
Bab 11 - Runtuh
Bab 12 - Hi Bye
Bab 13 - Another Heartbreak
Bab 14 - Kehangatan
Bab 15 - New Hope
Bab 11: Runtuh
Sepanjang makan malam, pikiran Alesia dipenuhi berbagai macam spekulasi yang membuat kekhawatirannya semakin menjadi-jadi. Dia tidak segera menyentuh sendoknya, karena kedua tangannya terus mengelusi perutnya, berusaha merangsang tendangan Jean yang biasanya terasa cukup kencang.
Makin besar usia kandungannya, pergerakan janinnya terasa semakin kuat. Namun, ia baru sadar kalau beberapa hari terakhir pergerakan bayinya menurun. Sialnya, ia tidak berhasil mengingat kapan terakhir kali ia merasakan pergerakan Jean.
Alesia sudah mengirim pesan pada dokternya. Menit berikutnya, balasan datang. Beliau langsung meminta Alesia untuk periksa malam ini juga. Membuat Alesia makin tegang, dan pikirannya makin carut-marut.
Mbok Yati sampai berinisiatif menyuapi Alesia, saking geregetannya melihat makanan Alesia yang masih utuh, tak tersentuh. Beliau bersikeras agar Alesia makan dulu sebelum ke dokter, sambil terus menenangkannya, berusaha meyakinkan bahwa semuanya pasti baik-baik saja.
"Coba tunggu beberapa jam dulu, Mbak. Siapa tau Dek Jean lagi tidur aja, makanya enggak nendang-nendang."
"Tapi sekarang perutku rasanya sakit banget, Mbok. Sebenarnya dari tadi siang sih, aku ngerasanya. Cuman aku pikir ... itu kontraksi palsu. Dan tadi siang aku cuma fokus sama nyeri payudaraku aja gara-gara ASI-nya mulai keluar banyak."
"Ya sudah, kalau gitu kita langsung siap-siap sekarang. Bapak siapin mobilnya dulu!" Pak Aryo langsung meninggalkan makanannya yang belum habis, bergegas keluar rumah.
Ternyata nyeri di perut Alesia tidak bisa menunggu. Alesia baru bangkit dari meja makan, tapi nyeri diperutnya mencengkeram semakin kuat. Ia pun meringis kesakitan. Kedua kakinya terasa kram, sampai ia terduduk lagi, tidak sanggup melangkah ke mana pun.
Demi Tuhan, sepanjang hidup Alesia selama 30 tahun, baru kali ini ia merasakan kesakitan separah ini. Bahkan ia baru tahu kalau di dunia ini ada rasa sakit yang semenyiksa ini.
Mbok Yati makin panik, berlari ke kamar mengambilkan travel bag yang sudah disiapkan Alesia untuk hari persalinannya. Sementara Pak Aryo mengerahkan semua tenaganya untuk membopong Alesia ke mobil.
Nyeri yang menjalar dari perut, ke pinggul, lalu ke seluruh tubuhnya ini begitu menguras energi. Tubuhnya terkapar tidak bertenaga di barisan kedua mobil. Dadanya terasa sesak oleh sakit yang menyiksa.
Baru lima menit mobil Pak Aryo meninggalkan villa, Alesia merasakan cairan hangat keluar, menjalari kakinya.
"Mbok ... darah!" pekik Alesia dengan sisa tenaganya, sebelum ia benar-benar kehabisan energi dan kesadarannya pun hilang.
***
Sepasang suami istri di penghujung 50-an berjalan tergesa melewati koridor rumah sakit. Wajah keduanya pucat pasi dengan kedua tangan yang saling menggenggam, seperti berusaha menyalurkan kekuatan.
Andre—nama pria itu, memang sudah mengosongkan kegiatannya pada akhir pekan ini, karena putrinya diperkirakan akan melahirkan. Sejak kemarin ia menantikan kabar dari putrinya, yang tidak kunjung kontraksi padahal sudah melewati HPL-nya. Karena tidak sabar menunggu, ia berniat untuk menemui putrinya, memberikan dukungan agar tidak terlalu cemas.
Namun, semua rencananya meleset.
Alih-alih diberi kabar tentang persalinan putri sulungnya, Andre dan Kamila—istrinya, malah terbang ke Yogyakarta dengan pesawat paling cepat, setelah mendengar kabar tentang putri bungsunya.
Beberapa jam lalu, Andre menerima telepon dari Geryl—menantunya, yang menyampaikan kabar tentang putri bungsunya.
Padahal saat itu Andre sudah antusias menantikan kabar dari putri sulungnya, yang diperkirakan melahirkan besok.
Jantungnya langsung terasa nyeri karena degub yang terlalu kencang, serasa hampir terkena serangan jantung.
"Papi tenangin diri dulu ya, Pi. Aku minta maaf karena enggak ngasih tau ini dari awal. Alesia yang minta untuk merahasiakan semuanya. Tapi itu enggak penting lagi, Pi. Yang terpenting sekarang, kondisi Alesia sedang kritis. Ada masalah pada kehamilannya, yang membuat dia mengalami pendarahan. Dan ternyata dokter menemukan bahwa janin di dalam perutnya sudah meninggal. Sekarang, dokter perlu melakukan operasi untuk mengeluarkan bayinya. Berhubung di sana Alesia sendirian, Papi bisa bantu telepon dokter di sana sebagai wali Alesia untuk persetujuan operasi?"
Suara menantunya dalam telepon membuat tumbuhnya limbung sejenak. Beberapa informasi tersebut dikatakan dengan sangat cepat, sehingga otaknya kesulitan mencerna.
Hamil?
Alesia?
Kenapa Alesia? Bukankah putrinya yang hamil itu Letishia? Bagaimana bisa Alesia hamil juga?
Demi Tuhan, anak itu belum menikah!
Dengan pikiran kalut, Andre tetap terbang ke Yogyakarta bersama istrinya. Perasaannya campur aduk. Khawatir, sedih, amarah, panik, semuanya bercampur tidak karuan.
Sesampainya di depan ruang operasi, Andre mendapat sepasang suami istri yang barangkali sebaya atau mungkin sedikit lebih muda darinya, sedang bergandengan tangan.
"Saya Yati, Pak, yang jaga villa Omah Eyang, milik Mbak Tishia. Ini suami saya yang biasa bersih-bersih kebun." Wanita itu menyalami Andre dan Kamila dengan ramah.
"Villa?" Kening Andre mengerut. Ia tahu persis putri bungsunya menetap di Yogyakarta. Namun, kenapa ada di villa putri sulungnya?
Seingat Andre, Alesia tinggal di apartemen yang dihuni sejak kuliah. Kabar terakhir yang ia dengar, Alesia belum pindah ke mana pun.
"Iya, Pak. Mbak Alisia sudah delapan bulan terakhir ikut tinggal sama saya di kantor villa."
Sekarang Andre ingat siapa dua orang ini. Tishia kerap menyebut-nyebut Mbok Yati yang pintar masak ini-itu. Beliau sudah menjaga villa itu sejak pertama kali selesai dibangun. Hanya saja, karena sudah terlalu lama tidak mengunjungi villa itu, Andre agak lupa dengan nama penjaganya.
"Jadi, selama ini Tishia tahu kalau adiknya hamil, tapi tidak bilang apa-apa ke Mami dan Papinya?" Wajah Kamila merah padam menahan emosi.
"Saya mohon maaf kalau lancang, tapi menurut saya, hal itu sudah tidak penting lagi, Bu," ujar Yati pelan dengan beruraian air mata. "Yang terpenting saat ini adalah, kita doakan keselamatan Mbak Alisia."
Sebelum Kamila meluapkan amarahnya lagi, dokter keluar ruangan dengan pakaian operasi. Keempat orang di depan ruang operasi itu langsung mendekat, dengan harap-harap cemas.
"Ini dengan keluarga Ibu Alesia ... Vereditha Widjaja?"
Andre menepuk dadanya, dan menjawab dengan lugas, "Saya Papinya."
Kemudian sang dokter menunduk dalam-dalam. "Saya turut berduka cita ya, Pak, Bu. Semoga—"
"Anak saya meninggal?" sela Kamila dengan histeris.
Tampaknya kepanikan bercampur kaget dan emosi membuat Kamila salah menangkap informasi yang dikatakan suaminya tadi. Ia langsung menangis sesenggukan, sambil memeluk lengan suaminya untuk menopang tubuhnya agar tidak jatuh.
"Bukan Alesia yang meninggal, Mi! Anaknya! Cucu kita!" ralat Andre geram.
Dokter mengangguk pelan, kemudian melanjutkan penjelasannya. "Kehamilan Ibu Alesia mengalami preeklamsia, sehingga janin lebih rentan. Biasanya kandungan preeklamsia memang lahir lebih cepat dibanding seharusnya. Namun, karena terlambat penanganan, tali pusarnya sudah terlepas lebih dulu sebelum bayinya dilahirkan, sehingga bayinya kehabisan asupan oksigen dan makanan.
"Saat ini Ibu Alesia Widjaja berhasil melalui masa kritisnya, sedang dalam masa pemulihan. Sebentar lagi akan dipindahkan ke ruang rawat inap. Mendiang cucu Bapak dan Ibu, laki-laki. Bapak dan Ibu bisa melihatnya dulu, sebelum dilakukan prosedur pengurusan jenazah."
Tangis Kamila merebak. Andre tidak mampu mengatakan apa pun. Pria itu hanya memeluk istrinya, sambil menahan seluruh kecewa dan sedih yang meledak di dadanya.
***
Perlahan Alesia membuka mata. Ia mencermati ruangan di sekitarnya, sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi sebelum ia kesadarannya hilang.
Semuanya terjadi begitu cepat. Perutnya yang terasa begitu nyeri, kemudian kakinya mendadak mati rasa sehingga tubuhnya terjatuh ke kursi meja makan. Ia masih ingat Pak Aryo membopong tubuhnya ke mobil. Seiring dengan rasa nyeri yang semakin hebat, ia pun tidak ingat apa-apa lagi.
Dan sekarang, ia berada di rumah sakit?
Tangan Alesia yang tidak diinfus bergerak pelan, memegang perutnya. Sekarang perutnya tidak lagi terasa berat, justru rasanya kebas, mati rasa. Mungkin obat biusnya masih bekerja.
Otak Alesia berputar lambat menghubungkan tiap clue untuk menarik kesimpulan. Kalau saat ini dia berada di rumah sakit dengan perutnya yang sudah kempes, apakah itu artinya Jean sudah lahir?
Ada sejumput rasa lega yang menyelinap, bercampur dengan antusias, tidak sabar ingin memeluk dan mendengar Jean menangis.
Payudaranya sudah terasa kencang lagi. Tanda kalau ASI-nya siap dipompa. Tapi kali ini Alesia tidak perlu repot-repot pumping lagi, kan?
Ia akan mencoba menyusui Jean secara langsung!
Jantungnya berdegub kencang tidak karuan. Ia sama sekali tidak membayangkan bagaimana rupa anaknya. Apakah akan mirip mantannya?
Oh, tidak. Alesia sudah memanjatkan doa di setiap malam dengan sungguh-sungguh, supaya tidak ada satu pun bagian tubuh Jean yang bisa mengingatkannya pada mantannya. Anak itu pasti ganteng, seperti Papinya. Ya, meski Papinya menyebalkan, setidaknya mirip Papi lebih baik ketimbang mirip mantannya.
"Gimana keadaan kamu?" suara berat itu menarik Alesia kembali ke bumi.
Tubuh Alesia seketika menegang. Baru saja ia memikirkan Papinya, dan kini suara Papinya langsung terdengar di sisinya?
Apakah dia sedang berhalusinasi? Atau ini adalah pertanda datangnya malapetaka?
Begitu menoleh, Alesia langsung mendapati Papinya berdiri dengan raut dingin. Sorot mata itu membuat sekujur tubuh Alesia menggigil. Bagaimana Papinya bisa ada di sini?
"Apa yang kamu rasain sekarang?" Kali ini suara lembut terdengar dari sisi lain. Maminya berdiri dengan mata sembab dan hidung memerah.
Apa yang terjadi? Kenapa orangtuanya harus tahu sebelum dia beritahu semuanya sendiri?
Pikiran Alesia langsung kacau. Ia ingat omelan Mami dan Papinya yang berulang kali mengingatkannya soal gaya pacarannya yang melewati batas—yang selalu Alesia tanggapi dengan malas-malasan. Kemudian Maminya membandingkan hidup Tishia dengan dirinya yang sangat bertolak belakang.
Maminya juga sering meminta Alesia untuk segera mengenalkan pacarnya, dan mulai membicarakan jenjang yang lebih serius, mengingat umur Alesia sekarang sudah bukan waktunya untuk main-main lagi.
Namun, setiap kali Alesia mengungkapkan sederet alasan yang membuatnya belum bisa mengenalkan Mario pada orangtuanya, Maminya langsung mengomel. Lalu untuk yang kesekian kalinya, mereka bertengkar.
"Halah! Paling itu cuman alasan pacarmu aja! Sebenarnya dia enggak mau ketemu Mami!"
Nada suara Alesia tidak kalah tinggi. "Ya terus kenapa kalau dia enggak mau ketemu Mami? Nanti kalau sudah waktunya, aku bakal bawa dia ketemu Mami. Sekarang belum waktunya, Mi!"
"Belum waktunya gimana? Kamu udah pacaran bertahun-tahun, bahkan sampai tinggal bareng! Ini sudah waktunya kamu menikah! Kalau pacar kamu enggak mau nikahin kamu, Mami bisa carikan cowok lain yang jauh lebih baik dibandingkan pacar pengecut kamu itu! Mau jadi apa kamu kalau hidup enggak tahu aturan terus begini? Nunggu hamil duluan gitu, baru mau nikah?"
Dan ternyata, umpatan Maminya hari itu dikabulkan. Alesia betulan hamil. Lalu satu per satu ucapan Maminya terbukti. Mario memang pengecut, tidak bertanggung jawab, tukang selingkuh, pembohong, atau mungkin bisa disingkat dengan kata brengsek.
Maminya pasti merasa di atas angin karena Alesia sedang mendapatkan semua karmanya sekarang.
Kini Alesia tidak punya muka di hadapan orangtuanya. Dia sudah menorehkan banyak sekali kecewa pada mereka. Bahkan sejak kecil Alesia tidak pernah membanggakan orangtuanya sekalipun.
"Maafin aku, Mi, Pi ...."
Papinya mengalihkan pandangan ke arah lain. Sedangkan Maminya semakin terisak. Air mata Alesia ikut mengalir, tumpukan rasa bersalah memenuhi dadanya.
Entah sejak kapan, Alesia tidak pernah lagi memikirkan perasaan Mami dan Papinya. Di otaknya sudah tertanam pemikiran bahwa Mami dan Papinya selalu egois, hanya mementingkan urusannya sendiri, sehingga Alesia juga boleh melakukan hal yang sama.
Tidak terhitung berapa banyak kenakalan Alesia yang membuat Mami dan Papinya naik darah, tapi Alesia enggak pernah merasa bersalah. Dia enggak pernah lagi memikirkan perasaan Mami dan Papinya setiap kali mengambil keputusan dalam hidupnya.
Sejak beberapa tahun terakhir, Alesia hanya memikirkan dirinya, dan berusaha keras untuk membahagiakan dirinya sendiri.
Dan sekarang, untuk pertama kalinya dalam sejarah, Alesia merasa bersalah. Dia ... menyesal sudah membuat Maminya menangis sampai sesenggukan begini. Alesia ikut hancur menyaksikan kekecewaan yang tercetak jelas dalam sorot mata orangtuanya.
Saking besarnya kecewa yang orang tuanya rasakan, Alesia sampai enggak tahu harus menebusnya bagaimana.
Namun, itu bisa dipikir nanti. Sekarang, ada hal yang lebih penting daripada itu semua.
"Jean mana, Mi? Anak aku. Dia laki-laki 'kan? Aku mau ketemu. Dia hidungnya mancung kayak aku nggak? Aku udah punya nama yang bagus buat dia. Jeandika Madhava. Bagus 'kan?" Alesia berusaha tersenyum dengan air mata yang masih meleleh dari ujung matanya.
Kepala Maminya terangkat, lalu menoleh pada Papinya. Selama beberapa detik keduanya tampak bertukar kode yang tidak Alesia pahami. Membuat Alesia mengulangi permintaannya lagi.
"Mi? Aku mau ketemu anakku, Mi. Udah boleh dibawa ke sini 'kan?" Alesia berusaha menekan tombol di atas ranjangnya. "Kalau Mami nggak mau panggil suster buat bawa Jean ke sini, aku bisa panggil sendiri."
Sebelum Alesia berhasil menekan tombol, suara Maminya yang bergetar meruntuhkan dunianya. "Les, anak kamu ... sudah meninggal. Ada masalah di tali pusarnya, yang bikin dia meninggal di dalam kandungan. Dokter melakukan operasi caesar untuk mengeluarkan bayimu. Kamu bisa ketemu dia untuk yang pertama dan terakhir kalinya, sebelum dimakamkan. Papi bakal bawa dia ke sini. Tadi ... kamu bilang, siapa namanya?"
Alesia hanya tergugu. Tangisnya semakin kencang. Lidahnya tidak mampu mengucapkan sebaris nama itu lagi, karena perlahan kesadarannya menghilang.
Dunianya runtuh.
***
Bab 12: Hi Bye
Alesia terbangun karena dadanya terasa sangat nyeri. Ketika kesadarannya terkumpul, bajunya sudah basah akibat ASI yang merembes. Ia merasa deja vu. Ini bukan yang pertama kali baginya. Bedanya, kali ini ia terbangun di kamar rumah sakit.
Bola matanya memanas, ketika mengingat kembali momen menyakitkan yang ia dengar beberapa jam lalu. Penjelasan dokter tumpang tindih dalam kepala, membuatnya tidak ingat persis bagaimana detailnya.
Singkatnya, kondisi preeklamsia yang dialami Alesia memang memicu kelahiran prematur, atau lebih awal dari HPL. Hal itu menyebabkan terjadinya pelepasan plasenta pada bayi sebelum waktunya—istilah medisnya solusio plasenta—yang membuat asupan oksigen dan nutrisi pada bayi terhenti.
Padahal hasil USG seminggu lalu menyatakan bayinya baik-baik saja, detak jantungnya bagus, posisinya sudah siap untuk lahir, dan dokter memperkirakan persalinannya dilaksanakan minggu depan, seminggu lebih cepat dari HPL. Seharusnya hari ini merupakan jadwal Alesia kontrol lagi. Namun, siapa sangka, bayinya sudah lebih dulu pergi.
Solusio plasenta memang bisa terjadi secara tiba-tiba, dan kondisi preeklamsia yang dialaminya membuat kemungkinan hal itu terjadi lebih tinggi.
Seandainya Alesia segera ke rumah sakit ketika pertama kali merasakan kontraksi, bisa jadi bayinya masih bisa diselamatkan. Sayangnya, Alesia membutuhkan waktu cukup lama untuk sampai ke IGD.
Ada banyak sekali penyesalan yang memenuhi kepalanya. Namun, saran bijak Papinya, tidak perlu menyesali dan menyalahkan siapa pun. Anggap saja, semua ini memang sudah digariskan oleh Tuhan.
Ketika Alesia bilang dunianya hancur, maka ia benar-benar hancur. Ada sesuatu di dalam dirinya yang kini terasa kosong. Tidak tahu apa yang harus ia lakukan setelah ini, ketika satu-satunya alasannya untuk tetap hidup sudah tiada.
"Kamu udah siap ketemu dia?" Suara Maminya membuat Alesia sadar kalau ia tidak sendirian di ruangan serba putih ini.
"Tadi Papi udah azanin. Dia ganteng banget! Hidung sama bibirnya persis kayak kamu waktu bayi." Entah itu betulan, atau Maminya cuma sedang berusaha menghiburnya.
Hanya dengan mengedip dua kali, Maminya langsung paham kalau Alesia ingin melihat bayinya. Wanita itu langsung beranjak dari kursi, memanggilkan suster.
Tidak lama kemudian, suster datang dengan mendorong box bayi memasuki ruangannya. Efek obat bius Alesia sudah mulai hilang, tapi tidak ada yang lebih menyakitkan dibanding melihat anaknya terbaring kaku di dalam box itu, sebelum ia sempat mendengar suara tangisnya.
Perlahan-lahan, Maminya membimbing untuk duduk dan bersandar pada tumpukan bantal. Lalu suster tersebut mengangkat Jean dengan hati-hati, dan memindahkannya pada pangkuan Alesia.
Jean dibedong rapi. Rambutnya tebal, begitu juga dengan bulu mata dan alis. Benar kata Maminya, hidung dan bibirnya mirip sekali dengannya.
Demi Tuhan, ini adalah bayi paling ganteng yang pernah ia temui. Dalam hati ia bersyukur karena gennya lebih dominan.
Alesia pikir, tangisnya akan pecah dan menggila. Tapi nyatanya, tidak ada satu tetes pun yang keluar dari kelopak matanya. Ia beberapa kali mengerjap, memandang lamat-lamat Jean yang terpejam kaku dalam pelukannya.
Perasaannya campur aduk tidak karuan. Apalagi ketika menyadari pakaiannya yang basah karena ASI-nya merembes belum diganti. Payudaranya pun masih terasa kencang, tanda kalau ia harus memompa ASI secepatnya.
Seharusnya Alesia tidak perlu repot-repot memompa ASI lagi setelah Jean lahir, kan?
Barulah hatinya serasa diiris-iris ketika sadar kalau ASI yang sudah dia persiapan sejak seminggu terakhir, akan terbuang sia-sia.
Perlahan Alesia menunduk dalam-dalam, mencium dalam-dalam wajah Jean. Dimulai dari pipi, kening, bibir, hidung. Jean benar-benar seperti boneka. Seandainya ia tidak mencium atau menyentuh kulit dinginnya, Alesia masih bisa mengira bahwa saat ini Jean sedang tertidur.
Sebelum tangisnya pecah, ia pun menyerahkan Jean kembali pada suster. Namun, ketika suster sudah ingin mengambilnya, Alesia tiba-tiba memekik. "Sebentar, Suster!"
Suster tersebut kembali mundur dua langkah, memberikan Alesia waktu untuk kembali mendekap putranya.
Alesia tahu ia tidak boleh lama-lama mendekap Jean, karena semakin lama ia makin menyayangi anak ini dan tidak mau melepaskannya. Namun, ia juga tahu bahwa begitu suster membawa pergi Jean dari sini, maka ia tidak akan pernah bisa lagi bertemu Jean seumur hidupnya. Jadi, ia harus memanfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin untuk mendekap Jean dengan erat.
Kenyataan itu membuat hatinya perih. Setetes air matanya menetes, mengenai pipi Jean. "Maafin Mama ya, Sayang. Mama ... nggak bisa menjaga kamu dengan baik."
Mama?
Lidah Alesia terasa kelu. Menyakitkan sekali rasanya, ketika ia sudah menjadi Ibu, tapi tidak pernah sekalipun mendengar anaknya memanggilnya 'Mama'.
"Mama ... selalu sayang sama kamu, Jeandika Madhava."
***
Alesia serasa mayat hidup yang tidak lagi memiliki gairah untuk bertahan. Pandangannya kosong, tidak mampu mencerna situasi dengan baik.
Selama masa pemulihan, Maminya terus menemani. Meski ruangan itu selalu hening tanpa obrolan, Maminya dengan telaten menyuapi makan, mengambilkan minum, mengantarkan ke kamar mandi, lalu menyodorkan pompa ASI setiap beberapa jam sekali.
Herannya, meski Alesia makan dengan porsi yang sangat sedikit, ASI yang keluar tetap lancar sekali. Setiap beberapa jam sekali dadanya terasa nyeri karena produksi ASI yang tidak berhenti.
Kalau boleh memohon, ia ingin sekali ASI-nya berhenti mengalir sekarang juga. Maksudnya, bukankah sederas apa pun ASI yang mengalir sekarang, itu tidak ada gunanya lagi?
Sayangnya, dokter juga tidak bisa melakukan apa pun untuk menghentikan ASI-nya. Dan kesedihan Alesia turut mengalir bersamaan dengan setiap tetes ASI yang keluar.
Ya Tuhan, Alesia pernah merasakan berbagai macam patah hati di dunia ini. Namun, semuanya tidak ada yang sebanding dengan penderitaan yang menggerogotinya sekarang.
Jean memang tumbuh di luar keinginannya. Akan tetapi ketika pertama kali mendengarkan detak jantungnya di ruang USG, juga ketika merasakan tendangan kecil dari Jean, Alesia langsung jatuh cinta setengah mati.
Ini jenis cinta yang berbeda dari seluruh rasa cinta yang pernah ia kenal dalam hidupnya. Dan kini ia baru tahu makna harfiah dari ungkapan kasih ibu sepanjang masa.
Tepat setelah kelahirannya beberapa hari lalu, Jean langsung dimakamkan oleh Papi dan Maminya, dibantu dengan Mbok Yati, Pak Aryo, dan Melati. Alesia tidak dapat ikut pada prosesi pemakaman karena masih dalam pemulihan pasca operasi. Ia juga tidak sanggup melihat buah hatinya dikubur dalam tanah.
Saat itu Vika menemaninya sepanjang hari. Ikut menangis kencang mengimbangi isak tangis Alesia yang nggak habis-habis. Sampai sekarang pun ia masih tidak menyangka semua hal buruk ini menimpanya.
Tepat hari ketiga pasca operasi, Alesia sudah boleh mandi. Maminya membantu mengeramasi.
Sejak hari pemakaman Jean, Maminya diam saja. Entah itu karena sedang memberikan waktu untuk berduka, atau karena amarah bercampur kecewa yang begitu dalam.
"Mana pacarmu? Kenapa sampai sekarang dia enggak datang ke sini?" Maminya baru membuka suara ketika Alesia kembali menempati ranjangnya dengan tubuh lebih segar.
Alesia mendongak, sama sekali enggak mengira Maminya bakal menanyakan itu sekarang.
"Aku udah putus, Mi." Meski malas membahasnya, Alesia tetap menjawab.
"Udah putus?" Emosi Maminya naik. "Dia tahu kalau kamu hamil?"
Alesia menggeleng. "Kami putus sebelum tahu kalau aku hamil."
"Dan kamu malah kabur ke villa Kakakmu setelah tahu kalau hamil, terus hidup sendirian di sini dalam keadaan hamil besar?" Nada suara Maminya semakin meninggi. "Kenapa kamu nggak bilang ke Mami sejak awal?!"
"Emangnya kalau aku bilang ke Mami, apa yang bakal Mami lakuin? Mami bakal nyuruh cowok itu nikahin aku, 'kan? Aku nggak mau, Mi! Dia udah selingkuhin aku berkali-kali! Lebih baik anakku enggak punya bapak sekalian, daripada punya bapak tukang selingkuh!" sungut Alesia dengan napas naik turun tidak beraturan.
Tentu saja Maminya enggak mau kalah.
"Kalau sejak awal kamu enggak mau nikah sama dia, kenapa kamu berhubungan sama dia? Kenapa kamu masih mau sama dia setelah diselingkuhin? Harusnya kamu langsung ninggalin dia, begitu dia selingkuh untuk yang pertama kalinya! Apa kamu enggak tau betapa berbahaya itu? Kamu bisa kena penyakit kelamin! Di mana akal sehat kamu?
"Selama ini Mami selalu berusaha mencarikan kamu pasangan yang baik dan bertanggung jawab, tapi kamu selalu nolak, dan sok bisa cari pasangan sendiri. Sekarang mana buktinya? Kamu malah ketemu sama cowok begajulan yang memberikan pengaruh buruk buat kamu, sampai kamu berani membangkang begini."
Alesia diam saja. Semua ucapan Maminya memang ada benarnya. Dan sejujurnya, ia pun malu berhadapan dengan Maminya seperti ini. Semua ucapan penuh kesombongan yang dia lontarkan dulu—bahwa ia bisa mengambil keputusan untuk hidupnya sendiri dengan lebih baik, ternyata tidak terbukti. Yang ada malah sebaliknya. Hidupnya kini berantakan karena keputusan bodoh yang ia ambil.
Barangkali ini adalah karma yang harus ia terima karena setelah melawan orangtua selama bertahun-tahun.
Namun, kalau dipikir-pikir lagi, ucapan Maminya tidak sepenuhnya benar. Pembangkangan yang ia lakukan bukan karena pengaruh buruk laki-laki manapun. Melainkan karena perlakuan Mami-Papinya yang selalu membuatnya merasa diasingkan. Dan semua cowok yang pernah ia pacari berhasil membuatnya bahagia karena selalu memuja dan menginginkan keberadaannya.
Sialnya, ia tidak punya banyak energi untuk mendebat, sehingga memilih diam saja, sampai pintu kamar rawat inap VIP-nya terbuka, Papinya masuk dengan panik.
"Barusan Geryl telepon ... Letishia udah mulai rawat inap malam ini. Kata Geryl, kalau sampai besok pagi pembukannya belum lengkap, bakal operasi caesar. Kita pulang ke Jakarta sore ini. Alesia ikut ke Jakarta. Papi sudah minta izin ke dokter, dan diperbolehkan."
Keputusan itu terdengar mutlak. Nggak ada yang bisa membantahnya. Dengan isak tangis yang kembali pecah, Alesia mengajukan permintaan, "aku mau ke makam Jean dulu sebelum pergi."
***
Sepertinya air mata Alesia sudah habis, karena selama tiga hari terakhir—sejak Jean lahir dan langsung meninggalkannya—tangisnya tidak pernah berhenti. Dan sekarang, ketika ia berdiri di depan pusara putranya, tidak ada lagi butiran air mata yang menetes.
Selama lima belas menit Alesia hanya diam. Memandangi lamat-lamat nama yang terukir di batu nisan. Bunga-bunga yang ditaburkan di hari pemakamannya belum sepenuhnya layu, dan Alesia menambahkan lagi sekeranjang bunga sambil terus merapalkan doa.
Rasanya masih seperti mimpi. Di mana baru kemarin ia reunian dengan teman-teman kuliahnya, kemudian bermain dengan anak-anak temannya yang sudah balita, lalu dalam hati menerka-nerka, kapan dirinya akan merasakan kehidupan sempurna seperti teman-temannya?
Menikah dan punya anak memang bukan tolok ukur kebahagiaan seseorang. Namun, entah siapa yang menanamkan pemikiran itu pada alam bawah sadarnya. Sehingga Alesia merasa bahwa hidupnya belum sempurna kalau belum menikah dan punya anak.
Alesia mendambakan kebahagiaan yang menenangkan dan stabil. Ia suka bermain dengan anak-anak, belajar memasak dan mencoba berbagai menu masakan baru untuk kemudian dihidangkan pada keluarga kecilnya. Dia suka beres-beres rumah, menata setiap sudut rumah sedemikian rupa agar menjadi tempat 'pulang' yang nyaman bagi orang-orang yang dicintainya.
Dan jujur saja, pacaran enggak pernah memberikan efek bahagia yang menenangkan. Selalu ada banyak kekhawatiran dan ketakutan yang terselip di setiap harinya.
Lalu ketika Tuhan menganugrahkan sebuah nyawa di dalam perutnya, Alesia berjanji akan mempertaruhkan seluruh hidupnya untuk kebahagiaan anaknya.
Kemudian tiba-tiba ...
Gelap.
Seperti film bioskop yang dinantikan banyak orang, di mana semua orang duduk rapi dengan antusias, ingin menikmati film-nya. Namun, tiba-tiba saja seluruh listrik di muka bumi ini musnah. Adegan menarik di layar lebar itu langsung padam. Hilang hanya dalam satu kedipan mata.
Selama dua puluh menit Alesia termangu. Tidak sanggup mengatakan apa pun. Ia akan meratapi kesedihannya sedalam-dalamnya hari ini, sehingga besok-besok ia tidak sedih lagi.
Setelah dirasa cukup—karena Jean tidak boleh lama-lama melihatnya sedih, Alesia pun bangkit dari kursi plastik yang dia duduki. Kursi itu disediakan oleh penjaga makam karena Alesia belum bisa berjongkok.
"Yuk, Mi." Keranjang bunganya sudah kosong. Alesia pun beranjak dengan sangat perlahan, karena luka operasinya masih terasa sedikit nyeri.
Maminya masih diam di tempat, mendongak tanpa suara. Tapi tatapannya mengisyaratkan, "Betulan udah cukup?"
Dan karena Alesia tetap berjalan, Maminya langsung menyimpulkan bahwa ini memang sudah waktunya mereka pulang.
"Dadah anak ganteng, Ma—Mama, Opa dan Oma pulang dulu ya," bisik Alesia pelan dengan suara serak.
Saat itulah, Alesia mendapati Maminya meneteskan air mata, begitu juga Papinya dengan bola mata yang memerah.
Jujur saja Alesia iri melihat Mami dan Papinya yang mampu menangis seperti ini. Sejak tadi Alesia ingin sekali menangis dan berteriak untuk meredakan sesak di dadanya. Namun, entah kenapa air matanya tidak keluar juga.
Mereka langsung ke bandara, memilih penerbangan paling akhir menuju Jakarta. Tidak ada obrolan berarti di antara mereka. Secara ajaib Papinya mendatangkan beberapa asisten pribadinya entah dari mana, untuk membantu membawakan koper-koper besar Alesia.
Mbok Yati dan Pak Aryo melepaskan kepergiannya dengan tangis haru. Dalam hati, Alesia sungguh akan selalu mengingat jasa mereka selama delapan bulan terakhir.
Maminya mendorong kursi roda Alesia, karena ia masih tidak boleh kelelahan berjalan jauh.
Selama di pesawat pun, Alesia tidak bisa tidur. Pikirannya terasa penuh sekali, tapi hatinya terasa kosong. Dia hanya memandang ke luar jendela, menatap lamat-lamat gumpalan awan yang menggantung di langit.
Ya Tuhan, apakah setelah ini Alesia bisa tetap melanjutkan hidup?
***
Tanpa terasa, pesawat sudah mendarat. Andre mengatakan kalau ia akan langsung ke rumah sakit untuk menemani Tishia. Sementara Kamila memilih pulang bersama Alesia, dan berencana menyusul ke rumah sakit besok pagi.
Ketika mereka ingin berpisah mobil, langkah Andre berhenti untuk mengangkat telepon dari menantu kesayangannya.
Selama beberapa menit, Andre tidak mengatakan apa pun. Telinganya berdengung, setelah mendengar berita yang disampaikan oleh menantunya.
"Kenapa, Pi? Siapa yang telepon?" Kamila mengguncangkan tubuh sang suami dengan panik.
Menit berikutnya, Andre memegangi dadanya dengan napas pendek-pendek, sampai kemudian kedadarannya hilang. Beruntung asisten pribadinya tepat berdiri di belakangnya, sehingga ia tidak tersungkur ke lantai.
Kamila berseru heboh, kepanikannya semakin menjadi-jadi. Ia pun mengambil ponsel di tangan Andre yang hampir jatuh ke lantai, dan ternyata masih tersambung dalam panggilan telepon dengan Geryl.
"Halo, Geryl, ada apa?"
Isak tangis Geryl terdengar. Firasat Kamila mengeruh.
"Ma ... Tishia ... melahirkan sekarang. Ada pendarahan. Sekarang kondisinya kritis."
Kalimat itu mengandung energi magis yang menyedot seluruh energi Kamila sehingga ponsel di tangannya terjatuh begitu saja. Kamila langsung memeluk Alesia yang linglung, tidak tahu apa yang sedang terjadi.
***
Bab 13: Another Heartbreak
Kalau sesuai HPL, seharusnya Tishia melahirkan hari Sabtu. Namun, belum ada tanda-tanda kontraksi sampai hari Minggu. Mereka pun ke dokter untuk mengecek kandungannya. Dokter mengatakan semuanya normal, kemudian memberikan tips-tips menjelang persalinan, agar cepat kontraksi.
Berhubung kehamilannya masih 40 minggu, dokter menyarankan agar menggunakan cara alami untuk memancing kontraksi sampai seminggu depan. Kalau minggu depan belum ada kontraksi juga, terpaksa harus dilakukan tindakan medis.
Pulang dari rumah sakit, Tishia mengajak jalan-jalan ke mal. Mereka sempat membeli sepasang piyama bayi yang menggemaskan, kemudian pulang ke rumah dengan rasa antusias yang semakin bertambah setiap harinya.
Sebenarnya mereka berdua sama-sama sedang berusaha menutupi kekhawatiran masing-masing, dengan tidak membahas apa pun soal anak maupun persalinan. Makanya sepanjang jalan, mereka sibuk membahas berbagai macam makanan yang ada di mall.
Geryl terjaga semalaman, tidak bisa tidur. Ia khawatir Tishia mengalami kontraksi tengah malam. Ia terus memeluk istrinya yang juga kesulitan tidur karena posisi tubuhnya tidak nyaman, sambil terus mengusap perut dan punggungnya.
"Mas, kenapa bayi jeruk belum mau keluar juga ya?" bisik Tishia pelan sambil mengusap perutnya lembut.
"Kamu jangan banyak pikiran. Dokter 'kan bilang, yang namanya HPL itu cuma perkiraan. Ada banyak kasus yang sama, melahirkan di usia kandungan 41 minggu atau bahkan lebih. Nggak papa, Sayang, kita berdoa terus ya?"
Keduanya dikuasai oleh kecemasan yang sama, tapi cara Geryl mengendalikan dirinya patut diacungi jempol. Ia berusaha menyalurkan ketenangan melalui dekapan erat, berharap ini bisa memudarkan kekhawatiran Tishia.
Sampai hari Senin, Tishia belum juga mengalami kontraksi. Setiap satu jam sekali, Geryl menanyakan apa yang Tishia rasakan sekarang. Dan ia tidak merasakan apa-apa.
Geryl mengambil cuti sejak beberapa hari lalu. Ia menemani istrinya jalan pagi, dan melakukan berbagai aktivitas bersama sambil terus merapalkan doa agar persalinan istrinya berjalan lancar.
"Kamu nggak mau caesar aja?" tanya Geryl pelan sepulang dari jalan pagi.
Sebenarnya belakangan ini Geryl membaca banyak jurnal kesehatan dan menonton video-video persalinan, yang membuatnya ngilu melihat perjuangan seorang ibu saat melahirkan yang begitu menyiksa.
Ditambah lagi, teman-temannya banyak yang memilih punya satu anak saja, karena tidak tahan melihat istrinya tersiksa pada proses persalinan dua kali. Membuat kekhawatiran Geryl semakin menjadi-jadi.
Apalagi jaman sekarang teknologi kesehatan semakin maju. Ada metode operasi caesar dengan rasa sakit yang paling minimal, sehingga mereka tidak perlu menunggu berhari-hari seperti ini dengan perasaan campur aduk.
Tishia menggeleng. "Selama masih sehat dan enggak ada masalah apa pun, aku mau melahirkannya secara normal, Mas. Toh kemarin dokter juga bilang kalau aku bisa melahirkan secara normal, kan?"
"Aku boleh tau apa alasannya?" tanya Geryl pelan.
Kali ini Tishia tidak langsung menjawab. Sejak pertama kali mengetahui kehamilannya, Tishia sudah terobsesi ingin melahirkan normal. Dia melihat banyak sekali video di Youtube yang menceritakan tentang perjalanan orang-orang saat melahirkan secara normal.
Selama ini Geryl tidak pernah menanyakan apa alasan Tishia sepengin itu melahirkan normal, jadi kali ini ia merasa perlu bertanya, untuk memastikan apakah tebakannya benar.
"Mami bisa melahirkan dua anak dengan normal, Mas. Jadi aku pasti bisa," ujar Tishia pelan.
"Mami minta kamu buat lahiran normal?"
"Enggak. Mami nggak pernah bilang apa-apa," cicit Tishia sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Maminya memang enggak pernah mengatakan secara langsung, tapi dari semua perlakuan, cerita dan nasihat Maminya, secara nggak langsung beliau ingin sekali Tishia bisa melahirkan dengan normal.
"Sayang, kamu mau melahirkan dengan normal atau operasi, itu sama sekali enggak mempengaruhi apa pun. Kamu tetap ibu yang luar biasa untuk bayi jeruk. Yang terpenting adalah, kamu dan bayi jeruk sehat.
"Iya, Mas. Tapi nyatanya sekarang aku dan bayi jeruk sehat, kan? Kata dokter juga kehamilan yang lewat HPL gini tuh wajar buat ibu hamil yang umurnya udah 35 tahun ke atas. Dan kasus kayak gini biasa terjadi sama kehamilan anak cowok. Jadi, nggak ada yang perlu dikhawatirkan."
***
"Hah? Alesia melahirkan?" pekik Tishia ketika membaca pesan dari Maminya.
Pandangan Geryl yang semula fokus pada ponselnya, langsung terangkat.
"Berarti selama ini kamu udah tahu kalau Alesia hamil, Mas? Kenapa kamu nggak ngasih tau aku?"
Melihat gurat kekecewaan di wajah istrinya, Geryl langsung dipenuhi oleh rasa bersalah. Bibirnya terkatup rapat, tidak mampu memberikan alasan apa pun.
"Maafin aku, Sayang." Geryl berusaha memeluk Tishia. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain minta maaf, kan?
"Tega banget kamu, biarin aku nggak tahu apa-apa kayak gini!" Tishia mendorong tubuh suaminya, enggan dipeluk. "Jadi selama ini, aku sama Alesia hamil bareng?"
Geryl mengacak-acak rambut. Saat ia ditelepon oleh Mbok Yati yang mengabarkan kondisi kritis Alesia beberapa jam lalu, perasaannya sudah kalut. Satu-satunya yang terlintas di kepalanya adalah memberitahu mertuanya. Apalagi kondisi Alesia kritis, tidak mungkin ia terus-terusan merahasiakan ini. Alesia butuh wali untuk menyetujui operasinya.
Dengan begitu, otomatis tidak lama setelahnya Tishia akan tahu juga. Sejak tadi Geryl memutar otak, berusaha menyusun kata-kata untuk membicarakan ini pada istrinya. Tapi melihat kecemasan yang terus menghiasi raut istrinya, dia tidak tega memperburuk keadaan.
Makanya ia berniat memberitahu Tishia setelah ia melahirkan nanti. Sayangnya, Tishia sudah keburu tahu.
"Berarti selama kamu ke Jogja dan ketemu dia, beberapa bulan terakhir, kamu tau kalau dia hamil? Dia nggak mungkin bisa sembunyiin perut buncitnya dari kamu, kan? Tapi kamu enggak cerita apa pun ke aku?"
"Dia yang minta dirahasiain, Sayang." Geryl membela diri meski itu enggak mengurangi kekecewaan istrinya. "Aku menghargai keputusannya, dan aku nggak mau ikut campur. Dia udah dewasa, dan bisa memutuskan apa saja yang menyangkut hidupnya."
"Tapi aku istri kamu loh, Mas! Kamu sama sekali enggak berniat untuk—" Tishia mengacak-acak rambutnya frustasi. Kemudian air matanya meleleh. "Ah, ini udah enggak penting lagi, kan? Dan sekarang Mami bilang kalau kandungan Alesia bermasalah. Anaknya meninggal dalam kandungan, Mas!"
Geryl tidak mengatakan apa pun, memilih memeluk istrinya yang menangis semakin kencang. "Kita doain dari sini, ya."
***
Hari Rabu, Tishia belum bisa bicara dengan adiknya. Maminya bilang, Alesia sudah melewati masa kritisnya, sudah sadar dan keadaannya berangsur membaik. Namun, adiknya itu sama sekali belum bisa diajak bicara.
Jadi, ia menurut untuk memberikan waktu bagi Alesia menenangkan diri. Lagi pula, ia juga tidak tahu harus bilang apa pada Alesia, mengingat saat ini kondisinya juga tidak sepenuhnya baik. Sampai sekarang ia belum merasakan adanya tanda-tanda kontraksi.
Geryl yang makin frustasi, lalu mengajak Tishia untuk ke dokter lagi. Sekadar memastikan apakah waktu menunggu yang dikatakan dokter itu masih dalam batas aman. Tishia pun setuju, sekaligus ingin menanyakan saran terbaik pada dokternya, apakah ia memang harus operasi, atau masih bisa berpeluang melahirkan normal.
Jumlah air ketubannya masih cukup untuk menunggu sampai beberapa hari lagi. Kondisi janinnya juga baik-baik saja, posisinya sudah siap menghadap jalan lahir. Tidak ada masalah apa pun.
Berhubung Tishia sangat menginginkan melahirkan secara normal, dokter pun meyakinkan kalau keadaan janinnya masih bisa menunggu beberapa hari lagi, hingga kontraksi datang secara alami.
Namun, Geryl bisa botak kalau harus menunggu beberapa hari lagi. Dia enggak tega melihat Tishia yang terus cemas setiap harinya dan tidak bisa tidur nyenyak setiap malam. Mereka benar-benar tidak bisa beraktivitas dengan normal selama beberapa hari terakhir, karena khawatir Tishia tiba-tiba kontraksi.
Akhirnya setelah mengalami negosiasi panjang, Tishia pun setuju melakukan induksi untuk memancing terjadinya kontraksi. Meski sebenarnya Geryl kurang setuju karena cara ini bisa membuat Tishia lebih kesakitan dibanding melahirkan normal tanpa induksi.
Mereka pun membuat kesepakatan. Jika sampai beberapa jam ke depan tidak ada kontraksi dan pembukaan jalan lahir, terpaksa harus operasi karena Geryl tidak tahan lagi melihat istrinya tersiksa lebih lama lagi.
"Mas, aku pengen ke Jogja," bisik Tishia dalam pelukannya. Di sela kecemasannya menantikan kontraksi, Tishia masih terus memikirkan bagaimana kondisi Alesia saat ini.
Ia sudah melihat foto bayinya Alesia yang dikirimkan oleh Maminya. Ganteng banget! Hidungnya mancung, bibirnya melengkung sempurna mirip sekali dengan Alesia. Tishia yakin, kalau bibir mungil itu bisa tersenyum, pasti muncul kedua lesung pipi yang manis.
Sayangnya, Tishia atau siapa pun itu tidak akan bisa melihat lesung pipi bayi itu.
Jelas Alesia berhutang banyak. Ia bertekad akan langsung menodong Alesia dengan rentetan pertanyaan ketika mereka bertemu nanti.
"Ya makanya hari ini caesar aja ya? Tadi dokter ngasih tau metode baru, kalau gak salah namanya ERACS. Pemulihannya lebih cepat, minim rasa sakit. Nanti tiga atau empat hari setelahnya, kita bisa ke Jogja, jenguk Alesia. Bayi jeruk bisa dititip ke Ibu dulu. Hari ini Ibu terbang ke Jakarta."
Sayangnya, bujukan Geryl tidak berhasil. Tishia masih keukeuh menunggu sesuai perjanjian mereka.
Malam harinya, Tishia mengalami kontraksi hebat. Saat dicek suster sudah pembukaan empat. Ia masih diminta menunggu. Dan selama itu juga Tishia menangis sambil terus merintih kesakitan.
Geryl tidak banyak bicara. Tangannya diremas kuat istrinya, sementara tangan yang lain meminjat punggungnya. Hatinya ikut teriris melihat penderitaan Tishia yang tidak kunjung berakhir.
Keduanya terus mendekap satu sama lain sampai jarum jam menunjukkan pukul tujuh malam. Kini tangis Tishia tidak lagi bertenaga, meski wanita itu mengaku kalau rasa sakitnya semakin menggila setiap menitnya.
"Mas, aku pengen nyerah, tapi sayang banget kan, kalau aku udah sampai di tahap ini, tapi malah nyerah?" bisik Tishia di sela tangisnya yang kini sudah tidak bertenaga.
"Nggak ada yang sia-sia dari semua yang sudah kamu perjuangkan sampai detik ini." Sebenarnya Geryl juga ingin menyerah. Ia ingin sekali berteriak memanggil suster untuk menyiapkan ruang operasi caesar.
Namun, melihat kesungguhan pada manik mata Tishia, ia pun mengurungkan niatnya.
"Aku bakal berusaha tahan sebentar lagi. Kamu belum capek mijetin aku kan, Mas? Rasanya kayak semua tulangku patah! Sakit banget, Mas!" rintih Tishia yang membuat jantung Geryl seakan tengah diremas-remas.
"Kamu pasti bisa, Sayang. Aku bangga banget sama kamu. Bayi jeruk—ah, maksudnya, Illian pasti bangga banget punya Bunda sehebat kamu." Geryl berusaha menenangkan, merapikan untaian rambutnya yang berantakan.
"Aku juga sayang banget sama kamu, Mas!" Mereka kembali berpelukan. Tishia menyandarkan seluruh tubuhnya pada sang suami, berusaha menyerap kekuatan sebanyak-banyaknya. "Dek, Bunda sayang banget sama kamu. Bunda ... bahagia banget atas keberadaan kamu. Yuk, cepet keluar! Semoga kamu selalu bisa menyebarkan kebahagiaan pada semua orang di sekitarmu, ya?"
***
Semuanya terjadi dengan sangat cepat. Pukul sembilan malam, pembukaan Tishia sudah lengkap. Ia segera dipindahkan pada ruang bersalin. Geryl menemani di dalam ruang bersalin, menyodorkan tangannya untuk diremas sekuat tenaga selama istrinya mengejan.
Geryl tidak menghitung berapa lama tepatnya ia menyaksikan penderitaan Tishia memuncak. Air matanya terus mengalir, bersahutan dengan instruksi suster dan dokter yang membantu proses persalinan.
Sampai akhirnya, tangis bayi jeruk menyeruak memenuhi ruangan.
Senyum Tishia mengembang dengan wajah bersimbah keringat. Matanya sayu, energinya tersedot habis. Geryl mengecup keningnya dalam-dalam. "Makasih, Sayang, kamu hebat banget!"
"Aku berhasil kan, Mas?"
"Iya, Sayang, kamu hebat. Aku bangga banget sama kamu!"
Namun, baru satu menit ia bisa bernapas lega, perlahan senyum Tishia memudar. Remasan di tangannya melonggar. Kesadarannya pun berangsur menghilang. Dokter berseru panik saat kontraksi Tishia selesai, padahal plasentanya masih tertinggal di dalam rahim.
"Dok, pendarahan postpartum!"
"Tekanan darahnya menurun, Dok!"
"Ambil kantung darah!"
"Maaf, Pak, kondisi Ibu Tishia kritis karena adanya pendarahan, Bapak bisa menunggu di luar."
***
Geryl pikir, masa-masa paling mencekam baginya adalah saat menemani istrinya mengejan dalam proses persalinan tadi. Ternyata menunggunya kali ini jauh lebih menyiksa.
Kata pendarahan dan kritis yang disandingkan dalam satu kalimat, membuat pikiran Geryl berkecamuk. Sama sekali tidak bisa membayangkan apa yang terjadi jika kemungkinan terburuk menimpanya.
Papinya datang dengan napas terengah-engah setelah berlarian di koridor rumah sakit. Tadi ia langsung mengabari keluarganya, juga mertuanya sekalian minta didoakan. Ternyata Papinya sampai lebih cepat dibanding perkiraannya.
"Sampai Jakarta kapan, Pi?"
"Papi dari bandara langsung ke sini."
Geryl terdiam agak lama. Pikirannya bercabang-cabang, tidak mampu berpikir jernih. Satu-satunya yang ia lakukan adalah terus merapalkan doa.
Papinya sempat bertanya tentang kondisi Tishia. Geryl menjelaskan secara singkat. Kemudian Papinya duduk di sebelah Geryl dengan pandangan kosong, turut menunduk sambil terus mendoakan keselamatan putrinya.
Entah sudah berapa lama Geryl menunggu. Suster datang menghampirinya. "Bagaimana keadaan istri saya, Dok?"
"Istri Bapak ... masih dalam penanganan medis. Saat ini Bapak sudah bisa melihat putra Bapak untuk diazani. Semuanya normal, berat badannya 3,2 kg. Panjangnya 53 cm. Mari Pak, ikut saya." Suster tersebut sudah melangkah lebih dulu, mengarahkan pada ruang yang tidak jauh dari sana.
Namun, kedua kaki Geryl tidak bergerak sedikit pun. Tubuhnya masih membatu, tidak berniat mengikuti langkah suster tersebut.
"Papi ... mau menggantikan aku buat azanin? Namanya Illian. Aku masih mau nunggu kabar dari Letishia di sini," ujar Geryl pelan.
Sebenarnya Geryl bisa melihat dengan jelas raut bimbang di wajah Papinya. Beliau pasti juga tidak sabar menantikan kabar dari Tishia, tapi di sisi lain, kehadiran cucu pertamanya ini juga sangat dinantikan.
Menyadari kondisi Geryl yang berantakan, Papinya pun bangkit, menepuk bahu lesu itu beberapa kali, kemudian mengikuti langkah suster untuk menemui cucunya.
Tepat setelah Papinya memasuki ruangan itu, dokter berjubah hijau keluar dari ruangan lain, yang sepertinya adalah ruang bersalin Tishia.
Dokter tersebut diikuti oleh dua orang perawat di belakangnya, lalu membungkuk 45 derajat di depannya dengan wajah sendu.
"Mohon maaf Pak Geryl, saya dan tim sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan Ibu Tishia. Namun, pendarahan terjadi sangat cepat, dan terlalu sulit dikendalikan. Tekanan darahnya menurun drastis, dan suntikan yang kami berikan untuk pembekuan darah tidak bekerja dengan maksimal, jadi—"
"Istri saya ... kenapa Dok?" Demi Tuhan Geryl enggak butuh mendengar penjelasan bertele-tele yang tidak ia pahami itu.
"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Saya turut berduka cita ya, Pak Geryl. Kami segenap tim—"
Seakan dirinya sedanh dikelilingi oleh sarang lebah, kuping Geryl berdengung hebat.
Ini pasti mimpi. Tishia nggak mungkin meninggalkannya, kan?
***
Bab 14: Kehangatan
Rumah mewah berlantai tiga itu dipadati puluhan orang lalu lalang. Terpasang bendera kuning di depannya yang sudah cukup menjelaskan alasan orang-orang datang dengan berselimut duka. Terdapat pula tenda biru untuk menampung lebih banyak orang. Di dekat pagar, ada banyak sekali karangan bunga yang mengungkapkan belasungkawa dari berbagai kerabat.
Di ruang tengah yang begitu luas, karpet beludru digelar. Puluhan orang duduk melingkar, khusyuk membaca yasin. Samar-samar isak tangis terdengar di sela bacaan ayat suci Al-Qur'an yang mengalun.
Alesia tidak bergabung di sana. Ia mengasingkan diri ke halaman belakang di dekat kolam renang. Pandangannya kosong. Perasaannya campur aduk tidak karuan.
Jenazah Tishia sudah dimakamkan tadi pagi. Kerabat dan keluarga terus berdatangan tanpa henti, turut mendoakan atas kehilangan keluarga mereka.
Jelas Alesia juga sangat kehilangan. Dadanya dipenuhi berbagai penyesalan. Seharusnya, Alesia menyingkirkan jauh-jauh luka di hatinya, dan menerima semua sikap baik Kakaknya belakangan ini.
Sekarang, Alesia tidak punya kesempatan lagi untuk membalas semua sikap baik Kakaknya. Bahkan terakhir kali mereka bertatap muka adalah setahun yang lalu!
Perasaaannya semakin berkecamuk. Ia merasa seperti adik yang sangat tidak tahu diri karena sudah menyia-nyiakan seluruh perhatian Kakaknya.
Andai saja ia diberi waktu sedikit lagi bersama Kakaknya. Andai saja ia tahu kalau Kakaknya tidak punya banyak waktu. Andai saja dia tidak hamil dan bisa datang ke Jakarta menemui Kakaknya.
Dan masih banyak sekali andai-andai yang memenuhi kepalanya.
Lalu di sisi lain, kesedihan Alesia setelah kehilangan putranya juga belum reda. Semuanya terjadi begitu cepat dan bertumpuk-tumpuk.
Yang lebih menyesakkan lagi, ia harus menahan semuanya sendirian, karena kepergian putranya tidak diumumkan pada siapa pun. Hanya orangtua dan Kakak Iparnya yang mengetahui itu.
Dari kejauhan Alesia dapat melihat keberadaan Geryl yang duduk di antara tamu-tamu yang datang. Sejak tadi pria itu tidak berhenti menyambut tamu yang datang. Wajahnya pucat, pandangannya kosong, suaranya tidak keluar lebih dari satu kalimat. Pria itu dipeluk, dikuatkan, dikelilingi banyak orang yang turut bersedih atas kehilangannya.
Sedangkan dirinya?
Dunia Alesia sudah hancur berantakan sebelum berita duka dari Kakaknya datang. Dan sekarang, semuanya semakin runyam.
Jangankan untuk melangkah lagi, bahkan kakinya tidak mampu menopang tubuhnya untuk berdiri. Tidak ada lagi yang tersisa. Hidupnya, jiwanya, bahagianya, semangatnya, semuanya direnggut.
Alesia kehilangan arah.
Tidak tahan lagi dengan suasana sendu yang memenuhi rumah ini, Alesia memaksakan diri untuk beranjak dari ruangan yang masih diselimuti duka itu. Ia menaiki lantai dua di mana kamarnya berada. Lebih baik ia mengasingkan diri di kamar, menghabiskan air matanya seharian penuh sampai tidak ada lagi yang tersisa untuk dikeluarkan besok.
Langkah Alesia yang ingin menuju kamarnya terhenti ketika mendengar suara tangisan bayi dari kamar lain. Tangisan itu tidak terlalu keras, tapi suaranya serak. Menandakan kalau tangisannya sudah cukup lama.
Seingat Alesia, kamar bayi yang seharusnya ditempati oleh Illian berada di lantai 1. Mami dan Papinya sudah menyulap salah satu kamar tamu dengan interior menggemaskan untuk cucu kesayangannya itu. Alesia ingat bagaimana hebohnya Tishia menceritakan soal kesibukan Mami dan Papinya dalam menyiapkan kamar itu.
Namun, kenapa suara tangis bayinya terdengar dari kamar Tishia yang berada di sebelah kamarnya?
Tidak tahan mendengar suara tangisan bayi yang terlalu lama, Alesia pun memilih mendekat. Dari sela pintu yang tidak ditutup rapat, Alesia dapat melihat seorang perempuan berseragam baby sitter tampak kewalahan menenangkan bayi yang terus menangis dalam gendongannya. Di sebelahnya ada wanita paruh baya yang sibuk menyiapkan susu di dalam botol dot.
Jantung Alesia serasa diiris-iris. Ia tahu persis bagaimana perasaan keponakannya sekarang. Meski bayi itu baru berumur sehari dan belum mengetahui apa-apa, ia percaya bahwa ikatan batin seorang anak dan ibu itu sangat kuat. Barangkali tangisnya pecah karena merindukan dekap hangat Ibunya yang tidak pernah ia rasakan.
Sekarang, Alesia jadi bertanya-tanya. Mana yang lebih sakit? Anak yang ditinggal mati ibunya? Atau sebaliknya?
Jawabannya adalah keduanya sama-sama menyakitkan. Yang namanya kehilangan, bagaimanapun bentuk dan caranya, pasti terasa amat menyakitkan.
"Eh, Alesia?" sapa Risna, Ibunya Geryl alias Ibu mertua Kakaknya.
Terlanjur tertangkap basah, Alesia pun melangkah masuk. Meski tidak akrab dengan Geryl, hubungan Alesia dengan Ibunya Geryl sedikit lebih akrab. Setidaknya, beliau merupakan ibu normal pada umumnya yang sangat menyayangi anak dan keluarga menantunya dengan tulus. Sehingga sikap beliau pada Alesia sejak perkenalan pertama pun sangat baik.
"Adek kenapa, Bu?" tanya Alesia pelan.
"Kayaknya sih, haus, Sayang. Popoknya kering, barusan diganti. Tapi dikasih susu enggak mau. Nangis terus."
Alesia menyaksikan sendiri bagaimana Illian terus menolak dot yang dimasukkan ke mulutnya.
"Sepertinya perlu ganti dot, Bu. Dot yang dipakai rumah sakit berbeda sama punya kita, jadi Adek belum terbiasa pakai dot ini," usul Hana, bidan dari rumah sakit yang dikontrak khusus untuk merawat Illian.
"Tadi pagi dia mau minum pakai dot ini?"
"Nggak mau, Bu. Sejak kemarin, saya menyuapkan pakai sendok kecil sedikit-sedikit ke Adek. Soalnya kemarin dia enggak rewel, dikasih sendok langsung mau minum pelan-pelan. Tadi sudah saya coba pakai sendok, tapi nangisnya enggak mau berhenti. Kalau dipaksa pakai sendok terus, takutnya malah tersedak."
Terlihat gurat kekhawatiran pada paras Risna. Di umurnya yang pertengahan 60-an, Risna tampak anggun dan berwibawa. Suaranya lembut dan ramah sekali. Alesia seringkali tidak percaya bahwa wanita selembut ini punya anak semenyebalkan Geryl.
"Apa coba Ibu suruh Pak Sapto beli dot baru ya? Jaman sekarang model dot tuh macam-macam ya, Mbak. Kamu ingat nggak, merek atau model dot yang dipakai rumah sakit, yang cocok untuk new born?" Dengan kedua tangannya, Risna memainkan ponselnya di jarak yang agak jauh, karena penglihatannya sudah senja.
"Setiap anak itu beda-beda, Bu. Ada yang suka merek Comotomo, atau Tommee Tippee ...."
"Kalau gitu beli semuanya saja ya, biar Adek bisa pilih, lebih suka yang mana. Aduh, itu tulisannya gimana, Mbak? Coba kamu yang tuliskan. Saya enggak pakai kacamata, sulit sekali untuk ngetik-ngetik."
Berhubung Hana sedang menggendong Illian, ia tidak bisa menerima ponsel yang disodorkan Risna. Kemudian ingin meletakkan Illian pada box bayi. Namun, baru sebentar diletakkan, tangis Illian yang sempat memelan kembali pecah, lebih kencang.
"Ya Allah, Dek ... sabar sebentar ya, Nak!" Risna menepuk-nepuk paha Illian dengan lembut. "Eyang enggak bisa gendong kamu, asam urat Eyang lagi tinggi, jadi—"
"Bu, aku boleh coba gendong?" ujar Alesia dengan suara sangat pelan.
"Boleh dong, Sayang!" Raut Risna langsung berbinar-binar.
Hana pun membantu Alesia menggendong Illian. Jantungnya berdegup kencang tidak karuan. Ini pertama kalinya Alesia menggendong bayi baru lahir yang ... bergerak.
Seingat Alesia, ia tidak pernah menggendong bayi baru lahir yang masih merah seperti ini. Setiap kali teman atau saudaranya baru melahirkan, ia selalu menjenguk setelah bayinya berusia dua atau tiga bulan. Itu pun dia enggak selalu mencoba menggendong.
Makanya saat bertemu Jean beberapa hari lalu, itu adalah kali pertamanya bisa mendekap bayi yang baru lahir.
Dan sekarang, ia baru merasakan menggendong bayi yang ... hangat. Bahkan kehangatannya menyebar sampai dadanya, menimbulkan sensasi baru yang membuat bola matanya memanas.
Hana tengah mengutak-atik ponsel Risna, memberikan rekomendasi dot terbaik untuk new born. Bahkan Hana juga mencarikan fotonya di google supaya Risna tidak salah beli.
"Kalau gitu, Ibu turun dulu ya, buat suruh Pak Sapto beli." Risna tersenyum anggun, menepuk bahu Alesia lembut. "Wah, Adek langsung diem loh, setelah digendong Tantenyaa!"
Tangis Illian memang mulai mereda sekarang. Tapi gantian Alesia yang ingin menangis sekarang.
"Karena tangisnya udah agak reda, coba aku siapkan susunya buat disuapin pakai sendok kayak tadi pagi ya, Bu. Sambil nunggu dot barunya datang," ujar Hana.
"Iya, Mbak Hana. Terima kasih ya! Ibu turun dulu!"
Sepeninggal Risna, Illian kembali merengek. Tidak lagi menangis karena sepertinya energinya sudah habis. Bibir mungil itu terus bergerak-gerak mencari minum.
"Sebentar ya, Dek!" Hana buru-buru menuju meja kecil di pojok ruangan yang dilengkapi oleh sterilizer untuk peralatan bayi.
Ketika tangan mungil Illian tidak sengaja menyenggol dadanya, Alesia langsung meringis nyeri. Ia baru sadar kalau sejak tadi belum pumping, sehingga payudaranya terasa kencang dan nyeri jika disentuh.
Tiba-tiba sebuah ide tercetus di kepalanya.
"Mbak Hana, aku ... boleh nyoba menyusui Adek?"
Perempuan yang sepertinya seumuran dengan Alesia itu mengerutkan keningnya. "Maksudnya gimana, Mbak?"
"Aku ... memang lagi menyusui. Nggak papa kan, kalau aku coba susuin Adek? Siapa tau ... dia mau."
"Oh, gitu. Boleh banget, Mbak. Nggak masalah, Adek jadi sepersusuan sama sepupunya sendiri!" Hana tersenyum ramah.
Hana merupakan bidan dari rumah sakit tempat Illian dilahirkan. Rumah sakit itu memberikan fasilitas bantuan bidan selama seminggu pertama setelah kelahiran, untuk mengajari Ibu baru dalam merawat bayi baru lahir. Namun, karena kondisi khusus, Hana dikontrak selama sebulan di sini, sambil Maminya mencarikan baby sitter lain untuk membantu merawat Illian.
"Anak Mbak Alesia umur berapa?" tanya Hana ramah, ketika Alesia sedang membuka kancing dress-nya dengan agak kesulitan karena hanya menggunakan satu tangan.
"Hmm ... 4 hari lebih tua dari Illian," jawab Alesia sambil berdoa dalam hati, agar Hana tidak bertanya-tanya lagi. s
Ia pun mulai mengeluarkan satu payudaranya, mengarahkan pada mulut mungil Illian dengan perlahan. Alesia bahkan merasakan bra-nya agak basah karena ASI-nya rembes lagi. Dia sungguh heran, bagaimana bisa ASI-nya selancar ini, padahal beberapa hari terakhir ia jarang makan.
Alesia bahkan sengaja malas makan, dengan harapan supaya ASI-nya tidak keluar lagi. Hatinya sakit sekali setiap kali pumping, lalu membuang ASI-nya begitu saja. Habisnya, mau diminum siapa?
Dan sekarang, lebih ajaib lagi karena ternyata Illian mau menyesap ASI-nya!
Awalnya Illian memang terlihat bingung dan tidak bisa langsung menyesap. Tapi bibir mungil Illian terus bergerak-gerak, sampai akhirnya berhasil menyesap dengan baik.
"Wah, Adek mau ya, Mbak!" Hana langsung berseru senang, tidak jadi menyiapkan susu formula untuk Illian.
Perlahan Alesia duduk di bibir kasur, sambil menatap bagaimana bayi mungil ini yang menyesap putingnya dengan rakus. Sesekali ia meringis karena rasa nyeri, tapi itu semua tidak sebanding dengan bahagianya melihat Illian yang menggenggam jemarinya sambil terus menyusu.
"Mbak Alesia ada masalah dengan ASI nggak?" tanya Hana pelan.
Lalu Hana menambahkan dengan lebih hati-hati. "Maksud saya, kalau ASI Mbak Alesia seret, atau keluarnya sedikit, otomatis kan, Mbak Alesia lebih mengutamakan anak Mbak. Jadi enggak bisa sharing sama Illian. Tapi kalau Mbak nggak keberatan, aku punya tips-tips supaya ASI lancar, biar cukup untuk anak Mbak dan Illian juga. Itu pun kalau Mbak Alesia enggak keberatan jadi ibu susu Illian.
"Soalnya sebagus dan semahal apa pun susu formula, kandungannya tetap enggak bisa mengalahkan ASI. Jadi sayang banget, kalau Illian minum susu formula terus sejak lahir, sementara dia punya Tante yang juga sedang menyusui."
Alesia menggigit bibir. Otaknya berputar cepat, menimbang-nimbang apakah ia harus memberitahu Hana?
Namun, berhubung sejak tadi ia berusaha sekuat tenaga untuk menahan tangis, ia pun mengurungkannya. Bisa dipastikan dia langsung nangis sesenggukan kalau memberitahu Hana tentang Jean.
"Hmmm ... sebenarnya belakangan ini aku enggak terlalu banyak makan, tapi ASI-nya tetap keluar banyak. Mbak ada tips lain supaya ASI makin lancar? Aku ... nggak masalah kalau harus menyusui Illian."
Anggap saja, ia sedang balas budi atas kebaikan Tishia selama beberapa waktu terakhir.
***
"Lho, Adek sudah tidur?" Risna menatap Illian dengan mata membulat, terkejut mendapati cucunya sudah terlelap di dalam box bayi dengan tangan.
Hana baru saja kembali ke kamarnya. Alesia sengaja menyuruhnya beristirahat setelah mengurus Illian sejak pagi. Gantian dia yang akan berjaga di sini. Toh, juga ia tidak minat melakukan apa pun sekarang.
"Sudah, Bu." Jawab Alesia pelan.
Risna duduk di sofa sebelah Alesia setelah menutup kelambu di atas box bayinya. "Kok udah tidur aja sih? Tadi dia sudah mau minum susu? Dia maunya disuapin dikit-dikit pakai sendok kecil gitu ya?"
Pikiran Alesia berpacu cepat. Sebenarnya dia sedang tidak berminat menceritakan apa pun pada siapa pun. Hatinya sedang carut marut tidak karuan.
Namun, melihat binar lembut Risna, segala kekhawatirannya tersingkirkan. Lagi pula, apa pun respon Risna soal musibah yang menimpanya, sama sekali bukan masalah baginya.
Toh, Alesia sudah menerima respon buruk dari Mami dan Papinya sendiri. Jadi, sepertinya dia akan kebal dengan berbagai komentar buruk lainnya.
"Tadi aku coba menyusui Adek, ternyata dia mau, Bu," ujar Alesia pelan. Sebelum Risna semakin bingung, ia pun mulai bercerita.
Alesia tidak bisa menahan tangisnya ketika menceritakan semuanya dengan detail. Tidak ada satu pun yang ia tutupi.
"Barangkali anakku pergi karena aku memang enggak layak menjadi Ibu," tutup Alesia ketika ceritanya berakhir. Tangisnya semakin pecah.
Tanpa disangka, wanita berhijab hitam itu memeluknya erat. Peluk hangat dari tangan lembut itu membuat perasaannya campur aduk. "Allah memberikan ujian pada hambanya sesuai dengan kapasitasnya. Jadi, kalau mendapat ujian—seberat apa pun itu—jangan pernah putus asa atau berprasangka buruk dengan takdir yang sudah digariskan. Allah yang lebih tahu apakah kamu bisa melewati ujian itu dengan baik atau tidak."
Tangis Alesia semakin kencang. Dia sama sekali enggak menyangka Ibu mertua Kakaknya ini akan mengucapkan kata-kata selembut itu, tanpa menghakimi sama sekali.
"Dan yang jelas, enggak ada sesuatu yang terjadi begitu saja tanpa alasan. Mungkin, ini cara Allah menegur kamu. Dan kamu harus bersyukur, karena itu artinya, Allah masih sayang sama kamu. Allah masih memberikan kamu kesempatan untuk memperbaiki diri."
"Terima kasih banyak, Bu, karena enggak menghakimi aku, dan berusaha memahami aku."
Risna mengusap air mata Alesia dengan ibu jarinya yang sudah mulai keriput. "Ibu juga manusia biasa yang nggak sempurna, sama sekali enggak berhak menghakimi siapa pun. Lagi pula, dengan kamu sudah menyesali masa-masa itu, dan berusaha memperbaiki diri, itu sudah cukup. Dengan begitu, dari semua musibah yang menimpa kamu, enggak ada yang sia-sia, karena kamu bisa mengambil hikmahnya."
"Ibu baru saja kehilangan anak, persis dengan yang kamu rasakan sekarang. Tishia itu sudah Ibu anggap sebagai anak Ibu sendiri. Dan ketika kehilangan dia, rasanya berat sekali. Tapi Ibu harus menahan diri, setidaknya tidak menangis di depan Geryl yang butuh lebih banyak dukungan. Dan menahan semua sedih itu bikin semuanya jadi lebih menyakitkan, ya? Kamu pasti tahu sekali gimana rasanya. Nggak papa, Sayang. Kamu ambil waktumu sebanyak mungkin untuk bersedih. Tapi ingat, jangan terhanyut dengan kesedihanmu. Kamu masih punya kehidupan panjang yang perlu kamu tempuh dengan bahagia. Masih banyak orang yang sayang sama kamu."
Ya Tuhan, bolehkah ia request untuk menukar Maminya dengan Bu Risna?
Alesia ingin sekali punya Ibu yang selembut ini saat bertutur, dan memiliki pelukan hangat yang bisa ia jadikan sebagai tempat pulang.
***
Bab 15: New Hope
Dalam sekejap hidup Alesia berubah.
Semua ini karena keputusannya untuk menyusui Illian.
Bayi itu sungguh ajaib. Keberadaannya seperti mata air di tengah padang pasir yang menyejukkan hidup Alesia yang gersang.
Alesia yang semula malas makan, bahkan berharap ASI-nya berhenti mengalir, kini mau tidak mau harus banyak makan makanan bergizi demi Illian. Kandungan ASI sangat dipengaruhi oleh makanan yang dikonsumsi Ibu. Dan Illian membutuhkan gizi dan nutrisi seimbang untuk pertumbuhannya setiap hari.
Alesia pernah membaca sebuah kalimat, bahwa tidak ada patah hati yang lebih menyakitkan dibanding seorang ibu yang kehilangan anaknya. Dan itu benar. Alesia telah kehilangan seluruh hidupnya. Rasa sakit yang menghancurkannya, membuat ia seringkali berpikiran untuk mengakhiri hidupnya, saking tidak tahannya melalui ini semua.
Namun, berkat Illian, muncul harapan-harapan baru di hatinya, yang membuatnya terus bertahan sampai detik ini.
Kini doanya pun berubah, ia mengharapkan umur panjang agar bisa menyaksikan Illian tumbuh dewasa dan bahagia.
Dan kalau boleh ngelunjak, Alesia ingin sekali menjadi salah satu bagian penting dari kebahagiaan Illian.
Alesia yang sebelumnya bisa menghabiskan waktu seharian di kamar untuk menangis dan meraung-raung, kini tidak punya waktu lagi untuk sekadar menitikkan air mata. Illian butuh menyusui setiap dua jam sekali.
Selesai menyusui, Alesia harus langsung makan, dan membersihkan diri. Baru istirahat sebentar, ia sudah dibangunkan untuk menyusui.
Kegiatannya setiap hari sangat sibuk, sehingga ia tidak punya waktu untuk meratapi nasibnya. Ia harus ceria saat berhadapan dengan Illian, menyembunyikan kesedihannya sebaik mungkin agar tidak memberikan energi negatif pada Illian.
Lama kelamaan, segala hal yang tadinya dipaksakan, dapat dijalaninya dengan lebih baik. Manusia adalah makhluk yang paling cepat beradaptasi. Kesedihannya pun mulai tersingkirkan. Perlahan keceriaannya kembali. Meski lelah, ia mulai menikmati segala hal yang ia lakukan untuk Illian.
Semua rutinitas super sibuk itu terus berjalan selama berminggu-minggu, yang membuat Alesia enggak bisa istirahat dengan proper. Tidak terhitung berapa kali Hana berinisiatif memberikan ASI pakai berbagai macam dot yang dibelikan Risna dan Kamila, agar Alesia bisa istirahat lebih lama. Tapi Illian tetap menolak.
Entah apa alasannya, Illian cuma mau menyusu secara DBF (direct breastfedding).
"Alhamdulillah kata dokter, Adek sehat. Beratnya nambah 815 gram sejak lahir, melebihi batas normal. Nggak ada masalah apa pun. BAB-nya juga lancar!" Kamila masuk ke rumah dengan bola mata berbinar-binar. "Makasih ya, karena kamu sudah mau menyusui dan merawat Adek dengan sangat baik."
Alesia yang sedang sarapan di meja makan nyaris tersedak. Demi Tuhan, ini pertama kalinya Maminya mengucapkan terima kasih!
"Jangan cuma bilang makasih dong, Mi! Itu Alesia begadang sebulan penuh buat jagain Adek. Minimal, kamu kasih dia tas Hermes atau paket spa paling mahal!" sahut Andre yang juga baru datang sepulang dari kontrol rutin Illian di rumah sakit.
"Tenang aja, Les, kamu mau apa, tinggal bilang sama Mami. Bakal Mami belikan!"
Alesia hanya diam, masih tidak menyangka hubungannya dengan orangtuanya bakal menjadi seakrab ini.
Ya, lagi-lagi ini berkat Illian. Selama sebulan terakhir, topik soal Illian membuat hubungan kekeluargaan mereka semakin lekat.
Pasalnya, orangtua Geryl tinggal Surabaya. Umurnya lebih tua sepuluh tahun dibanding Kamila dan Andre, dan kondisi kesehatan mereka kurang baik. Sehingga langsung diputuskan bahwa Illian diurus di rumah Kamila dan Andre.
Jadi, secara otomatis semua orang di dalam rumah ini bekerja sama mengurus Illian dengan seluruh kemampuan yang mereka miliki.
Sementara Geryl, pria itu sedang meratapi kesedihannya setelah ditinggalkan istri tercinta. Pria itu pulang ke rumah yang ditempatinya bersama istrinya. Dua minggu setelah kelahiran Illian, dia kembali pada rutinitasnya, sibuk bekerja.
Selama sebulan terakhir, Geryl baru datang mengunjungi anaknya dua kali.
Hana yang sejak tadi menggendong Illian, berjalan mendekati Alesia. Sudah saatnya Illian menyusui.
"Mbak Hana, hari ini coba lagi susuin Adek pakai dot yang lain, ya! Ikutin saran dokter tadi. Disiasati, mungkin suhu ASI-nya kurang hangat, atau terlalu hangat? Coba dotnya digerak-gerakkan selama menyusui. Pokoknya dicoba terus, sampai Adek mau minum pakai dot. Biar Alesia bisa istirahat lebih lama." Perintah Papinya.
Perasaan Alesia menghangat, sekaligus takjub. Lagi-lagi berkat bayi ini, orangtuanya turut memperhatikan kesehatannya yang selama ini lebih pantas disebut sebagai anak tiri.
"Iya, Pak. Nanti saya coba lagi!"
"Tadi dokter juga bilang, barangkali Adek suka sama aroma tubuh Alesia. Coba nanti saat minum pakai dot, Adek diselimuti pakai selimut Alesia." Maminya turut menambahkan saran.
"Baik, Bu, nanti saya coba."
"Siang ini Papi suruh Geryl ke sini. Barangkali kalau sambil digendong Ayahnya, Adek jadi mau minum pakai dot. Lagi pula, waktu Geryl untuk berduka sudah cukup. Dia nggak boleh sedih berlarut-larut, dan harus mulai ikut mengurus Illian. Bukannya Papi enggak seneng ngerawat cucu sendiri. Tapi, Papi mau cucu Papi juga dekat Ayah kandungnya."
Sebenarnya hati kecil Alesia ingin sekali membalas, "Kenapa Papi mau cucu Papi dekat dengan Ayah kandungnya sendiri, sementara Papi sendiri enggak dekat dengan anak bungsu Papi sendiri? Apakah kecurigaannya bahwa dia anak pungut itu memang benar?"
Namun, berhubung ini masih pagi dan hari masih panjang, Alesia mengurungkannya. Ia memilih menggendong Illian yang sudah merengek minta susu, lantas membawanya ke kamar.
"Mbak Hana istirahat aja. Pasti capek, ya, habis nemenin Illian kontrol?" ujar Alesia sebelum masuk ke kamarnya.
"Tapi ... Mbak Alesia juga capek 'kan, semalem enggak tidur sama sekali, dan baru tidur jam empat?" Hana meringis tidak enak hati. Pasalnya dia juga mendapatkan perintah dari majikannya untuk mencoba dot-dot baru.
"Nggak papa, Mbak. Aku enggak ngantuk kok! Nanti kalau aku capek, aku panggil Mbak ke kamar!" Alesia tersenyum lebar.
"Beneran, Mbak? Kalau gitu, jangan sungkan buat panggil aku kalau udah capek ya, Mbak!"
"Iya!"
Barangkali, ini yang dirasakan ibu-ibu di luar sana saat mengurus anaknya. Semua lelahnya, terbayar lunas ketika melihat Illian tertawa lebar menanggapi omongannya. Apalagi ketika Illian tidur dalam dekapannya. Hatinya terasa hangat, mengalirkan ketenangan yang tidak pernah ia dapatkan dari mana pun.
Sejak Alesia memutuskan untuk menyusui Illian tepat sebulan yang lalu, ia sudah jatuh cinta sejatuh-jatuhnya pada anak ini. Dan berjanji akan terus mencintainya, sebagaimana ia mencintai Jean.
***
"Kamu yakin, enggak mau jalan ke mana gitu? Ini, ambil kartu Papi! Kamu bisa beli apa pun yang kamu mau." Papinya menatap Alesia dengan pandangan tidak percaya, ketika Alesia bilang kalau dia hanya ingin tidur seharian di rumah.
"Beneran. Aku cuma mau tidur, Pi."
Geryl baru saja datang. Pria itu langsung naik ke kamar Illian, mencoba membantu Hana mencoba berbagai metode agar Illian mau minum susu pakai dot. Sementara Alesia mendapatkan jatah refreshing setelah mengurus Illian sebulan tanpa istirahat yang cukup.
"Ya udah terserah kamu. Tapi kamu bisa tetap ambil ini. Kapan pun kamu mau beli sesuatu, kamu bisa pakai. Ini unlimited." Papinya tetap bersikeras menyodorkan kartu kredit.
Alesia pun memerimanya tanpa mengatakan apa pun. Sebenarnya ia sudah tidak memiliki dendam apa pun pada orangtuanya. Hanya saja dalam kondisi seperti ini, Alesia bertanya-tanya, kenapa di saat ia tidak menginginkan apa pun, Papi dan Maminya bersikeras menyodorkan uang?
Tapi dulu ketika Alesia sangat menginginkan sepeda seperti milik teman-temannya, atau kotak pensil bergambar Barbie, sepatu balet, dan hal-hal receh lainnya, tidak pernah dituruti, sampai membuat masa kecilnya dipenuhi kenangan yang menyesakkan?
Entah lah, apakah ia boleh bersyukur dengan keadaannya sekarang, karena bisa mendapatkan perhatian orangtuanya yang selama ini tidak pernah ia dapatkan?
Berhubung Alesia enggak mengatakan apa-apa lagi, Papinya pun kembali ke kamar.
Alesia meraih kotak cheesecake di meja. Sudah lama sekali ia tidak makan cheesecake. Ia mengambil satu slice, dan menikmatinya dengan tenang. Jarang sekali ia bisa makan dessert tanpa buru-buru begini.
Puas dengan semua makanan di meja makan, ia pun kembali ke kamarnya sendiri yang jarang dia pakai tidur karena ia lebih sering memakai kamar Illian.
Besok adalah hari terakhir Hana bekerja di sini. Sayang sekali harus berpisah dengan Hana, karena perempuan itu bekerja dengan sangat baik mengurus Illian. Karena itu juga, Hana berusaha lebih keras mencoba memberikan dot pada Illian, supaya saat Hana pergi nanti, Alesia enggak keteteran mengurus Illian sendiri.
Baru saja Alesia merebahkan tubuhnya di kasur, suara tangis Illian di kamar sebelah terdengar. Alesia sengaja menunggu lima menit. Jika tangisnya belum berhenti juga, ia akan mendatangi kamarnya, dan melupakan jatah istirahatnya hari ini.
Ketika di rasa sudah lebih dari lima menit dan tangisnya masih terdengar, Alesia pun bangkit dari kasur. Tangannya mengikat rambut sambil berjalan ke kamar sebelah.
"Kenapa, Mbak?" tanya Alesia setelah membuka pintu.
Terlihat Hana tengah menggoyang-goyangkan Illian dalam gendongannya, berusaha menenangkan tangisnya.
"Tadi udah mau minum pake dot. Tapi lama-lama Adek nolak lagi. Udah diselimutin pake selimut Mbak Ales juga tetep nggak mau." Hana meringis, tidak enak hati melihat Alesia yang kini tampak pucat dengan kantung mata dan lingkaran hitam mengelilingi matanya.
Siapa pun yang melihat paras Alesia sekarang pasti akan prihatin. Selama sebulan terakhir, berat badannya turun dengan mudah tanpa perlu diet susah-susah. Ia hanya rutin memakai korset setiap hari, satu-satunya usaha yang dilakukan untuk mengempeskan perutnya yang masih buncit. Sisanya, kesibukan mengurus Illian membuat berat badannya turun dengan sendirinya.
Belum lagi rambutnya yang sudah lepek karena belum sempat keramas. Jangankan untuk keramas, Alesia bisa tidur satu jam saja merupakan anugrah yang patut disyukuri. Biasanya ia memakai dry shampoo sebagai instant hack agar rambutnya nggak lepek, tapi nampaknya, itu nggak membantu banyak.
Kehidupannya belakangan ini benar-benar sangat kacau dan super sibuk.
Mami dan Papinya seringkali khawatir Alesia bakal mengeluh dan minta berhenti. Pasalnya, Illian bukan anaknya, dia tidak punya kewajiban untuk turut merawat Illian.
Namun, kekhawatiran Mami dan Papinya nggak akan terjadi. Alesia sudah terlanjur jatuh cinta pada Illian. Bagaimana ia bisa mengeluh?
Geryl menatap Alesia dengan pandangan yang sulit diartikan. Setelah beberapa kali bertautan dengan sorot pandang itu, Alesia menyimpulkan bahwa tatapan Geryl mengandung rasa prihatin. Barangkali karena semakin hari, penampilan Alesia terlihat makin mengenaskan.
Jangankan untuk pakai skincare rutin. Bisa mandi dengan nyaman tanpa terburu-buru saja sudah bagus.
"Kenapa, Dek? Mau tidur siang sama Tante ya?" Alesia mengambil alih Illian ke dalam gendongan. "Ini ada Ayahmu loh! Kenapa Adek masih cari-cari Tante sih? Adek enggak kangen sama Ayah?"
Betapa ajaibnya saat Alesia mengajak ngobrol, tangis Illian langsung berhenti. Bahkan bayi itu tersenyum lebar, menanggapi ucapan Alesia.
Kemudian Alesia berpaling menatap Kakak iparnya. "Kamu udah coba gendong, Mas?"
Geryl tidak kunjung menjawab.
Alesia menghela napas panjang. "Coba kamu duduk di situ, Mas!"
Geryl tampak ingin menolak, tapi pada akhirnya tetap mendudukkan tubuhnya di bibir kasur.
Dengan sebelah tangannya, Alesia mengambil bantal dan meletakkan di pangkuan Geryl. Kemudian ia memposisikan tangan Geryl dengan benar, lalu meletakkan Illian di atas bantal yang berada di pangkuan Geryl.
"Ini Ayah, Dek. Orang yang mewariskan hidung mancung kamu nih, Dek!" Alesia mengatakannya dengan ceria, sementara tubuh Geryl membeku, tidak berani bergerak sedikit pun.
"Ayo, Mas, ajak Adek ngobrol dong!"
"Aku nggak bisa ... aku—"
"Bisa, Mas. Kamu bisa! Sebelumnya aku juga belum pernah jadi Ibu. Aku nggak pernah gemdong bayi, dan nggak pernah menyusui. Tapi sekarang aku bisa. Jadi, kamu juga pasti bisa, Mas." Alesia menatap matanya lekat, berusaha meyakinkan.
Illian terus bergerak-gerak di atas pangkuan Geryl. Namun, Geryl tidak juga bergerak seperti patung.
Lama kelamaan Illian nangis lagi. Wajah Geryl langsung panik. "Cepet ambil Adek, aku nggak bisa, Le!"
Alesia menghela napas panjang. Agak kesal melihat Kakak Iparnya yang terlalu cepat menyerah, bahkan terkesan enggak mau mencoba sama sekali. Namun, ia tetap menurut, kembali menggendong Illian.
"Sabar ya, Dek, Ayah lagi belajar pelan-pelan. Ayah belum terbiasa gendong kamu. Nanti, lama-lama Ayah juga terbiasa. Terus Ayahmu juga bisa ngajarin kamu lari ... main bola, naik sepeda. Apa lagi ya? Berenang? Adek suka berenang kan? Kalau mandi girang banget, suka nggak mau mentas ya?" Alesia mengatakannya dengan ceria, tanpa menatap Geryl sedikit pun, seoalah pria itu tidak mendengarnya.
Kemudian kepala Alesia terangkat, menatap Hana. "Mbak Hana, Adek aku bawa tidur siang di kamarku aja ya? Aku ngantuk nih! Mbak juga bisa istirahat."
Tanpa menunggu jawaban Hana, Alesia berjalan ke kasur untuk mengambil selimut bergambar jeruk milik Illian.
Sambil menyelimuti Illian, Alesia kembali mengajak Illian bicara, "Eh, kenapa senyum-senyum terus? Adek seneng ya, tadi habis dipangku sama Ayah?
"Nggak papa ya, Dek, walaupun sebentar. Ayah 'kan lagi belajar pangku Adek. Yang jelas, Adek harus selalu ingat, kalau Ayah itu sayang banget sama Adek! Bahkan, rasa sayang Tante ke Adek nggak ada apa-apanya dibanding rasa sayang Ayah ke Adek!"
Tanpa Alesia ketahui, setetes air mata mengalir dari sudut mata pria yang ia sebut-sebut sebagai Ayah.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
