
"Mas...." Danita sudah berdiri di depan kamar Bi Numi. Menghalangiku yang ingin membuka pintu.
"Danita. Kenapa?" Aku mengecilkan suara. Khawatir membangunkan Denta-Denti yang harusnya ada di dalam.
"Mereka nggak ada di sini. Jadi besok aja. Oke?"
"Apa?! Nggak ada di dalam?" Aku bergegas membuka pintu kamar. Benar, kamar Bi Bumi kosong.
3. TIDUR DIMANA SEMALAM
Danita sudah mengganti pakaian tidur dengan setelan panjang atas bawah saat aku memasuki kamar.
"Kenapa diganti lagi bajunya, Sayang?" Kudekati dirinya dengan rasa yang yah... sedikit kecewa. Padahal tadi dia terlihat sangat cantik. Dan seksi.
"Oh. Nggak apa-apa. Aku cuma mau nemuin Zaena bentar. Ngasih minuman hangat ini. Nggak enak sama tamu. Itu teh hangat buat kamu aku taruh di atas nakas ya, Mas. Habis minum, istirahat. Kamu pasti capek. Aku ke kamar tamu dulu."
Aku meniup udara.
Tapi ketika menatap ke sekeliling kamar, pandanganku langsung memutar liar, menyapu seisi ruangan. Dimana anak kembarku?
"Danita...."
Danita menghentikan langkahnya yang sudah mencapai pintu. Hampir meninggalkan kamar.
"Denta-Denti, dimana?"
"Oh. Oh ya, itu. Di kamar Bi Numi, Mas." Iya nampak gugup. Dan jawabannya sontak membuatku terkejut.
"Apa? Di kamar Bi Numi? Denta-Denti nggak tidur sama kamu?" Rahangku mengeras merasakan sesuatu. Rasa khawatir.
Dan baru kusadari, tak ada box bayi di kamar kami. Sejak kapan istriku melepaskan anak-anak kami pada babysitter di waktu malam seperti ini? Aku memang menyetujui jasa babysitter untuk membantu Danita mengurus buah hati kami. Selain karena kembar dan pasti tak mudah mengurus keduanya sendirian, ditambah ini pun merupakan pengalaman pertama, juga karena kami sama-sama tak memiliki keluarga dekat di kota ini.
"Sudahlah, Mas. Jangan langsung panik begitu. Baru kali ini kok. Biasanya juga mereka tidur di kamar ini sama aku. Kamu tahu aku capek, Mas? Ngurus rumah dan butik sendirian. Baru malam ini aku pengen refreshing. Belajar dandan, berusaha buat nyenengin kamu pas cuti. Kamu kenapa sih dari tadi?!" Suaranya kesal.
Membuatku tersadar lagi. Kembali mengusap muka.
Argh. Entah, entah mengapa hatiku mudah sekali tersulut malam ini. Padahal ini bukan karakterku, mudah panik dan curigaan. Tapi malam ini seperti ada yang mengganjal. Dan lagi-lagi rupanya itu hanya perasaanku saja.
"Oph, sorry, Sayang. Aku cuma terlalu khawatir dan kangen banget sama anak-anak kita. Lagian aku nggak sepakat kalau kamu terlalu mempercayakan babysitter. Kamu tahu, zaman sekarang kejahatan itu bisa terjadi bukan cuma karena ada niat jahat tapi lebih karena ada kesempatan. Kamu nggak takut apa kalau anak-anak kita diculik dan--"
"Mas, sudah deh. Nggak usah mikir macem-macem. Bi Numi itu orangnya bisa dipercaya. Aku yang sehari-hari ketemu dia jadi aku yang lebih tahu." Ia nampak tak terima dengan kekhawatiranku yang memang benar itu.
"Ya sudah. Kalau gitu aku mau lihat dulu," ucapku sambil bangkit dan berjalan menuju pintu kamar.
"Mas. Ma-mau kemana?" Danita menahan lenganku. Lagi-lagi, mungkin aku salah menerka sejak tadi, tapi aku yakin kali ini tak salah lagi, dia benar-benar panik. Menyembunyikan sesuatu. Matanya, tak bisa berdusata.
Aku menautkan alis.
"Aku mau nemuin Denta-Denti lah. Sudah kangen banget."
"Mas, nggak usah. Mereka tidur."
"Aku cuma mau lihat, nggak akan mengganggu." Aku semakin kebingungan. Ada apa dengan Danita sebenarnya?
"Besok ajalah."
Kutepis tangannya sambil melangkah cepat menuju kamar Bi Numi yang berada tak jauh dari kamar kami ini.
"Sayang, aku cuma mau lihat mereka tidur. Kangen."
"Mas...." Danita sudah berdiri di depan kamar Bi Numi. Menghalangiku yang ingin membuka pintu.
"Danita. Kenapa?" Aku mengecilkan suara. Khawatir membangunkan Denta-Denti yang harusnya ada di dalam.
"Mereka nggak ada di sini. Jadi besok aja. Oke?"
"Apa?! Nggak ada di dalam?" Aku bergegas membuka pintu kamar. Benar, kamar Bi Bumi kosong.
"Dimana? Dimana Denta-Denti? Kamu ngelepasin Bi Numi ngebawa anak-anak kita malam-malam begini? Apa-apaan kamu?!" Emosiku mulai tersulut lagi. Dan kecurigaan awal kembali memenuhi kepalaku. Apa maksudnya semua ini? Benarkah istriku berselingkuh dengan laki-laki lain dan berniat melakukannya malam ini lalu menitipkan anak-anakku pada babysitter di suatu tempat?
"Kamu ngomong apaan sih? Mereka ada. Di kamar belakang sana. Bi Numi yang minta pindah kamar ke belakang. Karena lebih enak ke dapur katanya. Udah deh nggak usah nuduh-nuduh lagi." Ia mengibaskan tangan di depan muka. Berpaling kesal. Tapi lagi-lagi, yang kutangkap justru kekhawatiran yang kian besar.
Tapi aku memilih untuk mengalah. Menahan rindu pada kedua buah hatiku yang sebenarnya sudah sangat membuncah. Padahal bisa saja aku memaksa menemui mereka di kamar Bi Numi yang baru, di belakang. Tapi demi melihat wajah tak biasa Danita, urung kulaksanakan niatan hati itu. Apalagi, sejak tadi aku terus merusak mood dengan terus mencurigainya. Ah, suami macam apa aku ini? Datang-datang langsung mengacaukan hati istrinya sendiri.
Kupasang seulas senyum sambil menyapu sayang kepalanya. Lalu kudekati wajah cantik yang masih terpoles make up manis itu.
"Cepetan anter minuman untuk Zaenanya. Aku tunggu di kamar," bisikku lembut tepat di telinganya.
"Em. Kamu tidur duluan aja, Mas."
Aku mengangkat kening.
"Aku mungkin agak lama. Biasanya Zaena bakal curhat kalau aku temuin gini. Nggak enak kalau aku tinggalin."
Aneh.
"Kamu lebih nggak enak sama sahabat kamu dibandingin sama suami kamu sendiri?" Aku makin tak mengerti.
"Bukan gitu, Mas. Kamu kayak baru kenal aku dan Zaena aja. Aku sama dia itu sahabat karib. Kalau ketemu suka ngobrol. Apalagi sudah lama ini nggak ketemu. Kangen dengerin curhatnya--"
"Oh, jadi kamu lebih kangen sama Zaena dibanding sama aku?"
"Mas! Apa-apaan sih. Dari tadi ngajak ribut mulu. Sabar dong, kamu kan cutinya dua minggu, masih banyak waktu. Jadi malah mulai besok aku yang bakal susah bareng Zaena...."
"Ck. Okelah. Selamat ngobrol istriku cantik. Aku tidur duluan. Tapi jangan terlalu malam. Ini sudah setengah satu loh. Jam satu balik, oke? Sudah atau belum aku tidur. Istirahat!" Atitahku sambil berlalu dan mengecup ringan pipi manisnya.
.
.
.
Pukul empat pagi, mataku mengerjap. Aku terbangun di waktu jelang subuh seperti ini. Lalu yang terbayang di depan mata, tentu saja wajah cantik Danita. Memang otak laki-laki. Keahlianku sama dengan kebanyakan suami di luar sana, lihai membangunkan istri sebelum subuh.
Senyum nakalku terbit, bersamaan dengan tanganku yang meraba tempat tidur di sebelahku.
Awalnya aku hanya meraba dengan tenang sambil mengulum senyum senang. Tapi beberapa saat kemudian, sabarku terbang. Aku berbalik menengok ke sisi pembaringan. Menyibakkan selimut dan hanya menemukan guling teronggok di sana. Dimana Danita?
Aku beranjak ke kamar mandi yang masih menyatu dengan kamar, kosong. Sementara pintu kamar belum terkunci.
Pasti dia keasyikan mengobrol dengan Zaena. Huh, gagal lagi rencanaku melabuhkan rindu. Wanita memang seperti itu rupanya.
Aku kembali ke tempat tidur dan menarik selimut tanpa menyalakan lampu sejak tadi. Hanya remang cahaya dari kamar mandi memendar di kamarku ini.
Sudahlah, aku akan tidur lagi. Subuh pun masih setengah jam lagi. Lagipula, aku baru tidur tiga setengah jam.
Baru berniat kupejamkan mata, pintu kamar terbuka, sedikit. Lalu tertutup lagi. Aku mengintip tanpa membuka suara. Danita berjinjit naik ke tempat tidur. Memasukkan tubuhnya ke dalam selimut dan segera menutup mata. Hem, pasti dia takut ketahuan karena sudah lupa waktu mengobrol sampai subuh begini.
Pura-pura tak tahu, kututup mata juga. Berniat mengerjai dan menggodanya. Dua tiga menit berlalu, kupandangi dalam remang wajah cantik yang baru saja ditutup itu dengan mata menyipit, mengintip. Ah, aku sangat merindukannya.
Gegas kusentuh pipinya. Kutebak, dia akan kaget sekarang. Lalu memohon maaf karena sudah meninggalkanku semalaman sebab sibuk mengobrol sampai lupa waktu. Aku tersenyum dalam hati.
Tapi tebakanku salah telak. Danita justru menguap lebar. Lalu menarik tangan ke atas seakan baru saja terjaga dari tidur panjang yang amat menyenyakkan. Mengucek-ngucek mata, lalu menyalakan lampu dari saklar di belakang nakas.
"Jam berapa sekarang, Mas? Eum, aku tidur nyenyak sekali. Hoaam." Ia berpura menguap lagi.
"Sudah hampir setengah lima. Ya sudah, aku mandi dulu," lanjutnya menyempurnakan aktingnya.
"Sayang...." Kusibak selimut, menatapnya tajam.
"Kamu nggak ngantuk?" Aku mengernyitkan dahi, mengamati wajahnya yang sedikit kumal sebagai tanda ia benar-benar baru bangun dari lelap yang nyenyak. Bahkan ada kotoran mata di sudut mata bulat itu. Jika mengobrol semalaman, harusnya wajah itu nampak segar dan baru akan mengantuk sekarang.
"Ngantuk? Masa ngantuk? Aku kan sudah tidur." Dia balas menatapku, memberikan raut kebingungan.
Membuatku terpantik rasa tak karuan sekarang. Mencurigai, lagi.
"Oh ya? Kamu sudah tidur?"
"Ya sudahlah. Habis nganter minum Zaena semalam kan aku langsung tidur. Sebelum jam satu malah. Kamu juga sudah tidur pas aku balik."
Apa?!
Kenapa dia berdusta? Kenapa harus berdusta? Dan sejak kapan dia pandai berdusta?
.
.
.
4. LDR
Aku menatap Danita yang melangkah memasuki kamar mandi. Lalu hanya diam mendengarkan bunyi air yang memercik di sekitaran dinding dan lantai pada balik tembok itu.
Pikiranku masih berputar tentang kebohongannya barusan. Membuatku kembali curiga. Padahal, jika tadi ia berkata jujur saja, justru aku tak akan mencurigai apa-apa. Toh, dia hanya mengobrol sepanjang malam dengan sahabatnya. Buatku itu tak aneh samasekali. Danita memang sangat dekat dengan Zaena, sejak dulu. Mereka teman satu sekolah sejak sekolah dan menikah--begitu penjelasan dari istriku. Jadi soal kedekatan dan persahabatan, aku tak akan mempermasalahkan.
Tapi jika berbohong mengatakan tidur denganku dan ternyata malah benar tidur hingga subuh, maka pertanyaan lanjutan tak bisa lagi kuelakkan. Dimana Danita tidur semalam? Ah, dan tidur dengan siapa?
Kepalaku kembali memanas. Di hati ini, ada yang mengganjal sejak semalam. Sekuat coba kusingkirkan, sekuat itu pula pucuk kecurigaan lain bermunculan.
Naluriku seakan tengah menunjukkan suatu arah misteri yang tak kusadari selama ini. Tapi apa?
Ah, kusimpan semua rasa itu saat Danita keluar dari kamar mandi. Lalu aku masuk ke dalam menggantikan, membersihkan diriku juga. Menyimpan kegundahan ini di balik dada. Sekarang, aku ingin cepat segar saja. Agar bisa secepatnya menemui Denta dan Denti. Rinduku sudah benar tak tertahankan. Sudahlah melepas rindu pada mereka harus tertunda, ditambah pula dengan kegagalan berulang melepas rindu pada Bunda mereka sejak semalam. Huh, sabar.
.
.
.
"Wah, anak Ayah...." Aku langsung mengangkat bergantian putra putriku, Denta dan Denti. Menciumi mereka puluhan kali. Demi apapun, tak ada yang bisa melukiskan kebahagiaan bisa mendekap mereka seperti ini. Aku sangat rindu.
Sepanjang malam di mess, aku hanya bisa menatap foto mereka dan Danita di layar handphone. Menjadi aktivitas rutin berjam-jam setiap malam. LDR ini benar-benar perjuangan. Terutama soal perasaan. Aku tak bisa mendekap keluarga kecilku ini setiap hari. Tak ada wajah-wajah gembira mereka yang sudah menanti sepulang lelah bekerja. Yang ada, aku harus bertemu dengan teman-teman kerja yang itu lagi itu lagi. Di tempat kerja bertemu, di kamar mess pun kembali bertemu, di dapur perusahaan bertemu, bahkan di pintu toilet pun bertemu. Membosankan.
Harus menahan rindu selama dua bulan itu rasanya begitu menyiksa.
Maka ketika bisa melepas rindu itu selama dua minggu masa cuti, energiku untuk pulang dapat terpompa puluhan kali tenaga. The power of rindu. Pokoknya, benar-benar cinta.
Jika boleh memilih, sebenarnya aku lebih memilih untuk tinggal di kota yang sama saja dengan istri dan kedua buah hati kami ini. Hanya alasan 'sayang' terhadap pekerjaan dengan gaji cukup besar ini yang membuatku tetap bertahan. Apalagi sejak tahun lalu, aku telah diangkat menjadi karyawan permanen. Maka ada jaminan masa depan, uang pesangon yang tak mungkin kuabaikan. Lagipula, istriku yang baik hati dan pengertian itu, justru selalu mendukung LDR ini. Sepertinya, ia tak keberatan meski kami harus berjauhan.
Danita selalu mendukung LDR kami. Tak pernah keberatan selama apapun aku baru bisa pulang. Ah, atau sebenarnya terlalu mendukung?
Pikiranku tiba-tiba terhenti pada pertanyaan itu. Ya, bahkan ia tak pernah menunjukkan kerinduan berlebihan selama apapun perpisahan. Apa karena kesibukan mengurus butiknya dan mengurus Denta-Denti? Apa semua itu membuatnya tak pernah merasa kesepian? Atau karena ada 'seseorang' yang selalu datang mengisi kekosongan pada hari yang panjang selama waktu kerja kutinggalkan?
Mengisi keabsenanku.
Aku menggeleng pelan. Berusaha menghilangkan semua pikiran buruk tentang istriku sendiri. Sembari mencari-cari simpul yang membuatku kebingungan tanpa berhasil memahami, ada apa denganku?
Pencuriga, itu samasekali bukan sifatku. Tak pernah aku mencurigai Danita sebelum ini. Kurasa dia begitu menjaga interaksi dengan laki-laki, siapapun, bahkan walau hanya kepada pelayan toko apalagi teman-teman laki-lakiku. Jangankan untuk berakrab-akrab, sekedar berteman pun dia mampu menjaga. Jangankan untuk berbalas pesan lewat chatting pribadi, membalas komentar laki-laki di medsosnya pun ia tak sudi. Itu pun sebab, aku begitu mempercayainya.
Entah mengapa sekarang perasaanku tak nyaman. Mungkin karena rindu yang terlalu bertumpuk membuat pikiranku penuh kotoran. Atau karena rasa cinta yang makin besar dan kian berkembang kurasakan. Ya, aku mencintai Danita, sangat.
Maka kuputuskan untuk kembali menetralkan pikiran. Mengenyahkan semua kecurigaan.
Dengan Denta dan Denti yang masih ada dalam pangkuan, kuminta Bi Numi memindahkan barang-barang kembarku ke kamar.
"Semuanya, Pak?" Bi Numi bertanya memastikan.
"Em, iya, Bi. Pakaian dan perlengkapan lainnya. Kalau box bayi nanti saya aja yang pindahin."
Bi Numi mengangguk patuh. Memindahkan barang-barang si kembar ke kamarku dan Danita. Ya, seperti biasa, aku ingin menjalani quality time selama masa cuti dua minggu ini. Sebelum kembali lagi pada rutinitas bekerja dan LDR selama dua bulan. Huft.
Kuperhatikan Bi Numi mengangkat bolak-balik barang-barang si kembarku ke kamar kami. Banyak juga. Padahal kan mereka cuma ditidurkan dengan Bi Numi selama satu malam. Hanya satu malam! Tapi barang-barangnya sebanyak itu. Dasar anak kembar. Senyumku mengembang. Kembali kucubit bergantian pipi tembam Denta dan Denti. Mereka tersenyum menggemaskan.
Danita sudah berangkat ke butik setengah jam yang lalu.
"Sayang, aku baru pulang masa kamu tinggal ke butik lagi?" rengekku seperti anak kecil di meja makan saat Danita ingin berpamitan tadi.
"Iya. Barang-barang baru pada datang hari ini. Nggak mungkin aku tinggal. Itu gaun-gaun mahal. Lagian, salah kamu sih, Mas pulang nggak bilang-bilang. Makanya telepon dulu jadi aku sudah siapkan waktu."
Yah, itu salahku dan aku mengakui.
"Sekalian juga aku mau antar Zaena. Dia nggak bawa mobil." Istriku melirik karibnya yang sedang menikmati makan bersama dengan kami saat ini.
"Hem." Aku menyerah. Mengizinkan. Meski dengan berat hati.
Maka kuhabiskan sepanjang pagi bersama Denta dan Dentiku tercinta ini. Kucium lagi si kembarku. Membuat mereka kembali tertawa.
"Sudah, Bi?" Aku bertanya pada Bi Numi yang berniat mengambil si kembarku dari pangkuan. Menghapus keringat di keningnya.
"Iya, sudah, Pak."
"Ayo, anak-anak cakep, sekarang sama Bibi lagi ya.... Ayahnya mau mindahin box dulu." Bi Numi melucukan suaranya, bicara pada kedua kembarku.
Aku ikut tersenyum lebar.
"Duh, anak-anak pinter. Yang satu ganteng yang satu cantik. Eummmm...."
Aku tersenyum lagi. Mendengarnya sambil melepaskan kuncian box bayi.
"Jangan kangenin Bibi ya. Kalau Ayah pulang, bobonya sama Ayah Bunda...."
Eh. Tanganku berhenti bergerak memutar baut pengait ban. Menatap tajam pada Bi Numi.
"Nanti kalau Ayah sudah berangkat kerja lagi, baru bobonya sama Bibi lagi ya...."
Napasku tersengal.
"Hihi.... Jangan nakal ya. Cuma dua minggu aja. Nanti bobonya balik sama Bibi lagi." Bi Numi masih melucukan suaranya. Bicara pada dua balitaku yang tertawa-tawa sejak tadi.
Mulutku kini terbuka, mematung. Apa maksud Bi Numi?
"Bi...." Suaraku berat keluar. Seperti tercekat di tenggorokan.
"Kalau saya kerja dua bulan, anak-anak tidur sama Bibi?"
"Iya, Pak."
Tanganku melemas. Tapi bergetar.
"Setiap malam?"
"Iya, Pak. Biasanya kalau udah harinya bapak cuti, baru anak-anak saya anterin ke kamar Bapak sama Ibu. Tapi biasanya kan nggak dadakan. Jadi nggak buru-buru gini juga saya mindahin barangnya. Maaf ya, Pak. Jadi telat keburu disuruh-suruh dulu pagi-pagi pas Bapak sudah datang gini."
Kali ini lututku yang bergetar. Ada apa ini sebenarnya?
Belum tuntas keterkejutanku akan pengakuan Bi Numi soal Denta dan Denti, lagi-lagi wanita ini membuatku merasakan cekikan persis di saluran pernapasan.
"Oh ya, Pak. Saya tidurnya tetap di kamar belakang ini, atau pindah ke kamar depan dekat kamar Bapak itu lagi ya, Pak?
Kenapa Bi Numi menanyakan itu? Bukannya kata Danita, Bi Numi sendiri yang meminta pindah ke kamar belakang agar dekat dengan dapur?
"Maaf kalau saya lancang ya, Pak. Maksudnya supaya sekalian saya juga mindahin barang-barang saya kalau iya. Saya terserah aja sama majikan mah. Soalnya tadi lupa nanya ke ibu. Biasanya kan kalau Bapak pulang saya juga diminta pindah lagi ke kamar depan."
Apa? Apa maksudnya?
"Siapa yang minta Bibi tidur di kamar ini?" Suaraku terasa serak kali ini.
"Hem? Ya Ibu lah, Pak yang minta. Masa saya berani ngatur-ngatur kamar sendiri." Wanita paruh baya itu terkekeh. Kekehan yang tidak lucu terdengar di telingaku.
"Sejak, sejak kapan?"
"Maksud, Bapak? Ya sejak jadi babysitter di sini lah, Pak. Gimana maksudnya, Pak?"
Kali ini aku merasa napasku seperti benar menghilang.
Apa maksudnya semua ini? Danita membohongiku selama ini? Berdusta? Mengapa dan untuk apa?
.
.
.
Bersambung.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
