
Bab 21 - Just As Usual
Bab 22 - Apresiasi
Bab 23 - Happy Birthday
Bab 24 - Taktik Pertama
Bab 21: Just As Usual
Dulu saat masih bersama Mario, Alesia sangat antusias merancang pernikahan impiannya. Sampai sekarang pun ia masih menyimpan file Excel yang berisi perbandingan berbagai vendor dan Wedding Organizer. Tidak hanya itu, semuanya lengkap dengan moodboardkonsep pernikahan impiannya, yang berisi ratusan foto dekorasi pelaminan, desain undangan, sampai desain gaun yang ia inginkan.
Namun, semuanya tidak pernah terpakai. Bahkan Alesia tidak mau membuka file itu lagi. Membiarkan Maminya yang sibuk mengurus semuanya. Lagi pula, semua vendor yang dia kumpulkan dulu berlokasi di Yogyakarta. Sedangkan pernikahannya di Jakarta, jadi file itu memang enggak ada gunanya, dan sudah seharusnya dilupakan.
Toh juga semenjak pernikahan impiannya dengan Mario gagal, lalu serentetan insiden memilukan terjadi, Alesia tidak punya impian apa pun lagi. Jangankan untuk mengimpikan sebuah pernikahan dengan kebahagiaan di dalamnya. Bisa tetap bertahan hidup saja sudah bagus.
Jadi meriahnya pesta yang sedang berlangsung sekarang, dengan kelap-kelip lampu kristal yang menghiasi ballroom hotel bintang lima, semuanya pilihan Mami.
Dia pun yakin kalau pria yang duduk di sebelahnya—di kursi pelaminan ini, juga tidak berkontribusi apa pun pada perancangan pesta pernikahan mereka.
Pasalnya, selama tiga bulan persiapan pernikahan mereka, pria itu tetap sama sibuknya dengan pekerjaan di kantor seperti biasa. Hanya dua kali datang ke butik untuk fitting setelan hitam yang melekat sempurna di tubuhnya malam ini.
Miris sekali ya, pesta ini. Terlihat megah, tapi dua orang yang menjadi tokoh utama dalam pesta ini susah payah mengumbar senyum palsu yang terasa sangat melelahkan. Alesia pun, bingung apa yang sedang dia lakukan sekarang.
Satu-satunya yang Alesia inginkan dari pesta ini adalah, dia tidak mau mengundang tamu terlalu banyak. Karena selama ini Illian belum pernah berada di keramaian. Bayi itu pasti bakal rewel. Dan karena sampai sekarang mereka nggak punya baby sitter, jadi nggak ada yang bisa benar-benar mengurus Illian seharian ini.
Keinginannya diwujudkan. Tamu yang diundang dua ratus undangan, kurang lebih ada 400 orang yang hadir. Tidak banyak menurut Mami, tapi tetap terasa sangat banyak dan melelahkan bagi Alesia.
Mayoritas yang datang adalah kolega Geryl, teman Mami dan Papinya, juga keluarga besar Geryl. Alesia bahkan cuma mengundang sepuluh orang, yang terdiri dari teman-teman kuliahnya, Mbok Yati, Pak Aryo, juga Melati.
Dia nyaris tidak pernah berkomunikasi dengan teman kantor lamanya lagi, sehingga memilih mengirimkan hampers ke kantor lama, sebagai pengumuman pernikahan sekaligus permohonan maaf karena tidak mengundang.
"Kayaknya Illian ngantuk deh, Mas. Dia rewel terus dari tadi!" Dari panggung pelaminan, Alesia bisa melihat dengan jelas Illian yang terus menangis di gendongan sepupunya.
Acara salam-salaman sudah selesai, sekarang semua tamu undangan sedang sibuk makan. Mereka juga sudah foto-foto ratusan kali dengan berbagai formasi.
Tanpa menunggu sahutan Geryl, Alesia pun pamit untuk menidurkan Illian, membiarkan Geryl berada di pelaminan sendirian sampai acara berakhir sebentar lagi.
Dengan ramah, Alesia menyapa sepupunya yang sedang berusaha menenangkan Illian. Ia pun mengambil alih Illian dalam gendongannya. Orang-orang di sekitarnya semakin mengerubung.
"Wah, digendong Tan—eh, Mamanya, langsung anteng ya dia!" puji salah satu Tantenya.
Seharian ini Illian dioper-oper pada saudara-saudaranya, dan enggak ada satu pun yang berhasil menjaganya lama-lama. Entah karena Illian yang rewel, atau saudaranya yang sudah capek duluan, lalu menyodorkan Illian ke orang lain untuk menggantikannya. Menyadari hal itu, membuat Alesia sadar kalau Illian pasti lelah sudah lelah sekali karena terlalu banyak menangis hari ini.
Tangis Illian berhenti karena perhatiannya teralihkan pada penampilan Alesia. Padahal hari ini ia sudah menggendong Illian beberapa kali dengan gaun dan full makeup. Tapi sepertinya, Illian belum juga terbiasa dengan penampilan meriah Alesia. Ya gimana enggak kaget, biasanya Alesia mengurus Illian tanpa makeup dengan rambut kusut.
"Ini dia lagi mengangumi kecantikan Mamanya yaa! Gemes banget!"
"Tuh, Illian langsung diem pas digendong orang cantik! Berarti tadi kamu kurang cantik, Mbak, makanya Illian tetep nangis pas kamu gendong!" ledek sepupunya yang lain.
"Hahaha! Lipstikmu terlalu gonjreng kali, Mbak, makanya Illian takut!" sambar sepupu yang lain lagi.
Alesia hanya tersenyum tipis, kemudian berpamitan dengan halus. "Kayaknya Illian rewel gara-gara enggak terbiasa pakai kemeja gini deh! Dan ini juga udah waktunya dia tidur. Aku bawa dia ke kamar dulu ya! Duluan ya, semuanyaa! Terima kasih banyak udah dateng, dan bantu jagain Illian!"
Lalu Alesia bergegas keluar dari ballroom yang masih sangat ramai, menuju lift untuk membawanya ke kamar hotel.
Napasnya baru berhembus lega ketika ia memasuki lift. Illian yang berada dalam gendongannya masih setia memperhatikan wajahnya dengan senyum lebar.
Sekarang usianya sudah enam bulan. Illian jauh lebih ekspresif dengan mata bulatnya yang menggemaskan. Sesekali mata itu mengerjap, tangan mungilnya berusaha menyentuh mata Alesia yang menggunakam eyeshadow berkilauan.
Alesia memang sengaja memilih gaun yang sederhana, yang melekat sempurna di tubuhnya, agar saat menggendong Illian begini ia tidak kerepotan. Dan saat melepaskannya pun juga mudah, sehingga Illian tidak butuh menunggu lama untuk disusui.
Hanya sepuluh menit yang Alesia butuhkan untuk mandi, mengganti gaunnya dengan piyama, juga mengeringkan rambutnya. Semenjak mengurus Illian, ia sudah terlatih untuk bergerak serba cepat.
Alesia juga mengganti pakaian Illian dengan baju tidur yang nyaman. Tidak lupa mengganti popoknya juga. Bayi itu langsung kegirangan saat Alesia membuka piyamanya, bersiap menyusui.
Sekarang masih pukul sembilan malam. Tepat di hari pernikahannya, Alesia sudah berbaring nyaman di kamar hotel, menyusui Illian dalam dekapannya. Tidak peduli bagaimana pesta pernikahannya berakhir.
Jangan tanya bagaimana perasaan Alesia sekarang. Semuanya ... datar. Ia tidak merasa gugup sama sekali. Jantungnya berdegub sebagaimana mestinya. Tidak ada perasaan menggebu-gebu, atau hangat yang menyebar di wajahnya ketika suaminya mengecup dalam-dalam keningnya seusai mengucap ijab kabul.
Semuanya datar. Tidak ada sensasi kesetrum yang mengaliri aliran darahnya ketika tangan Geryl merengkuh pinggangnya, merapatkan tubuh mereka saat fotografer mengarahkan kamera.
Ck. Lagi pula, apa yang Alesia harapkan dari pernikahan ini?
Tidak ada. Memang seharusnya Alesia tidak mengharapkan apa-apa.
Jangankan mengharapkan cinta tumbuh mengisi kekosongan di antara mereka, untuk berharap bisa hidup sehat dan bahagia saja, Alesia merasa kalau itu terlalu muluk-muluk.
Jadi, Alesia memutuskan untuk menjalani saja apa yang terjadi hari ini, tanpa harapan apa pun di masa depan.
***
Hari pertama menjadi istri, tidak ada yang spesial. Sama datarnya seperti hari-hari sebelumnya.
Di rumah ini, Alesia menempati kamar tamu yang dulu disiapkan Tishia sebelum melahirkan. Alesia ingat sekali Tishia berkali-kali membujuknya agar datang saat ia melahirkan. Dan sebanyak itu pula Alesia menolaknya.
Dulu sepertinya Tishia berpikir kalau Alesia enggak mau datang ke Jakarta, karena malas bertemu Mami dan Papinya. Sehingga Kakaknya itu menyiapkan kamar khusus di rumahnya, agar Alesia bisa menginap di sana, tidak perlu singgah di rumah orangtuanya.
Siapa sangka, sekarang kamar ini betulan Alesia pakai, dengan status yang berbeda.
Sebenarnya ini bukan atas dasar permintaan Geryl. Pria itu tidak mengatakan apa pun ketika mereka pulang ke rumah setelah menginap di hotel semalam. Alesia yang berinisiatif sendiri untuk menempati kamar itu, dengan alasan kalau kamar ini lebih dekat dengan kamar Illian.
Padahal sebenarnya Alesia sadar diri saja, bahwa posisinya di rumah ini tidak akan bisa menggantikan posisi Tishia. Jadi, ia tidak akan bersikap sebagai nyonya di rumah ini.
Toh juga tujuan Geryl menikahinya, karena Illian, 'kan? Jadi Alesia akan memfokuskan dirinya untuk mengurus Illian saja.
"Wah, Adek pinter banget makannya!" seru Yuni yang sedang menata makanan di meja makan.
"Iya, 'kan! Padahal waktu aku cicip, rasanya kurang asin, tapi dia doyan banget, Mbak!" Alesia berseru kegirangan melihat Illian yang menerima suapannya dengan ceria.
Sejak usia Illian mencapai enam bulan beberapa minggu lalu, Alesia jadi memiliki kesibukan baru, yaitu menyiapkan MPASI. Mulai dari membeli peralatan memasak khusus MPASI, mencari berbagai macam menu di Youtube, Tiktok dan Instgaram. Belum cukup sampai di situ, ia juga membeli buku-buku berisi panduan MPASI yang ditulis oleh ahli gizi.
Dan sekarang, tidak peduli kalau ini adalah hari pertamanya tinggal di rumah ini setelah menikah, Alesia kembali sibuk dengan MPASI Illian. Melanjutkan rutinitasnya seperti biasa.
"Ngeliat Illian yang makannya selahap itu, aku sama sekali enggak kepikiran kalau itu kurang asin deh, Mbak. Malah aku jadi pengen nyicip juga jadinya! Kayak kelihatan enak banget!" Yuni ikut antusias memperhatikan bagaimana Illian yang tidak sabaran ingin menerima suapan lagi.
Senyum Alesia mengembang penuh kebanggaan. "Makasih ya, Dek, udah makan masakan Mama lahap banget!"
Lalu Alesia menoleh pada Yuni. "Padahal selama ini aku jarang banget masak loh, Mbak! Masak tuh paling yang simpel-simpel aja 'kan, buat dimakan sendiri. Eh, tiba-tiba sekarang harus masak proper, mana harus merhatiin gizinya juga. Aku pikir, aku bakal stres banget deh, ngurusin MPASI Adek. Ternyata, enggak sesulit yang aku pikir. Dan semuanya terbayar pas lihat dia makannya lahap banget!"
"Semoga aja sampai seterusnya Adek makannya lahap terus ya, Mbak!" Yuni turut mengembangkan senyum lebar.
"Aamiin! Kayaknya gedenya kamu cocok jadi Youtuber mukbang gitu, Dek! Soalnya liat kamu makan bikin orang-orang jadi kepengen makan juga nih!"
Illian tertawa-tawa saat diajak bicara, seolah dia paham dengan ucapan Alesia.
"Ya ampun, gemesnyaa!" seru Yuni. "Aku pikir bayi paling gemesin di dunia ini tuh cuma Rayyanza! Sekarang gara-gara Rayyanza udah gede, posisinya jadi tergeser sama Illian deh, Mbak!"
Tawa mereka terputus ketika menyadari Geryl menuruni anak tangga dengan celana pendek dan menenteng sepatu olahraga.
"Lho, nggak sarapan dulu, Pak?" tanya Yuni ketika Geryl mengisi botol minumnya, lalu hendak pergi begitu saja.
"Mau jogging bentar, Mbak. Saya makannya nanti aja."
"Oke, Pak." Setelahnya Geryl menghilang begitu saja tanpa mengatakan apa pun.
Pandangan Yuni beralih pada Alesia yang sedang membantu Illian minum. "Sabar, Dek, minumnya pelan-pelan! Nanti kamu keselak kalo buru-buru gitu!"
"Mbak Ales, rencananya mau honeymoon ke mana? Sedenger saya, kemarin Pak Geryl bilang ada cuti seminggu, ya?"
Pertanyaan Yuni membuat Alesia tertawa dalam hati. Honeymoon hanya untuk orang-orang yang pernikahannya normal. Sedangkan pernikahan mereka ... entah bisa disebut normal atau tidak.
Memang Alesia tidak pernah membahas kontrak apa pun dengan Geryl. Mereka memilih menjalani pernikahan ini dengan mengikuti arus, entah ke depannya bakal seperti apa, semuanya masih abu-abu.
Geryl juga tidak pernah membahas soal honeymoon. Jadi Alesia pun tahu diri untuk enggak meminta apa-apa. Bukankah yang paling penting bagi mereka berdua saat ini hanyalah Illian?
Jadi, mari berfokus pada Illian saja.
"Enggak, Mbak. Lagian Illian lagi MPASI gini, repot banget kalau bawa dia traveling. Ini juga masih awal MPASI, aku belum tau dia suka makan apa aja, jadi masih harus coba-coba banyak resep." Lalu untuk memberikan jawaban aman, Alesia pun menambahkan, "Mungkin, honeymoon-nya nanti, kalau Illian udah agak gede lagi."
Padahal mah, Alesia sama sekali tidak berani membayangkan bakal pergi honeymoondengan pria yang kini berstatus sebagai suaminya itu.
***
Alesia ikut ketiduran ketika menidurkan Illian siang tadi. Belakangan ini, tepatnya semenjak tinggal serumah dengan Illian, ia jadi lebih sering tidur siang bareng Illian. Namun, kali ini, ranjang di sebelahnya sudah kosong saat ia membuka mata.
Pandangannya mengedar, sambil berusaha mengumpulkan nyawa.
Ini sudah pukul lima sore. Ia pun menuruni anak tangga, dan langsung menemukan keberadaan Illian sedang berbaring santai sambil menonton televisi di pangkuan Geryl. Sebelum keduanya menyadari keberadaan Alesia, ia pun kembali menaiki anak tangga, menuju kamarnya untuk mandi. Mumpung Illian lagi anteng-antengnya, ia menggunakan kesempatan ini untuk mandi lebih lama.
Setengah jam berikutnya, Alesia kembali menuruni anak tangga dengan lebih segar setelah mandi. Ia sengaja melewati mereka tanpa mengatakan apa pun, ingin ke dapur untuk menyiapkan makan malam Illian.
Namun, Illian yang menangkap keberadaannya langsung membuat bayi itu menangis.
Geryl yang terlihat agak mengantuk langsung terkejut saat Illian tiba-tiba menangis. Ia pun menoleh mengikuti arah pandang Illian, dan langsung memanggil Alesia.
"Kenapa sih, Dek? Perasaan tadi anteng aja deh sama Ayah? Kenapa setiap lihat Mama langsung minta gendong?" Alesia berkacak pinggang, tidak langsung menggendong Illian, membuat bayi itu terus mengulurkan tangannya sambil merengek.
Sekarang bayi itu sudah bisa duduk dan mulai berisik mengoceh, meski kata yang diucapkan belum jelas. Jujur saja suara Illian berperan besar untuk menghangatkan suasana rumah mereka, karena tanpa suara Illian, rumah besar ini terasa sangat lengang dan dingin.
"Mama mau masak dulu. Adek di sini aja sama Ayah!" Meski sambil mengatakan itu, Alesia tetap menggendong Illian.
Namun, tangan mungil Illian langsung meremas piyama Alesia, enggak diturunkan dari gendongan. Alesia pun baru sadar kalau Illian sudah wangi.
"Kamu udah mandi ya, Dek?" Ia mengajak bicara sambil mengecupi pipi gembul Illian. "Tadi mandinya sama Ayah, ya?"
Illian tertawa-tawa menanggapinya. Ketika melirik ke sisi lain, Geryl tampak santai menonton televisi, sama sekali tidak menghiraukan keberadaannya.
Seringkali Alesia tidak menyangka kedekatan Geryl dengan Illian sudah meningkat sampai sejauh ini. Kini pria itu bukan cuma bisa memangku dan memanaskan ASI, tapi juga bisa memandikan Illian. Meski Geryl tidak banyak bicara pada Illian, Alesia sudah sangat bersyukur karena Illian sudah tidak menangis lagi kalau berada di dekat Ayahnya.
Lalu tanpa mengatakan apa pun, Geryl beranjak pergi begitu saja.
Alesia pun membawa Illian ke dapur, mendudukkan bayi itu di baby chair. Tidak lupa ia memberikan biskuit bayi untuk menstimulasi pertumbuhan gigi Illian yang sedang berada di fase mengunyah. Bayi itu langsung anteng dengan biskuitnya, sehingga ia bisa memasak dengan tenang.
Sepuluh menit berikutnya, Yuni menyusul di dapur. Meski Geryl sudah menikah, tugas Yuni untuk menyiapkan makan pagi-siang-malam tidak berubah. Setiap hari Alesia hanya memasak untuk Illian. Makanan yang Alesia makan pun adalah masakan Yuni, atau kadang sisa MPASI Illian kalau nggak habis. Seringnya sih, ia lupa mengisi perutnya sendiri karena terlalu fokus pada Illian.
Ketika masakannya sudah jadi, Alesia menunggu sampai agak dingin sambil membuka ponsel. Ia mendapati pesan dari Maminya.
Mami: Kamu jangan lupa kirim kado ke rumah Tania. Hari ini Dela ulang tahun.
Mami: Mami udah bilang ke Tania, kalau kamu dan Geryl sedang honeymoon, jadi nggak bisa datang
Mami: Jangan lupa kasih kartu ucapan di kadonya
Mami: Nanti Mami kirimkan alamat rumahnya
Honeymoon?
Alesia tertawa getir. Bahkan cuti Geryl sudah hampir habis, dan mereka tidak berpergian ke mana pun. Jangankan pergi honeymoon, untuk mengobrol santai saja enggak pernah.
Bagaimana bisa mengobrol, keduanya seolah punya dunia sendiri yang tidak bersinggungan. Sejak pagi Alesia sudah repot mengurus Illian. Sementara Geryl sengaja melewatkan sarapan, memilih jogging atau pergi entah ke mana. Baru pulang pukul sepuluh pagi, di saat Alesia sedang bermain sensory play di taman belakang dengan Illian.
Setelah makan siang, Geryl masuk ke ruang kerjanya. Sedangkan Alesia tidur siang bersama Illian. Sore harinya, saat Illian makan, Geryl tetap sibuk di ruang kerjanya.
Pukul tujuh malam Geryl baru turun untuk makan malam, sementara Alesia sudah harus membawa Illian ke kamar, untuk ganti baju, ganti popok, membaca buku, ngobrol panjang, sampai akhirnya Illian tidur.
Pukul sembilan malam, Alesia keluar dari kamar Illian untuk ke kamarnya sendiri. Sudah. Tidak ada interaksi apa pun dengan suaminya.
Bahkan mereka enggak pernah menjaga Illian berdua. Selalu bergantian. Saat Illian digendong Alesia begini, secara otomatis Geryl memisahkan diri. Entah ke kamar, ruang kerja, atau ke halaman belakang. Begitu pun sebaliknya. Saat Geryl mengajukan diri untuk menjaga Illian, Alesia memanfaatkan waktu untuk mandi, makan, atau tidur.
Rutinitas mereka seminggu ini dijalani dengan sedatar itu. Tidak ada interaksi yang berarti. Sampai Alesia heran sendiri, untuk apa Geryl mengambil cuti seminggu penuh kalau tetap bekerja di ruang kerjanya?
Apakah pria itu sengaja, agar orang-orang mengira mereka sedang asyik honeymoon? Padahal sebenarnya ... boro-boro honeymoon, saling bersentuhan aja enggak.
Dan sebenarnya Alesia tidak tahu apakah Mami mengetahui semua ini. Seingatnya ia tidak pernah mengatakan apa pun pada Maminya soal honeymoon. Geryl pun tidak mengatakan apa-apa. Lalu, dari mana Mami menyimpulkan kalau ia sedang honeymoon?
"Aku baru inget, kemarin temenku ada yang ngasih voucher spa." Geryl mendatangi meja makan dengan penampilan yang lebih fresh setelah mandi. Pria itu menyodorkan amplop berlogo salon terkenal pada Alesia, sebelum duduk di sebelah baby chair Illian.
Alesia pun membukanya. "Makasih, Mas. Titip salam buat temenmu."
"Masa berlaku voucher-nya tinggal bentar lagi," tambah Geryl sembari menggantikan Alesia menyuapkan bubur untuk Illian.
"Wah, iya, ternyata. Cuma berlaku seminggu setelah voucher dirilis ya! Berarti besok dong!" gumam Alesia.
"Ya udah hari ini reservasi dulu buat besok. Biar besok aku yang jagain Adek." Geryl mengatakan itu dengan penuh percaya diri karena ternyata, Illian menerima suapannya dengan suka cita.
Ini pertama kalinya Geryl mencoba menyuapi Illian. Selama ini ia hanya sibuk mengamati bagaimana Alesia menggerakkan sendok mungil ini untuk menyuapi Illian. Dan setelah mencobanya sendiri, ternyata tidak sesulit itu.
"Okay, aku sekalian mau cari kado buat Dela."
Kening Geryl mengerut sembari menatapnya. "Dela? Anaknya Tania?" Ia menyebutkan nama anak sepupunya.
"Iya. Hari ini mereka ngadain pesta ulang tahun. Sebenarnya kita diundang, tapi kata Mami, kita enggak perlu dateng. Cukup kirim kado ke rumahnya aja."
"Kenapa nggak perlu dateng? Kan kita lagi free ini."
"Karena Mami bilang ke semua orang kalau sekarang kita lagi honeymoon." Alesia sengaja menatap lamat-lamat wajah suaminya, penasaran dengan reaksinya.
Namun, pria itu hanya membetulkan letak kacamata di pangkal hidungnya, lalu manggut-manggut. "Ah, iya juga ya."
Lalu ia merogoh sakunya, mengeluarkan sebuah kartu. "Ini pakai aja. Pin-nya 881006. Beli semua kebutuhanmu pakai ini. Kalau kurang, nanti aku tambahin lagi."
Alesia hanya menatap kosong kartu tersebut, tangannya sama sekali tidak bergerak. Karena tidak kunjung diterima, Geryl pun meletakkan kartunya di meja, lalu menggesernya ke hadapan Alesia.
Demi Tuhan itu hanya deretan angka. Namun, kenapa efeknya bisa membuat perasaannya berantakan begini?
Mungkin perasaannya nggak akan sekalut ini kalau kombinasi angka itu adalah angka biasa, bukan tanggal lahir Tishia.
Mengganti password ATM bukan perkara sulit. Kalau Geryl tetap memakai kartu itu, bahkan sengaja memberikannya pada Alesia, bisa dipastikan, pria itu sengaja melakukannya, kan?
Sebuah belati menancap di dada Alesia. Padahal itu cuma angka, tapi rasanya seperti Geryl sedang menegaskan padanya, kalau posisi Tishia di hatinya tidak dapat digeser oleh siapa pun.
Kini pandangannya berpindah pada voucher spa di tangannya. Kepalanya terangkat. "Besok aku pergi sendiri?"
Geryl menoleh sekilas, sebelum menyuapkan bubur pada Illian lagi. "Terserah kamu. Ajak Mbak Yuni juga boleh. Kalo gitu sekalian ke supermarket aja belanja bulanan. Nanti aku bilang ke Mami buat minta kirimin satu supir ke sini biar anterin kamu."
Alesia mendengkus. Ingin sekali dia menjelaskan kalau voucher spa itu untuk berdua! Alias itu berlaku untuk couple!
Namun, lidahnya terasa kelu, sehingga ia pun diam saja.
Menit berikutnya, Alesia tertawa kecil. Lucu sekali membayangkan dirinya mengajak asisten rumah tangganya melakukan couple spa, di saat dirinya punya suami sah yang sedang bersantai di rumah.
Sebenarnya, ia sedang menjalani pernikahan macam apa sih?
***
Bab 22: Apresiasi
Hal yang Alesia khawatirkan, kini terjadi. Illian tidak mau makan.
Jauh sebelum Illian mulai MPASI, ia mengikuti beberapa akun Instagram parentingdan lika-liku MPASI. Banyak juga video Tiktok berisi curhatan Ibu-ibu mengenai GTM pada bayi, yang merupakan singkatan dari gerakan tutup mulut.
Melihat bagaimana curhatan Ibu-ibu tersebut, ia terus berdoa agar Illian tidak akan pernah memasuki fase tersebut. Sayangnya, sekeras apa pun ia berdoa, pada akhirnya ia tetap sampai di fase itu.
Sejak kemarin Illian tidak mau membuka mulutnya sama sekali. Bayi itu malah menumpahkan semua makanannya ke meja, mengacak-acak tanpa memasukkan makanan ke mulut sedikit pun. Jangan tanya berapa kali Alesia memasak dalam sehari. Barangkali ada lebih dari lima kali.
Alesia terus mengganti menu, mengira kalau Illian kurang suka dengan masakannya. Ia bahkan sudah memasakkan semua makanan yang sebelumnya Illian makan dengan lahap, tapi tetap saja ditolak. Bayi itu hanya mau menyusui, tidak mau makan apa pun.
Tadi sore ada kemajuan. Illian mau makan biskuit kesukaannya, tapi belum mau makan bubur walau cuma sesendok. Ini sudah hari ketiga, dan Alesia makin cemas.
Ia sampai menangis di dapur meratapi banyaknya peralatan masak yang masih berantakan setelah memasak, juga berbagai macam makanan yang terbuang percuma.
Demi Tuhan, Alesia sudah mencoba semua cara. Mulai dari mengganti sendok, mengganti mangkuk, menurunkannya dari high chair, menambahkan keju agar lebih gurih, menyalakan Youtube, dan berbagai cara yang ia dapat dari internet. Namun, tidak ada satu pun yang berhasil.
Akibatnya, tengah malam Illian rewel karena kelaparan. Alesia terjaga sampai pukul dua dini hari, setelah memastikan Illian kenyang dan tidur dengan nyaman.
Geryl?
Jangan ditanya. Alesia tidak tahu.
Pria itu sibuk dengan dunianya. Berangkat kerja pukul tujuh pagi, melewatkan sarapan dengan alasan, sudah terbiasa beli kopi di dekat kantor. Lalu pulang saat petang, di mana Alesia sedang sibuk menyuapi Illian yang mogok makan. Geryl sempat membantu menyuapi Illian, tapi begitu gagal, sudah. Pria itu diam saja, masuk ke ruang kerja entah sampai kapan, karena Alesia sudah masuk ke kamarnya sendiri bersiap tidur.
Malam ini, Alesia menangis sesenggukan setelah sekian lama tidak menangis. Pandangannya tertuju pada Illian yang terlelap di sebelahnya, sambil terus bertanya-tanya apa yang salah dengannya?
