
Bab 33 - Getting Closer
Bab 34 - Happiest Day
Bab 33: Getting Closer
Entah sudah berapa menit berlalu sejak percintaan mereka selesai. Kini mereka hanya saling mendekap untuk memulihkan energi, sekaligus menyalurkan rasa panas dari tubuh masing-masing.
Alesia tidak menghitung berapa kali ia mendapat pelepasan. Semuanya benar-benar sangat luar biasa. Ini bahkan jauh lebih membahagiakan dibanding imajinasinya.
Saking bahagianya, Alesia enggak bisa tidur. Geryl sudah mengelap pangkal pahanya dengan handuk hangat, lantas memakaikan kembali underware dan bra yang berserakan di lantai. Begitu pun dengan Geryl yang sudah kembali memakai celana brief-nya.
Ketika Geryl ingin memakai kembali kaosnya, Alesia melarang. Ia beralasan, lebih suka memeluk dada Geryl dalam kondisi skin to skin, karena lebih hangat.
Geryl pun menurut. Lalu mereka bersiap tidur. Namun, sudah bermenit-menit Alesia berusaha memejamkan mata, tidak juga tenggelam dalam mimpi. Atau jangan-jangan, sekarang ini dia sedang bermimpi?
Padahal besok hari Senin. Meski ia di rumah saja seperti biasa, Alesia tetap harus tidur karena ia harus bangun pagi, menyiapkan sarapan dan bekal suaminya, dan kembali pada rutinitasnya mengurus Illian. Tidak bisa santai-santai lagi seperti saat weekend kemarin.
Namun, ketika Alesia sudah hampir terlelap, ia merasakan pelukan Geryl di pinggangnya mengendur. Kemudian, tangan pria itu juga melepaskan pelukannya dengan perlahan.
Kantuk Alesia langsung hilang ketika pria itu beranjak dari kasur. Matanya terbuka lebar, dan langsung mendapati suaminya sedang memungut celana pendek di lantai, untuk dipakai. Kemudian berjalan membuka lemari, menarik kaos paling atas. Pria itu masih belum sadar kalau setiap gerak-geriknya sedang diperhatikan.
Dan ketika langkah Geryl mendekati pintu, Alesia langsung duduk. "Mas, kamu mau ke mana?"
Pria itu tampak terkejut melihat Alesia yang terbangun. Tapi jawabannya tetap terdengar lempeng. "Ambil minum, bentar."
"Jangan pergi, Mas! Aku nggak suka sendirian!" rengek Alesia sambil mengulurkan tangannya meminta pria itu kembali ke ranjang.
"Aku cuma mau ambil minum, Le!" Meski mengatakan itu, Geryl tetap berjalan mendekati Alesia, lantas duduk di pinggir kasur.
"Ya udah, aku ikut!" Kini Alesia memeluk suaminya erat, tidak akan melepaskannya barang sebentar saja.
"Le?!" Nada suaranya terdengar bingung. "Aku beneran cuma mau ambil minum, enggak ada lima menit!"
"Mau cuma lima menit, kek! Lima hari kek! Pokoknya aku ikut!"
"Kenapa sih, Le?" Geryl berusaha melepaskan tautan tangan Alesia di lehernya, tapi tidak berhasil, karena sekarang Alesia malah duduk di pangkuannya.
"Aku trauma," bisik Alesia pelan.
"Trauma kenapa?"
"Pokoknya aku ikut!"
Geryl menghela napas kasar, kemudian mengalah. "Ya udah ayo!"
"Gendong!"
"Di belakang aja." Kemudian Geryl memindahkan tubuh Alesia yang semula berada di pangkuannya ke kasur. Ia memutar tubuh, memberikan punggungnya pada Alesia.
Geryl menurunkan tubuh Alesia di meja pantri. Barulah Alesia tahu kalau sekarang sudah pukul tiga dini hari melalui jam dinding di dekat pantry. Geryl mengambil gelas, lantas mengisinya dengan air putih.
Alesia masih diam di tempatnya, memperhatikan setiap gerak-gerik suaminya dengan penuh curiga. Apakah Geryl betulan cuma mau minum? Atau itu hanya alasan, karena sebenarnya dia punya tujuan lain saat mau pergi tadi?
"Kamu mau minum juga?"
Sebagai jawabannya, Alesia mengangguk. Geryl beranjak, ingin membuka kabinet penyimpanan gelas.
"Ngapain ambil gelas baru?"
Kepala Geryl menoleh dengan kening mengerut.
"Nggak boleh pake gelasmu aja?" Alesia bertanya dengan hati-hati. Ia tahu ada dua tipe manusia di dunia ini. Ada yang bisa sharing alat makan dengan orang lain, dan sebaliknya. Tentu ia akan menghargainya jika pria itu memang enggak suka berbagi alat makan dan minum dengan orang lain.
Namun, ternyata pria itu mengurungkan niatnya mengambil gelas, lantas mengisi kembali gelas miliknya.
Senyum Alesia mengembang saat menerima gelas tersebut. Dia betulan macam remaja SMP yang baru pertama kali pacaran. Bahkan perkara minum dengan gelas bekas suaminya aja, berhasil membuat pipinya memanas. Tahu, kan indirect kissing?
Padahal Alesia sudah merasakan dicium secara langsung berkali-kali, tapi hanya karena gelas begini saja, ia sudah salting sendiri. Seperti baru saja dicium beneran.
Usai minum, Geryl kembali menyodorkan punggungnya untuk menggendong Alesia lagi. Tapi Alesia malah memutar tubuh itu agar menghadap ke arahnya. Kedua kakinya dibuka lebar-lebar, untuk menjepit tubuh Geryl di antaranya, dan merapatkan diri.
Dengan sorot lampu pantri yang temaram, Alesia mengalungkan tangannya pada leher Geryl. Jarak kepala mereka bahkan kurang dari sejengkal. Namun, tidak ada pergerakan apa pun di antara keduanya.
Geryl menyelami sorot mata Alesia, berusaha mengartikan apa yang wanita itu inginkan sekarang.
Ketika Alesia memberanikan diri mendekatkan kepalanya, Geryl membalasnya dengan hal serupa. Bibir mereka kembali bertautan lembut.
Cengkraman jemari Alesia dia bahu Geryl mengerat, kala lidah pria itu menerobos masuk, bergulat dengan lidahnya, yang mengalirkan rasa panas ke sekujur tubuhnya.
Ciuman mereka terjeda untuk menarik napas. Tidak perlu diragukan lagi bagaimana hebatnya Geryl dalam berciuman. Pergerakannya selalu pas, tidak kasar, tapi juga menggebu-gebu. Membuat sel-sel sarafnya menyala oleh hasrat yang membara.
