
Konten Dewasa 18+ Harap bijak dalam memilih bahan bacaan!
“Apa sih di dunia ini yang tidak bisa kubeli dengan uang?” kata Amanda, gadis berusia 25 tahun anak crazy rich jakarta yang memiliki stasiun televisi lokal. Dengan percaya dirinya ia bilang hal ini pada sahabatnya yang sesama orang kaya juga.
“Hoaaahh! Gue suka gaya loe!” Mereka berdua tersenyum senang setelah membeli harga diri seorang pelayan dengan uang.
Apapun yang Amanda inginkan bisa dia dapatkan dengan mudah tinggal menjentikan jari...
BAB 2
Kaki Amanda tanpa permisi dengan lancang ia taruh di atas lutut sang karyawan. Amanda ingin mempertegas statusnya, dia karyawan VVIP dari kalangan orang kaya dan yang ada di hadapannya ini adalah gadis pelayan yang dari kalangan orang biasa.
Harga diri gadis ini seakan dicabik-cabik, dia bersujud membersihkan kaki dan sepatu heels yang Amanda kenakan. Pokoknya harus bersih daripada suruh ganti rugi, kan sepatunya mahal.
Setelah bersih Amanda bangun dan memilih-milih barang, dia lemparkan sembarang dan langsung ditangkap oleh karyawan baru yang sekarang ia tugaskan untuk melayaninya.
“Apa sih di dunia ini yang tidak bisa kubeli dengan uang?” kata Amanda, gadis berusia 25 tahun anak crazy rich jakarta yang memiliki stasiun televisi lokal. Dengan percaya dirinya ia bilang hal ini pada sahabatnya yang sesama orang kaya juga. Mereka duduk bersebelahan menunggu barangnya yang tengah dibungkus rapi.
“Hoaaahh! Gue suka gaya loe!” Mereka berdua tersenyum senang setelah membeli harga diri seorang pelayan dengan uang. Ya, pelayan tadi yang habis bersih Amanda marahi dan Amanda hina.
Kegiatan hari ini tidak selamanya mulus. Amanda kaget saat mendapat pesan dari asistennya yang menyuruh dia untuk segera kembali ke kantor.
“Gue balik kantor dulu, ada kode darurat.”
Siang itu, Amanda disuruh datang ke kantor karena sang ayah sedang marah besar dan mencari Amanda sebagai penanggung jawab sebuah acara. Ia menurut tanpa prasangka apa pun, walau sebenarnya hari itu ia sedang ingin bermalas-malasan.
Anak dan ayah pun duduk berhadapan di sofa empuk model terbaru. Ruangan bos besar tentunya sangat luas dengan latar bertuliskan MND TV yang merupakan singkatan dari Media Nusantara Dinata TV. Media televisi ini telah memiliki banyak program acara yang terkenal edukatif, informatif, dan menghibur.
Gustav, ayah Amanda, telah selesai membaca sebuah berkas dan kemudian meletakkannya di atas meja. Berkas tersebut ditutup menggunakan map berwarna biru.
“Kemana saja kamu? Kok acara yang kamu pegang malah berantakan?” Pria paruh baya ini menghela napas panjang.
“Ah itu karena karyawannya pada telat, Pi! Maaf ya!” Bukan komplain yang ingin dia dengar melainkan kabar baik yang sedang ia tunggu.
Pria yang karismatik itu menyilangkan tangan di depan dada sembari menatap putrinya. Dengan kalem, ia berucap, “Papi akan mengabulkan permintaanmu buat mengundang Cha Eun Woo dan membuat pesta semeriah mungkin. Kalau perlu, kita siarkan pula secara langsung di stasiun televisi Papi.”
Dalam rangka ulang tahun Amanda, ia merencanakan sebuah acara sesuai selera sang putri. Amanda kala itu minta pesta ulang tahun paling meriah dan mendatangkan banyak artis, terutama artis Korea kesukaannya, yakni Cha Eun Woo. Ia pikir, walau hanya acara ulang tahun, tapi bila bisa viral dan mendatangkan keuntungan serta prestise bagi perusahaan, mengapa tidak?
“Yeayyy … akhirnya!” Amanda jelas senang bukan main. Ia sudah minta dari jauh-jauh hari, tapi sang ayah sepertinya tak setuju. Ia sempat berpikir barangkali permintaannya mendatangkan artis K-pop papan atas itu terlalu berat untuk dipenuhi sang ayah. Permintaan itu telah ia sampaikan satu bulan yang lalu. Selama itu pula ia menunggu tanpa kejelasan sehingga sempat pupus harapan. Ia bahkan sempat menangis atau mengancam akan mogok makan demi memaksa sang ayah.
“Makasih banget! Papi emang ayah terbaik!” seru Amanda.
“Tapi dengan satu syarat!” ucap Gustav dengan mimik serius.
Baru saja hati Amanda melambung tinggi ke awang-awang, langsung jatuh ke daratan. Ternyata kali ini ayahnya mempunyai syarat. Apakah hanya syarat tanpa ketentuan?
“Kenapa pakai syarat segala?” tanya Amanda kecewa. Ia sampai menghela napas dan duduk menyilangkan kaki sambil manyun.
Gustav telah memikirkan matang-matang rencana besarnya ini dari jauh hari. Ia bahkan berdiskusi dengan salah satu teman dekatnya. Rencana ini tidak boleh gagal.
“Syaratnya gampang, Manda. Kamu harus ikut reality show terbaru Papi.” Gustav tengah menyiapkan acara terbaru yang akan ditayangkan sebentar lagi. Ia sengaja menyisakan satu slot pasangan pemain, khusus untuk anaknya dan anak sahabatnya.
Amanda mengerjap keheranan. “Maksud Papi, aku jadi bagian tim untuk mengurus acara itu?” Biasanya, Amanda ditugaskan jadi penanggung jawab saja. Ia hanya tahu beres. Semua kerumitan pekerjaan diserahkan kepada bawahan. Toh mereka ada dan digaji untuk membantunya, bukan? Ia tinggal tanda tangan, memeriksa sejenak, lalu ACC atau tidak tergantung suasana hatinya.
Gustav tersenyum lebar penuh arti. “Bukan.”
Melihat ekspresi Gustav yang tidak biasa itu, Amanda yakin tugasnya kali ini tidak akan mudah.
“Lalu apa tugasku, Yah?” Gadis ini mengerutkan dahi. Masa iya ia harus menjadi kacung dalam acara tersebut?
“Jadi pemainnya!” ucap Gustav dengan enteng. Senyum kemenangan semakin lebar tersungging di bibirnya.
Tentu saja Amanda kaget. Ia sudah biasa berada di balik layar dan menikmati uang hasil acaranya, bukan jadi pemain di layar kaca. Pasti ayahnya diam-diam mempunyai rencana lain.
"Hah? Papi itu acara reality show, lho,” protes Amanda.
"Iya. Kamu keberatan? Kalau kamu tidak setuju, kita bikin acara pesta ulang tahun sederhana aja di rumah." Kali ini Gustav mengancam.
"Nggak mau, iiiiih! Temen aku ngejek, masa iya anak yang punya MND TV ulang tahunnya nggak disiarkan? Kan aku malu, Pi. Gengsi tau. Mana temen-temen request ada babang Cha Eun Woo juga. Kapan lagi ada artis Korea di pesta ulang tahunan!" Amanda protes panjang lebar. Ia model orang yang tidak suka diolok-olok. Ia ingin menjadi orang yang paling beda, tak mau pesta ecek-ecek dan pasaran karena teman-temannya juga sekelas sultan.
"Kalau keinginan kamu setinggi itu, apa susahnya memenuhi keinginan ayah yang mudah itu? Kamu cuma ikut reality show aja," ujar Gustav enteng dengan nada yang meremehkan Amanda.
"Oh my God! Aku nggak suka ada di layar kaca. Mana reality show gitu kan keliatan muka bantal, muka buluk, muka belum mandi." Amanda selalu on fire dan tak pernah memperlihatkan muka bantalnya di layar kaca.
"Halaaah, banyak alasan! Kamu tinggal memilih, ikut reality show atau nggak usah rayain ulang tahun." Gustav memalingkan wajah agar Amanda semakin tertekan.
"Papi nyebelin, ih!” Amanda merengut maksimal.
“Terserah, keputusan ada di tangan kamu, Manda,” sahut Gustav tegas,
Nyali Amanda menciut juga melihat ketegasan sang ayah. Apa boleh buat, ia ingin pesta ulang tahun ke-25 nanti berlangsung meriah. Gadis cantik itu menghela napas dan berpikir sejenak. Terus terang, ia tidak kehilangan muka di depan teman-teman hedonnya.
“Tapi masa Manda jadi pemain, sih, Pi?” Rasa ragu kembali mengganggu Amanda.
"Kamu sekali-kali nurut sama Papi, deh. Belum ada lho anak pemilik stasiun televisi main di acara miliknya sendiri. Keren kamu kalau ikut acara ayah. Dijamin bakal dapat banyak pujian." Gustav mengeluarkan jurus andalan. Amanda pasti akan merasa terbang ke awang-awang dan merasa menjadi nomor satu. Ia tahu benar, anak itu haus pujian.
"Masa, ih?" Amanda pun menjadi antusias. Terlihat nomor satu di hadapan orang banyak memang tujuan hidupnya. Amanda tergabung dalam geng anak-anak sultan yang berteman dengan artis papan atas. Tentu ia ingin mencari muka agar semakin disanjung.
"Iya lah! Bayangkan betapa cantiknya anak Gustav Dermawan main di reality show program terbaru MND TV." Gustav sampai bertepuk tangan antusias. Jurus itu ternyata berhasil.
"Ya udah, asal pestaku dibuat meriah dan ada artis Koreanya." Amanda akhirnya menyerah, mau ikut acara reality show tersebut.
"Papi undang juga semua artis top Indonesia bila perlu." Gustav tentu mempunyai banyak nomor kontak manager artis.
"Oke, Papi. Aku mau ikut." Mereka pun saling berjabatan tangan.
"Silahkan tanda tangan." Pria paruh baya itu memberikan map berwarna biru yang sudah ia baca tadi.
"Eh, kontraknya udah ada?" tanya Amanda heran. Itu berarti rencana ini sudah disiapkan jauh-jauh hari.
"Ini yang Papi baca tadi."
"Mana pulpen?" tanya Amanda, berlagak sombong. Gayanya seperti artis yang akan menandatangani kertas dari fans.
"Nggak mau baca dulu?" tanya Gustav sambil mengangkat satu alisnya. Hatinya girang karena akhirnya sang anak jatuh juga pada perangkapnya.
"Nggak usah, biar cepet liat Cha Eun Woo!" Tanpa banyak berpikir dan membaca kontrak sama sekali, Amanda pun membubuhkan tanda tangan di atas materai 6000, lalu menuliskan nama Amanda Manuela Dermawan di bawahnya.
Setelah menandatangani dokumen tersebut, Amanda meminum segelas orange jus hingga tandas. Ia tidak tahu apa yang terjadi, namun ia merasa sangat lemah dan mengantuk. Beberapa menit kemudian, gadis ayu itu pun kehilangan kesadaran.
Mengingat kejadian kemarin itu, Amanda menggeram. Ia kini harus menghadapi kenyataan bahwa ia telah berada dalam acara My Roommate. Berarti kemarin ia tertidur oleh obat yang ada dalam minuman dan sekarang sudah berada di tempat acara ini. Hebatnya lagi, ia tak tahu lokasi tempat syuting ini berada di daerah mana. Acara ini sungguh di luar bayangannya.
Seketika ia ingat pria yang ia pegang-pegang di kamar tadi. "Kalau nama acaranya My Roommate, berarti partner satu kamar, satu rumahku adalah pria tadi?"
Amanda mendadak pusing. “Papiiiiiii!”
BAB 3 Senja dan Amanda
“Papah cuma mau kamu ikut, selebihnya kalau kamu berhasil ya silahkan kejar mimpimu, kalau tidak berhasil ya kamu harus menyerah jadi pemimpin perusahaan ini.” Seorang pria berbicara serius pada anaknya yang dia jemput paksa di gunung papandayan setelah lama tidak pulang. Punya anak bujang satu rasa tidak punya anak karena jarang ada di rumah.
“Hmmmm …. Aku bukan anak kecil lagi, Pah.” Dia malu ayahnya datang ke papandayan untuk menjemputnya dan dipinta untuk meneruskan perusahaan, ayahnya sudah tua dan sudah ingin pensiun.
“Bukankah anak muda suka dengan tantangan. Maka menanglah jika ingin bebas, kalahlah jika ingin jadi penerus papa. Permintaan papa cuma ini!” Pria paruh baya ini ingin anaknya ikut sebuah acara televisi.
Setelah menyetujui tantangan itu, dia diberikan minuman lalu minuman tersebut membuat dia tak sadarkan diri dan berakhir tidur satu ranjang dengan seorang gadis yang tidak ia kenal.