Ternyata curhatan Ibu-ibu di Facebook itu betulan sangat menyakitkan. Mendapati anak mogok makan jauh lebih menyakitkan dibanding yang ia perkirakan.
"Kenapa?" Entah kapan pintu kamar Illian terbuka, tiba-tiba saja Geryl sudah berdiri tidak jauh dari kasur, sembari mengucek matanya yang sulit terbuka.
Alesia hanya menggeleng, tangisnya semakin pecah. Padahal ia sudah berusaha menahan tangisnya, dan ditanya kenapa hanyalah membuat pertahanan dirinya runtuh.
"Adek sakit?" Geryl bertanya sambil melangkah mendekat, lalu mengulurkan tangan pada Illian yang terlelap di sebelah Alesia.
"Kamu yang sakit?" Ketika mendapati suhu tubuh Illian baik-baik saja, Geryl pun menatap Alesia penuh selidik.
Sebelum tangan besar itu mendarat di keningnya, Alesia lebih dulu menggeleng. "Nggak, aku cuma capek."
Geryl pun menarik kembali tangannya, urung menyentuh kening istrinya. Pria itu terdiam dengan pandangan lurus menatap Alesia.
"Bisa kasih aku waktu sendiri, Mas? Aku cuma pengen nangis bentar aja, terus udah."
Setelah mengatakan itu, Alesia bangkit perlahan dari kasur. Ia meletakkan guling dan bantal di kanan-kiri Illian, lalu pergi meninggalkan Geryl yang masih termenung di tempatnya. Sepertinya akan lebih leluasa kalau ia menangis di kamarnya sendiri.
Alesia: pas anak lo GTM, lo kasih apa Tir biar mau makan?
Tyra: jangan dikasih susu banyak-banyak
Tyra: tunggu dia bener-bener laper, terus kasih makanan yg dia suka
Tyra: Illian udah umur berapa sih?
Alesia: wah, gue gak nyangka lo bakal langsung bales skrg
Alesia: padahal gue chat skrg biar gak lupa aja. lo bales besok pagi juga gak papa.
Tyra: tadi kebangun gara-gara laper banget, maklum busui
Kemudian Tyra tidak mengetik pesan lagi. Sebagai gantinya, sebuah panggilan dari sahabatnya itu datang.
"Gimana, Les? Anak lo umur delapan bulanan nggak sih?" tanya Tyra begitu Alesia mengangkat teleponnya.
"Tujuh bulan. Baru aja tiga hari lalu genap tujuh bulan."
"Itu kayaknya dia GTM karena mau tumbuh gigi."
"Iya, bener. Gue baru ngeh dia mau tumbuh gigi gara-gara kalo nen suka sambil gigit-gigit, ampe puting gue lecet." Alesia kembali menangis kala mengingat bagaimana nyerinya sensasi yang ia rasakan saat menyusui Illian tadi.
"Aduh, ngerti banget lagi, gimana rasanya. Gue ada rekomendasi salep yang ampuh biar cepet sembuh. Nanti gue kirimin fotonya."
Alesia tidak menyahut, karena air matanya terus keluar. Ia meletakkan ponselnya di kasur setelah menyalakan mode loud speaker, sehingga ia bisa memeluk guling dan membiarkan tangisnya pecah.
"Sori ya, Tir, lo malah jadi dengerin gue nangis doang gini. Sumpah deh, gue tuh ... nangis bukan karena gue ...,"
Sebelum Alesia melanjutkan kalimatnya, Tyra menyela. "Nggak papa, Les. Gue juga dulu sering nangis kok pas Aden masih bayi. Gue belum tahu banyak hal soal bayi, mana anak gue belum bisa ngomong, jadi gue nggak tau maunya apa. Wajar banget kalau lo ngerasa capek gini. Nangis aja yang kenceng, biar lega."
"Gue bener-bener ngerasa gagal jadi Mama buat Iliian."
"Nooo! Lo bukan gagal, Les. Enggak. Gue yakin kalau Illian bisa ngomong, pasti bangga punya Mama sekeren elo. Fase GTM kayak gini tuh emang dilalui hampir semua bayi. Lo tau sendiri kan, yang curhat soal anaknya lagi GTM enggak cuman satu-dua. Bukan berarti lo gagal jadi ibu. Ini cuma fase. Coba lo konsultasi sama dokter spesialis anak. Biasanya tiap dokter punya tips beda-beda gitu biar anak mau makan."
"Gue baru tau deh sekarang, jadi Ibu tuh ... berat banget ya?" ucap Alesia pelan.
"Iya. Makanya nggak semua orang bisa jadi Ibu. Lo hebat banget deh, bisa sampai di titik ini dengan sangat luar biasa!"
"Sebelumnya, gue kan pernah ya ada di fase tidur cuma sejam atau dua jam, karena Illian rewel banget, maunya digendong terus. Waktu itu gue nggak pernah ngeluh. Gue masih sangat menikmati waktu gue bareng Illian. Tapi ngeliat dia susah makan, setelah gue masak berbagai macam menu, rasanya hati gue sakit banget. Apa masakan gue enggak enak? Atau—"
"Enggak! Bukan salah masakan lo! Sumpah deh, bayi yang baru tumbuh gigi mau lo kasih makanan dari resto bintang lima seenak apa pun juga bakal tetep mingkem. Dia tuh ngerasa gusinya gatel karena ada sesuatu yang tumbuh, jadi belum terbiasa aja."
"Makasih banget lho, Tir, udah bilang gitu." Tangis Alesia makin pecah. "Selama tujuh bulan ini gue ngurus Illian sendirian, gue bener-bener ikhlas. Gue sayang banget sama dia, dan udah gue anggap dia kayak anak gue sendiri. Nggak pernah sekalipun gue berharap dapat imbalan apa pun karena udah ngurusin Illian. Jangankan imbalan duit, gue nggak pernah ngarep dipuji atau apa pun. Tapi setelah denger lo ngomong gitu, perasaan gue jadi jauh lebih baik. Setelah gue pikir-pikir, ternyata gue lumayan butuh denger apresiasi kayak gitu."
Tyra melanjutkan kalimat penuh apresiasinya yang membuat Alesia makin terharu. "Tapi emang apresiasi tuh penting banget tau! Dulu gue juga sempet bertengkar sama laki gue. Tau kan, Adam tuh irit ngomong banget? Pas gue lagi capek-capeknya ngurus Aden yang masih bayi, gue sering ngerasa kesel ke dia entah kenapa. Gue sempet ngalamin baby blues, tapi semuanya gue lampiasin ke Adam. Gue ngerasa cuma gue nih yang ngurus Aden, dia nggak banyak kontribusinya, dan bikin gue sering ngerasa sendirian. Padahal dari sisi Adam, dia udah ngerasa bantu gue sekuat tenaga. Makanya kita sempet berantem gede waktu itu.
"Terus kita konsultasi ke konselor pernikahan gitu. Dikasih tau deh, kalau sumber masalah kita cuma love language aja. Gue butuh banget denger apresiasi. Meski itu kedengaran sepele, tapi beneran sangat berpengaruh ke perasaan gue. Sedangkan Adam nggak ngerti cara mengungkapkan perasaan dengan kata-kata. Akhirnya kita sepakat buat mencoba mengapresiasi semua hal, apa pun itu. Sekarang pun gue masih nggak nyangka, Adam yang biasanya irit ngomong gitu, udah bisa secerewet itu. Mana setiap dia ngeapresiasi gue, gue masih suka salting gitu, kayak lagi digombalin."
Alesia ikut tersenyum mendengar Tyra yang bercerita dengan heboh. Masalahnya, pernikahan yang ia jalani dengan Geryl sangat berbeda dengan situasi Adam dan Tyra yang saling bucin satu sama lain.
Dan ia juga tidak bisa menyalahkan Geryl, karena sejak awal pun ia sudah tahu kalau pernikahan ini, nggak mungkin bisa diisi dengan hal-hal romantis seperti pasangan pada umumnya.
"Gue yang ngurus anak sendiri—yang mana itu memang kewajiban gue aja, ngerasa butuh banget diapresiasi. Apalagi lo. Coba deh, lo ngobrol aja ke Mas Geryl, supaya dia ngerti," lanjut Tyra.
"Makasih banyak ya, Tir!"
"My pleasure, Les! Gue seneng banget lo curhat gini ke gue, setelah lo ngerahasiain masalah lo kemarin selama setahun penuh. Inget ya, Les, lo bisa cerita apa pun ke gue."
"Lo bener-bener udah berubah jadi ibu peri deh, di mata gue. Beda banget sama imagelo jaman kuliah. Pak RT bener-bener jago sih!"
"Jago apaan?" Tyra bertanya agak dongkol.
"Jago bikin anaknya, sampai dalam waktu beberapa tahun aja, lo bisa punya tiga anak, terus berubah jadi sebijak dan sedewasa ini." Alesia terkekeh sambil mengelap ingusnya menggunakan tisu yang dia ambil dari nakas.
Tawa Tyra ikut terdengar. "Kalau untuk urusan itu, gue no comment, karena lo tahu sendiri, Adam tuh the one and only. Gue nggak tau rasanya sama cowok lain gimana, jadi ... ya jelas dia yang terbaik lah! Kalau Mas Geryl gimana?"
Sial. Alesia niatnya membelokkan obrolan agar suasana lebih cair, dan ia berhenti menangis. Namun, ia malah kena senjata makan tuan.
"Ya gitu deh!" Alias mana Alesia tauuu?! Bahkan disentuh saja enggak pernah.
"Kalau dari yang gue lihat, dibanding semua mantan lo sejak kuliah, kayaknya emang Mas Geryl yang paling ganteng 'kan ya?" Tyra semakin gencar menggoda. "Lo inget kan, dulu Vika pernah bilang, kalau 'aset' cowok itu bisa dilihat berdasarkan ukuran hidungnya. Katanya dia udah buktiin sendiri. Kalau hidungnya gede dan mancung, berarti—itunya, you know lah—juga gede! Dan gue rasa, Mas Geryl yang paling mancung dibanding semua mantan lo deh!"
"Udah malem ah, gue ngantuk! Besok harus siapin energi lebih banyak buat masak MPASI lagi. Doain anak gue bisa makan lahap lagi ya, Tir! Kalau masih belum mau makan juga, gue bakal ikutin saran lo buat ke dokter spesialis anak!" Alesia berusaha mengakhiri panggilan agar obrolannya enggak meluber ke mana-mana.
Tyra terkekeh. "Okay, gue bantu doa dari sini. Ingat ya, Les, meski orang di sekitar lo nggak ada yang mengapresiasi semua hal yang lo lakuin, bukan berarti lo nggak hebat. Lo beneran keren banget! Nggak semua orang bisa sekeren lo. Dan dengan lo berharap dapat apresiasi dari pasangan lo, atau dari orang di sekitar lo atas apa yang udah lo lakuin, bukan berarti lo nggak ikhlas. Butuh apresiasi kayak gitu tuh wajar banget kok!"
"Makasih ya, Tir! Besok, ehh, ini udah jam dua ya? Berarti nanti ... gue kirimin brownies ke rumah lo buat nyemil."
"Yeay! Gue tunggu ya, Les!"
***
Alesia sudah memejam, bersiap tidur setelah memasang alarm dua jam lagi. Namun, ketukan pintu kamarnya membuat matanya kembali terbuka.
"Udah ngantuk?" Pertanyaan itu langsung mengudara begitu Alesia membuka pintu dan menemukan suaminya berdiri di depannya.
Sebenarnya ia sudah sangat mengantuk, karena setelah menangis, matanya terasa berat. Namun, alih-alih menjawab, ia malah bertanya, "Kenapa, Mas?"
"Aku habis bikin sandwich, kalau kamu mau. Kalau enggak mau, biar aku simpen di kulkas."
Alesia mengernyitkan dahi. Bikin sandwich, pukul dua dini hari?
Sebenarnya Alesia ingin bertanya banyak, tapi ia mengurungkannya. "Mau!"
Mendengar kata sandwich, perut Alesia langsung keroncongan. Padahal tadi ia enggak lapar sama sekali. Namun, ia memang belum makan seharian. Bahkan ia pun lupa kapan terakhir kali makan dengan proper.
Keduanya melangkah menuruni anak tangga. Dari kejauhan Alesia bisa melihat pantryyang berantakan. Geryl memberi kode agar Alesia duduk di meja makan.
Sementara pria itu mengambil sepiring sandwich dari pantry. "Biar nanti Mbak Yuni aja yang beresin."
Dalam hati Alesia bingung, kenapa Geryl cuma membawa satu piring? Apa pria itu mau sok romantis dengan makan satu piring berdua?
Memang sih itu cuma sandwich. Makannya pun pakai tangan, enggak perlu ada piring juga. Tapi entah kenapa, hanya dengan membayangkan bisa makan berdua dengan Geryl, membuat perutnya tergelitik.
Ini bakal jadi sejarah baru bagi hubungan mereka.
Namun, bunga-bunga di perut Alesia langsung layu setelah Geryl meletakkan piring itu di depannya tanpa mengatakan apa pun, kemudian pergi.
"Kamu nggak makan juga, Mas?"
Langkah Geryl terhenti untuk menoleh sebentar. "Aku udah tadi."
Hanya dalam satu kedipan mata, pria itu sudah menaiki anak tangga, kembali ke kamarnya.
Alesia tertawa. Menertawakan dirinya sendiri, yang mulai nggak tahu diri. Entah sejak kapan, di hatinya tumbuh secuil harapan untuk membuat hubungan mereka berjalan normal, sebagaimana pasangan suami-istri pada umumnya.
Sadar, Les! Kamu udah janji untuk nggak menaruh harapan apa pun dalam hubungan ini!
***
Bab 23: Happy Birthday
Sebenarnya Alesia bukan tipe orang yang suka merayakan ulang tahun. Malahan momen ulang tahun selalu mengingatkannya pada momen-momen menyesakkan, di mana sejak kecil Maminya nggak pernah membuatkan pesta ulang tahun untuknya, seperti yang selalu diadakan untuk merayakan ulang tahun Tishia.
"Nilai kamu semester ini jelek. Bahkan sepuluh besar aja nggak masuk. Kamu banyakin belajar aja dulu, nggak usah bikin pesta macem-macem. Nanti bagi-bagi nasi kotak aja ke tetangga sama temen sekolah." Kalimat itu selalu Maminya ucapkan setiap tahun.
Padahal yang ingin menjadi princess dengan gaun pink berkilauan dan mahkota perak tersemat di puncak kepalanya bukan cuma Tishia. Alesia juga sama. Sayangnya, Maminya enggak pernah memedulikan apa keinginannya.
Dua tahun terakhir adalah masa terberat dalam hidupnya. Ulang tahunnya dua kali berturut-turut terlewat begitu saja tanpa sesuatu yang spesial. Paling teman-temannya saja yang mengucapkan selamat di Instastory sambil mengunggah foto-foto aibnya di masa lalu.
Namun, tahun ini ia ingin merayakannya dengan sebuah kue, sebagai apresiasi untuk dirinya sendiri karena berhasil melewati hari-hari terberatnya.
Semalam ia sudah mencari resep cheese cake di Youtube yang boleh dimakan oleh bayi berusia sembilan bulan.
Ini adalah tahun pertamanya merayakan ulang tahun bersama Illian. Ia harap, sampai tahun-tahun berikutnya—puluhan tahun ke depan, Illian bisa selalu menemaninya merayakan ulang tahun.
Pukul delapan pagi, setelah Geryl berangkat kerja, Alesia mulai berkutat di dapur. Illian ia dudukkan di high chair, mengamati dengan ceria bagaimana Alesia mulai mengeksekusi cheese cake-nya, mengikuti instruksi dari Youtube.
Yuni sedang sibuk mencuci dan menjemur pakaian, sehingga tidak bisa membantu. Tapi nggak masalah, Alesia justru sangat menikmati waktunya berdua dengan Illian. Bayi itu mulai jago mengoceh dengan ceria, meski tidak ada satu pun kata yang Alesia pahami.
"Tunggu bentar ya, Dek! Lagi dipanggang tiga puluh menit! Baunya wangi banget ya, Dek! Kamu pasti udah nggak sabar, 'kan?" Kini Alesia duduk di kursi sebelah high chair Illian, terus mengajaknya bicara dengan ceria.
"Makasih banyak ya, Dek! Udah nemenin Mama ngerayain ulang tahun! Kamu satu-satunya yang paling berharga buat Mama." Alesia mendaratkan kecupan di pipi gembul Illian.
Ponsel di meja makan bergetar, menampilkan banyak notifikasi dari teman-temannya. Pasti mereka sibuk mengucapkan selamat ulang tahun.
Sejak kuliah, mereka sudah hafal tanggal ulang tahun masing-masing. Dan sudah menjadi tradisi mereka untuk tetap merayakan ulang tahun satu sama lain, meski sekarang sudah memiliki kesibukan masing-masing dan tidak bisa sering-sering bertemu seperti saat kuliah dulu.
Vika: gue butuh update foto terbaru Illian
Vika: ayoo Les, kirimin foto Illian yang banyakk
Vika: biar bisa gue buatin sticker WA lagi
Vika: udah lama banget nih, stiker Illian enggak diupdate
Karen: biasanya orang menganggap anak sendiri yang paling cakep sedunia, tapi kali ini gue akui, Illian emang bayi paling cakep sedunia deh
Lira: Gennya Mas Geryl gak bisa bohong
Lira: kalo stikernya udah ada yang terbaru, jgn lupa kirim di sini dong, Vik!
Tyra: hari ini Mamanya Illian ulang tahun nggak sih?
Vika: happy birthday, Les! Gue udah setting semua produk Jean.id diskon 31% buat ngerayain ultah lo
Lira: oke, gue borong dulu
Lira: outer-outer yang baru rilis bulan lalu gemes bgt, dari kemaren gue mau beli gak kedapetan sold out mulu
Vika: sekarang semua outer udah restock, silakan diborong buibuuu
Vika: biar gue sama Alesia bisa cepet liburan ke Swiss berduaa
Alesia: bertiga dong, sama Adek jugaa
Alesia send a picture.
Alesia: Adek jadi sedih kalau gak diajak ke Swiss
Alesia send a picture.
Alesia: update selfie terbaru anak gaul Jakarta🤟🏻
Alesia send a picture.
Alesia: makasih banyak ucapannya buat Mamaku. Tante-tante gak usah repot ngasih Mamaku kadoo😊
Alesia: yang penting besok pas aku ulang tahun yg pertama, harus kasih kado yaaa🤭
Vika: HAHHH MANA BOLEH ADA BAYI SELUCU INI?
Lira: buruan bikinin stiker Vik
Karen: gemes banget dehhh, dispam selca sama Illian😭😭😭
Tyra: Duh, gemesnyaaa😭😭😭😭
Tyra: Illian kalo dijodohin sama Arnadia mau nggak?
Tyra: kayaknya Arnadia demen brondong deh
Karen: nooo, Illian dijodohin sama anak gue aja!
Vika: enggak, mending sama anak gue aja
Vika: berkat Illian, gue jadi termotivasi buat cepet nikah biar bisa punya anak cewek
Vika: tenang, Dek! bentar lagi Tante akan melahirkan jodoh kamu
Alesia: mon maap nih, anak gue bahkan belum genap setahun🙃
Ketika Alesia ingin mengetikkan pesan lain, suara Illian terus menginterupsinya. Sejak tadi Illian memang ngoceh-ngoceh terus, minta diajak ngomong. Namun, ucapan Illian kali ini terdengar sangat jelas.
"Aa ... yahhh!" Otomatis Alesia mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Tidak ada siapa-siapa, tapi Illian menyerukan kata Ayah berulang kali dengan ceria.
"Tadi Adek bilang apa?"
"Yyiahhh?"
"A-yah!"
"Aaa ... yahh!"
Senyum Alesia melebar. Dia tidak menyangka Illian bisa memanggil Ayahnya dengan jelas tanpa diminta lebih dulu. "Wahh, pinter banget, sih, Dek, sekarang udah bisa manggil Ayah! Mana jelas banget lagi suaranya!"
Selama ini Alesia memang mengajari Illian untuk memanggil Ayah. Ia ingin kata pertama yang keluar dari mulut Illian adalah Ayah. Ya sadar diri aja sih, statusnya di sini merupakan Ibu sambung. Jadi, ia ingin hubungan Illian dengan Ayahnya menjadi lebih dekat.
Setelah mengambil video bagaimana Illian memanggil-manggil Ayah, ia pun beranjak untuk mengecek cheese cake-nya ketika oven sudah berdenting lembut.
Butuh menunggu beberapa menit sampai cheese cake-nya dingin. Kemudian mendekornya sedikit dengan cream cheese dan potongan stoberi kesukaan Illian. Dan terakhir, ia mengambil sebuah lilin kecil yang sudah dibelinya kemarin.
Alesia menyandarkan ponselnya pada kotak tisu, mengarahkan kamera pada dirinya dan Illian yang duduk bersebelahan menghadap cheese cake buatannya.
"Happy birthday Mama! Happy birthday, Mama! Happy birthdaaay, happy birthday, happy birthday, Mama!" Ia bernyanyi sambil tepuk tangan, yang membuat Illian ikut tepuk tangan dengan ceria.
"Makasih banyak ya, Dek, udah selalu nemenin Mama setiap hari. Harapan Mama masih sama, Mama mau kamu selalu sehat dan bahagia." Alesia mendaratkan kecupan di kedua pipi dan kening Illian.
"Kamu enggak perlu jadi anak yang paling pintar. Mama juga nggak akan menuntut kamu dalam hal apa pun. Kamu bisa melakukan semua hal yang kamu suka. Yang penting cuma satu, kamu harus janji untuk selalu bahagia dan bersyukur ya?"
Alesia mengacungkan kelingkingnya. "Mama janji nggak akan ninggalin kamu dalam kondisi apa pun. Nih, kamu bisa pegang janji Mama. Dan kamu juga harus janji ya, Dek, buat selalu nemenin Mama ngerayain ulang tahun sampai kapan pun? Ayo kita pinky promisedulu!"
Illian pun menggenggam kelingking Alesia yang membuatnya tersenyum puas. Kemudian ia mengucapkan amin dengan lirih atas semua doa dan harapan yang barusan ia panjatkan, dan meniup lilin sambil tepuk tangan.
"Sekarang, saatnya kita potong kue!"
***
Di tengah meeting panjang berturut-turut yang melelahkan, perhatian Geryl teralihkan dengan sebuah pesan yang barusan masuk.
Nama pengirim pesannya memang enggak asing. Sama sekali tidak asing. Namun, pesan itu terasa sangat asing. Sepertinya ini adalah kali pertama wanita itu mengirimkan pesan padanya selama mereka menikah tiga bulan ini.
Alesia: Mas, Adek udah bisa manggil Ayah nihhhh
Alesia: suaranya udah jelas banget!
Alesia send a video.
Dalam video tersebut, Alesia terlihat duduk di sebelah Illian. Kameranya terfokus pada Illian, wajah Alesia hanya terlihat separuh. Illian duduk di high chair dan berceloteh ceria memanggil Ayah berulang kali.
Video itu hanya berdurasi lima belas detik, tapi benar-benar berharga untuknya.
Terus terang Geryl tidak pernah mengharapkan hal ini. Apalagi kalau mengingat ia sempat menjaga jarak dengan Illian. Dan Alesia-lah yang selama ini menemani Illian hampir setiap saat. Wajar saja kalau anaknya tidak dekat dengannya, atau bahkan tidak mengenalinya.
Meski belakangan ini Illian mulai terbiasa berada dalam gendongannya, tetap saja Illian lebih suka bersama Mamanya.
Geryl pun sudah menyiapkan diri kalau nantinya Illian akan lebih dulu menyebut kata Mama dibanding Ayah. Dia sama sekali enggak berhak untuk cemburu, kan?
Namun, ternyata Alesia tetap berusaha melibatkan dirinya dalam hubungan mereka, sehingga konsisten mengajarkan Illian memanggil Ayah.
Sampai beberapa jam berikutnya, Geryl terus memutar video tersebut, entah sudah berapa puluh kali. Apalagi setelah meeting selesai, ia bisa memutar video itu di ruangannya sendiri dengan volume penuh. Ia tidak bisa menahan senyum ketika melihat bagaimana cerianya Illian saat menyebut kata Ayah berulang kali.
"Pak, laporan terakhir yang diminta Pak Roby sudah saya berikan ya. Mungkin besok pagi baru di-follow up!" Jordy masuk ke ruangannya dan berdiri di ambang pintu.
Kepala Geryl mendongak. "Oke, terima kasih."
"Terus buat update software yang kemarin Bapak ajukan, sedang ditinjau oleh Pak Gatot. Sebenarnya Pak Gatot bilang, mau kirim file-nya sore ini. Tapi sampai sekarang belum dikirim juga."
Geryl manggut-manggut. "Ya udah nggak papa. Bilang ke yang lain sekarang bisa pulang aja, nggak usah nungguin file-nya hari ini. Kamu juga bisa pulang duluan."
"Baik, terima kasih, Pak."
Pandangan Geryl tertuju pada jam dinding. Sudah pukul lima lebih. Ia pun merapikan barang-barangnya, bersiap pulang juga.
Keningnya mengerut bingung ketika Jordy tidak kunjung pergi dari ruangannya. "Masih ada yang mau kamu sampaikan?"
"Hmm, gini, Pak. Pacar saya titip salam buat Bu Alesia," ujar Jordy dengan agak canggung, "katanya, dia happy banget karena berhasil dapetin outer lucu keluaran terbaru Jean.id! Mana dapet diskon lumayan gede juga!"
Geryl hanya manggut-manggut.
Setelah pesta pernikahannya beberapa bulan lalu, Jordy dan sebagian besar teman sekantornya langsung bisa mengenali Alesia sebagai salah satu pemilik brand pakaian yang sedang viral. Kata mereka, Alesia sering muncul di konten-konten Tiktok promosi brandtersebut, sehingga wajahnya tidak asing lagi.
Jordy sempat membujuk Geryl membelikan koleksi terbaru brand Alesia, untuk diberikan ke pacarnya. Kemudian Geryl hanya mengatakan, "kamu beli aja sendiri. Nanti kirimkan bukti bayarnya, saya transfer uang gantinya."
"Masalahnya bukan harganya, Pak! Tapi koleksi Jean.id tuh susah dapetnya! Harus gercep banget, karena biasanya kurang dari lima menit stoknya udah habis! Pacar saya berulang kali mau beli, tapi baru milih ukuran udah kehabisan. Kan mumpung saya punya koneksi orang dalam nih, jadi nggak usah susah-susah war gitu!"
Begitu juga dengan beberapa junior-nya yang seringkali merayu Geryl agar menghadiahkan produk Jean.id, sebagai tambahan isi hampers natal atau lebaran. Namun, Geryl tidak pernah mengabulkannya.
Sebenarnya mudah saja bagi Geryl untuk melakukan itu. Ia tinggal bilang pada Alesia untuk minta stok khusus, lalu membagikannya, sehingga tidak dicap sebagai atasan yang pelit lagi.
Tetapi Geryl sungkan. Hubungannya dengan Alesia tidak sedekat itu. Mereka menikah hanya untuk Illian, jadi rasanya tidak enak kalau meminta sesuatu di luar kepentingan Illian.
Lagi pula ia tidak peduli juga kalau orang-orang di kantor menganggapnya pelit.
Setelah mengemasi barangnya, Geryl keluar ruangan bersamaan dengan Jordy yang mengekor.
"Lihat nih, Pak, pacar saya masih heboh banget, setelah berhasil dapetin outernya! Asal Bapak tahu, brand istri Bapak itu lagi viral-viralnya. Tapi mereka enggak mau bikin produk mereka jadi pasaran, makanya stok setiap koleksi cuma sedikit. Dan kalau sudah sold out, butuh waktu lama banget buat restock. Itu pun jumlahnya terbatas." Jordy terus berceloteh sambil menunjukkan isi chat dengan pacarnya yang sama sekali tidak diperhatikan oleh Geryl.
"Eh, sama lho, Mas! Aku juga suka banget sama koleksi-koleksi Jean.id. Hari ini tuh konsepnya mereka lagi syukuran gitu ya, jadi ngasih stok lumayan banyak, terus ada diskon juga! Tadi aku habis borong!" Salah satu karyawati Geryl yang sedang menunggu lift ikut nimbrung.
"Iya, emang lagi syukuran, 'kan salah satu owner-nya, alias Bu Alesia istrinya Pak Geryl lagi ulang tahun!" seru Jordy sama antusiasnya. "Jangan lupa sampaikan salam dari pacar saya untuk Bu Alesia, ya, Pak! Semoga Bu Alesia panjang umur dan sehat selalu. Tolong sering-sering kasih diskon besar kayak gini! Biar mood pacar saya bagus seharian!"
Ulang tahun?
"Iya, Pak! Saya juga nitip salam untuk Bu Alesia! Kalau bukan karena ulang tahun Bu Alesia, kayaknya sampai sekarang saya enggak berhasil dapetin outer-outer-nya yang lucu itu deh!"
"Mana desain-desainnya Bu Alesia tuh bagus banget ya, Pak! Buat cowok juga bagus. Saya punya beberapa tuh baju couple Jean.id yang dibeliin pacar saya. Awalnya saya pikir, pake baju couple sama pacar tuh norak banget. Tapi setelah lihat produknya, bagus banget ternyata. Desainnya unik, fresh, dan enggak pasaran! Kalo Bu Alesia butuh model, barangkali tampang saya dan pacar saya cocok, bisa hubungi saya aja, Pak! Saya rela nggak dibayar, asal dapet stok produknya buat setahun!"
Geryl berusaha menutupi keterkejutannya dengan raut datar. Ketika lift di depan mereka terbuka, ia menyahut seadanya, "Terima kasih, nanti saya sampaikan."
Tentu Geryl tidak mengetahui apa pun soal brand pakaian Alesia. Wanita itu tidak pernah membahasnya sama sekali. Ia pikir, selama mengurus Illian, Alesia tidak lagi meng-handle brand itu.
Seingatnya, bisnis itu dijalankan Alesia bersama temannya. Dan kalau Geryl tidak salah dengar, Alesia pernah bilang pada Ibunya, kalau temannya yang lebih banyak mengurusi bisnis itu selama ia di Jakarta. Mereka juga sudah punya banyak karyawan, sehingga Alesia bisa lepas tangan.
Dan sekarang ia baru tahu kalau Alesia tetap bekerja di tengah kesibukannya mengurus Illian. Diam-diam ia takjub dengan kemampuan wanita itu dalam mengatur waktu.
Oh, jangan lupakan fakta bahwa hari ini Alesia ulang tahun!
Geryl benar-benar baru tahu! Tadi pagi, wanita itu tidak mengatakan apa pun. Rutinitasnya berjalan seperti biasa. Sama sekali tidak menyebut-nyebut soal ulang tahun.
Tangan Geryl bergerak mengecek softfile kartu keluarga di ponselnya, untuk memastikan tanggal lahir Alesia.
Tiga puluh satu?
Demi Tuhan, Geryl bahkan baru tahu umur Alesia sekarang. Selama ini ... ia terlalu abai dengan apa pun mengenai wanita itu.
Sambil berjalan keluar lift, ia menimbang-nimbang, haruskah ia memberikan kado?
Atau tidak perlu? Toh, hubungan mereka tidak akrab-akrab amat, kan?
***
Bab 24: Taktik Pertama
Ibu: apa kabar, Sayang?
Ibu: kamu sehat kan?
Ibu: cucu Ibu lagi apa?
Setiap kali mendapat pesan dari Ibu mertuanya, hati Alesia menghangat. Sejak kecil ia tidak pernah mendapatkan peran Ibu selembut ini. Dan perhatian beliau selalu berhasil menaikkan mood-nya.
Tidak ingin membuat mertuanya menunggu, Alesia pun segera membalas.
Alesia: alhamdulillah, sehat, bu
Alesia: Ibu dan Bapak sehat?
Alesia send a picture.
Alesia: mentang-mentang udah punya gigi, Adek jadi nyengir teruss pamer gigi kelinci ke semua orang
Ibu: lucunyaa cucu Eyang
Ibu: alhamdulillah Ibu dan Bapak sehat😻
Alesia: Ibu sama Bapak jadi ke Jakarta minggu depan?
Ibu: jadinya hari ini Sayang
Ibu: tadi pagi Ibu dikasih tau Mami, katanya hari ini kamu ulang tahun ya?
Ibu: selamat ulang tahun ya, Sayang!
Ibu: semoga panjang umur, sehat selalu, dan bahagia terus sebagaimana Ibu dan Bapak yang bahagia dengan keberadaan kamu.
Ibu: karena ini ulang tahun pertama kamu sebagai mantu Ibu, jadi kita rayain bareng-bareng ya nanti!
Ibu: ini Ibu sama Bapak udah di bandara, pesawatnya jam satu siang
Alesia: terima kasih banyak, Bu
Alesia: Aku beneran terharu banget. Makasih juga ya, Bu, karena mau menerima aku dengan sebaik ini. Aku beruntung banget karena punya mertua seperti Ibu🤍
Alesia: Aku siapin kamarnyaa dulu ya, Bu
Alesia send a picture.
Alesia: Eyang ditunggu Adek di rumah yaa! Adek udah kangen Eyang nih😊
Kemudian Alesia menutup ponselnya ingin menyiapkan kamar tamu, mumpung Illian sedang tidur. Yuni pun berinisiatif membantu membersihkan kamar yang sudah lama sekali tidak ditempati itu.
Terakhir kali mertuanya menginap di rumah itu adalah beberapa hari sebelum Alesia menikah. Sebenarnya mertuanya kembali ke Surabaya tepat dua hari setelah pesta pernikahan mereka. Tapi mereka tidak menginap di rumah ini, karena lebih memilih tinggal di hotel yang lebih dekat dengan bandara.
Jadi, ini akan menjadi kali pertama Ibu mertuanya menginap di rumah ini setelah ia menikah. Tentu saja ia sangat antusias. Ibu mertuanya itu jelmaan ibu peri yang selalu membuat Alesia nyaman bicara apa saja. Bahkan belakangan ini ia lebih sering berkirim pesan dengan mertua, ketimbang dengan Mami kandungnya sendiri.
Namun, saat sedang membantu Yuni memasang sprei, ia baru menyadari sesuatu. Tubuhnya langsung berhenti bergerak, lalu tangannya refleks menepuk jidatnya keras.
Bodoh.
Alesia baru sadar kalau selama ini 'kan, ia tidur terpisah dengan Geryl. Orangtua maupun Mertuanya tidak mengetahuinya sama sekali, dan jelas enggak boleh tahu!
Kalau begini, apa yang harus ia lakukan sekarang?
"Kenapa, Mbak?" Yuni menatapnya bingung.
"Bentar ya, Mbak! Aku baru inget sesuatu!" Kemudian Alesia menuju kamarnya sendiri, membiarkan Yuni membereskan sisanya.
Di saat pikiran Alesia penuh oleh campuran rasa panik dan bingung, tiba-tiba saja Vika menelepon.
"Halo, Les? Gue udah ngirim revisi design lo. Coba dicek. Kalau menurut lo, revisi gue kurang oke, atau ada yang mau lo tambahin, kasih tahu aja. Illian lagi rewel?"
"Halo, eh, enggak. Illian lagi tidur siang. Nanti agak maleman gue cek ya! Ini masih hari ulang tahun gue, by the way. Tolong kasih napas dikit ya!" sahut Alesia sambil mendengus.
Vika terbahak. "Iya, santai aja. Enggak buru-buru juga kok. Kan itu rilisnya masih bulan depann. Gue cuman iseng aja telepon."
"Alah bilang aja kangen gue kan, lo!"
"Jujur iya sih, kangen banget! Udah lama kita nggak ngobrol. Sebenernya enakan ngobrol langsung ya? Sayangnya paket hari ini tembus 5000 resi. Jadi gue harus bantu tim packing juga, biar mereka nggak lembut berhari-hari. Nanti setelah ini beres, gue sempetin ke Jakarta tiga harian gitu kali ya, pas weekend?"
"Boleh banget! Toh sekarang Illian udah gede, udah bisa diajak jalan-jalan. Tapi jangan minggu ini deh. Mertua gue dateng. Nggak tau sih, bakal nginep sampai kapan. 'Kan nggak mungkin ya, gue cabut sama lo pas ada mertua di rumah."
"Okay, ntar kasih tau aja kalau Mertua lo udah balik. By the way, gimana kabar lo?"
Kening Alesia mengernyit bingung. "Kabar gue? Apaan deh, random amat tiba-tiba nanya kabar. Ya gini-gini aja sih. Kayak yang lo tahu sendiri."
"Sekarang lo happy?"
Alesia sempat mengambil jeda beberapa detik sebelum menjawab. "Happy. Hari ini Illian udah makin ceriwis. Dia udah bisa manggil-manggil Ayahnya. Dan tiap hari kerjaannya nyengir terus, mentang-mentang udah punya gigi!"
"Gue ikut seneng dengernya. Terus hubungan lo sama Ayahnya Illian gimana?"
Beberapa waktu lalu Alesia memang sempat keceplosan kalau hubungannya dengan Geryl sangat dingin, bahkan mereka tidur terpisah. Dan Vika langsung mencerocos panjang lebar, memberikan tips dan trik untuk meluluhkan hari Geryl.
Padahal sejak awal dia tidak berniat meluluhkan hati Geryl sama sekali.
"Ya masih gitu-gitu aja."
"Belum ada perubahan sama sekali?"
"Nope."
"Kalau perasaan lo ke dia gimana?"
Pertanyaan Vika membuat Alesia termenung sesaat. Lalu dia teringat sesuatu! Ada, ada yang berubah dari hubungannya dengan Mas Geryl. "Nggak tau ya, rasanya ini masih terlalu dini buat dideskripsiin. Ini remeh banget sih, lo pasti ngakak deh dengernya."
"Gimana-gimana?!" Vika langsung bersemangat.
"Sebenarnya dari awal gue kan emang nggak mau naruh ekspektasi apa pun. Dia juga udah bilang, kalau dia mau nikah sama gue cuma demi Illian, begitu pun juga gue. Jadi, harusnya kita nggak bahas apa pun selain yang berhubungan sama Illian. Tapi, semuanya berubah sejak beberapa bulan lalu. Ceritanya waktu itu Illian lagi GTM gara-gara mau tumbuh gigi. Gue beneran frustasi banget lihat Illian nggak mau makan. Gue sampe yang bener-bener capek, terus nangis tengah malem di kamar Illian. Nggak tau gimana, tiba-tiba dia nyamperin gue ke kamar Illian. Dia pikir gue atau Illian sakit. Ya udah gue bilang kalau gue cuma lagi capek aja, terus gue balik ke kamar gue sendiri. Harusnya udah dong, dia bisa lanjut tidur. Tapi ternyata dia bikinin gue sandwich! Jadi, setelah gue nangis-nangis nggak jelas di kamar, dia ketuk pintu kamar gue, ngajak ke meja makan. Dan sandwich-nya itu cuma ada satu. Buat gue doang. Habis itu dia langsung balik ke kamar gitu aja, enggak nemenin gue makan. Menurut lo, kenapa dia bikinin gue sandwich malam itu?
"A. Karena dia kelaperan tengah malem terus bikin sandwich, dan bahannya sisa jadi sekalian bikinin gue. Dia udah makan duluan samdwich punya dia, karena nggak mau makan bareng gue. Atau B. Karena dia merhatiin gue yang seharian belum makan, terus inisiatif bikinin sandwich biar gue nggak sakit? Dia bikin satu doang, spesial buat gue, karena sebenarnya dia enggak laper." Alesia terkekeh sendiri ketika menyebutkan soal pilihan ganda tersebut secara dadakan.
Vika terbahak. "Jawabannya udah ketebak banget nggak sih? Jelas A-lah!"
Alesia mendengkus, tapi dia setuju. "Emang kan, harusnya gue tuh nggak usah baper ya? Cuma perkara sandwich doang, aja gue langsung baper. Sumpah, malam itu gue yang barusan nangis sesenggukan enggak jelas, langsung jadi cengar-cengir sendirian di meja makan. Semenjak hari itu, semuanya berubah. Gue yang tadinya nggak punya ekspektasi apa-apa, jadi mulai tumbuh harapan-harapan yang seharusnya nggak boleh ada."
"Kenapa nggak boleh ada? Ya wajar aja lah, lo berharap hubungan kalian jadi lebih dekat! Dia kan, suami lo!"
"Masalahnya yang ngerasa pengen hubungan kita dekat tuh cuma gue. Dia tetep lempeng-lempeng aja tuh! Setelah bikinin gue sandwich malem itu, dia tetep kaku aja kayak biasa, nggak ada yang berubah sedikit pun."
"Ya ampun, Les! Kok lo tahan-tahan aja sih?" Vika mulai mencerocos. "Tapi sebelum nikah lo nggak ada tanda tangan kesepakatan apa pun sama dia, kan? Kayak kontrak apa kek, semacam ... nggak boleh mengurusi urusan satu sama lain, atau apa gitu?"
"Nggak ada ya, kampret! Lo kira pernikahan gue sinetron apa!" sungut Alesia.
"Berarti lo dan Mas Geryl betulan berkomitmen buat menjalani pernikahan ini secara jangka panjang?"
"Dia sih, enggak pernah ngomongin soal itu. Cuman dia bilang, dia mau nikah sama gue karena tujuan kita sama. Sama-sama mau membahagiakan Illian. Dan ya udah. Selama Illian sehat dan happy, maka gue juga bakal happy. Begitu pun dengan dia."
"Nggak! Percaya sama gue, Illian nggak akan happy kalau hubungan orangtuanya dingin kayak kalian sekarang, nggak ada chemistry. Mau lo sembunyiin serapat apa pun, anak tuh bakal tetap punya feeling kalau orangtuanya ada masalah, atau lagi berantem gitu. Dan keharmonisan hubungan Ayah dan Ibu itu sangat berperan penting dalam perkembangan anak. Ini gue ngomong sebagai korban broken home ya!"
Alesia hanya termenung, membiarkan Vika terus mencerocos.
"Dulu orangtua gue nikah tanpa cinta. Ternyata sampai gue TK, usaha mereka buat saling mencintai nggak berhasil. Meski mereka berusaha terlihat baik-baik aja di depan gue, tetap aja gue ngerasa kalau orangtua gue enggak kayak orangtuanya temen-temen gue. Gue selalu ngerasa kesepian. Padahal Mama dan Papa memperlakukan gue dengan sangat baik, tapi gue selalu ngerasa sendirian. Apalagi pas SD, di mana kita sering cerita-cerita ke temen tentang keluarga masing-masing, gue ngerasa keluarga gue yang paling nggak jelas dibanding keluarga temen-temen gue. Rumah gue tuh selalu sepi. Semua orang sibuk sama diri sendiri. Kedekatan mereka kayak dipaksakan. Sampai ujungnya orangtua gue nggak bisa nahan lagi, dan mereka pun cerai.
"Alasan mereka cerai bukan karena orang ketiga. Ya karena mereka nggak bisa membahagiakan satu sama lain aja. Mereka cerai sebelum gue masuk SMP. Setelah itu gue cuma tinggal sama Mama. Barulah gue bisa ngerasain kasih sayang Mama, juga betapa berharganya gue buat Mama. Karena Mama bisa jadi dirinya sendiri, enggak lagi harus berpura-pura. Kalau mereka nggak cerai, mungkin gue nggak akan pernah bisa ngerasain itu."
Ada jeda keheningan di antara mereka. Alesia mulai paham dengan arah cerita Vika, sedangkan Vika berusaha menenangkan sesak di dadanya ketika mengingat kembali masa kecilnya yang begitu hampa.
"Jadi gue rasa, kalau lo beneran mau bikin Illian happy, lo harus happy sama diri lo sendiri dulu. Terus mulai serius menjalin chemistry sama suami lo. Justru anak kecil itu yang paling bisa bedain mana bahagia yang tulus dan dibuat-buat! Bukannya gue doain lo, tapi kalau pernikahan lo lempeng-lempeng gini doang, gue nggak yakin hubungan kalian bisa bertahan lama. Orangtua gue yang terus berusaha buat bangun chemistry aja ternyata tetep gagal setelah bertahun-tahun. Apalagi lo yang nggak nyoba sama sekali?"
"Jujur aja, gue juga mulai capek sih, Vik. Makin hari gue ngerasa makin jauh sama Mas Geryl. Padahal gue kira, sandwich malam itu adalah sebuah permulaan yang bagus buat perbaikan hubungan ini. Nggak taunya, dia malah makin sibuk, dan gue nggak tahu harus gimana. Jangankan buat ngomong heart to heart, mau ngobrol santai aja nggak pernah. Dia tuh manusia jelmaan semen cor-coran yang kaku banget. Siapa sih, manusia paling kaku yang pernah lo kenal?"
Alesia berpikir sejenak. "Adam? Wahh, Adam sih kalah jauhhh! Meski dia cool banget, Adam masih ada sisi manusiawi yang tetep ketawa kalau ada yang ngelawak. Lah, Mas Geryl? Gue bahkan nggak pernah lihat dia ketawa. Dia gue suruh ngobrol sama anaknya aja kaku banget!"
"Ya lo coba ngerayu duluan dong! Udah tau dia sekaku itu, harusnya lo ada inisiatif deketin duluan! Kalo lo diem-diem terus gini, sampai Illian masuk SMP juga kalian bakal tetep jalan di tempat."
"Sumpah senakal-nakalnya pergaulan gue, nggak pernah tuh sekalipun gue ngedeketin cowok duluan!" gerutu Alesia.
"Beda dong! Ini kan ke suami sendiri. Jangan gedein gengsi! Mas Geryl nggak mungkin nolak lo, karena bagaimanapun lo itu istrinya. Tapi ya ... tetep deketinnya harus pake taktik khusus, jangan agresif banget. Bisa-bisa dia malah takut sama lo."
"Ah, gue jadi keinget kalo gue lagi stres banget nih!" Alesia menghela napas panjang.
"Kenapa lagi?"
"Hari ini tuh mertua gue mau nginep di rumah, otomatis gue sama Mas Geryl harus tidur sekamar 'kan? Nggak mungkin tetep tidur misah gini, bisa-bisa gue malah diceramahin tujuh hari tujuh malam."
"Nah! Ini saatnya lo menjalankan taktik pertama!"
"Taktik apaan anjir? Yang ada gue nggak bisa tidur semaleman karena pasti canggung banget deh, sekamar sama dia."
"Mau gue kasih referensi lingerie yang oke?"
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
