BROKEN SOUL (Lelaki yang Kau Curi)

5
0
Deskripsi

Bab 1-5

Bab 1

Aku akhirnya menyanggupi untuk bertemu, setelah hampir tiga minggu perempuan itu menerorku lewat pesan singkat dan juga telepon. Dari pintu masuk kafe kecil--tempat yang sudah kami sepakati untuk bicara--di salah satu mall tengah kota, kulihat ia berjalan dengan tergesa-gesa. Matanya celingukan, hingga akhirnya terpaku ketika melihatku di meja paling sudut.

"Maaf, aku terlambat. Kamu tau kan, Jakarta selalu macet?" Ia mengempaskan pantatnya pada sofa di depanku, bahkan sebelum sempat dipersilakan.

Perempuan itu memakai terusan selutut berwarna merah gelap, tanpa lengan. Scarf dengan logo salah satu brand ternama menutupi lehernya yang jenjang, begitu pun dengan tas tangan dan stiletto yang mengetuk-ngetuk lantai ketika ia berjalan, seolah-olah menunjukkan di kelas mana ia berada. Riasan wajahnya juga cukup mencolok untuk mengunjungi kafe kecil ini. Satu hal yang aku pahami dari tampilannya; ia mungkin sudah jauh-jauh hari mempersiapkan outfit apa yang akan dikenakannya ketika kami berjumpa, dan ingin mengintimidasiku dengan semua kemewahan yang melekat pada tubuhnya.

"Kamu mau minum atau makan sesuatu?" tawarku yang langsung disambutnya dengan gelengan.

Selama beberapa saat kami hanya diam. Awalnya kupikir ia akan datang dengan penuh emosi. Memaki atau berteriak karena mengabaikannya berhari-hari. Tapi tidak. Ia terlihat seperti anak kucing yang kedinginan karena diterpa hujan. Rapuh. Tampilan sempurna itu tak bisa menyamarkan luruh sorot matanya.

"Udah lebih dua minggu dia nggak pulang," ucapnya lirih, lalu meremas-remas ujung jemarinya gelisah. Ia menunduk seperti tak berani menatap wajahku.

“Dia di rumahku, beberapa hari ini.” Mendadak mulutku terasa kering dan asam. Kusambar rokok diatas meja, lalu menyulutnya. Aku tidak suka perasaan tidak nyaman yang menjalar di perutku yang sudah sejak tadi kutahan sebelum ia datang.

Suara denting gelas dan dengungan pembicaraan pengunjung kafe menjadi latar saat aku dengan sabar menunggu apa yang ingin ia sampaikan di pertemuan kami ini. Mata dengan maskara tebal itu mengerjap, dan setetes air mata jatuh dan membasahi pipinya.


"Tolong ...." Suaranya tercekat. "Tolong kembalikan suamiku, Reeta!"

Makin lama, tetesan air di matanya mengalir makin deras, hingga ia kesusahan menyekanya. Aku tak tahu harus berkata apa. Tanpa sadar kuhirup rokok dengan kuat hingga napasku terasa sesak, dan mengembuskannya dengan hati gundah.

Bagaimana caranya mengembalikan suaminya kalau aku tak pernah mengambilnya? Lelaki itu juga suamiku. Ia kukenal sekitar enam belas tahun yang lalu ketika kami masih berseragam putih abu-abu. Ia sahabatku dan juga cinta pertamaku. Kami dua sejoli tak terpisahkan hingga akhirnya perempuan ini hadir dan mencurinya dariku.

"Bukankah kamu yang mengusirnya?" tanyaku datar, teringat jawaban Pras saat aku menyindirnya karena masih saja mendekam di rumahku berhari-hari. Tak kusangka ternyata ia telah menghilang lebih dari dua minggu dari rumah Laila. Jadi ke mana ia sebelum ke rumahku?

Laila mengambil tisu dan mengelap sudut matanya. "Kami … udah biasa bertengkar, dan biasanya dia paham aku nggak pernah sungguh-sungguh dengan ucapanku. Aku … membutuhkannya. Anakku selalu memanggil-manggil ayahnya."

Bahunya berguncang meredam isak tangis.
Hatiku seperti dikucuri air es. Anak. Ya, anak. Hal yang belum bisa kuberikan pada Pras, hingga akhirnya ia terpaksa menikahi perempuan ini.

"Kamu kan bisa menghubunginya langsung dan membicarakan masalah ini baik-baik,” ucapku enteng, walau di dalam hati berkecamuk. Sesungguhnya aku tidak peduli dan tidak ingin tahu apa yang terjadi dengan mereka.

Ia menatapku sejenak, kemudian mendecih sinis, "Kamu pikir untuk apa aku menghubungimu? Dia nggak pernah mengangkat telponku sejak meninggalkan rumah!”

"Jadi, apa yang kamu harapkan dariku?" Aku mencoba  berbasa-basi.

"Dia ... aku tahu dia selalu menurut apa pun katamu. Tolong bujuk dia agar pulang ke rumahku!"

Aku selalu tak habis pikir dengannya. Terlalu blak-blakan dan suka meminta hal yang sekilas terasa konyol, tapi juga egois. Rasanya baru kemarin ia bersimpuh di kakiku, memohon agar bisa menikah dengan Pras, dan sekarang berlagak sebagai nyonya besar.

Wajahnya terlihat sembab, maskaranya luntur meninggalkan bercak kehitaman di sekitar mata. Menyedihkan. Kuembuskan asap rokok pelan, membentuk bulatan-bulatan putih yang akhirnya memudar. Sesaat aku ingin tertawa. Aku ingin menertawakan nasib kami berdua, tapi tak kulakukan.

"Pras pasti akan pulang ke rumahmu atas kemauannya sendiri. Aku nggak bisa membujuknya, Laila. Dia pria dewasa yang punya kendali atas hidupnya." Hanya itu yang bisa kukatakan.

Laila menatapku lekat, ada yang berbeda dari raut wajahku. Seperti ada sesuatu yang ingin ia utarakan, tapi ragu. Selama beberapa saat ia hanya diam, hingga akhirnya bersuara juga.

“Apa ... apa kamu membenciku, Reeta?" Suaranya sangat pelan. Lebih mirip seperti gumaman.

Aku tak menyangka ia menanyakan hal itu. Setelah semua yang terjadi, mengapa baru sekarang ia ingin mengetahui bagaimana perasaanku? Jujur saja, aku tak tahu apa yang kurasakan pada Laila. Aku sudah mati rasa.

“Apa itu penting?" Kujejalkan puntung rokok pada asbak.

“Ya ... dan juga tidak. Aku hanya penasaran. Aku perempuan yang jahat, kan?" Ia tersenyum getir.

Aku mencoba menebak-nebak apa maksud di balik pertanyaannya. Laila terlihat begitu rapuh dan seperti menanggung beban yang teramat berat. Pandangannya begitu kosong, persis seperti bertahun-tahun lalu saat kami bertemu di sebuah acara yang diadakan BHC.

“Awalnya dulu aku memang menggoda Pras. Dia tampan dan punya banyak uang. Apalagi kudengar ... berkali-kali kalian gagal memperoleh anak."

Ucapannya terasa begitu menusuk. Namun aku sudah kebal. Aku sudah lama berdamai dan menulikan hati dan telinga mengenai hal itu. Mengapa harus tersinggung kalau kenyataannya memang begitu? Aku belum bisa memberinya anak, sedang perempuan ini bisa.

Walau begitu, tetap saja aku ingin memakinya “Ber**gs*k”. Apa ia pikir aku manusia berhati besi yang tak punya perasaan?

Ia melanjutkan ucapannya sambil menatapku gelisah. “Kemudian, ketika dalam perjalanan dinas ke Bandung ...."

"Hentikan!" Suaraku bergetar. Aku sudah lama tahu keseluruhan ceritanya. Mendengarnya kembali apalagi dari mulut Laila, hanya akan membuat luka lamaku kian meradang. Ratusan hari aku mencoba menghapus memoriku tentang skandal itu, dan sekarang ia memuntahkan kembali ke hadapanku.

“Aku mencintainya, Reeta. Aku hanya ingin dia tau kalau aku benar-benar mencintainya. Selama ini dia pikir, aku hanya mengejar uangnya." Laila kembali tersedu.

“Pulanglah!" ucapku lelah. “ Nggak ada yang perlu dibicarakan lagi.”

Laila tertegun, lalu mengalihkan pandangan ke arah lain. Gurat kepedihan terlihat jelas pada wajahnya, seperti pesakitan yang menunggu vonis dari hakim. Pasrah. Namun apa peduliku? Nasibku tak lebih baik darinya. Kami sama-sama dipermainkan oleh cinta keparat dari lelaki yang sama. Sama-sama terluka, tanpa berniat untuk benar-benar menyembuhkannya. Konyol, bukan?

Menit demi menit berlalu dalam keheningan, hingga akhirnya ia bangkit, merapikan scarf-nya dan melangkah pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tubuhnya yang tinggi semampai perlahan menghilang dikeramaian. Siapa yang akan menduga gadis lusuh itu bisa berpenampilan seperti ini sekarang? Ia terlihat modis dan gaya. Barang-barang branded yang melekat di tubuhnya, tentu saja aku tahu bukan barang murah. Pras sepertinya tak segan-segan menghamburkan uang untuknya.

Perasaan tak nyaman kembali menjalar di perut dan membuat jantungku berdebar-debar gelisah. Seperti dibayangi oleh sesuatu tak kasat mata yang membuatku merasa cemas dan terancam.

Seharusnya aku tahu, hal ini akan terjadi. Seharusnya aku tidak menyerah dan tetap bertahan dengan pengabaianku pada pesan-pesan yang dikirimkannya. Seharusnya kami memang tidak boleh bertemu kembali. Jemariku bergetar saat menyambar sebatang rokok untuk meredam semua kecemasan ini.
Tak lama, batuk tanpa henti menyerangku. Kuambil sapu tangan dan menutupkannya ke mulut dengan napas tersengal. Setelah berhenti, kulihat bercak darah di sana.

Bagus, Reeta!

Sudah tiga kali aku mendapati ada bercak darah yang ikut keluar ketika dilanda batuk hebat. Berbagai kemungkinan penyebabnya sempat terlintas di pikiran, tapi segera kutepis. Rumah tanggaku saja sudah cukup kacau, aku tidak mau menambahnya lagi dengan bayang-bayang ancaman penyakit.

Kulempar tisu bernoda darah itu ke dalam tong sampah dan segera beranjak ke basement, tempat mobilku terparkir. Maria baru saja mengabari kalau ia ada keperluan di kantor ayahnya, sedangkan ada beberapa orang yang datang ke tempat kami. Relawan yang ada cukup kewalahan sehingga ia menyuruhku segera kembali.

Aku tiba di kantor empat puluh lima menit kemudian dan langsung disambut Rara, mahasiswi psikologi yang sebentar lagi akan diwisuda. Ia salah seorang relawan dan sering menghabiskan waktu di sini bersama dua orang temannya yang lain.

"Itu ada kasus KDRT kayaknya. Lebam semua wajahnya, Mbak," bisiknya ketika aku melemparkan pandangan penuh tanya pada sosok perempuan muda yang sedang menelungkup di atas meja. Aku hanya mengangguk, lalu menghampiri perempuan itu.

"Selamat siang, Mbak. Yuk masuk ke ruangan saya," sapaku sambil memeluk bahunya. Ia mendongak, dan menatapku agak terkejut. Matanya terlihat memerah seperti baru habis menangis. Di sekeliling matanya ada luka lebam membiru.

Aku tak melepaskan pelukan hingga kami masuk ke ruanganku dan ia akhirnya duduk di sofa.

"Ceritalah," ucapku sambil mencoba tersenyum. Sungguh sangat susah untuk mengabaikan pemandangan mengenaskan dari sosok di hadapanku ini.

Tidak hanya ada luka lebam di sekitar mata kirinya, batang hidungnya juga di plester, mungkin patah terkena tonjokan. Selain itu sudut bibirnya robek dengan luka yang hampir mengering. Pemandangan yang sebenarnya cukup sering kutemui.

“Aku nggak tahan lagi. Aku nggak tahan lagi, Mbak!" Ia kembali menangis dengan bahu berguncang. Untuk beberapa saat aku membiarkannya melepaskan semua beban emosinya.

"Dipukuli suami?" tanyaku sambil menyodorkan tisu, setelah tangisnya mulai reda. Ia hanya mengangguk.

Aku membaca sekilas biodatanya pada dokumen yang diberikan Rara tadi. Sonya Dewanti, usia 24 tahun, status di KTP tertulis belum kawin.

"Sejak kapan?"

Ia merapikan rambutnya yang awut-awutan dengan jepitan, lalu berkata lirih, "Beberapa bulan belakangan ini ... dia mulai bertingkah kasar setelah hubungan kami diketahui istrinya."

Sesaat aku tertegun. Rasanya aku pernah berasa pada situasi ini sekitar dua tahun yang lalu. Ketika seorang gadis begitu depresinya karena hamil di luar nikah dengan lelaki yang baru terakhir ia akui kalau sudah beristri. Ia takut lelaki itu tidak mau bertanggung jawab dan hampir saja mau mengakhiri hidupnya waktu itu. Laila. Ya, Laila dulu cukup sering mengikuti acara-acara yang diadakan BHC.

Aku pernah memberikan dukungan moril padanya agar tak putus asa dan mendorongnya untuk terus menuntut lelaki itu agar bertanggung jawab. Hanya saja aku terlambat mengetahui, kalau lelaki berengsek itu adalah suamiku sendiri.

“Kamu tahu lelaki itu udah beristri ketika dia menikahimu?" Aku tak kuasa menahan nada suaraku agar tidak meninggi. Entah mengapa tiba-tiba saja aku geram pada perempuan di hadapanku ini.

Sonya mengangguk pelan. "Dia bilang, dia nggak bahagia dengan istrinya. Dia bilang dia mencintaiku, Mbak." Matanya berkaca-kaca.
Begitukah yang dikatakan Pras dulu ketika berselingkuh dengan Laila? Aku masih ingat betapa ia menyangkalnya habis-habisan dan bersimpuh memohon maaf di kakiku. Katanya ia dijebak Laila. Tapi siapa peduli? Yang jelas ada benihnya yang sudah tumbuh di rahim Laila. Benih yang selalu kurindukan bisa tumbuh di rahimku. Aku menelan ludah yang tiba-tiba terasa pahit.

“Cinta nggak akan menyakiti, bukan?" Aku tersenyum sedih sambil mengamati bekas luka di wajahnya. "Apa yang membuatnya memukulimu seperti itu?" lanjutku kemudian.

“Dia udah jarang mengunjungiku. Sedang aku butuh dia. Aku sedang hamil, dan dia menyangkal kalau ini anaknya. Lalu kami bertengkar hebat." Ia menutup wajahnya. Tangisnya kembali pecah.

“Apa rencanamu?"

"Aku ingin menggugatnya atas kasus penganiayaan. Aku akan bercerai dan meminta ganti rugi dan juga nafkah untuk anakku nanti!" semburnya berapi-api.

“Tolong aku, Mbak. Tolong carikan pengacara yang bisa mendampingiku!"

“Tenanglah! Yang harus kamu pahami dulu, anak yang lahir dari pernikahan di bawah tangan, nggak mendapat hak apa-apa secara hukum negara dari ayahnya. Apalagi suamimu juga nggak yakin kalau itu anaknya." Kulihat ia terpegun.

"Tapi kita bisa saja menggugatnya atas kasus penganiayaan," hiburku. "Nanti urusan hukum bisa kita serahkan kepada yang lebih paham. Nanti bisa meminta pandangan Maria yang lebih mengerti soal itu."

Sonya menyusut air mata lalu mengelus perutnya yang terlihat membuncit. Aku terenyuh melihatnya. Tak lama kemudian mengalir semua cerita awal pertemuannya dengan sang suami. Sesekali ia tersenyum saat mengenang masa-masa bahagia bersama pria yang itu.

“Kamu harus kuat demi anakmu. Jangan putus asa dan bertindak bodoh yang justru membahayakan calon anakmu!" pesanku sebelum akhirnya ia pamit.

"Makasih udah mendengar semua uneg-unegku, Mbak Reeta." Ia memelukku erat hingga akhirnya beranjak pergi.

Aku tercenung cukup lama setelah kepergiannya. Suasana hatiku ikut memburuk. Mungkin pertemuan dengan Laila tadi menjadi salah satu pemicunya. Mengapa ia sesedih itu? Apa yang sebenarnya terjadi pada rumah tangga mereka? Aku benci mengakui kalau aku ternyata peduli.

Tak mau berlama-lama memikirkan perempuan itu, aku justru mengeluarkan sebuah foto dari dalam laci. Foto pernikahanku dengan Pras tujuh tahun yang lalu. Betapa senyum bahagia yang terukir di wajah Pras saat menatapku di dalam pigura, terasa memuakkan saat ini. Siapa sangka lelaki yang sudah bersumpah setia padaku, tega mengkhianati pernikahan kami?

"Reeta, aku ingin kamu menjadi kekasihmu sepanjang usiaku. Aku ingin menghabiskan waktu denganmu selamanya. Aku ingin menikahimu. Apa kamu mau?" Lamaran indah itu diucapkannya di hari ulang tahunku ke-24 dan disaksikan semua sahabat-sahabat kami yang hadir.

Waktu SMA ia selalu memanggilku, Queen. Ratu. Aku ratu dan ia rajanya. Begitu yang selalu ia dengungkan ketika kami membangun istana cinta, hingga akhirnya datang penggoda bernama Laila yang menghancurkan segalanya. Tanpa sadar air mataku menitik di atas foto yang dilapisi kaca yang berada di pangkuan.

Bab 2

LELAKI YANG KAU CURI

Bagian 2

Kita pernah 
Saling mendamba
Saling memuja
Saling tergila-gila
Tanpa pernah mengira
Apakah itu selamanya?

***

Lampu teras belum menyala ketika aku sampai di rumah menjelang pukul sepuluh malam. Saat masuk, kegelapan langsung menyergap. Aku mengempaskan tubuh ke sofa, tanpa berniat menyalakan lampu. Kejadian hari ini benar-benar menguras emosi dan juga energi.
Mataku yang mulai terbiasa dalam gelap, samar-samar menangkap bayangan seseorang duduk di ruang tengah. Tubuhku menegang ketika bayangan itu bangkit dan berjalan mendekat.

“Pras?"

"Kenapa bersembunyi di kegelapan, Ree?" Suaranya terdengar parau. Ia duduk di sampingku dan menggenggam tanganku erat. Ini agak berbeda dengan Pras yang beberapa hari ini terlihat ceria walau sering kutanggapi dengan datar bahkan kadang ketus.

"Bukannya kamu juga begitu? Kenapa kamu bersembunyi di kegelapan?"

Ia terdiam lama. Hanya helaan napasnya yang terdengar begitu jelas di telingaku. Sudah lama percakapan kami seperti ini. Ia bertanya dan aku melontarkan pertanyaan balik. Semakin hari hubungan kami semakin dingin dan berjarak.

“Teleponmu mati seharian. Aku khawatir," ucap Pras akhirnya.

“Batraiku habis."

“Kamu tadi … bertemu Laila?" Nada suaranya terdengar sangat lirih.

Tanpa dijawab pun, aku yakin ia sudah tahu. Aku menduga Laila sudah mengiriminya pesan setelah kami bertemu.

“Dia ingin kamu pulang ke rumahnya. Katanya anakmu merindukan ayahnya.” Dadaku sesak saat mengucapkan itu.

Genggaman Pras semakin erat, seolah aku adalah tempatnya bergantung, karena tak punya pegangan lain. Aku meloloskan diri dari genggamannya, kemudian segera bangkit dan berjalan menuju kamar. Membicarakan lebih lanjut tentang perempuan itu, hanya akan membuat lukaku tak kunjung sembuh.

Setelah membersihkan tubuh dan bersiap-siap tidur, Pras masuk. Ia duduk di tepi ranjang dan menyodorkan sebuah wadah plastik kecil.

“Aku menemukan ini di lemari obat tadi." Tatapannya mengunci mataku, menuntut sebuah penjelasan.Aku mengambilnya tanpa berkata apa-apa.

“Sejak kapan kamu mengonsumsi obat penenang, Ree?"

Perlukah kujelaskan, Pras? Aku yakin kamu sudah tahu jawabannya. Atau malah hatimu begitu tumpulnya sehingga tidak bisa menganalisa mengapa aku butuh penenang? Hidupku kacau sejak mengetahui skandalmu dengan Laila!

"Baru belakangan ini. Pekerjaan di BHC benar-benar menguras pikiranku," jawabku tanpa memandang matanya.

"Kamu nggak pernah cerita apa-apa padaku. Bahkan ... kita sudah lama nggak saling bicara dalam artian sebenarnya. Kamu menyembunyikan sesuatu?" Matanya yang gelap berkiluan dibawah temaram cahaya lampu.

Oh, Tuan Prasetya Utama yang terhormat, bagaimana kita bisa bicara kalau tubuh dan pikiranmu terbagi di dua tempat? Aku sudah lama membiasakan diri untuk tidak lagi tergantung padamu dan menelan semua cerita yang seharusnya kubagi denganmu.
Pernikahan kita sudah lama kehilangan maknanya sejak Laila dan anak kalian hadir dalam hidupmu. Aku bukan lagi satu-satunya yang bertahta di hatimu. Kian hari, kita semakin asing satu sama lain. Hanya saja aku tidak habis pikir mengapa kita masih saja bertahan dalam ikatan ini?

Masih jelas dalam ingatanku di suatu malam setelah menghadiri ulang tahun pernikahan orang tua Pras yang ke-30, ia mengantarku pulang. Dalam perjalanan kami membahas banyak hal, hingga entah mengapa tiba-tiba saja ia menanyakan kehidupan pernikahan seperti apa yang ingin aku jalani setelah kami menikah nanti.

Jujur aku tidak punya gambaran ideal. Pernikahan Papa dan Mama yang kandas di tengah jalan, membuatku tak berani memimpikan apa-apa. Namun, setelah melihat betapa harmonis dan bahagianya kedua orang tua Pras walau sudah tiga dasawarsa hidup bersama, meninggalkan kesan tersendiri di hatiku.

“Menurutmu, apa yang membuat suatu hubungan pernikahan langgeng dan kedua pasangan selalu setia hingga menua bersama?" tanyaku waktu itu.

Pras tersenyum kecil, dan meraih jemariku. "Cinta?" katanya balik bertanya.

"Bahkan kata orang cinta bisa memudar seiring berjalannya waktu," ucapku skeptis.

"Aku mencintaimu sejak kita masih belasan tahun, dan nggak pernah memudar." Pras tergelak. Ia sepertinya sengaja menggodaku.

"Siapa yang bisa menjamin kamu akan tetap begitu kalau kita nanti menikah?"

"Nggak usah memikirkan hal yang belum terjadi. Bagaimana kita bisa tahu kalau belum menjalaninya?"

"Maksudmu?"

"Mari menikah. Dan kita akan tahu bagaimana." Ia meraih jemariku dan menggenggamnya dengan telapak tangannya yang lebar dan hangat.

Ajakan menikah sudah sering dilontarkan Pras, tapi selalu kutanggapi dengan setengah hati. Aku merasa hubungan kami sudah nyaman dengan begini saja. Sepasang kekasih dan juga sahabat baik, aku belum menginginkan tingkatan yang lebih jauh.

"Aku belum bisa meyakinkan diri kalau pernikahan akan membuat hubungan kita jauh lebih baik dari sekarang. Maksudku ... aku belum siap dengan perubahan yang terjadi setelah kita menikah."

"Nggak ada yang berubah, hanya saja hubungan kita legal secara agama dan hukum negara." Dia tersenyum lalu mengecup jemariku sekilas.

Ucapannya terdengar begitu yakin, tanpa beban. Seharusnya aku bahagia, bukan? Sama seperti umumnya para gadis yang bahagia diajak menikah oleh kekasihnya. Namun saat kutelisik jauh ke lubuk hati paling dalam, aku justru ketakutan.


“Aku ... aku akan memikirkannya."

Ia menghela napas dalam yang terdengar seperti ungkapan kekecewaan, tapi tak berkata apa-apa. Ya, tentu saja, karena ia adalah Pras. Lelaki paling pengertian yang pernah kukenal.

“Aku akan selalu sabar menunggumu," ucapnya kemudian sambil tertawa kecil dan mengacak-acak rambutku.

Lalu pembicaraan kami beralih ke topik lain sambil sesekali menyanyi dan tertawa-tawa bersama mengikuti lagu yang mengalun dari tape mobil. Betapa aku merindukan masa-masa itu.

“Reeta?" Pras melambaikan tangan di depan wajahku.

“Eh, apa?" Aku terkejut.

“Ngelamunin apa?" Mata besarnya menatapku penuh selidik. Percayalah terkadang aku tidak kuat lama-lama bertatapan dengannya. Sorot matanya sering melemahkanku.

“Nggak, kok. Aku hanya capek. Pengin tidur. Hari ini benar-benar melelahkan." Aku berbaring sambil mengambil selimut. Pras masih terus mengawasiku seperti tak puas dengan jawaban yang didapat. Namun sungguh aku tak peduli.

“Maafin aku, Ree," ucapnya lirih.
Kata maaf dari Pras sudah tak bermakna apa-apa lagi bagiku. Sejak skandal dengan Laila itu terbongkar, tak terhitung entah berapa maaf yang terlontar dari mulutnya.

“Maaf untuk apa?" gumamku letih sambil memejamkan mata. Ia tak menjawab. Selama beberapa waktu suasana terasa begitu hening. Kubuka mata dan melihat Pras masih di posisi semula. Mengawasiku dengan sorot mata putus asa.

“Maaf untuk semuanya." Sesaat kami bertatapan dalam diam.

“Aku tahu kamu menyembunyikan sesuatu dariku. Entah apa," lanjutnya kemudian.

Aku memiringkan tubuh, membelakanginya. "Apa yang harus kusembunyikan? Kamu tahu kan, aku nggak mahir berbohong?" ucapku, lalu sengaja menguap. Semoga saja ia sadar kalau  aku mengantuk dan tidak terus mendesakku dengan pertanyaan itu.

Ya, aku mahir berbohong sekarang. Waktu dan keadaan bisa mengubah seseorang, bukan? Aku banyak belajar dari pengkhianatannya, termasuk cara berkelit ketika ditanya.
Kasur yang kutiduri bergerak pelan saat Pras ikut berbaring. Ia merapatkan tubuhnya ke punggungku. Aroma perpaduan mint dan woody menguar dari tubuhnya. "Aku kangen kita yang dulu, Ree,” bisiknya tepat di telingaku. Hangat napasnya membuat tengkukku meremang.

Tubuhku menegang waspada saat Pras melingkarkan lengannya di pinggang dan menumpukan dagu pada pundakku. Dengan gerakan lembut dan terlatih tangannya mulai menyinggahi beberapa tempat. Aku sangat hapal sentuhan ini. Ketika jemarinya terhenti di kancing piyamaku, sontak aku mencoba meloloskan diri. Memadu cinta pada saat perasaanku sedang buruk, bukanlah ide yang bagus.

“Aku masih suamimu, kan?" Ia mendesah kecewa. Ada nada terluka pada nada suaranya atas penolakan barusan.

“Aku lelah, Pras."

"Sudah seminggu ini kamu bilang lelah. Coba kita lihat seberapa lelah dirimu." Ia menarik bahuku hingga posisi kami berhadapan. Matanya menyipit berbahaya saat kami bertatapan. Pras kian mendekat hingga kami tak lagi berjarak. Tanpa menghiraukan penolakanku, ia terus mencoba meruntuhkan tembok yang susah payah kubangun hingga akhirnya hancur berkeping-keping.

Aku mengutuk diri sendiri saat tanpa sadar merespon semua perlakuannya. Dari semua malam-malam penuh mimpi buruk sejak Pras menikah dengan Laila, ini adalah pertarungan kami yang paling hebat. Aku tak bisa mengingkari diri sendiri, kalau menginginkan Pras sebesar ia menginginkanku.
Kami lebur dalam cinta yang begitu dalam hingga setetes air mata luruh ke pipiku saat semua keindahan yang baru saja kurasakan berakhir dan perlahan mulai memudar.

Di sela deru napasnya yang tak beraturan, Pras mengecup keningku sekilas dan berbisik, "I love you, Ree."

Aku hanya menggumam tak jelas sambil mengelus rahangnya penuh pemujaan. Ia sangat tahu cara bagaimana menundukkanku.

“Maaf membuatmu kelelahan." Ia menyeringai. Matanya yang besar dan gelap terlihat semakin cemerlang. Apakah ini efek dari apa yang terjadi barusan?

S*al*n! Dalam kondisi normal sebelum Laila hadir dalam hidup kami, aku pasti akan membalas dan kami akan berakhir pada pertarungan kedua. Akan tetapi ini jelas berbeda. Selama dua tahun belakangan, aku menahan diri dan meminimalisir momen kebersamaan kami. Sayangnya, malam ini ia menyaksikan sendiri betapa rapuhnya pertahananku.

Alih-alih menanggapi ocehannya, aku bangkit  dan bergegas ke kamar mandi. Guyuran air dari shower semoga saja bisa membuat otakku kembali waras.

BAB 3

LELAKI YANG KAU CURI

#brokensoul

3

Aku bangun terlambat keesokan harinya, dan mendapati Pras sedang memasak sesuatu di dapur terbuka yang berada di pekarangan belakang. Ia kelihatan sibuk mengaduk-aduk panci yang menguarkan aroma sedap. Perutku mendadak lapar.

Di atas meja kecil yang berada di tengah kebun sudah tersedia sekeranjang buah dan dua buah water jug berisi jus jeruk dan air putih.

"Kamu masak apa?" Aku tak tahan untuk tak mendekatinya.

"Hei, kamu sudah bangun?" Senyumnya cerah sekali pagi ini. "Duduklah, sebentar lagi sarapannya siap."

Aku melongok ke dalam panci, dan melihat risotto yang dimasak Pras sudah hampir matang.

"Kemarin aku belanja." Ia seperti  paham kebingunganku dari mana ia mendapatkan bahan-bahan untuk masakan itu.

Omong-omong soal memasak, Pras memang jauh lebih jago dariku. Ia suka bereksperimen di dapur. Mencoba resep-resep baru yang ia tonton di Youtube. Walau amatir tapi ia adalah chef terbaik di rumah ini. Masakannya selalu enak.

"Kamu tunggu saja di meja. Biar aku yang nyiapin semuanya."

Aku hanya mengedikkan bahu dan duduk di kursi sambil mengedarkan pandangan ke sekitar. Halaman belakang tampak jauh lebih rapi dari terakhir kuingat. Ranting-ranting pohon lengkeng dan jambu air di dalam pot yang berjajar di dekat pagar, seperti habis dipangkas. Koleksi bunga-bunga di teras dan rumput yang terhampar di halaman juga bersih dan rapi. Selain suka bereksperimen dengan bahan masakan di dapur, Pras juga suka berkebun. Rumah ini langsung berbeda kalau ia datang berkunjung.

"Bon apetitte!" Pras muncul dengan dua buah mangkuk di tangan yang mengepulkan asap tipis. Aroma creamy keju parmesan dan kaldu ayam dari hidangan Pras menerbitkan air liurku.

Kami sarapan tanpa suara, tapi bisa kurasakan ia tersenyum melihatku menyuap dengan lahap. Aku memilih mengabaikan dan menghabiskan sarapanku sampai tak bersisa.

"Kamu hari ini nggak ada acara, kan?Bagaimana kalau kita jalan-jalan ke luar?"

Setelah sarapan lezat barusan dan sekarang mengajak jalan-jalan? Apakah ia sengaja berbaikan denganku?

Hubungan kami memang tak ada riak berarti sejak ia menikahi Laila. Namun aku yakin, kalau kami berdua sama-sama tahu, bagai api dalam sekam, pernikahan ini semakin lama semakin hambar dan tak bermakna. Hanya tinggal menunggu waktu, hingga ledakan besarnya akan muncul ke permukaan.

"Aku ada janji dengan seseorang dari BHC siang ini."

Aku bersorak melihat sekelebat pancaran kecewa di matanya. Siapa suruh semalam ia mempermalukanku? Aku ingin menunjukkan kalau tak akan menyerah semudah itu. Ia tak bisa menyogokku dengan kehangatan semalam dan sarapan lezatnya pagi ini.

"Kapan kamu nggak sibuk? Mungkin kita bisa pergi saat kamu lowong."

Tak pernah terbayangkan olehku kalau kami sampai pada titik ini. Berbicara seperti dua orang asing yang saling canggung. Biasanya ia akan punya segudang cara untuk membujuk dan membuatku membatalkan semua acara. Pras punya kemampuan memersuasi orang lain agar mengikuti apa pun kemauannya. In a good way.

Kami sering menghabiskan waktu terbaik bersama-sama, sejak masih sekolah hingga menikah. Rencana spontan yang terlontar dari Pras, membuat hidupku selalu berwarna. Aku bahagia. Teramat bahagia. Menjadi satu-satunya cinta dalam hidup seorang Prasetya, bagai impian masa kecilku yang menjadi kenyataan. Hingga monster bernama Laila menghancurkan segalanya.

"Kamu ketemu dia di mana? Biar aku antar." Rupanya ia masih belum menyerah.

"Aku berencana bawa mobil.”

"Aku mengantarmu dengan mobilmu, nanti aku pulang naik taksi."

Aku melongo. Dari ide konyolnya itu, jelas sekali kalau ia ingin berbaikan denganku. Oh, tidak semudah itu, Pras.

"Lokasinya jauh. Lagi pula, daripada kamu buang-buang waktu mengantarku, lebih baik kamu pulang."

"Pulang ke mana? Ini rumahku juga, Ree."

"Pulang ke mana? Memangnya ke mana lagi? Kamu pasti tahu apa maksudku. Istrimu sudah seperti orang gila menangisi kepergianmu, Pras!"

Ia tampak terpukul mendengar ucapan tajam yang terucap dari mulutku. Mau bagaimana lagi? Aku perlu mengeluarkan senjata pamungkas dalam situasi terdesak seperti ini.

"Sebenarnya ada hal penting yang ingin kubicarakan denganmu, tapi kamu selalu menghindar." Ia menyugar rambut, lalu mengusap wajahnya berkali-kali.

"Tentang apa?"

"Banyak hal. Banyak banget. Bahkan sejak dulu. Setelah ... kejadian itu!" Pras menatapku dengan pandangan yang sulit kupahami apa artinya.

"Oh, kalau soal itu nggak ada lagi yang perlu kita bicarakan. Sudah basi. Sudah kadaluarsa."

"Bisakah kamu sekali saja mau mendengar dari sisi aku? Sekali saja?" Nada suaranya terdengar jengkel dan frustrasi.

"Terima kasih sarapannya, Pras." Aku bangkit . Aku tak ingin merusak pagiku dengan cerita lama dan usang yang ia korek kembali.

Bel berbunyi saat aku melintasi ruang tengah menuju kamar. Kami jarang sekali mendapat kunjungan, sehingga aku penasaran siapa yang membunyikan bel dan bertamu sepagi ini. Saat membuka pintu, aku terkejut mendapati wajah sembab yang berdiri di teras.

Kedatangan tamu seorang perempuan depresi di saat kondisiku sendiri juga tidak baik, bukanlah situasi yang mudah. Aku mencoba menampilkan senyum paling ramah yang kupunya saat perempuan itu menyapa dan langsung memeluk sambil menangis tersedu-sedu.

"Ayo duduk, Mbak Vina!" ajakku saat tangisnya mulai mereda, lalu memapahnya ke dalam.
"Maaf, karena datang nggak ngasih kabar dulu."

Aku hanya mengangguk sambil menepuk-nepuk bahunya penuh pengertian. Memangnya apa lagi yang bisa kulakukan? Orang seperti Vina hanya butuh ditenangkan dan dipahami. Lagi pula kami sudah seperti sahabat. Ia cukup aktif dalam kegiatan yang diadakan oleh BHC dan adiknya Reza sering men-support kegiatan kami. Laki-laki itu sangat mahir mengurus acara.

"Aku hanya nggak sabar nunggu sampai jam dua siang untuk ketemu sama kamu, Reeta." Ia memegang tanganku persis seorang anak yang senang bertemu ibunya setelah ditinggal lama. Matanya yang sembab terlihat berbinar saat berbicara.

Belum sampai lima menit ia duduk di dalam, terdengar seseorang mengucapkan salam. Aku menoleh dan mendapati Reza tersenyum canggung di ambang pintu. Mungkin ia merasa tidak enak karena kakak perempuannya datang ke rumahku bersimbah air mata pagi-pagi begini.

"Hai, Reza. Masuklah!"

"Maaf, kami mengganggu. Mbak Vina bersikeras untuk mengunjungi kamu ke sini. Aku terpaksa mengabulkan karena dia terus menangis." Reza duduk di samping Vina lalu menepuk-nepuk bahu kakaknya itu. Aku terenyuh melihatnya. Betapa ia sangat menyanyangi kakaknya itu.

"Nggak apa-apa, kok."

"Bertemu dengan Reeta saja hatiku sudah merasa tenang.” Vina menyeka sisa air mata di pipinya.

Aku tertawa kecil. "Jadi bagaimana rencana kita nanti siang? Katanya Mbak mau menunjukkan sesuatu padaku?"

"Bisakah kita pergi sekarang?" Ia terlihat antusias.

"Sekarang?" Aku dilanda bimbang. 
Dari sudut mata kulihat bayangan Pras samar-samar sedang duduk di ruang tengah. Ruangan tempat kami sekarang dengan ruang tengah hanya disekat oleh partisi kayu yang berfungsi sebagai pembatas ruangan. Sepertinya ia menguping.

"Tunggu sebentar! Aku mesti siap-siap dulu."

Saat memasuki kamar yang terletak di samping ruang tengah, Pras langsung mengikutiku dan bertanya tak sabar, "Siapa mereka?"

"Dia anggota aktif di di BHC. Kami ada janji bertemu jam dua siang sebenarnya." Aku mencuci muka di wastafel dengan tergesa.

"Ini pagi Sabtu, Ree. Dan lihat, dia nekad datang ke rumah. Apa-apaan ini?" Nada suara Pras terdengar memojokkan.

"Apa maksudmu?"

"Dia harusnya mengerti kalau kamu juga punya privasi."

"Terus aku harus mengusirnya, begitu?" tanyaku berang.

"Ya, bukan begitu juga. Seharusnya kamu bisa sedikit tegas dan tidak mencampur urusan pribadi dengan pekerjaan."

"Di bagian mana aku mencampur urusan pribadi dengan pekerjaan?" Aku melipat tangan di dada dan menatapnya tajam. Cara Pras mengomentari Vina membuatku kesal.
Ia balas menatap tajam, sambil menyandarkan tubuhnya di bingkai jendela dengan kedua tangan di saku celana.

"Katanya kalian janji bertemu siang nanti. Dan kamu langsung mengiyakan saat dia mangajakmu pergi sepagi ini."

Aku tidak ingin membahas pekerjaanku dengan Pras. Ia tak akan mengerti bagaimana hubunganku dengan orang-orang yang datang ke BHC. Mereka bukan hanya sekadar orang bermasalah yang butuh teman bercerita, tapi lebih dari itu. Mereka sudah seperti saudara. Mungkin terdengar berlebihan, tapi begitulah caraku memperlakukan mereka selama ini. Di BHC semua anggota adalah keluarga.

"Dia butuh aku, Pras," ucapku akhirnya, lalu membuka lemari mencari pakaian yang akan kukenakkan.

Pras terlihat mengatupkan rahangnya rapat-rapat. Aku tahu ekspresi itu. Ekspresi yang sering ia tunjukkan kalau sedang jengkel tapi mencoba menahan diri. Ia tak berkata apa-apa, hanya napasnya yang sengaja diembuskan kuat-kuat sebelum akhirnya ia keluar dan menutup pintu kamar.

Tak ingin memusingkan sikapnya, aku mengubek-ubek lemari mencari pakaian. Pilihanku jatuh pada terusan selutut bermotif   floral tanpa lengan dipadukan blazer katun warna krem. Setelah urusan pakaian selesai, aku merias wajah tipis-tipis dan memulas perona bibir warna pink cerah. Saat mematut diri di cermin, aku melihat sosok yang  tampak fresh dan percaya diri, tapi ada yang sedikit berbeda dengan mataku. Pancaran cahayanya sudah lama meredup.

Pintu kamar terbuka saat aku akan menarik handle-nya. Pras ternyata sudah berdiri di sana, masih mempertahankan ekspresi wajah yang sama.

"Aku pergi," pamitku berusaha melewatinya.
"Kamu akan tetap pergi kalau aku larang?" Ia tak memberiku jalan sedikit pun. Sungguh aku sedang tak ingin beradu mulut dengannya saat ini.

"Pras bisa nggak kamu melanin suaramu?" desisku jengkel. Semoga saja Vina dan Reza tidak mendengar kami bertengkar.

"Bisa nggak kamu sekali saja mendengar suamimu?" balasnya tajam.

Oke. Sepertinya ia memang sengaja menguji kesabaranku. "Minggir!"

Pras bergeming. Dengan tinggi sekitar seratus delapan puluhan, aku yang hanya sedadanya  jelas kalah telak. Bahunya yang lebar, bagai tembok kokoh yang tak bisa kusingkirkan dengan mudah.

"Pras, apa sih maumu?" Aku menatapnya tak percaya. Sejak kapan dia jadi kekanakan begini?

"Benarkah kamu ingin tahu apa mauku?" Ia melangkah maju dan membuatku sontak mundur ke belakang. Dengan sekali dorongan ia menutup pintu. Apa-apaan ini?

"Kamu gila, Pras. Tamuku sedang menunggu!"
Alih-alih menggubris, ia justru memepetku ke dinding. "Aku nggak ijinin kamu pergi."  

Sebelum sempat protes, ia langsung membungkamku dengan mulutnya  sehingga aku kesulitan bernapas.

"Kamu keterlaluan!" pekikku sambil mendorong perutnya sekuat tenaga dan berjalan tergesa ke luar kamar. Aku mengatur napas sambil merapikan rambut dan pakaian sebelum berjalan ke ruang tamu.

Susah mencerna apa yang sebenarnya terjadi, saat kudapati ruang tamu sudah kosong. Sedikit panik aku berlari ke teras, dan tak melihat jejak kepergian mereka. Ini pasti ulah Pras!

"Kamu mengusir mereka?" teriakku saat melihat Pras dengan santainya berjalan menyusul ke teras.

"Aku nggak mengusir mereka. Hanya menjelaskan kondisi sebenarnya, asal kamu tahu."

"Kondisi apa? Kamu nggak boleh seenaknya melanggar privasiku!"

Pras tampak sedikit terkejut. Mungkin tak menyangka aku bisa berteriak padanya. Ya, kalau diingat-ingat aku hampir tak pernah meninggikan suara. Bahkan ketika skandalnya dengan Laila terbongkar pun, aku tak mampu mengeluarkan emosiku saking shock-nya.

"Apa tamu itu jauh lebih penting dari suamimu?" Ia bertanya dan menatap tepat ke bola mataku.

Aku benci dihadapkan pada situasi harus menjawab pertanyaan semacam ini. Salah jawab bisa menimbulkan persoalan baru. Hanya saja Pras perlu tahu,  ada hal-hal yang tak boleh ia langgar meskipun satusnya adalah suamiku. Salah satunya adalah mencampuri urusan pekerjaanku.

"Itu nggak bisa dibandingkan," tukasku dingin.

"Kenapa nggak? Kamu rela mendengarkan keluhan mereka yang nggak pernah ada habisnya itu, tapi kamu nggak mau meluangkan waktu sedikit pun untuk mendengarku!"

"Itu dua hal yang berbeda." Aku melangkah masuk, tak ingin berdebat lebih jauh dengannya.

"Apanya yang berbeda? Kita perlu bicara, Ree. Cukup sudah selama ini kamu menghukumku dengan mendiamkanku seolah nggak terjadi apa-apa dengan kita." Ia mencekal lenganku.
"Apa lagi yang harus kita bicarakan?"

"Banyak hal. Tentang sikapmu yang kian hari semakin sulit dijangkau. Tentang obat-obat penenangmu itu. Tentang kita!"

Aku melepas cekalannya dan mengempaskan tubuh ke sofa. "Ada apa dengan kita, Pras?"
Ia ikut duduk di sebelahku, sambil memijit keningnya. "Kalau tahu kamu akhirnya bakal seperti ini, aku pasti nggak akan ikut ide konyolmu itu!"

"Kenapa sekarang jadi salahku? Kalau kamu bisa menahan dirimu dan nggak merangkak di paha perempuan lain, semua nggak bakal kayak gini!" Aku meradang, tak terima ia sekarang justru melemparkan semua kesalahan padaku.

"Udah berapa kali kubilang kalau---"

"Aku nggak mau bahas ini lagi!" potongku cepat. Aku berani bertaruh, tak ada satu pun perempuan di dunia ini yang suka diingatkan kembali tentang perselingkuhan suaminya.

"Kalau tujuanmu dengan semua itu adalah untuk membuat hidupku nggak tenang dan terus dirongrong rasa bersalah, kamu berhasil, Reeta!" Tatapan Pras terasa berbeda saat mata kami bertemu. "Kamu bahagia dengan kondisi kita yang seperti ini?" lanjutnya.

Bahagia? Aku bahkan tidak tahu lagi seperti apa hatiku.

"Apa yang harus kulakukan agar kita bisa kayak dulu lagi, Ree?"

"Nggak ada. Kamu nggak harus melakukan apa-apa." Tiba-tiba aku ingin menangis, tapi air mataku sudah kering tak bersisa.

BAB 4

LELAKI YANG KAU CURI

#brokensoul

Bagian 4

Manusia makhluk yang rumit. Terkadang mereka lebih memilih menempuh jalan-jalan terjal dan lorong-lorong gelap, meski ada jalan lain yang lebih mudah. Suka menyembunyikan perasaan-perasaan dan sumpah serapah demi menjaga agar kehidupan tak beriak dan terlihat baik-baik saja. Susah payah menelan air mata, agar tak terlihat lemah dan terluka.

"Lelaki tak berguna itu nggak pantas ditangisi!" Masih jelas terngiang di telinga teriakan Mama sore itu. Ia mencekal lenganku dan menjauhkanku dari jendela yang dipenuhi tempias hujan.

Aku tidak pernah bisa melupakan hari itu. Saat melihat dari jendela, punggung Papa yang basah karena gerimis, semakin menjauh dari pagar rumah. Ingin kukejar dan memohon agar ia tak pergi, tapi kakiku terpaku di lantai. Papa tak sayang lagi pada kami, itu yang kupahami dari pertengkaran mereka sesaat sebelum ia meninggalkan kami.

Bertahun-tahun kemudian saat beranjak remaja, baru kudengar desas-desus kalau Mama mengusir Papa karena  ketahuan berselingkuh dengan rekan kerjanya di kantor.  

"Hapus air matamu! Kita tetap bisa hidup tanpa dia, Reeta. Percaya sama Mama!"

"Mama nggak sedih? Mama nggak sayang lagi sama Papa?" Aku tersedu sambil menyeka air mata yang tumpah tak terbendung.

"Air mata kita teramat berharga untuk menangisi dia. Air mata hanya membuat kita lemah dan nggak bisa melanjutkan hidup!" Kulihat keteguhan dan bara dendam di wajahnya.

Mama membuktikan ucapannya. Tak pernah kulihat sekali pun ia menangis. Hanya saja, wajah cantiknya makin lama makin beku dan minim ekspresi. Sejak bayangan Papa menghilang di balik gerimis sore itu, senyum Mama juga ikut menghilang, bahkan hingga ia berpulang enam tahun yang lalu. Aku rasa aku belajar banyak dari Mama. Berusaha menyembuhkan luka dengan menelan setiap air mata.

"Apa?" Aku terkejut saat Pras melambaikan tangan di depan wajahku.

"Kamu melamun," ucapnya khawatir.
Mengapa aku tidak bisa sekuat Mama? Mengapa aku tidak bisa meninggalkan Pras setelah semua yang terjadi? Apa yang akan dikatakan Mama kalau tahu aku tetap bertahan pada pernikahan ini? Aku pening dengan semua pertanyaan-pertanyaan yang berdengung di kepala.

Mama bilang air mata bisa melemahkan. Aku tak menangis saat tahu skandal Pras dan Laila, walau merasakan sakit luar biasa di hati. Semua yang ada di dada seolah direnggut paksa tak bersisa. Meninggalkan ruang gelap dan hampa. Aku memang tak menangis, tapi aku merasa tak berdaya.  Mama sepertinya keliru. Bukan air mata yang melemahkan, tapi cinta. Aku terlalu mencintai laki-laki ini.

"Obat-obat penenang itu." Pras menyentuh lenganku hati-hati.

"Kenapa?" Aku hanya menangkap ujung kalimatnya.

"Sejak kapan kamu minta resep dokter? Aku ingin kamu jujur tentang obat-obat penenang itu," ulangnya.

"Nggak usah dibesar-besarkan, Pras. Itu obat lama. Aku udah jarang mengonsumsinya."

"Aku masih bisa baca, Ree. Tanggal yang tertera jelas banget. Awal bulan ini."

Aku tak berkutik. Sudahkah kubilang kalau Pras punya kemampuan investigasi yang cukup menyebalkan? Ia tak akan menyerah sebelum mendapat jawaban memuaskan. Ia memang kadang tak akan mendesak pada saat itu juga, tapi melakukannya pelan-pelan saat korbannya tak sadar. Sudah sejak semalam ia menanyakan tentang obat itu dan sudah mendapat jawaban. Kupikir ia sudah melupakannya, tapi ternyata aku salah.

"Itu bukan narkoba. Nggak usah menatapku seperti itu," ucapku jengkel.

"Begitu sulitkah untuk jujur? Sejak kapan kamu meminumnya?"

"Astaga. Kamu benar-benar membuatku seperti pesakitan!"

Aku bangkit dan merapikan pakaian. "Ayo ganti bajumu, katanya kamu ingin mengajakku keluar."

Pras menatap kebingungan. Mungkin heran melihat perubahan sikapku yang tiba-tiba saja menyetujui ajakannya untuk keluar. Mau bagaimana lagi? Aku hanya tak ingin membahas hal itu dengannya. Tanpa berkata apa-apa, ia masuk ke kamar dan kembali lima belas menit kemudian.

"Pakai mobilku saja!" protesku saat ia membuka pintu mobilnya.

"Mobilmu terlalu mungil, aku nggak terbiasa memakainya."

"Biar aku yang nyetir."

"Oh, terima kasih, tapi tidak my queen. Kita tetap pakai mobil ini dan kamu cukup duduk manis saja." Pras tersenyum lebar, yang kutanggapi dengan decakan sebal. Sebutan my queen entah mengapa terdengar seperti nada ejekan saat ini.

Walau sedikit enggan, aku menaiki juga Lexus LX hitam milik Pras. Mobil yang masih tergolong baru ini belum pernah kunaiki sebelumnya. Apa Pras sering mangajak Laila bepergian? Bisa jadi perempuan itu yang pertama kali menduduki bangku yang saat ini kutempati. Ah, mengingatnya saja perasaanku sudah tidak enak.

"Kita ke mana?" tanyanya saat kami sudah berada di jalan raya.

"Terserah kamu." Aku memencet tombol radio lalu mencari-cari frekuensi yang kuinginkan.

"Nonton?"

Aku hanya mengedikkan bahu. Menonton di bioskop sepertinya ide bagus. Kami sudah lama tidak melakukannya. Pras cukup sibuk di kantor dan harus pula membagi waktu di dua tempat. Rumahku dan rumah Laila. Sedang aku juga memilih menyibukkan diri saat ia berkunjung ke rumah, dengan tetap bekerja bahkan di akhir pekan. Pergi berdua seperti ini merupakan momen yang sangat langka.

"Jadi ... obat-obat itu. Bisa nggak kita bahas sekarang?" Ia menatapku sesaat.

Oh, rupanya Tuan Investigator belum menyerah.

"Aku sedang nggak ingin membicarakannya, Pras. Kita jarang pergi berdua kayak gini dan aku  hanya ingin bersenang-senang tanpa bahasan yang justru membuatku sebal karena kamu seolah memojokkanku," ucapku datar.

"Kita bisa aja sering pergi kayak gini, kalau kamu nggak terus-terusan menghindar tiap kali diajak."

"Buktinya sekarang aku mau pergi, kan?"

"Kamu memang jagonya kalau berkelit." Pras menggeleng-gelengkan kepalanya seperti kehilangan kata-kata. Kami saling membisu setelahnya hingga akhirnya sampai ke mall di daerah Pondok Indah.

"Nonton film apa?" Ia memandangi poster-poster film di dinding lobby bioskop yang tayang hari ini.

"Terserah saja. Apa pun, asal bukan drama. Aku beli camilan dulu." Aku bergegas ke counter dan memesan dua gelas minuman dan sekantung besar popcorn.

Dua puluh menit kemudian, kami sudah berada di dalam ruangan bioskop yang gelap. Aku tak memahami sedikit pun jalan cerita pada film yang dipilih Pras, selama hampir dua jam kami di dalam, selain pendaran cahaya yang silih berganti tertangkap oleh mata. Aku yakin ia juga merasakan hal yang sama. Genggaman tangannya, sedari tadi tak lepas dariku, walau matanya menatap lurus ke layar.

Saat keluar dari gedung bioskop, Pras tak kunjung melepas genggaman tangannya

Ada perasaan yang susah kujabarkan dengan kata-kata tiap kali melewati toko yang menjual perlengkapan bayi dan anak-anak.

"Kita singgah dulu sebentar."

"Ngapain?" Pras terlihat tidak suka.
Aku tak menjawab, tapi langsung masuk sambil melihat-lihat berbagai pakaian yang terlihat lucu dan menggemaskan.

"Bagus mana?" tanyaku sambil memamerkan dua buah baju kaus mungil ke hadapannya.

"Memangnya kamu mau beli? Untuk apa?" Ia menjawab acuh tak acuh.

Pegawai toko langsung menghampiri saat kusodorkan pakaian itu padanya lalu mengambil beberapa potong pakaian lainnya.

"Tolong bungkus pakai kertas kado," ucapku saat menyerahkan kartu kredit.

Pras yang masih berdiri di depan pintu masuk, menatap kebingungan saat melihatku menenteng kantong belanjaan.

"Kamu belanja?"

Setiap kali kami ke mall, Pras sudah tahu kelakuanku yang sering memasuki toko pakaian bayi untuk melihat-lihat. Ia memamg terlihat tidak suka, tapi juga tak pernah melarang. Hanya saja baru kali ini ia melihatku membeli beberapa potong pakaian. Barangkali itu yang membuatnya heran.

"Anakmu ... siapa namanya?" tanyaku hati-hati.
Ia terkesiap. Sejak Pras menikahi Laila dan anak itu lahir, sedikit pun aku tak ingin tahu siapa nama dan bagaimana keadaannya. Pras juga tak pernah menyinggung hal itu saat kami di rumah. Pernikahannya dengan Laila adalah rahasia besar yang kami tutup rapat-rapat dari siapa pun, bahkan dari keluarga besarnya sendiri.

"Reeta ... please!" Wajahnya terlihat sangat tak nyaman.

"Ini ... anggap saja hadiah dariku. Walau mungkin sudah terlambat. Berapa umurnya sekarang? Setahun setengah?"

"Kamu nggak harus melakukan ini, Ree," keluhnya dengan wajah murung.

"Kenapa nggak? Aku suka memberi kado pada anak-anak temanku di BHC. Tapi aku belum pernah memberi kado untuk anakmu." Aku tersenyum samar. Tak pernah terbayangkan sebelumnya akan mengucapkan hal ini pada Pras.

Dengan berat hati ia menerima kantung itu dan menatapku lekat dengan sorot mata tak terbaca. Entah apa yang dipikirkannya saat ini. Aku memilih mengabaikan.

"Nggak lama lagi Ibu ulang tahun," katanya saat akhirnya kami memutuskan singgah di sebuah restoran cepat saji.

"Ya, aku tahu. Aku juga sudah lama mempersiapkan kado buat Ibu."

"Oh, ya? Kado apa?" Pras mengaduk-aduk sup panas di hadapannya.

"Rahasia, dong. Itu kado dariku. Kamu cari kado sendiri buat Ibu."

Ia tertawa lebar. Sudah lama sekali tidak melihatnya begini. Maksudku benar-benar memperhatikannya saat tertawa seperti ini. Pras punya lesung pipi yang membayang jelas saat ia tertawa. Bekas cukuran di dagu dan rahangnya terlihat membiru pada kulitnya yang terang. Rambutnya selalu dipotong pendek dan membuat tampilannya selalu rapi dan dandy.

"Kenapa kamu menatapku seperti itu? Baru sadar ya, kalau suamimu tampan?" Ia menowel hidungku.

Ya, kamu sangat tampan, Pras. Ketampanan yang justru membuat perempuan lain juga ingin memilikimu. Aku menghela napas panjang tak menghiraukan godaannya, dan kembali fokus pada makanan di hadapanku.
Tiba-tiba ponselnya yang berada di atas meja berbunyi. Ia hanya melirik sekilas, dan mengabaikan. Samar-samar aku melihat nama Laila tertera di layarnya.

"Kok nggak diangkat?"

Ia hanya diam, sambil terus menikmati hidangannya.

"Mungkin penting," lanjutku saat ponselnya kembali berdering.

Walau tampak enggan akhirnya Pras menjawab panggilan itu dan bangkit dari kursi. Wajahnya terlihat tegang saat melirikku sebelum kemudian berjalan menjauh dari meja kami.  Aku mencoba bersikap biasa saja dan terus menyuap makanan tanpa menikmati rasanya. Seleraku mendadak hilang.

Dari kejauhan kulihat Pras berbicara serius. Mukanya ditekuk dan keningnya berkerut. Apa mereka bertengkar? Wajah sembab dan pengakuan mengejutkan Laila saat kami bertemu kemarin, kembali membayang. Itu adalah pertemuan pertama kami setelah ia resmi menjadi istri siri Pras.

"Reeta ... aku harus pergi." Wajah Pras terlihat kalut saat kembali ke meja.

"Ada apa?"

"Olive masuk rumah sakit."

"Olive?"

"Ya, Olive ... anakku." Suaranya terdengar sangat lirih.

Aku membeku. Ini kali pertama kulihat Pras kalut dan kebingungan seperti ini. Dan saat ia mengucapkan kata “anakku” seolah ada yang terlepas dari rongga dadaku. Kata “anakku” menegaskan banyak hal. Tentang kehidupan Pras yang lain di mana aku tak ada di dalamnya. Rasanya sangat tak nyaman dan juga menyakitkan.

"Ya, pergilah. Dia pasti butuh kamu," ucapku datar.

"Maafin aku, Ree. Kamu ... bagaimana nanti kamu pulang?  Atau aku antar kamu dulu?" Rautnya terlihat bimbang.

"Jangan pikirkan aku. Aku bisa naik taksi."

"Kamu nggak apa-apa kan? Sorry ... ini benar-benar di luar rencanaku."

"Beneran, aku nggak apa-apa. Olive ... dia ... pasti lebih butuh ayahnya."

"Makasih, Ree. Aku pergi, ya." Ia mengecup keningku sekilas lalu menyambar kunci mobil di meja, dan melesat pergi. Meninggalkanku yang termangu sendiri, seolah masih tak percaya dengan apa yang barusan terjadi.

Pada akhirnya, ada saat di mana Pras harus memilih dan pilihan utamanya itu bukan aku. Selama ini aku masih meyakini kalau ia lebih mencintaiku dari Laila. Apa lagi setelah melihat perempuan itu menangis di hadapanku kemarin. Namun, tak bisa dipungkiri, Laila punya sesuatu yang tak bisa kuberi pada Pras. Sesuatu yang mau tidak mau, membuat Pras tak bisa berpaling darinya. Olive!

BAB 5

LELAKI YANG KAU CURI

Bagian 5

Hidup memang tidak pernah bisa ditebak. Apa yang kita harapkan tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Seperti hidupku. Pernah pada satu masa aku menjadi yang paling dicinta, dan pusat dunia seorang Prasetya. Aku sangat naif berpikir kalau itu selamanya. Padahal tak ada yang abadi di dunia ini, bukan? Seiring berjalannya waktu, pusat dunia Prasetya perlahan bergeser tanpa kusadari. Ia punya dunia lain sekarang, yang lebih melengkapi hidupnya. Dan tibalah waktuku untuk belajar merelakan.

    Aku bangkit sambil melirik arloji. Sudah jam dua siang. Seharusnya saat ini aku bersama Vina, mendengarnya bercerita, tapi Pras sudah menghancurkan segalanya. Menyebalkan memang.

    Tak ingin menyesali nasib terus-terusan, aku memilih berjalan-jalan dan mencoba menikmati keramaian. Sebelumnya aku tidak pernah melakukan hal seperti ini. Berjalan sendirian di mall tanpa tujuan seperti orang kebingungan. Ini jelas bukan "aku banget". Hidupku biasanya terencana dan terjadwal, tapi sepertinya mulai sekarang, aku akan sering melakukan hal-hal seperti ini. Belakangan ini aku meyakini satu hal. Cepat atau lambat, mungkin aku akan hidup sendirian. Benar-benar sendirian.

   Aku berhenti di sebuah toko buku dan melihat-lihat deretan buku yang ditata sedemikian rupa. Namun, belum ada satu pun yang menarik minatku. Genre buku apa yang sebaiknya dibaca oleh orang sepertiku? Religi? Motivasi? Self help semacam trik cara bertahan hidup setelah dikhianati pasangan, atau trik hidup bahagia walau sendiri? Menyedihkan!

   Saat berdiri di depan komputer yang ada di sudut toko, aku tak percaya akhirnya mengetikkan kata-kata itu pada kolom pencarian judul buku. Semoga saja tidak ada orang yang mengintip apa yang kuketik. Hasil pencarian nol. Ya, tentu saja. Penulis konyol mana yang mau menulis buku seperti itu? Kecuali ia sama konyol dan menyedihkannya sepertiku.

    Sebelum keluar dari toko, kuambil acak sebuah buku tanpa melihat judul dan penulisnya. Gambar di sampul birunya cukup unik seperti perpaduan siluet tengkorak dan alien dengan asap-asap putih disekelilingnya.
   Gerai kopi yang tak terlalu ramai di lantai dasar gedung menjadi pilihanku untuk menghabiskan sisa hari ini. Setelah mengambil pesananku, Sumatra Cocholate Eclair dan Caramel Machiatto, aku mulai membuka lembaran demi lembaran buku tadi. Mataku terpaku pada satu kalimat pembuka di halaman tengah yang berbunyi, "Sedikit balas dendam lebih manusiawi dari pada tanpa balas dendam sama sekali." Sebuah frasa yang cukup provokatif. Kuteguk minumanku sambil memikirkan kata-kata tersebut.

   "Hei, keberatan kalau aku bergabung di sini?" Aku terkejut saat melihat sosok Reza tiba-tiba sudah berada di depan mejaku dengan segelas minuman di tangan.

   "Oh, hei Rez. Silakan."

   "Nggak nyangka ya, kita bakal ketemu di sini." Ia tertawa. "Kamu sendirian?"

   Aku merasa tidak enak dengan kejadian pengusiran yang dilakukan Pras tadi pagi, dan menyesali diri mengapa bisa lupa mengirim pesan permintaan maaf pada mereka.

   "Ya, aku sendiri." Aku kembali menyeruput minumanku dan berkata, "Reza ... uhm, maaf banget soal tadi pagi. Aku benar-bener merasa nggak enak sama kalian."

"Nggak apa-apa. Aku paham banget, kok. Next time mungkin bisa dijadwalkan lagi, atau kamu datang aja ke rumah," ujarnya ramah.

   Aku mengangguk. "Bagaimana Mbak Vina, apa ia kecewa dan sedih?"

   "Sedikit, tapi nggak usah khawatir. Sekarang dia beristirahat di rumah." Reza melirik buku yang terbentang di atas meja.

   "Akhir pekan sendirian di kedai kopi sambil baca buku?" Ia tertawa tapi tatapannya tajam menusuk.

   "Apa terlihat seperti orang kesepian?" Aku  meringis, lalu menyendok kudapan. Entah mengapa kalimat tersebut terlontar begitu saja. Mungkin karena itu yang sangat tepat untuk menggambarkan keadaanku saat ini. Orang kesepian? Astaga, aku benci mengakuinya.

   "Bukannya kalian sedang merayakan hari jadi pernikahan?" Kali ini alisnya bertaut heran.

   "Apa?" Aku melongo. Apa tadi Pras mengarang cerita untuk mengusir mereka secara halus?

   "Suamimu tadi bilang mau ngasih kejutan padamu. Oh, sorry apa aku membocorkan kejutannya?" Ia menggaruk kepala sambil menoleh ke sekeliling.

    "Oh ya, kejutan! Aku ... aku sudah mendapatkan kejutannya." Aku tertawa canggung. "Hanya saja sekarang Pras ada keperluan mendadak makanya harus pergi."

   Kalau Pras mengatakan pada Reza bahwa akan memberiku kejutan, ia menepatinya. Ia memang memberiku kejutan dan juga sebuah pemahaman baru mengenai Olive.

   "Oh, Happy anniversary, kalau begitu," ucapnya tulus.

   "Terima kasih."

   Aku mengenal Reza sekitar enam bulan belakangan ini. Berawal saat ia mengantar Vina ke kantor dan berbincang denganku. Ia pria yang ramah. Tak perlu waktu lama untuk merasa nyaman mengobrol dengannya. Apalagi ia juga sangat care terhadap Vina dan selalu rutin mengabarkan perkembangan kakaknya itu. Bahkan beberapa kali ia ikut kegiatan yang dilakukan BHC.

"Sebenarnya Mbak Vina hanya butuh seseorang yang mendengarkannya bercerita, Rez." Aku membuka suara.

   "Iya. Dokternya juga bilang begitu. Hanya saja ia senang bicara denganmu, entah kenapa. Dulu ada asisten di rumah yang juga dekat dengan dia. Tapi sudah berhenti karena menikah dan pindah ke kota lain. Sejak itu Mbak Vina sangat kehilangan hingga akhirnya bertemu kamu dan aktif di BHC," kata Reza sebelum mengangkat ponselnya yang terus saja berdering.

    Reza menyebutkan tempat di mana ia berada sekarang pada seseorang di ujung telepon.

   "Oh ya, sebenarnya aku ada pekerjaan di sini. Ada launching suatu produk besok. Kebetulan juga aku ada janji dengan seorang teman lama," jelasnya setelah menutup telepon.

    Dari pembicaraan sekilas waktu perkenalan dulu, seingatku, Reza adalah seorang profesional EO. Ia sering menangani acara-acara besar yang kadang melibatkan artis dan pejabat-pejabat penting negeri ini. Pembawaannya yang friendly, dan terlihat selalu bersemangat itu sangat berbeda jauh dengan kakaknya yang pemurung.

   "Hei, Bro di sini rupanya." Seorang laki-laki berkemeja abu-abu menepuk bahu Reza. Gerai kopi yang cukup ramai siang ini menyamarkan kehadirannya yang begitu tiba-tiba. Laki-laki itu lalu beralih menatapku.

   "Maureeta?" Nada suaranya seperti terkejut.
   Butuh waktu beberapa saat untuk menyadari kalau sosok yang sedang berdiri di dekat meja kami adalah lelaki itu. Waktu belasan tahun mengubah banyak hal,  sehingga aku tidak langsung mengenalinya.  

"Ryu?" Aku membeku. Kilasan masa belasan tahun lalu berebutan masuk ke ruang memori di kepalaku, menimbulkan sensasi pusing yang ganjil.

   "Long time no see you, Reeta. Apa kabar?" Ia tersenyum samar dan mengulurkan tangannya.

   Sedikit ragu aku menyambutnya dan tersenyum kaku. "Aku baik, bagaimana denganmu?"

   "Aku juga baik."

   "Wah jadi kalian sudah saling kenal?" sambar Reza antusias. Ia menggeser bangkunya dan menyuruh Ryu duduk.

   Ryu tak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum samar saat menatapku.

   "Ya bisa dibilang begitu. Reeta ini teman lamaku. Kami pernah satu organisasi dulu di kampus."

   Aku hanya mengangguk mengiyakan pernyataan Ryu. Teman lama kedengarannya cukup bagus untuk sebuah tindakan cerobohku padanya di masa lalu.

   Suara panggilan dari meja peracik kopi, membuat Ryu bangkit untuk mengambil pesanannya. Saat melihatnya menjauh, aku dilanda bimbang, apakah langsung pamit pada Reza atau tetap bertahan di meja ini? Sambil menimbang-nimbang akan memutuskan bagaimana, Ryu sudah kembali dan duduk di hadapanku.

    "Anak-anak Swara masih sering ngumpul?"

    Aku terkejut saat Ryu menanyakan tentang Swara. Tidak menyangka ia masih mengingatnya. Swara adalah nama buletin mingguan kampus kami yang kurintis bersama Maria dan beberapa teman lain. Kami meliput kegiatan-kegiatan unik dan menarik yang terjadi di seputaran kampus. Sekali sebulan akan ada profil mahasiswa berprestasi yang diulas di buletin tersebut.

   "Setelah tamat kuliah, udah jarang banget, sih. Hanya aku dan Maria yang hampir ketemu tiap hari karena kami satu komunitas."

   "Jadi, Reeta satu fakultas sama lu, Bro?" timpal Reza.

   "Bukan. Kami sama-sama aktif di organisasi. Gue di Mapala sedang Reeta di media. Kebetulan satu gedung," jawab Ryu.

   Sesaat kami bertatapan. Aku merasakan ganjalan di masa lalu kembali muncul di permukaan. Namun, sepertinya tidak etis membicarakannya sekarang. Bisa jadi Ryu sudah lupa. Mengungkitnya kembali akan membuatku terlihat konyol.

   "Dunia ini sempit, ya. Ryu ini sahabatku sejak kecil, Ree. Kami selalu satu sekolah sampai SMA. Hanya saja pas kuliah aku ke Bandung sehingga kami jarang ketemu. Apa lagi di tahun ketiga ia mutusin untuk lanjutin kuliah ke Singapura." Reza menepuk-nepuk bahu Ryu sambil tertawa lebar.

   Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Masih teringat jelas olehku saat mendengar kabar kepindahan Ryu. Aku ingin menyelesaikan baik-baik kesalahpahaman yang terjadi di antara kami waktu itu, tapi tak punya nyali. Hingga akhirnya ia benar-benar pergi dan menutup semua akses komunikasi. Email dan nomor telepon, semuanya tak bisa lagi dihubungi.

    "Bentar ya, kalian lanjutin ngobrol dulu. Ini ada WhatsApp dari salah satu kru. Ada sedikit trouble di bagian panggung. Aku ke lantai atas mau ngecek bentar." Reza bangkit tergesa sambil menghubungi seseorang lewat ponselnya.

    Sebelumnya aku tidak pernah berada pada situasi bertemu teman lama dengan masa lalu kami yang kurang baik, seperti yang kualami sekarang. Apa yang harus kami bahas agar tidak sama-sama canggung? Aku memain-mainkan ujung sampul buku gelisah. Pertemuan dengan Ryu benar-benar kejutan bagiku.

    "Kamu nggak banyak berubah." Ryu menunjuk wajahku sekilas.

    Aku hanya tersenyum tipis menanggapi komentarnya. Aku memang tidak pernah mengubah gaya potongan rambut sejak SMA hingga sekarang. Rambut dikuncir ekor kuda dan poni rata sudah melekat erat padaku.

    "Dan kamu kebalikannya. Aku hampir nggak mengenalimu tadi," balasku.

    Siapa pun yang pernah mengenal Ryu waktu jadi mahasiswa dulu, pasti sulit mengenalinya kalau bertemu saat ini. Rambut gondrongnya sudah tak ada lagi. Tubuh kurus dan kulit legamnya juga hilang tak bersisa. Pun kaos oblong, celana kargo dan ransel yang selalu tersampir di pundaknya. Ryu menjelma pria metroseksual dengan kemeja slim fit yang membungkus tubuhnya yang tegap dan proporsional.  

    "Apa aku yang sekarang, membuatmu terkesan?" tanya Ryu percaya diri.
    "Apa?"

    "Ah, lupakan." Ia tertawa kecil. lalu menyesap kopinya dengan nikmat.

    Apa pun maksud ucapannya tadi, jelas ia seperti sengaja memancing reaksiku.

    "Kamu membaca Nietzsche?" lanjutnya sambil melirik buku yang tergeletak di atas meja.

    "Oh, tadi aku hanya iseng mengambilnya di toko buku tanpa melihat penulisnya. " Aku mengamati sampul buku itu sekilas.

    "Bukan bacaan yang cocok dibaca di tengah keramaian begini."

    "Ya, kurasa juga begitu," ucapku dan menaruh buku itu di dalam tas.

    Kami sama-sama terdiam. Sungguh kecanggungan yang benar-benar menyiksa. Aku mengutuk Reza yang meninggalkan kami begitu saja.

   "So, bagaimana kehidupanmu. Apa kamu menjalaninya dengan bahagia, Reeta?" Ryu memecah kebisuan.

   Apakah ini pertanyaan jebakan? Bahagia? Tentu saja hidupku bahagia. Maksudku aku pernah bahagia. Dulu.

   "Ya, tentu saja. Bagaimana denganmu? Aku nggak pernah mendengar kabarmu sejak ... kamu pindah."

   "Apa kamu mencoba mencari tahu tentangku?" selidiknya.

   Aku terdiam cukup lama, sebelum akhirnya bersuara, "Aku ... minta maaf atas apa pun yang pernah kulakukan padamu, Ryu. Seharusnya sedari dulu kulakukan."

   Ryu menatapku dalam-dalam tanpa berkata sepatah kata pun, lalu kembali menghirup minumannya. Saat ini ia terlihat seperti pemburu yang sengaja memberi jeda pada hasil buruannya yang sedang terkapar tak berdaya, agar bisa merasakan ketakutan tak terkira. Perutku mendadak mual.

   "Aku duluan." Ia bangkit sambil merapikan kemejanya. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia segera beranjak. Punggungnya menghilang di balik keramaian, meninggalkan tanya di hatiku. Apakah Ryu masih marah?

Tbc

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya BROKEN SOUL (Lelaki yang Kau Curi)
7
0
Bab 6-10
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan