
“Siapkan koper saya, Bi.” Aku menoleh pada Bi Fatma yang segera mengangguk dan melakukan apa yang kuminta.
“Baik, Bu.”
Mas Langit menganggap aku sedang keluar kota kan? Kalau begitu, biar ia menganggap begitu. Dan aku akan leluasa mengikuti semua yang ia sembunyikan di belakangku. Membuktikan, apa benar di diam-diam ia bermain curang?
BAB 7
Aku hanya bisa terdiam, menunggu dengan terkaan paling tak terbayangkan atas tanya yang begitu menggusarkan pikiran dan perasaan.
Saat menoleh kedua kali, wanita yang hampir tertabrak dengan bayi yang erat ia dekap tadi berpamitan dan meyakinkan pada orang-orang di sekitar bahwa kondisinya memang tidak separah yang dikhawatirkan. Ia hanya sedikit shock.
Lalu pergi dan menghilang begitu saja. Sementara aku gamang untuk mencegah dalam kondisi seperti sekarang. Apalagi, tanpa bicara Mas Langit segera menarik tanganku untuk kembali ke mobil.
“Pak, diajarin baik-baik itu istrinya nyetir! Bahaya mau nabrak orang!”
Mas Langit hanya mengangguk dingin pada lawan debatku tadi yang masih tak puas rupanya. Jika saja fokusku sekarang tidak terpecah antara memikirkan masalah rumah tanggaku dengan Mas Langit dan kondisi ini, pasti akan kembali kulayangkan sahut tak terima atas nasihat menyudutkan nan meremehkannya barusan.
Aku bukan gadis kemaren sore yang baru belajar menyetir, justru sangat berpengalaman dalam berkendara selama ini, sendirian.
Mas Langit membuka pintu penumpang di sebelah kursi kemudi dan memposisikanku untuk masuk. Jelas itu lebih dari sekedar instruksi agar aku tak menyetir sendiri sekarang.
“Aku bisa bawa mobil sendiri! Jangan kemakan omongan orang-orang itu—“
“Aku yang bawa,” ucapnya cepat, memotong protesku.
Lalu dengan cepat pula itu ia menutup pintu dan membuatku tak bisa berontak lagi. Kemudian ia sendiri berputar dan duduk di balik kursi kemudi.
Kulihat ia membuka ponsel beberapa saat kemudian, menghubungi sopir untuk mengurus mobilnya yang ditinggal serta menunjukkan alamat ia meninggalkan mobilnya, di lokasi ini, Bukit Awan. Sekaligus menginfokan kalau ia akan pergi denganku.
Aku menarik napas dalam dan menatap lurus ke depan bersamaan dengan dinyalakannya mesin mobil oleh Mas Langit. Hal yang sangat tak biasa seumur pernikahan kami. Biasanya, untuk urusan ini, aku selalu sangat mandiri. Saat bepergian kemana pun, aku tak pernah merepotkan suamiku sendiri untuk menjadi sopir pribadi, tidakkah aku sangat pengertian sekali?
“Aku mau ke Kafe Jasmine, ada pertemuan,” ucapku menyampaikan agar suamiku yang dingin ini tak salah membawaku ke tujuan. Enggan menoleh padanya. Sebab hanya dengan melihat wajahnya, bayangan tentang kain jilbab di laci kantornya yang tadi kutemukan, beriringan dengan pertanyaan Efan dan pengakuan Bi Fatma terasa berkejaran dalam pikiran, menyesakkan.
Aku memperhatikan jalan, Mas Langit memutar haluan, arah pulang ke rumah, bukan ke arah kafe yang kusebutkan.
“Mas!” protesku dengan memanggilnya sampai ia menoleh.
“Kamu hampir menabrak orang tadi,” ucapnya seakan menyampaikan alasan yang sangat masuk akal untuk membawaku pulang.
Tidakkah ia tahu, aku begitu sebab fokus mengemudiku sangat terganggu? Oleh pikiran tentang dirinya. Ia lah penyebab utamanya. Semua tentangnya yang membuatku gundah dalam duga yang belum juga kuutarakan sampai detik ini padanya.
Aku tak lagi menyahut. Gumpalan perasaan yang memenuhi dada tak bisa kuajak berdamai untuk bersikap biasa. Tapi pikiranku memberikan sinyal kepekaan yang menuntunku untuk tak salah mengambil tindakan. Kali ini, kubiarkan ia merasa aman.
Kami tiba dan aku segera masuk ke dalam rumah. Mas Langit mengikuti masuk, menuju kamar kami.
Bi Fatma rupanya masih membereskan kamar yang kacau, terutama pada lemari dan laci-laci yang menyimpan barang-barang Mas Langit. Hal yang pasti menimbulkan tanda tanya di benak siapapun, terlebih suamiku yang semakin terlihat menyimpan banyak rahasia itu.
Aku berdiri dengan menatap tajam. Menunggu ia bertanya alasan yang membuatku melakukan semua itu. Selama ini, aku sangat menghargai privasinya dan yang ia berikan justru semua keabu-abuan yang tak pernah kusadari ini.
“Oh, Bapak, Ibu? Maaf, saya masih ini … eng, beres-beresnya belum selesai.” Bi Fatma nampak gugup saat mendapati kedatanganku dan Mas Langit.
Kulihat Mas Langit hanya mengangguk lalu bergegas mengambil flasdisk yang diletakkannya semalam di atas nakas dekat tempat tidur. Ia sungguh tak bertanya samasekali atas keadaan yang terjadi, di kamar ini sampai Bi Fatma harus membereskan segala kekacauan.
Tidak mungkin kan dia berpikir kalau asisten rumah tangga kami murni sedang membongkar semua barangnya hanya untuk membereskan? Tapi sungguh, sepertinya memang ia berpikir begitu.
“Aku buru-burur, ada pertemuan setelah ini,” jelasnya singkat sebelum berpamitan. Lalu ia berbalik lagi sebelum meninggalkan pintu kamar.
Aku tersenyum kecut sambil menatapnya pergi.
“Sepolos itu kah dirimu, Mas?” gumamku menatap kosong. Meski tak memungkiri yang ia katakan barusan memang benar. Aku mengingat jadwal hariannya yang kulihat tadi di kantor dari Efan.
Rupanya pula ia masih berpikiran bahwa aku akan pergi keluar kota hari ini. Padahal jadwalku diundur tiga hari lagi. Artinya, tiga hari ini aku akan di rumah.
Baiklah, kalau begitu, ini justru kesempatanku untuk mengikuti semua permainannya, mengulik rahasia yang ia sembunyikan saat aku tak ada. Begitu kan?
“Siapkan koper saya, Bi.” Aku menoleh pada Bi Fatma yang segera mengangguk dan melakukan apa yang kuminta.
“Baik, Bu.”
Mas Langit menganggap aku sedang keluar kota kan? Kalau begitu, biar ia menganggap begitu. Dan aku akan leluasa mengikuti semua yang ia sembunyikan di belakangku. Membuktikan, apa benar di diam-diam ia bermain curang?
.
Belasan kali handphoneku berdering. Tentu saja Prita, Mimi, dan Nuna yang tak henti menghubungi. Mereka sudah menunggu di kafe sejak tadi dan aku justru terlambat datang. Padahal aku yang mengubah tempat pertemuan.
Kuhubungi taksi untuk mengantar ke tujuan. Mungkin benar, tidak sebaiknya aku menyetir sendiri saat pikiran tak fokus seperti ini. Bisa-bisa aku membuat orang lain celaka atau justru aku lah yang celaka bahkan bukan tak mungkin mati konyol begitu saja. Meninggalkan suamiku dengan semua yang belum terungkap tentangnya.
“Ya Tuhan, Shita. Telat banget sih? Aku cuma dapat izin buat keluar satu jam buat bahas review kegiatan kita,” kejar Mimi saat aku baru tiba.
“Iya ih. Anak aku tinggal sama pengasuh juga. Jadi nggak bisa lama. Kemarin aja kita pulang kemalaman aku udah dapat peringatan,” protes Nuna dengan raut tak kalah cemas.
“Ya udah buruan kita bahas aja. Review kegiatan kemarin kan?” Prita menengahi sambil membuka laptopnya.
Lima belas menit berlalu. Prita, Mimi, dan Nuna membahas apa yang memang seharusnya kami bahas. Sementara aku tak bisa menyimak samasekali. Padahal biasanya aku yang paling antusias dan teliti hingga semua laporan membutuhkan berkali pengulangan dan revisi. Tapi tidak kali ini. Pikiranku benar-benar dipenuhi dengan kejanggalan suamiku.
Setengah jam terlewat dan semua berjalan sangat lancar, mungkin sebab aku tak turut menginstruksi apapun.
Prita menutup laptopnya dan saling melempar pandangan dengan Nuna dan Mimi. Lalu menatapku.