*
“Oh Manda …. Lo lagi di mana ini?” Amanda memandang ke arah luar vila untuk mencari petunjuk di mana ia berada. Barangkali ia pernah melihat daerah ini di poster destinasi wisata. Sayang, sejauh mata memandang, ia hanya menemukan kesunyian. Di depan sana, matanya disuguhi pemandangan hamparan pasir pantai dan lautan lepas yang sangat bersih dan luas. Tidak ada tanda-tanda kehadiran manusia lain, hanya ada hewan pantai seperti burung dan kepiting saja yang terlihat oleh netranya.
“Yang jelas, ini bukan Bali, bukan juga Lombok. Ini di mana, ya?”
Kalau tahu lokasinya, ia bisa kabur. Sekarang bagaimana caranya kabur kalau ia tak tahu berada di pulau mana. Sesama manusia saja tak ada, apalagi pemukiman dan kendaraan. Perahu pun kelihatannya tidak ada. Padahal kalau ada perahu kayu kecil, ia bisa memberanikan diri untuk mendayung sampai di kota. Tapi bagaimana bila bertemu binatang buas? Bulu kuduk Amanda berdiri lantaran ketakutan dimakan hiu jika ia kabur melalui laut, dan takut dimakan singa bila ia menerobos hutan.
“Aku kepingin pulang …,” rintih Amanda sambil memeluk lututnya sendiri di tangga depan vila. Ia merasa kesepian dan pilu. Embusan angin pantai membuat matanya berair dan kebetulan ia juga ingin menangis. Sekarang bagaimana caranya membuat susana di sini menyenangkan bila tidak ada mal, gadget, uang dan teman-teman hangout-nya?
“Cuma ada jam doang yang digital. TV, hape dan yang lain gak ada. Gue nggak bisa tanda gadget.” Tadi ia sudah berkeliling dan memeriksa apa saja yang ada di vila ini. Ia ketergantungan dengan gadget. Pergi ke mana pun pasti membawa ponsel dan tablet. Bahkan tidur dan mandi saja ia selalu dekat dengan ponsel pintarnya. Lima menit tidak membuka ponsel, tangannya gatal, ingin menyentuh benda pipih itu untuk mencari tempat makan, liburan dan cek out belanjaan online.
“Pening kepalaku. Kalau malam nonton apa dong, kalau siang ngapain?” geutu Amanda seorang diri.
Sepertinya, ia hanya akan ditemani irama ombak, suara angin serta jeritan hewan nokturnal. Amanda juga khawatir pada serbuan nyamuk dan udara siang hari yang terik. Kulitnya bisa iritasi kalau digigit nyamuk dan belang-belang kalau terpapar sinar matahari.
Kringgg ….. Kringgg ….
Ada suara yang menarik indra pendengaran Amanda. “Apaan tuh yang bunyi?”
Gadis itu segera masuk untuk memeriksa sumber suara.
Amanda teringat pria tadi. Akankah orang itu baik dan bisa diajak kerja sama? Ia takut pria yang tidur dengannya tadi itu adalah orang yang jahat dan egois. Ada perasaan lega juga di hatinya lantaran sudah ingat bagaimana dia berakhir di tempat ini, yang ia berarti bukan korban pemerkosaan ataupun penculikan. Ia hanya terkena prank ayah sendiri dan tiba-tiba berakhir menjadi peserta reality show aneh ini.
Saat Amanda melangkahkan kaki ke dalam rumah, kedua netranya terpaku pada sosok asing yang berdiri di ambang pintu kamar. Ternyata pria yang tadi tidur bersamanya telah bangun.
Karena perhatiannya tertuju pada pria itu, tanpa sengaja Amanda menabrak sofa. Sudah pasti ia malu sekali karena ketahuan memperhatikan pria itu sampai tidak melihat jalan.
Melihat Amanda nyaris jatuh, pria itu mendekat. “Kamu nggak apa-apa?”
“Eh, enggak. Aku baik-baik aja,” sahut Amanda sambil memperhatikan sosok pria itu. Ternyata pemuda itu berperawakan yang tinggi dan sangat atletis, mirip atlet basket. Saat netra Amanda melirik dari atas ke bawah, ia kagum melihat kulit sang pria yang sawo matang nan eksotis. otot dadanya terlihat jelas karena ia memakai kaus ketat. Mata wanita mana yang tidak terkesima melihat pria macho seperti ini? Amanda seperti melihat atlet atau artis pembawa acara alam seperti jejak petualang. Yang berbeda adalah wajahnya si pria ini terlihat sangat tampan dan sepertinya berdarah campuran bule karena ia memiliki manik mata berwarna biru.
“Kamu …?” Pria itu menunjuk Amanda seperti orang yang kaget karena melihat ada lawan jenis yang tinggal satu rumah dengannya. “Kamu siapa?”
Amanda tidak segera menjawab dan berdiri mematung di samping sofa.
“Ini di mana?” tanya pria itu lagi.
“Kamu siapa dulu?” tanya Amanda balik. Ia tak mau menjawab karena penasaran makhluk tampan bak dewa ini siapa namanya.
“Saya Kemilau Senja, panggil saja Senja.” Pria itu mengucapkannya tanpa tersenyum dan tanpa meminta Amanda berjabat tangan pula. Nada bicaranya juga dingin.
Kemilau Senja …. O, jadi namanya Senja. Cakep juga.
Amanda bergumam dalam hati sambil memperhatikan Senja lagi. Sosok Senja memang menggoda. Sayang, ia tipikal pria yang cuek.
“Senja, kamu baca ini sendiri!” Amanda pun berlagak sombong dengan memberikan isi kotak yang tadi ia baca.
Senja menerima kotak itu sambil melirik Amanda menyilangkan tangannya di depan dada sambil memalingkan wajah. Hanya dengan sekilas melihat saja, ia bisa membaca karakter Amanda.
Ini cewek sombong banget. Kayaknya orangnya hedon dan manja.
Senja mengeluarkan kertas dari dalam kotak. “Selamat datang di My Roommate.” Ia lanjut membaca tulisan itu. Sudah dipastikan ia berada dalam acara yang ditayangkan oleh MND TV.
“Jadi kita cuma berdua?” tanyanya karena hanya menemukan Amanda. Ada ciri khas mereka berdua sebagai peserta. Sebuah gelang berwarna keperakan melingkar di pergelangan tangan kiri mereka. Menilik bentuknya, sepertinya alat pelacak dan pendeteksi tubuh apakah sedang dalam keadaan baik atau tidak.
“Iya. Cuma kita berdua satu rumah dan satu kamar.” Amanda tidak menemukan kamar lain selain kamar yang ia tiduri bersama Senja tadi.
“Nanti saya tidur di luar.” Senja tentu pria yang punya harga diri. Ia tidak akan mau tidur satu kasur dengan seorang gadis yang baru sekali ia kenal. Pacar saja bukan!
“Males banget gue satu kamar sama lo,” gumam Amanda pelan karena kesal dengan sikap Senja yang terus-menerus dingin. Baru kali ini ada pria yang cuek terhadapnya.
“Kamu bisik-bisik apa?” tanya Senja yang sedikit mendengar ucapan Amanda.
“Enggak, kok. Nggak usah formal gitu ngomongnya, lo gue aja.” Senja sepertinya seumuran dengannya, masa memakai bahasa formal? Ia risih.
“Ehmm, kenalkan gue Amanda. Amanda Manuela Dermawan. Anak pemilik stasiun televisi yang mengadakan acara ini.” Amanda mengulurkan tangannya dan berlagak sombong karena punya stasiun televisi. Ia juga anak satu-satunya, otomatis semua harta akan jatuh padanya selaku anak tunggal. Siapa yang tidak akan sombong jika terlahir di keluarga kaya raya? Amanda pikir status Senja jauh di bawahnya.
Sialnya, Senja hanya melirik tangan itu tanpa berniat membalas. Benar prediksinya. Amanda sombong karena terlahir dari keluarga kaya raya.
“Eh jabatan tangan gue nggak dibales, dong,” gumam Amanda yang sadar jemari lentiknya sama sekali tak disentuh oleh Senja.
“Saya nggak tanya kamu asalnya dari keluarga mana,” sahut Senja sinis. “Mana mungkin anak pemilik stasiun televisi ikut acara beginian?”
Setelah mengucapkan itu, Senja berpikir ulang. Ada sebuah keanehan yang harus ia selidiki. Secara logis, mana mungkin orang kaya mau ikut acara berhadiah.
“Ada kok yang ikut. Ini buktinya gue ikut.” Amanda menunjuk dirinya sendiri.
“Kenapa kamu ikut? Bukannya diam di kantor dan menikmati uang papamu lebih enak?” Senja mengangkat satu alisnya sambil melirik sinis. Ia curiga jangan-jangan Amanda cuma penipu.
Ish! Songong banget ini cowok. Pake ngeremehin gue segala.
Amanda jelas kesal karena tuduhan miring itu. “Gue lagi pengen sesuatu dan papi ngasih syarat ikut acara ini.”
Ia pun balas menatap Senja dengan sinis. “Kalo lo, kenapa ikut acara ini? Butuh duit hadiahnya?”
“Enak saja. Saya tidak butuh uang!” Jelas Senja langsung menggelengkan kepalanya.
“Lalu?” Amanda menjadi penasaran dengan sosok Senja yang dingin ini.
“Saya ingin kebebasan.”
“Bebas ke kelab malam dan gonta-ganti pasangan gitu?” tebak Amanda.
“Bukan lah. Memangnya kamu? Bebas ala saya itu tidak terjun ke dunia bisnis lagi. Saya ingin berpindah-pindah tempat dan tinggal dekat alam. Saya tidak suka nuansa perkotaan.” Senja menjelaskan dari A-Z.
“Ooooo ….” Amanda menjawabnya hanya dengan satu kata.
Kring …. Kring ….!
Terdengar lagi bunyi yang menarik perhatian mereka berdua. Untung ada suara itu. Kalau tidak, mungkin keduanya berakhir dengan adu mulut paling sengit lantaran ego mereka sama-sama tinggi.
“Eh itu bunyi apaan?” tanya Amanda penasaran. Ia ingin tahu apakah ada tugas atau penjelasan lain.
“Sepertinya dari jam digital itu.” Senja menunjuk jam berbentuk persegi empat yang menempel di dinding. Bila diperhatikan hanya terlihat seperti jam biasa. Namun, layar jam itu menayangkan sederet tulisan. Kemungkinan sebuah tantangan atau tugas yang harus mereka kerjakan. Pasti panitia sudah menyiapkan sesuatu untuk mereka berdua.
“Ayo baca dulu,” ucap Senja.
“Hai Amanda dan Senja. Tantangan pertama akan dilaksanakan nanti siang. Silahkan sarapan dan beres-beres rumah dulu. Semuanya harus dikerjakan bersama. Selamat menikmati!”
“Sarapan? Emang sarapan apa? Ada roti dan susu tidak, ya?” Si anak manja Amanda tidak doyan daging dan sayur saat sarapan. Sudah kebiasaannya setiap pagi menyantap roti yang diolesi oleh selai rasa apapun.
“Coba lihat ke dapur,” ajak Senja yang langsung menderap ke dapur
“Semoga sarapannya dikasih yang enak!” Ini adalah harapan Amanda yang pertama saat tinggal di sini.
“Cuma ada telur dan beras. Sepertinya hanya cukup untuk sekali makan saja.” Senja sudah memeriksa kulkas dan yang ia temukan hanya dua butir telur dan beras saja.
Amanda langsung kecewa. Ia tidak terlalu suka nasi. Jika terpaksa makan juga, seringnya nasi merah. “Emmm, tapi aku nggak bisa sarapan nasi. Nanti suka sakit perut, uh.”
“Kamu makan saja telurnya.” Ini saran dari Senja.
“Diapain? Dimasak?” tanya Amanda bingung. Masa ia harus memasak sendiri?
Pertanyaan itu kontan membuat kening Senja berkerut. Songong banget ini cewek.
“Iya! Masa sih dimakan mentah!”
“Gue nggak bisa masak, Senja.” Amanda tidak bisa apa-apa kecuali bersenang-senang. Ia selalu dibantu oleh pelayan.
Tentu saja kamu nggak bisa masak. Dasar cewek manja! gerutu Senja dalam hati. Senja berbeda 120’ dengan Amanda. Ia bisa masak, bisa bela diri, bisa naik gunung dan segalanya. “Ya udah, saya yang masak.”
“Jago juga ternyata.” Amanda sedikit mengagumi Senja saat melihat pria itu berkutat di dapur. Sosoknya terlihat seksi bak Chef Juna saat masak.
Beberapa waktu kemudian, sarapan mereka pun siap.
“Ayo makan!” ajak Senja sambil menunjuk meja makan. Tidak tersedia banyak bumbu sehingga ia hanya bisa mengolah telur menjadi telur dadar.
“Emmm …. Gue makan telurnya aja. Nasinya buat lo semua.” Amanda menggeser piring yang berisikan nasi.
“Makan juga nasinya. Kalau enggak, nanti kamu cepet laper,” kilah Senja. Mana mungkin kenyang kalau hanya makan satu telur dadar saja?
“Nggak papa. Gue nggak bisa makan nasi pagi-pagi soalnya. Gue bisa akan bolak balik ke kamar mandi buat kalau jam segini udah makan nasi.”
Senja tidak menjawab. Ia mengunyah nasi tanpa memedulikan Amanda. Kini, gadis itulah yang dibuat penasaran.
“Jadi gimana ceritanya bisa tiba-tiba mau ikut acara ini?” tanya Amanda setelah beberapa saat berdiam diri. Ia sampai menghentikan kegiatan mengunyah telur dadar.
“Kamu tau kan alasan saya karena ingin bebas. Ayah minta saya pulang hari itu karena empat hari saya ke Bromo.” Saat itu Senja baru turun gunung. Ayahnya menelepon untuk bilang ada hal yang genting. Saat ia datang, ternyata tidak penting.
“Beliau menawarkan saya untuk tidak bergabung dengannya lagi di perusahaan dan bebas pergi ke mana saja, termasuk menjadi fotografer.” Awalnya jelas Senja menolak, tapi setelah berpikir panjang dan mengingat ia tidak mau terjun di perusahaan lagi, ia pun sepakat untuk ikut acara ini.
“Kalau saya memenangkan acara ini bersama partner saya, dia bilang keinginan itu akan dikabulkan,” jelas Senja lagi.
“Jadi fotografer cewek seksi, ya?” tanya Amanda polos. Bukankah pekerjaan fotografer memotret objek mereka? Tidak mustahil suatu saat pria itu mengambil gambar orang bugil, sedang melakukan adegan dewasa, atau hal lain.
“Enak saja. Alam lah!” protes Senja. Jelas ia tidak suka memotret hal yang aneh-aneh, cukup alam dan semua ciptaan Tuhan yang indah.
“Apanya yang mau difoto?” Amanda sedikit meremehkan profesi tersebut karena menjadi bos jelas lebih enak.
“Hewan, pemandangan, dan masih banyak lagi Favoritku lautan dan terumbu karang.”
“Ooo ….” Amanda tidak berniat bertanya lebih lanjut. Telur dadarnya telah habis. “Ini piring bekas pakainya dikemanain?”
“Dicuci dan keringkan, simpan lagi ke tempatnya.” Senja saja setelah makan selalu mencuci piring sendiri. Ia tidak mau merepotkan ART. Karena terbiasa naik gunung, segalanya diurus sendiri. Mulai dari masak hingga mencuci peralatan bekas pakai.
“Cuci? Seumur hidupku gak pernah yang namanya cuci piring. Nanti semua nail artnya bisa rusak. Yang ada juga kulit tanganku pecah-pecah akibat kena sabun pencuci piring,” kilah Amanda.
“Lalu kamu bisanya apa?” tanya Senja sambil melirik Amanda sinis. Anak manja memang tidak serba bisa.
“Tidak ada, hanya menghamburkan uang,” sahut Amanda santai.
Benar, prediksi Senja tidak ada yang meleset. “Astaga! Partnerku payah sekali!”
BAB 4
Sial. Benar-benar sial. Bagaimana bisa Senja memenangkan setiap tantangan jika partnernya seorang gadis yang manja seperti Amanda. Senja benci gadis yang manja. Menurut Senja, gadis yang so kaya dan bergaya seperti crazy rich itu menyusahkan dan membuat kepalanya pening. Di layar kamera mereka penuh senyum bahagia, hura-hura, pamer barang mewah dan bermain seks bebas. Ada juga yang berlagak so dermawan demi mendapat simpati dan banyak suara.
Oh iya. Dia jadi ingat MND TV milik ayahnya Amanda, media televisi ini memang banyak menayangkan tayangan yang berbobot, hanya ada minusnya yakni pernah menayangkan berita-berita selebriti dan kalangan atas yang kerjaannya hanya pamer saja. Senja juga jadi ingat wajah Amanda ini, dulu dia hanya menonton Amanda kurang dari lima menit. Tayangan awalnya saja sudah memperlihatkan seorang gadis yang berdiri di samping ayahnya yang pemilik stasiun televisi, gayanya luar biasa hebat dan barang yang digunakan terlihat mahal. Dari ekspresi gadis yang ada di televisi tersebut, Senja bisa membaca bahwa sang gadis hanya melakukan pencitraan saja, televisi yang menyala langsung Senja matikan saja. Sekarang, gadis yang tidak ia sukai itu ada di hadapannya, lebih kesalnya lagi karena ternyata gadis itu jadi partnernya.
‘Ada peserta lain tidak, ya?’ Jika ada Senja ingin menukarkan pasangannya ini saja dengan pasangan orang lain yang lebih berguna. Sayang sungguh sayang mereka sudah bersanding untuk melanjutkan reality show ini sampai selesai dan tanpa berganti pasangan. O iya, semua penjelasan gambaran acara ini dari ayahnya seolah telah hilang dari otaknya.
Senja sudah membayangkan bagaimana nasibnya nanti, pasti dia yang akan direpotkan Amanda dan melakukan segala sesuatunya sendiri. Meski sudah biasa melakukan apapun sendiri, tapi dia tidak suka jika melayani orang lain, berarti dia seperti babunya Amanda saja.
Ada tugas lain ternyata untuk mereka berdua, tiba-tiba saja ada yang mengetuk pintu tapi saat dilihat tidak ada siapapun. Menurut petunjuk yang ada pada secarik kertas yang membungkus batu. Senja membuka kertas itu dan membacanya. Mereka harus pergi ke ladang khusus dan menanam bibit sayuran yang ada di dalam karung di depan pintu vila.
“Jadi kita pergi ke ladang?” tanya Amanda. Biasanya kalau sudah makan ya tidur, matahari sudah mulai naik ke tengah-tengah langit, pasti hari akan panas sekali. Ini daerah pantai lho, kalau siang ya pasti panas banget. Nanti kulit Amanda bisa belang-belang.
“Iya.” Senja hanya menjawabnya ketus.
“Tempatnya di mana?” tanya Amanda tak mau lihat kertas yang Senja pegang.
Senja pun baca lagi petunjuknya. “Ikuti arah mata angin maka kamu akan tahu di mana tempatnya setelah berjalan satu kilo meter. Tapi ingat, ya. Harus cepat atau nanti kamu tertinggal jauh dari yang lain.” Berarti perlombaannya sudah dimulai. Akan ada lawan mereka untuk memenangkan tantangan ini.
“Mana tau sudah jalan satu kilo apa belum.” Amanda tidak pernah jalan sejauh itu. Di kantor pakai lift, di rumah pun sama. Mau ke mana-mana pakai mobil dan kalau mau apa-apa menyuruh ART-nya saja.
“Saya bisa memprediksikannya.” Senja kan anak gunung, dia bisa kira-kira sudah berapa lama berjalan hingga bisa menempuh jarak satu kilometer.
“Bagaimana caranya?” tanya Amanda bingung, seolah dia meremehkan kemampuan Senja. Dia tidak tahu jika Senja ini sudah naik semua gunung yang ada di indonesia.
“Seseorang yang biasa berjalan di alam akan tahu seberapa jauh dia telah menyusuri jalan,” kata Senja bijak.
“Heh …. So tau.” Amanda berjalan sambil menyilangkan tangan di depan dada. Bodohnya lagi bukan ikuti arah mata angin, malah sebaliknya.
“Ikuti saya, bodoh.” Senja mengangkat karung dan ia taruh di pundak kanannya. Dia sudah seperti kuli angkat beras saja.
Amanda pun menoleh dan balik arah lagi. Dia takut nyasar dan takut sendirian. “Emangnya kuat bawa itu?”
“Hmmm ….” Pertanyaan konyol macam apa itu, Senja sudah biasa angkat tas gunung lima belas sampai lebih dari dua atau tiga puluh kilo, naik dan turun gunung lho. Angkat dua puluh kilo bibit sayuran macam begini sepanjang satu kilometer doang mah cetek.
“Tungguin Senja. Cepet banget sih jalannya.” Dalam satu menit saja Amanda lengah sudah tertinggal jauh. Langkah kaki Senja besar dan kokoh, langkah kaki Amanda kecil-kecil dan ringkih.
“Itu cowok gak punya rasa capek apa?” Amanda baru jalan lima menit saja sudah ngos-ngosan. Senja yang sudah jalan jauh lebih depan tidak mengurangi kecepatannya sama sekali tidak terlihat kelelahan, bahkan beristirahat saja tidak.
“Gak kasian sama gue yang gak biasa jalan apa?” Amanda berdiri sejenak, telapak tangannya bersandar ke pohon rindang. Rencananya Amanda berlindung dari panas terik matahari dan mengatur napasnya dulu.
“Kuat juga ternyata bawa barang sekarung. Huuu ….” Dia mengagumi kharisma Senja.
Gadis ini pun kembali berjalan pelan seperti kura-kura. “Hu, ha, hu, ha. Gila dia udah jauh.”
Senja yang merasa suara langkah kaki Amanda semakin jauh pun menoleh. “Heiii …. Bisa tidak kamu berjalan tak seperti siput, lambat sekali. Nanti kita kalah bagaimana? Kalau ada hukuman bagaimana?” teriaknya sambil memaki Amanda.
“Masa iya? Aku kan yang punya acaranya.” Dia tetap saja berlagak sombong.
“Yang punya acaranya masa disiksa di sini!” Senja mengejeknya lagi.
“Hehh …. Nyebelin.” Amanda meraih sebuah batu pantai dan ingin melempar Senja dengan batu itu.
Senja yang melihat tingkah kekanak-kanakan itu hanya melirik sinis. “Buruan jalannya kalau kamu tidak mau dimakan harimau atau dipatuk ular kobra.”
Ditakut-takuti begitu Amanda langsung ketakutan. “Heh …. Tungguin. Takutttt …..” Jalannya kini lebih cepat, bahkan Amanda berlari untuk bisa menyusul Senja.
“Sepertinya kita sudah sampai.” Langkah kaki keduanya kini sudah sampai di wilayah yang tidak memiliki pepohonan, tanahnya bukan tanah liat atau tanah merah, hanya tanah pasir dan sedikit banyak bebatuannya.
“Ini tempatnya?” tanya Amanda sambil mengatur napasnya lagi yang memburu.
“Iya nona si pemilik MND TV yang lemah.” Dari tadi dia diejek saja, tak mendengar ada satupun kata pujian. Amanda cantik kek, Amanda baik kek, atau Amanda super duper kaya. Mon maaf Senja bukan teman parasit yang cuma numpang tenar saja, ya. Dia anti muji-muji orang demi minta dibayari ini itu.
“Hu, ha, hu, ha. Heh lo-” Amanda sedikit merasa sesak, dia usap dadanya pelan.
“Gue kan gak biasa jalan jauh.” Paling jauh dari kamar ke dapur atau dari ruangannya di kantor ke ruangan ayahnya saja.
Terlihat ada beberapa orang yang datang mendekati mereka. Ladang ini memiliki luas enam puluh kali enam puluh meter. Tanahnya itu dominan pasir karena dekat ke pantai, pantas saja mereka hanya dibekali tanaman kentang dan ubi, dua sayuran ini kan bisa tumbuh di tanah berjenis apapun.
“Itu siapa?” tanya Amanda sambil memperhatikan setiap pasangan.
“Satu, dua, tiga, empat.” Senja sampai menghitungnya.
“Jadi tiga pasang.” Ini jika mereka juga dihitung.
“Weh yang itu ceweknya gempal sekali. Kalau yang satunya lagi cantik dan langsing.” Amanda memperhatikan dua saingannya.
“Gempal juga setidaknya mungkin dia bisa diandalkan, tidak seperti kamu yang manja dan tidak punya keahlian.” Senja melirik Amanda sinis. Dia ingin memilih wanita yang gempal saja, tangannya dan uratnya terlihat besar seperti pekerja keras. Amanda tangannya kecil, pembuluh darahnya juga kecil, kelihatan sekali jarang bekerja keras.
“Ada kok keahlianku.” Dia angkat satu alisnya.
“Apa? Sebutkan?” Senja penasaran.
“Memarahi dan memerintah orang-orang!” Ini sih karena dia manja dan pemalas saja, merasa jadi bos dan semena-mena.
“Itu bukan keahlian, Nona!” Jelas Senja makin ilfil.
“Hai …. Kalian peserta juga?” sapa gadis cantik yang badannya langsing. Saat bersalaman ternyata tangannya terlihat kuat dan sedikit memiliki otot.
“Iya.” Senja mengangguk sambil membalas jabatan tangannya.
“Kenalkan saya Marsha Timothy.” Gadis ini berusia dua puluh enam tahun dan baru saja lulus kuliah, dia ikut acara ini agar bisa bekerja di televisi dan mengisi kegiatannya sebagai pengacara yang merupakan singkatan dari pengangguran banyak acara.
“Saya Senja!”
“Ini pasanganmu?” tanya Marsha sambil melirik ke arah Amanda.
“Iya. Namanya Amanda.” Senja memperkenalkan pasangannya. Sayangnya Amanda diam saja bahkan mengarahkan wajahnyanya ke arah lain.
“Amanda? Maukah bersalaman denganku?” tanya Marsha sambil mengulurkan tangannya.
“Tidak mau.” Dia menggeleng, tak mau berkenalan dengan orang sembarangan.
“Jangan bersalaman dengannya. Dia orangnya sombong.” Senja pun membela Marsha.
“Oh.” Marsha buru-buru menarik lengannya.
“Gue bisa gatal-gatal nanti.” Amanda pun melirik Marsha sinis. Tatapan Manda agak tajam seolah tidak suka jika wanita ini memperhatikan Senja saja.
“Kenalkan saya Michel Danielo.” Pasangan Marsha ini berkenalan dengan Senja. Pria yang berusia dua puluh delapan tahun ini baru saja terkena PHK, untuk melunasi hutang-hutang keluarganya dia cari pekerjaan dan akhirnya mendaftarkan diri untuk acara ini.
“Senja kau terlihat seperti penyuka alam. Berarti saingan yang berat juga.” Jelas pria pengangguran ini tahu Senja anak penyuka alam. Otot Senja saja sangat terlihat jelas dan dari warna kulitnya saja sudah menandakan dia suka panas-panasan di alam.
“Tidak juga jika pasanganku wanita manja ini.” Dia menunjuk Amanda.
“Apa katamu? Aku manja?” Amanda menunjuk dirinya sendiri sambil memelototi Senja.
Prok, prok, prok.
Gadis yang Amanda sebut gempal tadi mendekati mereka. “Hai Amanda Manuela Dermawan.” Akhirnya ada yang mengenali gadis crazy rich televisi ini.
“Akhirnya ada yang mengenalku juga.” Amanda membanggakan dirinya.
“Siapa yang tidak kenal pada gadis manja dan populer ini.” Gadis ini bertepuk tangan dari tadi.
“Apa kau bilang?”
BAB 5
Amanda kesalnya bukan main pada wanita bertubuh berisi di hadapannya ini. Dia kira gadis itu mau memuji kecantikannya, mau menyanjung-nyanjung Amanda setinggi mungkin sesuai status sosial ekonominya, eh malah kebalikannya. Amanda dikatai manja, kata manja ini bosan dan tidak suka Amanda dengar. Kalau dilihat dari sedotan atau sisi manapun, yang mengatai Amanda manja tu jelas kalah telak, dari manapun canti Amanda, kaya Amanda, berwibawa Amanda, lebih berpendidikan Amanda. Sungguh sombong sekali ini anak mentang-mentang oke.
Uh padahal kalau gadis yang ada di hadapan Amanda ini memujinya begitu tinggi, bakal dia balas pujian itu dengan traktiran tas kremes alias Hermes, makan di restoran mewah dan jalan-jalan ke luar negeri gratis. Bego ini orang malah ngatain, maklum bukan parasit yang bermuka dua, menyanjung demi dapat keuntungan dari Amanda kan temen bangke!
“Oppss …. Kenalkan aku Bianca Aura dan pasanganku Brilian Candra.” Dia membenci Amanda tapi masih mending mau menjabat tangan gadis sombong itu. Siapa tau dengan salaman cantiknya nular. Bianca gadis yang berumur 25 tahun asli orang sunda, dia ini membenci Amanda lantaran di TV gadis itu terlihat sekali manja, anak papa dan doyan hura-hura. Dahulu ada acara televisi yang menayangkan kegiatan Amanda bersama anggota gengnya the queen squad yang bergaya hedon. Pasangan Brilian berumur 27 tahun, mereka beda umur dua tahun. Pasangan ini kompak bertubuh berisi.
“Waww …. Seorang Amanda anak pemilik MND TV ikut acara ini?” Patut diacungi jempol karena bos yang turun tangan sendiri, bukan jadi pengawas malah jadi pemain dalam permainan serta pertunjukannya sendiri. Rawan berbuat curang dong, etss enggak bakalan curang, orang Manda tidak tahu apa-apa. Dasar tukang hura-hura, bergaya hedon dan tak bisa apa-apa, tuh kan lihat sekarang, teknis acara televisinya sendi tidak tahu.
“Nanti dia curang bagaimana?” tanya pasangan gadis bernama Bianca, otaknya dipenuhi pikiran kotor. Dia belum tahu Amanda orangnya seperti apa.
“Apa kau bilang? Curang?” Manda jelas emosi, gadis ini melangkah dan berdiri sangat dekat dengan pria itu.
Gadis ini menatap sinis sambil berucap, “Boro-boro curang, mekanisme reality show ini saja aku tak tahu.” kalau tidak percaya Manda punya buktinya, dia tidak bisa menebak setelah ini akan ada acara apa dan akan melakukan pertandingan seperti apa.
“Masa iya!” Kini Bianca yang bersuara. Gadis ini berburuk sangka dan doyan mengecap tanpa mengenal orang yang dia benci. Kalau mengecap dan membenci, tiba-tiba orang tersebut malah sukses pasti dia malu.
“Terserah kamu mau percaya atau tidak.” Masa bodoh, Amanda akan buktikan bukan dengan sekedar omongan tapi dengan tindakan. Wajar kalau dia manja dan hidup enak jadi susah mandiri, terlalu dimanja dan dari menghambur-hamburkan uang.
“Oh jadi Amanda ini yang terkenal itu, anaknya bapak Gustav Dermawan yang keren itu?” Siapa yang tidak tahu nama Gustav, wajahnya wara-wiri di televisi, bukan hanya pemilik MND TV saja, dia aktivis kemanusiaan dan juga sering ikut acara penggalangan dana. Kalau di dunia nyata anggaplah Gustav ini mirip pak Hary Tanoesoedibjo.
“Emang iya!" Amanda menaikkan dagunya, dia tidak sederajat dengan orang-orang ini. Mereka tak jelas dari kaum menengah ke atas atau di bawahnya, wajahnya juga tidak familiar, tak seperti Amanda yang wara-wiri di televisi.
“Hebat sekali.” Pasangan ini bertepuk tangan untuk Amanda.
Jelas hati Amanda melambung tinggi, tapi saat hendak terbang kupu-kupunya, seketika itu pula diterjunkan. “Bapaknya aja, anaknya tidak!”
Kupu-kupu di hati Amanda tidak jadi terbang, orang-orang ini begitu merendahkannya. “Dari tadi kau merendahkan aku saja. Awas nanti aku balas?” Awas saja jika dia kembali ke kehidupannya lagi yang normal, dia akan mengingat kedua orang ini dan mencari di mana asal mereka. Amanda akan mengirimkan bom Hiroshima bila perlu ke kediamannya. Dendam ini sepertinya sudah mendarah daging, gadis ini tidak suka jika direndahkan padahal posisinya ada di langit.
“Aku tidak takut padamu anak manja. Aku dan kawan-kawanku bahkan membencimu!” Bianca sungguh berani sekali, tekadnya sungguh besar membenci Amanda, sebesar tubuhnya ini. Bianca termasuk ke dalam golongan haters alias pembenci seorang tokoh.
“Tidak kenal juga.” Bagi Amanda jika belum mengenal seseorang secara menyeluruh, luar maupun dalam, jangan menjudge orang itu jahat dan tidak baik, kenali dulu secara rinci, baru menjudge. Ini kenal saja tidak di dunia nyata, hanya mengenalnya lewat online sudah main benci saja. Apa salah Amanda pada Bianca, boro-boro punya salah sudah dibenci.
Senja rasa suasana semakin memanas lantaran Amanda dan Bianca semakin terbawa emosi. Mereka kan sedang dalam menjalankan misi, masa mau terus berdebat, buang-buang waktu saja, nanti kalau kalah bagaimana? Senja tak mau hal ini terjadi, dia harus memenangkan Variety show ini demi kebebasan. “Sudah-sudah, jangan bertengkar bisa tidak?” Kalau tidak ada yang menengahi ya bisa sampai terjadi baku hantam.
“Kita cari petunjuk lain saja," ajak Senja daripada waktu semakin berkurang, berdebat adalah hal yang membuang-buang waktu dan tenaga, tidak ada manfaatnya sama sekali.
Pasangan yang terlihat baik malah menikmati pertunjukan perdebatan Amanda dan Bianca bukannya memisahkan. Senja lah yang sampai turun tangan. Pria ini bahkan sampai mengatai orang yang berdebat pada kondisi seperti ini adalah orang yang egois dan seperti anak kecil, jadi jika tidak ingin dapat hadiah, hubungi panitia dan memilih untuk pulang saja.
Karena mereka malu pada Senja, akhirnya perdebatan selesai. Masing-masing dari mereka berpencar.
Senja berjalan di sekitar area tanah lapang kecil ini, siapa tahu ada petunjuk apa tugas yang harus mereka lakukan. “Ini dia.” Dia mengangkat tinggi-tinggi kertas HVS yang tulisannya adalah:
“Tanamlah dengan sepenuh hati. Ini akan jadi bahan makananmu nanti untuk bertahan hidup. Setiap tim punya ladang masing-masing. Siapa cepat menanam dan paling rapi, dia yang akan jadi pemenangnya.”
Senja bacakan dengan suara yang kencang agar semuanya bisa dengar. Suara serak-serak ngebas khas miliknya tentu bisa setiap pasangan dengar.
“Menanam sayuran ini, ya? Gampang sekali.” Bianca membuka karung isi sayuran yang sebagian sudah ditumbuhi daun.
Amanda buka karung milik mereka. Sayuran ini memang sering dia makan, tapi tak tahu cara masaknya bagaimana dan cara menanamnya seperti apa. Maklum Amanda taunya cara menghabiskan uang saja.
“Bagaimana caranya, Senja? Kamu saja yang lakukan, ya!” Amanda melirik Senja, belum apa-apa dia seperti sudah ingin menyerah. Senja tarik napas dalam-dalam dan hembuskan perlahan, kepalanya pusing dapat pasangan yang manja.
Pria itu keluarkan semua bahan dari karung dan memeriksanya satu persatu, mengamati yang mana yang bisa di tanam dan yang mana yang bisa langsung dimakan.
Bianca melirik Amanda sinis, dia dengar keluhan gadis itu. “Tuh kan anak manja taunya cuma memerintah saja.” Kalau Bianca menganggap ini adalah tugas yang enteng. Orang cuma suruh menanam makanan untuk bekal mereka tinggal kok. Btw ini tanaman kan bisa panen 3 bahkan bisa 6 bulanan, berarti durasi mereka akan lama di sini.
“Lakukan sendiri Amanda.” Bianca mengucapkan kencang-kencang agar masuk ke telinga Amanda.
“Apa sih lo?” Amarah Amanda mulai tersulut lagi. Kenapa sih si Bianca ini doyan sekali cari masalah. Amanda risih pada orang-orang seperti itu.
“Kenapa? Takut panas? Takut kotor juga megang tanahnya?” Bahkan Bianca memutarkan tubuhnya di bawah sorotan teriknya matahari dan meraih tanah perkebunan yang didominasikan tanah pasir ini.
“Gak bisa?” tanyanya seolah meremehkan. Bisa saja mentang-mentang anak dari pemilik stasiun televisi ini, Amanda jadi seenaknya memerintah Senja, mereka kan tim jadi harus bekerja bersama, bukan mengandalkan satu orang.
“Sana balik jangan ikutan. Paling mau sembunyi di ketek papi, kan?” Kata-kata Bianca terus membuat hati Amanda mendidih.
“Lo mau ngajak gue ribut?” Gadis ini menarik kerah baju Bianca dan mengepalkan tangannya, ingin rasanya dia memukul si gempal ini.
“AMANDA!” teriakan Senja begitu keras, habisnya dua gadis ini dari tadi berdebat saja, tim Marsha sudah mulai duluan lho.
Amanda menoleh pada sumber suara. “Apa sih Senja. Ini orang dari tadi nyolot terus sih.” Padahal dia sudah mau mengajak Bianca berkelahi, siapa takut. Dengan uang dia bisa buat Bianca yang malah dibui.
Senja tidak menjawabnya karena sibuk dengan tugas ini.
Bianca melirik Amanda sinis. “Anak manja sana balik. Loe gak akan bisa lakuin ini semua. Lo kan udah biasa serba dibantuin, gak bisa apa-apa. Wle!” Bangke emang si Bianca ini, bisanya merendahkan saja.
“Kata siapa?” Amanda memelototinya.
"Amandaaaaa ….." teriak Senja lagi agar gadis itu menghampirinya. Amanda pun menurut, dia berjongkok di sebelah Senja yang sibuk memilih sayuran.
"Udah berdebatnya?"
Amanda diam, malu karena Senja terlihat emosi.
"Kalau tidak mau di olok-olok ya buktikan kemampuanmu bahwa kau sendiri bisa, bukan diam atau cuma menyuruh orang lain saja." Perkataan Senja ada benarnya juga. Amanda justru jangan berdebat apalagi berkelahi, buktikan sendiri bahwa dia tidak seperti yang disebutkan Bianca.
“Senja. Ajarin gue sekarang!”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
