Rahasia Terpendam 1-2

5
0
Deskripsi

Hay, ketemu dengan satu lagi novelku bergenre romance thriller yang agak beda kali ini. Bisa dibilang ini gabungan dari novel drama rumah tangga, romance, dan detektif 😁

 

Baca aja yuk! 

1. KEJUTAN TIBA-TIBA

Aku menatap dalam-dalam pada istriku, Danita. Terpantik curiga seketika demi melihat sikapnya yang begitu kentara menyembunyikan sesuatu. Terlebih saat aku pulang diam-diam di hari kerja seperti ini. 

Niatku ingin memberi kejutan, tapi yang kudapati justru sambutan yang mencurigakan.

Malam-malam begini, di saat harusnya ia sudah tertidur pulas bersama buah hati kembar kami. Tapi yang kudapati ia malah berdandan cantik dengan lingerie seksi. 

Ia menggunakan make up manis di wajah. Dengan polesan lipstik warna merah yang menambah kesan sempurna menggodanya. Belum lagi aroma parfumnya yang menguar memenuhi udara.

Tapi untuk siapa? Bukankah ini harusnya masih hari aktifku bekerja di luar kota? Ya, aku bekerja di sebuah perusahaan batubara di kota berbeda. Sesuai aturan perusahaan, aku tinggal di mess bersama para karyawan tetap lainnya. Waktu kerja dua bulan lalu cuti dua minggu kemudian.

Danita dan anak kami tak mungkin kubawa serta ke daerahku bekerja. Karena memang bukan area pemukiman. Satu-satunya bangunan, ya hanya mess dan kantor perusahaan itu saja. Di sekelilingnya, hutan dan area pertambangan. Dan lagi, aku memang telah membangun rumah di kota asal kami, Samarinda. Jadi itu menjadi alasan kuat untuk Danita mendiaminya. Bersama kedua balita kembar kami yang baru berusia satu setengah tahunan, Denta dan Denti. Juga ditemani babysitter anak-anak kami, Bi Numi.

Hari ini aku mendapatkan jatah cuti lebih cepat satu minggu. Karena Bendi, kawan sesama HRD di perusahaan, sudah membooking tanggal cutinya setelahku. Ia akan menikah pada tanggal yang harusnya menjadi tanggal cutiku di periode ini. Maka setelah bernegosiasi, kesepakatan dan izin cuti kudapat lebih cepat. Agar bisa kembali lebih cepat pula ke perusahaan dan Bendi bisa meneruskan cutinya sesuai tanggal yang direncanakan.

Biasanya aku selalu mengabari Danita jika akan pulang. Lagipula, ia pun pasti sudah hafal kapan suaminya ini mendapat jatah rehat dua mingguan.

Tapi tidak kali ini. Aku sengaja pulang tanpa memberi kabar. Dengan perjalanan dari daerah pertambangan selama hampir delapan jam, maka aku baru tiba di rumah jam dua belas malam. 

Perlahan, kuketuk pintu samping. Pintu ini memang sejak awal kurancang berdekatan dengan kamar utama, kamar tidurku bersama Danita. Tujuannya, ya seperti ini. Memudahkanku masuk di saat mendesak atau jika ada yang tertinggal dan harus segera kuambil dari dalam kamar.

Kulihat dari balik jendela, lampu kamar masih menyala. Sementara kamar lain sudah mati lampu seluruhnya. Kupikir, si kembar sedang menyusu. Ya, kata Danita, balita-balita kami itu memang kerap bangun tengah malam untuk menyusu bergantian.

Ah, rinduku membuncah mengingat mereka. Kerinduan pada Denta dan Denti. Juga tentu saja, kerinduan pada Danita. Ingin rasanya cepat-cepat masuk dan memeluknya.

Ketukan ketiga, kulihat pintu di hadapanku terbuka. Segera kupasang raut siap 'menerkam' sebagai kejutan dan luapan kerinduan padanya yang akan membukakan pintu. 

Tapi sepersekian detik saat sosoknya muncul di depanku, kaki dan tanganku justru seketika membeku. 

Danita berdiri di hadapanku, dengan lingerie dan make up cantik sekali. 

Ah, tunggu dulu. Bukankah aku tak memberitahunya bahwa akan pulang malam ini? Kenapa ia bisa tau? Berdandan seperti ini.

"Mas Luthfi?!" tanyanya terkejut. 

.

.

2. TAMU TENGAH MALAM

"Mas Luthfi?!" tanyanya terkejut. Lalu berusaha diurainya keterkejutan itu dengan menenangkan nada dan suara secepatnya.

"Eh-ehm, Mas. Kamu pulang malam ini? Loh, kok nggak bilang-bilang?" Ia langsung meraih tanganku yang membeku, menciumnya. 

Sentuhannya mencairkan kebekuanku. Lalu mengalirkan panas di seluruh sendi kaki hingga kepala. 

Ada cemburu yang seketika membakar. Curiga yang tiba-tiba terlecutkan. 

"Menunggu siapa kamu?!" Suaraku langsung tertekan. Dengan pandangan yang kuhunuskan tepat di manik matanya. 

"Menunggu? Menunggu siapa? Ah, ini tengah malam, Mas. Aku nggak nunggu siapa-siapa pun," jawabnya mantap. Tapi sungguh, aku menangkap kegugupan di mata itu. Mata wanita yang telah kunikahi selama tiga tahun ini. 

"Oh ya? Lalu kenapa berpakaian seperti ini?!" Aku menunjuknya, dengan jari yang menegang dan bergetar karena emosi yang kian menyala.

Ia memegangi pakaian terbukanya. Lalu menatapku segera. Kembali meyakinkan bahwa tak ada siapapun yang sedang ditunggunya.

"Nggak ada, Mas. Aku cuma lagi nyobain ini baju tidur yang baru aku beli siang tadi. Buat aku pakai pas kamu cuti. Eh, pas banget kamu datang ternyata." Ia meyakinkan. 

Aku tak bergeming. Ada rasa gundah yang membuatku tak bisa mempercayai alasannya begitu saja. 

Membeli lingerie untuk menyambut kepulanganku katanya? Ah, tiga tahun kami berumahtangga, ia tak pernah semanis itu. Terlebih untuk urusan ranjang. Dingin. Boro-boro untuk mengenakan lingerie, sekedar menanggapi rayuanku saja, ia selalu nampak enggan. Terpaksa, acap kurasa ia hanya sekedar memenuhi keinginanku dan melepaskan kewajibannya. Aktivitas itu tak pernah menjadi prioritas yang nampak dirindukannya. Malahan saat aku tak meminta, ia justru nampak lega. Tidur lebih dulu dengan senyum mengembang seperti tanpa membawa beban apa-apa.

Tapi malam ini ia mengenakan pakaian terbuka itu. Lengkap dengan semua polesan yang membuat cantiknya begitu terang mempesona. 

Mungkinkah, ada orang ketiga yang ada di antara kami berdua? Pria idaman lain? Tapi siapa?

Hatiku memanas sempurna. Membayangkan berbagai bayangan buruk tentang sosok pria yang mampu membuatnya demikian menanti. Hingga mempersiapkan penyambutan sebaik ini. 

Ah, Danita. Tapi mengapa? Apa kurangku sebagai suaminya? Jika kepuasan yang ia cari, mengapa tak nampak saat kami menghabiskan malam bersama? Jika kenyamanan yang ia cari, apa aku tak pernah cukup menjadi tempatnya melabuhkan semua cerita? Padahal selama ini, aku selalu berupaya menjadi yang terbaik untuknya.

"Mas. Yuk, masuk." Ajakannya membuyarkan semua pemikiran yang membuatku dikuasai kegusaran sekarang.

Kujejak kaki dengan langkah besar, masuk mengikutinya. Ia mengunci pintu dan segera mengajakku menuju kamar. 

Melangkah, tapi kucekal lengannya saat berlalu di sampingku. Lalu kudorong tubuh itu hingga tersandar di dinding lorong. Mengunci semua gerakannya.

"Siapa? Siapa yang kamu tunggu, Nita?!" Lagi-lagi kuulangi pertanyaan itu. 

Ia menggeleng keras. Memalingkan muka.

"Kamu mencurigaiku, Mas? Mencurigaiku mengkhianatimu? Begitu?!"

Aku menelan saliva. Mati-matian menahan diri untuk tak curiga tapi logikaku terus hidup menjajakan segala bayang tentang orang ketiga yang ada di antara kami berdua. 

Ah! Tidak mungkin sekebetulan ini. Aku datang terlalu tepat waktu. Saat ia mencoba lingerie ini.

"Kamu berdandan seperti ini, untuk siapa?! Kalau hanya mencoba pakaian ini, kenapa harus berdandan secantik ini juga, Danita?! Di tengah malam seperti ini. Kenapa?!" Napasku memburu. Terlebih saat mencium aroma tubuhnya yang menguar dengan wangi parfum luar biasa. Sesuatu yang bahkan tak pernah digunakannya saat bersamaku. 

"Aku sudah bilang, Mas. Aku hanya mencoba--"

"Mencoba? Mencoba apa?! Mencoba untuk bermain api?!"

Dia menatapku dengan mata berkaca. Tapi yang kulihat justru gugup menyembunyikan rahasia. Sial!

"Aku hanya mencoba untuk memperbaiki semua kekuranganku, Mas. Untukmu. Apa itu salah? Apa salah kalau aku ingin memperbaiki kehambaran kita?"

Genggamanku pada lengannya melemah. Seiring hatiku yang terhujam amat payah. Terlebih saat kaca-kaca di mata itu hampir tumpah. Segera kulepas kuncian pada tubuhnya. Aku tak pernah bisa melihatnya menangis.

Kuatur napasku yang kacau sejak beberapa menit belakangan. Lalu beristighfar dalam hati yang masih gamang. 

Mungkinkah aku salah menerka? Mungkinkah aku cemburu buta? 

Aku menggelengkan kepala. Seakan di kepala inilah akar semua masalah bermula.

"Ah, ya. Maaf... maaf. Aku hanya terlalu cemburu." Aku memijit pelipis. 

Dan kudengar deruan napasnya seakan masih tak terima. Mungkin atas ucapku yang terlalu mencurigainya. Jika itu tak benar, maka pasti sangat menyakiti hatinya. Terlebih jika sesungguhnya, ia justru ingin mempersiapkan diri untuk menyambutku, suaminya.

"Ya. Ya sudahlah. Kenapa kita jadi berdebat di sini. Ayo masuk, Mas. Kamu pasti lelah." Ia memutuskan keheningan yang tercipta beberapa saat lamanya. Mengulurkan tangan.

Aku merasakan emosi yang mulai mereda.

Mendongakkan kepala, kusambut tangan itu dan mengikuti ajakannya. Menuju kamar kami.

Dua langkah, dan pintu di belakangku diketuk. Sekali, dua kali, tiga kali. 

Tok tok tok....

Tok tok tok....

Tok tok tok....

Kuhentikan langkah segera. Lalu kukeraskan genggaman tanganku pada jemarinya yang terasa mendingin.

Sungguh kutatap lekat mata istriku yang menoleh kaku demi mendengar ketukan dari arah pintu itu.

Siapa yang datang? Di tengah malam seperti ini. Diakah sosok yang sesungguhnya ditunggu Danita? Jika iya, maka kupastikan malam ini juga akan memberikan pelajaran pada laki-laki hidung belang yang begitu bernyali menjamah milikku ini. Aku bersumpah!

"Mas...." Danita berusaha melepaskan remasan tanganku. Tapi tak kuindahkan.

Justru makin erat kukuatkan genggaman itu sembari melangkah berbalik menuju pintu. Memutar kunci dan membukanya. 

Lalu....

"Oh... Oow. Wow. Apa aku mengganggu? Ya, sepertinya aku mengganggu agenda malam kalian." Sosok yang tiba-tiba muncul di balik pintu itu menangkupkan tangan di depan mulutnya. Memasang tampang terkejut dan tersenyum menggoda demi melihat Danita yang hanya mengenakan lingerie di belakangku.

Zaena, sahabat karib istriku.

"Maaf. Aku baru pulang dari penerbangan luar pulau. Pesawat deley dan baru tiba setengah jam yang lalu. Mas Fian tidak bisa menjemput karena ada urusan pekerjaan yang belum bisa ditinggalkannya, lembur. Dan kalau pulang rasanya sudah lelah sekali. Kalian tahu rumahku jauh di ujung kota, huft. Jadi kuputuskan untuk datang kemari, numpang menginap sampai besok pagi." Ia menjelaskan tanpa kutanya.

"Tapi sepertinya aku datang di saat yang sangat tidak tepat." Zaena tersenyum lebar. Lagi-lagi mengerlingkan tatapan menggoda ke arahku dan Danita.

"Oke. Ya sudah, aku berubah pikiran. Aku akan mencari penginapan saja," putusnya sambil menangkupkan tangan.

Oh, Tuhan. Apa yang kupikirkan rupanya? Kulepaskan genggaman keras pada tangan Danita lalu kusapu wajah dengan rasa bersalah yang membuncah. 

Cemburu buta. Ya, aku benar-benar mencemburui tanpa bukti. Begitu gegabah.

"Oh, tidak, Zaena. Silakan masuk. Menginap di sini saja. Pintu rumah ini selalu terbuka untuk sahabat istriku tercinta ini." Aku melirik pada Danita. Mencoba memberikan tatapan manis, permohonan maaf.

Danita membuang muka. Menahan kesal padaku dan rasa malu pada sahabatnya itu sepertinya.

"Oh, ya. Masuk, Za. Kamu bisa langsung ke kamar tamu ya. Aku ke kamar duluan. Permisi." Danita tersenyum risih. Lalu berjalan cepat meninggalkan kami. Menyilangkan kedua tangan di depan dada pada pakaian seksinya.

Zaene manyusul masuk dan segera kupersilakan menuju kamar tamu. Ia memang sahabat karib istriku, satu-satunya teman baik Danita, istriku yang sangat introvert. 

Tertinggal aku sendirian, berniat menutup dan mengunci pintu tapi gerakanku terhenti saat kudengar suara mesin mobil berhenti, tepat di balik pagar pada halaman belakang rumah ini. Sayangnya lampu jalan sedang mati dan begitu gelap di sekitar. Jadi mobil itu pun hanya nampak dalam bayang-bayang. 

Siapa? Kenapa berhenti tepat di sana? 

Aku mengernyit kembali. Rasa curiga yang tadi sempat mencuat begitu hebat kembali memenuhi isi kepala. 

Kulangkahkan kaki keluar dan berniat menghampiri demi membayar kecurigaan di hati ini. Tapi tepat saat aku ingin mendekat, mesin mobil itu kembali dinyalakan dan melaju cepat dalam keremangan. Aku bahkan tak sempat melihat plat mobil samasekali. 

Siapa? 

Aku benar-benar kembali curiga. Tapi detik kemudian, aku baru kembali tersadar dan mengusap muka. Menetralkan segala kabut curig yang memenuhi dada. 

Pasti bukan siapa-siapa. Hanya orang lewat dan mungkin berhenti sejenak tepat di halaman belakang rumahku yang memang berbatasan dengan jalan.

Aku mengangkat bahu dan kembali melangkah masuk. Meredakan cemburu dan curiga yang menggusarkan dalam dada. 

.

.

.

Bersambung.

Jangan lupa follow @lebahratih ya ☺

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Rahasia Terpendam 3-4
2
0
Mas.... Danita sudah berdiri di depan kamar Bi Numi. Menghalangiku yang ingin membuka pintu.Danita. Kenapa? Aku mengecilkan suara. Khawatir membangunkan Denta-Denti yang harusnya ada di dalam.Mereka nggak ada di sini. Jadi besok aja. Oke?Apa?! Nggak ada di dalam? Aku bergegas membuka pintu kamar. Benar, kamar Bi Bumi kosong.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan