
Bab 11-15
"Kok kamu bisa ada di sini?" Aku menatap Pras keheranan.
Alih-alih menjawab pertanyaanku, ia malah menyambar kopi yang belum sempat kusentuh dan menghirupnya sesaat.
"Aku baru ingat di jalan tadi, ada chef baru di restauran hotel kami, dan menu andalannya benar-benar lezat. Kamu harus mencobanya."
"Aku banyak kerjaan, Pras."
"Oh, ayolah. Kerjaan bisa menunggu."
Jelas Pras hanya sedang mencari alasan untuk membawaku keluar. Tiba-tiba mengajak ke hotel tempatnya bekerja hanya demi mencicipi menu baru? Ini bahkan masih pagi. Entah apa yang sedang ia rencanakan saat ini.
"Maaf, aku nggak bisa." Aku melengos dan memberi isyarat agar ia segera pergi.
"Aku akan memaksa." Dengan lancang ia mendekat dan mematikan komputerku.
"Hei, apa-apaan sih, kamu?"
"Kita nggak punya banyak waktu, Reeta. Please, kamu mesti ikut aku sekarang juga!"
Terkadang Pras bisa menjadi sangat pemaksa dan aku kehilangan cara untuk menolak. Lagi pula, aku tentu tidak ingin menyuguhi Maria dengan pertengkaran suami istri di kantor ini.
Dalam lima menit, kami sudah berada di dalam mobil yang meluncur di jalanan ibukota. Pras tak terlalu menanggapi, meskipun aku terus menggerutu sepanjang jalan. Sesekali ia hanya tersenyum, seperti memaklumi, sedangkan matanya fokus ke depan. Aku akhirnya menutup mulut melihat reaksinya yang datar itu, seolah menyiratkan bahwa aku perempuan penggerutu menyebalkan yang ucapannya tak perlu didengarkan.
Kami sampai di kantor Pras yang berada di lantai dasar, setengah jam kemudian. Tempatnya agak tersembunyi, melewati lorong samping meja resepsionis. Berukuran sekitar 7x8 meter, dengan dinding warna abu-abu muda, dan dihiasi perabotan yang didominasi hitam dan putih, ruangan ini tampak maskulin. Sofa tamu terbuat dari kulit yang terlihat sangat empuk, menggodaku untuk segera mendudukinya. Sekeranjang buah terletak di atas meja kayu dengan permukaan berlapis granit bercorak mozaik hitam abu-abu.
Aku mengedarkan pandangan, dan melihat tiga buah lukisan dengan sentuhan Art Deco berjajar rapi di belakang meja kerja Pras. Secara keseluruhan ruangan ini memberi kesan tegas, rapi dan hangat. Desainnya benar-benar menggambarkan kepribadian si penghuni.
Pras tersenyum melihatku mengagumi kantor barunya. Ia memang baru beberapa bulan menjabat sebagai General Manager di hotel ini, sebelumnya ia bekerja di salah satu hotel bintang empat di kawasan Jakarta Selatan dengan jabatan serupa. Karena ingin berkembang, Pras memutuskan untuk pindah ke hotel ini saat ada tawaran dari relasinya.
"Kantormu keren," ucapku sungguh-sungguh.
"Terima kasih." Ia tersenyum sekilas, lalu berbicara dan menyuruh seseorang bernama Lusi untuk segera datang melalui intercom.
"Jadi, kamu akan mengajakku mencicipi menu baru? Perutku masih penuh karena dijejali ibu nasi goreng tadi pagi." Aku mengambil sebuah majalah traveling yang berada di dalam keranjang dekat sofa dan membukanya acak.
Sosok perempuan cantik yang kutaksir berusia dua puluh lima tahun masuk dari sebuah pintu di samping meja kerja. Ia membawa sesuatu yang terlihat seperti map dan menyerahkannya kepada Pras.
"Oh ya Lusi, ini istri saya, Reeta."
Aku bangkit dari sofa dan menyambut uluran tangan Lusi yang tersenyum lebar ke arahku. Sejenis senyum profesional yang sengaja dibuat terlihat ramah, tapi matanya yang tajam memindai seluruh tubuhku. Mungkin mengira-ngita apa aku cukup pantas bersanding dengan boss-nya yang tampan. Percayalah, aku cukup mahir memaknai gestur wajah manusia.
"Sekretarismu sangat cantik," komentarku pada Pras setelah Lusi pamit.
Ia hanya tersenyum samar sambil mengedikkan bahu.
"Semoga saja kamu nggak tergoda, dan berpikir untuk menjadikannya istri ketiga," ucapku sambil tertawa mencemooh.
"Dua istri saja sudah cukup merepotkan." Ia melonggarkan kerah kemejanya sambil menatapku lurus-lurus, tampak berusaha untuk tidak terpancing
"Mungkin yang ketiga akan menyenangkan. Siapa tahu, kan?"
"Leluconmu sama sekali nggak lucu."
"Selera humormu yang payah." Aku mengibaskan rambut dan kembali fokus pada majalah di pangkuanku.
"Aku sedang tak berminat menanggapi racauanmu, Ree. Lagi pula kamu baru sekali ke sini, aku nggak ingin merusak momen langka ini." Ia berjalan mendekat, lalu duduk di sofa tepat di sampingku.
"Sebenarnya ... ada yang ingin kutanyakan. Aku nggak tahu apakah ini saat yang tepat." Ia terlihat bimbang.
"Apa?"
"Soal ... papamu."
Aku terkesiap. "Kenapa kamu tiba-tiba nanyain tentang dia?" Hatiku terasa berderak patah saat bayangan wajah laki-laki itu melintas di kepala.
Pras meraih tanganku dan memegangnya erat. "Ia menginap di sini sejak kemarin, dan besok sudah check out. Aku pikir nggak ada salahnya kalau kalian bertemu."
Aku menarik tanganku dengan kasar dari genggamannya. "Kamu keliru, Pras! Justru salah besar kalau aku bertemu dengannya!"
"Bagaimana pun ia papamu, Ree," ucapnya serius.
"Tunggu! Bagaimana bisa kamu tahu dia papaku? Kalian kan hanya bertemu sekali, saat kita menikah dulu."
"Ingatanku cukup tajam. Menantu macam apa yang lupa sama wajah mertua sendiri?" Ia agak salah tingkah saat kami bertatapan.
"Jadi itu alasanmu mengajakku ke sini?" Aku bangkit dan meraih tasku bersiap pergi. "Maaf, aku nggak ingin bertemu dengannya."
"Aku nggak akan memaksa, kalau kamu nggak mau." Ia memeluk bahuku dan mangajak duduk kembali. "Tapi ... apa iya kamu nggak ingin tahu bagaimana kabarnya sekarang?"
Aku menggeleng.
"Oke ... Aku paham." Pras menghela napas panjang, lalu mengeluarkan sebuah kartu nama dari saku jasnya. "Walau nggak mau bertemu, paling nggak aku harap kamu mau menyimpan kartu namanya. Siapa tahu suatu saat, kamu berubah pikiran."
Aku kembali menggeleng, tapi Pras memaksa memasukkan kartu itu ke dalam tasku.
"Aku memang nggak tahu persis apa yang terjadi, Ree, tapi aku paham kamu belum bisa memaafkannya. Hanya saja ... kupikir ... alangkah baiknya kalau kamu ngasih dia kesempatan untuk menjelaskan semuanya."
"Kamu nggak tahu apa-apa, Pras!"
"Iya kamu benar, aku nggak tahu apa-apa selain fakta bahwa kamu masih menyimpan bara dendam di hatimu selama puluhan tahun." Ucapan Pras terasa sangat memojokkan.
"Kamu bisa ngomong gitu karena kamu nggak ngerasain gimana rasanya jadi aku. Dia memilih orang lain dari pada aku dan Mama. Dan dia nggak pernah muncul lagi sejak hari itu!"
Peristiwa sore itu kembali menggenangi pikiranku dan menciptakan gelombang luka. Hatiku selalu perih saat mengingatnya, dan biasanya butuh waktu tak sebentar agar kondisi hatiku kembali tenang.
Pras terlihat meneguk ludahnya dengan susah payah. "Apa kamu nggak ingin tahu alasannya?"
"Untuk apa? Itu udah nggak penting lagi sekarang. Aku bahkan menganggapnya udah nggak ada."
Kali ini ia terkejut. Matanya tak lepas dariku, seolah menyelami apa yang ada di dalam hatiku.
"Kamu mungkin menganggapnya udah nggak ada, tapi faktanya dia masih ada. Kita nggak pernah tahu, Ree, apakah kesempatan akan selalu ada. Aku harap kamu memikirkan kata-kataku. Aku nggak ingin kamu menyesal nantinya."
"Apa kamu sekarang mencoba menakut-nakutiku?"
"Bukan. Aku hanya berpikir ... semua orang berhak mendapatkan kesempatan kedua. Begitu pun papamu." Pras meremas jemariku. Sepertinya ia sangat ingin aku menemui Papa.
"Kamu ngomong gini karena simpati padanya atau karena kelakuan kalian hampir sama?" Aku tertawa sinis.
"Tentu saja berbeda. Aku nggak ninggalin kamu. Kamu tahu itu." Pras tampak sangat tersinggung.
"Lalu, apa yang membuatmu tetap bertahan?" tanyaku.
"Kalau kamu, apa yang membuatmu tetap bertahan?" Rahangnya mengatup rapat. Sepertinya ia mati-matian menahan diri agar tak berteriak.
"Jadi ... kamu ingin aku menyerah?"
"Ini bukan soal keinginanku, Ree. Jangan memutarbalikkan pertanyaan." Ia menghela napas frustrasi
"Bukannya kamu yang memutarbalikkan pertanyaan?" Lama-lama aku bisa meledak menghadapi situasi seperti ini. Entah mengapa saat berada di dekat Pras, emosiku gampang sekali tersulut. Ke mana perginya romantisme kami dahulu?
"Sepertinya nggak ada gunanya aku di sini. Lebih baik aku pergi, banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan," ucapku setelah kami terdiam cukup lama.
Pras berusaha menahan, dengan melingkarkan lengannya di bahuku. "Tunggu! Mumpung kamu di sini bagaimana kita bahas hal lain saja? Misalnya tentang pesta kejutan untuk Ibu yang kamu rencanakan itu, tapi nggak ngasih tahu aku sama sekali." Suaranya melunak.
"Kamu tahu dari mana?"
"Mas Yudha dan Mas Bagus menelpon dua hari lalu dan bilang akan menginap di sini besok."
"Ah, mereka nggak bisa dipercaya. Padahal sudah kubilang ini kejutan."
"Kejutan untuk Ibu, bukan? Kok kamu nggak ngasih tahu aku?"
"Pesta itu adalah kado ulang tahunku untuk Ibu. Aku memang sengaja nggak ngasih tahu kamu."
Pras mengernyitkan alis, lalu tawanya pecah seketika.
"Kenapa kamu ketawa?" Aku merengut.
"Maaf, udah sedikit merusak hadiah kejutanmu untuk Ibu. Jadi gimana, sampai mana persiapannya? Ada yang bisa aku bantu?" Ia susah payah mengulum senyum. Wajahnya jauh lebih rileks sekarang, sangat kontras dibandingkan beberapa waktu lalu.
Aku mengeluarkan agenda dari dalam tas dan membuka lembaran rincian persiapan pesta untuk Ibu.
"Hanya pesta sederhana yang diadakan di rumah Ibu, tapi aku ingin semua keluarga besar hadir. Tahun lalu kan, Mas Yudha dan keluarganya nggak bisa datang, karena ada pekerjaan yang nggak bisa dia tinggalkan. Aku juga sudah menyiapkan dekorasi dan memesan bunga-bunga favorit Ibu. Rencananya, sih sementara semuanya disiapkan, aku minta tolong Tante agar mengajak Ibu menginap di rumahnya. Nah, jam sepuluh pagi, acaranya dimulai." Aku meneliti lagi rincian persiapan pesta itu. Membayangkan betapa sibuknya nanti, membuatku bersemangat.
"Wow! Ibu pasti bahagia sekali!" Suaranya terdengar sangat antusias.
"Semoga saja," ucapku sambil menutup buku agenda. "Aku tahu Ibu kesepian dan kangen berkumpul dengan semua orang-orang yang disayanginya. Hanya saja Ibu nggak pernah ngomong secara terang-terangan, mungkin takut menjadi beban bagi anak-anaknya yang jauh."
Pras terdiam. Ada yang berbeda dari sorot matanya saat menatapku.
"Ada apa?" tanyaku heran.
"Kamu ... sangat mengerti bagaimana Ibu." Ia menepuk-nepuk punggung tanganku dengan telapak tangannya yang lebar dan hangat
Aku mengernyit heran. "Tentu saja aku mengerti, emangnya kamu nggak ngerasain?"
"Uhm, sejujurnya nggak. Aku pikir Ibu baik-baik saja. Maksudku, aku hampir menelpon tiap hari. Ibu juga selalu terdengar ceria. Kupikir ya ... nggak ada masalah."
"Kamu aja mungkin yang nggak peka."
"Ya, mungkin aku yang nggak peka." Ia tersenyum dan menatapku lamat-lamat. "Aku beruntung punya kamu yang bisa paham dan sangat perhatian pada ibuku, Ree. Pantas Ibu sayang banget sama kamu, kadang kupikir Ibu bahkan lebih saya ke kamu dari pada aku."
"Kenapa nada suaramu kayak gitu? Jangan bilang kamu cemburu padaku." Aku menepuk bahunya dan tertawa canggung. Entah mengapa caranya menatap membuatku agak salah tingkah. Astaga, bagaimana mungkin aku bisa grogi dengan Pras?
Sudah lama sekali aku tidak mengalami hal seperti ini. Merasakan hatiku agak melambung mendengar pujian darinya. Mungkin terdengar kekanakan, tapi rasanya sungguh menyenangkan, sampai-sampai tanpa sadar aku cengar-cengir sendiri.
"Cemburu? Haruskah aku cemburu?" Ia memainkan anak rambut di pelipisku. "Aku justru bahagia karena Ibu seperti mendapatkan anak perempuan yang selalu dirindukannya. Dunia Ibu selalu tentang kamu, Ree, asal kamu tahu."
Hatiku yang terasa penuh dan basah, meciptakan selaput bening di mata. Akan tetapi, aku tak ingin larut dengan perasaan sentimentil saat ini, jadi aku berusaha tersenyum sewajarnya dan menatap Pras tepat di matanya.
"Begitu pun denganku. Aku menyayangi Ibu, dan rela melakukan apa saja agar bisa melihatnya selalu tersenyum bahagia. Meskipun anaknya ... pria yang sangat menyebalkan!"
"Begitu, ya? Bagaimana kalau pria menyebalkan ini ingin menebusnya dengan mengabulkan apa pun keinginanmu? Kamu hanya tinggal menyebutkan apa yang kamu inginkan, Ree," bisiknya tepat di telingaku.
Aku terdiam. Satu-satunya yang aku inginkan hanyalah hubungan kami bisa seperti dulu. Sebelum ada Laila dan Olive dalam hidupnya. Namun jelas itu tidak mungkin. Keadaan tidak akan pernah bisa sama lagi. Meski Pras sudah berusaha sekuat tenaga memperbaiki segalanya, nyatanya hatiku sudah terlanjur patah.
Sejujurnya aku benci dengan keadaan ini.
Aku benci berada di persimpangan antara ingin menjauh, sekaligus tidak sanggup kehilangannya.
"Bisa kusimpan dulu penawaranmu? Mungkin nanti aku akan memintanya saat aku butuh. Dan kuharap kamu akan menepatinya." Aku tersenyum, sambil mengelus rahangnya sekilas.
Kami bertatapan lama. Dengan jarak yang hanya dua jengkal, garis-garis wajahnya tampak jelas. Ada sedikit kerutan di sudut matanya saat tersenyum
"Baiklah kalau itu yang kamu inginkan." Ia mengecup keningku sekilas. "Oh ya, kamu mau kan makan siang denganku hari ini?" pintanya. "Setelah makan siang, temani aku mencari kado buat Ibu. Kamu mau, kan?"
Aku hanya tersenyum samar tanpa berkata apa-apa.
Ponsel di sakunya tiba-tiba berbunyi. Ia menerima panggilan itu dengan wajah terlihat agak kesal, lalu bangkit dari sofa, menuju meja kerjanya.
"Ada apa?" gumamnya.
Bukan bermaksud menguping, tapi aku curiga itu mungkin Laila.
Pras memijit dahinya saat menyimak perkataan lawan bicaranya. "Ya, aku nanti menyusul," ucapnya lemah lalu menutup sambungan telepon dengan wajah murung.
Aku segera bangkit dan merapikan pakaianku yang agak kusut. "Sepertinya kamu ada urusan penting, dan aku juga ada pekerjaan yang sudah menunggu. Jadi lain kali saja makan siangnya."
"Reeta, sorry." Nada suaranya terdengar sangat menyesal.
"It's, okay."
"Aku antar, ya!"
"Aku naik taksi saja."
"Nggak, biar aku antar. Sekalian aku juga ke arah sana." Sorot matanya terlihat gelisah tapi berusaha ia samarkan.
Bahkan setelah kami di mobil dalam perjalanan menuju kantorku, Pras terus melamun. Sesekali ia menghela napas sambil menarik-natik rambutnya. Entah apa yang mengganggu pikirannya
"Ada apa? Kamu terlihat sangat gelisah." Akhirnya aku tak tahan lagi.
"Oh, nggak. Nggak ada apa-apa. " Ia tersenyum sekilas dan membesarkan volume tape. Mungkin agar aku tak lagi menanyainya.
Sisa perjalanan kami lalui dalam kebisuan. Aku sibuk dengan ponselku, sementara Pras sibuk dengan lamunannya.
"Nanti kalau urusanku selesai, aku jemput, ya. Kita makan malam," ucapnya saat mobil berhenti di parkiran depan kantorku.
"Jangan berjanji yang belum tentu bisa kamu tepati, Pras. Selesaikan saja dulu urusanmu. Soal makan, bisa lain kali. Nggak usah maksain diri."
"Maaf, aku benar-benari minta maaf."
"Nggak apa-apa," ucapku datar.
Ia ikut turun dari mobil dan memaksa mengantar sampai ke dalam gedung kantor, walau sudah kubilang sebaiknya ia langsung pergi.
Tepat saat kami berada di depan pintu, Maria keluar bersama seseorang.
"Hei, kalian sudah balik?" Ia tersenyum canggung pada kami.
Aku mengangguk dan tersenyum tak kalah canggung pada sosok Ryu di samping Maria. Apa yang membawa lelaki ini ke kantor kami? Jantungku berdegub kencang saat menyadari Pras hanya terdiam di sampingku.
"Hei, Pras. Apa kabar?" Ryu mengulurkan tangannya dan tersenyum ramah.
"Kamu ... Ryu?" Pras terkejut saat menyambut uluran tangan Ryu.
Aku bisa merasakan suasana mendadak terasa tidak nyaman di sekitar kami. Kulirik Maria yang sepertinya juga merasakan hal serupa.
"Lama nggak bertemu." Suara Pras terdengar kaku. Ia lalu melingkarkan lengannya di bahuku dengan tiba-tiba, entah apa maksudnya.
"Iya sudah lama sekali. Walau sebenarnya aku sepertinya sudah pernah melihatmu sebelumnya," ucap Ryu ringan sambil menatapku sekilas.
"Oh, ya? Di mana?"
"Kemaren di restauran ... atau bisa saja aku salah lihat. " Ryu tertawa tanpa beban.
Jelas Ryu mencari gara-gara. Ia seperti sengaja mempermainkan situasi canggung ini. Aku akan membuat perhitungan dengannya nanti.
"Ree, kami akan keluar sebentar sekalian makan siang. Kalian mau gabung atau bagaimana?" Maria menyela sebelum Pras sempat berkata apa-apa.
"Aku di kantor saja, Pras juga ada yang harus dia kerjakan. Soal makan siang mah, gampang." Aku menoleh ke arah Pras lalu mengecup pipinya sekilas. "Kamu hati-hati, ya. Aku masuk dulu."
Tak kuhiraukan lagi mereka bertiga yang masih berdiri di depan pintu. Aku sudah muak berada dalam situasi canggung penuh penuh basa-basi itu.
***
Sehari sebelum acara ulang tahun Ibu yang tahuh pada tanggal merah hari Senin, aku sudah berada di kediaman Ibu. Sibuk mengawasi orang yang mendekorasi rumah sesuai konsep yang sudah kami sepakati sebelumnya.
Aku menginginkan nuansa putih dan hijau dengan sentuhan etnik corak batik di beberapa bagian, ditambah hiasan bunga mawar putih serta pajangan-pajangan bergaya vintage kesukaan Ibu. Pesta dengan tema garden party ini akan diadakan di taman belakang. Dua buah tenda beserta meja prasmanan sudah terpasang. Secara keseluruhan, persiapan sudah sembilan puluh persen. Tinggal menunggu esok pagi-pagi sekali makanan dan kue ulang tahun untuk Ibu diantar. Sempurna.
Kedua kakak laki-laki Pras bersama anak dan istri mereka sempat mampir, melihat persiapannya, kemudian kembali ke hotel sore tadi setelah kami makan bersama.
"Kamu nggak capek?" tanya Pras. Ia merebahkan tubuh di sofa ruang tengah sambil mengawasiku yang tengah merapikan potongan-potangan mainan lego keponakannya yang tertinggal.
"Nggak juga." Aku duduk di karpet tepat di depan sofa yang ditempatinya.
"Mau dipijit?" Tanpa menunggu persetujuanku, ia bangkit dan langsung meraih pundakku, menekan beberapa titik di sana. Aku memejamkan mata, menikmati rasa nyaman yang perlahan menyebar dari pundak hingga ke kepala.
"Enak?" bisiknya. Napasnya yang hangat membelai tengkuk. Aku sedikit merinding dibuatnya. Oh, tentu saja aku hapal gayanya dan apa yang ia inginkan setelah pijatan ringan ini.
"Pras," tegurku ketika pijatannya mulai keluar dari jalur yang seharusnya.
Ia mengabaikan dan memilih menarikku naik ke sofa.
"Mau ngapain, sih?" elakku, tapi tak mendapat tanggapan apa-apa darinya. Ia justru sibuk mengamankanku agar tak lolos dari dekapannya.
"Haruskah bertanya lagi?" gumamnya di tengah napas menderu.
Aku mengumpat dalam hati saat menyadari pikiran dan bahasa tubuhku tak sejalan. Egoku menolak, tapi tubuh ini bereaksi sebaliknya. Tak ada yang bisa kulakukan, selain membalas perlakuannya. Bagai dua orang yang sedang berlaga di peperangan, kami saling merampok dan menghabisi sampai tak ada lagi yang terisa. Semua amarah, kekececewaan dan kepedihan yang bergayut di hatiku, melebur dalam nirwana yang baru saja ia ciptakan.
"I love you, Ree," ucapnya beberapa waktu kemudian. Ia mengusap rambut dan mengecup keningku sekilas.
Aku hanya menggumam. Pikiranku belum sepenuhnya bisa mencerna apa yang baru saja terjadi. Semua begitu tiba-tiba tanpa bisa ditolak. Lama-lama aku membenci tubuhku sendiri yang selalu saja berkhianat dengan hatiku.
"Kamu udah jadi beli kado buat Ibu?" tanyaku mencoba mengalihkan pikiran.
"Astaga, aku benar-benar lupa!" Pras bangkit dan mamakai kaosnya dengan tergesa. "Baru jam delapan lewat, mungkin kita bisa keluar sebentar mencari kado."
"Emang kamu mau beliin apa?"
Ia terlihat kebingungan dan tersenyum seperti orang bodoh padaku.
"Kamu belum ada gambaran mau beliin apa buat Ibu? Sudah kuduga," cibirku.
"Aku bernecana mengajakmu memilihkan kado buat Ibu, tapi nggak sempat wakti itu." Rautnya terlihat tak nyaman saat kami bertatapan. Mungkin teringat rencana makan siang yang terpaksa batal tempo hari
"Aku udah beliin. Tenang saja," ucapku sambil memungut pakaian dan bangkit menuju kamar mandi yang terletak di dekat dapur.
"Benarkah?" Ia menyusul dan memaksa masuk.
Pras dengan segala luka yang ia torehkan, selalu punya obat penawar yang terkadang membuatku tak berkutik. Apa yang lebih pelik selain dari berada di antara pusaran benci dan cinta, dan tak bisa memutuskan jalan mana yang akan ditempuh?
***
Setelah membersihkan diri, kami menonton film, di kamar Pras di lantai atas. Aku membawa beberapa kantong keripik kentang dan sekotak es krim lalu bergelung di dekatnya yang sedang duduk di tepi ranjang.
Ia meraih kotak es krim lalu menyuapiku sambil mengomentari film yang kami tonton.
"Sudah ratusan kali film ini kita tonton, apa kamu nggak bosan?"
"Kamu berlebihan. Nggak sampai ratusan kali juga, kali." Aku tergelak, lalu meraih tangannya agar menyuapiku lagi.
"Ngomong-ngomong, aku baru ingat. Waktu di kantormu siang itu, kenapa dia ada di sana?"
"Dia?" tanyaku heran. "Oh ... Ryu?"
"Yap!"
"Kata Maria dia ada keperluan, dan memakai jasa pengacara di kantor milik ayah Maria."
"Dia sering berkunjung?" selidiknya.
"Nggak, tuh. Baru kemaren itu saja."
Pras terdiam sambil mengorek-ngorek sisa es krim di dalam kotak. "Dia ... sudah menikah?" lanjutnya kemudian.
"Entahlah. Aku nggak tahu." Aku mulai mencium ke mana arah pertanyaan ini. Apa Pras merasa terancam dengan kehadiran Ryu yang tiba-tiba, setelah peristiwa belasan tahun lalu itu?
"Aku rasa belum." Pras memberikan sendok es krim terakhir kepadaku.
"Ya, dia menikah atau belum, bukan urusan kita juga, kan?" tanyaku heran.
Pras hanya mengedikkan bahu sambil menjilati sendok es krim.
Notifikasi yang menandakan ada pesan masuk dari ponselku, menjadi jeda obrolan kami.
Aku mengusap layar dan sedikit terbelalak menyadari orang yang baru saja menjadi topik pembahasan kami, memgirimiku pesan. Sebenarnya bukan pesan, lebih tepatnya gambar undangan, pembukaan restauran yang diselenggarakan hari Sabtu nanti.
"Siapa?" Pras mengintip. "Dari nomor tak dikenal?" lanjutnya.
Aku memang tidak menyimpan nomor Ryu di kontak, walau setelah pertemuan pertama kami dulu, ia sempat mengirimiku pesan.
"Undangan apa itu?"
Karena malas menjelaskan, aku hanya memberikan ponselku kepada Pras. Ia mengamati foto itu sekilas lalu perlahan menggeser layar ke atas.
"Ryu?" Suaranya terdengar tak biasa. Perpaduan antara terkejut dan nada tak suka.
"Dia pernah ngirim kamu pesan sebelumnya. Dan ini ... apa yang kalian bahas? Kenapa kamu minta maaf padanya?"
Sejujurnya aku agak lupa dengan topik obrolan kami waktu itu, dan dengan naifnya begitu saja menyerahkan ponsel pada Pras.
"Oh, itu ...." Aku mengambil ponsel dari genggamannya dan membaca ulang pesan yang ada di sana.
"Hanya permintaan maaf atas kesalahan di masa lalu," ucapku jujur.
"Kamu pernah bertemu dengannya sebelumnya?" Pertanyaannya terasa mengintimidasi.
"Ya ... kebetulan saja. Hari di mana kamu ninggalin aku di mall waktu itu."
Ia tertawa. Tawa yang entah mengapa terlihat sangat menyebalkan. "Kebetulan tak terduga, hm? Reuni sambil mengenang masa lalu?" tukasnya tajam.
Aku membanting ponsel ke atas meja hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras, dan menatapnya berang. "Aku memang pernah melakukan kesalahan di masa lalu. Namun aku yang sekarang, aku yang udah menjadi istrimu, tahu dengan batasanku!"
"Reeta, aku nggak bermaksud ...."
"Apa? Kamu jelas menuduhku. Jangan samakan aku denganmu, Pras. Jangan lupa, kamu yang mengkhianati pernikahan kita, bukan aku!" semburku berapi-api.
Wajahnya terlihat sangat shock. Mungkin ia lupa aku juga bisa sangat murka kalau aku mau.
"Reeta!"
Aku bergegas keluar kamar dan tak menggrubis saat Pras memanggil.
"Oke, aku salah. I am so sorry." Saat berhasil menyusul, ia merengkuh tubuhku sambil terus mengucapkan kata maaf.
"Kamu terlalu sering menghamburkan kata maaf," bisikku, hampir tak bisa bernapas karena pelukannya terlalu erat.
"Ya, dan nggak akan pernah cukup untuk bisa membuat hatimu kembali seperti dulu." Kali ini nada suaranya terdengar sedih.
Selama beberapa saat kami berpelukan di tangga tanpa berkata apa-apa lagi. Bisa kurasakan detak jantungnya di dadaku. Juga embusan napasnya di telinga yang terdengar berat seperti menanggung beban.
"Aku benci keadaan kita yang seperti ini, Ree. Aku ingin kita yang dulu," ucapnya sambil mengurai pelukan.
Aku menatap tepat di matanya. Mencoba mencari jejak-jejak kejujuran di sana. Pras memiliki sepasang mata kelam yang indah. Seperti mutiara hitam yang berkilau. Kilauan yang sering membuatku tersesat di sana, saat kami bertatapan.
Apakah aku harus memercayainya kali ini?
"Kamu tahu itu nggak mungkin, karena semua sudah nggak sama lagi," bisikku lalu memalingkan wajah.
"Kalau begitu, mengapa kita nggak bisa membuatnya berbeda? Kalau bisa, jauh lebih baik dari kita yang dulu? Aku sudah berusaha semampuku, Ree, tapi kamu nggak pernah memberiku kesempatan." Ia mengeluh. Suaranya terdengar serak
Aku tertawa. Tawa yang semula pelan, makin lama makin keras, hingga membuat bahuku berguncang.
"Kenapa kamu tertawa?" Pras terlihat agak tersinggung.
Kuempaskan pinggul ke lantai tangga, dan segera menghentikan tawa. Jiwa ragaku sangat lelah, sehingga tidak berminat berdebat dengannya saat ini. Biarlah ia sibuk berasumsi dan menyimpulkan sendiri, karena aku terlalu letih untuk peduli.
"Kamu tidur duluan, sana! Nanti aku menyusul," usirku saat ia ikut duduk.
"Ree ...."
"Please! Aku sedang ingin sendiri saat ini."
Ia bangkit juga walau terlihat enggan, lalu meninggalkanku sendirian.
Tak terhitung sudah berapa banyak kalimat bijak yang kulontarkan pada orang-orang yang butuh nasihatku. Tentang memaafkan. Tentang berdamai dengan amarah yang berkobar di dalam dada. Tentang pengampuan pada orang yang sudah menorehkan luka. Namun sayangnya aku tidak pernah berhasil menerapkan nasihat itu pada diri sendiri. Terkadang aku merasa menjadi orang munafik yang bersembunyi di balik semua topeng kearifan yang sering kutampilkan itu.
Faktanya, aku belum bisa memaafkan Pras. Aku belum puas melihat wajahnya yang selalu merasa serba salah saat kami bersama. Pemandangan yang tanpa sadar kunikmati diam-diam. Walau terkadang aku merasa sangat jahat, tapi sisi hatiku yang lain mengatakan, ia pantas mendapatkannya.
Kepalaku terasa sangat sakit. Seperti ada ribuan jarum yang menusuk-nusuk dari dahi hingga ke bagian belakang kepala. Aku butuh tidur yang nyenyak untuk melupakan segala rasa sakit ini. Sedikit sempoyongan aku bangkit dan berjalan ke bawah menuju ruang tengah di mana tasku berada dan menemukan pil itu.
Rasanya belum lama tertidur ketika terdengar suara Pras sayup-sayup memanggil, dan perlahan mengusir rasa kantuk yang bergayut di mataku.
"Bagaimana bisa aku tidur di sini?" tanyaku mencoba bangkit dari kasur empuk milik Ibu.
"Semalam kamu ketiduran di sofa ruang tengah. Aku nggak kuat mengangkatmu ke atas jadi terpaksa kubopong ke kamar Ibu," jawabnya sambil tersenyum lembut.
Pras terlihat sudah rapi pagi ini. Ia memakai kemeja putih yang lengannya digulung sampai ke siku dengan bawahan celana denim biru laut. Rambutnya yang sedikit basah, disisir sekenanya. Aroma segar citrus dari sabun mandi yang sangat kukenali menguar dari tubuhnya.
"Pukul berapa?" Aku menyingkirkan selimut dan turun dari ranjang.
"Sudah hampir setengah tujuh. Kita harus bergegas. Sebentar lagi mungkin orang catering akan datang."
Oh bagaimana bisa aku kesiangan padahal banyak sekali yang mesti dipersiapkan? Ini hari yang sangat istimewa dan aku tidak ingin semua berantakan karena kecerobohanku sendiri.
Aku selesai mandi dan berdandan, bertepatan dengan kedatangan seseorang yang mengantarkan bunga segar pesananku. Puluhan kuntum mawar, lily dan krisan mengisi vas-vas bunga yang sudah dipersiapkan sebelumnya di meja dan di beberapa tempat lainnya.
Satu jam kemudian, rombongan saudara Pras dan keluarganya datang. Suasana rumah seketika menjadi ramai, apalagi oleh suara anak-anak mereka yang berlarian di halaman belakang tempat pesta kejutan untuk Ibu akan diadakan.
Pras dan dua kakak laki-lakinya itu segera menuju gazebo sambil mengawasi anak-anak bermain, sedangkan aku, bersama kedua kakak ipar menunggui petugas catering yang sedang menyusun makanan dalam wadah-wadah di meja prasmanan
"Kamu mempersiapkannya dengan sempurna, Re," kata Mbak Alin istri Mas Yudha, sambil mencomot sebuah cake potong. Ia berjalan agak kepayahan karena sedang hamil besar.
"Aku senang melakukannya, Mbak. Aku juga senang banget kita bisa berkumpul lengkap di sini."
"Nggak sabar kita ekspresi Ibu saat tahu kita semua udah di sini," timpal Mbak Rani.
"Oh ya, Ree. Kamu sama Pras ... baik-baik saja kan?" bisiknya kemudian.
Aku menatapnya heran. "Kami baik-baik saja. Kenapa Mbak tiba-tiba nanya kayak gitu?"
"Nggak, kok. Jangan salah sangka. Aku ... aku senang kalian baik-baik saja," ucapnya agak gelagapan.
Dibandingkan dengan Mbak Alin, entah mengapa sejak dulu aku merasa Mbak Rani seperti selalu ingin tahu kehidupan pribadiku dengan Pras. Walau jarang bertemu karena beda kota, tapi tiap kali berkunjung ke sini, ia selalu melayangkan tatapan yang aku pun tidak tahu persis apa artinya. Seperti ada yang ingin ia tanyakan. Perpaduan rasa penasaran yang besar dan juga kekhawatiran. Mungkin hanya perasaanku saja, tapi sungguh aku tidak nyaman dengannya.
Setelah berbasa-basi sejenak aku meninggalkan Mbak Rani dan bergabung dengan para keponakan Pras. Kami bercanda dan sesekali saling melontarkan ledekan lalu tertawa terbahak-bahak. Berada di antara mereka selalu berhasil membuatku melupakan kesedihan dan kerinduan pada hadirnya sosok anak.
Beberapa meter dari sini, kulihat Pras sedang serius mengobrol dengan kakaknya, tapi aku tahu ia terus mengamatiku. Ia tersenyum dengan mata berbinar-binar saat kami tak sengaja bertatapan. Sama sepertiku, ia juga terlihat bahagia sekali hari ini.
Sesuai dengan yang sudah direncanakan, pukul sepuluh, Tante Ratna mengantarkan Ibu pulang. Dan bisa ditebak, perempuan tercinta itu awalnya terpaku saat menyadari kami semua menyambutnya di halaman belakang. Bibirnya bergetar dan matanya berlinang saat satu persatu dari kami mengucapkan selamat ulang tahun sambil memeluknya.
"Ibu pikir kalian lupa," isaknya saat Pras mengecup pipinya.
"Bagaimana mungkin kami lupa?" Pras lalu memeluk bahuku dan berkata," Reeta jauh-jauh hari sudah menyiapkan ini semua untuk Ibu."
Aku meringis, sedikit jengah saat Ibu dan Pras menatapku lekat sambil tersenyum lebar.
"Ini belum seberapa dibandingkan kasih sayang yang Ibu berikan untuk kami." Dadaku terasa sedikit sesak oleh keharuan yang menyeruak saat Ibu memelukku.
"Terima kasih, Sayang," ucapnya lembut.
Kami kemudian berjalan beriringan menuju tenda utama, lalu mengelilingi Ibu yang duduk di depan kue ulang tahun. Setelah berdoa, dan mengucapkan semua harapan dan rasa terima kasihnya, Ibu memotong kue dan memberikan satu persatu kepada kami. Kulihat matanya berkaca-kaca tapi senyum tak lepas dari bibirnya. Aku bahagia karena semua berjalan sesuai dengan rencana. Euforia pesta kejutan ulang tahun ini, membuat kepalaku terasa ringan seperti kapas.
Setelah menerima kue bagianku, aku diam-diam menyingkir ke teras di dekat rimbunan bunga melati. Mengamati Ibu bercanda dengan anak dan cucu-cucunya dari kejauhan sambil melamun. Lalu tanpa bisa dicegah sebuah perasaan asing mengusik hati. Rasa bahagia yang semula memenuhi dada perlahan terkikis, dan meninggalkan sebuah lobang kosong yang menyakitkan. Tiba-tiba aku merasa sangat kesepian.
"Ree, kamu di sini, toh? Itu dicariin Ibu dari tadi." Suara Mbak Rani mengejutkanku.
"Oh, iya, Mbak. Ada apa, ya?"
"Mau foto bareng-bareng lagi kata beliau. Kayak nggak tahu Ibu aja, apa-apa pasti kamu terus yang diingat," katanya tersenyum menggoda.
Aku merasa tidak enak hati, terlebih Mbak Rani kembali memberiku tatapan itu lagi. Tatapan tajam yang seolah menembus isi kepalaku.
"Kamu ... baik-baik saja, kan?"
"Aku baik-baik saja kok, Mbak emangnya ada yang aneh, ya dengan wajahku?" tanyaku mencoba tertawa.
Mbak Rani ikut tertawa lalu mengajakku kembali bergabung ke tenda utama. "Kalau ada yang ingin kamu ceritakan, jangan sungkan-sungkan ya, Ree. Kamu sudah seperti adik bagi kami semua," bisiknya sebelum kemudian berbaur dengan yang lainnya.
Aku tertegun. Mengapa Mbak Rani seperti sangat mengakhawatirkanku? Apakah wajahku terlihat seperti orang depresi? Pertanyaan demi pertanyaan bergulir di dalam kepala, tapi segera kutepis saat Ibu menarik tanganku mengajak berfoto.
"Ibu bahagia sekali hari ini. Bisa berkumpul bersama kalian. Jarang-jarang kita kayak gini. Nanti kalau Ibu udah nggak ada, Ibu pengen kalian tetap selalu rukun dan saling menjaga satu sama lain. Itulah gunanya keluarga."
Kami semua hanya mengangguk tidak berkata apa-apa, tapi aku yakin sama sepertiku yang lain juga terharu dengan perkataan Ibu.
Pras menggeser duduknya sehingga tak ada lagi jarak di antara kami. Ia memeluk bahuku dan berkata, "Sebenarnya nggak hanya Reeta yang punya kejutan untuk Ibu, aku juga. Nanti malam kita semua menginap di Bogor, ya. Aku sudah booking penginapan. Tempatnya adem dan menyatu dengan lokasi wisata dan tempat bermain untuk anak-anak juga. Kalian semua pasti suka."
Semua keponakan Pras bersorak kegirangan.
"Wah, kalau gitu kita mesti siap-siap ini." kata Ibu tak kalah semringah.
"Kamu kok nggak bilang-bilang, sih?" Aku menyikut pinggang Pras gemas.
"Emang hanya kamu saja yang punya kejutan?" Ia tergelak.
Tak lama kemudian kami segera mengemasi sisa-sisa makanan dan merapikan kursi dan meja yang berantakan. Rencananya kami akan berangkat selepas zuhur.
Aku naik ke lantai atas untuk berkemas. Setelah merapikan semua barang-barang, kurebahkan tubuh di kasur guna melepaskan lelah barang sejenak. Saat mengubah posisi badan, mataku tertumbuk pada ponsel yang semalam kubanting saat bertengkar dengan Pras, berkedip-kedip di atas nakas. Sepertinya ada panggilan tak terjawab. Kuraih ponsel tersebut lalu menyentuh layarnya, dan terkejut saat mendapati ada dua belas panggilan tak terjawab dari Laila, sekitar tiga jam yang lalu. Perasaanku menjadi tidak enak. Untuk apa perempuan itu menghubungiku?
Kulempar ponsel ke bawah bantal, mencoba mengabaikan. Sungguh aku tidak ingin kebahagiaan hari ini harus dirusak oleh perempuan itu. Namun saat berusaha memejamkan mata, rasa penasaran terus mengusik pikiran. Ada apa dengan Laila?
Setelah menimbang-nimbang, akhirnya aku menghubunginya. Sayang sekali panggilanku tidak diangkat.
Oh, persetan dengan Laila! Aku kembali memejamkan mata berharap rasa kantuk membuatku melupakannya. Namun setelah beberapa waktu berlalu, tak jua membuatku tertidur.
Dengan gusar aku turun ke lantai bawah, tapi tak ada siapa pun yang kujumpai. Keheningan yang ganjil membuatku keheranan. Kemana orang-orang? Ruang makan kosong, begitu pun ruang tengah. Aku menuju ruang tamu yang letaknya memang agak jauh di depan. Sayup-sayup terdengar suara orang bercakap-cakap.
Tak pernah terbayangkan sedikit pun olehku, akan menjumpai pemandangan seperti ini di sini. Di rumah Ibu, di hari paling mrmbahagiakan dalam hidupku. Ibu duduk memangku seorang gadis kecil sambil menciumi rambut ikalnya. Di samping Ibu perempuan berrambut kemerahan yang sangat kukenali itu duduk menunduk sambil meremas-remas jemarinya. Sementara lelaki itu, lelaki yang paling kucintai di dunia, membisikkan entah apa padanya. Mas Yudha dan istrinya terlihat tersenyum kecil sambil mengawasi Ibu, sedangkan Mas Bagas sibuk dengan ponselnya.
Orang pertama yang menyadari kehadiranku adalah Mbak Rani. Ia terkejut sekaligus menatap penuh simpati.
"Reeta ...." sapanya kikuk.
Semua yang ada di sana, menoleh ke arahku, kecuali perempuan itu. Ia malah menundukkan wajahnya semakin dalam.
Aku tak mampu berkata apa-apa. Lututku juga terasa goyah seakan tak mampu menopang bobot tubuhku. Semuanya sangat mengejutkan sekaligus membingungkan. Apa yang sudah kulewatkan?
-bersambung-
"
"
"
"
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
