
Bab 25 - Step By Step
Bab 26 - What’s Next?
Bab 27 - Drama Bekal Suami
Bab 28 - Ekspektasi
Bab 29 - Rekonsiliasi
Bab 25: Step By Step
Alesia yakin kalau kecupan kening yang ia terima setiap pagi itu pasti hanya akan bertahan selama Mertuanya menginap di sini. Geryl pasti menyetujui permintaannya, bahkan sampai melakukan improvisasi, sekalian pencitraan di depan orangtuanya.
Dan taktik Geryl berhasil. Begitu pria itu berangkat kerja, Ibu Mertuanya langsung memeluk Alesia dengan mata berbinar, kemudian mengucapkan doa panjang untuk keharmonisan rumah tangga mereka.
Padahal saat Alesia mengajukan permintaan tersebut beberapa hari yang lalu, itu murni karena ia ingin mencoba mengubah kecanggungan hubungan mereka. Ia sama sekali tidak kepikiran apa pun, saat suaminya menanyakan ingin kado apa. Lalu tiba-tiba ide tersebut muncul di kepalanya.
Pasalnya, dia mulai tidak tahan dengan hubungan mereka yang terus jalan di tempat selama tiga bulan belakangan. Dan ucapan Vika waktu itu berhasil mengubah pola pikirnya, membuatnya memantapkan hati untuk mulai menjalankan taktik pertamanya untuk merebut perhatian suaminya.
Namun, sepertinya Geryl menuruti permintaannya itu cuma demi membangun imagesebagai suami romantis di depan orangtuanya.
Habisnya selain rutinitas salim dan kecupan kening itu, sikap Geryl masih sama dinginnya. Tidak ada yang berubah sama sekali. Balasan Geryl pada setiap foto Illian yang Alesia kirimkan di Whatsapp pun kaku banget. Kesannya seolah Geryl terpaksa membalas.
Dan hari ini, Mertuanya kembali ke Surabaya setelah menginap seminggu. Alesia melepaskan kepergian mereka dengan lesu, bersiap kembali pada rutinitas mereka, sebelum mertuanya datang.
"Kenapa seminggu rasanya cepet banget ya, Dek?" gumam Alesia dengan kepala yang terus mengingat-ingat momen seminggu terakhir, saat ia tidur di kasur yang sama dengan Geryl.
Illian mengabaikan curhatannya, tetap menyusui dengan rakus sebelum memasuki jam tidurnya.
"Boleh nggak sih, Dek, Mama minta Eyang Uti sama Eyang Kung tinggal sama kita terus-terusan?" Kali ini suara Alesia lebih pelan.
Ia benar-benar merasa seminggu terakhir berjalan dengan sangat cepat. Selama mertuanya ada di rumah, setiap hari ada saja aktivitas baru. Seperti mengajak Illian jalan-jalan ke mal, ke toko buku membeli lebih banyak buku bacaan untuk dibacakan sebelum tidur, mengajak Illian ke kebun buah untuk memetik buah-buahan organik, dan masih banyak lagi tempat wisata yang mereka kunjungi berempat—tanpa Geryl tentunya, karena suaminya itu harus bekerja.
Alesia serasa ingin protes, tapi tidak tega melihat raut bahagia mertuanya yang terus menerus mengambil foto Illian setiap detiknya. Bukannya apa, masalahnya tempat-tempat yang mereka kunjungi ini tidak semuanya baby friendly. Apalagi Illian masih sembilan bulan, sedang aktif-aktifnya merangkak, sehingga bayinya itu seringkali memberontak dari gendongan, lebih memilih merangkak mengelilingi tanah dan jalanan yang keras, dibanding memetik buah stoberi.
Dan karena Illian yang makin aktif itu, energi Alesia tersedot habis. Jadi begitu tubuhnya menyentuh kasur, kesadarannya langsung hilang. Jangankan untuk modus-modus minta dipeluk, mengobrol dengan Geryl saja ia tidak punya tenaga lagi.
Padahal tadinya ia pikir, waktu seminggu yang dia punya untuk tidur sekamar dengan suaminya itu bisa dipakai untuk melancarkan usaha lain agar hubungan mereka naik lagi satu tingkat.
Namun, ia baru sadar kalau waktu seminggu itu terlampau singkat. Belum sempat dia menjalankan taktik kedua, tiba-tiba saja waktunya sudah habis.
"Sudah kenyang? Hari ini mau baca buku apa, Dek?" tanya Alesia ceria ketika Illian sudah melepaskan putingnya.
Illian langsung mengoceh dengan antusias. Alesia pun mengambil buku secara random, lalu kembali berbaring di sebelah Illian, bersiap membacakan buku.
Sebenarnya Alesia suka sekali membaca buku anak-anak. Apalagi Illian selalu menanggapinya dengan penuh semangat, seolah dia sudah memahami semua perkataannya. Namun, membaca buku begini kurang cocok dilakukan sebelum Illian tidur, karena bayi ini malah makin semangat mendengar cerita Alesia, nggak tidur-tidur.
Sampai ceritanya tamat pun, Illin belum juga tidur. Lalu merengek minta dibacakan cerita lagi. Dasarnya Illian memang suka diajak ngobrol, ia tidak mau Alesia berhenti ngomong.
Kalau dalam situasi normal, Alesia akan tetap memaksa Illian pindah ke box bayi. Lalu meninggalkannya begitu saja dengan lampu dimatikan. Biasanya Illian bakal merengek sebentar, kemudian tidur sendiri.
Akan tetapi, malam ini Alesia sengaja berlama-lama di kamar Illian. Ia belum siap dihadapkan kenyataan bahwa malam ini ia harus tidur sendiri di kamarnya, seperti semula.
"Kenapa Mama lebay banget ya, Dek? Padahal selama tiga bulan Mama tidur sendiri ya biasa aja tuh. Nggak pernah ngerasa sepi atau gimana. Masa baru seminggu Mama tidur seranjang sama orang lain, semua kebiasaan Mama selama ini langsung buyar? Mana selama tidur berdua Mama nggak pernah dipeluk juga. Apa coba yang bikin Mama ngerasa kayak gini?"
Illian tertawa-tawa mendengarkan curhatannya.
"Kamu nih! Bisa-bisanya malah ngetawain Mama! Wajar aja kan, Dek, kalau Mama begini? Namanya juga cewek. Apalagi Ayahmu muncul di hidup Mama pas Mama lagi rapuh. Cewek waras mana pun bakal begini juga kalau ada cowok ganteng yang perhatian pas lagi rapuh-rapuhnya. Ini tandanya Mama masih normal, Dek! Mama masih suka sama cowok ganteng, termasuk Ayahmu!"
"Iya, sih, Mama emang pernah bilang kalau gantengnya Ayahmu itu bukan kriteria Mama. Tapi ... meski bukan kriteria Mama, bukan berarti Mama nggak boleh tertarik sama Ayahmu, kan?"
Sadar kalau Illian nggak akan tidur juga kalau diajak ngomong terus, Alesia pun bangkit dari kasur. Lalu memindahkan Illian ke box bayi. "Udah jam setengah sepuluh, Dek! Waktunya tidur! Terima kasih ya, Dek! Hari ini kamu udah jadi anak baik. Dadah, cintanya Mama! Good night!"
Alesia mengabaikan rengekan Illian, memadamkan lampu tidur sehingga tidak ada penerangan sama sekali. Kemudian ia masuk ke kamarnya.
Entah kenapa hari ini rasanya ia jadi mellow banget. Alesia masuk ke kamar tamu miliknya lagi—setelah seminggu lamanya, terasa sangat aneh. Padahal kamar ini pernah menjadi tempat paling nyaman untuk dia beristirahat. Namun, kenapa malam ini terasa berbeda?
Bagaimana ya, caranya bilang ke suaminya kalau dia ingin tidur di kasur yang sama setiap hari, dan mulai menjalankan rutinitas sebagai suami-istri pada umumnya?
Alesia mulai capek mengurus semuanya sendirian. Ia ingin berbagi rasa lelahnya dengan orang lain. Lagi pula, memangnya mereka mau menjaga jarak begini terus sampai kapan?
Dia enggak bisa denial lagi. Hatinya yang gersang mulai mendambakan sensasi mendebarkan saat bunga-bunga cinta bermekaran.
Ternyata selama ini ia salah. Ia pikir dunianya sudah hancur dan hatinya nggak mungkin bisa mencintai lagi.
Nyatanya, semua luka dan momen kelam itu sudah tertinggal jauh di belakang.
Alesia mulai nyaman dengan hidupnya sekarang, dan ... kini dengan rakus ia mulai mendambakan cinta yang utuh di dalam rumah tangganya yang beku.
Apakah ini terlalu muluk-muluk?
Lampu di kamarnya sudah ia matikan. Dia merebahkan tubuhnya di kasur yang dingin—karena sudah lama tidak ditempati. Alesia berusaha memejam, berharap kantuk segera datang.
Namun, ketika tinggal selangkah lagi menjemput mimpi, suara ketukan pintu menariknya kembali ke dunia nyata.
Menit berikutnya, cahaya menyeruak masuk ketika seseorang membuka pintu kamarnya dan menyalakan lampu.
"Kenapa tidur di sini?" Suara dingin itu terdengar saat Alesia masih kesulitan mencerna situasi.
Langkah pria itu mendekat tidak sabaran. Kemudian mengulurkan tangan pada Alesia yang masih berbaring kaku.
"Emang harusnya aku tidur di mana?" Suaranya serak, kerongkongannya tersekat. Jantungnya berlonjakan tidak karuan, membuatnya semakin gugup.
"Di kamarku."
"Kenapa?" Entah dari mana Alesia mendapatkan keberanian untuk mengutarakan pertanyaan itu.
"Kamu mau hubungan kita yang udah sejauh ini, jadi mundur lagi?"
Kepala Alesia buru-buru menggeleng.
"Ya udah, ayo!" Geryl mengayunkan tangannya yang sejak tadi terulur.
Tangan Alesia menerima uluran itu. Bangkit dari kasur. Jemari hangat itu bertautan dengan milik Alesia sampai keduanya keluar kamar.
Namun, ketika Alesia ingin mengeratkan genggaman mereka, Geryl lebih dulu melepaskannya. Pria itu kini jalan dua langkah di depannya.
Alesia dongkol abis. Memangnya tangan Geryl bakal langsung gatal-gatal kalau menggandengnya lebih dari dua menit?
"Mas!" Alesia menghentikan langkah.
Geryl yang menyadari itu, langsung menoleh. "Kenapa?"
"Mau digandeng lagi!" Untung saja beberapa lampu di rumahnya sudah dimatikan, sehingga suasana remang-remang ini membuat wajahnya enggak terlihat dengan jelas. Jadi Geryl enggak perlu melihat semburat kemerahan yang memenuhi wajahnya.
Tanpa mengatakan apa pun, Geryl kembali mendekatinya, lalu menggandeng tangan Alesia sesuai permintaan.
Ada sensasi menggelitik di perutnya, tatkala genggaman itu lebih erat dan hangat. Senyumnya tidak bisa ditahan lagi. Otaknya terus memikirkan, permintaan apa lagi yang bisa ia ajukan setelah ini?
***
Setelah mengajak tidur sekamar, pagi harinya Geryl tetap melakukan rutinitasnya selama seminggu terakhir: menyodorkan tangannya untuk Alesia salimi, kemudian mengecup kening Alesia beberapa detik.
Tentu perasaan Alesia langsung berbunga-bunga. Ia tidak bisa menahan senyumnya, bahkan sampai Geryl menghilang dari pintu pun, senyumnya belum juga pudar.
"Dek, kayaknya Mama lagi kena serangan jantung!" Alesia memegangi dadanya secara dramatis, sementara yang dicurhati malah tertawa-tawa riang.
"Dek, ini bukan halusinasi, kan?"
Pertanyaan dramatis Alesia langsung terjawab ketika ia melihat roomchat Geryl yang sangat gersang. Alesia baru saja mengirimkan foto Illian yang belepotan buah naga yang ia buat menjadi popsicle.
Tahu bagaimana Geryl membalasnya?
Pinter.
Sudah, gitu doang!
Entah siapa yang Geryl maksud pintar itu. Apakah Illian, yang pintar karena makan dengan lahap sampai belepotan? Atau Alesia, yang pintar membuat berbagai kreasi snack, sehingga Illian makan dengan lahap?
Mungkin perubaham di antara mereka memang harus perlahan-lahan, selangkah demi selangkah. Tidak bisa langsung berubah drastis menjadi pasangan romantis yang saling mencintai, kan?
Jadi, Alesia harus lebih bersabar menghadapi tingkah dingin suaminya. Lagi pula kalau Geryl langsung berubah drastis, yang ada Alesia malah mengira kalau suaminya itu sedang kerasukan.
Supaya enggak terlalu stres menghadapi suaminya yang dingin, Alesia mencoba mengajak Illian jalan-jalan ke mal. Kemarin saat ia ke mal untuk pertama kalinya bersama mertuanya, ternyata Illian suka dengan keramaian dan enggak rewel sama sekali. Sesuatu yang patut ia syukuri karena dengan begitu, ia bisa sering-sering mengajak Illian shopping.
Alesia bahkan baru sadar kalau selama tiga bulan pernikahannya, ia sama sekali belum pernah mengajak Illian keluar. Dia juga enggak pernah shopping atau membeli barang apa pun untuk dirinya sendiri. Selama sembilan bulan terakhir, ia terlalu fokus mengurus Illian, sehingga barang-barang yang dibeli pun selalu untuk Illian.
"Mama penasaran isi kartu yang Ayahmu kasih ke Mama tuh berapa ya, Dek? Ayo kita cek! Udah lama banget Mama enggak belanja!" Alesia berseru antusias saat memandikan Illian, lalu memilihkan baju yang cocok untuk berpergian.
"Ya ampun, Dek, Mama baru sadar kalau selama ini kamu lebih sering pake piyama ya, jadi baju-baju kamu yang buat pergi gini banyak yang udah kesempitan padahal belum pernah dipake!"
Illian mengoceh sama cerianya.
"Oke, setelah ini Mama janji bakal lebih sering ngajak kamu jalan-jalan!"
Tidak butuh waktu lama bagi Alesia menyiapkan diaper bag Illian. Karena dia akan pergi sendiri, supaya lebih praktis, dia menyatukan barang-barang pribadinya dengan keperluan Illian dalam satu diapper bag.
"Mama udah kayak emak-emak banget ya, Dek!" Alesia menatap pantulan bayangan di cermin saat ia menggendong Illian menggunakan gendongan di depan, lalu bahu kirinya membawa diapper bag. Nanti dia juga akan membawa stroller lipat agar tidak pegal selama berkeliling mal.
"Let's go! Kita berangkat!"
Alesia sudah memesan taksi online. Ia sempat kepikiran harus minta izin dulu pada suaminya atau tidak, tapi setelah berpikir seribu kali, ia memilih tidak melakukannya. Toh, ia bakal sampai rumah sebelum suaminya pulang.
***
Padahal niatnya Alesia juga mau belanja tas atau sepatu baru. Namun, saat melihat-lihat, tidak ada satu pun yang membuatnya tertarik. Ujungnya, ia malah membelikan Illian sepatu baru, dan beberapa pasang baju menggemaskan di Gingersnaps.
Lelah berkeliling, Alesia pun memasuki restoran sushi, setelah sekian lama ia tidak makan sushi. Kalau dipikir-pikir, hidupanya selama satu setengah tahun terakhir datar sekali. Padahal dulu—sebelum hamil, Alesia tipe cewek pada umumnya yang hobi ke salon gonta-ganti warna dan gaya rambut. Setidaknya seminggu dua kali ia harus ke mall untuk makan fancy. Tidak lupa juga membeli tas atau sepatu setiap bulannya, agar tidak kehabisan baju OOTD setiap harinya.
Lalu dalam sekejap semuanya berubah. Ia tidak lagi mengenal make up, rambutnya sudah terlalu panjang sampai pinggang, dan tidak pernah di-styling. Pakaian yang ia pakai pun asal comot yang paling nyaman, enggak lagi memedulikan apakah matching dengan sepatunya. Sepatu? Alesia bahkan tidak ingat kapan dia pakai sepatu bagus. Kesehariannya selalu pakai sandal rumahan.
Hidupnya sempat membaik di awal-awal Illian tinggal bersama Geryl. Dia bisa punya waktu lebih banyak untuk perawatan, karena tidak perlu menjaga Illian selama 24 jam. Namun, setelah menikah dan tinggal bersama Illian, ia kembali tidak punya waktu untuk perawatan.
"Gue enggak mau berubah jadi emak-emak secepat ini, Vik! Gue mau balik lagi kayak dulu, jadi cewek yang demen dandan ... ke salon, shopping!" Illian tidur di stroller, sehingga Alesia mengisi kebosanannya dengan video call Vika.
"Aduh, seneng banget gue ngeliat aura lo jadi lebih terpancar, pas lagi jatuh cinta gini!" Vika tersenyum penuh arti.
Alesia enggak menyangkal. "Dipikir-pikir, suami gue ganteng juga ya?"
Tawa Vika pecah. "Gue sih udah nyadar dari dulu kalau Mas Geryl ganteng!"
"Emang sih, gue ngerasa ... tanpa perlu makeup atau styling rambut, gue udah cakep banget. Tapi coba deh, liat gue sekarang! Rasanya kayak udah lama banget gue enggak styling rambut dan makeup-an proper kayak gini. Dan gue kangen banget sama diri gue yang kayak gini." Alesia membenahi tatanan rambutnya sambil bercermin pada kamera ponselnya.
Vika manggut-manggut. "Terus, apa gunanya lo dandan cakep-cakep gini kalau target utama lo nggak lihat?"
Alesia mendengus. "Iya juga ya! Mubadzir banget deh!"
"Kirimin foto selfie lo ke dia dong! Bilang aja salah kirim!" saran Vika.
"Itu basi banget deh! Gue mau dia lihat gue secara langsung. Nggak usah pake kirim selfie. Lagian kalo gue kirim selfie, takut cuma bikin sakit hati, gara-gara balesannya pasti ngeselin banget. Nah, panjang umur! Orangnya ngechat gue!" Alesia langsung membuka pesan yang baru masuk itu.
Mas Geryl: dimana?
Alesia: di rumah
Alesia sengaja berbohong, karena penasaran, kenapa tumben sekali Geryl menanyakan keberadaannya? Padahal biasanya Geryl enggak pernah basa-basi begini.
Mas Geryl: di rumah siapa?
Mas Geryl: aku cek di CCTV, kamu sama Illian nggak ada di rumah
"Ya ampun, ternyata selama ini dia mantau gue sama Illian dari CCTV, Vik!" gerutu Alesia.
"Karena itu, dia enggak pernah nanyain apa yang lo lakuin seharian ini sama Illian?"
"Iya. Apa habis ini gue mau bungkus CCTV-nya pake kresek item aja ya? Biar dia nggak bisa mantau gue, jadi kalau nyariin bisa langsung ngechat gini."
Tawa Vika terdengar. "Ya udah, lo kirim aja lokasi lo sekarang, biar dia nyusul!"
"Iya, ini udah gue kirim kok!" Alesia kembali menyandarkan ponselnya pada kotak tisu, menatap wajah Vika di layarnya dengan cemas. "Lo tau nggak, gue rasanya kayakkk lagi mau first date. Setelah sekian lama, akhirnya gue ngerasain sensasi deg-degan kayak gini lagi."
Senyum Vika mengembang turut bahagia. "Touch up lipstik dulu, Les! Itu lipstik lo udah mau ilang!"
"Oh iya, lagi! Blush on gue perlu touch up juga nggak?"
"Nggak usah! Nanti juga lo bakal blushing secara alami."
"Aduh, mana Illian lagi tidur lagi! Gue takut canggung banget deh, kalo berdua sama dia doang!"
"Good luck ya, babe! Jangan terlalu kelihatan kalau canggung lah! Gue balik ke apart dulu ya? Nanti kalau udah balik, jangan lupa ceritain!"
Tidak lama setelah video call dengan Vika berakhir, Geryl menanyakan di mana posisi Alesia. Pria itu sudah sampai!
Cepat juga ya! Jujur saja Alesia enggak tahu di mana letak kantor Geryl. Apakah posisi kantornya memang sedekat itu, sampai dalam waktu lima belas menit saja bisa langsung sampai?
Beberapa menit setelah Alesia memberitahukan di mana posisi detailnya, Geryl muncul dengan kemeja slimfit berwarna navy dan celana khaki yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Sebelah tangannya masuk ke saku celana, tatapannya lurus ke arahnya, dengan langkah tegas, serasa sedang berjalan di catwalk.
Ketika langkah pria itu sudah dekat, Geryl menoleh pada stroller Illian di sebelah Alesia.
"Kenapa nggak bilang kalau mau ke mal?" gerutu Geryl sembari memempati kursi di sebelahnya.
"Tadi tiba-tiba kepikiran pengen jalan-jalan aja. Kemaren pas ada Ibu sama Bapak, Adek seneng banget diajak ke mall. Ya udah dari pada bosen di rumah, aku ajak dia shopping." Itu adalah jawaban yang sebenarnya ingin Alesia katakan, kalau suasana hatinya sedang baik.
Namun, berhubung ia agak kesal melihat tampang datar Geryl, Alesia pun menjawab dengan sengit, "Emang kalau bilang kamu dulu, kamu mau nemenin?"
"Ini buktinya aku ke sini, 'kan?" Balasan Geryl nggak kalah ketus. Kalau urusan siapa yang paling ketus, memang nggak ada yang bisa mengalahkan Geryl.
Alesia mendengus. "Udah lama aku nunggu-nunggu, kapan kamu mau ngajak aku sama Adek jalan-jalan. Tapi nggak diajak juga, sampai aku lupa kalau lagi nunggu."
"Lain kali, kamu tinggal bilang apa pun yang kamu mau. Aku bukan cenayang yang bisa nebak isi pikiranmu," tegas Geryl. "Bisa kita buat hubungan kita jadi lebih simpel? Kita bukan anak kecil yang suka ngambek-ngambekan karena hal sepele."
"Aku nggak ngambek!" sergah Alesia.
"Terus apa namanya kalau bukan ngambek?"
Alesia memutar tubuhnya ke depan, malas menatap Geryl lagi. Ia menghabiskan ocha-nya yang tinggal setengah, kemudian mengangkat tangannya untuk memanggil pelayan.
"Kamu udah makan, Mas?"
"Udah."
"Terus ngapain nyusul ke sini?"
Geryl tidak langsung menjawab. Kepalanya malah menoleh pada Illian yang masih terlelap.
"Emang harus ada alasannya?"
"Harus!"
"Kemarin ada yang bilang kalau nggak suka sendirian. Ya udah aku ke sini."
***
Bab 26: What’s Next?
Setelah beberapa bulan terakhir ia tidur sendiri, kini ada seseorang yang berbaring di sebelahnya.
Awalnya Geryl pikir ini akan sangat canggung, mengingat hubungan mereka selama ini masih berjarak. Jujur saja Geryl lupa bagaimana caranya menjalin hubungan baru dengan seseorang. Dia juga lupa kapan terakhir kali ia jomlo. Makanya tiga bulan terakhir berlalu begitu cepat tanpa ada kemajuan selangkah pun dalam rumah tangganya.
Namun, lama kelamaan ia mulai terbiasa dengan kehadiran Alesia di sekelilingnya, sehingga ketika perempuan itu tidak ada, Geryl merasa ada yang kurang.
Ia tahu, ada banyak sekali hal yang perlu mereka bicarakan tentang rumah tangga ini. Namun, sejak awal Geryl tidak pernah membahasnya.
Geryl belum siap membahasnya secara gamblang. Dia masih terlalu bingung bagaimana menerjemahkan perasaannya saat ini. Dia masih terlalu bimbang.
Yang pasti, Geryl tidak mau hubungannya dengan Alesia yang sudah naik satu tingkat—dengan tidur seranjang—menjadi jauh lagi seperti orang asing. Setidaknya, satu-satunya yang bisa ia lakukan sekarang adalah mempertahankan hubungan mereka agar tidak mundur ke belakang.
Geryl sudah hampir tenggelam dalam mimpi ketika ada suara memanggilnya.
"Mas?"
Kantuk yang menguasainya sudah begitu parah, sehingga untuk menyahuti panggilan itu saja Geryl tidak bertenaga. Tapi kupingnya masih bisa menangkap suara itu meski sayup-sayup.
"Mas Geryl?"
Berhubung posisi tidur Geryl membelakangi asal suara, ia pun mengerjapkan mata. Butuh waktu baginya untuk mengumpulkan nyawa, di saat matanya sudah terasa sangat berat.
"Kamu udah tidur, Mas?"
Lagi-lagi Geryl tidak memberikan jawaban.
"Yah, padahal ... aku pengen request minta dipeluk."
Geryl masih mencerna kalimat yang baru saja ia dengar. Terlalu bingung harus merespon bagaimana.
Lalu tiba-tiba saja ia merasakan sebuah tangan kurus melingkari pinggangnya dari belakang. "Kalau gitu, aku yang peluk kamu aja deh! Karena kamu udah tidur, aku jadi nggak akan menerima penolakan."
Ada sensasi aneh yang menyengat dadanya ketika tubuh di belakangnya mendekap semakin rapat. Ia berusaha menjernihkan otaknya, memikirkan apa yang harus ia lakukan sekarang. Kalimat terakhir Alesia cukup mengganggunya.
Memangnya kalau Alesia memeluknya tiba-tiba dalam kondisi ia tidak sedang tidur, dirinya akan menolak?
Atau memang sudah seharusnya dia menolak?
Apakah kalau ia menikmati pelukan ini, sama saja ia sedang mengkhianati Tishia?
Mengingat Tishia, membuat Geryl ingin bergerak menyingkirkan sebuah tangan yang tengah melingkari pinggangnya ini. Akan tetapi tangannya urung bergerak saat mendengar suara lirih Alesia berikutnya.
"Mas, setelah apa yang menimpaku beberapa waktu lalu, hidupku benar-benar hancur. Aku nggak pernah lagi kepikiran buat menjalin hubungan dengan siapa pun, apalagi sampai menikah.
"Tapi semuanya berubah. Aku pun enggak nyangka semuanya bakal berubah secepat ini. Aku berhasil melewati semuanya. Entah sejak kapan, aku jadi semangat lagi, aku bisa tertawa lagi, dan rentetan harapan tumbuh liar di hatiku seiring berjalannya waktu.
"Sampai akhirnya, aku sadar kalau sendirian itu nggak enak. Aku capek, Mas. Aku ... nggak mau sendirian lagi. Aku bahagia bisa menemani, mengurus dan membesarkan Illian. Tapi aku nggak mau sendirian. Sebenarnya aku juga nggak suka tidur sendirian di kamar tamu. Makasih ya, Mas, karena malam ini kamu jemput aku buat tidur di sini. Kira-kira besok dan seterusnya aku bisa memiliki kamar ini juga nggak?
"Ah, permintaanku terlalu muluk-muluk ya, Mas? Maaf ya, kalau aku mulai nggak tahu diri. Tapi aku beneran capek, Mas. Aku capek sendirian. Kamu ... mau nemenin aku nggak? Kalau cuma minta ditemani, itu nggak muluk-muluk, kan?
Kemudian terdengar suara tawa kecil Alesia. "Tetap muluk-muluk sih, karena aku mintanya ditemani seumur hidup."
Beberapa menit setelahnya tidak ada suara lagi. Tubuh Geryl pun membeku, tidak tahu harus bagaimana.
"Sejak awal kamu enggak pernah ngomongin apa-apa soal pernikahan ini, kan, Mas? Kamu cuma bilang, mau bekerja sama buat membesarkan Illian dan bikin dia happy. Terus gimana kalau kebahagiaan Illian baru bisa datang di saat Ayah dan Mamanya ... juga bahagia bersama, dan saling mencintai?
"Wah, omonganku udah makin ngelantur aja nih! Untung aja kamu udah tidur, jadi aku nggak perlu meluruskan apa-apa. Coba aja, aku punya keberanian buat ngomongin itu semua langsung sama kamu pas kamu enggak tidur gini."
***
"Oh, kantormu di situ? Deket banget ya, ternyata! Pantesan kamu cepet banget sampenya!" Alesia memandang gedung yang ia lewati beberapa saat setelah keluar dari area mal.
Geryl hanya menggumam. Pandangannya melirik spion tengah mobilnya, mengecek apakah Illian masih tidur.
Tadi mereka sempat membeli carseat baru untuk Illian sebelum pulang. Alesia enggak banyak bicara sejak keluar dari restoran sushi. Suaranya baru terdengar setelah Geryl mengajak ngobrol dulu, memberi tahu di mana ia bekerja.
Alesia tertawa sendiri. Pernikahannya ini kenapa lucu sekali ya? Setelah tiga bulan lebih, ia baru tahu di mana Geryl bekerja. Padahal orang-orang di luar sana menganggap pekerjaan pasangan merupakan salah satu hal yang wajib diketahui sebelum menikah, yang bahkan itu menjadi salah satu pertimbangan serius untuk melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan.
Hubungan mereka memang serba terbalik. Setelah akad, mereka baru saling mengenal dari nol. Itu pun pergerakannya lambat sekali karena Alesia menikahi manusia jelmaan batu karang.
"Posisimu di kantor tuh sebagai apa sih, Mas?"
"CTO."
Dahi Alesia mengerut. "Loh? Kok CTO? Emang orang hukum ngerti IT juga? Di firma hukum ada bagian IT juga?"
Geryl menoleh ke arahnya selama beberapa detik dengan kening mengerut, tapi tidak mengatakan apa-apa.
"Bukannya Bapak tuh mendirikan firma hukum sejak sepuluh tahun lalu ya? Aku inget banget beberapa hari lalu Bapak cerita tentang firma hukum yang dikelola Bapak dari nol."
"Iya, bener. Bapak mengelola firma hukum sendiri sejak sepuluh tahun lalu." Geryl mengiakan. "Terus hubungannya sama aku, apa?"
"Kamu enggak kerja di firma hukum Bapak?"
"Jadi selama ini kamu nganggep aku adalah pengacara?" balas Geryl sambil menoleh sebentar sebelum kembali menatap jalanan.
"Iya."
"Emang tampangku kelihatan kayak pengacara?"
"Tampang sih, relatif. Tapi kamu beneran kayak pengacara karena omonganmu tajem banget."
Ujung bibir Geryl terangkat.
"Mas! Lihat ke aku dong, kalau senyum!"
Geryl betulan menoleh ke arahnya, tapi senyum di bibirnya sudah pudar. "Kenapa?"
"Aku mau lihat kamu senyum."
Alesia tidak mendapatkan respon apa pun. Pria itu tetap memfokuskan perhatiannya pada jalanan, tidak lagi melirik ke arahnya sedikit pun.
"Aku serius, Mas. Aku ... pengen lihat kamu senyum. Kalau bisa ... senyum lebih sering ya, Mas!" Alesia ikut tersenyum. "Soalnya kamu makin ganteng kalau lagi senyum."
Tawa Alesia menyeruak ketika mendapati kuping Geryl memerah. Dia pun semakin gencar melancarkan gombalannya. "Kalau lagi salting gini juga makin ganteng!"
"Aku kuliah Sistem Informasi di UI. Sejak lulus kuliah sampai sekarang, kerjaanku selalu berkaitan sama IT. Nggak pernah tertarik sama hukum sedikit pun." Geryl memilih mengembalikan obrolan mereka, mengabaikan Alesia yang masih terkekeh menggodanya.
"Iya juga, sih, kalo dilihat-lihat, kamu juga cocok jadi anak IT. Tipe cowok nerdy yang lebih ngerti tentang seluk-beluk komputer dibanding gimana caranya berinteraksi dengan manusia. Bisa-bisanya aku malah kepikiran kalau kamu anak hukum." Alesia tertawa sendiri, menertawakan bagaimana ia menilai Geryl selama ini.
"Atas dasar apa kamu mikir kalau aku anak hukum dan kerja di firma hukum Bapak?"
Alesia mengendikkan bahu, enggan menjawab. Karena jawaban sebenarnya, itu memang asumsinya sendiri setelah melihat perangai Geryl yang dingin, terkesan sombong, dan jutek.
Dia lupa bagaimana awalnya perkenalan mereka, yang jelas first impression Geryl di mata Alesia jelek sekali. Secara instan Alesia menganggap Geryl adalah anak manja yang tidak pernah merasakan kesulitan sama sekali dalam hidupnya. Lahir dari keluarga tajir melintir dan terpandang, lulusan sekolah swasta terbaik, kemudian kuliah di luar negeri dengan harta Bapaknya yang nggak akan habis meski dihambur-hamburkan di jalanan. Lalu setelah puas menghamburkan uang di luar negeri, ia pulang ke tanah air dan langsung mendapatkan kursi khusus di kantor Bapaknya.
Perangai Geryl yang terlalu cuek dan dingin membuat kepalanya otomatis berpikir begitu. Dulu ia sempat heran kenapa Kakaknya yang begitu aktif dalam kegiatan sosial, punya banyak teman di mana-mana, tapi malah menikahi pria kaku yang tidak tahu bagaimana caranya berterimakasih, karena mulutnya selalu terkatup rapat.
Iya, dulu Geryl seburuk itu di matanya.
Dan ternyata, Geryl enggak seperti yang ia pikirkan.
"Apa lagi yang mau kamu tahu tentang aku?" Pertanyaan Geryl menyedot Alesia dari lamunannya.
Alesia tergagap. Malah jadi bingung kalau ditanya begini.
Lalu muncul lah satu pertanyaan yang sejak tadi berputar di kepalanya.
"Malam itu ... kamu denger semua omonganku ya, Mas?" tanya Alesia pelan. Sejak tadi ia berusaha mengusir pertanyaan itu dari kepalanya, tapi nggak berhasil. Sepertinya ia memang harus membahasnya. Lagi pula, mau sampai kapan mereka akan terus saling diam seperti ini.
"Yang kamu bilang, capek sendirian itu?" Geryl menjawabnya dengan tenang.
"Jadi waktu itu kamu belum tidur?"
Geryl merasa Alesia tidak membutuhkan jawaban, sehingga ia diam saja.
Tanpa disangka, Alesia malah mencebikkan bibirnya kesal. "Kalau malam itu belum tidur, kenapa kamu nggak balas peluk aku? Sengaja banget ya, karena maunya aku yang peluk duluan?"
Tepat setelah Alesia mengatakan itu, mobil berhenti di lampu merah. Geryl menatap detik lampu merah yang masih agak lama. Cukup dipakai untuk ... memeluk seseorang.
Dengan gerak secepat kilat, Geryl melepaskan seatbelt Alesia dan menarik tubuh itu untuk condong ke arahnya, mendekapnya erat. "Aku bisa peluk kamu sekarang."
***
Sudah berhari-hari Alesia menimbang potongan rambut model apa yang cocok dengannya. Setiap ada waktu luang, ia terus mengulir Pinterest, mencari referensi gaya rambut. Ia mulai tidak nyaman dengan rambutnya yang sudah terlalu panjang, dan ingin memotongnya segera.
Tentu Alesia sudah bertanya pada sahabat-sahabatnya. Namun, dari keempat model rambut yang dia suka, keempat temannya malah memilih jawaban yang berbeda semua, sehingga membuat Alesia makin bingung.
"Kata gue sih, lo mending tanya ke suami lo!" Begitu saran Tyra dalam telepon grup. Berhubung Karen sedang sibuk, jadilah mereka video call bertiga.
"Makanya! Nggak ada salahnya juga lo ngikutin selera suami lo. Barangkali setelah itu dia langsung terpana sama kecantikan lo, terus kalian ..."
"Iya, iya, nggak usah dilanjut. Ketebak banget deh, lo mau bilang apa!" gerutu Alesia.
"Hah? Sampe sekarang kalian belum ..." Tyra tidak melanjutkan kata-katanya saking speechless-nya.
"Belum. Entah sebenernya dia tertarik sama fisik gue atau enggak."
"Anjir lo! Bisa-bisanya dengan badan sebagus itu lo insecure?! Bahkan badan lo sebelum hamil aja udah cakep banget! Dan sekarang, lo berhasil kembali kurus, tapi dengan dada seseksi itu. Gue yakin cowok waras mana pun bakal naksir elo deh, Le!"
"Nggak usah lebay, ah! Buktinya Adam nggak bakal naksir gue kan, ya, Tir?" goda Alesia.
"Ya maksud gue, cowok single di luar sana! Cowok-cowok bucin kayak Adam nggak termasuk!" ralat Vika kesal.
"Tapi emang gue akui badan lo makin cakep deh, Les! Lo ikut kelas pilates atau apa?"tanya Tyra serius.
"Gue cuma olahraga santai aja sih. Di rumah ada treadmill punya Mas Geryl, gue rutin pake, minimal tiga puluh menit deh. Kadang bisa lebih juga. Terus workout biasa pake barbel kecil seadanya. Itu juga curi-curi waktu pas Illian tidur. Dulu sebelum nikah sempet pilates beberapa bulan. Kan Illian enggak tinggal sama gue, jadi waktunya lumayan santai. Habis nikah, udah enggak sempet pilates lagi."
"Ah, dari dulu mah, lo emang demen olahraga ya! Gue sih, udah mager duluan deh. Kalau anak tidur, ya gue ikut tidur!" Tyra terkekeh.
"Lo udah coba pake lingerie yang lucu-lucu gitu, Les? Udah gue tawarin waktu itu, butuh referensi apa enggak, lo malah sok nolak!" gerutu Vika. "Rekomendasi gue pasti nggak akan mengecewakan."
"Selama ini lo pikir gue di rumah pake daster rombeng gitu kah? Dari dulu ... bahkan sebelum nikah, tiap di rumah juga gue cuma pake tanktop sama celana pendek. Sampe sekarang pun, hampir tiap hari gue pake piyama pendek atau tanktop. Dia udah biasa ngeliat gue pake baju pendek dan ketat, jadi ... ya udah. Nothing special."
"Tanktop itu beda sama lingerie! Coba dulu pake lingerie!" Vika tetap bersikeras.
"Enggak ah, gue mau pelan-pelan aja. Bisa pelukan sama dia aja gue udah seneng banget. Rasanya tuh, lebih mendebarkan kalau hubungannya naik step by step pelan-pelan gini, Vik. Bukan yang langsung bablas terus rem blong gitu. Gue jadi lebih nikmatin setiap prosesnya aja." Alesia mengulum senyum dengan semburat kemerahan memenuhi wajahnya.
"Jadi, sekarang step-nya udah sampe mana, Les?" tanya Tyra.
"Pelukan." Alesia menjawab dengan malu-malu, ketika mengingat bagaimana Geryl memeluknya semalaman. Bahkan sampai Alesia terbangun di pagi hari pun, pelukan Geryl belum terlepas.
"Berarti step berikutnya apa?"
"Ciuman."
***
Sekarang Alesia sudah memutuskan model rambut apa yang ingin dia coba. Ia juga sudah mengantongi izin dari Geryl untuk ke salon hari ini. Geryl mengiakan tanpa banyak protes, dan bilang akan menjaga Illian di rumah.
Anggap saja ini metime-nya setelah sekian lama ia tidak ke salon.
Saat izin tadi, Alesia sempat iseng menanyakan model rambut seperti apa yang Geryl suka. Sesuai tebakan, pria itu menjawab, "Semuanya bagus."
"Pilih salah satu, Mas!" Alesia bersikeras sambil menunjukkan beberapa foto referensi.
"Pilih yang paling nyaman buat kamu aja."
"Tapi aku mau tau pendapatmu."
"Yang ini."
"Okay."
"Kamu nggak mau bawa mobilku?" tanya Geryl yang langsung disahuti oleh gelengan Alesia.
"Nggak mau ah!"
"Kenapa? Itu mobil ada asuransinya, nggak usah takut—"
"Sengaja biar nanti kamu jemput akuuuu! Harus banget ya, aku bilang gini dulu? Kamu mah, nggak ada inisiatifnya!" gerutu Alesia sambil menoleh pada Illian. "Payah banget, Dek, Ayahmu! Nggak peka!"
"Iya, nanti sore kujemput."
Sekarang saat Alesia sudah siap pergi, Geryl tidak terlihat di ruang tengah. Sepertinya ia sedang bermain dengan Illian di kamar.
Alesia mengecek penampilannya sekali lagi, kemudian mengambil tas selempang yang masih baru, kado ulang tahun dari Maminya. Rasanya ia seperti kembali menjadi anak gadis yang bisa jalan sendirian dan berdandan rapi begini. Hidupnya menjadi Mamanya Illian beberapa bulan terakhir memang menyenangkan, tapi ada kalanya ia merindukan masa mudanya yang bebas, dan bisa jalan-jalan setiap hari tanpa memikirkan apa-apa.
"Mas, aku pergi ya?" Alesia membuka pintu kamar Illian dengan sangat pelan. Ia mendapati Geryl tengah menidurkan Illian dalam gendongannya, sehingga ia bisik-bisik.
"Dadah! Nanti aku chat, kalau udah selesai!" Setelahnya, Alesia langsung menutup pintu, berjalan menuruni anak tangga sambil membalas pesan taksi online untuk menunggu sebentar.
Di saat Alesia sudah hampir mencapai handle pintu, panggilan Geryl membuatnya berbalik.
Suaminya itu berlari menuruni anak tangga dengan raut kesal.
"Kenapa, Mas? Mau nitip sesuatu?"
Geryl mendengus, lantas mengulurkan tangan. "Kamu minta aku selalu nyamperin kamu kalau mau pergi, biar bisa salim dulu. Tapi giliran kamu yang mau pergi enggak mau salim dulu?"
Senyum Alesia mengembang. Ia pun mengecup punggung tangan Geryl agak lama, sengaja meninggalkan jejak lipstik di sana. Lalu Geryl balas mengecup keningnya seperti biasa.
"Aku mau peluk juga!" Sekali diizinkan memeluk, Alesia jadi ketagihan minta peluk.
Jantung Alesia berdebar-debar kala mengingat obrolannya dengan Tyra dan Vika kemarin. Step selanjutnya setelah pelukan itu ... ciuman, kan?
Aduh, sayangnya sulit sekali bibirnya mengeluarkan pertanyaan, "Kapan kamu mau cium aku, Mas?"
***
Bab 27: Drama Bekal Suami
Salah satu sifat Geryl yang Alesia sukai adalah tidak suka basa-basi. Kadang sifatnya ini membuat Geryl jadi lebih peka pada hal-hal di sekitarnya.
Termasuk malam ini.
Sebenarnya Alesia sudah mengatakan sejak beberapa hari lalu, kalau ingin dipeluk saat tidur. Namun, setelah itu enggak langsung direalisasikan karena ia selalu tidur duluan saat Geryl masih membaca buku.
Hari-hari berikutnya pun, Alesia tidak pernah menyinggung itu lagi, karena begitu tubuhnya rebahan di samping Geryl, jantungnya berdebar tidak karuan. Pada akhirnya dia enggak berani melakukan apa pun, khawatir pergerakan tubuhnya sedikit saja, bisa membuat kinerja jantungnya makin menggila.
Malam ini hujan deras. Geryl bahkan menaikkan suhu AC agar tidak terlalu dingin. Tapi tetap saja, Alesia kedinginan. Selimut tebal yang melapisi tubuhnya enggak mampu menghangatkan hatinya.
Perlahan Alesia mengubah posisi tidurnya menjadi terlentang. Ia melirik sebelahnya, di mana Geryl masih membaca buku. Lampu tidur di sebelah Geryl pun masih menyala.
"Mas," panggil Alesia dengan suara serak. Otaknya terus berputar, menyusun kalimat yang tepat untuk meminta pria ini memeluknya.
"Hm?" Geryl mengangkat pandangan dari bukunya.
Pandangan mereka bersirobok selama beberapa detik. Kemudian Alesia memutusnya lebih dulu dengan menggeleng kecil. Baru ditatap begini saja, Alesia sudah mati kutu.
Alhasil, Alesia mengurungkan niatnya minta dipeluk. Nyalinya ciut. Dia kembali memutar tubuhnya membelakangi Geryl.
Baru saja Alesia hendak memejam, Geryl mematikan lampu tidur. Kini tidak ada penerangan apa pun di dalam kamar. Gelap gulita. Menit berikutnya, sebuah tangan merengkuh tubuhnya dari belakang.
Hati Alesia bersorak kegirangan. Tumben sekali suaminya ini langsung peka!
Apa ini karena wajah Alesia kelihatan mupeng banget?
Alesia memutar tubuhnya, kemudian masuk ke dalam dekapan hangat kedua tangan besar itu.
"Mas?" panggil Alesia sambil mengeratkan pelukannya.
"Hm?"
"Makanan favoritmu apa sih?" Random sekali, tapi Alesia betulan penasaran.
"Aku makan semua makanan."
"Tapi dari semua makanan di dunia ini, pasti ada satu makanan yang kamu suka banget, kan? Yang bisa kamu makan setiap hari tanpa bosen?"
"Nasi."
Alesia menarik napas panjang, mengumpulkan kesabaran. "Iya, terus lauknya apa? Kamu mau aku bawain bekal nasi doang setiap hari?"
"Ayam."
"Ayamnya diapain? Kamu mau aku kasih lauk ayam mentah?" Emosi Alesia meninggi. "Bisa nggak sih, Mas, kamu tuh lebih ramah sama aku? Aku pengen bisa ngobrol santai sama suamiku, kayak pasangan suami istri pada umumnya."
"Aku suka ayam dikasih bumbu apa aja. Dibakar suka, digoreng juga, dibikin ayam balado juga boleh. Dikasih tepung juga suka. Apa pun yang kamu masak pasti kumakan." Nada suara Geryl juga terdengar agak kesal.
Tidak terdengar sahutan lagi dari Alesia. Perempuan itu sibuk menyusun rencana, menu apa yang akan ia masak besok pagi. Pasalnya, Alesia sama sekali enggak jago memasak. Menurutnya, lebih mudah membuat kue dibanding memasak makanan berat. Kalau bikin kue, dia cuma perlu menyiapkan standing mixer, memasukkan semua bahan satu per satu, lalu menunggu beberapa saat sampai semua bahan tercampur rata. Kemudian tinggal dimasukkan ke loyang dan dioven. Selesai.
Sedangkan memasak makanan berat, jujur saja ia masih belum percaya diri. Tapi tidak apa. Demi menjadi istri salehah, dia bakal belajar memasak mulai besok.
"Kenapa bajumu tipis sekali?" Suara parau itu berhasil memecah lamunan Alesia.
Perempuan itu mengerjap. Baru sadar kalau tangan yang melingkar di pinggangnya bergerak mengelus dan meraba-raba. Membuat napasnya tersekat.
"Aku pakai baju kayak gini setiap hari, tapi kamu nggak pernah protes tuh! Kenapa tiba-tiba sekarang protes?" Alesia berusaha tetap waras meski sentuhan di pinggangnya terasa kian dalam. Bahkan sebelah tangan Geryl sudah menyelinap masuk ke kamisol satin yang dipakainya.
Kulit kasar pria itu bersentuhan langsung dengan perut Alesia, mengalirkan rasa panas yang menyengat. Sentuhannya terus merambat ke atas, menyasar dadanya yang masih berbalut bra.
Alesia menggigit bibirnya dalam-dalam, menahan diri agar tidak mengeluarkan desahan ketika jemari Geryl meremas dadanya dari luar bra. Semenjak menyusui, dadanya menjadi sangat sensitif, sehingga sentuhan seperti ini saja menimbulkan rasa perih dan nyeri, tapi mengandung gejolak gairah yang membuatnya ingin terus merasakannya.
"Mas Geryl ..." Suara Alesia terdengar putus asa. Napasnya tersendat-sendat. Dia betul-betul tidak bisa menahan diri lagi. Lenguhannya mengudara ketika remasan di dadanya semakin tidak beraturan.
Barangkali ia akan menangis kalau pria ini melepaskannya begitu saja tanpa melanjutkan apa yang sudah dimulai.
Namun, di saat Alesia ingin mencium Geryl lebih dulu untuk melampiaskan hasratnya, pria itu malah menarik tangannya keluar.
"Sori, Le, ayo tidur sekarang."
Ada jeda lima detik untuk Alesia menganga tidak percaya. Gairahnya padam bagai tersiram seember es batu. Dia menatap suaminya yang benar-benar sudah memejamkan mata dengan tidak percaya.
Ini beneran? Suaminya bakal tidur begitu saja, meninggalkannya nanggung seperti ini?
Alesia betul-betul menangis. Lidahnya kelu. Dia tidak mampu mengatakan apa pun untuk mengungkapkan keinginannya.
Kenapa di saat begini, Geryl tidak peka sama sekali? Apakah desahan Alesia tadi kurang jelas untuk mengungkapkan betapa besarnya hasrat Alesia yang sudah menguasai dirinya sekarang? Bukankah beberapa menit lalu Alesia baru memuji betapa pekanya Geryl?
"Loh, kenapa nangis? Sori, aku sama sekali enggak bermaksud—" Geryl membuka matanya. Entah pria ini sedang pura-pura kaget, atau tolol beneran, karena sama sekali tidak bisa memahami situasi yang membuat Alesia frustasi ini.
"Diem! Katanya mau tidur? Ya udah sana tidur! Aku masih mau nangis!"
Geryl malah merapatkan pelukan, yang membuat tangis Alesia makin pecah.
Kini Alesia mengira-ngira, apakah Geryl bakal menganggapnya sebagai jablay, kalau hanya dengan sentuhan singkat itu saja gairahnya sudah membuncah dan menginginkan lebih?
***
Jelas Alesia langsung uring-uringan seharian. Rasanya dia seperti sudah lama sekali tidak merasakan sensasi mendebarkan dan panas yang menyebar ke seluruh tubuhnya seperti semalam.
Begitupun dengan rasa nanggungnya. Sudah lama sekali dia nggak merasakan itu. Sehingga membuatnya semakin emosi.
Dia pun melampiaskan kekesalannya dengan curhat pada teman-temannya, yang mendapat respon beragam.
Vika: BALES DONG, LES!
Vika: JANGAN MAU DIMAININ SEENAKNYA
Vika: GANTIAN PEGANGGGG, TERUS TINGGALIN
Vika: marah banget gue kalo jadi lo😠😠
Sedangkan respon Tyra, positif sekali. Semenjak punya tiga anak, wanita itu betul-betul menjelma jadi ibu peri.
Tyra: sabar, Les, bertahap kan kayak lo bilang
Tyra: usaha lo udah mulai kelihatan hasilnya
Tyra: lo masih perlu usaha sedikit lagi
Tyra: coba lo bikin dia nyaman dulu, dengan sering-sering ajak ngobrol kek, atau apa gitu
Tyra: kalo udah nyaman, dia nggak akan susah-susah nahan diri lagi.
Selanjutnya Tyra bilang kalau memasak terbukti cukup ampuh untuk mengeratkan rumah tangganya. Mau semahal apa pun makanan yang dibeli di luar, atau seenak apa pun masakan ART, tetap nggak akan bisa mengalahkan masakan istri.
Dan melihat bagaimana rumah tangga Tyra yang adem ayem sampai sekarang, tentu dia akan lebih menuruti saran Tyra ketimbang Vika yang bahkan kisah cintanya masih amburadul.
Jadi, nggak ada salahnya Alesia mencoba memasak. Nyatanya, selama ini Illian selalu memakan masakannya dengan lahap. Berarti masakannya enggak buruk-buruk amat, kan?
"Lo sekalian bisa masukin pelet, biar Mas Geryl kesemsem sama lo, Les!" canda Tyra yang semakin membuat Alesia semangat memasak.
Namun, ternyata memasak untuk orang dewasa nggak semudah membuat MPASI bayi. Biasanya dia tinggal memasukkan semua bahan ke dalam slow cooker, kemudian menghaluskannya pakai blender. Selesai.
Masakan pertama Alesia gagal. Padahal ia sudah melihat tutorialnya di Youtube dengan seksama, tapi tetap saja nggak semudah kelihatannya. Ayam goreng tepungnya enggak matang sempurna. Dalamnya masih mentah. Membuat ia ingin menangis.
Padahal tadinya ia sempat bangga dengan hasil tepung ayamnya yang crispy dengan sempurna, nggak kalah dengan ayam goreng dari restoran cepat saji. Kepuasan Alesia luntur saat Yuni mengingatkan, "Potongan ayamnya gede banget, Mbak. Coba dipotong satu, Mbak, buat ngecek dalamnya sudah matang atau belum?"
Dan begitu mendapati dalamnya masih mentah, Alesia langsung membuang ayamnya ke tong sampah. Yuni berseru heboh. Katanya, ayam-ayam itu masih bisa dipanggang supaya matang sempurna. Namun, Alesia terlanjur eneg melihat ayam yang dalamnya masih mentah begitu.
Untung saja Geryl masih bersiap di kamarnya, tidak tahu dengan insiden yang terjadi.
Pada akhirnya, Alesia membawakan Geryl bekal masakan Yuni sisa kemarin yang dipanaskan, ditambah beberapa potong chicken nugget.
Seperti biasa, Geryl nggak protes. Pria itu benar-benar membuktikan ucapannya, bahwa ia memakan apa pun makanan yang dihidangkan untuknya.
Hari berikutnya, Alesia membuat ati kentang balado. Karena MPASI Illian sudah naik tekstur ia bisa menyiapkannya dengan lebih cepat. Jadi, punya banyak waktu memasak untuk suaminya.
Kali ini ia mendapatkan resepnya dari Tiktok. Alesia agak trauma dengan ayam, sehingga ia pindah ke menu lain dulu, sambil mencari resep lain yang pasti enak.
Ia baru selesai menyuapi Illian ketika Geryl turun, bergabung di meja makan. Sekarang saatnya ia memandikan Illian yang belepotan dengan bubur MPASI. Sudah biasa Geryl sarapan sendirian. Alesia pun bukan tipe orang yang suka sarapan. Biasanya di pagi hari ia cuma makan buah apel atau pear, dan itu sudah cukup mengisi perutnya sampai nanti siang.
Setengah jam kemudian, ia menggendong Illian lagi ke bawah dengan pakaian yang lebih rapi dan wangi.
"Loh, kok kamu cuma makan nasi sama tempe?" Alesia berseru kaget melihat piring Geryl yang sudah tinggal sedikit, di mana hanya ada tempe dan nasi. "Ati kentang baladonya nggak enak ya, Mas?"
Padahal tadi Alesia sudah mencicipinya, dan menurutnya enak-enak aja. Ia pun mengambil sendok baru, mencicipinya lagi.
"Enak. Tadi aku udah makan kentangnya." Geryl menjawab dengan santai.
"Kamu nggak suka ati ampela?"
Geryl baru menjawab setelah makanan di mulutnya dikunyah. "Bukan nggak suka. Tadi aku makan kok, sedikit. Aku cuma—"
"Kalau nggak suka 'kan bisa bilang dari awal, Mas! Kenapa dipaksain makan?" Alesia mendengus. Mulai merasa gagal menjadi istri karena tidak tahu apa-apa soal selera suaminya.
"Bukan nggak suka, Le, kayak yang aku bilang kemarin, ayam adalah makanan yang bisa aku makan setiap hari. Nah, kalau ati ampela, mungkin aku cuma bisa makan ini setahun sekali. Aku bisa makannya, rasanya enak kok. Makasih, ya!"
Walaupun suara Geryl terdengar lembut, tetap saja Alesia kesal.
"Itu namanya nggak suka, Mas! Apa susahnya bilang kalau nggak suka?"
Pria itu enggak mengatakan apa-apa, melanjutkan makannya dengan tenang.
Namun, itu nggak membuat perasaan bersalah Alesia hilang.
Alesia enggak suka ikan lele, dimasak dengan cara apa pun, dia tetap enggak suka. Pernah sekali Alesia makan lele gara-gara mantan pacarnya membelikan mangut lele terkenal di Yogyakarta yang katanya menjadi kuliner legendaris saking enaknya. Dia memaksakan dirinya mencoba menu yang dibanggakan mantan pacarnya saat itu. Tapi dia tetap tidak doyan. Dan rasanya mau muntah.
Semenjak saat itu Alesia enggak pernah mau makan lele lagi apa pun itu alasannya.
Dan sekarang, ia malah memasak makanan yang tidak disukai Geryl, sampai-sampai pria itu cuma makan pakai tempe, karena dia cuma masak dua menu itu: ati kentang balado dan tempe goreng.
Kalau Mami mengetahui menantu kesayangannya ini cuma sarapan pakai nasi dan tempe goreng, Alesia pasti habis diomeli.
"Maaf ya, Mas." Rasanya Alesia mau menangis lagi. Ternyata menjadi istri yang baik itu ... sulit sekali ya?
"Nggak papa."
Melihat wajah lempeng Geryl, Alesia semakin kesal, yang saking kesalnya membuat ia ingin menangis. "Kamu sih, nggak ngasih tau aku! Kamu bilang, makan semua makanan! Terus selain ati ampela, kamu nggak suka apa lagi?!"
"Nggak suka lihat kamu nangis." Lalu Geryl menyendokkan ati kentang balado ke piringnya. "Nih, aku makan. Enak kok!"
***
Drama perbekalan ini rumit sekali ya ternyata. Kemarin Alesia sempat nekat masak ayam teriyaki. Dia memotong ayamnya menjadi dadu kecil-kecil, sehingga bisa dipastikan matang sempurna. Ia pun sudah yakin kalau rasanya enak sekali, terbukti dengan aromanya.
Dan karena Illian rewel minta segera disuapi, Alesia lupa belum mencicipinya, sudah langsung menata semua masakannya ke kotak bekal. Ia juga membuat tumis buncis dan wortel.
Terlalu jumawa karena masakannya terlihat sangat menggiurkan, giliran dia memakannya saat jam makan siang, Alesia langsung menangis. Ayamnya keasinan, tumis buncis dan wortelnya belum matang sempurna, jadi masih keras.
Dan yang lebih menyedihkan, Geryl bilang masakannya enak. Pria itu pulang dengan wadah bekal yang kosong. Entah makanannya betulan dihabiskan atau dibuang ke tong sampah.
Saking frustasinya, Alesia ingin mengambil break sebentar. Hari ini membiarkan Yuni kembali memasak seperti biasa. Sambil memasak MPASI untuk Illian, Alesia memperhatikan bagaimana Yuni bergerak gesit di dapur menyiapkan berbagai menu.
Bukannya berhasil menyerap ilmu dari Yuni, Alesia malah makin frustasi. Pasalnya Yuni sama sekali enggak bisa mengajarinya memasak. Setiap ditanya resepnya, Yuni kebingungan. Dia bilang, setiap memasak selalu pakai feeling.
Jadi, Alesia enggak punya feeling yang bagus gitu?
Alesia makin frustasi karena masakannya seringkali keasinan atau kurang asin. Habisnya beberapa video Youtube yang dia contek enggak memberi tahu takaran yang pas pada garam, gula dan merica. Mereka cuma menyebutkan, 'beri garam, gula dan merica secukupnya'.
Dan Alesia enggak tahu takaran yang cukup itu seberapa?!
"Kamu nggak masak lagi?" tanya Geryl yang tumben sekali siap lebih cepat. Sarapan belum sepenuhnya siap, Yuni masih berkutat di dapur menyiapkan semuanya.
Pria itu duduk di sebelah Illian yang sedang Alesia suapi.
"Enggak."
"Kenapa?"
"Lagi mager aja."
Tatapan Geryl menyelidik. "Bukan gara-gara aku, kan?"
"Gara-gara kamu!" sungut Alesia. "Aku masak tuh ya buat kamu. Tapi masakanku gagal terus, dan malah tetep kamu makan. Aku nggak mau kamu mati keracunan karena selalu maksain makan apa pun yang aku masak. Jadi sekarang aku stop masak dulu, buat ngumpulin energi biar besok masaknya enak."
"Masakanmu enak kok. Kemarin ayamnya kebanyakan garem dikit, tapi enak. Kalau dimakan pake nasi nggak berasa keasinan. Aku juga suka udang pete balado yang kamu bikin waktu itu." Itu adalah masakan yang ia buat bersama Ibu mertuanya. Satu-satunya keahlian Alesia yang bisa dibanggakan adalah membuat sambal balado. Vika tuh suka banget pedas, jadi saat kuliah dulu ia sering melihat Vika memasak di apartemen.
Kenapa Alesia enggak kepikiran untuk recook sambal balado andalannya itu yaa?
"Beneran?"
"Mukaku kelihatan kayak lagi bohong?"
"Enggak, mukamu kelihatan ganteng."
Geryl mengalihkan pandangannya pada Illian.
Tawa Alesia pecah. "Lihat, Dek! Ayahmu lagi salting tuhhhh! Gemes banget yaa?"
***
"Pete di abang-abang sayur yang lewat lagi jelek-jelek, Mbak. Harganya mahal juga, jadi nggak aku beli."
Gara-gara Geryl menyebut udang pete balado kemarin, Alesia langsung berpesan pada Yuni untuk mencegat abang-abang sayur yang lewat untuk beli pete. Namun, Yuni enggak berhasil mendapatkannya.
"Carinya di mana ya, Mbak?" gumam Alesia.
"Ke pasar aja, Mbak."
"Sekarang masih buka nggak ya?" Alesia melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul dua siang.
"Besok pagi aja Mbak, lebih fresh. Kalau jam segini, biasanya tinggal dapet sisaan yang jelek-jelek."
Alesia manggut-manggut. Atas saran dari Yuni itulah, Alesia memasang alarm lebih pagi untuk ke pasar dulu.
Keesokan harinya, pukul lima pagi dia sudah bangun, mengganti baju dan bersiap ke pasar.
Berhubung Illian belum bangun, Yuni diutus untuk menjaga Illian di rumah saja. Sebenarnya Yuni sudah menawarkan diri agar ia yang ke pasar, sementara majikannya di rumah saja. Namun, Alesia juga penasaran dengan pasar di Jakarta itu seperti apa, mengingat terakhir kali ia ke pasar adalah saat masih kuliah, itu pun di Yogyakarta.
Dengan berbekal pengalaman masa kuliahnya dulu, Alesia pun percaya diri ke pasar sendirian, naik ojek.
Ternyata pasar di dekat komplek rumahnya jauh lebih besar dibanding yang pernah ia datangi di Yogyakarta. Sayuran yang dijual juga sangat lengkap, membuat Alesia kalap.
Perempuan itu sudah lupa dengan tujuan utamanya. Dia memutari seluruh area pasar, membeli berbagai bahan masakan mulai dari sayuran, daging, udang, ikan, dan masih banyak lagi. Biasanya ia belanja ini semua di supermarket. Dan mengetahui selisih harga yang cukup jauh, membuat ia semakin kalap berbelanja banyak.
Sampai lupa kalau ia harus segera pulang dan memasak untuk bekal suaminya.
Ketika sampai rumah, sudah pukul tujuh. Suaminya sudah di meja makan, sarapan bersama Illian yang berseru heboh melihat kedatangan Mamanya.
"Kenapa lama sekali?" Geryl langsung menegurnya.
Alesia tidak menjawab, menaruh semua bahan masakan yang ia beli di dapur, lalu mengambil minum untuk membasahi kerongkongannya. Melelahkan sekaligus menyenangkan sekali. Sepertinya darah emak-emak betulan sudah mengalir dalam dirinya, sehingga ia lebih suka berbelanja bahan masakan ketimbang belanja tas atau sepatu brandeddi mal.
"Maaf ya, Mas. Niatnya aku mau beli pete di pasar buat bikinin kamu udang pete balado kayak waktu itu. Tapi ... aku kelamaan ya?" Alesia mengikat rambutnya menjadi ekor kuda sambil mendekat pada Geryl yang sarapannya sudah hampir habis.
"Nggak papa, buat besok aja."
"Eh, apa aku kirimin makan siangnya ke kantormu aja ya?" Sebuah ide cemerlang muncul di kepalanya. "Kira-kira, jam 10 udah jadi kok! Mau kan, Mas?"
"Mau."
Senyum Alesia mengembang penuh semangat. Kemudian Geryl bangkit dari kursinya, mendekati Illian untuk mengecup pipinya, berpamitan mau kerja.
Ketika Geryl mendekat, Alesia langsung mengacungkan tangan. "Nggak usah cium! Aku keringetan!"
Tapi Geryl mengabaikan peringatnnya. Pria itu tetap mengecup keningnya setelah Alesia salim.
Semangat Alesia untuk masak udang pete balado makin membumbung tinggi. Mood-nya naik drastis, tidak sabar ingin memasakkan makanan kesukaan suaminya itu. Rasanya sudah lama sekali dia tidak sesemangat ini.
Pukul sembilan pagi, Alesia sudah selesai memandikan Illian. Dia minta tolong Yuni untuk mengawasi Illian bermain di ruang tengah, sementara ia mulai memasak.
Butuh waktu lama baginya untuk memasak, karena harus mengupas udangnya satu per satu. Ia juga menambahkan menu cah kangkung untuk melengkapi menu makan siang suaminya.
Setelah tes rasa beberapa kali, dan meminta Yuni mencicipi juga, masakannya pun sempurna. Rasanya benar-benar enak. Alesia tidak berhenti mencomot udangnya, sambil terus berseru heboh, memuji hasil dirinya sendiri. Andai saja rumah mertuanya ada di dekat sini, ia pasti akan memamerkan hasil masakannya ke mertuanya juga, saking enaknya.
Sambil menunggu nasinya matang, Alesia mandi dulu. Di dalam kamar mandi, muncul sebuah ide di kepalanya, untuk datang ke kantor Geryl, sekalian menemaninya makan.
Masa selama tiga bulan lebih pernikahan, ia baru tau gedung suaminya beberapa minggu lalu? Dan sampai sekarang ia belum pernah masuk sama sekali.
Alesia langsung membayangkan betapa seksinya Geryl saat berkutat dengan pekerjaannya. Ia pun semakin semangat menyelesaikan mandinya, memilih outfit, dan styling rambutnya.
Sebagai istri dari CTO perusahaan teknologi terbesar di kota ini, Alesia harus berpenampilan elegan dan enggak norak. Dia memilih blouse katun tanpa lengan yang dibalut dengan blazer dan kulot berwarna senada. Tidak lupa memakai high heels dan tas Birkin, kado dari Maminya.
"Illian tidur, Mbak?" Alesia masuk ke kamar Illian dan mendapati Yuni baru saja menaruh Illian ke box bayi.
"Iya, Mbak. Udah dari tadi sih, ini baru aku pindah ke box." Yuni memindai penampilannya dari atas sampai bawah. Tatapannya berbinar takjub, tidak pernah melihatmajikannya berpenampilan seperti ini. "Mau ke mana, Mbak?"
"Mau nganter bekal ke kantor Mas Geryl. Nitip Illian bentar ya, Mbak? Nggak lama kok! Paling jam dua udah balik."
Tanpa menunggu sahutan ART-nya, Alesia langsung menuruni anak tangga. Ini sudah pukul sepuluh lebih. Dia harus bergerak cepat agar sampai di kantor suaminya sebelum jam makan siang.
Sekarang Alesia sudah turun dari Bluebird eksekutif tepat di depan lobi utara sesuai pesan suaminya. Sambil berjalan ke lobi, Alesia mengirimkan pesan pada suaminya, kalau sudah sampai. Tadi ia sudah menginfokan kalau dirinya yang akan datang mengantarkan bekal, tidak jadi pakai ojol.
Namun, pesan itu belum dibalas.
Alhasil, Alesia mencoba bertanya pada resepsionis, barangkali ia bisa langsung ke ruangan suaminya.
"Oh, Ibu Alesia ya?"
"Iya, betul."
"Tadi Pak Geryl sudah berpesan, Ibu bisa langsung naik saja." Kemudian pegawai resepsionis memanggil satpam untuk mengantarnya.
Ketika sudah sampai di lantai tempat ruangan Geryl berada, satpam tersebut langsung mengenalkan Alesia pada Jordy, sekretaris suaminya.
Sepeninggal satpam, Jordy mengatakan, "Pak Geryl sedang meeting dengan jajaran direksi, Bu. Kemungkinan sebentar lagi selesai. Ibu bisa menunggu di ruangan Bapak."
"Terima kasih, ya!" Alesia tersenyum ramah, mengikuti langkah Jordy menuju ruangan Geryl.
"Wah, ternyata Bu Alesia jauh lebih cantik dari yang dibilang orang-orang ya!" puji Jordy pelan.
Alesia mengibaskan rambutnya penuh percaya diri. "Oh, jadi saya sering digosipin ya, di sini?"
Jordy mengulum senyum malu-malu. "Diomonginnya in a good way kok, Bu. Pacar saya suka banget sama outer printing Jean.id. Beberapa karyawan di sini juga suka banget! Kami suka saling nitip beliin, kalau Jean.id lagi ada promo flashsale. Ada yang suka buka jastip juga. Soalnya kan, harus gercep banget ya, kalau mau beli. Saya maupun pacar saya sering gagal dapetinnya!"
Alesia terperangah. Ini pertama kalinya ia bertemu orang yang memuji brand-nya secara langsung. Dan melihat bagaimana semangatnya Jordy mengatakan itu semua, Alesia turut merasakan ketulusannya.
"Makasih banyak ya ... maaf, Mas siapa tadi namanya?"
"Jordy, Bu." Mereka berjabat tangan.
"Ah, iya. Mas Jordy, makasih banyak ya! Lain kali, saya bawain deh outer-outer-nya, buat pacar kamu dan karyawan lainnya juga."
"Wah, dengan senang hati, Bu! Saya dan temen-temen yang lain sering bilang ke Pak Geryl minta diselipin produk Jean.id di hampers lebaran, natal atau tahun baru. Tapi Pak Geryl pelit banget, enggak pernah mau!" adu Jordy.
Alesia terkekeh sopan. Bingung juga kenapa Geryl nggak mau. Padahal kalau Geryl bilang padanya, dengan senang hati ia akan menyiapkan stok khusus.
"Okay, besok kalau ada waktu yang pas, saya bagi-bagi yaa! Nanti saya bilang dulu sama Mas Geryl, enaknya kapan."
"Ah, mending pas gathering kantor besok weekend aja, Bu. Ibu pasti diajak, kan? Pasti seru banget kalau kompakan pakai produk Jean.id!" seru Jordy antusias.
"Gathering kantor?" Alesia mengernyit bingung. Sama sekali tidak tahu apa-apa.
"Loh, Pak Geryl belum bilang ke Ibu ya?" sahut Jordy. "Besok weekend ada gatheringtahunan di Bali, Bu. Setiap karyawan boleh mengajak keluarga."
Alesia manggut-manggut. "Waktu itu Mas Geryl memang sudah sempat bilang, tapi cuma sekilas, jadi saya nggak ngeh."
Padahal kenyataannya, Geryl sama sekali tidak pernah membahas apa pun soal gathering itu!
Ah, mungkin suaminya itu belum sempat bilang.
"Kalau gitu saya permisi dulu ya, Bu."
"Oke, terima kasih ya!"
"Sampai jumpa besok weekend ya, Bu! Ditunggu produk-produk Jean.id-nya!"
Alesia cuma tertawa menanggapinya. Sepeninggal Jordy, Alesia langsung mengirim pesan pada Vika untuk menyiapkan stok khusus yang akan dibagikan pada karyawan suaminya. Dia belum tahu berapa jumlah karyawan di divisi suaminya, tapi untuk berjaga-jaga dia meminta tiga lusin. Dia juga scroll marketplace, mencari bikini-bikini lucu yang cocok dibawa ke Bali.
Saat mengecek kalender, ternyata besok adalah long weekend! Apa dia sekalian meminta Geryl untuk extend di Bali? Anggap saja, ini honeymoon mereka yang sangat terlambat.
Yang jelas, Illian nggak boleh ikut. Karena kalau Illian ikut, bukannya honeymoon, yang ada kegiatan yang ada dalam imajinasi Alesia nggak akan terwujud.
Ingatan Alesia tertuju pada momen beberapa hari lalu, ketika Geryl menyentuhnya. Memang sih, itu nggak berlanjut ke mana-mana. Tapi setidaknya itu membuat Alesia percaya diri kalau sebenarnya, Geryl tertarik padanya. Ia hanya perlu memakai bikini, lalu suasana Bali yang menenangkan pasti berhasil membuat Geryl tidak bisa menahan diri lagi.
Alesia benar-benar tidak sabar!
***
Bab 28: Ekspektasi
Semuanya sudah siap. Hanya dalam waktu tiga hari, Alesia berhasil membeli berbagai macam outfit yang akan ia bawa ke Bali. Sebagai pembelaan, sudah lama sekali ia tidak belanja baju-baju lucu. Jadi, nggak ada salahnya untuk berbelanja lebih banyak.
Semua barang belanjaan yang ia beli secara online pun sudah datang. Termasuk juga produk Jean.id yang akan ia bagikan pada teman-teman Geryl di kantor. Semuanya sudah sempurna.
Satu-satunya yang membuat Alesia resah adalah, sampai detik ini, tepat sehari sebelum Geryl berangkat ke Bali—menurut informasi dari Jordy, belum ada tanda-tanda pria itu bakal memberitahunya. Alesia sengaja menunggu dengan sabar, menantikan kapan Geryl akan mengajaknya soal gathering kantor itu.
Tapi kenapa Geryl kelihatan lempeng-lempeng saja dari kemarin? Apakah pria itu nggak akan ikut?
Mana mungkin dia nggak ikut? Mengingat jabatannya di kantor yang cukup penting, Alesia rasa, Geryl nggak mungkin nggak ikut.
"Adek udah bisa milih ya sekarang, mau dibacain cerita apa!" Geryl masuk ke kamar seusai menidurkan Illian.
Beberapa hari terakhir, Alesia meminta Geryl bergantian membacakan buku untuk Illian sekaligus menidurkannya. Salah satu cara agar hubungan Geryl dengan Illian makin dekat.
Selain itu, Alesia jadi punya waktu lebih banyak untuk memakai skincare. Dia betul-betul ingin kembali menjalani rutinitasnya sebelum badai menerpa, kembali membeli berbagai macam skincare, shopping, dan perawatan kulit agar lebih glowing.
Awalnya Geryl canggung sekali, dia tidak tahu bagaimana caranya membaca buku anak-anak. Pria itu memang hobi membaca buku, tapi buku-buku yang dibaca selalu bertema teknologi, ekonomi, atau psikologi, yang semuanya dibaca dalam hati dan tidak butuh intonasi yang ceria.
Setelah beberapa kali diajari, kini Geryl mulai terbiasa dengan hal itu. Sudah dibilang, Geryl adalah pembelajar yang cepat.
"Iya, dia makin cerewet sekarang! Udah bisa request minta makan sendiri juga!" Alesia yang sudah lebih dulu rebahan, langsung meletakkan ponsel, menyambut kedatangan suaminya yang turut berbaring di sebelahnya.
Kini saling berpelukan sebelum tidur bukan lagi hal yang canggung bagi mereka. Alesia pun enggak segan-segan memeluk duluan, sambil sesekali mengobrol ringan, sebelum benar-benar terlelap.
"Oh iya, besok Jum'at ..."
"Le, besok Jum'at aku ..."
Alesia tertawa, sementara Geryl hanya tersenyum tipis ketika mereka bicara berbarengan.
"Kamu dulu!" Geryl mengalah.
"Enggak, kamu dulu aja."
Akhirnya Geryl melanjutkan ucapannya. "Besok Jum'at aku ada gathering di Bali. Sampai Senin pagi. Paling Senin siang udah sampai sini. Kamu mau bantu aku packing?"
Tawa Alesia pudar. Ia berusaha mencerna kata-kata yang keluar dari mulut suaminya. Pelukannya merenggang.
Aku?
Itu artinya Geryl enggak berminat mengajak Alesia, kan?
Perasaannya campur aduk tidak karuan. Matanya memanas, serasa ingin menangis. Untung saja Geryl sudah mematikan lampu, sehingga dalam kondisi remang-remang begini, pria itu tidak bisa melihat wajahnya yang dongkol dan sebentar lagi menangis.
"Packing-nya besok aja nggak papa. Besok dari kantor aku langsung ke bandara aja, biar enggak bolak-balik. Jadinya nggak papa kalau aku berangkat agak siang—jam sembilanan gitu."
Ucapan Geryl selanjutnya semakin menegaskan kalau Alesia sama sekali enggak dimasukkan ke dalam rencana itu. Alias ia benar-benar nggak diajak!
Sebenarnya ada banyak sekali pertanyaan yang muncul di kepalanya, tapi mulutnya urung mengutarakan apa pun. Ia hanya menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan tangis.
"Kalau kamu nggak bisa bantu packing, nggak papa sih, nanti aku—"
"Oke, nanti kubantu."
***
"Kayaknya dia belum anggap gue sebagai istri deh!" Alesia meratapi nasibnya sambil curhat pada Vika melalui video call.
"Kenapa lo nggak bilang sama dia?" sahut Vika.
"Bilang apa?"
"Ya, bilang, kenapa nggak ngajak? Emang gathering kantornya tuh ngapain aja? Atau gimana gitu kek!" Vika agak emosi mendengar cerita Alesia yang langsung nangis-nangis nggak jelas setelah ditinggal ke Bali, tanpa mengatakan apa pun pada suaminya.
"Emang sih, ada kemungkinan dia bakal langsung ngajak gue, kalau gue bilang pengen ikut. Toh, Jordy bilang, gathering ini tuh boleh ajak plus one. Tapi ... deep down gue maunya dia yang ngajak gue duluan. Gue nggak mau dia ngajak gue karena terpaksa."
Vika terdiam. Membiarkan Alesia terus menumpahkan isi hatinya.
"Goblok ya, gue! Pede banget langsung nyimpulin kalau Geryl udah mulai baper sama gue, cuma gara-gara kita udah sering pelukan tiap tidur." Kini Alesia mengacak-acak rambutnya frustasi, tidak bisa mengeluarkan suara kencang-kencang karena Illian sedang tidur siang.
"Cowok mahh, jangankan pelukan, mereka bisa having sex tanpa perasaan kali!" Sahutan Vika membuat Alesia merasa semakin tolol.
"Gue yang nggak bisa! Makin lama dipeluk ... perasaan gue jadi nggak karuan. Wajar kan, kalau gue baper sama dia?! Dia tuh selalu nurutin kemauan gue. Mana makin hari, gue liat dia auranya kayak makin cakep gitu lagi! Terus ... ahhhh! Gue kayaknya udah sayang beneran sama dia deh, Vik! Hati gue sakit banget sekarang!"
"Lo ngerti perasaan gue, kan? Gue egois nggak sih, kalau sekarang gue berharap Mas Geryl bisa cinta sama gue?" Alesia menatap layar ponselnya dengan cemas, meminta validasi. "Emang sih, pas awal nikah gue sama sekali nggak berpikiran bakal ada cinta di antara kami. Tapi wajar kan, kalau perasaan orang berubah seiring berjalannya waktu?"
Sebelum Vika menyahut, Alesia terus mencerocos. "Tolol banget gue! Baru berapa bulan udah jatuh cinta. Hati gue lemah banget nggak sih?"
"Wajar kok! Gue juga kalau punya suami se-charming Mas Geryl juga pasti bakal langsung jatuh cinta. Ah, malahan kayaknya gue udah jatuh cinta seminggu setelah nikah. Gue akui, lo keren sih, bisa nahan diri selama tiga bulan."
"Lo kebayang, kan? Selama tiga bulan gue berusaha menahan diri mati-matian. Terus sekali aja gue lengah dan membuka diri, langsung ambrol semua pertahanan gue. Tiba-tiba ... duar! Gue jatuh cinta sama dia."
Vika manggut-manggut. "Iya, gue ngerti. Lagian wajar banget sih, kan itu suami lo sendiri! Nggak wajar itu kalau lo naksir suami orang!"
"Jadi anggaplah tiga bulan kemarin itu, gue kasih dia waktu buat move on dari Kak Tishia. Menurut lo, cukup nggak waktu tiga bulan buat move on? Kira-kira hatinya udah siap buat membalas cinta gue belum?"
Kali ini Vika nggak langsung menyahut. Ia tampak berpikir sejenak, sebelum akhirnya menjawab. "Hati manusia tuh nggak ada yang tahu, Les. Beda-beda. Ada yang butuh waktu sehari, buat move on. Ada yang sebulan, setahun, atau dua tahun. Yang butuh waktu seumur hidup juga ada."
"Seumur hidup?!" pekik Alesia makin frustasi.
"Adaa! Buktinya lagu ST12 tuhhh! Satu jam saja ... kutelah bisa, cintai kamu, kamu, kamu ... di hatikuuu! Namun, bagiku ... lupakanmu butuh, waktuku seumur hidup .... woooo!"
Kepala Alesia makin pening saat mendengar Vika menyanyi dengan heboh.
Lalu Vika tertawa. "Bercanda, Les! Gue rasa tiga bulan tuh udah waktu yang pas kok! Nggak papa lo mulai berjuang sekarang. Gue yakin, dengan apa yang lo punya sekarang, nggak sulit bagi Mas Geryl buat bales perasaan lo."
"Tapi gue ngerasa ... kayak lagi ngehianatin Kak Tishia, Vik." Mata Alesia kembali berkaca-kaca.
Vika menarik napas panjang. "Kalau dipikir-pikir, wajar sih, lo ngerasa gitu. Secara Mas Geryl adalah suami Kakak lo. Tapi, coba lo pikir ke depan deh. Dari awal kalian nikah, apa ada rencana buat cerai?"
Alesia menggeleng.
"Berarti hubungan kalian beneran untuk jangka panjang, kan?"
Dengan ragu, Alesia mengangguk.
"Kalau gitu, perasaan lo nggak salah sama sekali. Emangnya lo mau hubungan lo kaku terus kayak tongkat paskibra sampai selamanya? Nggak mau, kan? Gue yakin Illian nggak akan happy kalau hubungan orangtuanya sekaku itu!"
"Dan udah seharusnya Mas Geryl mulai move on. Bukan untuk melupakan Kakak lo, tapi untuk melanjutkan hidup. Bagaimanapun luka kehilangan yang ia peroleh, nggak boleh bikin dia berhenti melangkah, kan? Jalan hidup dia, lo dan Illian masih panjang. Mas Geryl nggak boleh terlalu lama larut dalam rasa kehilangannya."
"Thank you, Vik. Kata-kata lo barusan beneran berharga banget buat gue!"
Vika tersenyum lebar. "Meski jalannya mungkin agak susah, gue yakin perjuangan lo buat dapetin cinta Mas Geryl nggak akan sia-sia."
"Lo bisa terbang ke sini aja nggak sih, malam ini juga! Mumpung si manusia kaku itu lagi nggak ada!" tanyanya sambil mengelap air mata yang membasahi pipinya.
"Dadakan banget lo ngajaknya! Nggak dari kemaren! Gue udah keburu ada janji sama temen gue!" sahut Vika dengan raut tidak enak. "Padahal gue juga pengen banget deh, main sama Illian seharian. Sambil manifesting supaya cepetan ada cowok tajir melintir macem suami lo yang mau nikahin gue, jadi gue bisa cepetan hamil dan ngelahirin jodohnya Illian."
Alesia mendengus. "Ya udah dehh, have fun ya, Vik. Gue mau lanjut nangis dulu deh!"
Tak lama setelah Vika berbasa-basi, sambungan video call terputus. Alesia langsung merebahkan tubuhnya di kasur. Pandangannya tertuju pada jam dinding.
Sudah pukul tiga sore.
Ia mengecek ponselnya sekali lagi meski tidak ada notifikasi pesan masuk. Kalau menurut ucapan Geryl tadi pagi, pria itu flight pukul dua siang. Suaminya itu berjanji akan memberikan kabar kalau sudah sampai.
Mari kita lihat, apakah janjinya akan ditepati atau tidak?
***
Nyatanya, sudah pukul delapan malam, dan Geryl belum mengirimkan pesan apa-apa. Perasaan Alesia semakin carut-marut. Geryl benar-benar lupa kalau punya istri ya?
Atau Geryl memang nggak pernah menganggapnya sebagai istri?
Sebelum menidurkan Illian, Alesia memberanikan diri mengirimkan pesan, "asyik banget ya, liburan di Bali sampe lupa anak-istri!"
Ya ampun, ini kekanakan banget nggak sih? Tapi wajar kan, kalau Alesia kesal? Ini bahkan sudah lewat tiga jam dari waktu suaminya mendarat di Bali. Dan pria itu mengingkari janjinya!
Alesia ingin menarik pesannya, tapi tandanya sudah lebih dulu berubah, terbaca. Ia pun meletakkan ponsel di nakas. Tidak lama kemudian, ponselnya bergetar. Nama 'Mas Geryl' terpampang di layar.
"Dek, kenapa sih, Ayahmu nyebelin banget? Mama pengen nangis lagi, nih jadinya!" Alesia mengabaikan panggilan itu, karena sudah terlanjut kesal pesannya tidak dibalas sejak tadi.
Kini ia hanya mendekap Illian yang sejak tadi mengoceh tidak jelas.
***
Illian sudah tidur. Tumben banget anaknya ini langsung tidur tanpa minta dibacakan buku dulu. Bayinya itu langsung terlelap setelah menyusui. Dalam hati Alesia berterima kasih karena Illian paham dengan buruknya suasana hatinya sekarang.
Bodoh sekali dirinya yang berpikir, bisa mendapatkan Geryl dengan mudah setelah pria itu mau tidur seranjang dengannya, dan memeluknya setiap malam. Bukankah itu hal yang sangat mudah bagi kebanyakan pria?
Alesia menemukan dua pesan dari suaminya, yang dikirimkan setelah menelepon tiga kali, dan semuanya tidak diangkat.
Mas Geryl: aku gak liburan
Mas Geryl send a picture.
Foto itu menampakkan meja makan bundar yang dikelilingi oleh orang-orang berdasi formal. Entah Geryl sengaja atau tidak, fotonya di-crop sehingga yang terlihat hanya setengah badan bagian bawah.
Sudah. Itu saja yang dikirimkan suaminya. Padahal yang Alesia maksud bukan perkara dia ke Bali untuk liburan atau kerja! Tapi soal janjinya yang mau memberi kabar!
Bahkan sampai dua jam berlalu, tidak ada kabar lagi dari suaminya. Sudahlah. Alesia seharusnya menyerah saja. Geryl nggak akan mengirimkan deretan pesan panjang lebar, entah apa pun situasinya.
Jadi sejak sekarang, Alesia harus menyiapkan hatinya sampai beberapa hari ke depan, karena ia tidak akan mendapat kabar apa pun dari suaminya. Padahal, detik ini pun ia sudah kangen berat. Tapi bagaimana caranya mengobati kangennya?
Ketika Alesia hendak meletakkan ponselnya di nakas dan bersiap tidur, sebuah notifikasi masuk. Bukan dari suaminya. Itu sebuah email.
Kening Alesia mengernyit ketika mendapati nama mantannya dalam email tersebut. Kenapa dirinya masih diseret dalam urusan mantannya?!
Demi Tuhan, ia sudah benar-benar melupakan Mario. Tidak pernah terbesit sosok Mario di kepalanya. Dia sudah memblokir kontak, social medianya, dan apa pun yang berhubungan dengan pria itu.
Lalu di saat hidupnya berangsur-angsur membaik, untuk apa si brengsek itu muncul lagi?
***
"WAAHHH PINTERNYA ANAK MAMA!" Alesia berseru histeris kala melihat Illian yang biasanya cuma merambat di sofa, mulai berani berdiri sendiri tanpa pegangan.
"Ayo sini jalan ke Mama, pelan-pelan Sayang!" Alesia langsung bertepuk tangan heboh, memancing Illian untuk melangkah.
Namun, Illian hanya tepuk tangan beberapa kali, kemudian duduk lagi. Alesia langsung memeluknya sambil mendaratkan hujan ciuman di pipi gembul anaknya.
"Hebat banget kamu, Dek! Baru sepuluh bulan udah bisa berdiri sendiri! Ayo semangat belajar jalannya, Dek! Biar kamu bisa lari-lari sendiri di playground pas Mama belanja di mal!"
"Nen ... Mamaaaa!" Ketika disuruh mencoba berdiri lagi, Illian menolak dan terus memeluk Alesia sambil menarik-narik baju.
Seiring berjalannya waktu, kosakata Illian makin banyak. Anaknya ini sudah bisa membedakan mana Mama dan Ayah dengan benar, sudah bisa minta makan, minta susu, atau minta berhenti disuapi kalau sudah kenyang.
Sekarang Alesia sedang berlatih mengajarkan Illian beragam warna dan huruf alfabet, agar tidak kalah dengan kepintaran Rayyanza. Sayangnya, ia tidak segigih Sus Rini—baby sitter Rayyanza, sehingga setiap kali Illian menolak diajari karena bosan, Alesia pun berhenti. Jadinya, perkembangan Illian enggak secepat Rayyanza—bayi kecintaan netizen itu.
"Ini masih jam tujuh loh, Dek! Kamu kok udah ngantuk sih? Padahal Mama mau ngajak kamu jalan-jalan berdua, mumpung nggak ada Ayah!" Seharian ini Alesia memang mengajak Illian bermain terus. Wajar saja kalau bayinya ini sudah terlihat sangat lelah.
"A ... yahhh?"
"Iya, Ayah kan sekarang lagi di Bali. Kita nggak diajak, Ayah nyebelin yaa?"
"Mamyaahh nyayaamamamm?"
Meski nggak paham apa yang diucapkan anaknya, Alesia terus menanggapi seolah-olah obrolan mereka nyambung. "Coba besok kalau Ayah pulang, kamu bilang dong sama Ayah! Ayahh, Adek mau ke Bali! Gitu."
"Ayo coba ikutin Mama! Ayahh ..."
"Aa ... yahhh!"
"Adek .... "
"Ceeee ...."
"Mauuuu ...."
"Auuuu ...."
"Keee ...."
"Eeee ...."
"Ba-li!"
"Caaa ... yi!"
Tawa Alesia pecah. Sadar kalau itu terlalu rumit, Alesia pun mulai mengetes keahlian Illian yang juga sudah bisa mengingat organ tubuhnya.
"Mulut Adek mana, mulut Adek?"
"Kalau ... kepala Adek mana?"
"Pinternyaaa!"
"Tangan Adek manaa?"
Setelah mengabsen beberapa anggota tubuh, gantian Alesia pindah ke bab lain. Alesia mengangkat satu tangan Illian. "Ini namanya siapa? Illi?"
"Yan!"
"Pinter!"
Lalu Alesia menunjuk dirinya sendiri. "Kalau ini siapa?"
"Mama."
"Pinternyaaa!"
"Dek, Mama kangen banget sama Ayahmu!"
"Mameniyaahh Mama?"
"Iya, Mama kangen! Udah tiga hari Mama nggak peluk Ayahmu! Mana pulangnya masih besok lagi!"
Illian balas mengoceh dengan tidak kalah heboh, seolah bayi ini tahu apa yang Alesia katakan.
"Ayo, hug Mama! Mama lagi sedih!"
Alesia tertawa lebar ketika Illian menurutinya. "Kiss Mama! Kiss Mama!"
Lagi-lagi Illian menurut.
"Makasih ya, Dek! Ayo kita tidur!"
Tanpa sadar obrolannya dengan Illian menghabiskan waktu lama, sehingga keinginannya untuk keluar pun batal. Lagi pula Illian kembali merengek minta nen, sehingga Alesia pun mengalah, dan langsung membawanya ke kamar.
"Kasihan banget Ayah nggak lihat kamu bisa berdiri sendiri ya tadi! Salah sendiri Ayah ke Bali enggak ngajak-ngajak kita ya, Dek!" Alesia terus mengoceh agar Illian enggak rewel, sementara ia mengganti baju dan popoknya. Anaknya ini kalau sudah mengantuk bakal rewel banget, kecuali kalau diajak ngobrol.
"Makasih ya, Dek, karena udah selalu nemenin Mama. Mama nggak tahu deh, bakal nangis sekeras apa kalau nggak ada kamu!"
"Mama ...."
"Iya ... iya, ayo tidur! Malam ini Mama mau tidur sama Adek di sini!" Alesia memposisikan Illian di kasur, sebelum akhirnya ikut rebahan dan mulai menyusui anaknya.
Karena ia berniat untuk tidur bareng Illian, Alesia pun sengaja langsung memejamkan mata, saat sedang menyusui, sampai akhirnya benar-benar terlelap.
***
Entah sudah berapa jam ia tertidur. Mimpi indahnya terusik ketika ia merasakan tepukan beberapa kali di bahunya, yang membuat ia terkejut, nyaris memekik.
Napasnya terengah-engah, ketika mendapati sosok suaminya berdiri di sisi kasur dengan sorot tajam.
Suaminya kan masih di Bali! Jangan-jangan ini setan yang menyamar jadi suaminya?!
Alesia hendak berteriak, tapi suara berat itu lebih dulu terdengar.
"Jangan teriak! Nanti Adek bangun!" Suara datar itu membuat Alesia bisa bernapas lega, karena yakin kalau ini pasti suaminya. Ia yakin, nggak ada setan yang bisa menandingi datarnya suara suaminya.
"Kok udah pulang? Bukannya flight besok pagi?" Pelan-pelan Alesia bangkit dari posisinya, dan ia baru sadar kalau sejak tadi salah satu payudaranya masih terbuka, setelah menyusui Illian.
Buru-buru ia membetulkan posisi tanktop-nya yang turun sebelah.
Situasi ini bukan pertama kalinya terjadi. Geryl suka tiba-tiba masuk ke kamar saat ia sedang menyusui Illian. Awalnya canggung sekali, Alesia serasa sedang ditelanjangi bulat-bulat, meski yang dilihat Geryl hanya sebelah payudaranya.
Namun, mengingat kalau kamar ini punya CCTV dan Geryl bisa mengeceknya kapan saja, bisa dipastikan pria itu sudah sering melihatnya melalui CCTV. Jadi, Alesia santai saja. Toh, ini suaminya sendiri, bukan suami orang.
Dan sebenarnya, ini juga salah satu alasan yang membuat Alesia frustasi. Pasalnya, setelah berkali-kali melihat Alesia memakai pakaian ketat, seksi, kurang bahan, tembus pandang, bahkan lihat payudaranya secara langsung dengan jarak dekat, Geryl tidak juga menyentuhnya!
Hanya sekali, ketika pria itu memeluknya untuk pertama kalinya. Setelahnya, tangan besar berurat itu tidak pernah khilaf lagi. Rasanya seluruh pakaian seksi yang Alesia pakai di rumah sama sekali tidak ada harga dirinya karena Geryl enggak pernah meliriknya sama sekali.
Karena Alesia enggak langsung berdiri dari kasur, tiba-tiba saja Geryl menarik tangannya.
"Bentarrr!" Alesia berusaha menahan. Ia memberi isyarat ingin menaruh bantal-bantal menyerupai benteng di sekitar kasur Illian lebih dulu.
Setelah memastikan Illian aman, Alesia membiarkan Geryl menyeretnya keluar kamar.
Sampai keduanya berada di dalam kamar, Alesia tidak mengatakan apa-apa. Geryl melepaskan tangannya setelah mengunci pintu.
Entah kenapa, melihat pintu yang terkunci, Alesia jadi gugup. Padahal pintunya memang selalu dikunci setiap malam.
"Masih ngambek?" cibir Geryl sambil menggulung lengan kemejanya.
Alesia melirik jam dinding. Sudah pukul sebelas malam. "Kenapa pulang malam ini? Katanya besok pagi?"
"Acara intinya udah selesai sore tadi. Sengaja langsung pulang biar nggak ada yang nuduh aku liburan, padahal itu acara kantor!"
"Aku nggak nuduh kamu liburan!"
"Terus apa?"
"Kamu ingkar janji! Katanya mau ngabarin begitu landing?! Mana? Sampai kamu balik ke Jakarta pun nggak ngabarin apa-apa!"
"Kamu nggak pernah angkat teleponku!"
Alesia hanya memutar bola mata. Tidak ingin menghabiskan tenaga untuk berdebat lagi. Ia memilih masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum tidur.
Rupanya Geryl masih belum puas dengan perdebatan mereka. Pria itu duduk di pinggir kasur dengan tatapan tajam, bersiap mengkonfrontasi Alesia lagi.
"Gara-gara gitu doang kamu ngambek?"
Sungguh, tatapan tajam sekaligus meremehkannya ini benar-benar mengganggu Alesia. Namun, Alesia tidak menanggapinya, khawatir kalau terus membalas ucapannya, dia malah keceplosan bilang cinta.
"Aku udah bilang sejak awal kan, ayo kita bikin hubungan kita lebih simpel! Kalau kamu pengen ikut ke Bali, tinggal ngomong! Nggak usah pake ngambek-ngambekan kayak gini!"
Alesia yang tengah memakai skincare-nya di depan meja rias, tidak kuasa menahan diri lagi. Ia pun memutar tubuhnya untuk melayangkan tatapan sengit pada suaminya.
"Iya, emang aku salah karena enggak bilang langsung sejak awal. Maaf ya, Mas, karena aku bikin hubungan kita jadi ribet. Aku sempat berharap diajakin liburan ke Bali sama suamiku, karena info yang aku dengar dari Jordy, acara gathering-nya boleh mengajak keluarga. Dan ternyata ekspekstasiku ketinggian, jadi aku kecewa dan ngambek."
Napas Alesia semakin memburu, emosinya naik turun. "Sori, kalau menurutmu ini terlalu kekanakan. Aku cuma berharap bisa diajak pergi karena kamu emang mau pergi sama aku. Bukan terpaksa ngajak karena aku yang minta ikut duluan."
Geryl belum juga menanggapi, sampai Alesia berbaring di kasur dan membelakanginya. "Udah ya, Mas, kamu pasti capek baru sampe dari Bali. Aku juga capek seharian ngejar Illian merangkak muterin rumah."
***
Bab 29: Rekonsiliasi
Malam itu pertengkaran mereka berakhir begitu saja meski masih ada yang mengganjal di dada masing-masing. Keduanya sama-sama lelah, jadi menyetujui keinginan Alesia untuk tidak meneruskan perdebatan.
Keesokan harinya, Alesia menjalani rutinitasnya seperti biasa. Ia pun tidak bisa mendeskripsikan bagaimana perasaannya sekarang. Ketimbang marah, dia malah merasa malu karena sudah keceplosan mengutarakan harapan-harapan liarnya yang seharusnya enggak boleh ada. Alhasil, begitu membuka mata saat subuh, Alesia langsung menyibukkan dirinya agar tidak berhadapan dengan Geryl.
Sesuai rencana, ia mengajak Illian bermain di halaman belakang, sekaligus mengenalkan Illian pada tekstur rumput. Awalnya Illian menangis kencang, berusaha menghindari rumput yang masih terasa asing baginya. Kemudian bayinya itu langsung kegirangan ketika Yuni datang membawakan kolam renang pompa yang bisa menyemprotkan air mancur. Itu adalah kado dari Vika saat Illian mulai bisa merangkak beberapa bulan lalu.
Tidak lupa Alesia mengambil banyak video Illian yang tertawa-tawa kegirangan untuk dikirimkan pada Vika nantinya.
Setelah dua puluh menit bermain air, alarm yang Alesia setting berbunyi. Tanda kalau sudah waktunya berhenti, sebelum Illian masuk angin.
Rupanya tidak mudah untuk memberikan pemahaman pada Illian kalau ini sudah waktunya selesai. Illian langsung nangis kencang tidak karuan, berteriak-teriak tidak mau digendong.
Tidak tega melihat tangis yang meraung-raung, Alesia pun mengalah. "Oke, Mama kasih waktu lima menit lagi, setelah itu udah yaa?"
Meski tidak ada balasan tanda sepakat, Alesia kembali menyalakan timer. Illian kembali ceria bermain air dengan wajah memerah akibat tangisannya tadi.
Lagi-lagi, Illian tantrum ketika Alesia memperingatkan untuk selesai. Bahkan Alesia baru berjalan mendekat saja, Illian sudah teriak-teriak tidak terima. Dan ketika Alesia memaksa menggendongnya, Illian terus menggeliat sambil meraung-raung. Khawatir kalau bakal jatuh, mengingat badan Illian basah dan licin, Alesia pun menurunkan Illian dari gendongan saat mereka tiba di ruang tengah.
Tangis Illian makin parah. Selama sepuluh bulan ini, Alesia sudah beberapa kali menghadapi Illian tantrum lebih dari lima kali. Dan sampai sekarang Alesia enggak pernah benar-benar bisa menghadapinya.
Alesia sudah membaca berbagai macam buku parenting, juga melihat tips-tips parenting dari Youtube maupun Tiktok. Kebanyakan ahli menyarankan untuk membiarkan anak tantrum selama beberapa saat sampai bisa tenang sendiri, karena itu bagian dari cara anak meluapkan emosi dan melatih pengendalian diri. Kalau anak tantrum dipaksa berhenti, emosinya akan terpendam, dan itu enggak bagus untuk perkembangan emosinya seiring berjalannya waktu.
Namun, Alesia enggak tega mendengar tangis yang meraung-raung begini. Dia hanyalah manusia biasa yang masih perlu belajar lagi melatih kesabarannya.
Selain itu, dia juga harus memberi tahu batasan terhadap apa yang anak inginkan, juga memberitahu aturan yang berlaku. Kalau anak tantrum saat keinginannya nggak dituruti, lalu setelah menangis kencang malah dituruti, takutnya itu menjadi senjata untuk anak saat keinginannya nggak diwujudkan.
"Dek, kalau main airnya kelamaan, nanti Adek sakit!" Alesia berusaha memberikan pengertian pada Illian yang sedang berguling-guling di lantai dengan tangis yang makin kencang.
"Adek udah hampir setengah jam lho, main airnya! Kalau Adek nggak mau berhenti gini, besok lagi Mama nggak mau ngajak Adek main air lagi deh!"
Tangis Illian makin kencang.
Pandangan Alesia mengedar, sambil menghela napas. Yuni diam saja, datang membawa kain pel untuk mengelap lantai yang basah. Ia pun baru sadar kalau piyamanya juga basah kuyup, yang ternyata menjadi tembus pandang, memperlihatkan warna bra-nya, juga menonjolkan lekuk tubuhnya.
Namun, ini bukan waktu yang tepat untuk memikirkan dirinya sendiri. Lagi pula ... satu-satunya manusia yang tidak boleh melihat penampilan Alesia saat ini, sedang tidak ada di sini. Sepertinya Geryl sedang membaca buku di kamar, atau berkutat dengan komputernya di ruang kerja seperti biasa.
Atau mungkin sedang jogging. Biasanya kalau weekend suaminya itu pergi sejak pagi. Ngakunya sih jogging. Entah jogging beneran atau ngapain, Alesia enggak tahu. Padahal kalau dipikir-pikir itu enggak masuk akal, karena di rumah yang cukup besar ini, Geryl punya beberapa alat fitness, termasuk treadmill. Kalau Geryl lebih suka lari di luar rumah, untuk apa menghamburkan uang beli treadmill?
Belakangan Alesia merasa bahwa jogging itu hanya salah satu cara Geryl untuk menghindarinya. Karena setelah dipikir-pikir, saat hubungannya dengan Geryl membaik, Geryl enggak pergi jogging lagi. Dan berhubung semalam mereka sempat bersitegang, bisa jadi sekarang suaminya itu jogging lagi, untuk menghindarinya.
Panjang umur. Sosok yang sedang memenuhi benak Alesia itu menuruni anak tangga. Ternyata Geryl tidak jogging hari ini. Mungkin pria itu masih kelelahan setelah flight semalam. Dilihat dari rambutnya yang berantakan dan muka bantalnya, bisa dipastikan kalau suaminya itu memang baru bangun tidur.
"Kenapa, Dek?" Pertanyaannya tertuju pada sang anak, sehingga Alesia diam saja.
Tanpa disangka, Illian langsung merangkak menuju kaki Geryl dengan tangis yang mulai mereda. "Ayaahhhh!" Dengan dramatis, bayi itu mengangkat tangan di depan kaki Ayahnya, minta gendong.
Geryl langsung menggendongnya.
Setelah berada dalam gendongan Geryl, Illian merasa diatas angin dan terus merengek memanggil Ayah-ayah sambil menunjuk halaman belakang.
"Dia minta apa?" tanya Geryl dengan tatapan tertuju pada Alesia.
"Main air di belakang. Udah waktunya selesai. Dia nggak mau mentas." Bersamaan dengan penjelasan Alesia, tangis Illian kembali meraung-raung sambil terus memanggil Ayahnya.
"Nanti masuk angin, Mas, bawa dia ke kamar aja buat—" Perkataan Alesia tidak dilanjutkan lagi ketika Geryl malah menuruti kemauan Illian, kembali ke halaman belakang.
Bahkan kolam pompa yang tadinya sudah dikosongkan Yuni, kembali di isi air oleh Geryl. Illian langsung berseru kegirangan, ketika Geryl tidak sengaja menyemprotkan selang air ke arahnya.
"Ayaahhh! Ayahh! Giiiii!"
Dan Geryl menuruti semua keinginan anak kesayangannya itu.
Alesia betul-betul menangis menyaksikan itu semua. Dia tidak tahan menyaksikannya lebih lama, memilih langsung ke kamar untuk mandi. Hatinya dongkol tidak karuan. Bagaimana tidak, Alesia sudah menghabiskan waktu berjam-jam untuk belajar, agar bisa memberikan parenting terbaik bagi Illian.
Sementara Geryl, apa yang dia lakukan selama empat bulan pernikahan mereka?
Sibuk bekerja. Meluangkan waktu untuk Illian, tapi hanya nonton televisi berdua, tanpa ada komunikasi aktif. Membacakan buku sebelum tidur juga maunya cuma seminggu sekali, atau kalau disuruh aja.
Lalu di saat Alesia sedang mengusahakan yang terbaik untuk tumbuh-kembang Illian, Geryl merusaknya begitu saja.
Selama mandi, Alesia menangis kencang. Mumpung Geryl enggak akan masuk ke kamar sampai beberapa menit ke depan, ia bisa menangis sepuasnya.
Setelah mandi dan berganti baju, Alesia masih merasa kedinginan, padahal dia mandi pakai air hangat. Lalu bagaimana dengan Illian?!
Rasanya ia ingin menangis lagi.
Alesia menuruni anak tangga, dan mendapati Geryl tengah kesulitan menggendong Illian yang kembali meraung-raung, tidak mau berhenti.
"Mau kamu ajak dia main air sampe besok pagi, dia nggak akan mau berhenti!" sungut Alesia sambil susah payah menahan sesak di dadanya.
Geryl tidak mengatakan apa-apa. Sampai akhirnya, Alesia mengambil alih Illian yang tangisnya udah mulai memelan.
Bibir Illian sudah kebiruan, tubuhnya dingin sekali. Dan tampaknya tenaganya juga sudah mulai habis.
"Adek mau nen enggak?" Barulah Illian mau memeluknya saat ditanya begitu.
Tanpa menatap Geryl sedikit pun, Alesia membawa Illian ke kamar. Ia mematikan AC, mengganti baju dan popoknya. Kemudian memakaikan selimut tebal untuk mereka berdua, sebelum menyusui.
Tak lama kemudian, Illian tidur lelap. Dan Alesia kembali menangis.
***
"Sori, Le. Itu pertama kalinya Adek peluk aku kenceng banget dan manggil aku 'Ayah' berulang kali, tanpa disuruh." Akhirnya Geryl mengajak bicara setelah keduanya makan siang dalam keheningan.
Illian baru saja tidur, sehingga terpaksa jam makan siangnya mundur. Alesia ingin memanfaatkan waktunya untuk tidur siang juga, berharap stres di kepalanya ini bisa mereda setelah istirahat cukup.
Geryl mengikuti langkahnya, dan langsung menarik tangan Alesia yang ingin memasuki kamar tamu.
Kini Alesia terpaksa duduk di bibir kasur kamar Geryl dengan urat menegang dan terus menunduk, enggak mau menatap mata lawan bicaranya.
"Kamu enggak perlu minta maaf, Mas. Cara mendidik orangtua 'kan, beda-beda. Lagi pula ... Adek itu 'kan anakmu. Kamu yang lebih berhak memutuskan mau mendidik Adek dengan cara apa. Aku enggak seharusnya semarah ini. Lagi pula, kalau Adek tumbuh menjadi anak yang manja dan cengeng, kamu pasti akan selalu bisa menghadapinya dan memberikan apa yang dia mau."
Alesia menengadahkan kepalanya, menahan air matanya untuk menetes. "Seharusnya aku enggak perlu susah-susah belajar parenting selama berbulan-bulan. Kamu yang lebih tau gimana caranya mendidik anak. Sori, kalau di matamu aku terlalu jahat karena membiarkan anak kesayanganmu itu nangis meraung-raung, karena aku enggak menuruti keinginannya."
"Le, bukan gitu maksudku." Geryl tampak ingin bicara lagi, tapi suaranya tidak juga keluar.
Alesia mendengus tidak sabaran. "Terus maksudmu gimana? Enggak tega lihat anak nangis? Dipikir aku tega? Kamu enggak tau seberapa keras aku menahan diri buat enggak—"
Kini Alesia menghela napas panjang, enggan melanjutkan amarahnya lagi. "Udahlah, percuma aku jelasin. Kamu juga enggak akan ngerti. Sekarang terserah kamu aja, Mas, mau ngedidik Adek dengan cara apa. Tapi lain kali, kalau hal kayak gini terjadi lagi, kamu juga harus tanggung jawab gantiin bajunya, terus nidurin dia! Dan semisal dia masuk angin karena kedinginan, kamu juga yang harus nenangin dia kalau rewel atau susah makan. Bukannya asal kamu oper ke aku gitu aja! Pada akhirnya tetap aku yang harus kerepotan, kan?"
Kini air mata Alesia mengalir lagi. Entah kenapa air matanya nggak habis-habis. Padahal ia merasa sudah sangat puas saat menangis di kamar mandi tadi.
"Udah kubilang, aku sama sekali enggak bermaksud melawan aturan yang kamu buat untuk Adek. Aku cuma ...." Geryl sengaja memutus kalimatnya sejenak.
"Selama ini aku selalu iri sama kedekatanmu dan Adek. Aku udah berusaha meluangkan waktu buat kalian, tapi Adek cuma manggil-manggil kamu dan memusatkan dunianya untuk kamu. Setiap giliranku yang menidurkan Adek, dia selalu nangis dulu karena mencari-cari di mana Mamanya. Bahkan kalau nonton TV sama aku, dia nanyain di mana Mamanya lima menit sekali. Aku tahu itu semua karena kesalahanku juga sejak awal. Anggaplah aku sedang menanggung konsekuensinya sekarang."
Lalu pria itu menghela napas panjang. "Aku tahu diri, jadi berusaha menerima konsekuensi ini tanpa protes. Aku nggak pernah berharap Adek bakal manggil-manggil aku dengan antusias sebagaimana dia manggil-manggil kamu setiap hari. Bahkan aku sering merasa terasingkan di rumah ini, dan menganggap kalau hidup Adek bakal tetap baik-baik saja meski aku enggak ada, selama kamu tetap ada di sampingnya.
"Tadi itu pertama kalinya Adek minta gendong ke aku ... manggil-manggil aku dengan penuh harap, seolah dia sangat membutuhkanku. Jadi, aku enggak mungkin bisa menolak keinginannya. Aku cuma terlalu senang karena ini pertama kalinya Adek membutuhkanku. Aku sama sekali enggak berpikir, kalau efeknya bakal sejauh itu."
Alesia enggak menyangka kalau Geryl akan bicara sepanjang itu. Perlahan ia mendongakkan kepalanya, menatap Geryl yang tengah menatapnya dengan sendu.
"Kalau kamu ingin selalu dibutuhkan sama Adek, ya kamu harus aktif ajak dia main dong, Mas! Luangin waktu buat dia tuh bukan cuma nonton Youtube, Mas! Aku udah bilang berapa kali sih, ajak dia ngobrol! Tapi kamu enggak pernah mau, kan? Kenapa? Takut sariawan kalo kebanyakan ngomong sama Adek? Ini ngomong panjang sama aku aja bisa!"
Sadar kalau nada suaranya terlalu tinggi, Alesia pun mengambil jeda untuk menenangkan emosinya. "Mas, aku tahu semuanya nggak mudah. Mungkin selama ini kamu juga belum pernah berinteraksi sama anak kecil, jadi kamu enggak tahu gimana cara menghadapinya. Tapi kalau sejak awal kamu punya kemauan, aku yakin enggak sulit buat kamu bisa dekat sama Adek. Kamunya aja yang nggak mau!"
Geryl tampak ingin protes, tapi Alesia sudah lebih dulu bicara lagi. "Oke, ralat, kamu mau. Tapi keinginanmu itu setengah-setengah! Kamu mau dekat sama Adek, mau Adek membutuhkan keberadaanmu, tapi kamu nggak pernah menunjukkan eksistensimu di sekitar Adek. Kamu enggak pernah berusaha untuk selalu dekat sama Adek. Oke, kamu usaha. Tapi baru bentar, udah nyerah. Udah langsung mikir kalau Adek cuma mau sama aku, enggak mau sama kamu. Umur Adek bahkan belum genap setahun. Dia belum benar-benar bisa memilih Mama atau Ayahnya. Dia cuma manggil orang yang selama ini ada di dekat dia. Kecuali kalau Adek udah SD dan secara terang-terangan dia bilang nggak suka sama kamu, baru kamu bisa sakit hati dan merasa diasingkan di rumah ini."
Luapan emosi Alesia tidak mendapatkan sahutan apa-apa. Geryl hanya menunduk dengan tampang keruh, tanpa meliriknya sama sekali.
"Sebenarnya tujuanmu nikahin aku tuh apa sih, Mas?" tanya Alesia pelan.
"Demi Adek."
Alesia mempertegas jawabannya, "Biar Adek happy dan nggak kehilangan peran Ibu dalam hidupnya?"
Pertanyaan retoris itu tidak dijawab.
"Menurutmu, Adek bakal happy, kalau kita berdua enggak happy dalam rumah tangga kita?"
Barulah kepala Geryl terangkat. "Kamu enggak happy?"
"Emangnya selama ini kamu peduli sama kebahagiaanku?" Alesia tersenyum getir, ketika Geryl tidak juga mengeluarkan jawaban apa pun.
Tidak ingin hatinya semakin sakit melihat kebingungan di wajah suaminya, Alesia pun merebahkan tubuhnya di kasur. Bersiap tidur. "Udah lah, Mas. Enggak usah dibahas lagi. Sejak awal ini emang salahku. Aku bener-bener capek banget hari ini."
Setelahnya wanita itu berbaring memunggungi suaminya yang masih diam saja seperti tiang listrik.
***
Hari berikutnya, Alesia menjalani harinya seperti biasa. Dia tetap menyiapkan sarapan untuk anak dan suaminya. Tidak ada yang berubah dari rutinitasnya.
Yang berbeda hanyalah, mulut Alesia lebih banyak terkatup. Tidak ada suara ceria atau obrolan santai bersama Yuni di dapur. Biasanya, di sela aktivitas mereka, Yuni mengajak membicarakan banyak hal. Entah itu kabar terbaru soal gosip antar tetangga yang ia dengar dari tukang sayur, atau gosip artis ibu kota dari infotaiment.
Barangkali pagi ini Yuni langsung bisa mencium aura buruk dari wajahnya, sehingga tidak berani mengajak ngobrol.
"Le, kopinya belum jadi ya?"
Alesia menarik napas panjang. Dia memang berusaha untuk bersikap baik-baik saja di depan suaminya. Dia enggak akan ngambek atau mendiamkan pria itu. Namun, tetap saja rasa kesalnya langsung menggumpal ketika mendengar suara berat suaminya pagi-pagi.
Tadi saat bangun tidur, Geryl sempat minta maaf lagi. Dan Alesia mengiakan dengan mudahnya. "Iya. Kita saling memaafkan aja ya, Mas. Aku juga punya banyak salah."
Hey, ini belum lebaran, kenapa udah maaf-maafan?!
Entahlah. Alesia juga tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi. Dia cuma enggak mau membuat Geryl berpikiran bahwa dirinya adalah cewek menye-menye yang gampang ngambek dan super ribet. Alesia enggak mau Geryl menyamakan dirinya dengan perempuan lain. Sehingga, dalam kondisi semarah apa pun, ia tetap berusaha menahan diri, dan bersikap sebaik mungkin pada suaminya, seperti tidak ada yang terjadi di antara mereka.
Lalu apa karena itu, Geryl jadi menganggap kalau Alesia enggak marah lagi, sampai berani-beraninya request minta dibuatkan kopi?! Padahal biasanya pria itu menyeduh kopinya sendiri!
Minimal ngerayu dulu kek, kalau mau minta sesuatu setelah berbuat kesalahan!
Namun, Alesia enggak mengatakan apa pun. Kembali ke dapur menyiapkan kopi. Setelah meletakkan kopi yang diseduh asal ke hadapan suaminya, Alesia membawakan makanan Illian.
Setelah main air berjam-jam kemarin, badan Illian agak hangat sekarang. Bayinya itu tampak murung. Minum susunya pun sedikit. Lalu saat disodorkan makanannya, tidak ada minat sedikit pun untuk menyentuhnya.
"Adek, enggak suka makanannya? Coba dicicip dulu, Dek! Ini makaroni schotel kesukaan Adek loh!" Alesia berusaha membujuk. Lantas mencomot satu makaroni untuk dia makan. "Nih, Mama coba! Wahh, enak banget, Dek!"
Namun, Illian tidak bereaksi sama sekali. Bayinya itu malah merengek minta nen. Kemudian mendorong mangkuknya menjauh.
Alesia menghela napas kasar. Dia sudah berusaha keras agar tidak menghela napas, tapi tetap saja dia hanyalah manusia biasa yang punya batas kesabaran dan rasa lelah.
"Cicip dikittt, aja! Satu suap, ya? Mama janji setelah satu—eh, dua suap, Adek boleh nen!" Kini Alesia mengambil sendok mungil Illian, kemudian berusaha menyuapkannya.
Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri jika saat sendoknya sampai di depan mulut, tapi Illian tetap enggak membuka mulutnya, maka dia enggak akan memaksa lagi.
Namun, ternyata Illian mau membuka mulutnya. Senyum Alesia mengembang. "Enak enggak, Dek?"
Bayinya tetap terlihat lemas, mengunyah dengan ogah-ogahan. Alesia melanggar janjinya. Dia memakai kesempatan yang ada dengan sebaik mungkin, sehingga terus menyuapkan makaroninya sampai suapan kelima.
Saat Alesia ingin menyuapkan suapan keenam, Illian sudah menggeleng. "Dah!"
"Oke, sudah. Setelah ini kita ganti baju terus nen ya!" Alesia menjauhkan mangkuk Illian. Lantas mengambil tisu untuk mengelap area mulut bayinya.
"Kepala Adek pusing ya?" tanya Alesia pelan. "Adek tahu enggak, itu gara-gara apa?"
Tentu saja tidak terdengar jawaban apa pun.
"Itu karena kemarin Adek main airnya kelamaan. Saat Mama minta Adek berhenti main air, itu bukan karena Mama nggak sayang sama Adek dan mau ganggu keseruan Adek main air. Itu demi kebaikan Adek juga, supaya enggak masuk angin. Semoga, lain kali Adek ngerti ya, kalau segala sesuatunya itu punya batasan, Dek."
'Termasuk kesabaran juga ada batasnya loh, Mas,' lanjut Alesia dalam hati sambil melirik suaminya yang menyesap kopinya di seberang Illian dengan tenang.
Berhubung Alesia enggak segera menggendong, Illian menangis dengan kedua tangan terulur.
Sebelum Alesia membawa Illian ke kamar, ia menatap Yuni yang sedang beres-beres dapur. "Mbak, minta tolong beliin Bye-Bye Fever buat Adek ya! Badannya agak anget nih!"
"Oke, Mbak."
Kemudian Alesia menaiki anak tangga bersama Illian dalam gendongannya, tanpa melirik suaminya sama sekali.
Seperti yang sudah pernah terjadi sebelumnya, kalau Illian tidak enak badan begini, jadi rewel banget. Illian enggak mau nen sambil tiduran. Maunya digendong terus. Baru setengah jam Alesia menggendong, tapi bahunya sudah sangat kaku. Ini karena berat badan Illian semakin gemuk.
Pintu kamar Illian terbuka. Alesia langsung menoleh karena mengira itu adalah Yuni yang memberikan pesanannya tadi. Namun, bola mata Alesia langsung terbelalak ketika mendapati suaminya masuk kamar dengan kaos hitam polos dan celana pendek.
Ke mana kemeja biru langit dan celana abu-abu yang sudah melekat rapi di tubuh jangkungnya tadi?
"Aku cuti hari ini. Sini aku gantiin gendong Adek."
Alesia masih kesulitan mencerna, tapi Geryl sudah mendekatinya bersiap menggendong Illian.
Ah, tentu dengan senang hati Alesia mau diajak gantian. Ia pun mengambilkan kain gendongan instan yang lebih mudah dipakai. Setelah memastikan kain gendongan itu berada di posisi yang pas, pelan-pelan Alesia memindahkan Illian pada gendongan Geryl.
Bayinya langsung menangis. Namun, Alesia menepuk-nepuk pantatnya lembut sambil berkata, "Ini Mama di sini. Mama nggak ke mana-mana. Adek digendong Ayah sebentar ya? Bahu Mama pegel."
Lama kelamaan, Illian memahaminya dan pasrah berada di gendongan Ayahnya. Setelah Illian agak tenang, Alesia mengendap-ngendap keluar kamar. Ia menghela napas panjang. Membaringkan tubuhnya di kasur sambil menangis lagi.
Kenapa semuanya terasa melelahkan sekali? Apakah ini pertanda kalau ia harus berhenti?
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
