. Alesia langsung menyalaminya dengan lembut. "Aduh, manisnyaa!" 

 

Setiap kali melihat anak perempuan, perasaannya langsung menghangat. Alesia kembali teringat pada bagaimana besarnya Geryl mengharapkan anak perempuan. Entah setelah ini harapan itu masih bisa diwujudkan atau tidak. 

"Kamu ngapain masih di sini? Katanya banyak kerjaan?" Anggia bertanya pada sang Adik, sedangkan Alesia sibuk mengajak ngobrol Chia. 

Kemudian pria itu malah duduk di sebelah Anggia dengan senyum cerah. "Kenapa aku enggak dikenalin sama temen Mbak?" 

Lalu tanpa menunggu sahutan Anggia, pria itu sudah lebih dulu mengulurkan tangan. "Mikael. Panggil Kael aja." 

"Alesia." Ia menyalaminya dengan mengulum senyum. 

"Chia ngantuk ya? Ini waktunya tidur siang Chia. Aku jadi makin enggak enak karena udah ngajak Mbak meeting di hari Minggu. Maaf banget ya, Mbak." Alesia menatap Chia yang duduk di pangkuan Anggia sambil menguap beberapa kali.

"Enggak papa kok! Aku juga happy banget, bisa ngobrol dan banyak sharing sama kamu. Malah kalau enggak hari Minggu, aku juga sulit cari waktunya." Anggia turut melebarkan senyum. "Kael aja nih, yang rewel banget, jagain ponakannya bentar aja, enggak mau. Emangnya mau ke mana sih, kamu? Jalan sama cewek mana lagi?" 

Kael langsung gelagapan. Matanya memelototi sang Kakak dengan penuh peringatan. "Mana ada cewek! Enggak ya, Mbak! Enggak usah ngarang! Udah lama aku jomlo dan enggak lagi dekat sama siapa pun! Tanya aja Chia kalau enggak percaya! Aku nganterin Chia ke sini karena dia rewel banget nyariin Bundanya dari tadi! Dia tadi habis renang terus ngantuk. Dan kalau ngantuk kan, emang jadi rewel gitu." 

"Beneran enggak ada janji sama cewek? Bukannya kamu waktu itu pernah cerita kalau lagi dekat sama banker yang rambutnya pendek kayak polwan itu?" Anggia menatapnya penuh selidik. 

"Itu jaman kapan ya, aku ceritanya? Udah lama banget! Udah bubar! Sekarang aku beneran lagi kosong. Enggak lagi dekat dengan siapa pun!" Penegasan Kael membuat Alesia enggak bisa menahan senyumnya. 

Ia bukan perempuan polos yang enggak bisa mencium sinyal-sinyal seperti ini. Bukannya kegeeran, tapi terlihat jelas dari bagaimana wajah Kael yang berbinar-binar saat menatapnya. Dan makin tersenyum lebar ketika pandangannya menurun pada jari Alesia yang kosong, tidak ada satu pun cincin yang tersemat. 

"Ya udah, kalau enggak ada janji sama siapa pun, Mbak minta tolong anterin Alesia pulang ya! Tadi kamu ke sini naik taksi kan, Les?" 

"Eh, enggak usah, Mbak. Nanti ngerepotin! Aku mesen taksi lagi aja, enggak papa!" 

"Santai aja, Ale-ale. Apartemenmu di mana?" Kael bertanya dengan santai, seolah mereka sudah akrab bertahun-tahun.

"Dih, sok akrab banget! Najis ah, El! Jangan flirting ke temen Mbak!" Anggia langsung mencibir habis-habisan. 

Alesia hanya tersenyum geli. Lantas menyebutkan nama apartemennya. Kael langsung berseru heboh. "Lho, apartemenku juga di situ! Cuman beda tower aja! Ya udah yuk, aku anterin!" 

"Beneran enggak us—" 

"Santai aja Ale-ale! Yuk! Enggak usah sungkan. Umurmu berapa sih? 25? Atau 26? Kamu bisa panggil aku Mas—" 

"31," potong Alesia masih dengan sisa senyumnya. 

"Hah?! 31? Kamu beneran kelihatan lima tahun lebih muda dari usiamu loh!" Bola mata Kael berbinar-binar. 

"Halah, dasar buaya! Basi banget gombalanmu!" Anggia memukul wajah Kael enteng. 

"Kalau gitu kita seumuran, Ale-ale. Kamu bisa panggil aku Sayang." Meski sudah dicibir berkali-kali, Kael tidak menyerah untuk terus melancarkan aksinya. 

Alesia hanya tertawa-tawa. Sudah lama sekali dia tidak merasakan pengalaman berkenalan dengan strangers dan mendapatkan sinyal-sinyal pedekate seperti ini. Kalau ia bertemu dengan Kael dua atau tiga tahun lalu, bisa dipastikan Alesia langsung terhanyut dengan berbagai gombalannya itu. Lalu sebulan kemudian mereka akan jadian. Atau bisa jadi malah seminggu berikutnya sudah jadian, mengingat betapa ngegasnya Kael saat ini. 

 

 

 

***

 

 

 

"Makasih banyak ya, El, udah nganterin sampai sini! Padahal harusnya tadi kamu langsung parkir di tower apartemenmu aja, terus aku jalan sendiri ke sini!" Setelah mengucap terima kasih sekali lagi, Alesia turun dari mobil Kael yang berhenti di lobi. 

"My pleasure, Ale-ale. Sebagai tetangga apartemen, kita bisa sering-sering main, kan? Kalau suatu hari kamu bingung mau sarapan apa, kabarin aku aja. Nanti aku masakin sarapan. Jangan ragukan kemampuanku di dapur!" Kael tersenyum penuh kebanggaan. 

Di perjalanan tadi, pria itu bahkan langsung blak-blakan minta nomor Alesia. Dan berhubung Alesia enggak punya alasan untuk menolak, mereka pun bertukar nomor telepon. 

Alesia hanya tertawa lebar di sebelah mobil Kael. Berhubung lobi lumayan sepi, tidak ada mobil yang antre di belakangnya, sehingga Kael bisa membuka jendela di sebelahnya, dan masih sempat-sempatnya menggombal. 

"Dan kalau kamu enggak bisa angkat galon, ganti lampu yang rusak, atau apa pun itu, bisa kabarin aku aja ya! Dalam waktu lima menit, aku bisa langsung sampai ke unitmu!" 

"Makasih, El! Aku masuk ya!" Tadinya ia mau menunggu Kael pergi, baru masuk. Namun, melihat pria itu yang terus berusaha menggombalinya tanpa henti, Alesia memilih masuk duluan.

"Okay, Ale-ale. See you soon!" 

Lantas Alesia membalik badan, memasuki gedung apartemennya dengan senyum yang masih tertinggal. Namun, senyum itu langsung pudar ketika mendapati pria yang tengah berdiri di dekat lobi, menatapnya dengan sorot tajam.

Entah sejak kapan, Geryl berdiri di sana sambil menggandeng Illian. 

"Ale-ale?" Sebelah alis Geryl terangkat. "See you soon?!" 

Nadanya dingin sekali, tapi alih-alih takut, Alesia malah berusaha menahan tawa.

"Kamu pergi hampir seharian. Semua pesanku enggak kamu balas, padahal kamu baca! Ternyata ... kamu jalan sama cowok?!" desis Geryl pelan.

Beruntung pria itu masih sadar bahwa saat ini mereka sedang di lobi, yang meski enggak ramai, tetap ada orang lain di sekitar mereka, sehingga ia tidak melampiaskan amarahnya di sini. 

"Emang pesanmu belum kubalas ya, Mas?" tanya Alesia santai. 

Wajah Geryl semakin keruh, tapi tidak menjawabnya. 

"Oh, berarti baru kutulis di kepala tadi, belum sempet aku ketik pake tangan." Lantas ia menggendong Illian dan berjalan lebih dulu menuju lift. 

"Tadi Adek jalan-jalan ke mana sama Ayah?" 

"Nan!" Illian menjawab dengan antusias. 

"Beli mainan?" 

Anaknya langsung mengangguk kencang. 

"Sudah makan malam belum?" 

"Dahhh!"

"Wahh, pinternya anak Mama!" Alesia menghujani Illian dengan banyak kecupan. 

Dari cermin di salah satu dinding lift, Alesia bisa melihat wajah Geryl yang tanpak semakin muram. Pria itu membawa satu kantong belanja besar berlogo Kidz Station. Kalau saja Geryl enggak membawa itu, sudah pasti Alesia bakal menyuruhnya langsung pulang, karena ini sudah malam. 

Begitu sampai di unitnya, Alesia menitipkan Illian pada Geryl sebentar untuk mandi dan berganti baju. Setelah memakai piyama lengan panjang yang nyaman, Alesia gantian mengganti baju Illian setelah mengelap-ngelapnya dengan handuk hangat, karena ini sudah terlalu malam untuk Illian mandi.

Tampaknya seharian ini Illian sangat aktif bermain, sehingga tidak butuh waktu lama bagi Alesia untuk menidurkannya. 

"Kamu enggak menghargai aku sebagai suamimu!" Geryl langsung menembaknya dengan kalimat itu saat Alesia keluar dari kamar Illian. 

Alesia pun berjalan mendekat, duduk di hadapan Geryl. "Enggak menghargai gimana?" 

Entah kalimat Alesia kelewat santai atau bagaimana, terlihat amarah Geryl yang semakin membumbung tinggi. 

"Kamu meminta aku menghargai rasa marahmu, tapi kamu enggak menghargai aku sebagai suamimu?!" 

"Enggak menghargai gimana sih, Mas? Kamu bisa ngomong yang jelas enggak sih?" 

"Dengan kamu jalan sama cowok lain, itu namanya kamu enggak menghargai perasaanku, Le! Hubungan kita sedang tidak baik-baik saja, dan enggak seharusnya kamu memberikan kesempatan pria mana pun untuk memanfaatkan celah itu!" seru Geryl berapi-api. 

"Kamu cemburu?" 

"Iya!" 

Kini Alesia enggak bisa lagi menahan senyumnya. Dia bahagia sekali! Saking bahagianya, ia serasa sedang melayang di awan-awan. 

Namun, dari sudut pandang Geryl, ini pasti sangat tidak sopan dan menyebalkan. Terbukti dengan pria itu yang mendesis semakin dongkol. 

"Kamu enggak bisa mempermainkan aku seenaknya kayak gini, Le! Sekarang aku sedang berusaha keras memperbaiki semuanya. Tapi kamu sama sekali enggak menghargainya, bahkan kamu malah jalan sama cowok lain?!" 

Sebenarnya Alesia mulai memikirkan untuk membicarakan semua masalahnya seperti saran Anggia tadi. Namun, melihat bagaimana marahnya Geryl sekarang, ia merasa ini bukan waktu yang tepat. Pria itu sedang dalam mode tidak bisa diajak bicara baik-baik. 

"Mas, mending sekarang kamu pulang aja deh! Besok kalau cemburu di dadamu udah reda, kita bisa bicara lagi pelan-pelan. Kamu enggak mau kan, salah ngomong lagi, dan bikin hubungan kita makin merenggang?" Alesia bangkit dari sofa, lantas mengarahkan Geryl umtuk mengikutinya ke pintu. 

"Aku janji, besok kalau kamu udah enggak ngomel-ngomel kayak gini, bakal aku jelasin semuanya satu per satu. Sekarang udah malam. Kamu pulang aja. Besok kerja, kan? Kamu enggak boleh keseringan ambil cuti!" 

Geryl mengikuti langkahnya, tapi tidak kunjung mengeluarkan sahutan. 

"Peluk dulu!" Geryl mengulurkan kedua tangannya. 

Namun, Alesia menggeleng sembari mundur dua langkah. "Satu yang pasti, aku sangat menghargai kamu, dan semua usahamu. Kamu jangan berpikir yang aneh-aneh. Sekarang kamu pulang! Aku serius. Kamu harus pulang!" 

Dengan langkah berat, Geryl melangkah menuju pintu. Entah pria itu memang enggak bertenaga, atau sengaja malas bergerak, dia enggak segera membuka pintu. 

Akhirnya Alesia yang membukakan pintu. 

"Kamu beneran enggak mau peluk aku sebentar aja?" Geryl menahan pintu agar Alesia enggak segera menutupnya. 

Lagi-lagi Alesia menggeleng kuat. Karena kalau dia memeluk Geryl, yang ada pria itu bakal menginap lagi di sini. Pertahanan dirinya pun enggak sekuat itu. Dan sebelum masalah mereka tuntas, Alesia enggak mau melakukan hal-hal intim. 

Ya, Geryl memang cuma minta pelukan sebentar. Tapi siapa yang bisa menjamin kalau itu hanya pelukan singkat? Bagaimana kalau berlanjut menjadi ciuman? Dan setelahnya bisa ditebak apa yang akan terjadi, kan?

"Hati-hati, Mas." Setelahnya Alesia langsung menutup pintu. 

Hari ini perasaannya sangat lega. Batu besar yang menghimpit dadanya sudah menghilang. Keputusasaan yang kemarin ia rasakan saat hubungannya dengan Geryl serasa jalan di tempat, mulai menunjukkan pergerakannya untuk maju. 

Menyadari bahwa Geryl sedang berusaha melakukan yang terbaik untuknya, seperti yang sedang dia lakukan sekarang, membuatnya sedikit lebih tenang. 

 

 

 

 

***

 

 

 

Alesia sudah hampir larut dalam mimpi ketika ponselnya membunyikan notifikasi beruntun. Ia langsung mengeceknya, barangkali itu penting. Benar saja, itu pesan dari Maminya. 

 

Mami: Kamu tahu Geryl ke mana?

Mami: kenapa hapenya enggak aktif?

Mami: dia luka-luka enggak?

Mami: Apa dia langsung dibawa ke rumah sakit?!

Alesia: emang Mas Geryl kenapa, Mi?

 

 

Perasaannya langsung tidak karuan ketika balasan dari Maminya segera muncul. 

 

Mami: Setengah jam lalu Geryl telepon Pak Sapto, minta tolong Pak Sapto buat urus mobilnya, setelah dia nabrak pembatas jalan di tol

Mami: Pak Sapto langsung ke sana, setelah telopon mobil derek

Mami: kerusakan mobilnya lumayan parah

Mami: tapi pas Pak Sapto sampai sana, Gerylnya udah enggak ada

Mami: hapenya enggak aktif

Mami: Mami khawatir dia luka parah

 

Alesia langsung menelepon Geryl juga. Ucapan Maminya terbukti, ponsel Geryl enggak aktif. 

Lalu ia membalas pesan Maminya.

 

Alesia: aku enggak tahu, Mi

Alesia: dua jam yang lalu Mas Geryl baru pulang dari apartemenku

Alesia: Mamiii aku harus gimanaa😭😭😭😭😭😭

 

 

Tangan Alesia sudah gemetar membayangkan bagaimana buruknya kecelakaan yang dialami Geryl saat Mami mengirimkan foto mobilnya. Bagian kap mobilnya rusak parah. 

 

Mami: kamu enggak usah ke mana-mana. Biar Mami suruh Pak Sapto cari Geryl ke rumah sakit terdekat

Mami: jangan mikir macam-macam dulu

 

Bagaimana Alesia bisa mengendalikan pikirannya di saat-saat seperti ini?! 

Di tengah kalutnya kecamuk pikiran, bel apartemennya berbunyi. Pikirannya terasa penuh, sehingga Alesia malah terpaku selama beberapa detik, tidak kunjung bergerak untuk membukakan pintu, sampai bel terdengar lagi. 

Kemudian langkahnya bergerak cepat ke arah pintu ketika menyadari bahwa apartemennya memiliki keamanan yang ketat, tamu yang tidak punya keycard enggak punya akses pada lift, sehingga hanya bisa menunggu di lobi. Dan satu-satunya orang yang punya akses menuju unitnya adalah Geryl. 

Atau ketukan itu berasal dari tetangga unitnya?

"Mas?! Kamu enggak papa?" Benar saja, Geryl berdiri di balik pintunya dengan penampilan berantakan. 

Alesia langsung memeluknya, lantas merangkum wajahnya untuk memperhatikan luka berdarah di jidatnya. 

Geryl tidak mengatakan apa-apa, sampai Alesia menggiringnya masuk. 

"Bentar ya, Mas, aku ambilin—" Alesia hendak beranjak dari sofa, tapi Geryl malah menarik tubuhnya ke dalam dekapannya. 

"Bentar, Le. Bentar aja, please!" ujarnya pelan, nyaris tanpa suara. 

Alesia pun menurut. Membiarkan Geryl memeluknya. Ia menyandarkan kepalanya pada dada Geryl, sehingga bisa merasakan bagaimana ributnya degub jantungnya. 

Air mata Alesia meleleh, membasahi kaos polo Geryl yang sudah dipakai seharian. "Tadi Mami chat aku. Aku khawatir banget, Mas! Kamu kenapa bisa sampai nabrak pembatas jalan di tol, sih?" 

Geryl enggak menyahut. 

Kepala Alesia yang beruraian air mata mendongak. "Kamu masih terlalu marah karena cemburu ya, sampai enggak konsen nyetirnya? Selain jidat, di bagian mana lagi yang luka, Mas?" 

Kepala Geryl menggeleng. Setelahnya membawa tangan Alesia untuk dikecupi dalam-dalam. 

"Aku boleh nginep di sini, kan?" 

Bagaimana mungkin Alesia bilang enggak. Dia pun masih ingin memeluk Geryl lebih lama, karena kekhawatirannya yang terlalu besar tadi belum sepenuhnya reda. 

"Bentar ya, Mas, aku telepon Mami dulu, biar Mami enggak cari-cari kamu lagi. Kamu mau aku siapin air hangat buat mandi?" 

"Aku harus nabrak pembatas jalan dulu, baru boleh nginep ya, Le?" dengus Geryl yang membuat Alesia terbahak.

"Awas aja kalau setelah ini kamu berani nabrak pembatas jalan lagi! Bisa jadi kamu enggak akan pernah bisa peluk aku selamanya."

"Kenapa?" 

"Ya ... anggap aja malam ini kamu beruntung, enggak kenapa-napa. Gimana kalau kamu nabrak lagi, ternyata kejadiannya lebih buruk dari ini? Terus kamu mening—"

"Iya, Le, maaf ya, aku kurang hati-hati, jadi bikin kamu khawatir." 

 

 

 

 

 

 

***

 

 

 

 

 

Bab 43: Deep Talk

 

 

 

 

Baru kali ini Geryl merasa dadanya begitu panas oleh kecemburuan. Ini bahkan lebih parah situasinya dibanding ketika ia melihat foto-foto lama Alesia dengan mantannya.

Ia merasa dunia tidak adil padanya karena Alesia sangat ketus saat bicara padanya, tapi bisa tertawa dan tersenyum begitu cantik saat berhadapan dengan laki-laki brengsek itu. Jika tidak ada Illian dalam gandengannya, sudah pasti Geryl akan menyela obrolan manis itu dengan penuh peringatan. 

Dan yang lebih menyebalkan, hari ini Alesia memakai rok pendek! 

Rok itu beberapa senti di atas lutut, memperlihatkan kaki jenjangnya dengan indah. Meski jaraknya tidak terlalu dekat, Geryl bisa merasakan tatapan laki-laki brengsek itu ke arah kaki Alesia! 

Haruskah ia membakar semua rok Alesia? Atau mencolok mata laki-laki brengsek itu saja?

Malam ini tubuhnya terasa lebih lelah ketika berbagai emosi memenuhi dadanya. Geryl melajukan mobilnya agar bergerak lebih cepat, melampiaskan amarahnya dengan memacu adrenalinnya. Di tengah lampu merah, Ibunya menelepon. 

"Halo, Bu." Sebenarnya dia sedang tidak dalam keadaan baik untuk mengangkat telepon, tapi seumur hidupnya ia hampir tidak pernah mengabaikan telepon Ibunya. Mau enggak mau, ia pun mengangkatnya. 

"Gimana, Mas? Udah dapat rumahnya? Kemarin Bapak ngirimin beberapa cluster yang dijual, kamu udah cek?" 

"Belum dapat, Bu. Udah ngecek foto-foto rumah yang Ibu kirim. Bagus-bagus sih, tapi belum ada yang sesuai." 

Beberapa waktu lalu, Alesia sudah memberitahu Ibunya kalau hubungan mereka sedang tidak baik-baik saja. Bahkan Alesia mengungkit soal perceraian di depan Ibunya. 

Padahal Geryl berusaha menyembunyikan pertengkaran mereka agar kondisi Bapaknya semakin drop. Namun, Alesia lebih dulu menghubungi Ibunya, lantas berkata, "Maaf ya, Bu, kalau pada akhirnya keputusanku mengecewakan Ibu dan Bapak." 

Sialnya, respon Ibu benar-benar di luar perkiraannya. Alih-alih mengomel panjang lebar, beberapa hari kemudian Ibu malah meneleponnya untuk bertanya, "Proses perceraian kalian sudah sampai mana, Mas? Kemarin Ibu sudah kirimkan nomor telepon pengacara terbaik di kantor Bapak. Tapi kok sampai sekarang Ibu belum dapat update kabar apa-apa ya? Sudah diajukan ke pengadilan agama belum gugatannya?" 

Gila, kan? Ibunya dengan terang-terangan mendukung perceraian mereka!

Tentu dia sangat kecewa. Ibunya bahkan tidak mau mendukungnya setelah ia mengatakan berulangkali, bahwa dia akan berusaha sekeras mungkin untuk memperbaiki hubungannya dengan Alesia

Dan sepertinya, saking besarnya kekecewaan Geryl pada Ibunya, sampai terbawa pada mimpi buruk yang menghantuinya hampir setiap malam.

Bahkan kenyataan yang dihadapinya lebih buruk ketimbang mimpinya. Karena Ibunya juga menuntut nafkah bulanan untuk Illian yang nominalnya sebesar gaji Geryl. 

"Terus aku makan pakai uang dari mana, Bu?" Begitu tanya Geryl saat Ibunya menyebut nominal itu dengan entengnya. 

"Kamu mau minta uang jajan dari Ibu? Kamu sudah dewasa, ya pikir sendiri mau makan pakai uang dari mana! Cucu kesayangan Ibu harus sekolah di sekolah terbaik, dan punya masa depan sebaik mungkin. Ibu enggak mau Illian tinggal di apartemen kelamaan. Soal kamu makan dari mana, Ibu enggak peduli. Yang penting hidup Alesia dan Illian enggak boleh kesulitan." 

Oleh sebab itu, belakangan ini Ibunya rewel ikut membantu mencarikan rumah. Hampir setiap hari Geryl dikirimi pesan berisi info-info rumah dijual atau kontak agen properti kenalannya.

"Apanya yang belum sesuai? Emangnya kamu udah kasih tau Alesia rumahnya seperti apa? Kan yang mau nempatin rumahnya Alesia dan Illian. Kamu enggak boleh sering-sering mampir. Jadi harusnya yang bisa memastikan rumahnya sudah sesuai atau belum itu Alesia. Bukan kamu!

"Harganya yang belum sesuai, Bu," sahut Geryl. Dia menyalakan load speaker, agar bisa kembali menyetir tanpa harus memegangi ponsel. 

"Harganya? Ya ampun, Mas! Jaman sekarang rumah harga tiga milyar itu udah murah banget! Itu lokasinya strategis, enggak terlalu dekat jalan raya, jadi enggak bising kendaraan. Halamannya juga luas. Ada kolam renangnya. Itu harga terbaik buat rumah sebagus itu!" Ibunya lanjut ngomel-ngomel panjang lebar. 

"Kamu tuh jangan pelit-pelit sama anak sendiri! Uangmu enggak akan berkah kalau pelit sama anak sendiri! Ibu enggak mau ya, kalau Illian tinggal di rumah kecil yang biasa-biasa aja! Selama ini kamu kerja bertahun-tahun, pagi-siang-malam, buat apa kalau bukan buat anak?!

"Alesia maunya rumah yang harga lima milyar. Sedangkan rumah-rumah yang Ibu kirim kemurahan, enggak sesuai yang Alesia mau, Bu."

Ibunya terdengar agak bingung, tapi setelahnya berkata dengan suara melunak. "Oh, gitu. Ya udah nanti Ibu bilang sama Bapak untuk dicarikan rumah yang harganya lima milyar ya, Mas!

"Alesia ada bilang apa gitu enggak sama Ibu?" 

"Apa yaa? Beberapa hari yang lalu, Ibu telepon, Alesia bilang lagi diskusi sama Pak Yudith. Dia juga lagi banyak kerjaan, makanya agak keteteran buat ngurus perceraian kalian. Katanya, kalau berkasnya udah lengkap nanti, Pak Yudith yang bakal ngirim ke pengadilan." 

Lidah Geryl terasa kelu. Jantungnya serasa sedang dicubit-cubit. Tidak menyangka segala hal yang ia upayakan selama beberapa hari ini sama sekali tidak dihargai oleh Alesia. Wanita itu mulai melunak padanya, tapi diam-diam melanjutkan proses perceraian mereka. Dan itu sangat menyakitkan. 

Tak lama setelahnya telepon ditutup. Menyisakan lubang di hati Geryl yang semakin tidak terima setiap kali Ibunya membahas perpisahan mereka. 

Potongan-potongan mimpi buruknya kembali mencuat ke permukaan. Benarkah Alesia semenderita itu selama pernikahan mereka? Apakah mimpi itu merupakan pertanda kalau ia memang harus melepaskan Alesia,  agar wanita itu bisa hidup dengan lebih bahagia?

Kemudian interaksi Alesia dengan cowok sialan tadi sore kembali terbayang. Pria itu dengan terang-terangan mengatakan bakal mengajak Alesia sarapan bersama?! 

Ah, sial. Kenapa harus laki-laki pintar memasak yang menjadi saingannya? Ya ampun, membayangkan menyalakan kompor sendiri dan memasak sesuatu di atasnya saja, sudah membuat Geryl ngeri sendiri. 

Dia sama sekali tidak punya pengalaman dalam hal itu. Haruskah ia belajar masak secara serius? 

Masalahnya, dia main game masak-masak saja, makanannya sering gosong. Apalagi kalau masak betulan?

Ibu dan Bapaknya sangat menjunjung tinggi patriarki. Sejak kecil Ibunya yang mengurus semua kebutuhan rumah, termasuk memasak. Bapaknya hanya minum kopi sambil membaca koran di meja makan, sementara Ibunya memasak setiap hari.

Di rumahnya juga ada dua ART, yang membuat Geryl bisa minta tolong apa pun tanpa perlu repot-repot bergerak. Dia sama sekali enggak pernah memegang alat memasak. Bahkan kalau ART-nya melihat ia mengambil mug, langsung ditanya, "Mas Geryl mau bikin kopi? Sini Bibi aja yang bikin." 

Kepala Geryl semakin pening memikirkan harus mulai belajar memasak dari mana. Ia yakin pasti akan membutuhkan waktu lama sampai ia bisa memasak. Sementara saat ini waktunya tinggal sedikit. Alesia sedang mengurus perceraiannya diam-diam, ditambah dorongan dari laki-laki brengsek itu, sudah pasti waktunya jadi semakin sempit. 

Geryl mengumpat berkali-kali. Merutuki nasib sialnya, karena rumahnya berada lumayan jauh dari apartemen Alesia. Umpatannya semakin kencang saat mengingat kembali bagaimana laki-laki brengsek itu menawarkan berbagai bantuan pada Alesia, kalau tidak bisa angkat galon, ganti lampu dan persetanlah! Geryl marah sekali! 

Apakah dia harus menyewa unit di sebelah Alesia agar usahanya bisa lebih mudah?

Emosi Geryl semakin menjadi-jadi. Entah dia harus melampiskan amarahnya pada siapa. Bahkan malam ini dia sengaja melewati jalan terjauh dengan agak memutar, supaya sampai rumah nanti badannya sudah capek dan bisa langsung tertidur tanpa mengalami mimpi buruk lagi. 

Bodohnya, dia enggak mempertimbangkan betapa jauhnya jalan yang ia lewati sekarang. Di saat tubuhnya sudah benar-benar lelah, ia masih harus memaksakan diri melajukan mobil sampai rumah. 

Konsentrasinya pecah. Saat memasuki tol, beberapa kali ia menginjak gas dengan tidak stabil. Lalu entah bagaimana awalnya, tiba-tiba saja di depannya ada mobil yang melaju agak pelan, membuatnya panik dan langsung banting stir ke kiri untuk menghindarinya. 

Mobil itu pergi begitu saja, meninggalkan mobilnya yang berasap setelah menabrak pembatas jalan tol. Suasana lengang di sekitarnya membuat perasaan Geryl semakin tidak karuan. Sampai sepuluh menit berikutnya, hanya ada satu-dua mobil yang lewat, tapi tidak ada satu pun yang mau berhenti untuk membantunya. 

Jantungnya menghentak-hentak tidak karuan, kepalanya pusing akibat terbentur setir. Memang tidak terlalu parah karena airbag-nya mengembang. Namun, tetap saja menimbulkan rasa pusing yang muncul di satu titik, lalu menyebar ke seluruh kepalanya. 

Le, ternyata sendirian itu benar-benar sangat menyesakkan, ya?

Di saat begini, satu-satunya yang ingin ia temui hanyalah Alesia. Jadi, ia mengumpulkan kesadarannya dengan susah payah, menghubungi satu-satunya manusia yang bisa ia repotkan dengan sesuka hati; Calvin. 

Meski sohibnya itu langsung misuh-misuh dalam telepon, dua puluh menit kemudian, tetap muncul menghampirinya dengan raut panik. 

"GOBLOK BANGET LO!" Umpatan itu Geryl artikan sebagai bentuk perhatian. Ia enggan mengatakan apa pun, lantas masuk ke mobil Calvin. 

"Cepet anterin ke apartemen istri gue!" 

"Mobil lo? Udah ada yang ngurus?" 

"Gue udah telepon supirnya Mami." 

"Enggak mau ke rumah sakit dulu? Siapa tau saraf lo ada yang konslet?"

"Enggak usah." 

 

 

 

 

***

 

 

 

Geryl sudah selesai mandi. Begitu keluar dari kamar mandi, ia mendapati selembar kaos miliknya sudah disiapkan di atas kasur. Juga sebuah celana training miliknya dengan warna senada. 

"Kenapa kamu bisa punya bajuku di sini?" Sambil memakainya, Geryl mengerutkan kening bingung. 

Alesia malah melengos. Berjalan ke luar kamar dengan langkah tergesa. "Aku udah buatin wedang jahe."

"Le, jawab dulu! Kenapa kamu bisa punya bajuku di sini? Kan waktu aku nginep kemarin enggak ninggalin baju sama sekali!" Geryl mengikuti Alesia keluar kamar. 

Meski tidak ada luka di tubuhnya, tetap saja sarafnya yang kaget dan menegang, membuatnya seluruh tubuhnya pegal-pegal. Ia pun duduk di sofa ruang tengah, urung menyusul Alesia ke dapur. 

"Sebelum pindah, kamu nyuri bajuku yaaa?" Tuduhan Geryl enggak mendapat sahutan, tapi dia sudah senyam-senyum sendiri kegirangan. Apalagi saat menghirup aroma kaos ini yang sudah bercampur dengan wangi pakaian Alesia. 

Entah apa pun itu niat Alesia mencuri bajunya, Geryl senang sekali rasanya. Bahkan semisal ternyata baju ini cuma enggak sengaja terbawa saat Alesia packing, tetap membuat Geryl kegirangan. Setidaknya Alesia enggak membencinya sedalam itu, karena masih mau menyimpan barang-barangnya, bukannya langsung dibuang. 

Beberapa menit setelahnya, Alesia menghampirinya dengan secangkir wedang jahe yang mengepulkan asap. Geryl menerimanya, dengan bibir yang tidak bisa berhenti tersenyum. 

Usai menyesap wedang jahenya beberapa kali, ia meletakkan cangkirnya ke meja, lantas membaringkan kepalanya ke pangkuan Alesia. 

"Le, ayo kita bicara!" Geryl menarik tangan Alesia ke dalam genggaman. Mengecupi jari-jari lentik tanpa cincin itu dalam-dalam. "Aku enggak tahan kalau hubungan kita kayak gini terus lebih lama lagi." 

"Ceritain dulu, tadi gimana bisa nabrak?" tanya Alesia pelan sambil mengelusi rambutnya. 

Geryl bercerita secara singkat, karena ... bagaimana ia bisa konsentrasi kalau Alesia menatapnya dengan seintens ini, sambil mengelusi rambutnya?

"Ya gitu. Aku agak ngantuk. Terus depan ada mobil, aku menghindar."

"Perasaan sebelum kamu balik tadi enggak keliatan ngantuk sama sekali! Kamu habis dari sini ke mana dulu sih? Kenapa sampai dua jam lebih belum sampe rumah?! Padahal kan harusnya jam segitu udah enggak macet, dan perjalanannya paling setengah jam doang!" 

"Ya gitu deh. Yang jelas, kamu harus bersyukur karena aku baik-baik aja sekarang. Hampir aja kamu jadi janda, kan?" Kali ini Geryl memberanikan diri memiringkan tubuhnya menciumi perut Alesia.

"Aku emang udah hampir jadi janda, tanpa kamu nabrak pembatas jalan," ujar Alesia santai.

Geryl kembali teringat dengan ucapan Ibu beberapa saat lalu melalui telepon. "Kamu beneran menghubungi pengacara yang dikasih Ibu buat ngurus perceraian kita?" 

"Iya." 

Bola mata Geryl terbelalak. "Kamu beneran sepengen itu cerai sama aku?" 

"Kamu kira, waktu aku minta cerai itu enggak serius? Kamu pikir itu cuma gertakan atau ancaman gitu?" tanya Alesia sinis. "Aku serius kali!" 

Genggaman tangan Geryl mengerat. "Maaf ya, Le, karena udah mengecewakan kamu sebegini parahnya. Please, kasih aku kesempatan ya?" 

"Tapi, Mas, aku juga ngerasa enggak pantas buat kamu, karena ... aku tuh toxic banget tahu!" Kini tatapan Alesia berubah sendu. "Waktu aku minta cerai, aku beneran berpikiran bahwa hidupmu pasti akan jauh lebih mudah kalau nikahnya sama cewek lain yang enggak toxic kayak aku." 

Kening Geryl mengernyit. "Toxic gimana? Tell me!" 

Setelahnya cerita bagaimana menyesakkannya masa kecil Alesia mengalir. Geryl menggenggam jemari Alesia lebih erat, sesekali mengecupnya dalam-dalam.

Dulu Geryl sudah pernah mendengar cerita masa kecil mereka, tapi dari sudut pandang Tishia. Seperti bagaimana Tishia berusaha membantu Alesia belajar, agar bisa mendapatkan keinginannya, tapi Alesia menolak dan malah memusuhi Tishia.

Dan karena dulu ia mendengar ceritanya dari sudut pandang Tishia, tentu Geryl jadi ikut kesal pada Alesia, lalu menganggap Alesia itu kekanakan dan tidak tahu terima kasih.

Sekarang, setelah mendengar ceritanya dari sudut pandang Alesia, Geryl mengerti bahwa penilaiannya terhadap Alesia dulu salah besar. 

"Misal nih, Mas, kalau anakmu tumbuh enggak sesuai dengan yang kamu harapkan, apa yang bakal kamu lakuin?" Pertanyaan Alesia membuat Geryl termenung cukup lama. 

"Tergantung, enggak sesuai harapannya tuh kayak gimana dulu? Kalau cuma sebatas cita-cita, kayak misalnya, aku harap Illian jadi dokter, ternyata dia lebih suka jadi pilot. Ya enggak papa. Toh, aku juga gitu. Dulu Bapak pengen banget aku masuk Hukum, tapi aku enggak mau, dan Bapak enggak pernah maksa," jawab Geryl dengan pandangan jauh menerawang. 

"Harapanku pada Illian, sesederhana dia bisa tumbuh bahagia dan bermanfaat untuk orang lain di sekitarnya. Juga punya rasa tanggung jawab yang tinggi untuk dirinya sendiri dan keluarganya, sehingga bisa menjaga nama baiknya. Kalau Illian enggak tumbuh sesuai dengan harapanku itu, mungkin aku bakal kecewa sama diriku sendiri, karena sudah gagal mendidiknya." 

"Gimana cara kamu melampiaskan kekecewaanmu itu?" 

Lagi-lagi Geryl termenung cukup lama. Sampai akhirnya mendongakkan kepala. menatap wajah Alesia. "Enggak tahu. Kalau kamu gimana?" 

"Aku pun enggak tahu, karena belum mengalaminya langsung. Mungkin yang bisa aku lakuin sekarang cuma menurunkan ekspektasi, supaya enggak terlalu kecewa. Dan setelah kupikir lagi, bisa aja sikap Mami ke aku itu adalah pelampiasan dari kekecewaannya, karena aku tumbuh enggak sesuai dengan harapannya."

Keduanya sama-sama diam, tampak sibuk dengan pikiran masing-masing. Sampai kemudian suara Alesia kembali terdengar.

"Karena itu juga, sejak kecil aku sering ngerasa sendirian dan enggak punya siapa-siapa. Enggak ada orang lain yang bakal peduli sama aku, jadi aku harus mementingkan diriku dibanding siapa pun. Itu bikin aku gampang cut off orang. Dulu tiap pacaran, sekali aja pacarku bikin aku kesel, marah atau kecewa, aku enggak mau buang-buang waktu dengerin penjelasannya. Kayak ada alarm di dalam diriku yang bunyi, "Ayo cepat menjauh dari orang ini! Dia enggak bener-bener sayang dan peduli sama perasaan lo!" Setelah itu aku langsung pergi sejauh mungkin, enggak mau berhubungan sama dia lagi sekalipun." 

"Terus, waktu aku kecewain kamu, kamu jadi mau cut off aku gitu?" tanya Geryl tanpa menyembunyikan kekecewaannya.

Alesia mengangguk tanpa ragu. "Iya. Karena kita udah menikah, jadi jalan satu-satunya yang aku pikir cuma cerai. Aku beneran enggak tahan lagi, saat itu."

"Jatuh cinta bikin aku terlena. Aku jadi menggantungkan kebahagiaanku ke kamu, dan terlalu memedulikanmu sampai aku suka melupakan perasaanku sendiri. Terus aku sadar, enggak seharusnya aku begitu. Makanya aku pikir, aku harus menjauh secepatnya dari kamu, karena kamu tuh satu-satunya orang yang punya kuasa untuk menghancurkan aku, sampai sehancur-hancurnya." 

"Le, bisa enggak, besok lagi ... kamu dengerin penjelasanku dulu? Enggak semua orang bikin kamu kecewa, karena enggak sayang atau enggak peduli sama kamu. Barangkali, sebenarnya orang itu enggak bermaksud untuk mengecewakanmu, tapi pikiranmu sendiri yang berpikir terlalu jauh, jadi kamu kecewa sendiri." 

Perlahan Alesia mengangguk. 

"Jangan kebanyakan overthinking ya, Le? Kita bisa saling janji untuk membuat hubungan kita jadi lebih sederhana, dengan mulai saling terbuka atas pemikiran masing-masing?"

Lagi-lagi Alesia mengangguk pelan.

"Dan ... bisa enggak, ke depannya kamu janji buat berhenti mikirin soal perceraian?" 

Lalu Alesia menunduk, menatap manik matanya dengan sendu. "Mungkin, kalau mantan istrimu bukan Kak Tishia, aku enggak akan semudah itu menyerah dan minta cerai, Mas. Aku pasti bakal menggodamu dengan lebih berani, sampai kamu benar-benar merasa kalau di dunia ini cuma ada aku. Enggak ada perempuan lain. Tapi ... kayaknya gara-gara sejak dulu aku udah punya dendam dan kebencian ke Kak Tishia, jadinya ... aku males bersaing sama dia lagi." 

"Le, kamu enggak perlu bersaing sama dia. Aku mungkin enggak akan bisa melupakan dia seutuhnya, karena bagaimana pun, dia perempuan pertama yang hadir di hidupku. Tapi aku sudah benar-benar mengikhlaskan kepergian dia. Jadi, sekarang cuma ada kamu di sini." Geryl menempelkan tangan Alesia di dadanya. 

"Kamu beneran masih mau sama aku? Aku udah bilang kan, aku toxic banget, Mas. Ke depannya ... mungkin aku bakal lebih nyebelin lagi, dan kekanakan! Aku juga egois banget. Kamu pasti bakal repot—" 

"I'm not perfect either, Le." Geryl buru-buru menyela. Kemudian bangkit duduk. Ia segera membawa Alesia ke dalam pelukannya. "It's fine, as long as I love you, and you love me too.

"Udah, ayo tidur! Enggak usah pegang-pegang!" Alesia langsung membuyarkan momen romantis ini dengan mendorong tubuhnya kencang. 

Pelukan mereka terurai, tepat saat tangan Geryl merabanya dari pinggang ke dada. 

"Lho, bukannya kita udah damai?" 

"Tetep aja, aku enggak mau! At least ... enggak malam ini. Atau mungkin ... enggak dalam waktu dekat!" 

"Kenapa?" Geryl enggak mau repot-repot menutupi kekecewaannya. 

"Enggak mau pokoknya! Kamu kalo berani curi-curi kesempatan, bakal aku usir dari kamar! Tidur di sofa aja kalau gitu!" Alesia menatapnya galak, lantas beranjak dari sofa.

"Pelukan doang boleh kan, Le?" 

"Tapi tangannya enggak boleh usil!" 

"Oke, tapi cium sekali ya?" 

"Ah, tidur di sofa aja sana, Mas! Aku lagi males ngeladenin Om-om mesum!" 

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Let Me In
Selanjutnya Extra Part 3-4 Illian VS Geryl
126
7
Spesial untuk aunty online yang kangen dengan tingkah menggemaskan Illian.    Pilih tombol merah untuk mendukung extra part 1-5 dengan lebih hemat. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan