
Bab 16 - Payah
Bab 17 - Back to the Market
Bab 18 - Progress
Bab 19 - Drama Baby Sitter
Bab 20 - Soon to Be Your Husband
Bab 16: Payah
Dalam sepi yang mengisi hari-harinya, Geryl terus bertanya-tanya, kenapa Tuhan memberikan takdir sejahat ini padanya.
Ia menyesali banyak hal, merindukan Tishia lebih banyak setiap harinya, dan terus mengenang momen-momen bahagianya bersama Tishia yang tidak akan bisa diulang lagi dengan hati tersayat-sayat.
Demi Tuhan, ia yakin tidak ada satu pun orang yang mampu memahami apa yang ia rasakan.
Ratusan orang mengucapkan belasungkawa, turut menangis sambil memeluknya. Tapi tidak ada satu pun dari mereka yang pernah merasakan bagaimana hancurnya kehilangan belahan jiwanya.
Hidup Geryl berantakan. Tidak ada lagi ambisi, semangat, dan impian yang tersisa. Semuanya turut terkubur bersama sebagian hatinya yang dibawa Tishia.
Geryl ingat pada percakapannya dengan Tishia, jauh sebelum hari ini terjadi.
"Kalau aku boleh minta, aku pengen besok yang meninggal aku duluan, dibanding kamu." Tishia mengatakan itu sambil membenamkan wajah pada dada hangat Geryl.
"Kenapa?"
"Karena ... kamu ganteng banget, Mas. Kalau aku meninggal duluan, nggak sulit buat kamu ketemu orang lain, dan nikah sama orang yang yang jauh lebih cantik dari aku. Sedangkan kalau kamu duluan yang meninggal, bisa dipastikan aku bakal jadi janda sampai mati, karena mustahil bisa nemuin cowok seganteng dan sebaik kamu di luar sana."
Geryl tidak suka mendengarnya, meski kalimat itu mengandung pujian untuknya. "Kata siapa? Aku yakin nggak akan mungkin bisa ketemu perempuan setulus kamu."
"Dih, nggak usah gombal deh! Aku sadar diri kalau aku enggak secantik itu kok! Bahkan dibanding adikku aja, aku kalah jauh. Nggak usah sok-sok muji aku cantik gitu deh, Mas. Nggak akan mempan!"
"Tapi aku serius! Kecantikanmu tuh ... terpancar alami bersamaan dengan ketulusanmu. Lagian cantik itu relatif. Bagiku, kamu cantik."
"Iya, aku cantik aja, kan? Enggak cantik banget kayak adikku?"
"Aku lupa gimana wajah adikmu."
"Oh iya, udah lama juga ya, kita nggak ketemu dia."
"Kalau kamu mau muji aku ganteng seribu kali, dengan senang hati aku terima. Tapi besok-besok, tolong berhenti bahas soal kematian. Aku nggak suka dengernya." Geryl mengembalikan topik obrolan mereka dengan raut tegas.
"Emang kenapa, Mas? Seumur hidup, aku enggak pernah berencana buat selingkuh atau ninggalin kamu. Kamu ada kepikiran mau ninggalin aku?"
Geryl buru-buru menggeleng.
"Ya udah, kalau gitu, berarti satu-satunya yang bisa memisahkan kita cuma kematian, kan? Dan itu enggak akan bisa dihindari gimana pun caranya."
"Emang bener. Tapi ... nggak ada salahnya kan, kalau kita berdoa supaya panjang umur?" Kemudian Geryl mengeratkan dekapannya pada sang istri. "Dan kalau aku boleh nambahin doanya, semoga ... besok kita meninggalnya barengan aja. Aku nggak kebayang gimana rasanya kalau kamu meninggal duluan."
Sekarang aku tahu gimana rasanya, Sayang. Aku hancur.
***
"Mau sampai kapan kamu begini terus, Mas?" Suara Ibunya terdengar melalui telepon yang dinyalakan mode loudspeaker, sehingga ia bisa tetap mendengarnya sembari mengecek email di laptop.
"Mas, Ibu tahu kamu sedih karena ditinggalkan orang yang kamu cintai. Tapi kamu harus ingat kalau yang sedih bukan cuma kamu. Yang ditinggalkan juga bukan cuma kamu!" Setelah berhari-hari menghubunginya dan selalu ditolak, akhirnya hari ini Geryl mengangkat telepon dari Ibunya.
Sesuai dugaan, Ibunya langsung ceramah panjang lebar.
"Ya ampun, Mas! Kamu bikin tensi Ibu makin tinggi!" keluh Ibunya yang semakin frustasi karena tidak juga mendapat jawaban apa pun dari sang putra.
"Ibu mengerti banget, kamu sedang berduka. Ibu juga sangat menyayangi Tishia seperti anak kandung Ibu sendiri. Meski begitu, Ibu tahu kalau rasa kehilangan yang kamu rasakan pasti berbeda dengan yang Ibu rasakan. Ibu tahu, apa pun yang akan Ibu katakan untuk menghibur kamu, itu enggak akan berpengaruh apa-apa. Karena Ibu nggak tahu gimana rasanya ditinggalkan pasangan Ibu.
"Tapi, coba kamu pikirin satu aja omongan Ibu, kamu masih punya Illian, Mas. Dia anak kandung kamu. Anak yang sangat disayangi Tishia, dan kalian nantikan kehadirannya selama bertahun-tahun. Bahkan Tishia rela menukar hidupnya untuk melahirkan anak itu ke dunia. Bisa-bisanya kamu enggak datang ke acara aqiqahan anak kamu?"
Kali ini Geryl mengalihkan pandangannya dari laptop. Ia menarik napas panjang, kemudian menghembuskannya keras-keras. Pandangannya mengedar pada pemandangan kota di malam hari yang terpampang jelas melalui dinding kaca ruang kerjanya.
"Bu ...." Suara Geryl bergetar. Dadanya terasa sesak ketika otaknya merancang kalimat yang dia sebutkan kemudian. "Kalau aku bisa memilih, jelas lebih baik aku pilih enggak punya anak selamanya dibanding harus kehilangan Tishia."
Ibunya mendesah panjang, lalu suara isak tangisnya terdengar. "Astaghfirullah, Mas! Istighfar, Mas! Ibu tahu kamu sedih, tapi—"
"Bu, yang aku rasain sekarang bukan cuma sedih," sela Geryl pelan, susah payah menahan air matanya agar tidak mengalir. Ini masih di kantor. Dia enggak mungkin menangis di sini.
"Ibu tahu, Mas. Ibu tahu. Tapi kamu perlu ingat, bahwa kita ini cuma manusia biasa. Nggak ada satu pun yang mengubah kuasa Tuhan. Jalannya sudah begini, mau kamu berusaha sekuat apa pun untuk mengubahnya, enggak akan bisa."
Kali ini Geryl terdiam. Membiarkan Ibunya terus bicara.
"Tishia pasti akan sedih kalau lihat kamu seperti ini. Kamu yang paling tahu betapa bahagianya Tishia saat menantikan kelahiran Illian. Setidaknya, sayangi dan rawat Illian untuk Tishia. Buat Tishia bangga sama kamu karena kamu bisa merawat anaknya dengan baik. Kamu ayah kandungnya. Illian tanggung jawabmu! Kamu nggak bisa lepas tanggung jawab gitu aja dengan membiarkan Illian dirawat oleh mertuamu.
"Mas Geryl, mertuamu juga menghadapi duka yang sama dengan yang kamu rasakan sekarang. Mereka juga sedih ditinggalkan putri sulungnya yang berharga. Tapi mereka semua enggak punya waktu yang cukup untuk berduka, karena sibuk mengurus Illian yang seharusnya menjadi tanggung jawabmu." Terdengar isak tangis Ibunya yang membuat dada Geryl kian sesak.
"Dan ... bisa-bisanya kamu enggak datang di acara aqiqah putramu sendiri? Ibu kecewa banget sama kamu! Di mana otak kamu, sampai menelantarkan anakmu seenaknya begini?"
Bagaimana bisa Geryl turut memperingati hari kelahiran Illian, yang juga merupakan hari meninggalnya Tishia?
Geryl belum sempat mengatakan apa pun ketika pintu ruangannya diketuk. Tak lama setelahnya pintu terkuak. Sekretarisnya masuk membawakan map hitam yang ditunggunya sejak tadi.
"Pak, laporan database yang kemarin diminta sama Pak Megi sudah diperiksa belum ya? Sekalian ini proposal proyek bulan ini, bisa Bapak cek sekali lagi sebelum tanda tangan." Jordy meletakkan map tersebut ke meja.
"Astaghfirullah, Mas! Jam segini kamu masih di kantor?!" Pekikan tersebut membuat suara Jordy tertahan. Ia pun pamit pulang dengan gerak bibir dan kedua tangan menyatu sebagai gestur minta maaf, lalu berjalan mundur keluar ruangan.
Setelahnya, tidak terdengar lagi suara omelan Ibunya. Barulah beberapa menit kemudian Geryl sadar kalau Ibunya sedang menangis terisak-isak. "Ibu nggak pernah ngajarin kamu untuk lepas dari tanggung jawab, Mas, sesulit apa pun itu .... Maafin Ibu ya, Mas, karena belum berhasil mendidik kamu untuk—"
"Iya, Bu, aku pulang sekarang."
Berhubung pinggangnya juga sudah lelah, ia pun melirik jam dinding. Pantas saja Ibunya mengomel. Ini sudah pukul delapan malam. Ia pun menuruti perintah Ibunya, mulai membereskan barang-barang yang akan dibawa pulang. Ia bisa melanjutkan pekerjaannya di rumah.
"Besok kamu datang ke rumah mertua kamu, minta maaf karena minggu lalu, saat aqiqah Illian, kamu enggak datang. Terus bawa Illian pulang ke rumahmu, supaya enggak merepotkan mereka terus-terusan."
"Bu, Mami sama Papi enggak serepot yang Ibu pikir. Di rumah mereka ada banyak pembantu. Ada baby sitter yang membantu mengurusi Illian. Mami dan Papi bisa tetap beraktivitas seperti biasa. Toh, mereka juga senang karena rumah menjadi ramai sama suara tangis Illian."
"Ya udah kalau gitu, bawa Illian pulang ke rumah bersama baby sitter-nya juga! Hire pembantu yang sama banyaknya di rumahmu, jadi kamu enggak terlalu repot. Kalau Ibu dan Ayah sehat, udah pasti dengan senang hati Ibu bakal tinggal di Jakarta sama kamu, dan membantu mengurus cucu Ibu. Tapi Ayah lagi drop akhir-akhir ini. Ibu nggak bisa—"
"Iya, Bu, besok aku ke sana."
***
Rencananya Geryl ingin datang ke rumah mertuanya hari Minggu. Namun, karena Papinya mengundangnya ke rumah di Sabtu, Geryl pun mengubah rencananya.
Ia sampai di rumah megah—yang ukurannya tiga kali lipat dari rumahnya itu—saat jarum jam menunjukkan pukul satu siang.
Kehadirannya disambut dengan hangat. Geryl langsung minta maaf karena tidak bisa hadir saat aqiqah Illian minggu lalu. Mami dan Papinya sama sekali tidak mempermasalahkan itu. Keduanya hanya mengangguk memaklumi, tanpa menanyakan alasan Geryl.
Namun, ia tidak sepenuhnya melakukan permintaan Ibunya. Dia belum siap membawa Illian untuk tinggal bersamanya. Jangankan tinggal bersama, sampai sekarang di umur Illian yang sudah genap satu bulan, Geryl belum pernah menggendongnya.
Selama ini ia hanya berani memandangi Illian dari jauh, itu pun tidak berani lama-lama. Pasalnya, segala hal tentang bayi itu selalu berhasil mengundang memorinya tentang Tishia. Hatinya terasa seperti ditusuk-tusuk setiap kali membayangkan bagaimana antusiasnya Tishia kalau bisa bertemu dengan Illian dan mengurusnya sendiri sesuai rencananya.
Hari ini adalah kali pertama Geryl menatap Illian sedikit lebih lama. Bayinya itu terus menangis, menolak dot yang diberikan baby sitter-nya.
Ia tidak tahu harus melakukan apa, hanya berdiri kaku dengan hati tercabik-cabik.
Di saat Geryl sudah tidak tahan menahan sesak di dadanya yang makin parah, Alesia datang.
Dengan mudahnya perempuan itu meletakkan Illian di pangkuannya, yang meski hanya sebentar, itu membuat perasaannya makin tidak karuan.
Omongan Ibunya kemarin terus berputar di kepalanya. Apalah Tishia akan kecewa melihat bagaimana Geryl yang mengabaikan keberadaan anaknya selama sebulan terakhir?
***
"Illian sudah tidur, Han?" tanya Mami yang baru saja membuka pintu kamar.
Hana terlihat agak panik. "Maaf Bu, tadi Illian nangis terus, akhirnya dibawa ke kamar Mbak Alesia."
"Tapi tadi udah dicoba minum ASI pakai dot?" Mami kini sepenuhnya masuk ke kamar, sementara Geryl masih termenung di pinggir kasur, dengan posisi yang belum berubah sedikit pun sejak Alesia meletakkan Illian di pangkuannya tadi.
"Sudah, Bu. Tapi baru sebentar, langsung dilepas. Terus enggak mau lagi."
Mami menghela napas kasar. "Han, kamu enggak bisa perpanjang kontrak ya? Biar kamu stay di sini aja. Saya suka sama pekerjaan kamu sebulan terakhir. Saya bisa kasih gaji lebih besar dari sekarang. Sulit banget, cari baby sitter yang bisa langsung cocok gini."
"Jujur saja, kalau saya boleh pilih, saya juga lebih suka kerja sama Ibu. Tapi maaf sekali enggak bisa, Bu." Hana menggeleng pelan sembari menunduk.
"Kontrak kamu berapa pinaltinya? Sini biar saya yang bayar, asal kamu tetap di sini."
"Maaf, Bu. Pinaltinya terlalu besar kalau saya melanggar kontrak. Nanti saya malah jadi enggak enak sama Ibu karena berhutang terlalu banyak. Lagi pula, bukannya kemarin Ibu sama Bapak sudah interview calon baby sitter baru ya?"
Mami mengangguk. "Besok orangnya ke sini. Tapi setelah saya pikir-pikir, satu babysitter masih kurang buat bantu Alesia ngurus Illian. Saya enggak tega, lihat dia pegang Illian terus pagi-siang-sore-malem gitu. Coba kamu tahu nggak, sehari dia tidur berapa jam?"
"Iya, Bu. Saya juga enggak tega lihat Mbak Alesia kecapekan dan kurang tidur setiap harinya. Tapi setiap saya mau gantiin gendong, selalu ditolak. Kadang Mbak Alesia bikin saya merasa cuma makan gaji buta, karena baru megang Illian sebentar, udah langsung disuruh istirahat. Sementara Mbak Alesia sendiri malah kurang istirahat."
"Makanya saya juga enggak tega kalau dia begitu terus! Bulan depan saya harus ke Singapura lagi untuk kontrol ring jantungnya Bapak. Di sana bakal agak lama, jadi saya nggak bisa ikut bantu ngurus Illian. Kalau kamu di sini 'kan, saya bisa lebih tenang. Kamu juga bisa ngajarin baby sitter yang baru, jadi Alesia enggak terlalu capek."
Hana menggigit bibirnya, dengan rasa bersalah. "Maaf ya, Bu. Saya benar-benar enggak bisa melanggar kontrak saya dengan rumah sakit. Nanti saya akan coba minta kompensasi supaya bisa tetap di sini seminggu lagi, sambil ngajarin baby sitter yang baru."
"Makasih banyak ya, Han. Kalau gitu, nanti ... sekitar satu atau dua jam lagi, kamu masuk aja ke kamar Alesia. Kalau mereka berdua tidur, kamu ambil Illian pelan-pelan, supaya Alesia bisa tidur dengan lebih nyaman."
"Baik, Bu."
Ketika ingin meninggalkan kamar, Maminya baru menyadari keberadaan Geryl di bibir kasur. "Lho, Geryl? Kamu ngapain di situ? Udah makan?"
"Belum, Mi."
"Yuk, turun. Biar Mami minta tolong Mbak Surti panasin makanan buat kamu!"
"Iya, Mi."
Setelahnya Geryl berjalan mengikuti Maminya meninggalkan kamar itu. Ketika sampai meja makan, Maminya memanggil-manggil asisten rumah tangganya, tapi tidak juga ada yang datang. Kamar pembantu di rumah ini memang terletak di bangunan yang agak terpisah, jadi seringkali mereka enggak mendengar kalau dipanggail dari rumah utama.
"Coba kamu ke belakang, Ger. Panggil Mbak Surti!"
Sebenarnya Geryl nggak lapar. Tapi langkahnya otomatis bergerak menuruti perintah mertuanya. Ia berjalan ke rumah belakang, tempat di mana kamar-kamar pembantu di rumah ini berjajar.
Dari tempatnya berdiri, Geryl melihat tiga orang pembantunya tengah duduk gazebo dekat kolam renang, tampak mengobrol dengan seru.
Ketiganya duduk membelakangi Geryl, sehingga tidak ada yang menyadari keberadaannya.
"Pas kae ki aku krungu dewe Mbak Alesia cerito ning Mbak Hana, jare deknen yo meteng bareng Mbak Tishia. Tapi anake meninggal pas lahir.[1]"
"Halah, tenane?[2]"
"Tenan! Aku rak mungkin salah krungu!"[3]
"Pantesan ya, Mbak Alesia iso nyusuin Adek. Aku ki wingi yo sempet mikir, lho kok Mbak Alesia iso metu ASI-ne ki pie carane?" [4]
"Padahal ki Mbak Alesia rung mbojo tho?" [5]
"Durung! Biasalah, paling hamil mbek pacare. Lha wong ayune koyo ngono kok. Yo mesti gampang banget le nggolek pacar!" [6]
"Eh tapi iso wae lho, asline Illian kui anake Mbak Alesia."[7]
"Heh! Ngawur! Kok iso mikir ngono tho, koe? Lha wong cetho kui anake Mbak Tishia kok!" [8]
"Yo iso wae kan, asline anake Mbak Tishia melu meninggal, terus anake Mbak Alesia dianggap dadi anake Mbak Tishia, ben Mbak Alesia rak isin mergo ndue anak tapi raono bojone." [9]
"Masuk akal sih!"
"Ngawur! Pas kae ki Mbak Alesia cerito, anake meninggal mergo opo ngono. Meninggale sebelum Mbak Tishia melahirkan." [10]
"Aku ki salut banget sakjane. Kok Mbak Alesia ki iso kethok sayang banget mbek Illian? Padahal kan Illian udu anak kandunge. Mung ponakan tho. Kok iso Mbak Alesia gelem men ngurusi Illian nganti rak turu sewengi ngono?" [11]
"Iyo, aku ki yo kaget pas mau awan Bapak nawari Mbak Alesia, meh ditukokne opo? Bapak meh ngei hadiah goro-goro Mbak Alesia wes gelem ngurusi Illian sesasi. Tapi Mbak Alesia malah wegah."[12]
"Wegah pie?" [13]
"Yo wegah. Bapak nganti ngei kartu kredit barang. Jarene oleh dinggo tuku opo wae. Tapi Mbak Alesia tetep wegah. Malah milih turu wae neng omah." [14]
"Lha tho! Pancen Mbak Alesia ki kethok tulus banget yo! Wajar tho, nek aku ngiro Illian kui anake Mbak Alesia." [15]
"Iyo. Wong Mas Geryl seng Bapak kandunge wae rak peduli mbek Illian kok. Lha iki Mbak Alesia seng mung tantene, gelem-gelemo ngurusi Illian seko isuk nganti bengi." [16]
"Koe nek misal dikon ngurusi Illian yo opo bakal nolak?"[17]
"Nek gajine nambah yo gelem-gelem wae sih. Tapi nek gajine podo wae yo mending turu." [18]
Kemudian tawa ringan menghiasi obrolan tersebut.
Geryl lahir dan besar di Surabaya, dia bisa Bahasa Jawa, meski tidak menggunakan bahasa itu dalam sehari-hari, karena sejak kecil ia sekolah di International School. Dan walaupun logat Bahasa Jawanya berbeda dengan logat Jawa Timur, dia tetap bisa memahami setiap kata yang tidak sengaja ia curi dengar.
Sebenarnya itu obrolan santai yang enggak perlu diambil hati. Hal semacam ini bukan pertama kalinya terjadi. Sejak dulu ia sering bermasalah dengan berbagai macam ART sampai harus gonta-ganti belasan kali.
Namun, ada satu perkataan mereka yang membuat hatinya tersayat. Timbul rasa tidak terima ketika mereka menganggap bahwa Illian adalah anak Alesia.
Akan tetapi ia juga tidak bisa sepenuhnya marah karena ucapan mereka ada benarnya. Apalagi selama sebulan terakhir ia memang menelantarkan Illian. Bahkan hari ini adalah pertama kalinya ia memangku anak kandungnya.
Sungguh, dia adalah Ayah yang payah. Sepertinya Tishia benar-benar akan marah kalau mengetahui semua ini.
***
Bab 17: Back to the Market
Entah apa alasan yang mendasari Geryl, saat memutuskan untuk merawat Illian di rumahnya. Apa ini semata-mata karena perintah Ibunya? Atau karena egonya terluka oleh rumpian asisten rumah tangga mertuanya beberapa waktu lalu?
Geryl tidak tahu. Yang jelas, sepulang dari rumah mertuanya minggu lalu, ia langsung memanggil jasa bersih-bersih rumah untuk melakukan deep cleaning setiap sudut rumahnya. Memastikan rumahnya bersih dan rapi setelah sebulan lebih tidak dibersihkan dengan benar. Kamar bayi yang sudah dia siapkan sejak Illian belum lahir, mulai dirapikan, sebelum ditempati si pemilik kamar.
Geryl juga membersihkan dua kamar asisten rumah tangga di dekat dapur, yang sudah lama tidak terpakai. Gara-gara ia dan Tishia sering bermasalah dengan asisten rumah tangga, mereka pun memutuskan untuk berhenti menggunakan jasa ART yang menginap.
Jadilah mereka pakai jasa ART yang hanya setengah hari. Lalu Geryl meminta ART-nya untuk tidak perlu datang lagi setelah Tishia meninggal.
Selama sebulan lebih Geryl mengurus dirinya sendiri. Ia hidup sendirian dengan kehampaan dan kenangan soal Tishia yang terus mengalir deras di pikirannya.
Lalu dalam sekejap, kini rumahnya menjadi ramai. Ada satu ART yang sudah mulai bekerja di rumahnya sejak kemarin, namanya Yuni. Jordy yang membantunya mencarikan. Kemudian hari ini Illian pindah ke rumahnya, bersama baby sitter baru, Salwa.
Masih terekam jelas bagaimana perkataan Papinya kemarin saat mengizinkannya merawat Illian. "Papi senang sekali, terima kasih ya, Mas. Ini bukan karena Papi nggak mau merawat Illian, atau merasa direpotkan dengan keberadaan Illian. Papi justru senang sekali dengan adanya Illian di rumah ini. Terus terang, Illian berhasil membuat kesedihan Papi karena kehilangan Tishia jadi sedikit terdistraksi. Karena Illian, pelan-pelan Papi bisa mengikhlaskan Tishia. Bagaimanapun, kepergian Tishia dalam kondisi yang mulia. Dia berjuang merawat Illian dalam kandungannya selama sembilan bulan, sampai akhirnya berhasil melahirkannya ke dunia. Untuk itu, Papi akan berusaha keras agar Illian mendapatkan kasih sayang yang utuh dari orang-orang di sekitarnya.
"Dan karena kamu adalah Ayahnya Illian, orang yang sangat mencintai Tishia, bahkan bisa jadi lebih dari Papi, tentu Papi sangat berharap kamu juga bisa menyayangi Illian sebagaimana kamu mencintai Tishia. Papi harap, cucu Papi bisa dekat dengan Ayahnya. Illian sudah kehilangan Bundanya, jadi dia nggak boleh kehilangan peran Ayah dalam hidupnya."
Geryl hanya diam, tertunduk. Semakin merasa berdosa karena sudah menelantarkan Illian selama sebulan terakhir.
Tanpa terasa ini sudah hari ketiga Illian tinggal di rumahnya. Ada kehangatan yang menyelinap ketika melihat Illian menempati kamar bayi yang ia siapkan berdasarkan requestdari Tishia.
Suara tangis Illian yang memenuhi ruangan mengundang debar aneh di dadanya, yang membuat mata Geryl berair.
Papi salah. Alih-alih semakin mudah mengikhlaskan Tishia, segala hal tentang Illian justru mengingatkannya pada Tishia. Geryl bahkan masih ingat dengan jelas betapa antusiasnya Tishia saat mengetahui jenis kelamin bayinya, bagaimana bahagianya Tishia saat pertama kali merasakan tendangan Illian, atau saat mendengar detak jantungnya dari alat USG. Juga ketika mereka sedang mendiskusikan nama untuk Illian.
Semuanya terekam dengan sangat sempurna, sampai-sampai Geryl merasa bahwa Tishia masih berada di sini, turut heboh membantu Salwa memberikan susu untuk Illian.
Perlahan tangis Illian mereda. Geryl tersenyum tipis melihat Salwa yang berhasil menenangkan Illian dalam gendongannya, sambil memberikan dot.
Setelah melalui berbagai macam percobaan, akhirnya Illian mau minum ASI pakai dot. Ini memang waktu yang sangat tepat bagi Geryl membawa Illian tinggal bersamanya, karena sekarang Illian sudah tidak sepenuhnya bergantung pada Alesia.
"Maaf Pak, saya tiba-tiba kebelet, mau ke kamar mandi. Adek bakal nangis kalau lagi minum susu tapi ditaruh di kasur. Bapak bisa gantiin saya gendong Adek sebentar?" Salwa menatap majikannya yang berdiri di ambang pintu kamat, dengan takut-takut. Kalau saja rasa ingin ke kamar mandinya enggak sebesar ini, tentu Salwa enggak akan berani menatap majikannya lebih dari satu menit.
Geryl ingin menolak, tapi melihat tampang Salwa dan gerak kakinya yang tersiksa membuat ia tidak kuasa menyebutkan penolakan.
"Saya ... nggak bisa gendong. Gimana kalau dipangku aja?" ujar Geryl pelan.
Sebenarnya dia juga baru sekali memangku Illian. Bahkan pengalaman pertamanya pun cuma beberapa menit. Namun, itu lebih baik ketimbang ia harus menggendong Illian, kan
"Oh, boleh-bolehh!" Salwa tidak bisa menutupi kelegaannya.
Geryl melangkah perlahan menuju single sofa di sudut ruangan. Sofa itu memang dibeli Tishia secara khusus, untuk dipakai saat sedang menyusui.
Salwa langsung bersiap memindahkan Illian pada pangkuan Geryl, yang membuat Geryl panik. "Loh, enggak pakai bantal dulu?"
"Hah? Oh, Bapak mau pakai bantal dulu?" Salwa tampak bingung.
"Iya, saya mau mangkunya pakai bantal."
Tampaknya Salwa mulai bisa membaca kekhawatiran majikannya. Ia kerap menemukan hal seperti ini sebelumnya. Wajar kalau seorang Bapak tidak berani menggendong bayi. Toh menggendong bayi perlu latihan beberapa kali, tidak mungkin langsung jago.
"Ini Adek beratnya udah nambah lumayan cepet, Pak. Jadi sekarang badannya enggak seringkih saat baru lahir. Bapak nggak perlu takut salah pegang. Tapi kalau Bapak kurang nyaman gendong Adek tanpa bantal, ya nggak papa. Bertahap dulu. Nanti kalau udah mulai terbiasa, baru pelan-pelan gendong langsung tanpa bantal." Salwa meringis ketika ia baru sadar kalau sudah terlalu banyak bicara.
Salwa pun segera mengambilkan bantal, meletakkan di pangkuan Geryl, lalu meletakkan Illian.
Senyum Salwa tertahan melihat raut majikannya yang kelihatan sangat tegang ketika Illian sudah berada di pangkuannya. "Sebentar ya, Pak, saya tinggal ke kamar mandi dulu. Ini botol susunya agak dimiringin gini ya, Pak, supaya Adek lebih nyaman minumnya."
Geryl hanya mengangguk, sambil mengikuti instruksi Salwa.
Baru sebentar Geryl ditinggalkan berdua bersama Illian, suara salam dari lantai satu terdengar nyaring.
"Assalamualaikum!"
Geryl tidak menyahut, sampai akhirnya si pemilik suara muncul di kamar Illian. "Oh, Adek lagi sama Ayahnya!"
Kemudian dengan santainya Alesia berjalan ke sudut ruangan, memindahkan isi cooler box yang dibawanya ke dalam freezer yang secara khusus digunakan untuk menyimpan ASIP.
Ini merupakan kali kedua Alesia mengantarkan ASIP ke rumah ini. Jadi, ia mulai terbiasa dengan rumah Kakak Iparnya. Dia bahkan sudah akrab dengan Yuni dan Salwa.
"Tumben Adek anteng yaa?" gumam Alesia santai.
Seolah Illian bisa mendengar sindiran Alesia, bayi itu langsung menangis.
Alesia terkekeh, dan hanya menoleh sekilas. Kemudian melanjutkan kegiatannya menata kantong ASIP ke freezer.
"Le! Gendong nih!" seru Geryl kesal. "Ini Adek nangis gara-gara kamu ngomong!"
"Enggak, Mas, dia tuh nangis karena ngerasa kurang nyaman. Habisnya kamu mangku dia dengan badan kaku kayak gitu! Ya Adek pasti nggak nyaman!"
Setelah semua kantong ASIP-nya dipindahkan ke freezer, Alesia pun berjalan mendekati Geryl. "Coba kamu tuh kalo mangku sambil goyang-goyangin kaki, Mas! Biar dia nyaman!"
"Gimana?"
Alesia pun menggoyangkan kaki Geryl perlahan. "Gini, pelan aja."
Geryl menurut, meski gerakannya masih kaku.
"Terus, kalo dia nangis tuh bukan berarti dia enggak mau sama kamu. Coba kamu puk-puk pantatnya. Kamu juga kalo mangku tuh sambil meluk Adek gitu lho, Mas! Dua tanganmu jangan diem aja kayak pajangan gitu!" Dengan santainya Alesia memindahkan tangan Geryl, memposisikan tangannya di sekitar Illian.
"Adek tuh belum bisa ngomong, Mas! Bisanya cuman nangis. Mungkin aja dia nangis tuh karena pengen dipeluk atau digendong Ayahnya. Atau mungkin karena posisinya kurang nyaman. Jadi, kamu bisa coba-coba posisi lain supaya Adek nyaman. Bukannya langsung menganggap Adek enggak suka sama kamu, dan minta orang lain buat gendong Adek!"
Benar saja, sekarang tangis Illian reda. Tapi sudah tidak mau minum susu lagi.
Berbeda dengan Geryl yang bingung kenapa Illian nggak mau minum susu lagi, Alesia malah tersenyum santai. "Ya udah nggak papa. Mungkin dia emang udah kenyang, Mas."
Geryl pun meletakkan botol susunya di meja nakas. Sekarang ia mati kutu, bingung harus ngapain lagi.
"Coba kamu ajak Adek ngobrol, Mas! Ngomongin apaan gitu kek. Adek tuh suka diajak ngobrol!" Setelahnya, Alesia membungkuk untuk mencium perut Illian dengan gemas. "Iya, kan, Dek? Kamu suka diajak ngobrol yaa? Aduhh, udah ganteng aja sih, Dek, sore-sore gini! Mau ngapel siapa sihhh?"
Alesia tersenyum bangga ketika Illian menanggapi ucapannya dengan senyum lebar. Bahkan Geryl pun baru pertama kalinya melihat Illian tertawa selebar ini.
Lagi-lagi ada sesuatu yang merayapi hatinya, membuat perasaan Geryl menghangat.
"Di kulkas masih ada buah nggak, Mas? Aku mau ya? Panas banget di luar, pengen yang seger-seger!" Alesia cuma basa-basi, karena semenjak ia ke sini untuk pertama kalinya, Geryl langsung mempersilakan Alesia menganggapnya seperti rumah sendiri.
Alesia tahu, sebenarnya Geryl bilang gitu karena dia malas menjamu kedatangannya. Jadi, Geryl membiarkan Alesia bertindak sesukanya. Termasuk membongkar isi kulkas Geryl dan makan apa pun yang ada di dalamnya.
Kini Alesia menegakkan tubuhnya, sambil memperbaiki baju Illian yang sedikit tersingkap, menampakkan perutnya. "Ini kamu pake baju bayi umur berapa sih, Dek? Kenapa bajunya gede banget?!"
Setelah memastikan posisi Illian terlihat nyaman, Alesia pun berpamitan dengan keponakan kesayangannya itu. "Ya udah Tante cari yang seger-seger dulu di bawah ya, Dek! Kamu ngobrol gih sama Ayah! Dadahh!"
***
"Wah, dua bulan nggak ketemu, sekarang udah glowing aja lo!" Vika tersenyum lebar setelah memeluk Alesia singkat.
Ini adalah pertemuan kedua mereka setelah Illian lahir. Pertemuan pertama mereka saat hari pemakaman Tishia. Vika terbang ke Jakarta untuk menemani hari-hari terpuruk Alesia.
Dan sekarang—dua bulan setelah pertemuan pertama, mereka bertemu lagi. Agak sulit meluangkan waktu untuk terbang ke Jakarta, karena belakangan ini Vika sedang sibuk-sibuknya mengurus bisnis mereka yang sempat terbengkalai, semenjak Alesia pindah ke Jakarta. Bahkan sampai sekarang pun Alesia belum bisa sepenuhnya membantu, sehingga pekerjaan Vika menjadi lebih banyak.
Bersama dengan Pak Sapto, Alesia menjemput Vika di bandara. Hari ini mereka bakal jalan ke luar seharian, setelah sekian lama tidak melakukannya.
"Sebulan terakhir Adek tinggal sama Ayahnya, enggak tinggal di rumah Mami lagi. Jadi, beberapa minggu belakangan, gue mulai bisa balik tidur normal kayak biasa. Bisaskincare-an lagi, dan suka dibayarin spa sama Mami," ujar Alesia sambil merangkul Vika menuju parkiran.
"Pantes, udah bisa nyatok juga ya lo sekarang!"
Meski enggak bertemu dua bulan, bukan berarti mereka putus komunikasi. Hampir setiap hari mereka video call atau sekadar teleponan, entah untuk membahas bisnis, atau sekadar curhat. Jadi Vika tahu persis betapa sibuknya Alesia mengurus Illian pada sebulan pertama.
Alesia tertawa lebar, tapi kemudian ia berdecak. "Gue nggak tau deh, harus seneng apa sedih! Sebenernya gue seneng karena pelan-pelan, kehidupan gue balik normal kayak biasa. Bisa tidur lebih lama, bisa mandi dengan santai, bahkan bisa berendam berjam-jam. Bisa nyempetin olahraga setiap hari, terus mulai treatment dan spa juga, jadi enggak buluk lagi."
Suara Alesia berhenti sebentar ketika mereka sedang menyebrang. "Tapi di sisi lain, gue sedih juga harus pisah sama Adek. Rasanya tiap hari gue tuh kangen mulu sama dia. Padahal baru kemarin ya gue ketemu dia, tapi sekarang udah kangen banget!"
Vika ikut tersenyum lebar melihat progres kehidupan Alesia yang jauh membaik. "Gue lihat foto-foto Illian yang lo kirim, emang gemes banget sih! Minta diuyel-uyel banget!"
Alesia mengangguk antusias. "Asli. Lo nggak bakal bisa ngitung deh, ada berapa ratus foto Illian di hape gue!"
Lalu ketika mereka sama-sama di dalam mobil, Vika memeluk Alesia erat. "Gue ikut seneng banget deh lihat lo begini!"
"Thanks to Illian! Keberadaan dia bener-bener ngebantu banget, buat gue ... bisa baik-baik aja kayak sekarang," ujar Alesia pelan.
"Iya, tapi gue rasa, ini bukan cuma karena Illian deh. Emang dasarnya lo aja yang hebat dan kuat banget! Jadi ... lo bisa cepat pulih dan enggak berlarut-larut dalam kesedihan. Gue nggak yakin bisa berhasil survive kalau dikasih masalah yang sama." Vika menepuk-nepuk bahu Alesia dengan bangga. "Keren banget lo, Les!"
"Enggak, beneran deh! Gue nggak sekuat itu. Seandainya enggak ada Illian, mungkin lo nggak akan bisa ketemu gue lagi kayak gini. Entah, karena gue lagi di RSJ dengan kondisi memprihatinkan, atau bisa jadi gue enggak ada di dunia ini." Pandangan Alesia menerawang, mengingat kembali masa-masa sulitnya hampir dua bulan yang lalu.
Lantas Alesia berdecak kagum. "Gila, gue pun kadang nggak nyangka, kalau seorang bayi bisa berperan sehebat ini buat gue. Lo nggak ngerti deh, berapa kali gue ngerasa hidup gue enggak berguna, malu sama Mami-Papi, kangen Jean, ngerasa dunia nggak adil sama gue dan pengen menghilang dari dunia ini aja sekalian. Terus tiba-tiba ada suara bayi nangis. Bayi itu ... masih punya masa depan yang panjang. Dan dia butuh gue. Lebih tepatnya, butuh ASI gue. Meski yang dia butuhkan cuma ASI gue, tapi itu udah cukup untuk gue jadikan sebagai alasan buat bertahan. Terus secara ajaib, hidup gue berubah total."
"Iya, tapi lo tetap hebat, karena dengan sukarela ambil keputusan buat menyusui Illian. Padahal nggak ada yang nyuruh lo 'kan? Dan lo juga punya pilihan buat enggak melakukan itu, karena Illian bukan tanggung jawab lo. Tapi lo milih buat ikut ngurusin Illian. Nggak semua orang bakal memilih hal yang sama kalau ditempatkan di situasi kayak gitu."
Senyum Alesia mengembang. "Makasih ya, Vik, udah mengapresiasi gue. Udah lama banget gue nggak denger diapresiasi kayak gini. Gue juga kagum banget sama lo, yang tetap bisa ngurusin Jean.id di saat lo punya kerjaan kantor seabrek. Makasih banget ya, Vik. Sori gue enggak bisa bantu apa-apa selama dua bulan terakhir."
Vika mengibaskan tangannya. "Iya, sama-sama. Tapi asal lo tau, gue ngurusin Jean.id bukan semata-mata buat bantu lo. Tapi ya karena gue butuh cuan tambahan buat liburan ke Swiss!"
Setelahnya mereka membahas perkembangan Jean.id yang sudah lama tidak Alesia urus. Setelah Alesia pindah ke Jakarta, Vika langsung memindahkan semua barang-barang Jean.id yang ada di villa ke kantor baru yang lebih dekat dengan apartemen Vika. Ia menyewa ruko tiga lantai yang cukup luas, dan rencananya, di lantai satu akan dijadikan sebagai offline store.
Kini Vika juga sudah merekrut 6 orang karyawan. Termasuk Melati yang sampai sekarang masih bekerja di sana dengan tekun. Dalam waktu dua bulan, Vika berhasil mengurus semuanya dengan baik.
Untung saja Alesia punya banyak stok desain di iPad-nya, sehingga Vika tetap bisa launching produk baru tanpa Alesia.
Sebenarnya Alesia sering merasa tidak enak karena Vika kerepotan mengurus semuanya sendiri. Namun, berkali-kali Vika menegaskan, "Santai aja, Les. Gue malah yang nggak enak sama lo, karena kesannya gue mentingin bisnis banget, nggak ambil jeda dulu buat lo berduka. Masalahnya, bisnis online gini tuh susah banget menjaga audiens dan engagement. Takutnya kalau toko kita tutup atau hiatus gitu, nanti pas kita balik jualan lagi harus mulai dari nol karena udah kehilangan audiens. Jadi, terpaksa gue tetep lanjut ya? Lo santai aja, ambil waktu sebanyak mungkin, sampai lo merasa lebih baik."
Gila, beruntung banget 'kan, Alesia bisa memiliki teman sebaik Vika?
"Terus kira-kira lo bisa balik ke Jogja lagi kapan?" tanya Vika mengalihkan topik.
Alesia mengendikkan bahu. Jujur saja sebenarnya keberadaan Illian di Jakarta membuatnya enggak kepikiran buat kembali ke Yogyakarta lagi.
"Yang jelas enggak mungkin dalam waktu dekat. Soalnya Illian tuh masih full minum ASI gue. Mami bilang, selagi ASI gue keluar lancar, enggak boleh dikasih susu formula, biar cucunya pinter. Kandungan ASI lebih bagus dibanding susu formula merek mana pun. Jadi ya, gue enggak bisa ke mana-mana untuk saat ini."
"Gue curiga Mami lo bilang gitu karena udah buktiin sendiri," ujar Vika. "Mungkin aja dulu pas Kak Tishia kecil full ASI dua tahun. Terus pas lo, ASI-nya cuman sebentar, atau bisa jadi lo nggak dapet ASI sama sekali. Makanya ...." Vika sengaja enggak melanjutkan kalimatnya.
"Makanya gue bego, terus Kakak gue jenius gitu ya?" lanjut Alesia dongkol.
Vika terbahak. "Tapi lo enjoy 'kan, selama menyusui?"
Alesia mengangguk tanpa ragu. "Wahh, awalnya sakit banget asli! Gue sampe nangis karena rasanya tuhh, ngilu banget! Tapi lama-lama gue terbiasa sih, sama rasa ngilunya. Gue juga udah sayang banget sama Illian. Beneran yang sayanggg banget!
"Dan selain karena ASI, gue emang nggak mau pisah sama Illian jauh-jauh! Kemarin aja pas awal-awal dia pindah ke rumah Ayahnya, gue nangis semaleman karena kangen dia. Kayak rumah tuh rasanya jadi sepi banget! Tapi ya mau gimana lagi, kan, gue nggak bisa selamanya tinggal bareng dia."
Vika manggut-manggut dengan santai. "Ya udah nggak papa. Lo tetep bisa bantu ngurusin administrasi, kayak ngecek-ngecek laporan penjualan, bikin desain feeds IG dan ya, gampang lah nanti kita bahas lagi. Santai aja lah, kayak sama siapa aja."
Lantas Alesia menimpali dengan penuh semangat. "Mungkin nanti gue bisa sesekali main ke Jogja, kayak tiga atau empat hari gitu. Tapi sebelum itu, gue harus makan yang banyak biar ASI gue deres, buat stok selama gue pergi. Gampanglah, nanti kita janjian lagi, enaknya kapan. Gue juga pengen banget ketemu sama Mbok Yati dan Pak Aryo, soalnya waktu itu belum bilang makasih dengan proper."
Kemudian mereka membahas hal lain, sampai tidak terasa mobil berhenti di pusat perbelanjaan. Alesia menyuruh supirnya pulang dulu, membawa koper Vika ke rumah, karena dia akan menginap di rumahnya.
"By the way, lo setelah melahirkan jadi makin seksi deh!" ujar Vika ketika menyadari banyaknya pasang mata yang melirik Alesia. "Lebih tepatnya, semenjak lo menyusui."
Alesia tersenyum lebar mengakuinya. "Kadang gue suka naksir sama diri gue sendiri kalo ngaca. Kemarin pas sebulan pertama ngurus Illian, gue ngerasa penampilan gue kacau banget deh! Terus begitu Illian pindah ke rumah Mas Geryl, Mami tuh nyuruh gue refreshinggitu. Gue dikasih kartu, terus gue iseng aja daftar pillates. Gue kan nggak bisa diet, jadi ya harus rajin olahraga.
"Selain itu, kayaknya ini efek dari makan sehat juga. Mami sampai langganan cathering sehat dan ASI booster macem-macem yang natural ingredients gitu."
"Jadi ini ceritanya sekarang lo udah siap buat back to the market nih?" goda Vika.
Kening Alesia mengerut. Tidak menduga kalau arah obrolan mereka akan ke arah sana. "Sumpah, gue sama sekali nggak kepikiran buat pacaran atau berhubungan sama siapa pun lagi."
"Wajar sih, kalau lo masih trauma. Tapi lo kan bisa bilang ke nyokap lo buat dijodohin sama siapa gitu, anak temennya yang most eligible bachelor, jadi lo rawan disakiti. Nyokap lo pasti punya banyak stok!" Lagi-lagi Vika bersemangat membahas perjodohan.
Sementara Alesia menggeleng, sama sekali tidak tertarik dengan ucapan Vika.
"Aduh, seriusan deh, gue sama sekali nggak kepikiran buat menjalin hubungan sama siapa pun. Apalagi buat nikah! Kayaknya sampe seumur hidup gue nggak akan pacaran lagi. Dan tentu nggak bakal nikah juga."
Vika membelalak. "Lo setrauma itu ya, sama cowok?"
Alesia mengendikkan bahu. "Nggak tau deh, gue males aja. Dan nggak kepikiran lagi. Gue 'kan dulu ngebet nikah karena pengen punya anak. Gue suka anak kecil, pengen punya keluarga kecil sendiri. Tapi sekarang, gue udah punya Illian. Walaupun dia bukan anak kandung gue, gue udah anggap dia sebagai anak gue sendiri. Jadi, ya gue udah nggak kepikiran lagi buat nikah sama siapa pun. Mau fokus sama Illian aja.
"Setelah ini gue bakal serius balik lagi ngurus Jean.id. Gue harus kerja keras biar bisa jadi rich aunty buat Illian, dan memastikan dia bahagia sampai dewasa nanti."
***
Bab 18: Progress
Semenjak Illian tinggal bersamanya, Geryl selalu berusaha pulang lebih cepat. Bahkan kalau masih ada pekerjaan hari itu yang belum beres, dia jadi cranky sendiri karena enggak sabar ingin semuanya cepat beres, agar bisa pulang.
Sebenarnya orang kantor Geryl tidak ada yang tahu detail tentang kondisi di rumahnya. Mereka hanya tahu kalau Istrinya meninggal setelah melahirkan. Sudah, itu saja. Termasuk Jordy pun tidak tahu apa pun mengenai struggle-nya mengurus putranya. Geryl tidak punya teman dekat di kantor, karena ia selalu berusaha memisahkan pekerjaan dengan urusan pribadi.
Berbeda dengan hari sebelumnya yang selalu pulang tenggo[19], kali ini Geryl baru pulang pukul tujuh. Kalau akhir bulan begini, kerjaannya memang lebih banyak dibanding biasanya.
Sebetulnya kedekatan Geryl dengan Illian belum berubah signifikan. Satu-satunya hal yang bisa Geryl lakukan hanyalah memangku Illian. Itu pun cuma sebentar. Dia juga tidak melakukannya setiap hari, karena seluruh tubuhnya masih kaku, sehingga perlu latihan dan beradaptasi lagi.
Jadi, hal yang dilakukan Geryl selama ini hanya memandangi Illian dari kejauhan. Saat Illian tidur dan Salwa istirahat di kamarnya, Geryl suka duduk berlama-lama di sebelah boks bayi, memperhatikan setiap gerak-gerik putranya. Meski belum berani menggendong atau berinteraksi secara langsung, Geryl selalu ingin berada di dekatnya.
Sebenarnya pekerjaan Geryl juga belum selesai. Masih ada beberapa dokumen yang belum dicek, tapi ia memilih pulang, dan akan melanjutkan pekerjaannya di rumah. Entah kenapa, perasaannya tidak nyaman sejak tadi sore.
Firasat buruknya terjawab, ketika Geryl mendapati lampu depan rumahnya belum dinyalakan. Pasalnya rumah tetangganya terang benderang, jadi ini bukan karena gangguam dari PLN. Jantungnya berdegup kencang sampai tidak sempat memarkirkan mobil di carport. Ia menghentikan mobilnya begitu saja di depan pagar, lantas berjalan tergesa memasuki rumah.
Demi Tuhan, ini sudah pukul tujuh malam! Bisa-bisanya lampu-lampu di rumahnya belum dinyalakan. Penerangan di rumah itu terbantu oleh lampu taman dan garasi yang menyala secara otomatis saat malam.
Amarahnya langsung memuncak ketika mendengar suara tangis Illian, tepat setelah ia membuka pintu rumah. Langkahnya berlarian menaiki anak tangga menuju kamar Illian.
Di dalam rumah yang gelap gulita, anaknya menangis kencang sendirian. Geryl segera menyalakan lampu dan mendapati muka Illian sudah merah padam. Suaranya agak serak, tanda kalau sudah menangis cukup lama.
Sialnya, Geryl belum pernah menggendong Illian sama sekali.
Perasaannya berkecamuk. Otaknya berputar cepat, memikirkan apa yang harus ia lakukan sekarang.
Geryl menepuk-nepuk paha Illian lembut, berusaha menenangkan. Tapi tidak berhasil. Ia pun berlari keluar kamar, meneriakkan nama Salwa dan Yuni sekeras yang ia bisa.
Namun, tidak juga terdengar sahutan.
Emosi Geryl semakin mendidih. Susah payah ia berusaha mengendalikan diri, karena satu-satunya yang terpenting saat ini adalah menenangkan tangis Illian terlebih dahulu.
Geryl kembali berdiri di sisi box bayi. Otak jeniusnya memberi ide untuk menonton video di Youtube, cara menggendong bayi berumur dua bulan dengan benar.
Setelah menontonnya sampai selesai, Geryl mencoba menggendong, sambil merapalkan doa berkali-kali.
Tangis Illian sempat reda, tapi kembali pecah beberapa saat kemudian, yang membuat Geryl makin frustasi. Hatinya serasa sedang diiris-iris ketika mendengar suara tangis putranya yang semakin serak.
Sampai lama kelamaan tangisnya tidak keluar suara.
Ya Ampun, kamu udah nangis berapa lama, Dek?
Geryl baru kepikiran untuk memberikan susu. Illian pasti haus dan lapar setelah menangis—entah berapa lama. Dia bergegas mencari dot Illian, tapi ternyata semua dot dalam keadaan bersih, berjajar di atas meja. Tidak ada susu yang sudah siap diminum.
Kemudian Geryl membuka kulkas menggunakan kakinya—karena kedua tangannya sedang menggendong Illian, dan mendapati belasan kantong ASIP berjajar di sana.
Bodohnya, Geryl tidak tahu bagaimana caranya menghangatkan ASIP.
Pelan-pelan, Geryl mengambil ponsel yang tergeletak di atas kasur. Satu-satunya yang terlintas di kepalanya saat ini adalah menelepon Alesia.
***
"Ngapain cari baby sitter baru, Mi?" tanya Alesia setelah mendengar Mami bicara dengan seseorang di telepon.
"Mami ngerasa Salwa tuh nggak becus kerjanya!" keluh Mami sambil bergabung di meja makan. "Kemarin, Mami datang ke sana siang-siang pas Geryl kerja. Adek aman sih, lagi tidur siang. Salwa lagi santai tiduran di sofa sambil nonton TV, gayanya macem nyonya rumah. Pas Mami ke kamar mandi yang ada di kamar Adek, ada seember rendeman baju Adek yang bau banget!"
"Mungkin dia kelupaan, Mi. Tapi bukan berarti bisa langsung Mami pecat, cuma gara-gara itu, kan?" sahut Papinya dengan tenang.
"Enggak akan langsung Mami pecat. Mami ngerti cari baby sitter baru tuh susah. Butuh waktu. Jadi, ya langsung Mami tegur, dianya cuman nunduk, iya-iya aja, terus pamit mau nyuciin baju-bajunya itu. Mami nggak maulah! Bajunya udah bau semua gitu! Mami suruh buang aja semua bajunya. Eh, dia malah nangis-nangis, drama queen!"
Sebenarnya Alesia ikut emosi dengan tingkah Salwa, tapi di sisi lain ia bisa memahami perasaan Salwa. Dia tahu persis bagaimana cara Mami menghadapi kesalahan. Toh, ia sudah berpengalaman menghadapi berbagai macam omelan Maminya. "Ya gimana nggak nangis? Pasti Mami ngomelinnya kasar banget!"
Mami mendengus kesal. "Siapa yang enggak kesel kalau kayak gini? Mami tau, ngurus bayi itu enggak gampang. Tapi Mami nggak bisa mentoleransi orang jorok! Baju bayi itu 'kan enggak kotor-kotor amat. Nggak butuh direndam berjam-jam gitu! Digosok pake tangan sebentar juga langsung bersih. Adek belum MPASI, jadi bajunya nggak kena noda macem-macem, kan? Ngapain pake direndam segala coba? Kalau udah direndam gitu ya pasti rawan lupa dan malas! Apalagi baju bayi kan harus steril. Buat apa Mami beliin detergen anti bakteri khusus bayi yang harganya mahal, tapi pas nyucinya direndem lama kayak gitu sampai bau? Yang ada itu bakteri, jamur, kotoran, jadi satu nempel semua!"
Kini Alesia diam saja, karena Mami memang ada benarnya. Tapi semua kekesalannya sudah diwakilkan oleh omelan Mami.
"Pokoknya nanti begitu Mami dapet baby sitter baru, Salwa bakal langsung Mami suruh pulang kampung!"
Ponsel Alesia di saku berdering, ketika ia baru menyuap suapan pertama makan malamnya. Nama Geryl terpampang di layar, membuatnya langsung mengangkat panggilan tersebut, karena pasti ada yang penting. Geryl nggak mungkin menelepon kalau tidak ada kepentingan mendesak.
Ia menempelkan ponsel ke telinga sambil mengunyah. Suara Geryl yang panik langsung menyapa pendengarannya. Tangan Alesia langsung mengambil air minum, meneguknya sampai habis, lalu segera beranjak dari sana.
"Kenapa, Les?" Mami ikut panik.
"Mas Geryl marah-marah. Dia baru pulang kerja, rumahnya gelap, nggak ada orang. Illian nangis-nangis sendirian. ART sama baby sitter-nya nggak tau ke mana. Terus dia bingung harus ngapain, karena nggak bisa hangatin ASIP sendiri." Penjelasan Alesia sempurna menyulut amarah Mami.
Namun, Alesia tidak menghiraukannya, memilih langsung keluar rumah hanya dengan berbekal ponsel. Ia meminta Pak Sapto mengantar ke rumah Geryl.
***
"Mohon maaf ya, Pak. Saya nggak tau kalau Mbak Salwa pergi." Yuni menunduk dalam-dalam penuh penyesalan.
Geryl hanya diam. Entah sedang menyusun kalimat, atau sedang mengendalikan emosinya.
Setelah Alesia sampai di rumah Geryl, perempuan itu langsung cekatan mengurus Illian. Pertama, mengganti popok yang sudah penuh. Kemudian menyusui Illian sampai kenyang. Dan sekarang, anaknya sudah terlelap.
Ketika Alesia keluar kamar, ia sudah mendapati Yuni tengah disidang di ruang tengah oleh Geryl.
"Tadi kenapa sih?" Alesia baru sempat bertanya sekarang, karena tadi ia terlalu panik melihat Illian yang menangis sesenggukan sampai suaranya habis.
"Salwa pergi dari rumah, enggak ngabarin siapa-siapa. Mbak Yuni keluar buat ketemu suaminya sejak tadi sore. Mbak Yuni pikir, di rumah masih ada Salwa yang jagain Illian. Jadi, dia santai aja keluar sampai jam segini."
"Saya minta maaf banget ya, Pak. Tadi sebelum saya pergi, saya sudah pamit ke Mbak Salwa. Dan dia mengiakan. Jadi, ya saya pikir Mbak Salwa nggak akan pergi ke mana-mana, apalagi sampai ninggalin Adek sendirian di rumah kayak gini."
"Tapi bukan berarti kamu bisa pergi dari sore sampai jam segini baru pulang! Bukannya saya sudah kasih kamu hari libur sendiri untuk bertemu suamimu?" Geryl bertanya tidak habis pikir.
"Semua pekerjaan saya sudah beres, Pak. Makan malam juga sudah siap. Suami saya lagi nggak enak badan, jadi saya pikir nggak masalah saya temani suami saya sebentar. Saya minta maaf ya, Pak. Tolong kasih saya kesempatan sekali lagi, saya masih butuh uang untuk—"
Alesia menyela, sambil berusaha menenangkan. "Iya, nggak papa Mbak. Ini juga bukan sepenuhnya salah Mbak. Lain kali, kalau mau keluar rumah, coba kasih tau Mas Geryl lewat chat. Meskipun di rumah ada orang lain yang menjaga Illian, kalau Mbak pergi lebih dari dua jam, izin dulu ya?"
"Iya, Mbak Ales, lain kali saya pasti izin dulu. Saya minta maaf ya, Pak, Mbak."
"Ya udah, sekarang Mbak Yuni balik ke kamar aja." Alesia melirik Geryl sekilas. "Emosinya Mas Geryl nggak akan reda sekarang juga, meski Mbak minta maaf ribuan kali."
"Makasih banyak ya, Mbak Ales!"
"Sama-sama, Mbak."
Sepeninggal Yuni, pandangan Alesia tertuju pada setelan kantor Geryl yang tampak kusut. Pasti pria itu baru pulang lembur. Wajar kalau emosinya meledak-ledak saat mendapati kondisi anaknya seperti itu.
Sebenarnya Alesia juga emosi. Tapi entah kenapa ketika melihat raut panik Geryl yang berusaha menenangkan Illian dalam gendongannya tadi, seluruh kekesalannya langsung menguap.
Sekarang perasaannya menghangat. Turut lega melihat progres hubungan Geryl dan Illian semakin baik. Geryl yang tadinya cuma bisa memangku dengan takut-takut, secara ajaib langsung bisa menggendong.
"Salwa nomornya nggak aktif!" keluh Geryl yang makin geram.
"Mungkin nomormu diblokir," ujar Alesia santai.
Kepala Geryl terangkat. "Kenapa?"
Lalu Alesia menceritakan kejadian yang diceritakan Maminya tadi.
"Cuma karena itu aja dia nangis? Kan itu salahnya dia juga! Terus hari ini dia kabur?" Geryl meraup wajahnya frustasi.
"Mami lagi cariin baby sitter baru."
Tetap saja itu enggak membuat perasaan Geryl langsung tenang.
"Mandi dulu gih, Mas! Aku panasin makan malemnya," ujar Alesia. "Nanti setelah kamu mandi dan makan, dengan emosi yang lebih stabil, aku mau ngasih tau kamu sesuatu."
"Apa?"
"Nanti aja. Kamu mandi dan makan du—"
"Kasih tau sekarang aja."
"Nggak bisa, nanti aja."
"Aku nggak lapar."
"Ya udah, mandi dulu."
"Aku nggak akan mandi sampai kamu kasih tau."
"Apa sih, Mas? Nggak usah kayak anak kecil deh! Buruan sana mandi! Aku mau numpang makan di sini, karena tadi pas kamu telepon, aku baru makan satu suap!"
Meski sambil bersungut-sungut, pada akhirnya Geryl beranjak dari sofa menuju kamarnya.
Satu jam kemudian, sesuai janjinya, setelah Geryl mandi dan makan malam—akhirnya dia tetap makan meski tidak lapar—Alesia memberi tahu sesuatu.
Cara memanaskan ASIP.
Geryl tidak menyangka hal yang membuatnya berpikir keras sejak tadi, menebak-nebak, kira-kira apa yang akan Alesia katakan, ternyata cuma itu.
Entahlah. Geryl pun tidak tahu sebenarnya ia berharap Alesia mengatakan apa.
"Gampang kan, Mas? Jadi kalau nanti malem, atau besok pagi Illian mau susu, kamu bisa manasinnya."
Geryl hanya manggut-manggut.
Alesia tersenyum puas. Sebenarnya ia perlu mengajari Geryl cara ganti popok juga. Tapi sepertinya sekarang bukan waktu yang tepat. Kepala Geryl bisa meledak kalau semuanya diajarkan dalam satu waktu. Jadi, lebih baik bertahap dulu.
"Ya udah, aku gantiin popok Illian dulu deh sebelum pulang. Biar nanti malem dia enggak rewel kalau popoknya penuh."
Tanpa disangka, Geryl malah membuntuti Alesia menuju box bayi Illian. Dengan sangat perlahan, Alesia membuka popok Illian, berusaha tidak membangunkannya.
Ekor mata Alesia bisa melihat bagaimana Geryl memperhatikan pergerakannya dengan seksama. Lagi-lagi Alesia tersenyum lega.
"Ganti popok juga gampang kan, Mas?" bisik Alesia agar Illian tidak terganggu.
Geryl hanya mengangguk.
"Ya udah, aku pulang dulu." Malam itu, Alesia pulang dengan senyum lebar. Ia bahagia sekali melihat progres hubungan Geryl dengan Illian yang meningkat sangat pesat dalam waktu sesingkat ini.
***
"Sori banget, Vik. Gue nggak jadi ke Jogja besok Sabtu."
"Kenapa? ASI lo seret? Bukannya lo bilang, ASI lo nih lancar banget kayak air mancur? Even lo jarang makan aja tetep ngalir, kan?"
"Ya enggak kayak air mancur juga sih!" gerutu Alesia. "Tadi pagi Adek imunisasi. Terus sekarang dia demam, dan rewel banget. Walaupun semisal besok demamnya udah turun, gue tetep enggak tega ninggalinnya. Minggu depan aja kali ya? Atau kapan lah, ntar kita atur lagi waktu yang pas."
“Yahhh ..., yaudah deh, mau gimana lagi, kan?"
"Ya udah ya, itu Adek udah nangis lagi. Dia rewel banget, enggak bisa ditaruh bentar aja!"
Lalu tanpa menunggu sahutan Vika, Alesia mematikan sambungan telepon. Ia pun meninggalkan piring makan siangnya—yang entah bisa disebut makan siang atau tidak, karena ini sudah pukul lima sore—dan bergegas ke kamar Illian.
Di dalam kamar, Yuni tampak berusaha menenangkan Illian, tapi tidak berhasil. Wajahnya pun tampak lelah, karena Illian rewel dan terus menggeliat dari gendongannya.
Pasti Illian sedang tidak enak badan, sehingga berbagai posisi membuatnya tidak nyaman. Alesia segera mengambil alih, padahal baru lima menit yang lalu ia berhenti menggendong Illian untuk makan.
"Maaf ya, Mbak, aku tuh kurang bakat megang bayi sebenarnya." Yuni meringis merasa bersalah. "Mungkin karena aku punya aura negatif, jadi Adek enggak nyaman sama aku, Mbak."
Alesia terkekeh. Terlepas dari kelalaian Yuni beberapa hari lalu, dia adalah orang yang ramah dan menyenangkan.
"Coba tolong ambilin termometer, Mbak," pinta Alesia sambil menepuk-nepuk pantat Illian lembut.
"Wah, bener-bener! Adek nih penglihatannya udah tajem banget ya, Mbak? Tahu aja dia mana yang cantik, langsung diem!" goda Yuni sambil berjalan menuju lemari tempat penyimpanan barang-barang Illian.
Setelah menyodorkan termometer, Yuni duduk di dekat kasur, memperhatikan cara Alesia menggendong Illian yang kelihatan mudah dan nyaman, tapi kenapa saat ia mencoba menggendongnya terasa tidak senyaman itu?
Dengan satu tangan, Alesia mengecek suhu tubuh Illian. Tadi setelah imunisasi, dokter sudah mewanti-wanti bahwa respon bayi terhadap imunisasi itu berbeda-beda. Ada yang sampai demam, ada juga yang tidak.
Menurut dokter, demam setelah imunisasi bukan sesuatu yang berbahaya, asalkan suhunya tidak lebih dari 40 derajat. Jadi, Alesia harus mengecek suhunya secara berkala.
Berhubung suhunya masih dalam batas wajar, ia pun meminta Yuni menyalakan humidifier untuk menambah kelembaban ruangan. Kemudian mulai menyusuinya.
"Kayaknya tadi Adek nangis kenceng banget pas Mbak gendong, karena kena pahanya yang tadi habis disuntik, Mbak. Nih, bekas suntikannya. Sakit nih pasti. Jadi kalo gendong di sebelah kiri aja ya, Mbak!"
"Aduh, maaf banget ya, Mbak, aku nggak tahu."
"Iya, Mbak, nggak papa."
Berhubung ini sudah hampir pukul enam sore, waktu majikannya pulang, Yuni pun pamit untuk menyiapkan makan malam.
Alesia memilih duduk di single sofa, sekalian mengistirahatkan pinggangnya yang mulai pegal. Dalam dekapannya, Illian sudah berhenti menyusu dan matanya sedikit terpejam. Ia masih harus menunggu agak lama sampai Illian nyenyak, baru bisa diletakkan di box bayinya.
"Adek tidur?" Pertanyaan itu muncul bersamaan dengan terbukanya pintu kamar Illian.
Geryl masuk dengan setelan kerjanya yang sudah berantakan. Tadi pagi dia izin dari kantornya setengah hari, baru berangkat pukul satu siang setelah mengantar Illian imunisasi.
"Iya."
"Sana lanjutin makan!" Perintah itu terdengar setengah berbisik. Geryl menggulung lengan kemejanya, bersiap ingin menggantikan Alesia menggendong.
Mentang-mentang sekarang udah jago gendong Adek, ngesok juga yaa dia!
Alesia menahan senyum, sambil menggeleng. "Nanti dulu. Dia belum lelap. Ntar malah nangis lagi."
Setelahnya Geryl tidak mengatakan apa pun, langsung keluar dari kamar.
Dua jam kemudian, ketika Illian sudah benar-benar lelap, Alesia berhasil memindahkannya ke box bayi. Ia menggerak-gerakkan tangannya yang kaku, sambil berjalan ke meja makan, hendak melanjutkan makan.
"Adek demam 38,5 derajat. Tadi sore 38 derajat. Aku takut malam ini suhunya makin naik," lapor Alesia pada Geryl yang sedang makan malam sendirian di meja makan.
Pria itu sudah mandi dan berganti pakaian dengan kemeja polos santai, membuat penampilannya lebih manusiawi, meski rautnya selalu datar seperti biasa.
"Bekas imunisasinya lebam. Kalo disentuh sakit sih, pasti. Jadi, nanti kalau kamu gendong dia, jangan di sebelah kanan ya, Mas." Alesia meraih piring makannya yang tadi belum dihabiskan. Meski rasanya sudah kurang enak karena ditinggal kelamaan dan nasinya mengembang, ia tetap menghabiskannya dengan santai.
Sementara Geryl masih diam, melanjutkan makannya yang sudah hampir habis.
Baru saja Alesia menuang tambahan lauk ke piringnya, suara tangis Illian kembali terdengar. Tanpa bisa dicegah, ia pun menghela napas kasar. Bahkan belum ada sepuluh menit sejak ia meletakkan Illian di boks bayi.
Geryl berinisiatif bangkit duluan. "Kamu lanjutin aja makannya."
Alesia menurut, tapi tetap mempercepat gerakannya agar makanannya cepat habis. Sialnya, setelah suapan ketiga, Alesia menyadari tangis Illian tidak kunjung reda. Ia pun kembali meninggalkan makanannya di meja makan, padahal ia sudah lapar sekali karena sejak tadi menyusui Illian tapi belum berhasil makan dengan baik.
"Kenapa sih, Dek? Enggak enak badan ya?" Suara lembut Alesia membuat Geryl mendongakkan kepala. Pria itu tampak berusaha mengubah berbagai macam posisi agar Illian nyaman, tapi tetap tidak berhasil.
Tanpa mengatakan apa pun, Alesia meraih Illian untuk ia gendong. Perlahan ia mengecek popoknya. Setelah memastikan kalau popok Illian masih kering, ia pun keluar kamar.
"Mau dibawa ke mana?" Geryl mengikuti dari belakang.
"Makan di bawah." Alesia menepuk-nepuk pantat Illian, berusaha menenangkan. "Dari tadi siang aku belum sempet makan."
Geryl tidak mengatakan apa-apa. Kembali menempati kursinya di seberang Alesia. Ekor matanya memperhatikan pergerakan tangan Alesia yang agak kesulitan makan dengan satu tangan, sementara satu tangan lagi menggendong Illian yang sudah berhenti menangis.
Tidak tega melihatnya, Geryl mengajukan diri menggantikan Alesia. Namun, tidak bisa karena satu tangan Illian menggenggam sejumput rambut Alesia kuat-kuat, sementara tangan lainnya memegangi kaos Alesia.
"Dia tadi udah minum banyak, jadi sekarang masih kenyang. Ini ... lagi manja aja kayaknya, maunya digendong." Alesia berusaha menenangkan Geryl, kalau dia baik-baik saja. Toh juga ia sudah terbiasa menggendong Illian nyaris 24 jam.
"Nggak papa, Mas, santai aja."
Lalu Alesia menunduk untuk berbicara dengan Illian. "Dek, kamu maunya digendong terus sama Tante? Terus ini Tante pulangnya gimana dong? Kamu mau ikut Tante pulang ke rumah Eyang?"
Illian meningkahi ucapan Alesia dengan raut ingin menangis lagi.
Alesia bersiap bangkit dari kursi, meski pergerakannya agak sulit.
Kepala Geryl terangkat. "Mau minum apa?"
"Susu almond yang di botol biru, Mas. Tolong ya! Makasih!"
Setelah menghabiskan susunya, rengekan Illian berubah menjadi tangisan. Alesia pun kembali membawa Illian ke kamar. Dengan satu tangannya, ia membuka kulkas, mengeluarkan satu kantong ASIP.
Menyadari kalau Geryl mengikutinya, ia pun berkata, "Mas boleh bantu aku?"
Lalu Geryl dengan sigap menghangatkan ASIP yang sekarang menjadi keahliannya.
"Coba Mas, kamu gendong Adek, terus kasih dot."
Ternyata Illian menolak. Bayi itu tetap menangis kencang dalam gendongan Geryl. Mulut mungilnya menolak dotnya, sambil terus menangis.
Alesia mendengus. "Dia nggak pernah mau minum pake dot kalau tahu ada aku di sekitarnya. Coba ya, Mas, aku turun, biar dikiranya aku nggak ada."
Tanpa menunggu sahutan, Alesia menunduk untuk mencium pipi Illian, pura-pura berpamitan. "Tante pulang dulu ya, Dek! Kamu harus minum ASI yang banyak, biar demamnya turun. Dadahhh!"
Tangis Illian semakin menjadi-jadi ketika Alesia sudah benar-benar keluar kamar. Alesia sengaja menunggu beberapa menit, memberikan waktu pada Geryl untuk meng-handle Illian sendiri.
Tapi baru tiga menit, Geryl sudah menyerah. Pria itu keluar kamar dengan raut panik. "Nggak bisa, Le!"
Alesia juga tidak tega membiarkan Illian menangis lebih lama lagi, sehingga ia pun kembali mengambil alih Illian. Ia menutupi rasa lelahnya dengan tertawa. "Dek, kamu tahu ya, kalau Tante cuma akting?"
"Dek, Tante juga sayang banget sama kamu, tapi Tante harus pulang! Besok pagi Tante ke sini lagi deh!" Alesia berusaha tidak mengeluh di depan Illian, tapi malam ini energinya sudah terkuras habis, sehingga ia pun meluapkan semuanya pada Illian yang masih merengek-rengek. "Pinggang Tante rasanya kayak mau patah. Kamu tuh makin hari makin gembul, Dek. Tante pegel juga kalau harus gendong kamu seharian."
Kemudian Alesia mencoba membawa Illian ke kasur queen size yang berada di tengah kamar. Illian sempat menangis, tapi langsung reda setelah Alesia ikut berbaring di sebelahnya dan menepuk-nepuk pantatnya.
Alesia kembali mencoba memberikan dot, tapi Illian tetap menolak. Bahkan sekarang bayi ini menggenggam rambut Alesia lagi, yang membuat pergerakan kepalanya jadi terbatas, kalau tidak mau dijambak.
"Kalau gini gimana Tante bisa pulang, Dek?" gerutu Alesia, tapi Illian malah tertawa.
"Kamu nginep di sini aja."
Kepala Alesia mendongak. Ia ingin mencari opsi lain sebagai solusi, tapi otaknya tidak menemukan opsi apa-apa.
***
Bab 19: Drama Baby Sitter
"Bisa-bisanya kamu nggak pasang CCTV di kamar Illian, dan langsung mempercayakan anak kamu yang baru lahir ke baby sitter?!" Risna langsung ngomel-ngomel menelepon putra sulungnya, setelah mendapat kabar tentang kaburnya Salwa dari besannya.
"Geryl, Ibu heran deh sama kamu! Sejak kapan kecerdasanmu menurun drastis gini sih? Ibu inget, kamu sama Tishia pernah cerita soal kelakuan ART kalian yang kurang ajar, dan sebagainya, sampai kalian enggak mau pakai ART full day. Terus sekarang, kamu bisa-bisanya langsung mempercayakan Illian ke orang asing tanpa pengawasan sama sekali?!"
Geryl tidak mengatakan apa-apa karena dia memang tidak memiliki pembelaan sama sekali. Tapi setelah itu ia langsung memesan beberapa kamera CCTV untuk dipasang di kamar Illian, dan beberapa sudut rumahnya.
Benar juga. Kenapa sebelumnya Geryl sama sekali enggak kepikiran untuk memasang kamera CCTV?
Setelah memastikan kamera CCTV-nya berfungsi dengan baik, dan bisa dipantau kapan saja melalui ponselnya, Geryl pun siap menerima baby sitter baru. Ia tidak tega melihat Alesia yang kembali keteteran mengurus Illian selama sebulan terakhir, semenjak Salwa pergi.
Bahkan kali ini Alesia terlihat lebih lelah karena ia harus bolak-balik dari rumah Mami ke rumahnya setiap hari. Geryl nggak mungkin meminta Alesia menginap terus setiap hari kalau tidak ada alasan khusus.
Baby sitter barunya datang hari ini. Namanya Julia. Usinya hampir empat puluh tahun. Kalau dilihat dari pembawaannya, Geryl merasa kalau wanita ini profesional.
Semuanya terbukti ketika melihat bagaimana cara Julia mengganti popok, menggendong Illian, memandikan, juga mencuci botol. Semuanya terlihat lincah dan rapi, sehingga Illian tidak perlu menunggu lama.
Geryl mulai bisa bernapas lega, dan mengatakan pada Alesia, kalau ia tidak perlu setiap hari ke rumahnya. Cukup dua atau tiga hari sekali, untuk mengisi stok ASIP di kulkas. Dengan begitu Alesia bisa istirahat lebih banyak di rumah.
Namun, ternyata Julia tetap tidak bisa mengatasi Illian yang rewel setelah imunisasi Illian yang ketiga.
Tadi pagi, Illian melakukan beberapa imunisasi yang memang harus dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali berturut-turut setiap bulannya. Dan malam ini, suara tangis Illian sampai habis karena tidak juga berhenti menangis sejak siang.
"Masih rewel ya?" Geryl menyambangi kamar Illian setelah makan malam.
Terlihat Julia yang wajahnya sangat lelah, tengah berusaha menidurkan Illian, tapi belum juga berhasil.
Geryl pun mengambil alih, berusaha menenangkan, mendekapnya dalam pelukan, sambil terus menepuk-nepuk pahanya lembut.
Sampai akhirnya ia berhasil menidurkan Illian. Mungkin juga ini karena Illian yang sudah kehabisan energi, sehingga perlahan-lahan bayi berusia tiga bulan ini pun terlelap dalam gendongan Geryl.
Ada rasa haru yang menyusup di dada Geryl, ketika Illian mau tidur dalam pelukannya. Belakangan ia mulai iri dengan Alesia yang terlihat lebih dekat dan bisa mengendalikan Illian, dibanding dirinya. Dan sekarang, Geryl bisa menidurkan Illian di saat anak ini sedang tidak enak badan. Ini adalah pencapaian yang luar biasa, 'kan?
Setelah satu jam menggendong, dan memastikan Illian sudah lelap, Geryl meletakkan Illian ke box bayi pelan-pelan. Ia pun meminta Julia untuk tidur di kamar Illian malam ini, agar kalau Illian bangun tengah malam, Julia bisa langsung bangun. Pasalnya, kamar Julia berada di bawah dekat dapur, jadi bisa dipastikan wanita itu tidak akan bangun kalau Illian menangis.
Geryl pun kembali ke kamarnya dengan hati berbunga-bunga. Ia tidak menyangka efeknya bakal sebahagia ini ketika anaknya mulai menerima kehadirannya. Jadi, sekarang ia nggak perlu repot-repot memanggil Alesia kalau Illian sedang rewel, kan?
Entah sejak kapan, Geryl mulai bertekad untuk menjadi Ayah yang baik bagi Illian. Benar kata Papi, Illian sudah kehilangan sosok Bundanya, jadi ia harus menaruh perhatian lebih besar, agar anaknya tidak pernah merasa kekurangan kasih sayang.
Meski sudah menyayangi Illian dengan begitu besar, tetap saja seringkali Geryl merasa bahwa perasaannya pada Illian tidak bisa mengalahkan kasih sayang Alesia pada Illian. Ia benar-benar bisa merasakan ketulusan Alesia setiap kali berinteraksi dengan Illian, seolah mereka berdua memang ditakdirkan untuk bersama.
Nggak terhitung berapa kali Geryl kesal, karena merasa statusnya sebagai Ayah kandung Illian jadi harus dipertanyakan, karena peran Alesia yang lebih besar untuk Illian.
Panjang umur.
Baru sebentar Geryl memejamkan mata, suara Alesia terdengar di luar kamar. Geryl langsung melirik jam dinding. Ini sudah pukul sepuluh malam!
Untuk apa perempuan itu datang ke sini selarut ini? Dan kenapa suaranya terdengar gaduh sekali?
"Kenapa Mbak nggak ukur suhu Illian?! Emangnya tadi waktu imunisasi dokter enggak kasih tau? Apa jangan-jangan Mbak nggak bisa ukur suhu tubuh bayi?!" Suara Alesia bernada tinggi itu yang pertama kali di dengar Geryl ketika ia menuju kamar Illian.
"Saya tahu kalau demam setelah imunisasi itu wajar. Jadi nggak perlu—"
"Kalau memang wajar, kenapa Mbak nggak bisa sabar mengurus Illian yang demam setelah imunisasi? Tadi aku dengar sendiri Mbak bentak-bentak Illian sampai dia nangis!" pekik Alesia dengan wajah merah padam.
"Kenapa, Le?"
"Mas, aku mau lihat rekaman CCTV!" Dengan beruraian air mata, Alesia menatap Geryl.
"Kenapa?"
"Seharian ini firasatku udah nggak enak, tapi gara-gara tiap aku chat, kamu bilang Illian baik-baik aja, ya udah, aku nggak ke sini. Tapi aku nggak bisa tidur. Perasaanku bener-bener nggak enak. Soalnya tiap habis imunisasi kan, Adek rewel banget, jadi aku kepikiran terus. Ya udah aku ke sini, mau liat Adek bentar. Pas baru sampai tangga, aku denger suara Mbak Julia bentak-bentak Adek, nyuruh Adek cepetan tidur. Bahkan bahasanya kasar banget!"
"Saya nggak mungkin kayak gitu ke bayi berusia tiga bulan, Pak. Mbak nggak usah ngarang!" Julia berusaha membela diri.
"Ngarang?!" Alesia berdecak tidak habis pikir. "Buat apa juga aku ngarang cerita kayak gini?! Kita bisa cek CCTV untuk lihat apakah pendengaranku enggak salah, 'kan?"
Geryl pun menurut. Rasa kantuk yang tadi menyerang, langsung hilang begitu saja. Jantungnya berdegub kencang, khawatir kalau ucapan Alesia memang terbukti. Padahal kalau melihat bagaimana derai air mata Alesia yang mengalir deras, bisa dipastikan perempuan ini tidak mengada-ada.
Entah apa yang akan Geryl lakukan kalau rekaman CCTV betulan mengungkapkan kebenarannya.
"ASTAGHFIRULLAH!" pekik Alesia dengan tangis yang semakin deras.
Dalam video rekaman CCTV di ponsel Geryl, terlihat jelas Julia mencubiti paha dan lengan Illian sambil memerahinya agar berhenti menangis.
"Bahkan ada kamu di rumah ini aja, dia berani ngelakuin itu lho, Mas! Apalagi kalau kamu nggak ada?!" seru Alesia dengan emosi yang meledak-ledak.
Tadi Geryl memang sempat mendengar Illian menangis saat matanya sudah terpejam. Namun, tubuhnya sudah lelah sekali sehingga ia malas beranjak. Dalam hati Geryl hanya menghitung, kalau tangisnya lebih dari satu menit, ia baru akan beranjak. Dan karena tangis Illian berhenti sebelum satu menit, ia pun lanjut tidur.
Ternyata tangis Illian berhenti karena Alesia datang.
Geryl pun langsung mencari rekaman CCTV siang hari ketika ia di kantor. Benar saja, Julia melakukan hal yang sama tadi siang. Illian menangis semakin kencang—sangat kencang, sampai dalam CCTV, Yuni naik ke kamar Illian dengan wajah panik. Tapi setelahnya Yuni keluar lagi dan Illian pun berhasil tidur dalam kondisi kelelahan setelah menangis kencang.
"Panggil Mbak Yuni, Mas! Dia bisa jadi saksi!"
Wajah Julia sudah pucat pasi, tidak bisa lagi mengatakan pembelaan apa pun.
"Iya, Mbak. Tadi siang, setelah Pak Geryl berangkat kerja, saya tuh bingung, kok Adek nangisnya kenceng banget dan nggak selesai-selesai. Kayak kesakitan gitu, Pak. Jadi saya naik, dan tanya ke Mbak Julia. Tapi katanya ini normal terjadi setelah imunisasi. Sebenarnya saya agak bingung, perasaan pas imunisasi Adek bulan lalu, nangisnya enggak sekenceng ini. Tapi kan, saya kurang paham soal bayi, jadi ya saya pikir, mungkin aja imunisasi bulan ini sama bulan kemarin tuh beda. Jadi efeknya juga beda." Keterangan Yuni semakin menguatkam bukti CCTV.
Dan yang membuat tangis Alesia semakin histeris, ketika ia membuka piyama yang dipakai Illian, ada dua buah memar di pahanya. Yang satu memar karena bekas imunisasi, dan satu lagi ... Alesi sampai kehilangan kata-kata.
Setelah menarik napas panjang, Alesia mengelap air matanya dengan sebelah tangan. "Saya tahu mungkin Mbak capek karena Illian rewel seharian. Tapi menurut Mbak masuk akal nggak, kalau bayi umur tiga bulan dimarahin dan dicubitin gini?!"
Sadar kalau tangis Illian perlu ditenangkan, Alesia pun menatap Geryl. "Mas bisa menyelesaikan masalah ini di bawah. Semuanya keluar dari sini. Aku mau nidurin Adek!"
***
"Ibu suruh kamu pasang CCTV itu ya supaya kamu bisa cek kondisi Illian dari jauh kapan aja, Mas! Tapi kalau kamu enggak pernah cek CCTV-nya, terus apa gunanya kamu pasang?" Kali ini omelan Ibunya Geryl dengar secara langsung, karena pagi ini Ibunya langsung terbang ke Jakarta dengan penerbangan pertams, setelah mendengar kabar kekerasan yang dilakukan baby sitter baru pada cucu pertamanya.
"Maaf, Bu. Aku sama sekali enggak kepikiran Julia bakal bertindak segitunya."
"Coba kamu pikir! Udah berapa kali kamu kecolongan?! Yang pertama, waktu Salwa pergi tanpa izin, ninggalin Illian di rumah sendirian. Itu harusnya kamu bersyukur karena Illian enggak dibawa pergi juga. Atau semisal amit-amit, ada orang jahat yang lewat, ngeliat rumah gelap tapi pintunya enggak dikunci, terus berniat nyulik Illian atau ngerampok gitu gimana? Dan sekarang, kamu kecolongan lagi? Bisa-bisanya kamu enggak sadar kalau kaki anakmu memar-memar karena dicubitin!"
Omelan Risna terjeda ketika melihat Alesia menuruni anak tangga. Senyum cerah Risna langsung terpancar.
"Illian sudah tidur?" tanya Risna ramah. "Sini sarapan dulu, Sayang!"
"Aku makan di rumah aja, Bu. Aku pamit pulang dulu ya!"
"Lho kok pulang?"
Alesia tersenyum canggung. "Semalam aku ke sininya 'kan nggak bawa persiapan apa-apa. Terus ... udah ada Ibu di sini yang bisa jagain Adek, jadi aku pulang aja. Besok aku ke sini lagi buat nganter ASIP."
"Makasih banyak ya, Sayang. Kamu pulang naik apa? Biar dianter Mas Geryl aja, sekalian dia ke kantor!" Risna menyodorkan tangannya untuk menyalimi Alesia.
"Itu udah dijemput sama Pak Sapto kok, Bu."
"Oalahh, ya udah. Hati-hati ya! Terima kasih banyak ya, Sayang, udah bantuin ngurusin Illian."
"Sama-sama, Bu."
"Kalau nggak ada kamu, pasti Geryl udah botak, karena stres ngurus Illian sendirian."
Alesia tertawa sopan. "Pamit ya!"
Pandangan Risna masih tertuju pada pintu utama, di mana Alesia menghilang.
"Kamu harus kasih imbalan yang setimpal atas bantuan Alesia selama ini!"
"Iya, Bu, nanti aku kasih." Geryl asal mengiakan, meski sebenarnya Alesia enggak mau menerima apa pun. Jelas ia sudah berinisiatif memberikan sesuatu pada Alesia sebelum disuruh. Dan setelah beberapa kali mencoba memberikan sesuatu, Alesia selalu menolak.
Bahkan Alesia mentransfer balik semua uang yang Geryl kirim dengan sebuah ultimatum, "kalau masih kirim uang lagi, uangnya bakal aku ambil di ATM, terus aku sebar di halaman rumahmu!"
Semenjak itu Geryl tidak pernah mengirim apa pun lagi.
"Terus rencanamu setelah ini apa? Ibu cuma bisa tiga hari di sini. Nggak bisa bantu jagain Adek terus-terusan."
"Nanti aku coba cari baby sitter lain yang—"
"KAMU BELUM KAPOK?! APA ILLIAN HARUS DICULIK DULU, ATAU DIGEBUKIN DULU, BARU KAMU KAPOK?! AWAS YA KAMU KALO BERANI CARI BABY SITTER LAGI! BISA-BISANYA KAMU NGGAK TRAUMA SAMA SEKALI!"
Geryl menghela napas panjang. Sebenarnya ia trauma. Namun, untuk saat ini ia sama sekali tidak punya solusi selain itu. Apa lebih baik Geryl menitipkan Illian di daycare?
Tapi itu sangat merepotkan Geryl di pagi hari sebelum berangkat kerja, karena harus memandikan Illian sendiri dan mengurus semuanya sendiri. Belum lagi kalau Illian menangis tengah malam, ia tidak mungkin bisa meng-handle Illian sendirian.
Atau mungkin, ia bisa membahas ini dengan Alesia dan Maminya, supaya Alesia tinggal di rumahnya saja untuk membantunya mengurus Illian? Setidaknya sampai Illian berumur setahun.
Dan sepertinya ini memang solusi terbaik yang muncul di kepalanya.
***
"Nggak boleh! Bisa digrebek tetangga, kalau Alesia tinggal di sini setiap hari!" Mami melarang dengan tegas. "Meski kalian saudara ipar, tetap aja kalian bukan mahrom. Nggak bisa tinggal berdua."
"Tapi 'kan ada Mbak Yuni, Mi! Bukan cuma berdua!" Alesia membela diri.
"Mbak Yuni statusnya sudah menikah. Suaminya pun tinggal enggak jauh dari sini. Kadang Mbak Yuni suka pergi buat ketemu suaminya, kan? Terus kalian berduaan di rumah?"
"Kan ada Illian!" Alesia tetap bersikeras membantah. "Lagian emangnya kalau berduaan, mau ngapain? Aku ataupun Mas Geryl nggak ada niatan bakal macem-macem juga!"
Tanpa disangka, Ibu membela besannya. "Hati orang nggak ada yang tahu, Nak."
Alesia menghela napas. "Terus, kalau bukan aku yang ngurus Illian, siapa lagi? Nggak ada orang lain yang bisa ngurus Illian sebaik aku ngurus dia."
Tanpa disangka, Papi yang sejak tadi diam saja akhirnya mengeluarkan suara. "Kalau begitu, Geryl menikah saja dengan Alesia. Jadi kalian bisa tinggal bersama tanpa khawatir digrebek warga."
Geryl tersedak ludahnya sendiri. Sementara Alesia langsung memekik penuh penolakan.
"Nggak usah bercanda deh, Pi! Mas Geryl tuh Kakak Iparku! Mana mungkin aku nikah sama dia!"
Papi menjawab dengan tenang. "Apa salahnya? Kan Mami tadi udah bilang, kalian enggak mahrom. Boleh menikah."
"Aku nggak mau! Udah ah, Papi nggak usah ngaco!"
Kemudian Mami menambahkan. "Kamu sendiri yang bilang kalau nggak ada orang lain yang bisa mengurus Illian sebaik kamu. Mami setuju. Papi dan yang lain juga setuju. Jadi, apa salahnya kamu menikah sama Geryl dan menjadi ibu sambung Illian?"
"Kenapa kalau Illian diurus sama baby sitter, boleh-boleh aja nginep di rumah Mas Geryl tanpa harus nikah sama Mas Geryl dulu? Kenapa kalau aku yang nginep di rumah Mas Geryl, enggak dibolehin dan harus nikah dulu? Itu nggak masuk akal! Apa bedanya aku sama baby sitter lain?" Alesia masih terperangah, tidak percaya dengan pemikiran nggak masuk akal orangtuanya.
"Salwa sudah menikah. Julia juga sudah menikah. Selama ini Mami selalu mencarikan baby sitter atau pembantu yang sudah menikah, agar tidak menimbulkan fitnah. Karena kamu masih lajang, jadi tidak bisa sembarangan menginap di rumah laki-laki. Kemarin-kemarin Mami izinkan karena situasinya mendadak. Tapi kalau setiap hari, nggak bisa!" ujar Mami dengan penuh penegasan. "Kalau kamu mau merawat Illian secara utuh dan tinggal di sini bareng Mas Geryl, satu-satunya cara adalah, kalian harus menikah."
Kemudian Papi menyahut dengan ucapan yang lebih nggak masuk akal. "Kalau Alesia nggak mau menikah, Geryl bisa cari calon istri yang lain. Papi bisa bantu carikan kalau Geryl nggak keberatan."
Alesia hanya memutar matanya, tidak habis pikir dengan hal konyol yang barusan ia dengar. Sementara Geryl diam saja. Tampaknya pria itu juga sedang stres berat.
"Sebenarnya sejak Letishia meninggal, Papi sudah berusaha melapangkan dada, kalau suatu saat Geryl mau menikah lagi. Papi nggak akan melarang. Toh, cucu Papi juga membutuhkan kasih sayang dari sosok Ibu. Papi bahkan sudah berjanji dengan diri sendiri, akan berusaha menyayangi istri baru Geryl seperti anak Papi sendiri." Lalu tatapan Papi berpindah pada Geryl. "Apa sekarang Geryl sudah punya calon?"
Alesia menganga, pertanyaan itu frontal sekali bukan?
Geryl menggeleng. "Nggak ada, Pi. Sebenarnya aku ... sama sekali nggak kepikiran untuk menikah lagi."
"Tuh, kan! Papi sama Mami tuh nggak usah ngaco deh! Aku bisa tetap jagain Illian sebagai Tantenya. Mas Geryl juga enggak perlu nikah lagi. Kasih sayang itu nggak harus didapat dari orangtua. Aku yakin Illian bisa tetap tumbuh dengan baik, karena kasih sayang dari aku sebagai Tantenya, dan orang-orang di sekitarnya."
Ibu ikut bersuara. "Tapi kamu masih muda, Mas. Anakmu juga masih kecil. Perjalanan kalian berdua masih panjang sekali. Sekarang mungkin kamu merasa bisa mengatasi semuanya sendiri, tapi besok-besok, belum tentu kamu bisa menghandle Illian sendirian. Karena mengurus anak itu enggak mudah, Mas. Perjalanannya seumur hidup. Ibu yang mengurus anak bareng sama suami aja sering merasakan banyak kesulitan. Apalagi kalau sendirian?
"Ibu juga akan mendukung kamu menikah lagi. Tapi, Ibu harap kamu benar-benar menikahi wanita yang bisa mencintai Illian seperti anaknya sendiri. Dan untuk menemukan wanita itu, susah banget kan, Mas? Cari baby sitter yang dibayar mahal untuk mengurus Illian aja, susah banget. Jadi, Ibu pikir, Mami dan Papi benar juga. Nggak ada salahnya kamu menikah dengan Alesia. Kami semua tahu betapa dekatnya Alesia dengan Illian. Jadi, Ibu bisa tidur nyenyak, tanpa was-was mikirin apakah Illian dirawat oleh tangan yang tepat."
Geryl masih diam saja, tidak memberikan respon apa pun.
Lalu Mami pun menambahkan. "Les, kegagalan hubunganmu kemarin bukan pertama kalinya, kan? Selama ini Mami membebaskan kamu mencari pasangan yang kamu inginkan. Tapi nyatanya apa? Semuanya gagal. Cowok-cowok yang kamu pacari nggak ada yang benar-benar menyayangi kamu. Mereka cuma mempermainkan perasaanmu. Sekarang umurmu sudah tiga puluh tahun. Sudah cukup Mami memberikan kebebasan untuk kamu selama ini, yang bukannya dimanfaatkan dengan baik, malah dihabiskan untuk hal yang sia-sia.
"Kamu mau cari pacar di mana lagi sekarang? Dan apa kamu bisa memastikan cowok yang kamu pacari setelah ini betulan cowok baik-baik yang bisa mencintai kamu dengan tulus, sehingga apa yang menimpa kamu kemarin enggak terjadi lagi?"
Disudutkan begitu, Alesia tidak mampu berkata-kata lagi. Ia hanya menunduk, menahan seluruh sesak di dadanya.
Bagaimanapun ia berusaha membela diri, toh Mami memang ada benarnya. Alesia sudah kehilangan kepercayaan untuk mencari pacar sendiri. Dia sudah terlalu banyak mengecewakan Mami dan Papinya. Jadi, tidak punya suara untuk memperjuangkan keinginannya lagi.
Padahal kalau ia boleh bersuara, dia ingin mengatakan kalau tidak berminat lagi untuk menikah seumur hidupnya. Setelah kemarin hidupnya hancur berantakan, sekarang Alesia melanjutkan hidup dengan langkah tertatih-tatih dan hati yang retak. Dia tidak lagi punya energi untuk menerima kehadiran pria mana pun di hidupnya.
Imajinasinya soal menikah dan membangun hidup bahagia sudah runtuh, terkubur bersama Jean.
Namun, Alesia enggak punya hak lagi untuk menyuarakan isi pikirannya, kan?
Malahan bisa-bisa Mami langsung jantungan kalau tahu Alesia nggak mau menikah seumur hidup.
"Sejak dulu, Mami dan Papi berusaha menjodohkan kamu itu bukan karena Mami mau ngatur-ngatur kamu. Tapi, karena Mami sayang sama kamu, dan tahu mana yang terbaik untuk kamu. Jadi kamu—"
"Oke, oke, terserah Mami aja, Mami yang atur!" Alesia sudah pasrah, tidak tahan mendengar ocehan Mami yang terus mencerocos tanpa henti.
Lagi pula, ia yakin Geryl pasti akan menolak ide buruk ini. Alesia masih ingat jelas betapa hangatnya hubungan Geryl dengan Tishia, yang saling mencintai sedalam itu.
Jadi, nggak mungkin Geryl bisa move on dari istri kesayangannya itu hanya dalam waktu tiga bulan. Bisa dipastikan, saat ini perasaan Geryl pada Tishia masih utuh.
Dan sepertinya kalau penolakan ini disuarakan oleh Geryl, orangtuanya bakal lebih menerima.
"Alhamdulillah. Kalau Geryl gimana, mau kan, menikah dengan Alesia?" Wajah Maminya berbunga-bunga penuh harap.
Perlahan Geryl mendongakkan kepala, lalu menjawab, "Mau, Mi."
Jawabannya membuat aliran darah Alesia berhenti. Kupingnya mendengung, tidak bisa menyimak riuh seruan orang-orang di ruangan ini.
Please, dia nggak salah dengar, kan?! Kenapa Geryl enggak menolak?!
***
Bab 20: Soon to be Your Husband
"Please deh, Mas! Ini nggak masuk akal!" Alesia langsung protes habis-habisan setelah Mami dan Papi pulang, sementara Risna pamit untuk istirahat di kamar.
"Aku nggak mau nikah sama kamu! Kamu tenang aja, tanpa perlu nginep di rumah ini, aku bisa tetap urus Illian. Aku bisa dateng pagi-pagi, dan pulang setelah makan malam. Illian sudah lewat tiga bulan, jadi dia enggak butuh susu dua jam sekali. Kita bisa atur jam tidurnya supaya dia enggak gampang kebangun tengah malem."
Alesia terus mencerocos panjang lebar, yang tidak ditanggapi sama sekali oleh Geryl. Pria itu tetap menatap lurus ke depan, tampak tidak terusik dengan ucapan Alesia sama sekali.
"Mas, aku yakin kamu masih cinta banget sama Kak Tishia. Dan aku sama sekali nggak cinta sama kamu. Jadi kita nggak punya alasan untuk menikah, kan?"
Jangankan tertarik. Naksir ujung kukunya saja enggak!
Alesia akui Geryl ganteng banget. Perawakannya tinggi dengan bahu lebar yang cocok dijadikan sandaran. Rasanya kalau melihat bahunya, masalah apa pun yang sedang dihadapi bakal langsung tuntas kalau bersandar di sana.
Matanya agak sipit, yang menurut cerita Tishia dulu, Eyang buyut Geryl ada keturunan Tionghoa. Meski begitu, mata sipit itu bisa menatap tajam sekali, yang seringkali membuat lawan bicaranya mati kutu.
Sebelumnya Alesia menganggap pria berkacamata selalu memberikan kesan cupu atau kutu buku. Namun, kali ini ia akui bahwa kacamata berbingkai hitam sederhana yang dipakai Geryl berhasil menambah kharismanya, dan pada beberapa angle itu membuatnya terlihat lebih atraktif dan berwibawa.
Geryl tipe pria metropolitan dari kalangan old money yang sejak kecil tidak pernah hidup susah, masuk sekolah swasta termahal di Jakarta, lanjut kuliah di luar negeri, dan begitu selesai S2, langsung mendapat jabatan di perusahaan Ayahnya, yang kalau tidak salah ingat, itu bergerak di bidang hukum.
Namun, tetap saja Geryl bukan kriterianya. Menurutnya, tipe cowok kalem dan dingin seperti Geryl kurang menantang. Dia lebih suka cowok macho yang memiliki pergaulan luas, ramah, dan bisa diajak ngobrol seharian membahas apa saja.
Yah, meski nyatanya cowok-cowok yang sesuai kriteria Alesia ini kebanyakan brengsek dan mengecewakan.
"Kamu bilang aja sendiri ke Mamimu." Bayangkan betapa dongkolnya Alesia, ketika Geryl cuma menjawab begitu, setelah Alesia mencerocos panjang lebar sampai mulutnya berbusa-busa!
"Mas! Kamu juga bantuin aku bilang ke Mami dong! Mami pasti bakal lebih dengerin kamu dibanding aku."
"Bilang apa?" Geryl menatapnya datar.
Seandainya tidak ada kacamata yang melapisi pandangan Geryl, mungkin Alesia sudah mengangkat telunjuk untuk mencolok matanya. Tapi Alesia harus tetep menahan kesabarannya, demi menggagalkan perjodohan aneh di antara mereka.
"Ya bilang dong, kalau kamu nggak mau nikah sama aku! Umurmu tuh udah empat puluh tahun, kan? Kamu jauh lebih dewasa dibanding aku! Kamu bukan anak remaja baru puber langsung iya-iya aja kalau dijodohin gitu!"
Masih dengan wajah sama datarnya, Geryl menyahut, "Tapi aku mau nikah sama kamu."
Lalu tanpa menunggu respon Alesia yang masih sibuk mencerna kalimat tersebut di otaknya yang kecil, Geryl pergi begitu saja menaiki anak tangga menuju lantai dua.
***
Selama satu minggu penuh Alesia berusaha membujuk Mami untuk membatalkan perjodohan itu. Bukannya Alesia sok kecakepan, tapi menikah dengan Kakak Iparnya sendiri adalah hal paling nggak masuk akal yang bahkan nggak pernah terbesit di kepalanya.
Namun, Mami maupun Papinya tidak pernah mendengarkan apa pun ucapannya.
Alih-alih memahami perasaan Alesia, Mami malah memojokkannya, mengungkit luka lama yang setengah mati berusaha ia kubur.
"Terus kalau enggak mau menikah sama Geryl, kamu mau menikah sama siapa? Mau cari pacar di mana kamu? Bahkan sekarang kamu enggak kerja. Nggak bisa cari pacar di tempat kerja. Kamu juga enggak punya banyak temen di Jakarta, kan? Apa kamu mau cari pacar di dating app? Terus nggak lama setelahnya kamu hamil lagi, dan cowok brengsek yang kamu pacari itu kabur gitu aja?"
Ya ampun!
Alesia pikir, setelah apa yang menimpanya beberapa bulan lalu, orangtuanya menyadari bahwa sedikit-banyak, itu semua terjadi juga karena mereka. Setidaknya, kalau orangtuanya enggak menganggapnya sebagai anak tiri, Alesia nggak akan memberontak yang akhirnya malah terjurumus pada pergaulan bebas seperti ini. Alesia nggak perlu jauh-jauh kuliah di Yogyakarta karena 'rumah' yang biasa dijadikan tempat pulang lebih mirip neraka, ketimbang menjadi tempat berteduh yang nyaman.
Wajar saja kalau Alesia menganggap orangtuanya sudah berubah, karena semenjak insiden menyakitkan yang terjadi beberapa bulan lalu, Mami dan Papinya enggak pernah lagi membahas soal pacar, mantan, atau apa pun yang berpotensi mengundang rasa traumatis Alesia. Membuatnya semakin yakin kalau orangtuanya sedang berusaha lebih memahaminya, mengingat saat ini, Alesia adalah anak mereka satu-satunya.
Sayangnya, harapan Alesia terlalu muluk-muluk.
"Geryl sudah setuju. Harusnya kamu bersyukur masih ada cowok baik-baik yang mau menikah sama kamu."
Alesia mengerjapkan mata, menajamkan pandangannya sekali lagi, memastikan apakah wanita yang duduk di seberangnya ini betulan Maminya, atau nenek sihir.
Untungnya, ia sudah mengalami banyak hal yang jauh lebih menyakitkan, jadi omongan kasar Mami enggak menusuk hatinya terlalu dalam.
Namun, tetap saja ada kekecewaan yang membuncah karena Mami merendahkan dirinya seburuk itu. Tanpa direndahkan begini saja, Alesia sudah merasa bahwa dirinya enggak pantas hidup. Dan sekarang, ia harus mendengar kalimat itu secara langsung dari Maminya?
"Iya, aku tahu kalau di luar sana enggak ada satu pun cowok yang mau nikah sama aku. Kecuali Mas Geryl yang Mami paksa. Karena itu aku nggak pernah berencana buat menikah sama sekali. Aku udah cukup sama hidupku sekarang."
"Nggak mau nikah, terus kalau kamu tiba-tiba hamil lagi, Mami dan Papi yang harus menanggung malu dan tanggung jawab mengurus kamu di rumah sakit?! Gitu?!"
Air mata Alesia menetes. Ia pun bangkit dari sofa, tidak punya energi lagi untuk menjelaskan pada Mami, bahwa keputusannya yang nggak mau menikah dengan siapa pun itu, artinya dia sama sekali enggak berniat untuk menjalin hubungan apa pun dengan siapa pun. Bagaimana ia bisa hamil lagi, kalau dirinya sama sekali enggak berminat buat jalan dengan cowok mana pun?!
Tapi untuk apa juga ia menjelaskan panjang lebar. Mami tetap akan bersikeras dengan asumsinya sendiri, dan tidak pernah memedulikan perasaannya.
Di titik ini, Alesia ingin sekali disihir agar berubah jadi plankton, dibanding terus bertahan hidup jadi manusia.
***
"Menurut lo, apa alasan Mas Geryl mau nikah sama gue?"
Vika tidak langsung menjawab, malah memindai penampilan Alesia dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Nggak mungkin karena gue cakep. Gue rasa Mas Geryl bukan tipe cowok yang menilai orang dari casing-nya doang," sanggah Alesia cepat-cepat. Terbukti dengan pernikahan pertama Geryl bersama Tishia, yang meskipun Tishia enggak jelek-jelek amat, tetap saja di luar sana ada ratusan cewek yang jauh lebih cantik dibanding Tishia. Namun, Geryl tetap memilih Tishia, bahkan setia banget sampai ajal menjemput Tishia lebih dulu.
"Ya apa lagi alasannya kalau bukan karena anaknya?" sahut Vika kemudian.
Lalu Vika menggangguk-anggukkan kepalanya. "Satu-satunya alasan masuk akal ya emang cuma karena Illian. Mau sebesar apa pun cintanya ke Tishia, enggak dipungkiri kalau dia kerepotan mengurus Illian sendiri. Terus lo cerita masalah baby sitter-nya yang banyak drama. Kalau gue jadi Geryl juga pasti trauma banget, dan enggak mau pakai jasa baby sitter lagi. Kalau pun mau pake, tetap harus diawasi 24 jam sama orang yang bisa dipercaya.
"Dan Mami-Papi lo bener juga sih, nggak ada orang lain yang bisa ngurus Illian sebaik lo. Bahkan tanpa disuruh siapa pun, lo langsung mengorbankan diri lo buat Illian. Rela menetap di rumah orangtua lo, yang sejak dulu jadi neraka buat lo. Ya lo tau sendiri lah, apa aja yang udah lo korbankan buat Illian."
"Tapi kan, nggak harus nikah sama gue juga! Emangnya nggak bisa ya, gue tetap ngurus Illian sebagai tantenya gini?" gerutu Alesia enggak terima.
"Beda. Kalau lo nikah sama Mas Geryl, hubungan lo sama Illian jauh lebih dekat pastinya. Lo bisa mengawasi tumbuh-kembang Illian selama 24 jam. Terus masa depan Illian juga masih panjang. Walaupun punya Tante yang baik dan sayang banget sama dia, pasti suatu saat dia bakal mempertanyakan, 'kenapa gue nggak punya Mama?' dan lama kelamaan dia bakal tetap butuh peran seorang wanita yang bisa dia panggil Mama dalam hidupnya."
Vika mengambil jeda sejenak untuk menyesap minuman berwarna pink di tangannya. "Apa lo bisa bayangin kalau Mas Geryl nikah sama cewek lain? Gimana kalau cewek itu enggak bisa sayang sama Illian sebaik lo? Atau bertindak jadi Ibu tiri yang jahat? Apalagi ditambah kesempurnaan Mas Geryl begitu, bakal lebih susah buat dia memfilter, mana yang tulus beneran, mana yang cuma mau hartanya, atau cuma sayang bapaknya. Ngeri banget gue bayangin Mas Geryl nikah sama cewek galak yang sama juteknya kayak Mas Geryl, terus dia malah berusaha menyingkirkan keberadaan Illian di rumah itu, biar bisa menguasai harta Mas Geryl."
Alesia langsung mendengus sambil mendorong tubuh Vika sengit. "Kebanyakan nonton sinetron azab lo!"
Setelahnya Alesia diam saja. Pandangannya mengedar pada ruangan di sekitarnya. Berhubung ia tidak punya suara untuk menolak perjodohannya, pada akhirnya Alesia pasrah membiarkan Mami dan Papinya merancang pernikahan mereka.
Sebagai gantinya, ia mengambil jeda untuk ke Yogyakarta selama tiga hari, ingin menemui Vika, Mbok Yati dan Pak Aryo, sekalian mengundang teman-temannya untuk datang ke pernikahannya.
Saat ini ia berada di ruko kantor Jean.id. Entah harus berapa ratus kali Alesia mengucap terima kasih pada Vika, karena berkat kerja kerasnya selama setahun terakhir, bisnis mereka berkembang sampai sebesar ini.
Sejak tadi ruangan ini berisik dengan suara isolasi dari tim packing yang tidak berhenti mengemas paket seharian. Lalu di sisi lain, suara printer yang terus mencetak resi tanpa henti, ikut meramaikan suasana.
Bahkan sekarang Vika sudah resign dari kantornya, karena penghasilannya dari Jean.id sudah stabil dan jauh lebih besar dibanding gajinya di kantor.
"Bener kan, apa kata gue, Les! Sejahat-jahatnya Mami lo, dia bakal tetap ngejodohin lo sama pria terbaik yang dia kenal!" Mata Vika berbinar-binar. "Jujur aja, kalau gue disodorin duda bentukannya kayak Mas Geryl sih, tanpa pikir dua kali juga gue mau deh! Sayangnya, dada montok gue enggak keluar susu nih, jadi nggak bisa nyusuin Illian."
"Kampret lo!"
"Coba deh, lo tuh hapus status Mas Geryl di kepala lo. Jangan lihat dia sebagai Kakak Ipar lo. Lihat dia sebagai seorang pria, yang nggak ada hubungan apa pun sama keluarga lo. Lihat bagaimana tanggung jawabnya, atau cara dia menghargai orang lain, dan kebaikan-kebaikan dia yang lain. Lo tau sendiri kan gimana mesranya Mas Geryl ke Kak Tishia dulu? Setidaknya dia bukan cowok kasar yang suka main tangan, dan bisa menjadi sosok yang bucin banget. Meski sekarang dia belum cinta sama lo, siapa tau kan, di masa depan dia jatuh cinta sama lo?"
***
"Wah, gila, gue sama sekali enggak nyangka!" Tyra berseru heboh setelah mendengarkan seluruh cerita Vika soal perjalanan hidup Alesia setahun terakhir. Alesia sengaja meminta Vika yang menceritakan semuanya, karena ia tidak kuat kalau harus cerita sendiri.
"Sumpah lo keren deh, Les! Lo kuat banget! Nggak semua orang bisa sekuat elo tau!" Karen ikut menyahut dengan sama takjubnya.
"Gue turut berduka cita ya, Les. Gue paham alasan lo kenapa enggak ngasih tau kita-kita, meski gue berharap bisa dateng ke sana buat nemenin lo." Tyra memeluk Alesia erat.
"Lain kali, lo jangan pernah ngerasa sendirian ya, Les. Meski kita semua kelihatannya udah sibuk sama keluarga masing-masing, gue bakal tetap berusaha meluangkan waktu buat lo. Apa pun yang terjadi, lo bisa cerita ya!" Karen ikut menambahi.
"Thank you, guys! Sekarang gue udah baik-baik aja kok!" sahut Alesia dengan senyum lebar yang menenangkan.
"Pantesan aja belakangan ini tuh gue ngerasa lo ilang. Pernah ada hari di mana gue tiba-tiba kepikiran lo, terus kangen banget! Bahkan gue sempet nge-chat lo kan waktu itu?" sahut Tyra. "Tapi lo bales pake stiker doang!"
Alesia meringis. Dia nggak terlalu ingat kapan Tyra mengirim pesan padanya. Kemungkinan itu adalah saat-saat di mana ia sedang struggle dengan masalah pelik yang dihadapinya. Entah ketika ia baru putus dan mengetahui kehamilannya, atau setelah ditinggalkan oleh Jean dan Tishia dalam waktu yang nyaris bersamaan.
Saat itu jangankan membalas pesan orang, untuk mengisi daya ponsel saja sering kelupaan. Dan supaya teman-temannya enggak terlalu khawatir, ia membalas pesan-pesan yang masuk dengan sticker.
"Mungkin aja menikah sama Mas Geryl ini bakal jadi titik balik hidup lo, Les," ujar Karen. "Gue ngerti sih, kalau lo ngerasa aneh. Tapi, setelah gue pikir-pikir, alasan orangtua lo masuk akal juga. Jaman sekarang cari baby sitter yang oke susah banget!"
Tyra mengangguk setuju. "Gue pernah nemu yayasan yang oke banget, tapi matok gaji sepuluh juta per bulan. Terus masih harus minta fasilitas macem-macem yang rempong banget! Ah, kalo gitu ceritanya ya mending gue urus sendiri semua, terus sepuluh jutanya bisa gue pake buat spa dan treatment rutin tiap bulan!"
Alesia terkekeh sambil menoleh pada dua anak Tyra yang sedang asyik menonton Youtube bersama di satu tablet. "Lo juga keren banget sih, Tir, bisa urus tiga anak sendirian, tanpa baby sitter!"
Sebenarnya ketika Alesia datang dadakan ke Yogyakarta dan membawa kabar—entah ini bisa dibilang kabar bahagia atau tidak, karena Alesia sama sekali tidak bahagia, Vika langsung mengabarkan pada teman-temannya. Lalu dalam sekejab, mereka merencanakan untuk berkumpul di rumah Karen, mengingat sudah lama sekali mereka tidak berkumpul.
Tyra dan Adam yang mendengar kabar itu langsung meluncur ke Yogyakarta, tidak mau ketinggalan. Baru beberapa jam lalu Tyra dan keluarganya yang ramai sekali itu sampai. Mereka bakal menginap di villa Karen sampai besok.
Seperti biasa, bapak-bapak berkumpul di halaman belakang, sebagian anak bayi sedang tidur di kamar, lalu anak-anak yang lain menonton Youtube di ruang tengah. Ibu-ibu merumpi di meja makan sambil sesekali mengawasi anak-anak.
"Ya nggak beda jauh sama elo deh, bisa ngurus Illian dengan baik, padahal sebelumnya lo nggak ada pengalaman sama sekali." Tyra tersipu, lantas memuji balik.
"Jadi di sini tinggal gue aja nih ya, yang belum jadi emak-emak alay," gerutu Vika.
"Lo dandan yang cantik deh, pas di nikahan Alesia! Siapa tau ada koleganya Mas Geryl yang kepincut sama lo!" saran Tyra.
Vika mengibaskan rambutnya dengan kemayu. "Itu emang rencana gue sih! Please, bilangin ke calon suami lo buat undang temen-temennya yang masih jomlo ya, Les!"
"Emang ada ya, cowok seumuran Mas Geryl yang jomlo?" tanya Karen pelan. "Maksud gue ... Mas Geryl tuh umur berapa sih, Les? Lebih tua dari kita, kan?"
"Seinget gue, empat puluh."
"Nah, kan! Cowok umur empat puluh yang masih lajang tuh, agaknya susah ditemuin nggak sih? Palingan, lo bakal dapet duda juga, Vik, kalau nyarinya di nikahan Alesia!" seloroh Karen.
"Ya nggak papa kalau dudanya high quality dan tajir melintir kayak Mas Geryl!"
"Ini mau diaminin beneran nggak sih?" goda Tyra.
Vika mengangguk santai. "Aminin dong! Gue sama sekali enggak masalah dengan status perkawinan seseorang, selama cerainya bukan gara-gara KDRT."
Lalu Vika menoleh pada Alesia. "Jadi lo nikahnya kapan, Les? Biar gue siap-siaptreatment dari sekarang nih!"
Alesia terkekeh sambil mengangkat bahunya. "Nggak tau deh. Kemarin Mami sempet minta nikahnya akhir bulan ini. Gue nggak mau. Emang sih, gue udah pasrahin semuanya ke Mami, gue nggak mau ribet ngurusin tetek bengek segala macem. Yang jelas, gue cuma satu: gue mau pesta yang mewah, tapi intimate, dan semuanya disiapkan dengan proper, bukan yang seadanya gitu. Gue nggak mau dadakan macem tahu bulat. At least, dua atau tiga bulan lagi. Karena meski ini bukan pernikahan pertama Mas Geryl, ini kan yang pertama buat gue."
"Bener sih! Gue jadi lo juga pasti nuntut hal yang sama! Buat apa punya calon suami tajir, kalau hartanya nggak bisa dihambur-hamburin?!" Vika mengangguk setuju.
"Pokoknya kalian semua harus dateng ya!"
"Santai aja, gue pasti dateng! Tapi sori banget, gue nggak bisa jadi bridesmaid ya! Tau sendiri buntut gue ada tiga sekarang!" Tyra terkekeh sebelum menuangkan es teler yang baru selesai diracik Karen ke gelasnya.
"Iya, gue juga nggak bisa jadi bridesmaid ya, Les!"
"Tenang, nanti bridesmaid gue the one and only ... Vika!" Alesia menunjuk Vika dengan agak dramatis.
"Bilangin ke Mas Geryl suruh tunjuk groomsmen-nya yang masih lajang! Siapa tau kepincut ama gue!"
"Iya, Vika Sayang! Tenang aja! Lo cukup mempersiapkan penampilan terbaik lo. Untuk urusan cowok, gampang deh! Ntar gue suruh Mas Geryl sodorin temennya yang paling cakep!"
Kemudian mereka asyik menikmati es teler buatan Karen sambil memanggil anak-anak mereka untuk mencobanya juga.
Alesia melirik jam tangannya dengan resah. Ia harus pulang ke Jakarta malam ini juga, menggunakan penerbangan terakhir. Jadi sebentar lagi ia harus pamit, meski sebenarnya ia masih ingin berlama-lama dengan teman-temannya.
"Lo jadi balik malam ini, Les?" tanya Vika.
Mau nggak mau Alesia mengangguk.
"Hah? Kok balik malam ini sih? Kenapa enggak nginep?" sahut Tyra.
"Tau nih, dari tadi gue ajakin nginep nggak mau. Kamarnya masih kosong satu loh ituu! Nanggung banget lo balik jam segini. Mending sekalian besok pagi!" tambah Karen.
"Gue juga maunya gitu. Tapi masalahnya gue tuh, cuma ijin pergi tiga hari. Rabu, Kamis, Jum'at. Tadinya pesawat gue Sabtu pagi. Terus gara-gara kalian mau ngumpul dadakan, gue reschedule jadi malam."
"Ih, nanggung banget deh! Sekalian aja sih, sampai Minggu. Emang lo ada acara apa di Jakarta?" tanya Vika.
"Nggak ada acara apa-apa sih, tapi gue kan nyusui Illian. Kemarin gue siapin stok ASIP cuma buat tiga hari. Ya emang gue lebihin dikit sih, tapi kan ini juga udah lebih sehari, jadi takut stok ASIP-nya kurang kalau gue extend sampe besok!" terang Alesia.
"Coba lo tanya Mas Geryl dulu, stok ASIP lo masih ada nggak? Bisa aja kan, perhitungan lo salah, jadi masih banyak stoknya buat sampai besok!"
"Iya, cuma sampe besok pagi loh! Selisih beberapa jam doang dari penerbangan lo hari ini!"
Alesia menuruti saran teman-temannya, dan mengirimkan pesan pada Geryl. Tak lama kemudian balasannya muncul.
Mas Geryl: tinggal dikit
Mas Geryl: pulang malam ini
"Dih, belum sah aja udah ngatur-ngatur!" cibir Vika.
"Terus kalau lo pergi gini, siapa yang jagain Illian, Les? Kata lo tadi nggak ada baby sitter?" tanya Karen
"Mami sama Papi nginep di rumah Mas Geryl."
Tyra menampakkan kekecewaannya. "Beneran lo harus pulang malam ini? Padahal kita baru ngobrol bentar banget ya!"
"Sori ya, semoga lain kali, pas Illian udah agak gede, kita bisa ngumpul-ngumpul lagi yang lama, sekalian gue ajak Illian. Lagian sekarang gue juga udah kangen banget sama Illian. Biasanya ketemu tiap hari, ini udah empat hari nggak ketemu."
"Kangen Illian apa kangen Ayahnya?" goda Vika dengan senyum penuh arti.
"Dih, rese banget lo!" Alesia mendengus.
"Kangen Illian 'kan bisa video call bentar! Buat ngumpul di Jogja gini kapan lagi coba? Susah banget kalau direncanain, pasti ada yang nggak bisa. Ini tumben banget loh kita bisa ngumpul semua," ujar Karen.
"Ayahnya Illian mana mau video call! Dari kemarin gue minta video call Illian, enggak diangkat. Kayaknya dia nggak paham konsep video call deh!" gerutu Alesia sambil mengemasi barangnya.
"Itu mah sengaja kali, biar lo makin kangen Illian terus cepetan pulang!" Vika memanas-manasi.
"Bener! Bisa aja dia udah kangen sama elo tuh! Makanya dia pengen lo cepet pulang! Illian mah paling biasa aja, anteng dijagain sama Omanya!" Tyra ikut-ikutan menambahi.
"Jangan bikin gue jadi halu deh! Tuh orang mana mungkin kangen sama gue!"
"Mungkin aja kali! Orang yang lo maksud itu calon suami lo, by the way!"
[1] “Waktu itu aku dengar sendiri Mbak Alesia cerita ke Mbak Hana, katanya dia juga hamil bareng Mbak Tishia. Tapi anaknya meninggal waktu lahir.”
[2] “Eh, yang bener?”
[3] “Beneran! Aku enggak mungkin salah denger!”
[4] “Pantesan ya, Mbak Alesia bisa menyusui Adek. Aku tuh kemarin juga sempet mikir, kok Mbak Alesia bisa keluar ASI-nya itu bagaimana caranya?”
[5] Padahal Mbak Alesia itu belum nikah, kan?”
[6] “Belum! Biasalah, paling hamil sama pacarnya. Dia cantiknya kayak begitu kok. Pasti gampang banget buat cari pacar!”
[7] “Eh, tapi bisa jadi aslinya Illian itu anaknya Mbak Alesia.”
[8] “Heh! Sembarangan! Kok bisa mikir begitu sih kamu? Padahal jelas-jelas itu anaknya Mbak Tishia kok!”
[9] “Ya bisa aja, kan, aslinya anaknya Mbak Tishia ikut meninggal, terus anaknya Mbak Alesia dianggap jadi anaknya Mbak Tishia, biar Mbak Alesia enggak malu karena punya anak tapi enggak ada suaminya.”
[10] “Sembarangan! Waktu itu Mbak Alesia sendiri yang cerita anaknya meninggal karena apa gitu. Meninggalnya sebelum Mbak Tishia melahirkan.”
[11] “Aku tuh salut banget sebenarnya. Kok Mbak Alesia bisa kelihatan sayang banget sama Illian? Padahal kan Illian bukan anak kandungnya. Cuma keponakan. Kok bisa Mbak Alesia mau banget ngurusin Illian sampai enggak tidur semaleman gitu?”
[12] “Iya, aku juga kaget pas tadi siang Bapak nawarin Mbak Alesia, mau dibelikan apa? Bapak mau ngasih hadiah gara-gara Mbak Alesia sudah mau ngurusin Illian sebulan. Tapi Mbak Alesia malah enggak mau.”
[13] “Enggak mau gimana?”
[14] “Yo enggak mau. Bapak sampai ngasih kartu kredit segala. Katanya boleh dipakai beli apa aja. Tapi Mbak Alesia tetap enggak mau. Malah lebih memilih tidur aja di rumah.”
[15] “Iya, kan! Memang Mbak Alesia tuh kelihatan tulus banget ya! Wajar kan, kalau aku mengira Illian itu anaknya Mbak Alesia.”
[16] “Iya, orang Mas Geryl yang Bapak kandungnya saja enggak peduli sama Illian kok. Lah ini, Mbak Alesia yang Cuma tantenya, mau-mau aja ngurusin Illian dari pagi sampai malam.”
[17] “Kamu kalau misalnya disuruh ngurusin Illian apa bakal nolak?”
[18] Kalau gajinya ditambah ya mau-mau aja sih. Tapi kalau gajinya sama saja ya mending tidur.
[19] Singkatan dari Teng & go. Maksudnya pulang tepat waktu.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
