Rahasia Langit 1-2

3
2
Deskripsi

Baca cerita ini, jangan ada bab yang diskip ya. Karena alurnya maju mundur dan biar klop rasanya. Pelan-pelan aja baca urut bab per bab nya. Serius deh 😊

Shita samasekali tak menyangka, Langit akan mengkhianati pernikahan mereka dengan kehadiran orang ketiga yang justru nampak shalihah.

Pelakor syar'i. 


Aku, Shita

“Hati-hati loh kalau punya suami terlalu menerima dan nggak pernah protes atau menuntut apapun sama istrinya.” Prita, sahabat yang kerap berada dalam satu kegiatan denganku tiba-tiba melayangkan satu kalimat ambigu itu dalam pembicaraan random kami di perjalanan pulang malam ini.

Aku yang sedang mengemudi, menoleh padanya yang duduk menyandar pada kursi di sebelahku.

“Hati-hati? Hati-hati kenapa?” Aku mengernyit sejenak saat mengajukan pertanyaan, lalu kembali meluruskan pandangan ke depan. Tetap berusaha fokus mengemudi meski sambil mengobrol. Apalagi dalam suasana malam dan di tengah gerimis seperti ini. Meski bagiku ini justru menyenangkan. Mengemudi di waktu malam adalah satu di antara waktu yang selalu kusenangi sejak dulu. Apalagi di tengah hujan. Cahaya lampu mobil yang terasa seadanya menyinari permukaan jalan ditambah dengan tetesan air yang jatuh dari langit, sungguh menggambarkan seni tingkat tinggi dari keindahan alam semesta ini.

Aku membelokkan mobil dengan elegan di persimpangan lalu lurus melintasi jalan raya yang terasa lengang. Lincah kutarik gas lebih kuat, menambah kecepatan laju kendaraan kami.

“Ya karena pada hakikatnya, yang namanya laki-laki apalagi sudah berstatus suami, umumnya memiliki rasa ‘kepemilikan’ yang tinggi terhadap orang-orang terdekatnya, apalagi istri.” Prita melanjutkan bicaranya sambil melepaskan headset yang ia gunakan di telinga untuk menerima telepon suaminya beberapa saat lalu.

“Yups,” sahut Nuna dan Mimi, dua sahabatku yang duduk di kursi tengah. Seakan tengah mendukung pernyataan Prita barusan.

Sekilas aku menoleh dan melirik singkat tiga sahabatku, lalu kembali fokus mengemudi sambil mengembuskan napas.

“Oh ….” Aku tersenyum hambar. “Mau curhat?” sambungku berusaha tetap menunjukkan intonasi baik. 

“Suami kamu posesif banget sih? Baru juga telat berapa jam, udah ribut aja,” protesku pada Prita yang nampak pucat karena terpaksa pulang terlambat di suatu waktu.

“Yah namanya juga dia sayang sama aku. Takut aku kenapa-kenapa di jalan kali,” sahutnya membela.

Lampu merah. Kuhentikan laju kendaraan tepat di depan garis trotoar, menoleh dan di saat yang sama, Prita kali ini nampak mengembuskan napas dalam, menatapku.

“Nggak mau curhat. Murni mau ngingetin aja,” ucapnya sambil mengangkat bahu.

Aku menoleh ke belakang. Mimi dan Nuna pun nampak mengangguk dengan ekspresi serius yang senada dengan Prita.

Sesaat kemudian aku tertawa.

Lampu jalan telah berubah hijau. Aku menginjak gas dan kembali melajukan mobilku.

“Kenapa jadi kompakan parno gini sih? Aneh banget. Mengkhawatirkan sesuatu yang nggak perlu dikhwatirkan samasekali,” ucapku. Aku berhenti tertawa dan mulai menjelaskan sementara tiga sahabatku diam menyimak.

“Suamiku nggak posesif kayak suami kalian dan suami-suami umumnya di luaran sana, bukan berarti nggak sayang. Justru karena dia terlalu sayang makanya nggak pernah protes sama apapun yang kulakukan. Dia percaya penuh dan sangat menghormatiku,” paparku lancar sambil tetap mengemudi. 

“Tapi masa segitunya sih? Suamimu itu benar-benar nggak pernah protes loh walau kamu berangkat kemana aja, nggak pernah ngelarang kamu pergi keluar kota bahkan keluar negeri walau berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Atau protes kalau kamu pulang semalam apapun.” Nuna kali ini ikut bicara. 

“Kenapa harus protes? Dia tahu kok aku selalu punya urusan. Kenapa dia harus mengada-adakan alasan untuk memprotes sesuatu yang bukan masalah? Toh, dia melakukan hal yang sama juga aku nggak pernah mempermasalahkan dan protes. Intinya, kami sama-sama saling menghormati.”

“Yakin?” Prita kembali menoleh, menatapku masih dengan ekspresi serius.

“Yakin lah,” sahutku. “Kami udah menikah dua belas tahun dan ngejalanin semua ini dengan baik-baik aja. Saling menghormati kesibukan masing-masing, bukannya saling menuntut.” Aku mengangkat kedua bahu dengan rasa yakin di hati.

“Terus kalau kamu pulang, sikap suamimu gimana?” Nuna menyambung.

“Gimana? Ya biasa aja.”

“Nggak pernah nanya-nanya? Protes atau melarang gitu?”

“Nggak. Kan sudah kubilang, kami saling menghormati kesibukan dan urusan masing-masing.”

“Yakin itu aja alasannya?” Mimi masih berusaha meyakinkankan dan cepat kujawab dengan anggukan sambil mengurangi kecepatan karena sudah memasuki area tempat tinggal salah satu sahabatku yang akan lebih dulu kuantarkan malam ini, Prita. 

Kupikir Prita akan segera turun karena jelas suaminya sudah menunggu di balik jendela lantai dua dan tentu saja terlihat dari posisi kami sekarang. Tapi ia justru menoleh ke kursi belakang, saling melempar tatapan dengan Mimi dan Nuna dalam beberapa saat. Lalu kembali menoleh padaku sembari menunjukkan layar handphonenya.

“Kalau begitu, coba tanyakan pada suamimu yang sangat menghormatimu itu, siapa wanita yang bersamanya ini?”

Aku terkesiap tak percaya. Menatap layar handphone dimana nampak foto suamiku tengah berada dalam jarak sangat dekat dengan seorang wanita berpakaian syar'i. Wajah mereka berhadapan dengan sebelah tangan Mas Langit tengah mengangkat dagu wanita itu dengan senyuman lebar.

Menatap mesra. 

Napasku terasa tercekat tiba-tiba.

Siapa? 

☘☘☘

BAB 2

Aku memasuki pekarangan rumah dengan perasaan berkecamuk. Bayangan foto kebersamaan Mas Langit dengan seorang wanita dalam posisi begitu dekat yang diperlihatkan Prita beberapa saat lalu begitu mengusik perasaan ini.

Ragam praduga buruk dan keyakinan atas percayaku padanya terasa berperang dalam benak.

Apa mungkin Mas Langit berselingkuh di belakangku? Tapi selama ini, sungguh aku tak pernah mencium sedikitpun gelagat mencurigakan darinya. Rasanya sangat aneh. Apa mungkin ia dijebak sebab ada pihak yang merasa iri dengan kedamaian rumah tanggaku dengan Mas Langit? Ingin mengusik keutuhan hubunganku dengan suamiku?

Aku merasa sangat mengenal Mas Langit. Ia lelaki dingin yang tak pernah mudah dekat dan membuka hati bagi siapapun. Bahkan sejak dulu, kurasa ia lelaki yang ‘tak tersentuh’. Itu hal yang membuatku begitu percaya. Dia samasekali bukan lelaki kotor. Setidaknya, itu yang kunilai darinya. 

Tapi itu saat di depanku dan hanya oleh penilaianku sendiri. Selama ini, aku sangat percaya diri dan teramat menjunjung tinggi kepercayaan pada yakinku sendiri. Mungkin sebab itu aku tak pernah sedikitpun menaruh curiga dan berprasangka. Aku sungguh mempercayai Mas Langit sepenuhnya sebagaimana kurasa ia selalu percaya padaku. Kukira, kami pasangan yang sangat ideal soal itu. Tak perlu diragukan samasekali.

Lantas tentang foto itu?

Aku menggelengkan kepala kasar beberapa kali, menaiki tangga sambil meremas tanganku sendiri. Saat menggenggam handel pintu, kurasakan retak di dada. Menebak dengan jutaan prasangka yang menggentarkan keyakinan yang selama ini kulangitkan pada sosok Mas Langit.