Sayangnya, ketika Alesia kembali mendekat untuk memagut bibir lembut itu, Geryl hanya membalasnya dengan kecupan kecil. "Besok aku harus kerja, Le."
Bisikan parau itu sudah cukup membuat Alesia berhenti. Okay. Masih ada banyak waktu. Lagi pula, bukankah dia lebih menyukai jika hubungannya berjalan step by step?
Memang ada baiknya Alesia menahan diri. Tidak boleh terlalu brutal.
Geryl membalik tubuhnya, memberikan punggungnya pada Alesia. Pria itu menggendongnya kembali ke kamar.
Alesia mendekap erat leher suaminya ketika ia sudah berbaring lagi di kasur. Pelukan ini sungguh nyaman sekali. Alesia rela menukar apa pun dalam hidupnya asal bisa merasakan ini seumur hidup.
Betapa indahnya, saat membayangkan ia punya Geryl yang bisa memeluknya seperti ini, setelah menjalani hari-harinya yang melelahkan. Hatinya tidak bisa dicegah lagi untuk semakin ugal-ugalan mencintai suaminya.
"Mas, aku suka banget sama kamu!"
"Udah tau."
"Kayaknya ... aku juga udah jatuh cinta sama kamu deh!"
"Hmm."
Alesia menarik kepalanya untuk melihat ekspresi suaminya. Pria itu sudah memejam, menanggapi seadanya seolah perkataan Alesia tidak berarti apa.
"Mas?"
"Apa, Le? Ini udah jam tiga lebih!" Kali ini suaranya terdengar agak kesal.
"Boleh enggak kalau aku cinta sama kamu?" Namun, Alesia tetap mendesak dengan pertanyaan yang membuatnya khawatir sejak tadi. Mengingat sejak awal mereka sepakat untuk hanya fokus pada Illian, tanpa apa pun yang berkaitan dengan cinta, ia khawatir Geryl akan meninggalkannya karena merasa terbebani dengan perasaannya.
"Boleh."
Jawabannya sudah cukup untuk Alesia tersenyum lebar sembari mengeratkan pelukannya.
***
"Vik, gue boleh minta tolong nggak?" Alesia mengetik pesan tersebut untuk dikirimkan pada Vika.
Dua menit kemudian, sahabatnya itu langsung menelepon. "Kenapa nih? Tumben bilang dulu kalau mau minta tolong! Biasanya juga langsung minta!"
"Lo bisa bantu gue cari tahu tentang Sheyna Radisa nggak? Bantu cariin Instagramnya atau profil sosmednya apa aja gitu. Gue kepo."
"Tulis aja nama lengkapnya di-chat. Emang dia siapa?"
"Ceweknya Mario."
"LO NGAPAIN MASIH KEPO SAMA CEWEKNYA SI BRENGSEK ITU?!"
"Panjang ceritanya. Ntar aja gue kasih tau kalau lo udah nemu. Tenang, gue udah nggak ada urusan apa pun sama Mario. Toh gue juga udah bahagia sama hidup gue sekarang. Lo nggak usah khawatir deh!"
"Ya gue kaget aja! Udah lama lo nggak pernah bahas Mario, tiba-tiba lo sebut lagi! Dia masih suka ngganggu lo?!"
"Nanti gue ceritain. Gue mau nyiapin makan siang Adek dulu ya! Dia udah teriak manggil-manggil tuh! Makasih banget ya, Vik!" Setelahnya Alesia mematikan teleponnya sepihak.
Ia meletakkan ponselnya di pantri, beringsut mendekati Illian yang sudah duduk di high chair dengan celemek andalannya, siap makan.
Sebenarnya sekarang Illian sudah bisa makan sendiri. Namun, tetap harus diawasi karena mood bayi itu tidak menentu. Kadang semangat makan, jadi melahap habis semua makanannya dengan baik. Kadang Illian cuma menyuapkan beberapa sendok, lantas lebih asyik mengaduk-aduk dan memainkan makanannya. Atau kadang, Illian enggak memakannya sama sekali, cuma mengaduk-aduk sambil terus mengoceh.
Sambil mengawasi Illian makan, pikiran Alesia kembali mengingat setiap email yang ia terima. Setelah sekian lama tidak berurusan lagi dengan Mario, kini nama itu kembali mencuat ke permukaan.
Ini sudah kali ketiga Alesia menerima email dari Sheyna Radisa, perempuan yang mengaku sebagai pacar Mario. Beberapa waktu lalu, ia hanya menganggap email itu sebagai angin lalu. Tapi ketika sadar kalau email yang dikirimkan tidak hanya satu, Alesia pun mulai terganggu.
Ponselnya berdering. Setelah melihat Illian menyuapkan makanannya dengan benar, Alesia mengambil ponselnya. Ia mengangkat telepon dari Vika sembari duduk di pantri, sehingga ia tetap menantau Illian.
"Udah gue kirim profil LinkedIn-nya. Dia model runaway, mantan finalis Putri Indonesia dua tahun lalu. Tapi setahun terakhir dia hiatus, terus menghilang tanpa kabar. Instagramnya nggak aktif. Dari yang gue baca di forum gosip, tahun lalu dia dapet projek film pertamanya. Tapi dibatalkan, gara-gara rumornya, dia tuh rela tidur sama produsernya biar dapet peran di film itu. Bahkan beberapa kali kepergok shopping dan staycation berdua sama si produser. Padahal produsernya itu udah punya anak-istri. Dan setelah rumor mereka tercium publik, istri produser marah-marah, hubungan mereka berakhir. Terus dia nggak jadi dapet peran. Akhirnya hiatus, sampe sekarang."
Alesia berdecak kagum mendengar informasi yang Vika paparkan. "Gila, cepet banget lo dapetin info selengkap itu cuma dalam beberapa menit!"
"Wah, jangan meragukan skill stalking gue dong! Jadi, kenapa tiba-tiba lo nanyain soal dia?"
"Lo tahu nggak produser yang dimaksud itu siapa namanya?"
"Nggak ditulis namanya di sini sih. Inisialnya MK. Gue rasa ini juga bukan produser terkenal. Kenapa?"
"Produser yang dimaksud tuh Mario!"
"Hah?! Gue baru inget kalo Mario tuh produser. Habis film-film garapan dia jelek-jelek, macem FTV. Sama sekali enggak bermutu!"
"Jadi si Sheyna ini ngirim email ke gue beberapa bulan lalu. Dia memperkenalkan diri gitu lah, sebagai pacar Mario. Terus minta pertolongan gitu, gara-gara Mario pergi nggak ada kabar selama empat bulanan gitu. Dia stres, nggak tahu harus nyari Mario ke mana lagi. Dan dia tahu email gue dari iPad gue yang masih dipegang sama Mario. Ternyata si cewek itu tinggal di apartemen yang dulu gue tempati bareng Mario anjir!"
"Ngapain dia minta tolong ke elo?!"
"Dikiranya gue masih berhubungan sama Mario kali. Dia tahu dari Instagram gue, kalau gue stay di Jakarta. Nah, Mario kan kerjanya di Jakarta. Bolak-balik Jogja-Jakarta sesuka dia. Si Sheyna pikir, Mario jalan sama gue selama di Jakarta, karena barang-barang peninggalan gue masih ada di apartemennya. PADAHAL ITU DARI AWAL EMANG APARTEMEN GUE KAMPRET!"
Vika menanggapinya dengan tawa lebar.
"Sheyna mohon-mohon ke gue, supaya gue tinggalin Mario. Biar Mario pulang ke dia lagi. Soalnya dia lagi hamil."
"BANGSAT TUH ORANG NGGAK ADA TOBAT-TOBATNYA APA YAA? KERJAANNYA NGEHAMILIN ANAK ORANG MULU!"
"Gue kan udah nggak mau berurusan sama Mario, jadi email Sheyna beberapa bulan lalu nggak gue bales. Eh, ternyata dia tetep keukeuh ngirim email ke gue terus. Dia baru tahu belakangan, kalau ternyata Mario udah punya istri di Jakarta. Dan udah punya anak juga, persis kayak isi gosip yang lo baca. Dan gue rasa, selain karena gosip itu, si Sheyna hiatus juga gara-gara dia hamil. Makanya sama si breng—Mario, diungsiin ke Jogja."
"Anjing! Gue nggak habis pikir gimana caranya si bajingan itu bisa ngegaet banyak cewek gini?!"
Di titik ini, Alesia iri dengan Vika yang bisa bebas misuh-misuh untuk melampiaskan emosinya. Sementara ia harus mati-matian menahan diri karena ada Illian. Meski jaraknya duduk tidak terlalu dekat dengan Illian, tetap saja dia enggak mau Illian mendengar kata-kata kasar.
"Padahal dia juga enggak cakep-cakep amat tuh! Tajir juga enggak, masih lebih kaya suami dan keluarga lo! Film-film yang dia buat juga receh tuh, nggak ada yang booming! Kok bisa cewek-cewek ini mau sama dia sih? Si Sheyna juga cakep banget loh! Gue kalo jadi Sheyna, yang mending ngegaet bule antah berantah di Bali, ketimbang jalan sama cowok mokondo kayak Mario!"
"Lo lagi nyindir gue ya?!" sungut Alesia.
Vika terbahak. "GUE BARU SADAR KALO LO SALAH SATU KORBANNYA!"
"Gue akui dia emang jago sih!" sahut Alesia. "Jago love bombing."
Alesia menarik napas panjang sebelum mengatakan sesuatu yang membuatnya tidak habis pikir. "Lo tau enggak apa yang lebih plot twist lagi? Si Sheyna ngira kalau gue istri Mario! Dan Illian yang suka gue post di Instagram itu adalah anak gue sama Mario!"
"Wah, lo harus bales email itu enggak sih? Takut spekulasi dia makin gila." Vika ikut berdecak tidak percaya.
"Iya, habis ini gue bakal bales emailnya dan ngejelasin semuanya. Gila banget tuh orang! Nggak ada tobat-tobatnya apa ya! Malah makin parah deh kelakuannya! Kenapa sih, cowok kayak dia malah susah kena karmanya?!"
"Jangan-jangan waktu masih sama lo, dia juga udah nikah aja, Les!"
Alesia medengkus. "Bodo amat deh! Gue udah enggak mau ngurusin dia lagi. Hidup gue udah happy banget sekarang!"
"Mas Geryl udah nyadar sama kecantikan lo, terus tergila-gila ama lo?" Suara Vika terdengar makin bersemangat.
"Gue sih, yang tergila-gila sama dia hahahaha!"
Di sela tawa lebar Alesia, Illian memanggil-manggilnya, "Mama dahhh!"
Ternyata makannya memang sudah habis. Meski banyak juga yang berceceran, Alesia senang banget karena Illian bisa makan sendiri dengan lahap. Ia pun menyalakan mode load speaker, lantas menaruh ponsel di meja makan.
"Bentar ya, Vik. Anak gue manggil nih!"
"Illian ... denger suara Onty nggak?" Vika menyapa dengan ceria. Sementara Illian tampak bingung mendengarnya.
"Itu di telepon Onty Vika, Dek. Say hi ke Onty Vika!"
"Haii ...."
"Hahh! Gemes banget! Ini pertanda gue harus secepatnya terbang ke Jakarta sih! Gue disapa sama bayik ganteng!" Vika heboh sendiri di telepon, sementara Alesia menggendong Illian setelah melepaskan celemeknya.
"Udah dulu ya, Vik. Gue mau gantiin Adek baju. Terus siap-siap tidur siang."
"Okay! Gue tunggu cerita kelanjutannya ya! Kalau lo tergila-gila sama Mas Geryl sih, gue nggak kaget. Jadi gue bantu doa, semoga secepatnya Mas Geryl yang tergila-gila sama lo ya!"
Alesia cuma tersenyum, lantas mematikan telepon setelah berpamitan sekali lagi. Baru saja akan membawa Illian ke kamar, sebuah pesan masuk menghentikan langkahnya.
Seperti ABG yang sedang dimabuk cinta, debaran jantungnya berlonjakan tidak karuan saat membaca pesan yang baru saja masuk.
Mas Geryl: Adek lagi apa?
Alesia: mau tidur siang
Mas Geryl: udah makan?
Alesia: udah
Setelahnya tidak ada balasan lagi. Alesia pun gregetan sendiri.
Alesia: Adek doang yang ditanyain?
Alesia: istrinya enggak?
Mas Geryl: istriku udah makan?
Alesia nyaris pingsan saat membaca pesan itu. Demi Tuhan, itu hanya tiga kata, tapi efeknya mampu membuat seluruh sarafnya lumer sejadi-jadinya. Langkahnya segera memasuki kamar Illian, lalu turut berbaring dengan Illian di kasur sambil memeluk bayinya histeris.
Ya ampun, sadar Le, di kamar ini ada kamera CCTV! Geryl bisa memantau semua pergerakannya sekarang! Dan kalau dia tahu reaksinya separah ini hanya karena sebuah pesan, pria itu bisa makin besar kepala.
Tapi Alesia enggak peduli. Dia betulan sebahagia itu hanya karena Geryl menyebutnya sebagai 'istriku' padahal kalau dipikir-pikir, Geryl hanya sedang mengatakan fakta. Memang ia adalah istrinya, kan? Dan kenapa dia baper hanya karena itu?
Mereka memang sudah bercinta berkali-kali. Tapi seperti yang semua orang tahu, pria bisa melakukan itu dengan mudah tanpa cinta. Jadi, hal itu tidak bisa menjadi jaminan kalau Alesia sudah punya tempat di hati Geryl. Alesia tahu diri, kalau ia masih harus berusaha lebih keras lagi.
Dan pengakuan kecil itu betulan sangat berharga buat Alesia. Kini ia tahu, kalau Geryl betulan sudah menganggapnya sebagai istri—terlepas dari bagaimana perasaannya. Intinya sekarang hubungan mereka sudah naik beberapa step.
Alesia segera mengganti baju Illian, mempersiapkan anaknya untuk tidur siang, sambil berceloteh ringan.
Di saat Illian sudah benar-benar mengantuk, bayinya itu merengek minta nen. Alesia menyusuinya di ranjang, lantas mengambil foto menggunakan kamera depan, yang memperlihatkan wajahnya yang tersenyum lebar sedang menyusui Illian.
Alesia send a picture.
Alesia: istrimu lagi nen-in adek
Alesia: ini yang kiri nganggur
Biarpun cara ini terkesan murahan, tapi tidak masalah. Apa gunanya memasang tarif mahal-mahal ke suami sendiri? Lagi pula, dia hanya sedang memanfaatkan kelemahan Geryl yang mulai menyukai tubuhnya belakangan ini.
Siapa tahu, setelah tergila-gila dengan tubuhnya, Geryl juga akan menyerahkan seluruh hatinya pada genggaman Alesia.
Mas Geryl: aku udah beli tiket pesawat ke Bali besok weekend
Mas Geryl: buat kita
Mas Geryl send a picture.
Mas Geryl: villa-nya kamu mau pilih sendiri, atau aku yang pilihin?
Alesia: aku mau pilih sendiri
Mas Geryl: kirim aja link-nya
Mas Geryl: nanti biar aku yang pesan
***
Bab 34: Happiest Day
Geryl duduk di pinggir kasur sambil memangku Illian. Memperhatikan Alesia menata semua keperluan mereka ke dalam koper. Pria itu sudah lupa bagaimana cara packing koper untuk liburan. Karena terakhir kali dia packing sendiri, saat masih lajang entah berapa tahun lalu.
Sebenarnya saat Geryl mengajak Alesia ke Bali, tidak ada niat khusus. Itu hanya keputusan impulsifnya saat melihat Alesia mengirimkan foto menggunakan brallete.
Beberapa minggu lalu, Geryl tersandung kotak paket yang diletakkan di dekat lemari pakaiannya. Dia mendengus, memegangi jempol kakinya yang sakit, sambil mengecek isi kotak tersebut, karena itu jelas bukan miliknya.
Pada kotak tersebut bertuliskan nama Alesia. Bahkan sudah terlihat dari warna kotaknya: pink. Tadinya Geryl tidak penasaran apa isinya, dia hanya ingin menggeser kotak tersebut ke paling pojok kamarnya, agar tidak mengganggu pergerakannya saat ingin membuka lemari.
Namun, tutup kotak tersebut tidak rapat. Tanpa sengaja isinya terlihat saat Geryl menggesernya. Dia belum sempat membuka lebih lebar, ketika Alesia keluar dari kamar mandi.
"Kenapa naruh kotak paket di sini?! Ngalangin aku mau buka lemari!" gerutu Geryl.
"Hah? Kotak paket apaan? Orang aku nggak lagi beli barang apa-apa!" Alis tebal Alesia menukik tidak terima.
"Ini punya siapa lagi kalau bukan punyamu? Nggak mungkin punya Adek, kan?"
Alesia pun melangkah mendekat, berjongkok untuk memeriksa paket tersebut. "Ohhh! Ini! Aku hampir lupa kalau habis beli ini."
"Apa itu?" Dia pura-pura tidak tahu.
"Lingerie sama summer dress. Aku udah langsung beli baju-baju pantai yang lucu buat ke Bali. Ternyata nggak diajak. Ya udah, ini jadi nggak kepake." Setelahnya, Alesia mengambil kotak tersebut dan membawanya keluar kamar, entah ke mana.
Berhari-hari Geryl merasa bersalah karena itu. Pasalnya, saat itu hubungan mereka belum terlalu dekat. Dia enggak mau kecanggungan hubungan mereka disaksikan oleh teman-teman kantornya. Dia bukan pria yang bisa akting dan berlagak memiliki hubungan yang sangat romantis dengan istrinya, padahal sebenarnya enggak. Jadi, menurutnya masih terlalu dini untuk mengajak Alesia berinteraksi dengan teman-teman kantornya.
Namun, melihat bagaimana kecewanya Alesia malam itu, rasa bersalahnya jadi bertumpuk-tumpuk.
Seiring berjalannya waktu, rasa bersalah itu terkubur dalam-dalam. Geryl pun sudah hampir melupakannya. Hubungan mereka kian membaik. Tapi saat melihat Alesia mengirimkan selfie menggunakan brallete, rasa bersalahnya kembali mencuat ke permukaan.
Meski saat itu Geryl hanya melihatnya sekilas, dia ingat sekali dengan warna rendanya. Itu jelas brallete yang dia temukan di dalam kotak waktu itu. Seharusnya Alesia memakainya saat sedang liburan di Bali. Bukannya dipakai di rumah saja. Dan kenyataan itu membuat Geryl membulatkan niatnya untuk mengajak Alesia ke Bali secepatnya.
Tangannya langsung memeriksa kalendar, lalu mengajukan cuti dua hari, untuk hari Senin dan Selasa. Sehingga mereka bisa ke Bali empat hari, sejak Sabtu. Entah apa saja yang akan terjadi di Bali nanti, Geryl tidak akan berekspektasi apa-apa.
"Selesai!" seru Alesia setelah susah payah menutup koper.
Berhubung mereka cuma akan empat hari di Bali, bawaannya enggak terlalu banyak. Hanya sebuah koper bagasi berukuran 24 inch, diapper bag dan stroller lipat Illian.
Geryl bisa melihat binar ceria Alesia saat menyiapkan baju-baju yang akan dibawa. Sepertinya, ini pertama kalinya ia melihat Alesia tampak sebahagia ini.
Begitu juga dengan Illian yang turut mengoceh di pangkuannya, sama antusiasnya.
"Dadahhh! Mama pergi dulu ya, Dek!" Alesia menarik kopernya keluar kamar sambil melambaikan tangan dengan dramatis. "Adek baik-baik sama Ayah di rumah ya! Dadaaahh! Mama pergiiii!"
Tangis Illian langsung menyeruak ketika Alesia benar-benar menghilang dari ambang pintu. Bayinya itu memberontak dari gendongan sambil terus memanggil-manggil Mamanya.
Geryl sekuat tenaga menahan Illian dalam gendongannya, karena khawatir enggak bisa mengejar kalau Illian dilepaskan jalan sendiri. Pasalnya sekarang mereka ada di lantai dua. Dan kamar Geryl cukup dekat dengan tangga.
"LEEE!" Geryl menyerukan nama Alesia sambil keluar kamar.
Wanita itu tertawa lebar di dekat tembok, puas mengerjai Illian.
"Ya ampun, nangisnya kenceng banget sih, Dek!" Alesia menghampiri Illian yang sudah mengacungkan kedua tangannya minta digendong.
Bayinya itu langsung mendekap Alesia erat, tidak melirik Geryl sama sekali.
"Adek sayang banget sama Mama ya? Jadi pengen selalu ikut Mama?" Alesia menepuk-nepuk punggung Illian lembut. "Tenang Dek, besok Adek diajak pergi juga kok! Besok kita ke pantai ya, Dek! Adek belum pernah ke pantai, 'kan?"
Geryl diam saja memandangi interaksi Alesia dengan putranya yang terlihat nyambung sekali. Illian sudah berhenti menangis sepenuhnya, dan terus menyahuti omongan Alesia dengan ocehan yang tidak ia mengerti.
Biasanya Geryl bakal kesal melihat kedekatan mereka. Namun, entah sejak kapan kecemburuan itu hilang. Dia tidak lagi iri dengan kedekatan mereka. Karena sekarang, alih-alih cemburu, perasaan Geryl malah menghangat. Ada letupan bahagia yang membuncah saat melihat bagaimana Alesia sangat menyayangi Illian.
Entah Geryl harus denial dengan cara apa lagi. Awalnya Geryl hanya berniat memperlakukan Alesia dengan baik, sebagai rasa terima kasih karena peran wanita itu yang sangat penting dalam pertumbuhan Illian.
Dan tanpa bisa dicegah, perasaan lain turut bertumbuh seiring berjalannya waktu. Mulai dari rasa tidak tega melihat Alesia sedih. Sampai berlanjut menjadi perasaan ingin membuat Alesia lebih bahagia lagi setiap harinya.
Apakah itu sudah bisa disebut dengan jatuh cinta?
Kalau belum, bagaimana dengan rasa takut kehilangan?
Tadinya, Geryl berpikiran bahwa semua ini hanya sementara. Dia enggak mungkin bisa membalas perasaan Alesia dengan sama besarnya. Jadi, dia tidak mau terus-terusan menjerat Alesia dalam hubungan searah ini.
Namun, kenapa belakangan ini Geryl mulai takut kehilangan Alesia? Kepalanya tidak bisa lagi membayangkan bagaimana jadinya jika Alesia tidak ada lagi di sekelilingnya.
"Siapa yang besok mau main ke pantai?" seru Alesia pada Illian sambil menggelitiki perutnya.
Illian tertawa lebar.
"Kamu yaaa, yang besok mau naik pesawat buat pertama kalinyaaaa?" Alesia terus menggelitik Illian dengan ceria.
"Coba angkat tangaann, yang besok mau liburannn!"
Illian pun angkat tangan masih dengan tawa lebarnya yang enggak habis-habis, karena Alesia terus menggelitik.
Ya ampun, kalau tahu Alesia dan Illian bakal sebahagia ini saat diajak liburan, Geryl pasti sudah mengajaknya sejak berbulan-bulan lalu.
"Siapa yang tadi habis nangis karena nggak mau ditinggal Mama?" Kini Alesia menggendong Illian ke kamarnya, karena ini sudah waktunya tidur.
Dari tempatnya berdiri, Geryl masih bisa melihat Illian angkat tangan.
"Siapa yang sayang sama Mama, angkat tangannn!"
Tanpa Alesia ketahui, Geryl ikut mengangkat tangannya.
***
Mereka memilih penerbangan terakhir di hari Jumat, saat jam tidur Illian. Dengan harapan, Illian tidur nyenyak selama di pesawat, tidak rewel sama sekali.
Harapan itu terwujud. Perjalanan mereka selama dua jam aman sampai tujuan. Bahkan ketika sudah sampai villa pun, Illian masih tidur nyenyak, tidak terganggu sedikit pun meski berkali-kali digendong dan dipindahkan ke stroller.
Villa mereka berada di daerah Jimbaran, dengan pemandangan langsung menghadap pantai. Di villa ini dilengkapi dengan fasilitas box bayi tambahan.
Begitu sampai villa, Alesia langsung mandi. Lantas ia tidur lebih dulu saat Geryl sedang mandi. Masalahnya sepanjang perjalanan dia memangku Illian, tubuhnya sangat lelah. Energinya benar-benar terkuras habis.
Pagi harinya, ia disuguhi pemandangan yang luar biasa indahnya, di mana Geryl tengah memangku Illian di halaman belakang villa, menikmati pemandangan pantai yang menyejukkan. Dia kelelahan sehingga bangun kesiangan. Suasana villa yang begitu nyaman membuatnya ingin tidur sedikit lebih lama.
"Ternyata temenku juga lagi di Bali. Aku udah lama nggak ketemu dia. Enggak papa kan, kalau kita ketemu dia sebentar?" Suara Geryl langsung menyapanya, ketika ia duduk di sebelah pria itu.
Kita?
Butuh waktu selama beberapa detik untuk mencerna kalimat itu?
Ini Alesia betulan diajak bertemu teman Geryl?
Wah, ini bakal menjadi pengalaman pertamanya dalam sejarah. Selama ini Geryl enggak pernah menceritakan apa pun tentang temannya. Bahkan Alesia sempat mengira Geryl enggak punya teman. Melihat bagaimana kakunya pria itu, wajar saja kalau dia enggak punya teman. Barangkali Geryl lebih suka bermain komputer ketimbang ngobrol dengan manusia.
Sekarang Alesia jadi sibuk menerka-nerka, bagaimana kira-kira bentuk teman Geryl ini. Apakah sama-sama nerdy seperti suaminya? Atau justru sebaliknya?
"Jam berapa?"
"Jam berapa aja, dia fleksibel. Dia nginepnya juga enggak jauh dari sini. Dia yang bakal nyamperin ke pantai deket sini. Tergantung kamu kapan siapnya."
"Ya udah aku mandiin adek dulu." Alesia pun membawa Illian pada gendongannya.
Sebelum ia masuk ke villa, Alesia sempat bertanya, "temenmu ini laki-laki atau perempuan?"
"Laki-laki. Dia bakal ajak pacarnya juga." Alesia hanya manggut-manggut, dan langsung membayangkan pria bertubuh jangkung yang juga memakai kacamata bingkai tebal seperti suaminya. Lalu obrolan mereka pasti tidak jauh-jauh tentang software, game, atau apa pun itu topik yang menurutnya sangat membosankan.
Sambil bersiap-siap, ia berdoa agar siapa pun itu yang akan ditemuinya nanti, adalah orang yang menyenangkan dan asyik diajak ngobrol. Karena pasti akan sangat membosankan menyimak dua orang nerdy ngobrol ngalor-ngidul.
***
"VIKA?!" Bola mata Alesia nyaris lompat keluar saat mendapati sahabatnya itu berada dalam rangkulan pria yang disebut Geryl sebagai temannya.
Tangan Alesia mendorong bahu Vika pelan. "WAH, BISA-BISANYA LO NGGAK CERITA APA-APA KE GUE?"
Vika juga tampak sama terkejutnya, lalu melepaskan rangkulan pria di sebelahnya.
"Le, kenalin, ini Calvin." Suara kaku Geryl menyela obrolan mereka.
"Alesia." Meski tatapannya masih menusuk Vika, Alesia tetap membalas uluran tangan Calvin.
"Kalian pacaran sejak kapan?" tanya Alesia langsung. Kini matanya berpindah pada Calvin, enggak peduli dengan jawaban Vika.
"Kami nggak pacaran," jawab Calvin tenang.
"Tapi bentar lagi langsung mau nikah. Iya, kan, Sayang?" Dengan tidak tahu malunya, Vika mengerlingkan sebelah matanya pada Calvin.
Alesia langsung menoleh pada suaminya. "Mas, kamu jagain Adek bentar ya? Aku mau ngobrol sama Vika bentar!"
Ini tidak bisa ditunda-tunda. Alesia bisa mati penasaran kalau enggak segera mendengar cerita Vika. Tanpa menunggu sahutan suaminya, Alesia menarik tangan Vika menjauh.
Alesia mengajak Vika duduk di sun lounge tidak jauh dari keberadaan Geryl. Sehingga ia bisa turut mengawasi Illian yang langsung asyik sendiri bermain pasir.
"Gimana ceritanya?" desak Alesia enggak sabaran, sementara Vika cuma cengengesan.
"Gue udah pernah cerita, kan?"
Alesia langsung menggeleng, tidak berhasil mengingat apa-apa. "Nggak, gue enggak inget apa-apa tuh! Lo cerita pas nggak ada gue kali!"
"Ada, Le! Gue udah cerita dulu! Inget nggak, yang gue sama Kylan sempet open relationship? Kylan kan jalan sama cewek lain, gue juga jalan sama cowok lain. Nah, cowok yang gue maksud itu Mas Calvin."
Perlahan-lahan Alesia mulai mengingat cerita itu, sehingga ia pun semakin heboh. "Wah, pantes aja lo segalau itu pas tiba-tiba dia ilang! Kok bisa sih, lo ketemu bule bening banget gitu?"
Vika menjentikkan jarinya dengan bangga. "Dan gue makasih banget sama lo! Berkat lo nikah sama Mas Geryl, gue jadi bisa ketemu dia lagi."
"Hah? Jadi kalian udah ketemu lagi sejak lama? Ketemunya di kondangan gue? Jahat banget lo baru ngasih tau sekarang!"
"Gue udah mau ngasih tau, cuman Mas Cal tuh, kabur-kaburan gitu. Dia masih trust issue sama gue. Takut gue jadiin selingkuhan lagi. Terus ... ya gitu deh. Dia enggak mau jalin hubungan sama gue. Tapi gue ngegas terus aja pepetin dia ke mana-mana. Niatnya gue mau kasih tau lo dan yang lain, pas udah fix dia mau mengakui gue sebagai pacarnya ke semua orang." Vika mencebikkan bibirnya. "Masalahnya sekarang dia selalu nyangkal kalau kami pacaran. Dia jual mahal banget, nyebelin! Kan enggak lucu, kalau gue udah koar-koar pacaran sama dia, tapi dianya nyangkal terus. Dikira gue bohong nanti."
"Tapi dia bilang ke Mas Geryl kalau hari ini mau bawa pacarnya. Dia mengakui lo sebagai pacarnya di depan Mas Geryl," sahut Alesia dengan senyum lebar. "Akhirnya, masa kejomloan lo yang menyedihkan itu berakhir juga!"
Bola mata Vika langsung berbinar-binar, sembari menggoyang-goyangkan bahu Alesia tidak percaya. "Hah? Beneran?! Demi apa sihhh, Les? Jadi dia jual mahalnya di depan gue doang ya? Ya ampun, gue seneng banget!"
"Terus sejak kapan lo di Bali? Kenapa nggak ngasih tau gue juga?" gerutu Alesia yang masih dongkol.
"Gue udah bilang tuh, perasaan!"
"Lo bilang mau cuti buat liburan doang! Enggak ngasih tau bakal ke Bali dan sama pacar!"
"Udah lah, Les, nggak usah ngambek-ngambekan gini deh! Yang penting sekarang lo fokus doain gue aja ya, biar dia beneran jodoh gue! Seru banget gue bayanginnya, kita bisa sering-sering double date, karena dari cerita Mas Cal, dia lumayan deket sama Mas Geryl. Bahkan kayaknya Mas Cal nih satu-satunya temen Mas Geryl yang sampai sekarang masih sering keep in touch." Vika mengatakannya dengan tatapan lurus ke depan, menatap bagaimana menyenangkannya interaksi Calvin yang sedang menggendong Illian di kejauhan.
"Jadi, jalan gue untuk mgejodohin anak gue sama Illian makin kebuka lebar ya ini!"
"Please, Illian masih bayi! Lo ngomongin jodoh-jodoh mulu ke Illian gue marah beneran nihh!" Sama seperti ibu-ibu pada umumnya, Alesia enggak mau anaknya tumbuh dengan cepat. Dia ingin menikmati setiap detik pertumbuhan Illian dengan perlahan.
"Ya udah ah, gue mau main sama Illian dulu! Udah lama banget enggak gue uyel-uyel!”
Sementara Alesia memilih berbaring di sun lounger, menikmati cerahnya sinar matahari dan pemandangan indah di sekitarnya dengan senyum lebar. Dia bahkan sudah lupa, kapan terakhir kali liburan di pantai dan bisa bersantai seperti ini.
Tiba-tiba dari kejauhan Geryl tampak berjalan ke arahnya. "Le, bawa sunscreen? Aku lupa tadi belum pake sunscreen!"
Wajah Geryl tampak memerah seperti kepiting rebus, karena kepanasan. Alesia pun membuka diapper bag yang dibawanya, mengeluarkan sunscreen.
Berhubung Geryl tidak kunjung menerima pemberiannya, Alesia berinisiatif memakaikannya langsung pada tangan, kaki dan wajah Geryl. Pria itu diam saja seperti patung. Sama sekali tidak bereaksi pada sentuhan Alesia.
"Aku ikut bahagia banget, akhirnya Vika udah ketemu cowok baik-baik dan super ganteng kayak Mas Calvin." Sambil terus meratakan sunscreen di wajah dan leher Geryl, Alesia mencoba membuka topik.
"Dari mana kamu tahu kalau Calvin cowok baik-baik?" Nada suara Geryl terdengar sangat ketus. Sampai Alesia mencondongkan kepalanya lebih dekat untuk melihat bagaimana ekspresi Geryl sekarang.
Apakah pria ini sedang cemburu?
"Emang menurutmu, Mas Calvin orangnya kayak gimana?"
"Penasaran banget? Tanya langsung lah, ke orangnya!" Setelahnya Geryl pergi begitu saja, ketika Alesia sudah selesai memakaikan sunscreen di seluruh kulitnya yang terbuka.
Hah? Gitu doang cemburu?
Alesia terbahak-bahak menatap kepergian Geryl yang menghampiri Vika yang sedang menggandeng Illian.
Gemas melihat sikap Geryl, Alesia pun berniat untuk sedikit menggodanya. Ia berjalan mendekat, menepuk bahu Calvin yang tengah memperhatikan interaksi Vika yang sedang berceloteh riang dengan Illian, sementara Geryl memegangi tangan Illian, memastikan putranya berjalan dengan benar, tidak jatuh-jatuh lagi.
"Hai, Mas!" sapa Alesia sambil memberikan kode agar mereka berjalan sedikit menjauh untuk ngobrol.
"Wah, gue masih nggak nyangka akhirnya bisa ketemu sama lo dalam kondisi yang lebih santai gini." Calvin membalas sapaannya dengan nggak kalah ramah.
"Kayaknya kita baru ketemu sekali doang, pas pesta nikahan gue kan, ya?" Alesia baru ingat kalau Calvin menjadi groomsman di acara pernikahannya. Tapi karena saat itu hubungannya dengan Geryl sangat kaku, mereka tidak pernah diperkenalkan secara langsung.
Alesia pun tahu nama Calvin dari sepupunya yang menggosipkan bahwa teman bule Geryl datang sebagai groomsman. Dan sibuknya acara hari itu membuat mereka tidak mendapat celah untuk mengobrol secara langsung.
"Iya. Selama ini gue tahu lo dari cerita-cerita Geryl aja. Ternyata lo lebih fun dibanding yang ada di cerita Geryl."
"Hah? Mas Geryl suka ghibahin gue juga ya, ternyata? Kirain dia bukan tipe orang yang suka cerita-cerita gitu!"
Calvin terkekeh. "Suami lo itu 'kan juga manusia yang bisa ngobrol dan curhat, Les."
"Sebenarnya agak kurang pas kalo disebut manusia tau! Dia lebih mirip robot nggak sih, Mas?" kelakar Alesia. "Gue pun enggak nyangka Mas Geryl punya temen kayak Mas Calvin gini. Maksud gue ... aduh, gimana ya, jelasinnya?"
"Gue pikir temennya Mas Geryl tuh ya bentukannya enggak jauh beda dari Mas Geryl. Sama-sama nerdy dan freaky banget gitu. Ternyata, enggak ya. Mas Calvin jauh dari kata nerdy."
Lagi-lagi pria bermata biru itu tertawa. "Ya, kayak yang banyak orang bilang, don't judge a book by it's cover, itu ada benarnya. Walaupun suami lo terlihat nerdy, dalemnya enggak se-nerdy itu kok!"
Alesia manggut-manggut menyetujuinya. Belakangan ini ia menemukan sisi lain dari Geryl yang enggak sekaku dan sedingin itu. Ya, seperti yang diharapkan banyak orang, akhirnya kulkas empat pintu itu mulai rusak. Es di dalamnya pun meleleh. Siapa pun, tolong jauhkan kulkas empat pintu itu dari tukang servis, agar tidak menjadi dingin lagi.
"Gue salut sama kesabaran lo, Les. Congrats ya, usaha lo akhirnya membuahkan hasil." Calvin menepuk-nepuk bahunya dengan senyum lebar.
Sebelah alis Alesia terangkat. "Membuahkan hasil gimana, Mas?"
"Sekilas Geryl emang kelihatan minim ekspresi. Tapi gue bisa banget bedain kapan Geryl kelihatan bener-bener bahagia, dan sebaliknya. Ekspresi Geryl sekarang ini, terakhir gue lihat dua tahun lalu. Lo tahu sendiri, dua tahun lalu yang gue maksud, pas dia liburan sama siapa. Dan sekarang, dia bisa kelihatan sebahagia itu lagi, Gue rasa, sekarang dia bener-bener udah jatuh cinta sama lo!"
Ucapan Calvin membuat Alesia ikut menatap ke depan, memperhatikan Geryl dari kejauhan. Memang Alesia akui bahwa selama perjalanan ke Bali, pria itu lebih cerewet dan ekspresif. Geryl juga lebih sering mengajak Illian ngobrol, kemudian membalas semua skinship-nya tanpa ragu. Alesia enggak mau kegeeran, tapi ucapan Calvin membuatnya semakin yakin kalau pengamatannya memang benar.
"Sejak awal Geryl cerita kalo mau nikah lagi, gue langsung berada di pihak lo. Gue sering ngomelin Geryl yang kadang isi kepalanya rada brengsek. Jujur aja gue enggak yakin dia bisa jatuh cinta lagi. Dan itu cuma bakal nyakitin lo, kan? Nyatanya, dugaan gue salah. Geryl berhasil menemukan bahagianya lagi. Dan itu bersama lo."
Mulut Alesia menganga. Suaranya tersekat. "Mas, dari kemaren gue nahan diri buat enggak mikir gitu, karena takut kalau ini cuma geer doang. Tapi lo ngomong gini, gue jadi makin geer nih! Menurut lo, Mas Geryl beneran udah jatuh cinta sama gue?" Tatapannya meneliti raut wajah Calvin, menilai apakah omongan pria ini bisa dipercaya atau tidak.
"Itu dari pengamatan gue, Les. Bisa jadi gue salah. Tapi semisal dia belum bener-bener jatuh cinta, at least dia udah mulai membuka hatinya buat lo. Tinggal selangkah lagi, dia bakal bucin mampus sama lo."
Seluruh tubuh Alesia membeku. Setiap kata yang diucapkan Calvin berputar-putar di kepalanya. Ia paham artinya, tapi masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Gue ikut bahagia untuk kalian, meski masih enggak nyangka, akhirnya Geryl bisa jatuh cinta ke perempuan lain, selain Tishia. Gue menjadi saksi hidup gimana bucinnya Geryl ke Tishia dulu." Calvin bercerita dengan pandangan menerawang ke depan.
"Gue sama Geryl temenan sejak SMA. Meski enggak sekampus, kami tetap sering main bareng. Geryl naksir Tishia sejak kuliah. Waktu itu Tishia masih SMA. Geryl ada event teknologi di sekolah Tishia. Dan di situlah dia naksir Tishia, si cewek paling pinter satu angkatan yang presentasi di depan kelas tentang project Geryl, di saat teman-temannya enggak menaruh minat sebesar itu terhadap project-nya. Setelah dua tahun berlalu, Geryl baru tahu kalau Tishia itu anak temen arisan Ibunya. Tapi dia tetep diem aja, enggak gerak sama sekali. Sampai gue gregetan sendiri tiap denger dia cerita tentang Tishia, tapi giliran disuruh gerak, langsung kicep. Selama bertahun-tahun dia memendam perasaannya. Surprisingly, takdir ikut berperan dalam menjodohkan mereka. Tishia aprouch dia duluan lulus kuliah. Ternyata Tishia juga naksir Geryl sejak project di sekolahnya waktu itu. Makanya Tishia mati-matian mempelajari project-nya biar bisa mewakili teman sekelasnya buat presentasi."
"Loh? Mereka tuh bukannya nikah karena dijodohin ya, Mas?" Kening Alesia mengernyit tidak percaya.
Calvin menatap sama herannya. "Hah? Kata siapa dijodohin?"
Alesia mengendikkan bahunya. Lagi-lagi itu hanya asumsinya sendiri. Melihat bagaimana Maminya yang mengelu-elukan Geryl di depan semua orang, bahkan Tishia sering ikut arisan karena Geryl juga sering mengantar Ibunya, Alesia langsung menyimpulkan kalau pernikahan mereka karena perjodohan.
Dulu keluarga Geryl memang sempat tinggal di Jakarta. Baru beberapa tahun terakhir Bapaknya Geryl memutuskan untuk pensiun, dan kembali ke kampung halamannya di Surabaya.
"Mereka sempet deket selama bertahun-tahun tanpa status. Entah berapa lama deh. Geryl kan bego dalam urusan kayak gini sejak lama. Tishia tuh punya banyak temen cowok di sekitarnya, jadi dia suka enggak pede, apakah Tishia naksir dia betulan apa gimana. Jadi ya selama bertahun-tahun Tishia digantungin. Keren juga Tishia bisa tahan digantungin bertahun-tahun, sampai akhirnya Tishia yang nembak duluan. Baru deh mereka pacaran. Gue lupa kapan tepatnya mereka mulai pacaran. Yang jelas mereka udah pacaran sekitar ..." Calvin menghitung dengan jarinya. "Lima tahunan mungkin. Terus nikah selama lima tahun. Jadi kurang lebih, Geryl sama Tishia udah barengan selama 10 tahun. Dan sepanjang hubungan mereka, adem ayem enggak pernah berantem gede sekali pun. Geryl beneran kelihatan secinta itu sama Tishia. Wajar kan, kenapa gue mikir kalau Geryl enggak bisa jatuh cinta lagi?"
"Makanya dulu pas pertama kali Geryl bilang mau nikah, langsung gue anjing-anjingin. Udah pasti dia cuma bakal nyakitin lo aja. Ternyata pelet lo ampuh juga. Dalam enam bulan, dia udah jatuh cinta sama lo tuh!"
Kenapa bukannya bahagia, dada Alesia malah dibanjiri oleh kekhawatiran?
Tadinya saat ia memutuskan untuk berusaha meningkatkan hubungannya dengan Geryl, ia sangat yakin bisa berhasil, karena beranggapan, bahwa pernikahan Geryl dan Tishia yang dimulai dari perjodohan saja bisa berakhir saling mencintai dan sangat harmonis. Jadi, enggak menutup kemungkinan dia juga bisa begitu, kan?
Ternyata perkiraannya salah. Geryl bahkan sudah memendam rasa selama dua tahun sebelum mereka pacaran. Lalu ... pacaran lima tahun? Dia bahkan enggak pernah pacaran selama itu!
Namun, bukankah itu sudah tidak penting lagi? Yang jelas, sekarang Geryl sudah membuka hati untuknya dan hubungan mereka semakin erat setiap harinya. Masa lalu sampai kapan pun akan selalu di belakang. Tidak akan pernah bisa mengalahkan kehadirannya di masa kini dan masa depan.
"Le, tadi katanya mau foto-foto sama Adek?" Geryl berjalan ke arahnya sambil menggendong Illian. Wajahnya menampakkan tidak suka secara terang-terangan.
Alesia baru tahu kalau Geryl suka fotografi. Pria itu bahkan punya beberapa kamera DSLR. Saat mengetahuinya, Alesia meminta Geryl membawa serta salah satu kamera, dengan alasan ingin foto-foto bareng Illian. Padahal sih, sebenarnya Alesia juga ingin foto bareng Geryl juga. Tapi, dia bingung bagaimana cara mengajaknya.
"Mau foto bertiga sama kamu juga dong, Mas!" Karena dia sudah tahu bagaimana perasaan Geryl padanya, Alesia jadi lebih percaya diri mengutarakan semua keinginannya. Kini Alesia beranjak dan mengikuti langkah Geryl menjauhi Calvin.
"Enggak kurang nempel itu tadi duduknya?!" Geryl menatapnya sinis.
Alesia menoleh pada Calvin yang masih duduk di tempatnya, lantas tertawa lebar. Lucu sekali melihat suaminya cemburu. Pria itu sama sekali tidak menutupi raut kesalnya.
Ia pun berusaha membujuk dengan mengalungkan tangannya ke leher Geryl, lantas memagut bibirnya lembut. "Kamu cemburu ya, Mas?"
Geryl enggak menyahut. Pria itu memalingkan wajahnya. Entah sedang menyembunyikan apa.
Alesia tersenyum lebar. Apakah Geryl sedang menyembunyikan raut wajahnya yang menikmati ciumannya barusan? Gengsi ingin membalas ciumannya, padahal suka banget?
"Vik, bantu fotoin ya!" Alesia mengambil kamera Geryl, lantas menyodorkannya pada Vika.
"Sini!" Dengan senang hati Vika menerima kamera tersebut.
"Ngobrol apa aja sama Calvin?" tanya Geryl ketika mereka sedang berjalan menuju bibir pantai untuk mencari angle foto yang pas.
Raut keruh Geryl membuat Alesia semakin ingin menggodanya. "Kan tadi kamu sendiri yang nyuruh aku tanya langsung ke orangnya, dia cowok baik-baik atau bukan?"
Geryl mencebikkan bibirnya.
"Ini jadi foto enggak ya?" Dari kejauhan Vika berteriak.
"Kalau kamu cemburu, rangkul aku dong, Mas!"
Tangan kanan Geryl langsung merangkul Alesia, sementara tangan kirinya menggendong Illian. Senyum Alesia langsung mengembang begitu lebar. Kemudian ia mencuri kecupan di pipi Geryl saat mereka ganti pose.
"Aku sayang banget sama kamu, Mas!"
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
