
BAB 6-8
BAB 6
Setelah menyiapkan beberapa dokumen untuk keperluan keluar kota besok, Sam mengambil sebuah kotak perhiasan berisi kalung yang dititipkan Anna padanya kemarin. Dibukanya dengan hati-hati, lalu menimang kalung berliontin sepasang sayap kecil itu. Dia tersenyum samar, ketika teringat masa kecil mereka di Panti Asuhan dulu. Anna sangat menyukai bentuk sepasang sayap malaikat. Entah itu dalam bentuk lukisan atau kerajinan tangan dari kertas.
Sam merebahkan tubuhnya pada sofa di sudut kamar dan meraih sebotol minuman sambil terus menimang kalung tersebut. Ingatannya melayang pada masa lalu, di halaman panti milik Bu Rosie yang luas dan asri karena ditumbuhi beberapa pohon akasia. Sepulang sekolah, biasanya anak-anak panti akan bermain di sana hingga sore.
Di bangku taman, Anna sedang sibuk menggambar sesuatu. Sesekali dia menghentikan kegiatannya dan mematut gambar tersebut dengan mata berbinar. Di sebelahnya, Sam begitu serius mengamati apa yang dilakukan gadis yang mulai beranjak remaja itu.
"Gambarmu bagus sekali, Ann!" Akhirnya tercetus juga kalimat pujian dari Sam. Sudah dari tadi dia menahan diri untuk tak bersuara karena Anna kadang kesal kalau konsentrasinya diganggu saat menggambar.
"Benarkah?" tanya Anna dengan cengiran lebar di wajah. Jelas tidak bisa menyembunyikan rasa bangga pada nada suaranya.
"Ya! kamu benar-benar hebat!" Sam berdecak kagum. "Ini istana atau apa?"
"Ah, kamu ini. Ini gambar rumah, Sam. Rumah impianku. Aku ingin rumah masa depanku seperti ini ...," kata Anna dengan tatapan seperti menerawang.
"Rumah besar bercat putih, dengan halaman yang luas penuh taman bunga. Juga ... ada ayunan dan rumah pohonnya, tempat anak-anakku bermain nanti." Gadis itu terkekeh geli. Rona merah membayang samar di pipinya.
"Anak? Bagaimana kamu bisa punya anak?"
"Ah, dasar anak kecil! Nanti kalau aku sudah dewasa dan menikah, aku akan punya anak dan tinggal di rumah itu." Anna berkata dengan sedikit merengut.
"Menikah?" Mata kelam milik bocah lelaki itu menatapnya penuh tanya.
"Iya. Kalau sudah dewasa nanti kita pasti akan menikah dengan seseorang, Sam. Seseorang yang kita sayangi dan menyayangi kita," lanjutnya sambil tersenyum kecil.
"Apakah nanti aku akan menikah denganmu, Ann?" tanya Sam polos penuh harap.
"Bukan, Sam. Kita kan saudara. Bagaimana mungkin kita menikah? Lagi pula kamu kan lebih kecil dariku." Kali ini gadis itu terkikik geli, bahunya berguncang-guncang menahan tawa.
"Tapi aku menyayangimu, Ann. Dan kamu pun sayang padaku."
"Bukan yang seperti itu, Sam. Nanti kamu akan mengerti." Anna mengusap rambut lelaki yang sudah dianggap seperti adik sendiri itu, tanpa bisa menahan senyuman lebar dari bibirnya.
Sam terdiam, tampak berpikir sambil terus mengawasi Anna yang sedang mengemas peralatan menggambarnya. Sebentar lagi jadwal bermain selesai. Desau angin bertiup pelan dan merontokkan kembang bungur di samping mereka. Beberapa kelopaknya menimpa rambut cokelat gelap bergelombang milik Anna.Hati-hati Sam memungutnya dan berkata, "Rambutmu dipenuhi bunga."
"Oh ya? Apa sekarang aku berubah jadi puteri bunga?"Gadis itu tergelak sambil menaruh kedua tangannya di pipi dan mengerjapkan mata berusaha melucu.
Sam terdiam. Merasakan ada yang bebeda di hatinya ketika melihat Anna tertawa. Untuk pertama kali dia menyadari betapa rona bahagia di wajah gadis itu adalah dunianya. Pusat semestanya.
Sudah lama sekali aku tidak melihatmu tertawa bahagia seperti itu, Ann, keluhnya dalam hati, merasakan dadanya sesak tiap kali memikirkan kehidupan Anna. Dia bangkit dari duduknya dan menaruh kembali kalung itu dengan hati-hati pada kotaknya.
***
Tidak biasanya Anna mendapati suaminya tersenyum lebar ketika menyambut kedatangannya. Selama ini, Ivan selalu memperlihatkan wajah murung atau kadang-kadang raut marah kalau tahu Sam mengantarnya pulang.
"Hai, Sayang. Kamu pasti capek, ya?" sapa Ivan sambil mengayuh kursi rodanya ke arah Anna, kemudian mengulurkan tangan dan membiarkan sang istri mencium punggung tangannya.
"Ah, nggak juga. Kamu, lapar?" jawab Anna keheranan. Dia lantas mendorong kursi roda ke ruang makan. Menyiapkan makan malam yang sangat terlambat.
"Bagaimana hari ini? Apa pekerjaanmu berjalan lancar?" tanya Ivan sembari mengambil piring yang disodorkan istrinya.
Anna menatap sekilas, ekspresi keheranan masih terpancar di wajahnya dan berkata riang, "Ya, seperti biasa. Semua berjalan lancar."
"Aku ingin kita liburan, Anna," tukas Ivan tiba-tiba.
"Liburan?" Kali ini perempuan itu melongo, tak kuasa menyembunyikan nada terkejut pada suaranya. Diamatinya wajah sang suami lekat, menerka-nerka apa yang terjadi sehingga Ivan bersikap aneh begini.
"Ya, aku sudah menyiapkan semuanya. Besok pagi kita berangkat?" Senyum lebar terpampang nyata dari wajah lelaki itu.
"Besok? Tunggu ... kita mau kemana? Dan, bagaimana bisa mendadak begini?"
"Rahasia," jawabnya. Sebuah senyum penuh kemenangan tercipta saat dia memandangi wajah istrinya yang kebingungan.
"Tapi, kan aku kerja. Aku juga belum ijin. Dan ... bagaimana kamu menyiapkan semuanya? Maksudku ... uang dari mana?" Anna bicara hati-hati, mencoba agar tak menyinggung perasaan suaminya.
Ivan tertawa kecil dan berkata, "Tenang saja, walau lumpuh begini aku masih bisa melakukan hal-hal tak terduga, Anna.” Dia mengedipkan sebelah mata.
Anna menatap tak percaya. Benarkah ini Ivan? pikirnya. Sudah bertahun-tahun dia tidak melihat Ivan bersikap rileks seperti ini. Tersenyum lepas dan juga bercanda. Seketika rasa hangat menjalari hatinya. Dia senang melihat semangat Ivan seperti menyala kembali.
Setelah makan, mereka beranjak ke kamar dan Anna mendapati dua buah koper tergeletak di sudut ruangan. Dia menatap Ivan menuntut penjelasan.
"Ketika menyelesaikan setrikaan tadi sore, aku minta Bi Inah juga menyiapkan perlengkapan kita untuk liburan seminggu, " kata Ivan.
Perempuan itu hanya mengangguk, tak bisa berkata apa-apa. Barangkali Ivan memang benar, pikirnya. Mereka butuh liburan untuk menyegarkan lagi hubungan pernikahan yang sudah hambar ini.
***
Mobil yang disewa Ivan mengantar mereka ke sebuah villa di daerah Lembang Bandung. Udara yang sejuk dengan pemandangan hijau sejauh mata memandang menyambut mereka. Anna mengawasi bangunan berwarna putih dengan halaman berrumput dan deretan pohon pinus yang berjejer di halaman. Dia sangat mengenali tempat ini. Dulu sebelum menikah Ivan pernah membawa Anna ke sini untuk dikenalkan pada keluarganya yang sedang menghabiskan akhir pekan di villa tersebut.
"Bagaimana bisa kita ke sini? Kamu ... sudah baikan dengan Mami?" tanyanya heran.
Kilasan masa lalu membayang di ingatannya. Ketika rencana pernikahan mereka, ditentang habis-habisan oleh keluarga besar Ivan.
Mereka tidak sudi punya menantu yang asal-usulnya tidak jelas seperti Anna. Namun, cinta telah membutakan mata lelaki itu. Dia lebih memilih Anna dari pada restu keluarga. Mereka akhirnya menikah dengan cara sederhana di Aula Panti Asuhan, disaksikan puluhan anak-anak di sana yang berdoa penuh haru.
Setelah menikah, mereka memulai kehidupan baru yang bahagia sebagai pasangan. Ivan bekerja di sebuah perusahaan swasta, dan benar-benar putus komunikasi dengan keluarganya setelah mereka pindah ke Jakarta.
Awalnya semua berjalan baik hingga kecelakaan itu terjadi. Perempuan itu menghela napas panjang, menepis bayangan masa lalu yang menyesakkan dada.
"Itu tidak penting, Sayang. Pokoknya seminggu ini aku mau kita bersenang-senang. Melupakan semua kesedihan dan masa lalu yang pahit." Suara Ivan membuyarkan lamunannya.
Anna hanya tersenyum samar, kemudian mendorong kursi roda ke halaman berrumput. Seorang penjaga villa tergopoh-gopoh menyambut mereka.
"Semua udah siap, Den." Dia mengangguk hormat ke arah Ivan dan membantu membawakan koper ke dalam.
***
Waktu seminggu berlalu tanpa terasa. Hari ini adalah hari terakhir mereka di villa. Cuaca yang sedikit mendung, membuat mereka memutuskan untuk tidak kemana-mana. Beberapa hari kemarin rasanya sudah lebih dari cukup mengitari seputaran villa, bahkan mereka sempat ke sebuah objek wisata yang berada tidak jauh dari sana.
Di sebuah sofa besar yang menghadap ke kebun belakang, dengan pemandangan langit sore yang berkabut, Ivan merebahkan tubuh dengan rileks. Lengannya memeluk bahu Anna yang tergolek di sampingnya. Sesekali dia membelai rambut panjang istrinya.
"Besok kita akan kembali ke Jakarta," desah Ivan, lalu meraih jemari Anna dan mengecupnya.
"Tidak terasa ya, padahal aku betah banget di sini. Rasanya nggak ingin pulang." Anna memeluk Ivan erat, dan membenamkan wajah di leher suaminya.
Lelaki itu terdiam. Sama seperti sang istri, dia pun ingin selamanya ada di sini. Namun, itu jelas tidak mungkin. Bagaimana pun dia sudah berjanji dengan seseorang. Mengingat hal itu hatinya seketika nelangsa.
"Kadang aku takut, Sayang," lanjut Anna lirih. Perlahan dia mengangkat sedikit tubuhnya dan bertumpu dengan lengan, menatap Ivan lekat.
"Takut kenapa?" tanya Ivan lembut.
Entahlah, seminggu ini rasanya benar-benar luar biasa. Melihatmu tersenyum, santai dan tanpa beban ... aku ingin melihatmu selamanya seperti itu. Aku bahagia. Saking bahagianya aku ... aku jadi takut. Takut kalau ini hanya mimpi." Dia mengerjapkan mata, membiarkan setetes air mata mengalir di pipinya.
Ivan menatapnya dengan raut tak terbaca.
"Hei, jangan menangis. Kamu sudah terlalu banyak menangis untukku, Anna." Dia mengecup air mata itu dan membawa Anna ke dalam pelukannya.
"Kadang, di malam hari aku terbangun. Memastikan kamu ada di sampingku. Aku benar-benar takut, entah kenapa. Berjanjilah kau tidak akan bersedih dan murung lagi, Sayang," pintanya penuh harap.
Ivan hanya diam dan semakin mempererat pelukannya, seolah ingin menghentikan waktu, dan berharap agar selamanya mereka berpelukan seperti ini.
"Terima kasih, Anna. Terima kasih sudah menjadi istriku," bisiknya parau. Setetes air mata jatuh dan membasahi rambut istrinya.
Anna mengecup leher suaminya sekilas. Dia ingin waktu berhenti berputar agar selamanya bisa mengabadikan momen seperti ini. Ivan yang lembut dan penuh kasih sayang. Suasana yang tenang tanpa mereka harus memikirkan hari esok.
Sekilas terlintas di pikirannya tentang nasib pekerjaannya. Dia hanya mengirimkan pesan di Whats App saat izin seminggu lalu pada Joshua. Sungguh sangat tidak profesional, dia sangat menyadari itu. Namun, Anna sudah siap dengan segala macam resiko termasuk kalau harus dipecat. Harapannya cuma satu, Joshua masih mau berbaik hati menerimanya bekerja kembali.
Diliriknya Ivan yang tengah memejamkan mata. Terlihat damai dalam tidurnya. Anna masih bertanya-tanya mengapa suaminya itu mengajaknya kemari. Sejak awal lelaki itu tidak mau membicarakannya. Perasaan Anna sedikit terganggu oleh sesuatu yang dia tak tahu apa namanya. Apa maksud di balik semua ini? batinnya terus bertanya-tanya.
BAB 7
Sudah lebih setengah jam Sam mengamati Anna yang sedang bekerja. Perempuan itu mondar-mandir mengantar pesanan ke pengunjung dengan lincah dan cekatan. Rambutnya yang malam ini dikuncir rapi, berayun-ayun pelan seirama dengan gerakan pemiliknya. Senyum ceria yang terus merekah dari bibir Anna membuatnya penasaran.
"Wajahmu cerah sekali. Nggak seperti biasa," kata Sam, ketika Anna menghampiri mejanya.
"Benarkah?" tanya Anna riang. Tangannya sibuk menyajikan makanan yang dipesan oleh lelaki itu.
"Hmm ... Something special?" Dia menaikkan alisnya.
"Mungkin efek liburan kemaren," ujar Anna sambil menatap Sam dengan mata berbinar-binar, "kamu pasti nggak percaya kalau Ivan tiba-tiba saja mengajakku liburan. Ah, entahlah ... itu benar-benar surprise buatku."
"Oh, ya?" Sam tersenyum kecil sambil terus menyimak perkataan Anna.
"Ya ... bahkan kamu pun terkejut!" Anna tergelak, "aku harap itu bisa jadi semacam titik balik, membaiknya mood Ivan. Dia terlihat berbeda, Sam. Nggak seperti Ivan empat tahun belakangan ini."
Sam menatapnya lamat-lamat. Mengamati semburat bahagia di wajah cantik perempuan itu. Dia tidak ingat kapan terakhir kali melihat Anna tersenyum lepas seperti sekarang.
"Aku senang mendengarnya," ucapnya tulus, kemudian mulai menyuap makanan.
“Yang bikin aku juga happy banget, Joshua nggak memecatku. Padahal aku izin selama lebih dari seminggu. Heran, deh!” Anna lalu beranjak ketika melihat pengunjung yang terus berdatangan.
Sam yang terbatuk kecil mendengar ucapan perempuan itu, dan langsung menyambar minuman di hadapannya. Dia teringat pertemuannya dengan Ivan waktu itu, dan juga rencana yang dipaparkan Ivan kepadanya beberapa saat kemudian via telepon
Kalau soal Joshua, memang sudah dia tangani sejak awal dengan negosisasi dan uang kompensasi tentu saja. Diamatinya punggung Anna yang beranjak menyapa meja pengunjung lain, sambil berharap agar senyum dan rona bahagia diwajah perempuan itu, akan menetap selamanya.
***
Anna membuka pintu yang terkunci lalu melangkah masuk dan mendapati rumah yang begitu sunyi dan gelap. Biasanya Ivan selalu menunggunya. Apa lagi sejak kepulangan mereka dari Bandung beberapa hari lalu, sikap Ivan sangat berubah. Lebih manis dan penuh kelembutan. Dia menyalakan lampu, kemudian berjalan menuju kamar yang pintunya terbuka. Kosong!
Setengah berlari dia bergegas ke dapur yang ternyata juga kosong. Panik, Anna menuju kamar mandi. Mencoba menepis lintasan pikiran buruk yang tiba-tiba saja menyeruak. Tangannya bergetar ketika membuka pintu, tapi dia tidak menemukan Ivan di sana.
"Ivan! Sayang, kamu di mana?" teriaknya sambil mengitari rumah mereka yang kecil. Seperti orang gila, dia terus memanggil-mangg sambil memegangi kepalanya yang terasa mau pecah. Dia panik dan sangat bingung. Ke mana Ivan? Tiba-tiba dia teringat ponselnya. Secepat kilat perempuan itu memencet nomor Ivan.
Bunyi dering yang sangat dikenalnya terdengar pelan dari dalam kamar. Tergopoh-gopoh Anna menuju ke sana dan mendapati ponsel itu berkedip-kedip tergeletak di atas meja kecil di sudut ruangan. Dia segera meraihnya, tapi tiba-tiba matanya terpaku pada sebuah map berwarna hijau yang berada di samping benda tersebut.
Tak sabar Anna membuka map itu dengan jantung berdebar. Seketika matanya terbelalak tak percaya. Tangannya bergetar menutup mulut, seiring dengan airmata yang mengalir deras membasahi pipinya.
“Oh, Tuhan. Ini nggak mungkin!” Dia membanting map itu dan terduduk di lantai dengan wajah yang sangat terguncang.
Hingga dini hari, perempuan itu masih termangu di tempat yang sama. Air matanya sudah mengering memberi jejak tak keruan di wajahnya. Maskaranya pun sudah luntur meningglkan bercak hitam di sekitar mata yang bengkak kemerahan.
Dengan perasaan tercabik-cabik, dia bangkit dan merebahkan tubuh ke ranjang. Tatapannya kosong ke langit-langit kamar yang kusam. Dia sungguh tidak menyangka Ivan tega meninggalknnya begitu saja setelah semua hal manis yang mereka lalui saat liburan beberapa hari yang lalu.
***
Sudah berulang kali Sam mengetuk pintu yang catnya sudah mengelupas di hadapannya, tapi tidak ada jawaban. Rumah itu seperti tak berpenghuni. Lampu teras masih menyala, padahal sudah tengah hari. Sedikit gelisah, dia mengeluarkan ponsel dan mencari nomor Anna di kontak, lalu menekan tombol panggil. Tersambung, tapi tidak diangkat.
Ini entah sudah keberapa kalinya dia menghubungi perempuan itu. Dia tidak datang dan juga tidak memberi kabar, begitu kata Sissy rekan kerjanya ketika Sam mengunjungi bar, tiga malam berturut-turut dan tidak menjumpai Anna.
Perasaannya menjadi tidak enak. Kali ini Sam kembali mengetuk pintu lebih keras.
"Anna! Ivan!" Dia kemudian berjalan ke samping rumah dan menggedor jendela yang tertutup. Lalu beralih kembali ke pintu. Hingga akhirnya terdengar anak kunci diputar.
Pintu terbuka sedikit. Sam mendorongnya tak sabar, sehingga terbuka lebih lebar.
"Anna!" serunya terkejut.
Perempuan itu hanya menyeringai di ambang pintu. Rambut awut-awutan, mata cekung dengan lingkaran hitam di bawahnya benar-benar mengejutkan Sam. Muka tirus itu begitu pucat dengan sorot mata kehilangan cahaya. Anna seperti mayat hidup.
"Hei, apa yang terjadi?" Dia mengguncang bahu Anna dengan wajah prihatin.
Mata redup itu berair, dan dengan cepat berubah menjadi anak sungai yang membanjiri pipinya. Limbung dia membenamkan wajah ke dada Sam dan menangis sejadi-jadinya.
Sam hanya bisa memeluk dan membiarkan Anna meluahkan semua emosinya. Hingga kemudian tangisan itu mereda dan perempuan itu melepaskan pelukannya.
“Masuklah!” Suaranya terdengar lemah dan serak. Kemudian dia berjalan seperti orang linglung menuju ruang tamu.
"Kenapa nggak jawab telponku? Apa yang terjadi? Mana Ivan?" Sam mencecarnya dengan pertanyaan.
Perempuan itu menyeka sisa air matanya dan berbisik lirik, "Ivan menceraikan aku.” Susah payah dia menahan air mata yang kembali melesak keluar.
Sesaat, Sam terkesiap. Dia benar-benar tidak menyangka mendengar kabar mengejutkan itu.
"Menceraikanmu? Kenapa?"
Anna menggeleng frustrasi dan menangkup wajahnya dengan kedua tangan.
"Aku juga nggak tahu alasannya. Tiba-tiba saja dia menghilang dan meninggalkan surat gugatan cerai. Bahkan ... bahkan ponselnya juga ditinggal. Aku nggak tahu dia ke mana," isaknya dengan suara sengau.
Sam memijit keningnya, terlihat berpikir keras. Cerai? Bagaimana mungkin? Dia mencoba menganalisa berbagai kemungkinan yang terjadi, tapi tidak kunjung menemukan petunjuk.
Perlahan Anna bangkit dan melangkah ke dalam kamar, kemudian kembali membawa map hijau dan menyerahkannya kepada Sam. Secepat kilat lelaki itu membuka, dan membacanya berulang kali. Surat gugatan cerai dari pengadilan agama.
"Tenanglah! Nanti ... kita urus. Sekarang, sebaiknya kamu mandi dan ganti pakaian. Wajahmu benar-benar mengerikan." Sam menutup berkas itu dan menatap sosok dihadapannya yang tertunduk sedih.
Tanpa membantah perempuan itu segera beranjak ke dalam. Badannya terasa sangat lengket dan juga berkeringat. Baru dia sadari kalau sudah tiga hari tidak mandi.
Mobil yang dikendarai Sam membelah jalanan ibukota yang ramai. Di sebelahnya Anna terlihat melamun dan sesekali memejamkan mata. dan menghirup napas dalam-dalam dan mengembuskannya kuat-kuat, seperti mencoba untuk menghalau gundah di hatinya.
"Kita kemana?" tanya Anna setelah beberapa lama mereka hanya saling diam. Diamatinya jalanan dari jendela mobil.
"Makan. Kamu pasti belum makan," tukas Sam sambil melirik Anna. Hatinya terenyuh melihat wajah pucat dan mata cekung itu.
"Aku nggak lapar. Bagaimana mungkin aku bisa makan dengan hati remuk begini, Sam?" ujarnya sinis.
"Kita akan mencari Ivan, dan kamu perlu tenaga untuk itu. Melihat kondisimu sekarang, aku ragu, Ann. Bahkan untuk berjalanpun kamu nggak akan kuat." Lelaki itu tersenyum mengejek.
"Ck, sudahlah. Aku nggak apa-apa. Aku masih kuat," ujar Anna. Namun, dia tetap menurut ketika Sam mengajaknya ke sebuah restoran.
**
Hari sudah menjelang sore ketika mereka sampai pada sebuah rumah bercat putih yang berdiri menjulang dengan pagar hitam berukir di daerah Bogor. Sam memelankan mobilnya dan kemudian berhenti di tepi jalan.
"Kamu yakin dia ada di sini?" tanya Anna melayangkan pandangan ngeri ke rumah itu. Rumah kediaman keluarga Ivan. Dalam perjalanan tadi, Sam meyakinkannya kalau Ivan bisa saja balik ke rumah orang tuanya.
Dia pernah dua kali menginjakkan kaki di sana. Pertama, ketika Ivan mengenalkannya kepada orangtuanya, kali kedua, ketika Ivan meminta restu mereka. Namun, dua-duanya hanya menyisakan kenangan pahit sekaligus menyakitkan bagi Anna.
"Entahlah, cuma nggak ada salahnya kan, kita cari tahu?"
Sam keluar dari mobil dan berjalan ke arah pagar. Sedikit ragu dia menekan bel yang ada di sana. Tak lama kemudian seorang lelaki berbadan tegap dan berpakaian seperti satpam membuka pintu gerbang.
"Selamat sore, Pak, ada yang bisa saya bantu?" sapanya ramah.
"Saya, Sam, teman Ivan. Ivan ada?"
Wajah lelaki itu terlihat ragu. Sesekali matanya melihat ke dalam.
"Mas Ivannya nggak ada di sini. Permisi," jawabnya dan langsung menutup pintu pagar meninggalkan Sam yang termangu.
Membalikkan badan, lelaki itu berjalan ke arah Anna yang bersandar di mobil dengan wajah kuyu.
"Besok, kita kesana lagi. Aku yakin Ivan ada di sana," hiburnya.
"Dia ... memang nggak mau bertemu denganku," isaknya. "Apa salahku, Sam? Ini benar-benar nggak adil, kenapa dia pergi begitu aja?" Anna menutup wajahnya dengan kedua tangan. Bahunya terguncang mencoba menahan tangis yang seakan mau meledak.
"Pasti ada alasannya. Tenang dulu, oke? Lagipula, perceraian nggak terjadi begitu saja. Akan ada persidangan, mediasi dan sebagainya. Kalian pasti akan bisa bertemu dan membicarakan semuanya." Sam memegang tangan Anna mencoba menenangkan. Hatinya ikut terenyuh. Anna mengelap hidungnya dengan tisu. Matanya yang merah menerawang jauh.
"Antar aku ke bar, Sam," ujarnya kemudian.
"Bar? Ngapain?"
"Aku ... ingin minum." Serak suaranya seolah menyiratkan luka yang begitu dalam.
"Anna, kamu bahkan nggak pernah minum. Aku akan mengantarmu ke manapun tapi tidak ke bar!" ucapnya tegas.
"Sam, tolong! Atau tinggalkan aku disini! Aku bisa pergi sendiri!" Tiba-tiba dia berteriak histeris, sedang air matanya mengalir membasahi pipinya.
"Oke, oke. Kita ke bar," jawabnya lemah.
Dia cukup terkejut dengan reaksi Anna. Ditatapnya wajah sembab dan kemerahan dengan napas tersengal itu. Sorot mata Anna terlihat begitu putus asa. Belum pernah dia terlihat sehancur ini.
Hari sudah malam ketika mereka memasuki Jakarta. Sam melirik Anna yang bersandar setengah mengantuk di sampingnya. Dia benar-benar bingung apa yang harus dilakukan. Segala penghiburan jelas tidak akan mempan bagi perempuan itu. Selama dalam perjalanan dia hanya diam, sesekali menyodorkan tisu ketika Anna menangis tanpa suara.
“Kita pulang, ya?” bujuk Sam. Berharap Anna melupakan tentang ajakan ke bar tadi sore. Perempuan itu menggeleng, dan berucap lemah, “kita ke bar. Bar mana pun selain bar tempatku bekerja.
Sam menghela napas panjang sambil terus menyetir. Beberapa menit kemudian saat mobil memasuki kawasan Pondok Indah, dia teringat ada sebuah bar kecil di sana yang baru buka. Tempatnya agak tersembunyi dan sekilas mirip rumah yang halamannya dipenuhi pohon-pohon pinus. Dia menghentikan mobil di sana dan mengajak Anna masuk ke dalam bar yang tidak begitu ramai itu.
"Anna, kamu nggak pernah minum. Pesen yang lain aja, yang lebih ringan!" gerutu Sam saat pesanan datang. Dia tidak tahu kalau Anna sudah memesan duluan, karena tadi sedang di toilet.
"Diamlah!" Anna mendelik kesal.
Sam mengatupkan rahangnya, terlihat berusaha keras menahan diri agar tak menunjukkan kekesalannya. Bagaimana pun dia tahu Anna sedang tertekan saat ini. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain bersabar menghadapinya.
Anna segera menyambar gelas yang disajikan dan langsung menenggak cairan berwarna keemasan itu. Kerongkongannya seperti terbakar, cairan manis itu menyisakan rasa pahit di pangkal lidah. Dia mencoba menelan walaupun kerongkongannya menolak.
Sam tersenyum getir, "bukan begitu cara minumnya, Ann."
"Berisik! Nikmati saja minumanmu!"
Perempuan itu menyambar gelas kedua dan meminumnya seperti tadi. Mukanya terlihat meringis. Sam mengamati dengan hati perih. Dia tidak menyangka Anna akan serapuh ini karena Ivan. Ketika perempuan itu meraih gelas ketiga, dia mengambil paksa dari genggaman Anna.
"Cukup, Ann!" Suara tegas Sam hanya bagai angin lalu. Anna tak menghiraukan, tapi justru tergolek di atas meja. Mengerang dan mengeluhkan kepalanya yang terasa berat dan pusing. Di sisi lain, perutnya juga bergolak, seolah ingin memuntahkan cairan yang baru saja ditelannya itu.
"Ayo kita pulang!"
Anna tidak menaggapi, dia seperti tertidur sambil sesekali mengerang. Untuk beberapa saat, lelaki itu hanya membiarkan saja hingga akhirnya Anna kembali mengerang dan mencoba mengangkat kepalanya dengan susah payah. Setelah memanggil waiter bar dan membayar tagihan, dia memapah tubuh Anna yang terkulai dan terasa lebih berat.
Mereka berjalan sempoyongan keluar dari tempat itu. Setelah sampai di parkiran, langkah Anna tiba-tiba berhenti. Dia mendongak melihat langit kelam seperti ditaburi bintang yang berputar-putar di atas kepalanya. Kembali dia merasakan perutnya bergolak, tak tertahankan.
Huek! Akhirnya dia memuntahkan semua isi perutnya. Membasahi pakaiannya dan juga lengan Sam. Kemudian dia limbung, tak bisa tetap tegak menahan bobotnya sendiri.
BAB 8
Sinar matahari menembus tirai jendela sebuah kamar tempat Anna terbaring. Dia mengerjapkan mata, mencoba menghalau rasa pening di kepala. Perlahan dia bangkit, meskipun kepalanya begitu berat.
Kerongkongannya yang pahit dan juga kering, membuatnya benar-benar ingin minum. Anna memegangi kening dan dengan mata setengah terpicing, mengamati ruangan yang begitu asing. Susah payah dia mengingat-ingat apa yang terjadi, tapi tak berhasil, malah membuat kepalanya semakin pusing.
"Selamat pagi, Non." Seorang perempuan paruh baya muncul di ambang pintu dan berjalan menghampirinya dengan nampan berisi sarapan di tangan.
"Selamat pagi. Ibu siapa, ya? Ini di mana?" Anna memutar tubuh dan membiarkan kakinya menjuntai ke lantai.
"Saya, Mbok Darmi, pengurus rumah ini. Semalam Non ... nggak sadar, dan dibawa ke sini sama Nak Samuel."
Perlahan Anna mulai mengingat semuanya.
"Sam mana, Mbok?"
"Pagi-pagi udah pergi, nggak tau ke mana. Dia hanya bilang, Non di sini dulu sampai dia pulang. Ayo sarapan dulu!" Mbok Darmi menaruh nampan di atas nakas sebelah ranjang, kemudian meminta izin untuk kembali ke dapur.
Anna kembali mengamati sekitar sambil menyuap sarapannya. Kamar yang cukup luas bergaya Victorian dengan jendela besar itu, menghadap ke taman belakang. Dia menduga ini kediaman keluarga Wijaya, orang tua angkat Sam.
Sejak meninggalkan panti belasan tahun lalu, Sam memang tidak begitu banyak membicarakan orang tuanya. Anna juga tidak pernah mengorek informasi lebih dalam. Dalam perbincangan melalui surat-surat, mereka hanya membahas kehidupan di panti, teman-teman baru dan hal lainnya. Bahkan setelah Sam kuliah di Australia, dia juga jarang membahas keluarganya selain mengatakan bahwa mereka mengurusnya dengan cukup baik.
Setelah makan, Anna keluar kamar dan melihat-lihat rumah besar yang terasa begitu sunyi itu. Langkahnya terhenti di depan sebuah ruangan yang tertutup. Perlahan dia mendorong pintu yang tak terkunci dan mendapati ruang baca yang terhampar di hadapannya dengan lemari dan rak buku yang berjajar rapi di dinding.
Sesaat dia terpukau, mengagumi ruangan yang terlihat begitu nyaman dan tenang. Sofa kulit berwarna cokelat dan karpet tebal yang serasi terasa empuk di telapak kakinya yang telanjang. Sebuah senyum kecil mengembang di bibirnya, ketika dia berjalan menuju lemari dan memilih satu buku. Rasanya sudah lama sekali dia tidak bersantai di sofa sambil membaca buku.
"Hei, ternyata kamu di sini. Belum mandi?" Anna yang sedang tenggelam dalam bacaannya, terkejut dan menoleh ke sumber suara.
"Oh, kamu udah pulang. Dari mana saja?" Sedikit enggan dia menutup buku dan segera bangkit.
Sam yang masih berdiri di ambang pintu sambil terus mengawasinya, menyodorkan kantong belanjaan, "Ini, mencari pakaian untukmu. Semalam kamu benar-benar parah."
Perempuan itu menutup wajahnya dengan telapak tangan. "Astaga! Memalukan," gerutunya.
Sam hanya tertawa kecil, dan menyerahkan kantong belanjaan itu. Sesaat dia merasa cukup senang melihat wajah Anna sudah sedikit lebih cerah dibandingkan kemarin.
"Makasih." Dibukanya kantong belanjaan itu sekilas, dan berkata, "Oya, hmmm ... siapa yang mengganti pakaianku semalam?" Wajahnya sedikit merona ketika menanyakan itu.
"Aku. Memangnya siapa lagi?"
"Apa?!" Anna manatapnya dengan pandangan ngeri.
"Dibantu sama Mbok Darmi. Ck, jangan mikir yang aneh-aneh. Kamu ... sama sekali nggak menarik dengan pakaian penuh muntahan," ucap Sam tertawa geli melihat ekspresi Anna.
Tak urung hal itu membuat Anna tertawa juga. Barangkali ini adalah tawa pertamanya sejak kepergian Ivan.
"Oh ya. Rumahmu sepi sekali. Pak Wijaya mana?"
"Sejak kematian Ibu, dia lebih sering menghabiskan waktu di Yogya. Hanya sesekali saja ke sini," jawabnya datar.
Anna menatap wajah Sam sejenak. Sekilas dia melihat gurat kesepian dan kehilangan di sorot mata itu. Begitu mirip dengan tatapan bocah kecil di kamar panti, ketika mereka akan berpisah puluhan tahun lalu.
Hari itu di awal bulan Desember tahun 1999, adalah hari di mana keluarga Pak Wijaya akan datang ke Panti menjemput Sam. Beberapa minggu sebelumnya Pak Wijaya sudah mengurus semua berkas untuk adopsi. Namun, bocah sepuluh tahun itu masih mendekam di kamarnya dengan wajah muram seperti sedang menghadiri upacara pemakaman.
"Sam, kalau kamu tinggal bersama Pak Wijaya, hidupmu akan senang. Kamu akan punya kamar sendiri. Kamu juga akan sekolah di tempat yang bagus," bujuk Anna.
"Tapi, kenapa kamu nggak ikut? Aku nggak mau kalau pergi sendirian." Sam menyeka airmatanya dengan kasar.
"Pak Wijaya hanya menginginkan anak laki-laki. Lagi pula aku kan harus di sini, membantu Bu Rosie mengurus adik-adik yang masih kecil," jelas Anna.
"Aku senang tinggal di sini. Aku mau selamanya disini denganmu dan yang lainnya," ucap Sam sedih.
Gadis itu memutar otak, nyaris hilang akal menghadapi bocah yang terus saja merengek dari kemarin agar tetap tinggal di Panti.
"Dengar, Sam! Kalau kamu ikut Pak Wijaya, kamu akan jadi orang kaya. Kamu bisa membeli apa pun yang kamu mau. Pak Wijaya orang baik. Dia akan mengabulkan apapun keinginanmu," katanya tak sabar. Lama-lama dia kesal juga dengan Sam.
"Apa pun?"
"Ya, apa pun!"
"Termasuk sebuah rumah besar bercat putih yang ada halaman luasnya?" tanya Sam antusias.
"Ya, termasuk itu." Anna tersenyum kecil.
"Baiklah, Ann." Dia lekas menyeka air mata yang kembali tumpah kemudian merengkuh bahu gadis itu dan memeluknya erat. Anna terenyuh, ketika mendengar isak tangis tertahan dari Sam.
"Berjanjilah kamu akan jadi anak yang baik. Aku akan merindukanmu, Sam."
"Aku akan sering berkunjung. Aku juga akan mengirimimu surat setiap hari," ucap Sam sambil cepat-cepat menyeka airmata. Anna tersenyum lebar dan mengacak-acak rambut bocah lelaki itu.
"Aku serius!" ringis Sam. Dia mengamati wajah gadis di hadapannya lamat-lamat. Menyimpan rapat dalam ingatan hingga bertahun-tahun kemudian.
Anna tersadar dari lamunan ketika Sam memanaggilnya beberapa kali, menanyakan apakah dia mau mandi dulu atau mau makan siang, sambil menatap dengan wajah khawatir.
"Oh, sorry. Aku … aku mau mandi dulu," pamit Anna akhirnya, dan segera berlalu menuju kamar tempatnya tidur semalam.
Sam hanya mengangguk sambil terus mengamati hingga perempuan itu menghilang di balik pintu dan menekan dadanya yang tiba-tiba saja berdebar tidak keruan. Seumur-umur dia belum pernah melihat Anna berpenampilan seperti itu. Memakai kemeja putihnya yang agak kedodoran, dengan rambut panjang yang sedikit awut-awutan. Pemandangan itu, dengan cara yang tidak bisa dijelaskan begitu memikat di matanya. Diam-diam Sam mengumpat dalam hati, mengutuk imajinasi liar yang sempat berkelebat di benaknya.
Jam yang berdentang dua kali di ruang tamu, terdengar samar dari tempat Sam berdiri. Lelaki itu menghela napas panjang. Sudah tengah hari, dan dia masih bingung memikirkan apa yang harus dilakukannya untuk membantu Anna. Dia agak sangsi kalau membiarkan perempuan itu pulang dan kembali berkubang dalam kesedihan di kontrakannya sendirian.
“Sam, bisa mengantarku pulang sekarang?” Tahu-tahu Anna sudah muncul di belakangnya. Lelaki itu membalikkan badan, dan menatap Anna yang terlihat segar dengan rok lebar warna biru laut sebetis dan atasan blus warna krem dengan renda sederhana di bagian leher dan lengan. Rambutnya yang masih basah dibiarkan tergerai alami.
“Kamu … serius mau pulang?” tanya Sam tak melepaskan pandangannya.
“Ya, memangnya mau ke mana lagi?” Anna tertawa getir.
“Bagaimana kalau kamu di sini dulu. Ada banyak kamar kosong dan juga ada aku dan Si Mbok di sini. Paling nggak, kamu nggak akan kesepian.”
“Makasih, tapi nggak usah. Aku nggak apa-apa, kok.” Wajahnya terlihat tidak yakin dengan ucapannya sendiri.
“So … apa rencanamu? Maksudku, apa kita akan ke Bogor lagi mencari Ivan?” tanyanya hati-hati.
Anna terdiam. Sejujurnya, dia juga tidak punya rencana apa-apa. Hidupnya seolah terhenti begitu saja sejak Ivan pergi. Tak ada lagi gairah, tak ada lagi tujuan yang ingin dicapainya. Dia merasa hampa. Tanpa sadar, air mata bergulir di pipinya yang tirus. Sam menatap iba, lalu merengkuh bahu perempuan itu dan memapahnya ke sofa. Membiarkan Anna terisak-isak dalam dekapannya tanpa berkata apa-apa.
“Antarkan aku pulang!” bisik perempuan itu setelah tangisnya mulai reda.
“Ann, aku nggak bisa membiarkanmu sendirian dalam kondisi seperti ini.”
“Percayalah, aku pasti bisa mengatasinya. Aku hanya perlu waktu sendiri … dan berpikir. Tapi tawaranmu untuk tinggal di sini akan kupertimbangkan nanti. Thank’s.” Dia menyeka sudut matanya. Sam menatap wajah sembab itu, sangsi. Namun, dia juga tidak bisa menahan Anna.
“Tolong, jangan bikin aku khawatir, ya. Dan tolong jangan bertindak seperti semalam lagi. Kalau kamu butuh apa-apa, telepon aku!” ucap Sam lembut. Anna mengangguk dan memaksakan sebuah senyum terlukis di bibirnya.
-TBC-
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