Kutahan handel pintu kamar begitu saja tanpa mendorongnya. Pikiran dan emosiku berperang dan saling melemahkan. Wahai, mengapa jadi sekalut ini? Bukankah mudah saja aku bertanya kebenarannya pada Mas Langit dan mengonfirmasi soal foto itu?

Lantas, jika Mas Langit mengelak, bukankah semua akan menjadi jelas? Aku bisa sekejap mata menyimpulkan bahwa hal itu hanya jebakan seseorang. Ya, semudah itu. Tapi bagaimana jika Mas Langit justru mengakui sesuatu yang tak terduga? Soal orang ketiga...? Tapi mungkinkah Mas Langit seperti itu? Lagi-lagi aku ragu dan menggelengkan kepalaku sendiri meski langkah kakiku saat ini justru membatu.

Pintu di hadapanku tiba-tiba terbuka yang membuat peganganku pada gagang pintu terlepas begitu saja. Sosok tegap Mas Langit nampak di ambang pintu. Wajah dingin yang datar dan tatapan tajamnya tersorot lurus ke arah wajahku yang masih diam memikirkan segala kemungkinan.

Dua detik, ia mengalihkan pandangan dari wajahku dan menengok ke balik pundak ini. Dua langkah ia maju dan berdiri di sebelahku sambil menolehkan pandangan ke kiri dan kanan serta arah tangga menuju ruang tamu. Jelas ia sedang memeriksa keberadaan orang lain selain diriku yang saat ini memilih mematung di depan pintu. Sesuatu yang mungkin ia duga menjadi alasan aku hanya diam sekarang.

Tentu saja tidak ada orang lain.

Sepersekian detik ia menoleh padaku, tepat saat aku mengangkat wajah dan tatapan kami bertemu. 

Aku mengamati wajahnya. Ekspresi datar dan tatapan dingin yang tak pernah berubah setiap waktu. Seperti biasa.

Biasanya, aku selalu berpikiran bahwa Mas Langit sangat memahami dan menghormati semua kesibukanku, apalagi aku melakukan semua ini pun untuk keluarga. Tapi pertanyaan demi pertanyaan Prita, Mimi, dan Nuna detik ini terasa berkejaran dan mememercikkan kekhawatiran yang selama ini tak pernah kuperhitungkan.

“Masa sih suamimu nggak pernah protes walau kamu pulang telat?” tanya Mimi di suatu kesempatan.

“Nggak lah. Dia percaya banget sama aku dan selalu menghormati pekerjaan atau kegiatanku,” sahutku.

“Tapi kan aneh aja, masa sih nggak pernah nuntut apapun ke istrinya?” sela Prita yang selalu panik sebab selalu dalam pengawasan suaminya yang mewajibkan ia selalu melapor setiap jam.

Aku angkat bahu atas pertanyaan-pertanyaan itu.

Mana mungkin Mas Langit macam-macam. Bukankah aku sudah berusaha menjadi yang sempurna sebagai seorang wanita bagi lelakinya? Aku memiliki wajah dan tubuh yang sangat terawat, pekerjaan yang mapan dan tak pernah mengekang. Alasan apa yang membuat Mas Langit mencari kesenangan dari wanita lain? Bahkan, aku sadar, para lelaki beristri, rekan-rekan bisnis Mas Langit kerap menjadikanku perbandingan ideal terhadap istri-istri mereka.

“Luar biasa, Pak Langit, istri Anda terlihat sangat menawan, seksi, dan awet muda. Terawat sekali, pasti rajin mengurus diri. Pantas saja Pak Langit bilang selalu betah di rumah,” puji rekan bisnis Mas Langit saat kami menghadiri suatu acara.

Aku tersenyum sambil menggamit lengan Mas Langit dengan rasa senang. Meliriknya yang tetap dalam ekspresi datar. Apalagi saat mendengar pernyataan kolega Mas Langit seperti itu. Mas langit bilang selalu betah di rumah. Ah ya, tentu saja aku tersipu mendengarnya. Mas Langit memang tak pernah mengatakan pujian semanis itu padaku tapi lihatlah ia mengakui hal itu justru di belakangku, kepada teman-teman bisnisnya. Sungguh sosok lelaki yang cool sekali. Sangat berbeda dengan lelaki hidung belang di luaran sana. Manis memuji istri di hadapan tetapi bicara sebaliknya di belakang, bahkan mengeluhkan dan membandingkan dengan wanita-wanita lain.

Atas semua itu, bagaimana mungkin aku tak percaya sepenuhnya pada suamiku? Belum lagi, Mas Langit itu sangat tertutup tehadap perempuan manapun. Jauh dari kata genit dan samasekali tak terindikasi sebagai lelaki buaya. Bahkan sekretaris dan asistennya pun semua lelaki.

“Itu kan yang terlihat di depan matamu,” selaan Mimi terngiang-ngiang memenuhi pendengaran.

“Iya, harusnya malah lebih waspada. Ada tipikal lelaki yang hanya besar mulut dan mudah membual sama para wanita tapi hatinya sangat setia dengan istri di rumah. Ada juga yang sebaliknya, kelihatan setia dan baik sempurna tapi ....”

“Tapi apa?” Aku yang sudah mulai tergoyahkan akibat foto itu memotong kalimat Prita dan lekat menatapnya. Gentar memikirkan jawaban yang mungkin sangat tak kubayangkan.

Prita menarik napas dalam.

“Tapi ... menyimpan rahasia yang mungkin tak terprediksi siapapun.” Mimi yang menjawab.

“Iya, diam-diam dan ....” Nuna menghentikan bicara lalu memilih untuk menutup mulutnya sendiri. Aku tahu, sejak dulu ia termasuk fans Mas Langit dan mungkin sulit percaya dengan topik pembicaraan ini. Ia yang paling dekat dengan keluargaku dan paling lama bersahabat denganku. “Mending pastiin sendiri deh,” ucapnya akhirnya sambil menarik napas dalam.

Apa mungkin Mas Langit seperti itu?

Mas Langit menggeser tubuhnya dan membuka pintu kamar lebih lebar lalu melangkah masuk. Pundak yang tegap menghipnotis pandanganku. Mencipta sejenis kekhawatiran dan rasa tak rela jika semua pikiran buruk itu terbukti. Ya, tentu saja, tak ada wanita yang rela suaminya memiliki wanita lain kan?

Harus kutanyakan agar hatiku tenang dan semuanya menjadi jelas seterang siang.

“Kenapa tak masuk?” Suara bariton Mas Langit terdengar datar dan membuyarkan lamunanku. Ia menoleh dengan gaya khasnya sambil menyipitkan mata, tenang menatap tepat di wajahku. “Ada pertanyaan?” tebaknya.

Aku menelan saliva dengan susah-payah. Bukannya bertanya, lidahku malah menjadi kelu tiba-tiba.

Aku sangat mengenal Mas Langit. Kuyakin ia selalu jujur menjawab pertanyaan apapun.

Maka, jika sekarang aku bertanya, akankah ia pun akan menjawab yang sebenarnya?

Ya, aku yakin itu. Ia akan menjawab jujur apapun kenyataannya. Lantas ...?

Mata elangnya menatapku datar, menunggu pertanyaan yang akan kutanyakan. Seharusnya, ia lah yang ketakutan tapi mengapa justru hatiku yang gentar?

“Ya, ada pertanyaan,” jawabku sambil menahan panas di mata yang tiba-tiba terasa entah sebab apa. Padahal semua ini masih berupa praduga semata. Mas Langit sendiri yang mengetahui jawabannya.

Ia melangkah kembali, mendekat. Gagah menunggu pertanyaanku.

Kami bertatapan dan beberapa saat masih berusaha kukumpulkan kekuatan untuk meneruskan pertanyaan. Tentang ia dan wanita yang kulihat di poto bersamanya.

☘☘☘

Bersambung

Tinggalin komen dan love serta follow akunku yuk 😊

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Rahasia Langit
Selanjutnya Rahasia Langit 3-4
1
0
Mas Langit menatapku dalam beberapa waktu, jelas sedang menunggu pertanyaan yang akan kuajukan padanya. Aku melepaskan tatapan lebih dulu dan menetralkan perasaanku sendiri.“Belum tidur?” tanyaku akhirnya, sambil melangkah masuk dengan senyuman yang kuterbitkan untuk menutupi semua kegelisahan.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan