Bab 35-36 Let Me In

27
1
Deskripsi

Bab 35 - Illian is Turning One 

Bab 36 - It’s Over

Bab 35: Illian is Turning One

 

 

 

 

Sebenarnya Alesia ingat—sangat ingat, kalau lusa adalah hari ulang tahun Illian yang pertama. Memang anaknya masih terlalu kecil untuk memahami makna ulang tahun, tapi tetap saja, Alesia ingin merayakannya. 

Akan tetapi sejak beberapa hari lalu, ia stres karena tidak tahu bagaimana caranya membahas itu pada suaminya. Dan sejujurnya, ia juga belum siap menghadapi respon Geryl.

Sepulang dari Bali, hubungan mereka memang makin erat. Setiap hari selalu ada hal-hal menggemaskan dari Geryl yang membuatnya semakin mencintai suaminya itu. Sikap suaminya juga perlahan-lahan menghangat, tidak terlalu kaku, meski tetap saja masih jauh dari kata romantis. 

Meski begitu, keduanya tidak pernah benar-benar mengungkapkan perasaan masing-masing. Mereka tidak pernah deep talk yang membahas kelangsungan hubungan mereka secara serius. 

Setiap kali pillow talk setelah bercinta, Alesia lebih sering membahas topik-topik random, seperti restoran kesukaan, warna rambut yang cocok untuk Alesia, atau membahas tingkah Illian yang sedang lucu-lucunya. 

Alesia memang sering mengungkapkan perasaannya dengan bilang, "Aku cinta banget sama kamu, Mas." Yang tidak pernah benar-benar disahuti oleh Geryl dengan kata-kata. Pria itu biasa menanggapinya dengan menciumnya lembut, atau balas memeluk sama eratnya.

Terakhir kali Alesia bertanya, dari 1-10 besar rasa sayang Geryl padanya, nilainya sembilan. 

Dan karena perasaan Geryl padanya masih belum jelas, Alesia belum berani seterbuka itu padanya. 

Alesia akan mencoba bertanya lagi malam ini, sambil dalam hati berjanji, jika jawaban Geryl adalah sepuluh, maka dia akan memberanikan diri mengajak suaminya membahas soal perayaan ulang tahun Illian. 

"Sembilan koma tiga." 

Bola mata Alesia terbelalak tidak percaya. "Selama seminggu terakhir kita mesra-mesraan, nilainya cuma bertambah nol koma tiga?" 

"Sebenernya nilainya udah sepuluh. Tapi gara-gara kamu nakal, poinnya minus nol koma tujuh," jawab Geryl tenang. 

Tawa Alesia pecah. Belakangan ini ia memang suka menjahili Geryl dengan mengirimkan pesan-pesan nakal yang 'mengundang'. Habisnya, lucu sekali melihat respon suaminya. Semakin lempeng, semakin gencar ia menggodanya. 

Bahkan terakhir kali ia mengirimkan foto nakalnya memakai lingerie, Geryl memblokir nomornya. Tentu Alesia langsung protes habis-habisan begitu pria itu pulang kerja. 

Jawabannya sesingkat. "Kamu ganggu orang kerja."

"Ganggu?" Alesia mendengkus, pura-pura tersinggung, padahal sebenarnya dia menahan tawa habis-habisan.

Suara Geryl melembut. "Ganggu konsentrasiku, Le. Bisa stop ngirimin foto atau chat-chat kayak gitu?" 

Kemudian dua hari setelahnya datang satu kotak besar paket atas nama Alesia, yang enggak pernah Alesia pesan sama sekali. 

Tahu apa isinya? 

Piyama lengan panjang satu lusin. Saat Alesia minta penjelasan pada suaminya, pria itu menjawab dengan lempeng. "Kamu jangan setiap hari pake baju ketat di rumah." 

"Kenapa emangnya?" 

"Kita nggak mungkin 'ngelakuin itu' setiap hari, kan? Terlalu sering juga enggak bagus, Le. Paling enggak, seminggu tiga kali aja." 

"Apa hubungannya pake baju ketat sama having sex? Ya aku sih, oke-oke aja seminggu tiga kali. Tapi perasaan kamu deh, yang selalu minta duluan!" 

"Ya karena kamu pake baju kurang bahan setiap hari! Udah ya, itu piyamanya dipake! Jangan pake baju ketat terus! Terutama kalo masak! Pakai baju yang longgar kayak Mbak Yuni gitu loh, Le!" 

"Kamu mau nyamain aku sama Mbak Yuni?" 

"Bukan gitu, Le." Kemudian Geryl tidak melanjutkan obrolan mereka karena langsung memeluk dan menciumi tengkuk Alesia, yang pada akhirnya berlanjut sampai ke kamar. 

Meski sambil menggerutu, Alesia tetap memakai piyama yang dibelikan Geryl, karena bagaimanapun, piyamanya mahal dan bahannya nyaman sekali. 

"Tapi udah tiga hari aku enggak kirim chat nakal tuh! Harusnya poinnya nambah dong!" protes Alesia dengan bibir mengerucut. 

Geryl tampak berpikir keras. "Oke, poinnya nambah nol koma dua." 

"Dasar pelit nilai! Untung aja kamu enggak jadi guru atau dosen. Kalau iya, bisa dipastikan hidupmu enggak akan tenang karena disumpahin sama ratusan murid!" 

Geryl mengabaikan cemoohan Alesia, malah memeluknya erat. "Oh iya, Le. Besok Jumat aku dinas ke Solo ya! Sampai hari Sabtu." 

"Tapi—" 

Kalimat Alesia terputus oleh suara Geryl melanjutkan ucapannya. "Minggu pagi aku ke Jogja. Terus Minggu malem baru sampe Jakarta." 

Jantung Alesia berhenti berdetak selama beberapa detik. Besok Sabtu adalah ulang tahun Illian. Dan Geryl enggak mungkin lupa, kan?

Jelas enggak mungkin. Bagaimana bisa pria itu melupakan hari kematian istri tercintanya. 

Dan menyadari itu, Alesia kembali diserang oleh ketakutan yang begitu dahsyat, sampai seluruh tubuhnya menggigil. 

"Mas, peluk aku lebih kenceng lagi, please!" 

"Kenapa?"

"Peluk aja, Mas!" 

Karena ... ketakutan-ketakuan yang sempat terkubur itu, kembali mencuat ke permukaan. Membuatnya merasa bahwa kesempatannya untuk bisa menikmati pelukan ini tidak lama lagi. 

 

 

 

 

***

 

 

 

Meski Illian adalah cucu kesayangan dan satu-satunya, ternyata tetap belum bisa menggantikan posisi Tishia di keluarganya. Mami dan Papi sepakat tidak merayakan ulang tahun pertama Illian. 

Mami hanya mengirim pesan selamat ulang tahun untuk Illian. Lalu berjanji akan mengirim kado. Padahal Alesia tahu persis Maminya tipe orang yang suka sekali membuag pesta ulang tahun untuk orang-orang yang disayanginya. 

Sementara Ibu mertuanya menelepon, mengucapkan permohonan maafnya tidak bisa ke Jakarta, karena kondisi Bapak mertuanya drop lagi. 

Alesia menangis melihat Illian duduk dengan ceria di high chair-nya, berhadapan dengan sebuah cheese cake sederhana buatannya dengan lilin angka satu di atasnya. Bayinya itu tampak tidak sabaran ingin memakan kuenya, sama sekali tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi. 

Melalui sepupunya, Alesia baru tahu kalau Mami dan Papi membagikan hampers ke kerabat terdekat, dengan catatan "Memperingati satu tahun meninggalnya Letishia Agustine Widjaja." 

Dan kesedihannya semakin diperparah oleh suaminya yang menghilang tanpa kabar. 

Alesia jelas enggak bisa mencegah kepergian Geryl di hari Jum'at karena pria itu bilang ada pekerjaan penting. Dia pun masih belum menemukan keberanian untuk mengungkit soal ulang tahun Illian. 

Alhasil, Alesia melakukan taktik klise dengan melepas plastik hitam yang menutupi CCTV di kamar Illian, kemudian mengajak Illian membahas soal hari ulang tahunnya besok Sabtu dengan ceria. Harapannya Geryl mendengar obrolannya soal ulang tahun Illian yang sudah di depan mata. Lalu membatalkan rencana berpergiannya.

Entah Geryl tidak mengecek CCTV atau memang sengaja mengabaikannya, cara itu tidak berhasil. Geryl tidak membahas apa-apa soal ulang tahun Illian, dan tetap pergi ke Solo sesuai rencana. 

Setelah tiba di Solo, Geryl sempat mengabarinya melalui pesan singkat. Lalu balasan Alesia dibiarkan terbaca begitu saja.

Dan hari ini, hari di mana umur Illian menginjak satu tahun, Geryl tidak juga mengirimkan pesan apa pun. 

"Selamat ulang tahun, Adek! Sampai bertahun-tahun ke depan, Mama janji bakal selalu mengingat dan merayakan hari ulang tahun Adek. Maafin Ayah ya, Dek, karena tahun ini belum bisa ikut merayakan. Kita sama-sama berdoa, supaya tahun depan, kita bisa ngerayain bareng Ayah, Oma, Opa, Eyang Kakung, dan Eyang Uti ya?" 

"Adek enggak akan pernah sendirian selama ada Mama di sini. Mama bakal selalu nemenin Adek di semua momen dalam hidup Adek, entah itu saat Adek sedih atau bahagia. Mama ada di sini, Dek." 

"Sementara Bunda, meski keberadaannya tidak terlihat, kamu harus selalu ingat ya, Dek, bahwa Bunda akan selalu menjaga Adek melalui doa-doa yang dipanjatkan semasa masih hidupnya. Enggak ada doa yang bisa mengalahkan luasnya doa Bunda untuk Adek. Saking luasnya, Adek bisa terus berteduh di bawah doa Bunda sampai kapan pun. Bunda selalu sayang sama Adek, begitu pun dengan Ayah." 

Tangis Alesia semakin merebak.

Kebingungan melihat Mamanya menangis, Illian pun ikut menangis. Keduanya menangis bersama sambil berpelukan. Ini adalah hari ulang tahun terburuk yang pernah Alesia hadapi. 

 

 

 

***

 

 

 

 

"Makasih banyak, Onty!" Alesia memeluk Vika seerat mungkin begitu sampai di rumahnya malam ini. 

Sebenarnya Vika sudah berencana akan ke Jakarta sejak hari Jum'at. Tapi karena alasan yang enggak Vika sebutkan, dia terpaksa memundurkan penerbangannya menjadi Sabtu sore. 

Wanita itu datang diantar Calvin, membawakan kotak sangat besar, yang ketika dibuka isinya mobil-mobilan aki Lamborghini berwarna merah menyala. 

Tentu anaknya langsung kegirangan, tidak sabar menaikinya. Calvin berinisiatif menjalankan remote-nya, memutari ruang tengah dan ruang tamu. 

Sehingga Vika bisa mengajak Alesia melipir ke meja makan untuk mengobrol berdua. 

"Belum ada kabar?" tanya Vika pelan. 

Alesia mengangkat bahunya lemah. "Kayaknya emang sampai kapan pun, gue enggak akan pernah menang melawan Kak Tishia. Cuman ... gue enggak nyangka Mas Geryl setega ini." 

Vika turut prihatin menatap mata sembab Alesia. Dia hanya menepuk-nepuk bahu Alesia lembut, berusaha menenangkan. 

"Iya, gue juga sedih dan sangat merasa kehilangan Kak Tishia. Tapi Illian enggak salah. Dia enggak tahu apa-apa. Semuanya sudah digariskan Tuhan. Enggak seharusnya Illian ikut kena dampaknya, kan? Dia cuma anak-anak pada umumnya yang sedang dalam masa emas pertumbuhannya, dan butuh banyak menyimpan kenangan indah di core memory-nya." 

Air mata Alesia kembali menggenang. "Yang kehilangan bukan cuma Mas Geryl, Vik. Gue juga kehilangan. Gue kehilangan Jean, dan butuh waktu lama untuk mengikhlaskan kalau Jean enggak akan pernah bisa gue peluk lagi. Kemarin gue juga ngerayain ulang tahun Jean berdua sama Illian. Mas Geryl enggak tahu apa pun soal kesedihan-kesedihan yang selalu berusaha gue sembunyikan. Tapi kenapa dia enggak ada effort sedikit pun untuk menutupi kesedihannya di depan gue? Sampai kapan gue harus jadi bayang-bayang Kak Tishia?" 

Kini Vika hanya memeluk Alesia. Ikut menangis kencang, tanpa mengatakan apa pun.

"Dari kecil, entah gue umur berapa, sudah tercetak jelas dalam otak gue bagaimana Mami memperlakukan gue dengan enggak adil. Gue enggak pernah punya memori bahagia saat merayakan ulang tahun bareng keluarga. Dan sekarang, Illian juga merasakannya. Apa sampai bertahun-tahun ke depan Illian enggak boleh bahagia di hari ulang tahunnya, karena itu bertepatan dengan hari meninggalnya Bundanya?" Suara Alesia semakin memelan, putus asa. "Gue enggak tahu bisa bertahan berapa lama lagi." 

"Les, lo udah bertahan sampai sejauh ini. Sayang banget nggak sih, kalau nyerah sekarang?" 

Alesia menatap sahabatnya dengan nanar. "Vik, lo tahu nggak? Ternyata Mas Geryl udah naksir Kak Tishia sejak kuliah. Mereka pacaran lima tahun. Dan udah nikah lima tahun. Mereka udah belasan tahun saling mengisi satu sama lain. Gue sebagai orang luar, yang bahkan baru kenal dia beberapa bulan, mana mungkin bisa masuk ke hidupnya?" 

Vika tidak mengatakan apa-apa. Seolah bisa turut merasakan betapa sulitnya jalan yang dilalui Alesia selama ini.

 

 

 

***

 

 

 

 

Alesia mengungsi di hotel hari Minggunya, sengaja menghindari Geryl. Anggap saja ini balasan agar pria itu enggak berlaku seenaknya. 

Ia sengaja pergi diam-diam tanpa mengabari Yuni. Karena ia enggak yakin Yuni bisa akting dengan baik. Lebih baik, Yuni enggak tahu betulan. 

Seharian Alesia mengajak Illian melakukan baby spa. Anak itu bahagia sekali saat masuk ke bathtub dengan pelampung mungil di lehernya. Untung saja tidak ada drama tantrum ketika sesi spa berakhir. 

Setelahnya, Alesia tidur cukup lama di hotel sambil mendekap Illian. Sengaja mematikan ponselnya. Mengabaikan semua orang. Dia hanya ingin menikmati harinya berdua saja dengan Illian. 

Hari Senin pagi, Alesia pulang. Ia langsung mendapati raut keras Geryl di meja makan. Wajahnya terlihat kuyu, dengan rambut tidak karuan. Bakal janggut dan kumisnya terlihat lebih jelas, menandakan kalau pria itu belum shaving selama beberapa hari terakhir. 

Meski disambut dengan raut keruh, Alesia tetap tersenyum seceria mungkin.

"Hai, Ayah! Kita habis jalan-jalan!" Alesia menggandeng Illian untuk mendekati Ayahnya. 

"Siapa yang kemarin ulang tahun, angkat tangan!" Illian langsung ceria mengangkat kedua tangannya. 

"Mas, ucapin selamat ulang tahun dulu ke Adek dong!" 

Alih-alih mengatakannya, Geryl malah bangkit dari kursinya, beranjak meninggalkannya begitu saja menenteng tas kerjanya. 

Alesia hanya menghela napas panjang. Untung saja hari ini Geryl bekerja seperti biasa, sehingga ia masih punya jeda waktu beberapa jam untuk menyiapkan energinya, sebelum menghadapi amarah Geryl nanti malam. 

 

 

 

***

 

 

 

Seharian ini Alesia menyibukkan dirinya dengan beres-beres kamar. Juga melanjutkan desainnya yang belum selesai, padahal sudah mepet deadline. Gara-gara terlalu stres memikirkan keretakan rumah tangganya, Alesia jadi sulit menggambar dengan benar. 

Saking inginnya fokus menggambar, Alesia meninggalkan ponselnya di kamar. Dia hanya fokus dengan iPad-nya. Ia bahkan belum sempat mengecek laporan penjualan, karena lupa menaruh laptopnya di mana. Alesia selalu berpindah-pindah tempat saat bekerja. Kadang di pantri sambil menunggu masakan. Kadang di kasur, di kamar Illian, di halaman belakang, atau di mana pun sudut rumah ini sambil menemani Illian bermain.

Kali ini ia harus benar-benar fokus menyelesaikan desainnya agar kerjaannya tidak menumpuk. Makanya ia sama sekali tidak mengecek ponsel, agar tidak tergoda untuk scroll Tiktok. Lagi pula, memangnya siapa yang akan mengiriminya pesan? Suaminya kan sedang ngambek. 

Ah, sepertinya ngambek bukan kata yang tepat untuk mendeskripsikannya. Mungkin lebih tepatnya, murka. Tapi Alesia cuek saja. Toh, ia bisa membalasnya dengan mengungkit hilangnya kabar dari Geryl selama tiga hari terakhir. Jadi posisi mereka satu sama. 

Namun, perkiraannya salah setelah ia menidurkan Illian, Geryl mengundangnya ke ruang kerjanya dengan sorot tajam. Posisi ruang kerja Geryl memang berada di pojok lantai dua, bagian terjauh dengan kamar Illian. 

Jantung Alesia berdegub kencang. Mengira-ngira akan sebesar apa amarah Geryl, sampai mereka harus bicara di ruang kerja? 

Alesia pikir setelah keduanya duduk berhadapan di ruang kerja, Geryl bakal langsung mencecarnya dengan emosi menggebu-gebu. Nyatanya, perkiraan itu meleset. 

Geryl diam saja. Wajahnya semakin memerah setiap detiknya. Membuat posisi Alesia semakin terpojok. 

"Kenapa, Mas? Mau bilang apa, to the point aja!" Alesia memberanikan diri bertanya. Dia bisa mati kalau sampai lima menit lagi Geryl masih mengurungnya dalam hening yang mencekam begini. 

"Ini maksudnya apa?" Geryl menyodorkan sebuah amplop surat berlogo kepolisian yang membuat kedua alis Alesia menyatu di tengah. 

Dia tidak mengatakan apa-apa, langsung menerima suratnya, dan terkejut mendapati namanya berada di bagian depan surat. Lebih terkejut lagi ketika mendapati keterangan di dalam surat itu. 

Surat panggilan atas tindakan penipuan sebagai tersangka. 

Alesia berusaha memfokuskan pandangannya untuk membaca isi surat itu lebih lengkap. Nyatanya, ia tidak bisa memahami apa pun. Nama pelapor yang tercantum di sana pun tidak ia kenal sama sekali. 

"Sumpah, aku enggak tahu apa-apa soal ini, Mas. Aku bahkan enggak kenal Salsabila Setiawan itu siapa!" 

Tanpa mengatakan apa pun, Geryl mengangsurkan iPad-nya. Dalam iPad tersebut terdapat sebuah utas di Twitter dengan judul "Ditipu ratusan juta oleh owner brand fashionlokal yang lagi hits." 

Dalam utas tersebut, Salsabila Setiawan menceritakan dengan detail bagaimana ia mengenal Alesia. Lengkap dengan isi percakapan mereka saat bertransaksi.

Setelah membaca beberapa paragraf, Alesia baru ingat kalau Salsabila Setiawan adalah teman kantornya saat di Yogyakarta dulu. Selama ini ia hanya mengingat namanya sebagai Salsa, dan baru sekarang ia tahu nama lengkapnya. 

Di situ Salsa menceritakan bagaimana sosok yang mengaku sebagai Alesia menghubunginya. Semuanya dimulai dengan sosok itu minta alamat rumah Salsa, lantas mengirimkan baju-baju dari Jean.id. Di hari lain, si penipu mengatakan bahwa ia butuh patner bisnis untuk mengembangkan usahanya. Dia sedang mencari investor. 

Dan karena Salsa merasa mengenal Alesia dengan baik, juga menyukai produk Jean.id, ia pun setuju untuk menjadi investor Jean.id. Ditambah lagi, saat proses transaksi, si penipu memberikan nomer rekening atas nama Alesia, sehingga Salsa semakin percaya. 

Satu tahun setelah Salsa memberikan uang dua ratus juta untuk investasi, ia belum juga mendapatkan persentase bagi hasil keuntungannya. 

Ia sudah berusaha menghubungi social media Jean.id, tapi tim admin enggak membalasnya. Bahkan belakangan ini nomor si penipu sudah tidak aktif lagi, sehingga Salsa menindaklanjuti masalah ini dengan melaporkan ke kepolisian, juga menaikkan kasus ini di Twitter untuk mencari dukungan.

Utas tersebut ditutup dengan kalimat, "Uang dua ratus juta buat aku tuh enggak dikit. Aku kerja mati-matian buat itu. Dan aku juga sangat menghargai pertemanan kita selama beberapa tahun sebagai rekan kerja. Makanya aku sepercaya itu sama kamu. Dan aku enggak nyangka, kamu bakal merusak pertemanan kita dengan cara ini. Sekarang sih, karena kasusnya udah aku bawa ke kantor polisi, aku enggak terlalu berharap uangnya bisa balik. Tapi seenggaknya kamu tetap harus dapat sanksi sosial. Minimal, dengan begini netizen jadi tahu dan mempertimbangkan ulang kalau mau beli produk Jean.id. Percuma punya produk bagus kalau owner-nya penipu!" 

"Mas, ini pasti salah paham. Aku enggak pernah lagi berhubungan sama teman kantor lamaku semenjak resign!" 

"Terus kenapa bisa ada bukti chat, bukti transfer, bahkan mutasi rekening?" 

Alesia kembali melihat nomor rekening yang disebarkan dalam utas tersebut. "Itu emang rekeningku. Tapi sejak tiga tahun lalu, kartu ATM dan buku tabungannya udah enggak aku pegang lagi, Mas. Terus disalahgunakan." 

"Siapa yang megang?"

Suara Alesia tersekat. Lidahnya kelu, tidak bisa mengeluarkan suara apa pun, meski jawabannya cuma satu kata. 

"Siapa?" desak Geryl tidak sabaran. 

"Mario." 

Raut Geryl tampak makin murka.

"Dulu waktu putus, aku langsung pergi dari apartemen dengan buru-buru. Jadi enggak semua barang bisa kubawa pergi. Bahkan iPadku ketinggalan di sana." 

"Termasuk buku tabungan dan ATM-nya juga ketinggalan?" 

Alesia tertunduk dengan bahu terkulai lemah. Sebenarnya ia tidak mau menceritakannya. Namun, melihat bagaimana mengintimidasinya tatapan Geryl, ia pun bercerita. 

"Dulu waktu masih pacaran, aku sama dia sepakat bikin tabungan bersama buat nikah. Waktu itu aku punya beberapa rekening yang enggak terpakai, jadi daripada bikin rekening baru, kita sepakat pakai rekeningku itu. Mario tahu kata sandi dan pin-nya. Karena aku mutusin hubungan sepihak tanpa persetujuan, aku enggak mau ungkit-ungkit uang itu. Aku ikhlasin buat dia, supaya aku bisa pergi dengan tenang tanpa berurusan lagi sama dia. Jadi ... kemungkinan besar pelakunya memang Mario." 

Geryl diam saja, tidak kunjung mengatakan apa pun. 

"Setelah ini aku bakal telepon Salsa, kalau perlu ketemu langsung sama dia di kantor polisi buat ngejelasin semuanya. Aku sama sekali enggak berkaitan dengan itu. Rekening lamaku disalahgunakan." 

Namun, ekspresi Geryl tidak berubah sedikit pun, tetap sama kakunya. 

Suara Alesia memelan, menahan tangis. "Kamu enggak percaya sama aku, Mas?" 

"Kalau Sheyna Radisa siapa?" 

Suara Alesia tertahan. Ia berusaha meneliti sorot mata Geryl. Melalui tatapannya, Alesia yakin kalau Geryl pasti sudah mencari tahu banyak. 

"Dia ... m—mantan pacarnya Mario." 

Geryl menaikkan sebelah alisnya. Nada suaranya meninggi. "Dan kamu kirimin dia uang dua puluh juta untuk apa?!" 

"Kamu cek mutasi rekening?" Memang tidak ada salahnya Geryl mengecek mutasi rekeningnya. Toh, itu memang rekening Geryl. Dia punya akses atas itu. Seharusnya Alesia bilang dulu pada Geryl soal ini. Tapi ia enggak pernah menemukan waktu yang tepat. 

Namun, entah kenapa, melihat bagaimana Geryl sampai mengecek mutasi rekening sedetail itu, membuat Alesia sakit hati. "Kamu lebih percaya sama thread itu ya, Mas? Sampai kamu ngecek mutasi rekeningku gini?" 

"Ini enggak ada hubungannya percaya dan enggak percaya. Yang penting sekarang kamu jelasin, kenapa kamu masih berhubungan sama pacarnya mantanmu? Bahkan kamu sampai kasih dia duit?" 

"Dia udah putus dari Mario, Mas. Dia MANTANNYA Mario!" ralat Alesia kesal. 

"Intinya, dia berkaitan dengan Mario, kan? Tapi enggak ada hubungan apa pun sama kamu? Kenapa kamu sepeduli itu sama dia?" 

"Dia lagi kesulitan, dan aku punya sedikit uang lebih buat bantu dia. Ini sama sekali enggak ada urusannya sama Mario! Aku sama sekali enggak pernah komunikasi lagi sama Mario. Nanti uangmu aku ganti. Udah, kan? Aku ngantuk banget." 

"Ini bukan masalah nominalnya, Le!" 

"Terus apa?" 

"Sebelumnya kamu udah tahu kan, kalau Mario manfaatin nomor rekeningmu buat nipu temen-temenmu?" Pertanyaan itu membuat Alesia tersentak. 

Beberapa waktu lalu, ia sempat mengobrol singkat dengan Meisa—tetangga apartemennya, melalui DM Instagram. Dari situ mereka saling update kehidupan masing-masing. Kemudian Meisa bilang, kalau dia kesal kenapa tidak diundang di acara pernikahannya dengan Mario. Meisa mengira, Illian yang sering ia posting di Instagram adalah anak Alesia bersama Mario. 

Alesia memang enggak pernah mengunggah foto suaminya. Apalagi kalau bukan karena Geryl enggak suka difoto, jadi Alesia enggak punya banyak fotonya, kecuali beberapa foto yang ia ambil diam-diam.

Kemudian Alesia menjelaskan bahwa ia sudah putus dengan Mario sejak lama. Lalu menceritakan secara singkat sosok tampan nan rupawan yang kini menjadi suaminya. 

Setelah mendengar informasi tersebut, Meisa bilang bahwa beberapa bulan yang lalu, Mario sempat menghubunginya untuk pinjam uang. Mario memberikan rekening Alesia. Bahkan saat Meisa menanyakan soal pernikahannya dengan Alesia, Mario mengiakan dengan enteng. 

Berhubung Meisa bukan tipe orang yang bisa meminjamkan uang pada siapa pun, perempuan itu pun menolak. 

Setelahnya Alesia menegaskan kalau dia sudah tidak memiliki urusan apa pun dengan Mario, dan mengingatkannya untuk berhati-hati dalam urusan uang. 

"Kamu udah tahu, kan?" desak Geryl semakin kesal. 

Alesia enggak tahu Geryl bisa mengetahui itu dari mana. Dan kini wajahnya tampak memerah penuh emosi.

"Kamu udah tahu rekeningmu disalahgunakan, tapi diem aja? Enggak berusaha mencegah hal-hal buruk dengan menutup rekening itu? Bahkan saat Mario nyuruh pacarnya untuk ngemis-ngemis ke kamu pun, kamu masih mau ngasih? Kenapa kamu masih sepeduli itu dengan kehidupan mantanmu?" 

"Bentar, deh! Kamu buka-buka laptopku ya, Mas?" Alesia memang enggak memasang password di laptopnya, agar ia bisa membuka laptop dengan lebih cepat. Semenjak jadi Ibu, waktunya untuk membuka laptop lebih singkat, sehingga Alesia mengatur semuanya sepraktis mungkin. 

Dan Alesia enggak punya apa pun yang ia rahasiakan di dalam laptopnya. Geryl boleh melihat semuanya. Asal dengan izinnya lebih dulu. 

"Kalau enggak kubuka, aku enggak akan pernah tahu apa yang kamu lakuin selama ini, kan?" 

"Aku enggak kepikiran buat nutup rekening itu karena aku enggak pegang buku tabungan atau kartu ATM-nya, Mas! Jadi aku pikir bakal lebih ribet ngurusnya. Dan aku enggak punya waktu seluang itu untuk antre di bank berjam-jam. Aku juga sama sekali enggak nyangka masalahnya bakal jadi gini!" 

Alesia menghela napas kasar. "Kamu udah ngecek mutasi rekening, terus sampai buka-buka laptopku. Padahal kamu bisa nanyain semua kebenarannya sama aku sejak awal. Selama ini aku enggak bilang karena kamu enggak pernah benar-benar peduli sama aku. Apa menurutmu, aku enggak akan mau jelasin semuanya kalau kamu tanya ke aku, jadi kamu lancang buka-buka laptopku gini?!" 

Alih-alih menjawab ucapan Alesia, Geryl malah melontarkan pertanyaan lain yang membuat mulut Alesia menganga, kehilangan kata-kata. 

"Kamu masih cinta sama mantanmu itu?" 

Sepasang matanya mengerjap. Pandangannya sudah buram oleh gumpalan air mata yang tinggal menghitung detik untuk menetes. "Setelah apa yang kita jalani belakangan ini, kamu masih meragukan perasaanku?" 

Air matanya mengalir deras. "Jujur aja kalau bisa milih, aku lebih memilih masih belum bisa move on dari mantanku, ketimbang harus jatuh cinta sendirian ke kamu kayak gini, Mas. Bahkan setelah aku mencintai kamu segitu besarnya, kamu masih meragukan perasaanku?" 

Kemudian Alesia keluar dari ruangan itu. Ia memasuki kamar tamu yang sudah lama tidak ditempati. Memilih menangis lebih kencang di sana, meringkuk sepanjang malam dengan rasa sakit yang membuatnya tidak bisa tidur. 

 

 

 

***

 

 

 

Bab 36: It’s Over

 

 

 

 

Keduanya saling mendiamkan. Mereka menyimpan rasa sakit hati dan emosi yang sama, sehingga tidak ada satu pun yang berinisiatif untuk memulai pembicaraan lagi. 

Alesia menjalani harinya seperti biasa. Masih menyiapkan sarapan dan bekal suaminya, meski dengan wajah sembab. 

Dia bahkan enggak bisa bekerja sama sekali. Laptopnya masih berada di ruang kerja Geryl. Dan ia malas memasuki ruangan itu untuk mengambilnya. Geryl benar-benar lancang dan menyebalkan sekali. Dadanya terlalu sesak untuk menyimpan seluruh emosi yang berkecamuk.

Beberapa minggu lalu, Alesia membalas email Sheyna Radisa dengan sederet penjelasan bahwa dia tidak ada hubungan apa pun dengan Mario. Dia turut mengirimkan foto pernikahannya dengan Geryl, sebagai bukti kalau pria yang dinikahinya sekarang bukan Mario. 

Sheyna minta maaf sudah asal menuduh. Pada akhirnya perempuan itu curhat betapa tersiksanya ia saat ini, karena hamil sendirian di kota yang sangat asing untuknya. 

Saat Mario membawa Sheyna ke Yogyakarta, pria itu berjanji, setelah project filmnya bulan itu sudah selesai, ia akan kembali ke Yogyakarta dan menyiapkan pernikahan mereka. Kondisi Sheyna yang sedang rapuh mempercayai janji-janji manis Mario begitu saja.

Sampai akhirnya Mario menghilang selama empat bulan, tanpa mengirimkan uang bulanan yang dijanjikan. Tabungan Sheyna sudah menipis. Dia tidak tahu lagi harus melanjutkan hidup dengan cara apa. Sementara sekarang kandungannya sudah enam bulan. Jangankan untuk periksa kandungan ke dokter. Bisa membeli makanan tiga kali sehari pun Sheyna sudah bersyukur.

Cerita Sheyna mengingatkan Alesia pada kondisinya hampir dua tahun lalu. Saat itu nasibnya memang enggak seburuk Sheyna karena ia punya tabungan yang lebih dari cukup untuk hidup sendiri. 

Meski kalau dibandingkan Alesia sedikit lebih beruntung, tetap saja saat itu Alesia merasa menjadi menjadi manusia paling hancur di dunia. Hidupnya benar-benar berantakan.

Dan butuh waktu lama sekali untuk mengais sisa-sisa patahnya, yang ia pergunakan untuk melanjutkan hidup.

Alesia ingat sekali bagaimana rasanya menghadapi hari-hari yang mencekam sendirian. Tidak ada satu pun orang yang mengerti bagaimana situasinya. Dia benar-benar sendirian. 

Dan karena itulah, hati Alesia tergerak untuk mengirimkan uang pada Sheyna. Kebetulan nomor rekening Sheyna sama dengan bank Geryl, sehingga Alesia mengirimkan uangnya dari rekening yang diberikan Geryl padanya. 

Itu hanya segelintir, dibandingkan dengan isi rekeningnya. Apalagi Geryl juga rutin mengirimkan uang bulanan yang besarnya berkali-kali lipat dari dua puluh juta.

Namun, bagi Sheyna uang itu pasti sangat berharga. Apalagi saat Sheyna menyinggung soal kehamilannya. Alesia jelas enggak tega. Dulu dia rutin checkup setiap dua minggu sekali. Juga mengunjungi dokter fetomaternal untuk melihat kondisi bayinya dengan lebih detail, menghindari hal-hal buruk terjadi. Nyatanya, bayinya tidak bisa selamat karena terlambat ditangani. 

Alesia tidak ingin Sheyna merasakan kehilangan yang sama sepertinya. Sebelum membantu, Alesia memberikan syarat agar Sheyna tidak lagi mengharapkan keberadaan Mario. Dia harus mulai bangkit dari seluruh rasa terpuruknya untuk menyambut kehadiran sang buah hati, karena bagaimana pun, anak itu enggak salah. 

Alesia belum menceritakan itu pada Geryl karena dia belum mendapatkan momen yang pas. Ia mengirimkan uang itu saat sedang liburan di Bali kemarin. Ia enggak mau merusak liburannya dengan membahas hal-hal yang kurang menyenangkan. 

Lalu sepulang liburan, kepala Alesia penuh memikirkan bagaimana caranya membahas ulang tahun Illian pada Geryl. Ia benar-benar sempat melupakan masalah Sheyna. 

Toh, uang dua puluh juta juga tidak seberarti itu untuk Geryl. Bahkan saat ia mengeluarkan uang 23 juta untuk beli ponsel baru, Geryl menyahutinya dengan lempeng, seolah Alesia baru saja jajan bakso di depan komplek. 

Lalu kenapa Geryl bisa semarah ini, bahkan sampai menuduhnya masih mencintai Mario, hanya karena ia mengirim uang dua puluh juta pada Sheyna?

Beberapa saat setelah Meisa cerita soal Mario yang meminjam uang padanya, Alesia sempat membuat Instastory penegasan bahwa dia enggak lagi memakai nomor rekening itu, dan tidak punya hubungan apa pun dengan Mario.. Ia meminta teman-temannya berhati-hati untuk meminjamkan uang pada siapa pun. Ada baiknya saat ingin transaksi pinjam-meminjam itu, mereka bertatap muka secara langsung, agar lebih aman.

Saat itu Alesia pikir penegasannya sudah cukup untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Dia belum punya waktu untuk mengurus rekening itu. Karena ia harus ke kantor polisi dulu untuk mengurus surat kehilangan buku tabungan dan kartu ATM, lalu ke bank yang antrenya panjang. Baru membayangkan saja, energinya sudah habis duluan mengingat ia harus membawa Illian ke mana pun.

Dan Alesia baru sadar kalau dia enggak berteman dengan Salsa di Instagram. Pantas saja perempuan itu menjadi korbannya. Dulu Alesia memang ingin memisahkan kehidupan pribadinya dari kantor, sehingga malas berteman di Instagram dengan teman-teman kantornya. Rupanya hal itu bisa berdampak separah ini. 

Jujur saja ia sama sekali tidak menyangka Mario bakal melakukan sejauh ini. Selama pacaran, pria itu enggak pernah punya permasalahan soal uang padanya. Entah Alesia yang matanya sudah tertutup dengan cinta, sehingga tidak menyadari keburukan Mario di masa lalu, atau pria itu terlalu pintar menyembunyikan semuanya, sehingga Alesia sama sekali tidak menyadari keburukan-keburukannya.

Sayangnya, Geryl sudah terlalu marah dengan asumsi-asumsinya sendiri, sehingga tidak mau mencoba melihat dari sudut pandangnya. 

"Mas, aku mau nitipin Adek ke Mami. Kamu bisa nganterin enggak? Mami bakal nanyain kamu, kalau aku ke rumah Mami naik taksi." Setelah menenangkan diri beberapa hari, Alesia memberanikan diri untuk menghadapi semuanya. 

"Kamu mau ke mana?" Geryl yang baru pulang jogging langsung menatapnya tajam. 

"Kantor polisi." 

Sebelum Geryl menyahut, Alesia lebih dulu berjalan ke kamar mandi. Tidak sanggup menatap wajah datar menyebalkan itu lama-lama. Hari ini sia akan menyelesaikan masalahnya dengan Salsa. Karenanya ia butuh banyak energi positif agar semuanya berjalan dengan lancar. 

Dan menatap wajah datar Geryl membuat energi positifnya tersedot habis.

Sampai beberapa jam berikutnya, Geryl mengantar Alesia ke rumah Mami. Tidak ada obrolan apa pun di antara mereka. Bahkan untuk menanggapi ocehan Illian saja, Alesia enggak punya tenaga. 

Untung saja hari Sabtu ini, Mami tidak ada rencana ke mana-mana. Mereka sempat basa-basi singkat dan akting seolah hubungan mereka baik-baik saja. 

Geryl menurunkannya di depan kantor polisi. Setelah itu mobilnya berlalu begitu saja tanpa mengatakan apa-apa.

Alesia terpaku di tempatnya, menatap arah kepergian Geryl. Dadanya terasa sesak sekali. Kedua matanya memanas. 

Kenapa kamu enggak nemenin aku, Mas? Kamu tahu sendiri kan, aku enggak suka sendirian.

 

 

 

 

***

 

 

 

Selama proses penyidikan, Alesia memberikan semua keterangan yang ia punya pada tim penyidik. Dalam waktu kurang lebih satu jam, Berita Acara Penyidikan selesai dibuat. Menurut tim penyidik, status Alesia akan pindah menjadi saksi setelah proses pemeriksaan berikutnya. Tim penyidik masih harus memastikan apakah semua keterangan Alesia bisa dibuktikan. Ia masih harus mengikuti pemeriksaan berikutnya yang belum ditentukan lagi kapan waktunya. 

Ia menarik napas panjang. Kalau tahu Mario bakal sebrengsek ini, ia pasti enggak akan sesantai itu meninggalkan barang-barangnya di apartemen. Demi Tuhan, Alesia enggak menyangka dirinya di masa lalu bisa sebucin itu dengan manusia sebejat Mario. 

Setelah proses pemeriksaan selesai, Alesia bertemu Salsa. Mereka pindah ke coffee shop umtuk mengobrol lebih jelas. Untungnya, Salsa langsung percaya dengan semua ucapannya, karena sebenarnya Salsa sendiri juga menemukan beberapa kejanggalan. Mereka pun sepakat bahwa pelakunya adalah Mario. 

Salsa langsung mengunggah klarifikasi baru di thread-nya, mengungkapkan kebenaran dan permintaan maaf pada tim Jean.id yang turut berdampak atas kasus ini. 

Sebenarnya masalah ini enggak akan bertambah besar kalau Alesia enggak ganti nomor. Gara-gara dulu ia ganti nomor setelah putus dari Mario, kontaknya dengan Salsa dan teman kantor lain jadi terputus. Itulah yang menyebabkan Salsa langsung percaya, kalau seseorang yang mengontaknya saat itu betulan Alesia. 

Sekarang tim penyidik sedang mencari Mario. Ternyata pria itu juga terkena beberapa kasus penipuan yang sudah dilaporkan sebelumnya. Dan karena korbannya terus bertambah, polisi bekerja lebih ekstra untuk mencari Mario. 

Alesia pulang ke rumah pukul tujuh malam. Ia sudah bilang ke Mami dan Geryl supaya malam ini Illian menginap di rumah Mami saja. Ia tidak punya tenaga untuk menghadapi siapa pun lagi. Tubuhnya lelah sekali. Bahkan untuk nenjawab pertanyaan Yuni, apakah ia sudah makan atau belum saja, Alesia enggak bertenaga. 

Ia segera mandi dan berganti baju. Di dalam kamar mandi, ia sudah membayangkan betapa nikmatnya langsung rebahan di kasur. 

Namun, ketika keluar dari kamar mandi, Alesia malah mendapati Geryl tengah duduk di kasur. Ia menghela napas berat. Padahal ia sengaja memasuki kamar tamu, karena Geryl adalah manusia yang paling dihindarinya.

"Mas, aku beneran capek banget, males ngomongin apa pun." Alesia mengeringkan rambutnya tanpa melirik ke arah suaminya. 

"Kemarin kamu bilang aku enggak boleh buka-buka laptopmu? Makanya sekarang aku tanya langsung ke kamu. Katanya kamu bakal cerita apa aja kalau aku tanya langsung, kan?" 

"Kalau kamu pengin tahu, kenapa tadi kamu ninggalin aku di kantor polisi? Kenapa kamu enggak ikut turun nemenin aku? Supaya aku enggak perlu repot-repot nunjukin buku nikah kita ke semua orang, untuk membuktikan bahwa pria yang aku nikahi bukan Mario." 

"Jadi, sekarang kamu masih menyesal karena tidak jadi menikah dengan Mario, atau justru bersyukur?" Pertanyaan tersebut membuat Alesia langsung memutar tubuhnya untuk menatap si pemilik suara. 

"Kamu beneran masih meragukan perasaanku ya?" Suara Alesia terdengar begitu lirih. 

"Aku lihat folder rencana pernikahanmu dengan Mario. Lengkap dan detail banget ya? Foto-foto liburan mesra kalian juga masih ada. Bahkan kamu juga udah riset berbagai macam perumahan yang akan kalian tinggali. Semuanya terencana dengan sempurna, sangat berbeda jauh dengan kondisi pernikahan kita sekarang. Hubungan kita sama sekali tidak sesuai dengan impianmu ya?" 

"Kamu sadar enggak sih, Mas, sama apa yang kamu omongin?" seru Alesia dengan emosi berapi-api. "Menurutmu, kenapa hubungan kita tidak sesuai dengan impianku? Padahal impianku sederhana. Aku cuma pengin keluarga kecil yang hangat dan harmonis. Kenapa kita enggak bisa seperti itu?" 

Geryl bergeming. 

Napas Alesia terengah karena emosi yang memuncak. "YA KARENA KAMU!" 

"Sejak awal kamu enggak pernah membahas soal impianmu. Gimana aku bisa tahu?" Alesia enggak menyangka pria ini masih bisa menyahuti ucapannya dengan sedatar itu. 

"KARENA KAMU SEJAK AWAL ENGGAK MAU BUKA HATI BUAT AKU!" Alesia nyaris menjambak rambutnya karena frustasi. "Yang kehilangan bukan cuma kamu, Mas. Aku juga kehilangan sama pedihnya dengan yang kamu alami. Tapi kamu mendramatisir semuanya, enggak mau melepaskan masa lalumu, sehingga semua hal yang kita jalani sekarang terasa semu. Pada akhirnya kamu enggak pernah benar-benar mencintai aku. Kamu enggak pernah benar-benar mengizinkan aku masuk ke duniamu. Dan apa menurutmu aku bisa bahagia dengan hubungan semacam ini?!" 

"Kata siapa aku enggak mencintaimu?!" Nada suara Geryl meninggi. 

"Buktinya kamu mempertanyakan apakah aku  masih mencintai Mario!" 

"Aku cuma memastikan, karena buktinya, kamu masih menyimpan semua hal tentang Mario dengan sangat rapi. Kamu masih sangat peduli dengan mantanmu itu. Bahkan kamu mengirimkan uang untuk kehidupan pacarnya. Kalau bukan karena masih cinta, karena apa lagi?!" 

"Karena rasa kemanusiaan, Mas! Hubungan Sheyna dan Mario sudah berakhir sejak empat bulan lalu. Dia sedang terkena musibah. Dan kamu enggak akan paham bagaimana rasanya ada di posisi Sheyna, karena kamu enggak pernah mengalaminya." 

Alesia mengambil napas panjang sebelum melanjutkan amarahnya. "Tapi aku pernah! Aku pernah ada di posisi mencekam itu! Aku sendirian, tidak tahu arah dan tujuan. Duniaku runtuh. Semua harapanku musnah. Setiap harinya, aku bangun tidur dengan ditumpuki ketakutan dan kekhawatiran. Enggak terhitung berapa kali aku berpikiran untuk mengakhiri hidup, karena kupikir itu cara termudah untuk menyudahi semua penderitaan ini. Tapi pada akhirnya aku tetap bertahan. Aku berhasil bertahan. Dan belum tentu orang lain bisa melakukannya. Makanya aku mendukung Sheyna agar bangkit. Uang dua puluh juta bukan sesuatu yang besar buat kamu, Mas! Barangkali uang segitu cuma bisa kamu pakai untuk beli selembar kemeja. Tapi bagi Sheyna, itu bisa menyelamatkan nyawa kecil yang sedang dia kandung! Kenapa kamu mempermasalahkan itu segitunya? Nanti uangnya kuganti lima kali lipat. Jadi, sekarang kamu bisa stop bahas uang itu?" 

Geryl tidak kunjung menjawab. Sementara Alesia masih kesulitan menenangkan tangisnya. Sebelum pertengkaran mereka makin parah, Alesia berdiri untuk mengusir pria itu. 

"Seharusnya kamu bisa cerita dulu ke aku. Kenapa kamu menutup-nutupinya? Kamu sendiri yang bilang, ingin menjalani pernikahan ini seperti pasangan suami-istri pada umumnya yang tidak punya batasan. Kamu berkali-kali bilang cinta sama aku, tapi enggak pernah benar-benar membuka diri sama aku. Kamu selalu membatasi diri, menyimpan semuanya sendiri, terus nangis-nangis sendiri. Padahal kamu selalu bisa berbagi apa pun ke aku!" 

"Menurutmu, kenapa aku masih membatasi diri ke kamu, dan nggak bisa sepenuhnya terbuka sama kamu?" Kali ini suara Alesia lebih pelan. Energinya sudah terkuras habis. 

Selama berminggu-minggu ia menahan diri untuk tidak membahas ini, karena enggak mau terlibat pertengkaran. Namun, sepertinya pertengkaran ini memang enggak bisa dihindari lagi bagaimanapun caranya.

Pertanyaan Alesia tidak mendapatkan jawaban. Entah sebenarnya Geryl sudah tahu jawabannya, tapi enggan mengatakannya, atau pria itu benar-benar tolol dan tidak menyadari seburuk apa kelakuannya.

Pandangan Alesia turun, menatap jari Geryl. "Karena sampai detik ini, kamu masih pakai cincin kawinmu dengan Kak Tishia! Kamu enggak tahu kan, betapa tersiksanya aku setiap malam ngelihat cincin itu di jarimu?! Gimana aku bisa membuka diri sepenuhnya ke kamu, kalau perasaanmu masih setengah-setengah?!" 

Tangis Alesia kembali pecah. Ia menarik napas panjang, menurunkan nada suaranya agar energinya tidak terbuang lebih banyak. "Selama ini aku selalu sabar. Aku tahu kamu enggak akan semudah itu move on dari Kak Tishia. Awalnya aku pikir, enggak masalah kamu tetap memakai cincin itu. Toh bentuknya juga hampir sama. Tapi menyadari kalau di dalam cincin itu masih ada nama Kak Tishia, aku sakit hati, Mas. Sejak kecil aku selalu menjadi bayang-bayang Kak Tishia. Mami menuntutku untuk menjadi seperti Kak Tishia. Apa pun yang diraih Kak Tishia harus kuraih juga. Dan sekarang, saat aku berumah tangga pun, aku tetap menjadi bayang-bayang Kak Tishia. Atau jangan-jangan sejak awal kamu mau menikahiku karena aku mirip dengan Kakakku?" 

Geryl menunduk, menatap cincin yang melingkari jarinya. Alesia enggak mampu melihat bagaimana ekspresi pria itu karena matanya tertutupi oleh air mata yang terus mengalir. 

"Bahkan saat hari ulang tahun Illian kamu malah menghilang. Aku tahu kamu sedih dengan kepergian istri tercintamu itu. Tapi kamu harus ingat bahwa Illian enggak salah apa-apa. Bukan kemauan dia dilahirkan ke dunia ini. Dan menurutmu, kalau Illian ditanya, apa dia mau kehilangan Bundanya sejak lahir?! Sedihlah seperlunya, Mas. Karena sebesar apa pun kamu peduli pada kepergian Tishia, tetap enggak boleh membuat kamu mengabaikan kebahagiaan orang-orang di sekitarmu yang masih hidup. Apa sampai tua besok, Illian enggak boleh berbahagia di hari ulang tahunnya?!" 

Alesia memejamkan matanya. Berusaha menjernihkan pikirannya. Namun, seluruh kecamuk rasa sakit yang menggerogotinya membuat ia tidak tahan lagi. 

"Dan bisa-bisanya kamu tanya apakah aku udah move on dari mantanku, di saat kamu sendiri masih belum bisa move on dari mantanmu?!" Alesia berdecak sambil menggelengkan kepalanya tidak habis pikir. "Aku masih menyimpan semua folder tentang Mario, karena folder itu ada jauh di bawah, tidak pernah kubuka lagi, dan aku terlalu sibuk menjalani hidupku sekarang. Sementara kamu masih menyimpan semua barang mantanmu dengan rapi di dalam gudang. Bahkan kamu masih sering masuk ke sana untuk mengenang momen indah kalian. Selama ini aku diem aja, kan? Kalau kamu enggak nyaman sama semua folder itu di laptopku, kamu bisa langsung menghapusnya. Sama sekali enggak mempengaruhi hidupku. Tapi gimana kalau minta hal serupa? Isi gudang itu dikosongkan? Kamu enggak mau, kan?!" 

"Le, itu dua hal yang berbeda. Kamu enggak bisa—" 

"Iya, Mas, aku emang enggak akan pernah bisa mendapat tempat di hatimu sampai kapan pun. Aku ngerti kok." 

Alesia mengambil jeda sejenak untuk menarik napas panjang. "Kali ini aku bener-bener udah capek, Mas. Aku enggak punya tenaga lagi untuk pura-pura bahagia dengan apa yang kita jalani sekarang. Iya, aku emang bodoh banget ya? Aku terlalu mencintai kamu, jadi mengabaikan semua rasa sakit yang menggerogoti, selama aku bisa terus bersama kamu. Tapi mau sampai kapan aku harus begini?"

"Le, aku—"

"Kamu mau biarin aku istirahat sendiri di sini, atau aku harus pergi dari sini malam ini juga?" 

Untungnya, tidak perlu diminta dua kali, pria itu langsung beranjak pergi. Sehingga Alesia bisa meluapkan seluruh rasa sakitnya dengan lebih leluasa. 

Malam ini, akan menjadi hari terakhir ia menangisi pria itu. Setelah ini, Alesia berjanji tidak akan membuang air matanya lagi untuk pria itu. 

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Let Me In
Selanjutnya Bab 37-38 Let Me In
22
0
Bab 37 - Is This Really Over?Bab 38 - Decision
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan