
BAB 16-18
BAB 16
Sampai di titik ini aku baru menyadari satu hal, terkadang orang yang menyakiti paling dalam justru orang-orang terdekat kita. Selama ini aku mencoba bertahan bukan hanya karena sangat mencintai Pras, tapi ada sosok lain yang bahkan kucintai lebih dari siapa pun. Ibu.
Namun saat melihat Ibu memangku gadis kecil itu sambil tersenyum, hati ini hancur sehancur-hancurnya. Perempuan yang paling kusayangi di dunia dan kuharap menjadi pembela malah mematahkan hatiku dengan cara paling kejam. Adakah yang lebih sakit dari ini? Bahkan saat Pras mengakui skandalnya dengan Laila dulu, rasanya tidak sesakit ini.
Aku segera berbalik dan berlari menuju lantai atas, tanpa menghiraukan panggilan beberapa suara yang terdengar sedikit panik. Kuambil barang-barang dengan tergesa lalu menyambar kunci mobil.
"Reeta, kamu mau ke mana?" Pras berhasil menyusulku ke kamar diikuti oleh Mbak Rani.
Aku mengabaikannya yang berdiri di depan pintu.
"Ree ... mari kita bicara dulu. Ayo turun dulu, ya ...," bujuk Mbak Rani. Matanya berkaca-kaca.
"Nggak ada yang perlu dibicarakan, Mbak!" Kutelan ludah dengan susah payah saat menatap mereka berdua bergantian.
"Reeta ..." Pras meraih tanganku. Wajahnya terlihat kalut, tapi justru sangat memuakkan di mataku.
"Apa? Kamu mau menjelaskan sesuatu? Atau mau minta maaf lagi? Nggak perlu. Kita udah selesai, Pras!"
Aku medorongnya kasar saat melewati pintu, sambil mencoba menguatkan hati. Aku tidak boleh menangis. Aku tidak boleh terlihat menyedihkan di hadapan semua orang.
Tak kuhiraukan Pras dan Mbak Rani yang terus memanggil dan memohon agar aku jangan pergi. Namun langkahku terpaksa berhenti di ruang tamu, saat Ibu meraih tanganku.
"Ree ..., ayo duduk dulu. Kita harus bicarakan masalah ini baik-baik." Matanya berlinang saat kami bertatapan.
"Ibu sudah tahu semua ini, kan?" Suaraku bergetar. Walau tak ingin mendengar pembelaan apa pun darinya, tapi entah mengapa aku tetap ingin menanyakan.
Ia tak menjawab. Namun itu menjelaskan semuanya. Kurasa hatiku sudah tak berbentuk lagi. Ibu sangat tahu bagaimana cara menghancurkanku.
"Aku pamit, Bu." Kucium punggung tangannya dengan dada seakan mau meledak. Seharusnya aku marah dan memakinya tapi tak kulakukan. Sedikit rasa hormat masih tersisa untuk perempuan ini
"Kamu mau duduk sebentar dulu kan, demi Ibu? Ibu mohon, Sayang!" Bahkan di saat seperti ini, ia masih mencoba meluluhkanku dengan ucapan lembut yang penuh permohonan itu. Ia tahu persis aku selalu menurutinya, tapi tidak untuk kali ini
"Aku nggak bisa, Bu. Maaf!"
"Tapi ini semua mesti diluruskan, biar kamu paham apa yang sebenarnya terjadi," pintanya putus asa.
"Apa lagi yang harus dijelaskan? Kalian semua sudah tahu rahasia ini, dan berhasil membuatku merasa dibodohi. Ibu bahagia kan, akhirnya bisa punya cucu perempuan yang selama ini Ibu rindukan?" tukasku tajam.
Mungkin terdengar konyol, tapi sungguh aku sangat cemburu pada Olive yang saat ini sedang duduk di pangkuan Laila sambil memanggil-manggil Ibu dengan suara cadelnya.
"Maafkan ibu, kalau kamu terluka dengan semua ini." Ia menyusut air mata dengan ujung jari.
Aku melepas genggaman tangan Ibu dan segera berlalu. Sungguh aku tak ingin mendengar apa pun lagi.
"Reeta, tunggu!" Pras mengejarku ke halaman tempat mobil terparkir.
"Sejak kapan kalian membodohiku? Sejak kapan keluargamu tahu rahasia ini?" geramku saat ia berhasil menyusul dan meraih bahuku.
Ia kehilangan kata-kata.
"Atau jangan-jangan mereka sudah tahu sejak awal dan pura-pura nggak tahu? Kamu tega membuatku merasa jadi orang bodoh, Pras!" ucapku sakit hati.
"Semua nggak seperti dugaanmu, Ree!"
"Kamu ingkar janji! Kamu dan perempuan itu, kalian berdua sama-sama brengsek!" Akhirnya aku tak tahan lagi. Aku hampir tidak pernah menangis di hadapan siapa pun. Namun sekarang, untuk pertama kalinya sejak kematian Mama, aku menangis di depannya.
"Maafkan aku." Ia mengusap wajahku, dengan mata berkaca-kaca.
"Sudah berapa kali kubilang, jangan mudah menghamburkan kata maaf. Aku benci mendengarnya!" Kutepis tangannya dengan muak, lalu membuka pintu mobil.
"Reeta!" Tangannya memukul-mukul kaca mobil.
Kuinjak pedal gas, hingga akhirnya ia terpaksa menyingkir. Dalam pandangan yang kabur oleh air mata, aku memacu mobil di jalanan yang ramai tanpa arah tujuan.
***
Setelah letih berkendara, tepat pukul setengah delapan malam, akhirnya aku menghubungi Maria via telepon.
"Kamu sibuk?" tanyaku saat mendengar suara agak bising di seberang sana.
"Nggak, kok. Ada apa?"
"Nggak ada. Aku ... aku pengen ketemu. Aku kacau." Menyakitkan mengakui hal itu meski pada sahabatku sendiri.
"Ree ... Kamu kenapa? Aku jemput, ya." Nada suaranya terdengar khawatir.
"Nggak usah. Aku saja yang ke sana. Kamu lagi di mana?"
Ia menyebutkan sebuah alamat yang tidak jauh dari tempatku berada sekarang.
Kepalaku terasa sangat berat saat mobil memasuki parkiran sebuah restoran yang dikatakan Maria. Seperinya restoran ini belum dibuka karena terlihat sepi dan tidak ada aktivitas berarti.
"Aku sudah sampai, kamu di mana?" tanyaku saat menghubunginya.
"Masuk aja, aku tunggu di dalam."
Perpaduan sakit kepala dan perut keroncongan membuat lututku goyah saat berjalan. Baru kusadari kalau tadi siang belum sempat makan. Hanya sepotong kue dan beberapa camilan lain yang masuk ke perutku karena terlalu antusias dengan pesta kejutan untuk Ibu.
Tidak ada pengunjung lain di restoran ini selain Maria yang sedang duduk di kursi paling dudut, dengan laptop menyala di depannya. Ia tersenyum saat melihat kedatanganku.
"Kok tempat ini sepi banget?"
"Restorannya memang belum buka. Aku dan Reza mampir ke sini mau lihat-lihat."
"Oh." Aku mengedarkan pandangan tapi tidak melihat sosok Reza.
"Dia lagi di dalam sana sama Ryu. Ini restoran Ryu yang bakal buka minggu depan, kamu diundang, kan?"
Aku hanya mengangguk tidak tahu harus menanggapi bagaimana. Seharusnya aku tidak datang ke sini. Bertemu Maria di tempat Ryu sama sekali hal terakhir yang kupikirkan dalam kondisi kacau seperti ini. Andai saja aku tahu sebelumnya.
"Ree kamu kenapa?" Ia tampak terkejut saat aku duduk didepannya. Matanya yang tajam mengawasiku penuh tanya.
"Sepertinya momennya nggak tepat, kalau aku cerita sekarang" ucapku tak enak hati. Sungguh tak nyaman membicarakan masalah pribadi disaat aku tahu ada Ryu dan Reza yang bisa muncul kapan saja.
"Wajahmu sembab. Kamu habis nangis?" Ia bertanya hati-hati.
"Sepertinya aku harus cuci muka. Di mana toiletnya?" Aku sengaja membuang muka.
Belum sempat beranjak dari kursi, sosok Reza dan Ryu datang menghampiri kami dengan nampan di tangan.
"Hei, senang melihatmu di sini," sapa Ryu agak terkejut. Ia menaruh nampan di atas meja, lalu menghidangkan dua piring besar makanan yang terlihat lezat di hadapan kami.
"Syukurlah kamu di sini, jadi bisa bergabung bersama kami mencoba menu ini." Reza tersenyum ramah.
Sepertinya wajahku terlihat sangat kacau sehingga kedua lelaki itu mengamatiku dengan raut simpati dan penuh tamya, tapi cukup sadar diri untuk tidak menanyakan apa-apa.
"Maaf, aku mengganggu pesta kecil kalian," ucapku lirih.
"Oh tentu saja nggak, Ree. Aku senang kamu di sini. Aku hampir mati kebosanan karena dua pria ini sibuk di dapur dan membiarkanku bengong sendirian." Maria mencoba mencairkan susasana. "Katanya mau ke toilet, mari kuaantar."
Ia memeluk bahuku saat kami berjalan menuju toilet. Sepertinya ia tahu aku sedang tidak baik-baik saja.
"Apa yang terjadi?"
Kami bertatapan di kaca toilet saat aku selesai membasuh wajah. Di sekitar mataku terlihat bercak kehitaman bekas maskara yang luntur. Aku ingat kalau sepanjang jalan tadi, aku menangis sambil menggosok mata dengan keras.
"Boleh aku menginap di rumahmu malam ini?" tanyaku mengabaikan pertanyaannya.
"Tentu saja boleh, Ree. Kamu belum mau cerita sekarang? Ceritalah kapan pun kamu siap." Ia memeluk bahuku penuh pengertian
"Aku capek, Maria. Aku udah nggak sanggup lagi berpura-pura ... Pras dan perempuan itu mereka membuatku gila!" Bahuku terguncang menahan tangis. Oh, tidak, aku tidak ingin Maria melihatku menangis, tapi air mata sialan itu meluncur tak terbendung.
Ia memeluk dan membelai rambutku tanpa berkata apa-apa. Namun ia mengirim sinyal bahwa ia selalu ada untukku.
Kepalaku terasa berat dan sakit pada saat bersamaan. Ribuan jarum seolah menusuk-nusuk sampai-sampai aku tidak bisa mengangkat wajahku yang bertumpu pada bahu Maria. Hal terakhir yang terdengar sebelum kehilangan kesadaran adalah suara Maria yang memanggil namaku dengan panik.
BAB 17
"Reeta ... Ree...." Sebuah suara halus seperti berasal dari tempat yang sangat jauh, menggema samar-samar di telinga.
Dalam kegelapan yang pekat, seseorang menggenggam telapak tanganku, seolah memberi kekuatan. Walau napas tersengal, tapi aku lega karena perlahan kegelapan memudar, berganti pendaran cahaya lampu kekuningan yang berada tepat di depanku.
"Ree ...."
Walau kepala masih terasa berat, tapi aku akhirnya mengenali suara itu. Maria.
"Kamu udah sadar?" Nada lega terdengar sangat kentara dari suaranya. Ia mengusap dahiku lembut. Samar-samar aroma kayu putih dari telapak tangannya menerpa penciuman.
Aku mencoba membuka mata lebih lebar, saat kesadaran perlahan pulih. Maria duduk di sisi ranjang sambil terus mengusap dahiku.
"Aku ... kenapa?"
"Kamu pingsan di toilet. Apa kamu nggak ingat?"
"Kepalaku mulai menyusun kepingan-kepingan kejadian beberapa waktu lalu, dan seketika hatiku mencelus. Ini benar-benar hari yang panjang dan melelahkan. Semua omong kosong yang terjadi itu nyata, bukan mimpi belaka.
"Kita di mana?" Bahkan untuk berbicara pun aku tak bertenanga.
"Di tempat Ryu."
Aku mengedarkan pandangan dan baru menyadari kalau tidak hanya ada Maria saja di sini. Ada Ryu dan Reza yang duduk di sudut ruangan, mengawasi kami.
Ryu segera bangkit saat kami tak sengaja bertatapan. Ia mendekat ke sisi ranjang dengan segelas air mineral di tangannya. "Kamu pucat banget. Minumlah!"
Maria membantuku duduk dan bersandar dengan menumpukkan beberapa bantal di punggung, lalu mendekatkan gelas ke mulutku.
"Maaf, kalian jadi repot."
Betapa tak terduganya apa yang terjadi padaku dalam selang waktu dua puluh empat jam. Baru tadi malam setelah bercinta, aku menonton film bersama Pras di ranjang favorit kami, dan malam ini aku terkapar di ranjang Ryu dengan keadaan menyedihkan. Ironis sekali. Mataku memanas, mengingat betapa kacaunya semua ini.
"Jangan ngomong kayak gitu. Kami semua peduli padamu, Ree." Maria menepuk punggung tanganku dan memberi tatapan iba.
Ryu masih berdiri di sisi ranjang. Tak sedikit pun melepaskan pandangannya dan itu membuatku sedikit risih. Setelah percakapan terakhir kami di Stasiun Cikini tempo hari, tidur di ranjangnya dengan keadaan seperti ini jelas hal terakhir yang aku inginkan.
"Aku bikinin teh hangat, ya!" katanya kemudian. Aku hanya mengangguk lemah.
Ryu segera pamit keluar kamar disusul Reza yang melemparkan senyum penuh simpati.
"Gimana perasaanmu sekarang? Masih lemas?" tanya Maria setelah kedua lelaki itu menghilang.
"Istirahat dulu aja." Maria menyuruhku kembali berbaring.
"Aku ... aku nggak enak ngerepotin. Kok bisa-bisanya aku pingsan dan berada di kamar Ryu?" Aku meringis.
"Nggak ada kebetulan di dunia ini, Ree. Pasti ada maksud Tuhan membuatmu pingsan dan terpaksa tidur di ranjang orang yang paling kamu hindari di dunia." Maria mengulum senyum, tampak geli melihat ekspresi wajahku.
Aku memutar mata. Tidak mengerti apa yang ada dalam pikirannya. Bisa-bisanya ia menggodaku seperti itu. Walau sebal tapi aku tak bertenaga untuk menanggapi.
"Aku telpon Pras, ya?" ucapnya tiba-tiba.
"Jangan!"
"Kalian ... abis berantem?" tebaknya langsung. "Nggak usah dijawab kalau kamu nggak mau membahasnya sekarang. Aku akan menutup mulutku." Ia tersenyum sambil menggerakkan jemarinya di depan bibir membuat gerakan seakan mengunci.
Ryu muncul kembali dengan nampan di tangannya. Terlihat poci teh, cangkir dan sebuah mangkuk berisi makanan di atasnya. Perutku tiba-tiba berkeriuk saat ia menaruh nampan itu di meja kecil dekat ranjang. Bunyinya cukup nyaring kurasa, karena lelaki itu menaikkan alisnya saat menatapku. Cekungan samar di pipinya seperti menahan senyum.
"Makanlah!" ucapnya singkat.
"Makasih, maaf udah ngerepotin."
Ia tertawa kecil. Tawa yang terdengar tulus, karena selama beberapa kali pertemuan kami sebelumnya, ia lebih sering menyindir atau melemparkan kalimat tajam padaku.
"Belum sampai setengah jam di sini, kamu udah minta maaf dua kali. Nggak perlu minta maaf atas hal yang terjadi di luar kuasamu, Ree."
Aku hanya mengangguk seperti robot, tak tahu harus berkata apa.
Maria berdehem, mengusir kecanggungan di antara kami, lalu meraih nampan dan mulai menyuapiku. Perlakuannya membuatku terharu. Ternyata di balik sikapnya yang blak-blakan dan kadang menyebalkan, ia punya hati yang sangat lembut. Aku beruntung memilikinya sebagai sahabat.
"Enak?" Maria tertawa saat melihatku makan bubur itu dengan lahap.
"Aku bener-benar lapar, ternyata!" bisikku mencoba mengabaikan Ryu yang duduk mengawasi kami di sudut ruangan. Mengapa ia masih di sini, sih? Benar ini kamarnya, tapi harusnya ia memberi sedikit privasi dengan membiarkanku berdua saja dengan Maria.
"Sebentar!" Maria mengeluarkan ponselnya yang berbunyi dari dalam tas.
"Ada apa?" tanyaku penasaran melihat keningnya berkerut saat menerima panggilan itu.
Ia menaruh mangkuk bubur hati-hati, lalu memberi isyarat untuk keluar sebentar. Sepertinya itu telepon penting dari salah satu klien-nya.
"Ayo habiskan makanmu!" Ryu mendekati ranjang dan mengambil mangkuk bubur.
Jangan bilang ia akan menyuapiku. Oh, tidak! Ini pasti akan menjadi situasi paling canggung di antara kami.
"Makasih. Tapi... aku bisa sendiri. Sungguh!"
"Jangan salah sangka. Aku bukan mau menyuapimu, hanya membantu memegang mangkok, dan kamu yang menyendoknya. Mejanya terlalu rendah, kupikir kamu perlu bantuan," ucapnya datar.
Wajahku terasa panas dan sedikit gatal. Ini jauh lebih canggung dari yang kukira. Ya, tentu saja ia tak akan mau repot-repot menyuapi. Memangnya aku siapa?
Aku tertawa untuk mengurai rasa malu, tapi sepertinya tak berhasil. Tertawa pada Ryu jelas bukan keahlianku. Setidaknya sejak kejadian itu. Ia punya aura yang membuatku selalu merasa serba salah, bahkan untuk sekadar tersenyum.
"Oke." Aku meraih sendok dan mulai menyuap bubur. Rasa lezatnya saat Maria menyuapiku tadi, seolah menguap entah ke mana. Jelas aku tak bisa menelan dengan baik, saat Ryu hanya berjarak satu hasta dariku.
"Sudah cukup, kukira. Aku sudah kenyang."
"Beneran kenyang atau karena kamu nggak nyaman karena kita hanya berdua saja di sini?" Ia menaruh mangkuk itu kembali ke atas meja.
Akhirnya Ryu yang asli muncul. Ia tak akan mau bersusah-payah untuk berbasa-basi padaku.
"Terserah kamu mengansumsikan bagaimana. Tapi yang pasti, makasih banget sudah mau repot-repot membuatkannya untukku."
"Nggak masalah. Itulah gunanya teman, bukan?"
Aku hanya mengangguk setuju. Bingung harus berkata apalagi. Diam-diam aku berdoa agar Maria lekas kembali. Walau kamar ini cukup luas dengan ranjang empuk dan hawa sejuk dari pendingin ruangan, tapi aku tetap saja merasa gelisah.
"Kamu tinggal di sini?" tanyaku memecah keheningan.
"Untuk sementara iya. Biar nggak bolak-balik ke rumah, sementara aku mau fokus ngembangin restoran ini."
"Oh ya bagaimana kabar Tante? Sehat?" Aku ingat dulu pernah dua kali bertemu dan mengobrol dengan ibu Ryu. Ia perempuan yang cukup menyenangkan, walau terkadang seperti hidup dengan dunianya sendiri. Ryu pernah bilang ibunya mengalami gangguan emosi.
"Mama ... baik. Mungkin kapan-kapan kamu bisa berkunjung ...." Ia tersenyum.
"Tentu," ucapku tidak yakin tapi tetap membalas senyummya. Sepertinya ini percakapan normal pertama kami selayaknya teman lama. Aku suka Ryu yang seperti ini, bukan yang terus-terusan membuatku terpojok dengan kalimat-kalimat tajamnya.
"Nggak usah berjanji kalau kamu nggak yakin. Lagi pula Pras mungkin nggak akan mengizinkanmu."
Apakah wajahku begitu mudah dibaca sehingga ia bisa menebak apa yang ada di pikiranku? Dan mengapa ia kembali menjadi sinis seperti ini?
Kemunculan Maria di depan pintu dengan tiba-tiba, mengejutkanku. Wajahnya terlihat agak panik dan kebingungan.
"Ree ... ada Pras di luar, dia ...." Maria belum sempat menyelesaikan kalimatnya, ketika sosok berkemeja putih dengan wajah kusut berdiri di ambang pintu.
Aku bergidik saat melihat matanya nyalang menatapku dan Ryu bergantian. Benar-benar situasi yang sangat buruk. Aku tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi.
"Kamu di sini rupanya." Ia melangkah ke arahku dengan bahu terkulai seperti singa terluka.
"Mari pulang!" desisnya tajam sambil meraih lenganku.
"Bagaimana kamu tahu aku di ... sini?"
"GPS di mobilmu. Dari mana lagi? Aku hanya nggak nyangka, dari semua tempat di Jakarta ini, kamu memilih datang ke tempat ini." Wajahnya terlihat gusar.
"Malam ini aku berebcana menginap di tempat Maria." Aku menepis tangannya.
"Tolong, Ree! Jangan bikin situasinya menjadi sulit. Aku nggak mau kita bertengkar."
"Situasi nggak akan sulit kalau kamu nggak datang dan melontarkan omong kosong itu. Aku butuh ruang, Pras!" geramku.
"Ruang? Ruang seperti apa yang kamu butuhkan? Tidur di ranjang laki-laki lain?" Matanya berkilat-kilat.
Aku terkejut, tidak menyangka ia bisa menilaiku serendah itu. Tanganku refleks terangkat ingin menampar mulut lancangnya, tapi kalah cepat. Ia menangkap lenganku dan mencengkramnya dengan kuat.
"Jangan coba-coba!" ucapnya menahan marah.
"Lepas!" Aku meringis kesakitan, tapi Pras mencengkram semakin erat. Matanya mengobarkan nyala api yang membuatku menggigil. Ini tidak seperti lelaki yang kukenal.
"Hei, kamu menyakitinya!" Ryu menepuk bahu Pras. Namun, tepukan itu membuat kobaran api di mata Pras kian menjadi.
Ia berbalik sambil melepaskan cengkramannya, lalu menyarangkan sebuah tinju ke rahang Ryu.
"Pras!" Aku dan Maria terpekik bersamaan.
"Hentikan Pras!" Maria kembali menjerit melihat Ryu terhuyung saat mendapat tinju kedua. Reza yang baru saja datang langsung mendorong Pras agar menjauh.
"Kamu gila, Pras! Datang-datang bikin keributan!" cecar Maria.
"Keributan katamu? Aku hanya memberinya pelajaran agar nggak mengusik milikku!"
"Dia ... apa? Mengusik milikmu? Reeta pingsan, kamu tahu nggak?"
"Pingsan?" Pras menatapku cemas
"Hanya Tuhan yang tahu apa yang kamu lakuin ke Reeta hingga dia bisa pingsan saat baru sampai di sini!" Maria tampak sangat emosional.
"Maafkan aku!" ucapnya lirih sambil mengusap kepalaku.
Aku menghindari sentuhannya. Rasa muak, memenuhi dada hingga tak ada yang kuinginkan saat ini, selain menghilang dari hadapannya. Terlebih tindakannya barusan benar-benar membuatku kehilangan muka di hadapan Ryu.
"Bawa aku pergi, Maria!" pintaku.
Pras mencoba meraih tanganku. "Ree ...."
"Tolong. Biarkan aku pergi, kumohon!"
Tangannya terkepal erat, tapi ia tak berkata apa-apa lagi. Kuharap ia sadar kalau aku tidak main-main. Setelah apa yang dilakukannya dengan membawa Laila ke pesta Ibu, apa ia pikir dengan meminta maaf, semua masalah akan selesai?
Maria segera membantuku turun dari kasur. Saat kami berjalan melewati Ryu, aku melihat bawah hidungnya sedikit berdarah.
"Maaf atas lukamu. Seharusnya aku nggak melibatkan kalian semua dalam kekacauan ini," ucapku sedih.
Ryu hanya tersenyum samar dan memberi jalan agar kami bisa keluar.
"Biarkan Reeta bersamaku, Maria!" Pras menyusul kami. Suaranya terdengar putus asa.
Maria tak menggubris. Matanya fokus ke depan, sedangkan lengannya memeluk bahuku dengan posesif.
"Maria!" kejarnya.
Maria menghentikan langkah dan mendengkus gusar. "Kalimat mana yang nggak kamu pahami dari pernyataan Reeta tadi? Dia nggak mau pulang bersamamu, Pras. Beri dia ruang, oke?"
"Maria ... aduh ... sakit!" Aku mencengkram bahunya kuat-kuat saat merasakan kram hebat di perut bagian bawah. Lututku terasa goyah, dan sesuatu yang hangat dan kental mengalir deras membasahi kakiku.
BAB 18
Rasa nyeri semakin memilin perutku. Keringat dingin menetes dari dahi saat kilasan kejadian bertahun-tahun yang lalu, melintas di kepala. Sungguh, itu adalah salah satu kenangan yang ingin kuhapus dalam ingatan, di antara kenangan-kenangan buruk lainnya.
"Kamu kenapa?" tanya Maria cemas.
"Nggak apa-apa ... ayo kita pergi!" Aku memaksa Maria melangkah menuju mobilnya yang berjarak dua meter dari tempat kami berdiri sekarang.
Penerangan di halaman restoran yang remang cukup menguntungkan, karena mereka sepertinya tidak menyadari wajahku yang mungkin sudah pucat saat ini. Aku tidak ingin ada drama lagi dengan Pras yang masih belum menyerah dan terus memohon agar aku mengikuti kemauannya.
"Reeta ... kita nggak bisa kayak gini. Kamu---"
"Diam!" Aku berteriak saat ia mencoba meraih tanganku. Jujur aku benci berkonfrontasi dengannya di hadapan orang lain, tapi apa boleh buat.
"Maria tolong bawa aku pergi dari sini!" Suaraku bercampur isakan, saat Maria membukakan pintu mobil dan menyuruhku masuk. Mengabaikan rasa sakit yang kian menjadi, aku bersandar di kursi sambil menarik napas dalam-dalam. Masih sempat kulihat Pras yang mematung memandangi kepergian kami.
"Antar aku ke rumah sakit terdekat!" rintihku saat mobil membelah jalan raya.
"Ree ... kamu ... kamu kenapa?" Maria memandangiku dengan panik.
"Nggak usah banyak tanya! Bawa aja aku ke sana!" Kali ini aku meraung. Menumpahkan segala rasa sakit dan frustrasi yang sejak tadi tertahan. Aku tidak tahu mengapa harus berteriak padanya, tapi rasanya aku perlu meluapkan segala emosi yang sudah lama menumpuk di dada.
"Iya ... kita ke sana. Kamu tenang, ya!" Suara Maria menggigil seperti menahan tangis.
"Aku nggak bisa tenang kalo kamu jalan kayak siput!"
Aku kembali berteriak, disusul dengan omong kosong lainnya yang kualamatkan pada Maria. Ia hanya diam tak menanggapi. Hingga akhirnya aku berhenti sendiri, karena perutku semakin tidak keruan.
Perjalanan terasa sangat panjang, sementara bagian bawah gaunku sudah basah kuyup. Mungkin saat ini jok mahal mobil Maria sudah berlumuran darah. Tubuhku semakin lemas, dan pendar lampu jalan yang kami lewati mulai terlihat samar-samar. Sesaat aku merasa seakan melayang. Tidak! Aku tidak boleh kehilangan kesadaran lagi.
"Ree ... Reeta. Kamu bisa dengar aku?"
"Ya aku dengar," ucapku lirih.
"Kita hampir sampai. Kamu masih kuat, kan?"
Aku hanya mengangguk dalam kegelapan. "Maria ... kamu mesti janji."
"Janji apa?"
"Jangan sampai Pras tahu kita ke rumah sakit. Jangan sampai dia tahu apa yang nanti terjadi di rumah sakit!" Suaraku bergetar, mempersiapkan kemungkinan terburuk yang akan kuterima nanti.
"Baik aku janji." Ia terisak, saat meremas bahuku.
Banyak hal yang ingin kuhilangkan dalam memori. Segala kenangan yang menorehkan luka dan menumpahkan air mata. Namun satu hal kecil saja bisa memantik kenangan itu tumpah ruah membanjiri kepalaku, dan aku tidak berdaya untuk membendungnya.
"Semoga kita punya anak perempuan," bisik Pras waktu itu. Aku hanya tersenyum dan mengecup pipinya sekilas.
Seolah baru kemarin kami berbaring di ranjang berhiaskan kelopak mawar sambil menikmati matahari pagi yang kemerahan di kaki langit dan menciptakan gradasi warna menakjubkan saat berpadu dengan air laut.
Bulan madu sempurna di salah satu resort mewah di Bali dengan pemandangan langsung menghadap pantai adalah impianku, dan ia mewujudkannya.
Sejak pertama kali kami bertemu, aku tahu kalau hidupku akan sempurna bersamanya. Aku miliknya dan ia milikku. Kami seperti kepingan puzzle tak terpisahkan yang saling melengkapi. Setidaknya itulah yang kupikirkan tentang hubungan kami. Dulu.
Namun, bayangan gadis kecil berambut ikal dalam pangkuan Ibu tiba-tiba menyelinap masuk ke kepala. Aku memejamkan mata. Menikmati rasa pedih yang pelan-pelan menghunjam jantung. Lalu aku sampai pada satu kesadaran. Semuanya sudah selesai. Hidupku sudah selesai.
"Ree, kita sudah sampai."
Rasanya tidak sanggup beranjak, saat bergelimang cairan yang lengket pada pakaianku, tapi aku tidak mungkin selamanya duduk di sini.
Ketika membantuku keluar dari mobil, Maria terpekik. "Reeta, kamu ... kamu berdarah! Tangannya yang sedang memeluk punggungku menggigil.
"Tunggu, bagaimana ini?" Aku melihatnya hampir menangis. Kasihan sekali Maria yang mesti kerepotan karenaku
"Aku masih kuat jalan. Dekat juga, kok," bisikku dan menumpukan berat badan ke bahunya.
Saat kami memasuki lobi rumah sakit, Maria berteriak-teriak seperti orang gila, memohon pada siapa pun agar aku segera mendapat pertolongan. Reaksinya memang agak berlebihan, tapi aku paham ia sangat panik menghadapi situasi ini.
**
Sudah lewat tengah malam saat aku terjaga dan mendapati Maria tertidur di sofa. Wajahnya tampak kelelahan. Pasti tidak nyaman tidur dengan pakaian lengkap seperti itu, tapi ia rela melakukannya demi aku. Mataku memanas karena perasaan haru yang menyelusup ke hati. Entah apa yang akan terjadi kalau tidak ada Maria.
Dokter kandungan mengatakan kalau aku mengalami abortus inkomplit, dan ia mengambil tindakan kuretase untuk membersihkan sisa jaringan yang ada. Semua bagai mimpi saat menyadari fakta bahwa aku hamil dan keguguran pada waktu bersamaan. Aku merasa sangat kehilangan pada sesuatu yang bahkan belum sempat kumiliki.
Bertahun-tahun yang lalu saat mengalami hal yang sama, ada Pras dan Ibu yang menemani. Namun sekarang aku harus menanggungnya sendiri. Walau tidak bisa dipungkiri, mungkin lebih baik begini dari pada ia nanti terlahir dari seorang ibu yang terus menyimpan dendam kepada ayahnya.
Dengungan ponsel Maria membangunkan gadis itu. Setelah menjawabnya, ia melirikku dan tersenyum dengan wajah mengantuk. "Kamu terbangun? Gimana perasaanmu? Apa perutmu masih nyeri?"
"Nggak, kok. Udah nggak apa-apa. Aku hanya merasa nggak enak kamu terpaksa nungguin aku di sini."
"Nggak apa-apa, Ree. Kamu sahabatku, dan aku akan selau ada buat kamu." Ia bangkit dan duduk di sisi ranjang sambil menggenggam tanganku. "Ngomong-ngomong, kamu yakin nggak bakal ngasih tahu Pras soal ini?" bisiknya.
Aku mengangguk lemah.
"Tapi ...aku rasa dia berhak tau, Ree. Bagaimana pun itu anaknya, nggak adil kalau kamu nyembunyiin masalah kayak gini dari dia."
Sorot mata Maria yang terlihat sedih mengusik hati. Aku tahu, ia berkata benar, tapi berada di dekat Pras saar ini hanya akan membuat emosiku tidak stabil dan itu bisa memperparah hubungan kami.
"Sebenarnya apa, sih yang terjadi? Kamu belum sempat cerita semuanya padaku."
"Dia dan Laila melanggar janji. Mereka membodohiku ... Bahkan Ibu dan semua keluarga besar Pras juga!" Aku menggigit bibir menahan agar tangisku tak meledak.
Akhirnya aku menceritakan pada Maria keseluruhannya tanpa ada yang ditutup-tutupi lagi. Berkali-kali ia menyusut air mata sambil meremas jemariku, mencoba menguatkan.
"Maaf, Ree, tapi aku masih sulit percaya Pras ngelakuin hal kayak gini ke kamu. Kalian itu perfect saat bersama... Kalian itu pasangan favorit aku!" ungkap Maria setelah aku selesai bercerita.
"Jujur saja, bahkan sampai detik ini, aku juga masih bertanya-tanya, Maria. Mengapa hal ini bisa terjadi pada kami."
"Jangan-jangan bener dia dijebak sama Laila." Ia berkata hati-hati. "Maksudku ... ya, bisa aja dia nggak ada niat untuk meniduri Laila tapi memang lagi apes gitu, kan. Ya nggak, sih?"
Aku cemberut. Mengapa Maria seolah membela Pras? Padahal yang jadi korban di sini adalah aku.
"Dijebak atau nggak, faktanya Laila hamil, Maria! Dan mereka memang sempat dekat, sebelumnya. Terlepas Pras hanya iseng atau beneran suka, bagiku itu tetap saja pengkhianatan yang sulit kumaafkan!"
Membayangkan dulu mereka saling menggoda di kantor, sudah membuat perutku mual. Laila masih sangat muda, cantik dan terlihat sedikit rapuh. Ia memiliki semacam pesona yang membuat laki-laki ingin melindunginya.
Perempuan seperti itukah yang ada dalam fantasi Pras? Aku pernah membaca entah di mana, kalau laki-laki terkadang punya fantasi tersendiri tentang sosok idaman lain. Sosok yang mungkin berbeda jauh dari pasangan resminya. Sejak skandal mereka terkuak dulu aku tidak mau mereka-reka, karena ingin melindungi hatiku, tapi sekarang aku tiba-tiba saja memikirkannya.
"Ya ... Aku paham." Maria mengusap punggung tanganku. "Jadi apa rencanamu?"
"Entahlah," jawabku jujur.
Aku memang tidak tahu akan seperti apa hidupku tanpa Pras, tapi aku juga sudah tidak sanggup lagi bertahan di sisinya. Berada pada situasi seperti ini terasa sangat menyesakkan.
"Aku nggak punya siapa-siapa lagi, Maria. Sedari dulu duniaku hanya tentang Pras dan Ibu. Bahkan saat mendiang Mama masih hidup, aku tetap lebih nyaman bersama Ibu daripada beliau. Dan kalau kamu tanya apa rencanaku, aku benar-benar nggak tahu."
Walau benci mengakui, tapi aku terlihat sangat menyedihkan saat ini. Belasan tahun menggantungkan kebahagiaan pada Pras dan Ibu, membuatku gamang memikirkan kehidupan tanpa mereka.
"Kamu masih punya aku, Ree," ucap Maria lembut.
"Aku banyak berhutang padamu. Nggak kebayang gimana kalau nggak ada kamu."
Maria memelukku, sekilas. Matanya terlihat berkaca-kaca. "Tidur lagi, ya, masih ada waktu sebelum nanti kita pulang." Ia merapikan rambut dan selimutku sebelum kembali ke sofa dan membaringkan tubuhnya di sana.
Jam dinding menunjukkan hampir pukul empat pagi saat ini. Aku ingin tidur sejenak, tapi mataku yang tak mau lagi terpejam, nyalang memandangi langit-langit kamar rumah sakit.
**
"Barusan Pras menelpon. Dia ada di depan rumahku saat ini!" kata Maria saat menemuiku di kamar. Ia baru saja dari luar mencari sarapan.
"Terus ... gimana, dong? Kamu bilang apa?"
"Aku nggak bilang kita di sini. Tapi yang pasti kita nggak mungkin ke rumahku saat ini."
Aku hanya mengangguk pasrah. Sejujurnya aku benar-benar merasa tidak enak hati karena sudah merepotkannya dalam masalah rumah tanggaku.
Maria akhirnya memutuskan membawaku ke sebuah komplek perumahan yang lokasinya tidak begitu jauh dari rumah sakit.
"Tempat ini nggak mungkin diketahui Pras," ucapnya saat kami sampai.
Rumah bergaya minimalis ini terdiri dari tiga kamar, satu ruang tamu, ruang keluarga, dan ruang makan yang menyatu dengan dapur. Tidak begitu luas tapi sangat rapi dan nyaman. Di bagian belakang juga terdapat taman mungil yang tertata apik. Terdapat dua bangku kayu menghadap kolam ikan kecil di sana.
"Ini rumah barumu, ya?"
"Bukan. Ini salah satu property milik Reza. Sebelumnya rumah ini disewakan, tapi sejak bulan kemarin sudah dikosongkan. Kami ... Eh, dia berencana untuk menempatinya nanti."
"Kami? Kalian ... kalian akan menikah?" Aku tak kuasa menyembunyikan keterkejutanku.
Maria tertawa gugup. "Sorry ... aku belum sempat ngasih tahu kamu, Ree."
Sama sepertiku, Maria ternyata juga punya rahasia. Mungkin selama ini aku terlalu tenggelam dalam masalahku sendiri, sampai-sampai tidak menyadari kalau sahabatku sudah sampai pada tahap seserius ini. Namun bagaimana pun juga, aku turut bahagia untuknya.
"I am happy for you, Maria." Aku memeluk bahunya sekilas. Setelah hubungan percintaannya berkali-kali kandas, akhirnya ia menemukan orang yang benar-benar tepat. Aku rasa ia layak mendapatkan laki-laki sebaik Reza.
"Oh, ya, sebentar lagi supirku mengantar beberapa barang-barang keperluan kita ke sini. Mungkin nanti siang aku akan belanja."
"Jadi ... kamu bakal nemeni aku di sini, kan?"
"Ya tentu saja. Sampai kamu siap bertemu dan bicara dengan Pras," ujarnya sambil tersenyum.
"Makasih." Mataku memanas. Entah mengapa dua hari ini aku sangat emosional dan begitu mudah terharu.
"Kamu istirahat, ya! Kata dokter kamu mesti banyak istirahat. Aku mau mengurus beberapa hal dulu." Maria membimbingku ke kamar. Setelah memastikan aku berbaring dengan nyaman, ia keluar.
Tak mudah memejamkan mata di tempat asing dan tidak familiar. Aku berbaring dengan gelisah sambil memikirkan betapa lucunya hidup ini. Siapa yang akan menyangka, aku harus bersembunyi di rumah pacar sahabatku, demi menghindari Pras? Di saat bersamaan juga harus kehilangan calon bayi yang sudah sejak lama kurindukan kehadirannya.
Mungkin karena terlalu lelah berpikir, mungkin juga karena buaian angin yang bertiup sepoi-sepoi dari jendela kamar, akhirnya aku tertidur. Tidur yang cukup lama karena saat aku terbangun, ternyata sudah hampir pukul dua siang.
Saat hendak bangkit kudapati secarik kertas tergeletak di dekat bantal. Maria menulis pesan yang mengatakan ia harus pergi sebentar dan akan kembali secepatnya. Aku melirik sebuah koper berukuran sedang di kaki ranjang yang terbuka. Koper itu berisi beberapa pakaian, handuk bersih dan pakaian dalam baru.
Setelah mandi, perutku terasa lapar. Tidak ada apa-apa di dalam kulkas, selain minuman dingin dan beberqpamkoyak susu. Mungkin Maria sedang berbelanja saat ini. Aku emituskan untuk memesan makanan melalui aplikasi online.
Aku menyalakan ponsel yang mati sejak semalam. Notifikasi pesan dari Whatsapp dan beberapa panggilan tak terjawab, masuk beruntun. Pesan dari Pras, Ibu dan Mbak Rani. Aku memilih mengabaikan, hingga mataku tertumbuk pada pesan yang datang dari Ryu sekitar satu jam yang lalu. Ia mengatakan ada di depan.
'Sorry, pesanmu baru kubaca.' Aku mengirim pesan sambil berpikir keras. Apa Maria yang menyuruh Ryu ke sini?
'Aku parkir di depan pintu pagar,' balasnya.
Astaga berarti Ryu sudah satu jam menunggu. Bagaimana caranya keluar kalau pintu terkunci dan kuncinya dibawa oleh Maria?
'Aku terkunci.'
'Lewat pintu belakang aja.'
Aku bergegas menemui Ryu yang berdiri di pintu pagar. Ia tersenyum samar saat melihatku. Ada plester yang menempel di batang hidungnya. Mungkin terluka gara-gara ditinju Pras semalam. Mengingat kejadian itu, hatiku menjadi tidak enak.
"Maria yang nyuruh aku ke sini. Dia bilang ada urusan mendadak di kantor ayahnya, jadi ... yah, dia minta tolong aku mengantar beberapa barang." Ryu menjelaskan sebelum aku sempat berkata apa-apa. Sepertinya ia bisa membaca pikiranku.
Ya, Tuhan dari semua orang, mengapa Maria justru memilih Ryu untuk datang ke sini? Tidakkah ia mengerti kalau aku benar-benar sudah kehilangan muka bertemu dengan laki-laki ini?
"Boleh aku masuk? Biar gampang memindahkan barang-barang yang ada di bagasi," tegurnya mengejutkanku.
"Eh? Ya .. ya, tentu saja!" Aku mengangguk seperti orang bodoh sambil membuka pagar lebih lebar.
Terjebak berdua saja dengan Ryu di rumah orang lain, bukanlah situasi yang aku inginkan saat ini. Apalagi semalam ia baru saja menghadapi amukan Pras. Apa yang harus kulakukan?
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