“Ta?”
Kuamati mereka satu per satu.
“Foto yang semalam, apa mungkin benar-benar Mas Langit?” Segera kuajukan tanya itu. Padahal, semalam pula, usai meyakinkan diri kalau Mas Langit tak mungkin demikian, aku juga yang mengingkari dengan apa yang mereka bertiga sampaikan sebelumnya.
Prita mengangkat bahu sedangkan Nuna dan Mimi hanya diam, terus mengamatiku dengan tatapan tak terbaca mereka. Mungkin mengasihani atau juga meragukan. Entahlah.
“Kayak yang kamu bilang semalam, fotonya memang nggak jelas karena dari jarak jauh. Apalagi pencahahayaannya juga nggak maksimal karena suasana hujan.” Prita terdengar lebih bijaksana meski semalam ia lah yang terlihat paling mengkhawatirkan.
“Dapat foto itu dari siapa?” Aku menatapnya tajam.
“Aku sendiri, waktu pulang dari liburan pekan lalu. Nggak sengaja lihat pemandangan sepasang manusia itu. Aku pikir dari wajah dan postur tubuh mirip banget sama suamimu, makanya aku foto. Tapi ya nggak sempat zoom kamera atau menghampiri untuk memastikan karena naik kendaraan bareng keluarga.” Ia menggeleng dan menoleh pada Mimi serta Nuna yang menyimak tanpa menyela. “Terus aku perlihatkan ke Nuna dan Mimi sebelum ngasih lihat ke kamu, khawatir mataku yang rabun atau salah orang,” sambungnya hati-hati.
“Iya. Dan menurut mata kita, dilihat dari postur tubuh dan wajahnya meski dari jauh, itu memang Mas Langit, suamimu.” Nuna menimpali.
Mimi ikut mengangguk. “Meski ya memang nggak terlalu jelas sih. Bisa jadi orang lain aja yang mirip.” Mimi menanggapi. “Sorry, maksud kita, bukan mau nuduh atau menyarankan kamu buat curiga sama suami sendiri. Maksudnya, supaya kamu lebih waspada aja. Supaya kamu sadar kalau sikap suamimu yang terlalu menerima itu nggak normal. Menurut kita.”
Biasanya aku segera menolak semua yang mereka yang mereka sampaikan terkait Mas Langit. Aku justru selalu membanggakan kestabilan rumah tanggaku. Tapi kali ini, setelah mendapati hal-hal rahasia yang baru kuketahui, soal jilbab rahasia di laci kerja Mas Langit dan ia yang tak menginap di rumah saat aku tak ada, ditambah foto buram yang diperlihatkan Prita semalam, sepertinya, aku memang mulai goyah atas kepercayaan ini.
“Dimana lokasinya?” Aku menarik napas dalam dan mengajukan tanya kemudian, kembali pada topik bahasan soal foto itu. Tempat dimana Prita melihat mereka, seseorang yang diduga sebagai Mas Langit dan wanita berjilbab yang tengah bersamanya.
“Di daerah Bukit Awan.”
“Apa?!”
Napasku semakin tercekat sekarang. Di daerah Bukit Awan? Itu tempat kecelakaan yang hampir terjadi saat aku perjalanan ke tempat ini tadi. Biasanya, ke kafe ini, aku memang selalu melewati jalan besar. Nyaris tak pernah melewati tempat itu. Aku tak suka melewati jalanan berbukit-bukit, itu alasannya. Jika menemukan daerah demikian, aku rela memutar jauh untuk mencapai tujuan. Mas Langit pun sangat tahu kebiasaanku itu. Tapi sejak pagi tadi ada perbaikan di jalan utama, sebab itu mau tak mau aku harus memutar haluan, melewati daerah Bukit Awan.
Aku juga tadi bertemu dengan Mas Langit di daerah itu. Ketika jam makan siang dan Mas Langit menghilang dari kantor.
“Biasanya … keluar makan siang, Bu.” Jawaban Efan di kantor tadi memenuhi ruang pikiranku. Makan siang setiap hari di tempat yang tak diketahui siapapun. Lalu secara tak sengaja, aku bertemu dengannya di Bukit Awan. Tempat dimana Prita mengambil foto itu.
“Jadi, apa semua ini benar?” tanyaku dengan napas yang sesak dalam fakta yang semakin terkuak.
☘☘☘
BAB 8
“Ada apa?” Prita mengernyitkan kening, bertanya heran. Begitupun Nuna dan Mimi yang nampak semakin penasaran.
Aku menggeleng. Bayangan kejadian beberapa saat lalu, tercetak jelas dalam benak. Saat Mas Langit tiba-tiba ada di daerah yang sama, Bukit Awan. Bahkan tadi aku sempat berpikir kalau kehadirannya adalah suatu kebetulan dan keberuntungan, menyelamatkanku. Ternyata justru berhubungan dengan petunjuk yang nyaris membuatku terpuruk.
Aku menggeleng. Enggan menyampaikan pada para sahabatku ini dan mereka memang tak memaksa. Memberiku waktu untuk membaca siatuasi dan keadaanku sendiri.
“Bisa kirimkan fotonya?” tanyaku pada Prita dengan mengatur keseimbangan gelombang yang berarak di balik dada.
Prita megangguk. Melakukan yang kuminta, mengirimkan foto itu.
“Sudah,” katanya singkat sedetik kemudian.
Kubuka handphone segera dan mendownlod gambar yang dikirimkannya. Foto semalam, terlihat lagi sekarang, di depan mataku.
Meski dari jarak jauh dan pencahayaan yang kabur, tapi dari postur tubuh dan samar garis wajah yang tergambar, memang sangat mirip dengan Mas Langit. Bedanya, ia terlihat seperti sedang tersenyum di foto itu. Padahal Mas Langit nyaris tak pernah tersenyum, jarang sekali. Wajahnya selalu datar seakan tanpa ekspresi.
“Meski kadar kemiripannya cukup meyakinkan, tetap aja sih belum bisa dipastikan. Bisa aja itu orang lain yang benar-benar cuma mirip.” Mimi menanggapi sambil menghela napas panjang.
“Nggak sih, menurutku itu benar-benar Mas Langit.” Prita buka suara lagi. “Sayang nggak kevideo, tapi aku sempat lihat waktu mereka lagi jalan sebelum ngambil foto itu, gestur tubuhnya benar-benar Mas Langit,” yakinnya kemudian.
“Itu juga bisa jadi cuma kemiripan gestur tubuh.” Mimi kembali menyela. Entah sungguhan membela atau sebab ia yang paling peka atas kondisiku yang terluka.
Sementara aku terus menatap foto itu pada layar handphone di tanganku. Detik ini, jujur saja, rasanya selain terluka dan tak menyangka, aku juga merasa malu sekali. Betapa aku selalu mengelak tiap peringatan dan ungkap waspada yang berulang diungkapkan oleh orang-orang. Berdiri di atas kepercayaan dan rasa yakinku sendiri. Sampai semua ini terjadi dan aku baru tersadar bahwa kemungkinan itu memang ada. Suamiku berselingkuh dengan wanita lain.
Nuna nampak menarik napas dalam, menengahi Prita yang terus meyakinkan dan Mimi yang memberikan opsi bertolak belakang.
“Kayaknya butuh bantuan ahli IT. Buat memperjelas foto itu biar valid.”
“Emang bisa?” tanya Mimi tertarik. “Ada kenalan ahli IT nggak?” sambungnya tak sabar.
Aku menarik napas dalam. Meski sadar kalau niat mereka ingin membantu tapi aku sungguh belum sepenuhnya siap jika berada di posisi yang benar-benar malang dengan terungkapnya kebenaran.
“Soal itu, aku akan cari sendiri,” sahutku sambil mematikan handphone di tangan dan memasukkannya ke dalam tas.
“Oke, Ta,” ucap Nuna sambil mengangguk. “Tapi kalau butuh bantuan apapun, jangan sungkan buat bilang ke kita,” sambungnya lagi, terdengar tulus.
Aku balik menatapnya, tak segera mengangguk. Lalu menatap satu per satu sahabatku.
‘Apa mereka benar-benar tulus?’ gumamku dalam hati.
Sungguh, aku merutuki keraguan ini. Meski mereka sahabat-sahabatku, tapi selama ini, tak sedikit aku mempersoalkan soal hubungan mereka dengan pasangan masing-masing, terutama jika suami-suami mereka sedang menunjukan cinta saat kami terlibat kegiatan bersama. Aku membanggakan Mas Langit sebagai sosok suami yang paling pengertian.
Bisa saja kan mereka hanya berpura-pura peduli untuk sama-sama memperoleh bukti dan nantinya puas menertawakan di akhir perjalanan?
Ah, aku benci pikiranku meski itu sangat mungkin. Tak ada yang patut dipercaya sepenuhnya. Semeyakinkan apapun. Bahkan suamiku sendiri. Apalagi mereka. Malahan, sebenarnya banyak kasus pengkhianatan terjadi oleh andil orang-orang terdekat yang bahkan tak terdeteksi dan tak patut dicurigai.
Kalau ini soal iri hati, maka bahkan bukan tak mungkin, salah satu dari mereka atau mereka bertiga bekerjasama untuk membuat keadaanku lebih patut dikasihani. Apalagi sejak lama mereka kerap mengatakan hal-hal yang tak pernah kupertimbangkan. Soal laki-laki yang diam-diam berkhianat. Sebagaimana seorang istri yang kerap membanggakan pasangannya, sebenarnya mereka juga. Merasa beruntung karena memiliki pasangan yang protective. Hanya garang di saat mengkhawatirkan tapi selalu tulus memegang kesetiaan di belakang. Kerap mereka menganalogikan soalan itu, tentang pasangan masing-masing. Seakan bertolak belakang dengan suamiku. Padahal Mas Langit samasekali tak terlihat sebagai lelaki hidung belang. Jadi, pantas bila aku curiga kan?
Mungkin saja di antara mereka ada yang dendam dan tak suka lalu membuat skenario tak terbaca, merancang kehancuran bagi rumah tanggaku dan Mas Langit.
‘Lagipula Mas Langit memang tak nampak panik samasekali, bahkan saat mendapati semua laci dan lemari penyimpanannya berantakan oleh ulahku. Bukankah jika ia merasa bersalah, maka akan bersikap marah?’ Aku kembali bermonolog dalam hati. Mengingat-ingat kejadian itu lagi. Yakinku akan sesuatu yang buruk dan semua tertimpa pada Mas Langit, curiga yang sungguh tengah melangit kini seakan mengabur kembali demi melihat sikap begitu peduli para sahabatku ini.
Begitupun soal lokasi di Bukit Awan. Prita mengaku mendapatkan foto itu di sana dan tadi pun aku bertemu dengan Mas Langit di sana. Tidakkah ini hanya jebakan yang memang sengaja dirancang?
Aku mengernyitkan kening. Waspada yang bercabang-cabang. Raguku pada pengkhianatan Mas Langit kembali menjulang. Sesungguhnya, sebab aku sampai detik ini masih meyakini, Mas Langit tak akan mengkhianatiku.
“Kamu nggak ngeraguin ketulusan kita buat bantu kan?” Prita mengangkat sebelah alis. Seperti bisa membaca apa yang kupikirkan.
Bahkan sejak awal, ia yang selalu meyakinkanku soal ini.
Kuatur ekspresi wajah datar, samasekali tak menunjukkan kecurigaan. Ini saat dimana aku harus bisa mengendalikan diri dan mewaspadai segala kemungkinan. Bahwa memang harus kupertimbangkan, bisa saja Mas Langit benar-benar berkhianat. Atau justru di antara sahabatku ini memang ada yang tengah menjebak.
Tugasku membuktikan semua kecurigaan diri ini, dengan caraku sendiri. Ya, hanya diriku sendiri yang bisa kupercaya sekarang.
Aku menggeleng kemudian. Menutupi tuduhannya yang memang benar. Aku meragukan ketulusan mereka.
“Tapi kayaknya aku butuh bantuan,” ralatku dari penolakan yang kuutarakan sebelumnya. “Yah, kalian ada yang punya kenalan ahli IT? Yang bisa memperjelas kualitas foto buram dan tak jelas buat jadi bukti akurat?” tanyaku, memancing.
“Sepupu aku ada. Ahli IT terpercaya lulusan luar negeri. Bahkan biasa dipakai jasanya juga sama kepolisian buat bantu mengungkap bukti-bukti kasus kejahatan. Oke, aku bisa bantu soal foto itu.” Prita menyahut cepat.
‘Sepupu? Sejak kapan Prita memiliki sepupu? Apa ia lupa kalau kami kenal sudah sejak lama? Setahuku, orangtuanya sama-sama anak tunggal,’ bisikku dalam hati sembari menatapnya tajam.
Nuna nampak mengaduk minuman di atas meja dan Mimi melirik ke arahku dengan pandangan tak terbaca meski terlihat paling bersimpati atas semua yang terjadi.
Siapa yang sedang berkhianat? Mas Langit? Atau satu di antara sahabatku sendiri?
☘☘☘
Bersambung
Lanjut yuk
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
