Pura-pura Ta'aruf (7-8)

1
0
Deskripsi

Update nih 😊

Beberapa hari yang lalu, aku dikenalkan Oma dengan Ustadzah Mahmudah, ustadzah yang menjembatani ta'arufku ini. Kata Oma, ia biasanya rutin mengisi kajian muslimah di kompleks kami. Dan aku juga baru tau, ternyata beliau lulusan luar negeri. Alumni dari Universitas Kairo, Mesir. Yah, lumayanlah, setidaknya aku berhadapan dengan seseorang yang bisa dibilang cukup berkelas.


Basa-basi kujalani dengan sempurna. Setidaknya, ia jadi mengenalku, cucu Oma satu-satunya yang rupanya sering sekali diceritakan Oma, setiap kali pengajian. Duh, Oma! Bikin malu aja.


"Jadi Ukhti Fiqa ini baru hijrah ya? Baru pakai jilbab juga? Baarokallah ya, ukhti...." Senyumnya mengembang. Terlihat tulus tapi tetap saja aku jadi malu. Dan apa katanya tadi, ukhti atau uti? Apaan tuh?!


"Oh ya, maaf, kalau ke depan saya akan sering memanggil dengan sebutan 'ukhti' atau 'ukh'. Jangan dianggap itu sebagai imbuhan macam-macam ya...." Senyumnya melebar, seakan faham maksud raut wajahku. "'Ukhti' atau 'ukh' itu artinya saudara perempuan, saudara perempuanku. Karena setiap muslim itu bersaudara, jadi istilah itu biasa digunakan. Nah kalau 'akh' atau 'akhi', itu sebutan untuk saudara seiman pria." Ia melanjutkan. "Hari minggu besok, kita akan bertemu dengan Akh Luki bersama guru ngaji beliau ya, ukh. Sudah siap kan?"


Aku tersenyum sekenanya. Cuma ketemu ini, apa yang perlu disiapkan? 


"Oh i-iya, ustadzah, sudah." 


"Kalau ada hal-hal yang belum jelas dari proposal ta'aruf Akh Luki, bisa ditanyakan besok ya."


Aku mengangguk. Usai pertemuan itu, beliau mengajak ikut pengajian. Mau tak mau, aku ikut saja. Tapi diam-diam hanya sibuk bermain handphone di belakang. Tak berminat.

.
.
.

Aku mulai merasa kegerahan dengan jilbab warna fanta yang kukenakan sejak beberapa jam yang lalu. Aku memang belum terbiasa atau bahkan tak akan pernah terbiasa menggunakan busana tertutup seperti ini. Berkeringat, karena panas ruangan pertemuan tak ber-AC. Sebuah ruang belajar berukuran 4 x 5 meter dengan dinding putih polos. Ruang belajar Al Qur'an kata Ustadzah Mahmudah tadi.


"Nervous ya, ukh? Biasa seperti itu. Insya Allah pertemuan ini akan menjadi titik awal melihat sudut pandang masing-masing. Jadi, tenang aja ya. Sebentar lagi Ustadz Yahya dan Akh Luki datang" Ustadzah Mahmudah memandangiku yang beberapa kali mengelapi keringat di dahi.


What?! Nervous?! Idih, nggak banget dikira nervous mau ketemu cowok kayak gitu. Jelas-jelas aku ini sedang kepanasan. Kepanasan! Gerah. 


Tak lama, kudengar suara tapak kaki dan samar suara berbincang dari arah pintu. Disusul dengan kehadiran dua orang yang kuyakini Ustad Yahya dan pria bernama Luki itu. Tak jauh berbeda dari fotonya, sungguh tampangnya biasa saja! Nggak ada potensi membuatku nervous samasekali.


Lalu?


Lalu pertemuan ini berjalan dengan susunan acara yang ternyata begitu baku dan kaku. Ada kata pembukaan dari Ustadz Yahya, penyampaian maksud dari pertemuan kami yaitu jalan menuju ikatan suci katanya. Fiuuh.... Kenapa mendengar kalimat demi kalimat itu membuatku semakin mual? Tapi kusembunyikan rasa tak suka dengan memasang raut biasa. Tidak menunjukkan ketertarikan tapi juga tak menimbulkan kesan penolakan. Yah, jalani saja dulu. Mungkin setelah pertemuan ini, setelah aku dan si Luki itu bisa berkomunikasi, baru akan kusampaikan semua rencana, menjalani ta'aruf ini dengan pura-pura saja. Aku akan memberinya imbalan uang yang tak sedikit. Pria sepertinya pasti membutuhkan banyak suntikan modal untuk bertahan hidup kan?


Acara selanjutnya, pembacaan Al Qur'an yang langsung diarahkan kepada si Luki. Terdengar gemetaran di awal. Ah, pasti dia nervous.


Acara inti berlangsung. Sesungguhnya, aku cukup penasaran menunggu tahap ini. Bukan karena tertarik, hanya saja, ini bisa dibilang pengalaman sangat baru bagiku. Menjalani ta'aruf dengan proses pertemuan didampingi guru ngaji seperti ini. Aneh bin ajaib. Bayangin aja, dua orang yang mau PDKT, masa iya bawa dua obat nyamuk? Pertemuan seperti ini, tak masuk di akalku samasekali. Yang namanya PDKT, ya berduaan, cari tempat-tempat sepi dan mojokan, masa berempatan?


"Kita mulai dari Ukhti Fiqa ya, silakan apa ada yang mau ditanyakan?" Suara Ustadz Yahya diarahkan padaku.


Seketika aku blank. Lebih tepatnya entah, sepertinya aku tidak berminat menanyakan apapun. Secara, aku tidak tertarik dengan pria seadanya yang kini duduk di sisi Ustadz Yahya dan sibuk melihat ke arah meja sejak tadi. Ih, nggak banget cowok begitu. Ada cewek cantik di sini, yang dilihat malah meja.


Beberapa menit tak ada jawaban, pertanyaan yang sama dialihkan kepada si Luki itu. Dan rupanya, itulah permulaan malapetaka yang tak akan bisa kulupakan. Sungguh sial, rupanya ia menyiapkan begitu banyak pertanyaan yang membuatku BT bukan kepalang. Bertanya apa aku bisa memasak, bertanya caraku mengatur keuangan, bertanya kesediaanku mengikutinya menjalankan visi-misi ke depan, bertanya kebiasaan sehari-hari yang biasa kulakukan, bertanya hobbi-hobbiku yang membuatnya kebingungan, bertanya sudut pandangku tentang tempat tinggal usai pernikahan. Ih, yakin banget gue mau nikah sama lo?!


Oh my God. Asli parah banget yah nih orang, baru kenal tapi nanyanya kayak sudah pacaran tahunan. Bahkan yang pacaran tahunan juga nggak nanya sedetail itu dah.


Kujawab, sekenanya. Dengan tidak niat samasekali. Sekarang egoku bekerja. Bodo amat sama rencana ta'aruf pura-pura yang sudah kurencana. Pertanyaan-pertanyaannya jelas membuat harga diriku seperti dipermainkan anak ingusan. Awas saja.


Aku nggak bisa masak. Keuangan diatur Oma dengan kartu kredit yang bisa kugunakan sebebasnya. Hobbiku seperti yang sudah kutuliskan lalu kuperjelas seperti jawabanku pada Oma kemarin. Dan aku keberatan mengikutinya menjalankan visi-misi seperti yang sudah dia tuliskan. Kuberikan jawaban itu, telak. Biar saja. 


Lalu kulanjutkan dengan pertanyaan balasan. Bertanya berapa gajinya per bulan? Bertanya jenis dan merk kendaraan yang biasa ia gunakan? Dan bertanya apa ia punya hutang? Pertanyaan-pertanyaan yang sangat meremehkan. Itu saja, cukup membuat wajahnya memerah dan menjawab dengan terbata. Rasain! Makanya jangan cari gara-gara!


Ustadzah Mahmudah memandangku dengan seulas senyum yang entah bermakna apa. Memusut pahaku dengan tenang. Setelahnya ia mengambil alih pembicaraan dan menyampaikan kondisi, kalau aku baru saja berhijrah. Walau itu bohongan. Hanya ia saja yang tak tahu, aku cuma berpura-pura berhijrah, bahkan berpura-pura memakai jilbab seperti sekarang. Tapi tak kusangkal semua yang ia sampaikan.


Lebih sialnya, ternyata semua orang di ruangan ini menganggap semua pertanyaan si Luki padaku dan pertanyaanku padanya, juga jawaban yang masing-masing kami berikan sebagai hal yang wajar. Jadi, sejak sesi tanya jawab tadi, tak ada aura permusuhan dan kejanggalan. Mungkin hanya aku yang merasa kegeraman, dan itu pun rupanya tak terbaca. Makanya semua bersikap biasa saja. Bahkan di atas rasa BT ku yang mencapai pucuk kepala.


Ustadz Yahya malah menimpali dengan bernostalgia yang disambut sumringah Ustadzah Mahmudah dan si Luki yang juga ikut tersenyum menyambut ucapnya.


"Pada tegang yah? Yah, begitu memang. Pertemuan ta'aruf kerap dianggap lebih menyeramkan dari ruang sidang. Pertanyaan-pertanyaannya nggak terduga walau sudah disiapkan semalaman. Begitu ya, Akh?" Ustadz Yahya menatap si Luki dengan senyum mengembang. Dan yang ditanya menjawab dengan tersenyum masih menyembunyikan nervous sambil mengangguk dan menundukkan pandangan.


Dan pemandangan itu membuatku semakin gamang. Gemas sekali sama ini orang-orang.


"Saya dulu sampai gemetaran nunggu pertanyaan calon istri. Nggak sengaja numpahin air di atas meja. Kalau dikenang sekarang, istri saya masih aja ketawa." Lalu ia pun tertawa renyah seakan itu adalah pengalaman yang lucu.


Sialnya, si Luki kulihatpun menanggapi dengan tawa renyah seperti itu. Apa ia fikir yang kami alami hari ini juga hal yang lucu untuk dikenang di masa depan setelah kami menikah seperti Ustadz Yahya katakan?!


Deuh, nggak, nggak. Nggak banget. Gue nggak mau ta'aruf sama dia walau cuma pura-pura!


Tapi yang terjadi kemudian membuatku ditimpa kejutan yang sungguh di luar sangkaan. Benar-benar di luar dugaan dan tak pernah sedikitpun kubayangkan.

.
.
.

"Silakan Ukh Fiqa difikirkan dan diistikharahkan pertemuan hari ini ya. Insya Allah satu minggu lagi, saya tunggu jawaban Ukhti Fiqa, apakah berkenan untuk melanjutkan ta'aruf ini ke proses selanjutnya atau tidak. Tapi kalau sebelum satu minggu Ukh Fiqa sudah mantap memutuskan untuk lanjut, nggak papa disampaikan, segera hubungi saya. Kita tunggu keputusan Akh Luki juga. Banyak-banyak berdoa ya," pesan Ustadzah Mahmudah sebelum kami berpisah tadi.


Aku hanya mengangguk. Masih menyimpan sejuta kesal di hati. Mengingat pertanyaan-pertanyaan menyebalkan si Luki itu. Membuatku semakin yakin untuk tak menerimanya. Samasekali. 


Satu minggu itu berlalu serupa garis waktu yang memberikan begitu banyak ruang untukku menumpahkan kerinduan pada aktivitas dan hobbi-hobbiku tanpa harus memikirkan tugas-tugas soal ta'aruf. 


Apalagi, Oma juga bersepakat. Bahwa satu minggu ini adalah masa 'menunggu', jadi ia tak memberiku beban pengisian proposal atau jadwal-jadwal seminar lagi. Ouh, lega sekali. Setelah sekian waktu aku terkurung dalam syarat dan tahap ta'aruf yang sungguh membebani kepala dan jiwa, satu minggu ini aku bebas. Rehat yang sangat kutunggu-tunggu.


Aku mengisi hari-hari dengan menemui teman-teman nongkrong, bersenang-senang, menghabiskan waktu dengan bermesraan bersama Geo, mencurahkan semua rasa pada Flo, dan aktivitas-aktivitas menyenangkan lainnya. Tentu saja, sebelum keluar rumah aku mengenakan busana muslim tertutup, lalu segera menggantinya dengan pakaian seksi yang biasa kukenakan di tempat-tempat yang kurasa sudah aman, dari pantauan Oma. 


"Gila ya. Tau nggak, tuh orang nanya detail banget. Nanya gua bisa masak apa aja? Gimana gua mengatur keuangan? Gimana gua menjalani hari-hari nuntut ilmu? Sampai kesediaan gua buat ngikutin rencana-rencana hidup dia. Dih, ke PD an dan songong banget dia. Cakep kagak, belagu mah iya. Males banget gua!" Aku mendelik kesal. Pernyataan yang terus kuulang dan tak tuntas-tuntas meredakan hatiku yang kepanasan tiap kali mengingatnya.


Flo kali ini tak merespon dengan ekspresi sepakat seperti sebelum-sebelumnya. Mungkin dia merasa cukup atau....


"Tapi jujur gua jadi tertarik deh, Fiq...," ucapnya akhirnya. Sukses membuatku terbelalak seketika.


"Tertarik? Lu tertarik sama si Luki itu? Parah banget selera lu!" Aku berseru.


"Bukan. Bukan. Maksudnya dengan proses ini, proses ta'aruf."


"Idih apaan. Ribet gini!"


Flo mengangkat bahu. Menghirup minumannya.


"Ya unik aja. Kita bayangin deh, dua orang, cewek dan cowok yang nggak kenal sebelumnya, nggak pernah tau pribadi masing-masing, terus dipertemukan dengan tujuan yang benar-benar jelas ujungnya mau dibawa ke arah mana, nikah. Itu amazing sih menurut gua," ucap Flo santai. Seperti sedang menunggu persetujuan. "Bahkan buat kalangan kayak kita, pacaran bertahun-tahun pun, kemana-mana bareng pacar, telponan tiap hari, gandengan kesana-kemari. Segitu deketnya, masih mempertanyakan, hubungan itu mau dibawa kemana ujungnya? Nikah atau sekedar ngisi waktu? Ya nggak?"


Diam-diam aku mengangguk juga. Membenarkan ucapan Flo. Yah, benar memang. Banyak teman nongkrong dan teman kampusku mengakhiri hubungan kasih yang sudah dijalanin bertahun-tahun karena memang nggak punya tujuan masa depan. Nggak ada tujuan menyatukan kehidupan, hanya sekedar bersenang-senang mengisi masa berkasih sayang. Hasilnya, salah satu terluka bahkan patah hati sampai benar-benar tersiksa. Biasanya, kalangan cewek yang lebih tau rasanya.


"Trus, pertanyaan-pertanyaan dia itu, menurut gua, emang ngeselin sih, kesannya kayak masuk area pribadi banget. Tapi setelah gua fikir-fikir, em, mungkin cukup adil buat kedua belah pihak. Apalagi kayak yang lu bilang, si Luki itu punya prinsip nggak pacaran, dia nggak punya teman dekat perempuan. Jadi pas nemu calon istri, dia langsung serius, sampai sini, kayaknya cukup adil dia nanya tentang hal-hal privat itu. Mungkin dia pengen punya istri yang bisa bikin dia selalu kangen pulang dengan masakan enak di rumah, mungkin dia sedang memastikan kalau anak-anaknya nanti akan diberikan asupan makanan sehat dari istrinya, mungkin dia pengen tau keahlian calon istrinya mengelola rumah tangga. Yah sedetail itu sih. Lagian, dia juga nggak keberatan ngejawab pertanyaan-pertanyaan lu yang nanya nominal penghasilan, merk motor bututnya, bahkan soal utang kan? Jujur banget." Flo bicara panjang lebar.


Sesungguhnya, separuh hatiku membenarkan. Tapi seluruh egoku tetap menyalahkan.


"Jadi menurut lu?!" Aku menegangkan suara.


"Jadi?"


"Jadi apa?!"


"Jadi yah berarti proses ini nggak kayak beli kucing dalam karung. Sebelum beli bahkan kita diijinkan buat nanya apa aja, sampai hal-hal sedetail dan sepribadi apapun."


"Halah, tetap aja. Nggak asyik samasekali. Dunia percintaan remaja bisa karam kalau proses nemuin jodohnya begitu. Lagian apa-apaan lu bilang gua calon istri dia. Dih, nggak banget!" Aku bersungut meremehkan. "Dia itu harus ditatar, mau cari calon istri apa calon pembantu apa cari guru atau lagi nyari ibu?!" Nada suaraku meninggi. Lebih kesal dari sebelumnya.


Flo malah tertawa.


"Ya udah deh. Nggak usah lu fikirin kalau bikin tambah BT aja. Katanya lu mau senang-senang kan. Ngilangin penat selama bebas dari dalam kandang. Ahahaha. Karaoke yuk!" Flo sudah mengganti tema. 


Aku baru saja mengangguk ketika sebuah mobil keren dengan kap terbuka menepi di parkiran tak jauh dari posisi kami. Geo keluar sambil melepas kacamata. Ah, modis dan trendy sekali. Bagaimana mungkin aku tak jatuh cinta?


Beranjak, aku menghampirinya seakan menegaskan pada seluruh pengunjung kafe, ini pacarku! 


"Yah, Fiq. Jadi batal nih karaokenya?!" Flo berseru dari meja kami tadi. 


Aku hanya melambaikan tangan sebagai isyarat pembatalan. Di dunia ini, tak ada yang lebih berharga dari Geo. Mana mungkin aku menolaknya.


.
.
.

Satu minggu itu berlalu tanpa terasa karena aku sungguh mengisinya dengan hanya bersenang-senang. Hingga lupa memberi jawaban pada Ustadzah Mahmudah.


Dan naas sekali, aku keduluan, oleh si Luki sialan yang memberikan jawaban.


Ustadzah Mahmudah mengirimkan chat via WhatsApp siang ini. Diawali dengan salam dan beberapa nasihat meneguhkan. Intinya adalah, aku ditolak. Ya, si Luki itu menolakku, undur diri dari proses ta'aruf ini. 


[Mohon maaf, Ustadz. Saya sudah menjalani sholat istikharah selama satu minggu ini. Dan mempertimbangkan kecocokan dari hasil pertemuan tempo hari. Sekali lagi mohon disampaikan permohonan maaf kepada Ukhti Fiqa, Ustadz, saya belum mendapatkan ketetapan dan kemantapan hati untuk melanjutkan dengannya].


Begitu, isi chat si Luki yang diteruskan dari Ustadz Yahya kepada Ustadzah Mahmudah dan diteruskan lagi kepadaku. 


Seumur-umur, baru kali ini aku merasakan ditolak cowok, jelek pula, miskin pula, rese pula, kampungan pula! Argh! Rasanya, mau ditaruh dimana ini muka?! Mustinya kan aku yang menolak dia, kenapa dia yang menolak aku?! Tuh kan, bener, dia memang sok kegantengan. Nggak punya kaca kali di rumah. Sungguh menyebalkan.


Aku bersungut-sungut menerima penolakan itu hingga beberapa minggu kemudian. Walau Ustadzah Mahmudah justru memberikan pengertian tentang indahnya proses dan hikmah ta'aruf. 


"Jadi dalam ta'aruf itu, langkah kita dalam menemukan jodoh dunia akhirat menjadi manis sekali. Kita bisa bertanya, menjawab, dan tentu saja sembari mengistikharahkan setiap keputusan tanpa menghabiskan waktu dengan maksiat. Perkenalan yang benar-benar terarah dan punya tujuan. Kalaupun ternyata salah satu atau keduanya merasa tidak bisa melanjutkan, ini pun tidak menimbulkan kerugian bagi kedua belah pihak." Ustadzah Mahmudah terlihat masih meyakinkanku. 


"Begini. Misalnya dalam aktivitas pacaran. Dimana kebebasan dalam mengekspresikan kasih sayang menjadi tolak ukur. Ternyata, katakanlah ujung-ujungnya tidak jadi ke proses pernikahan. Sementara, maaf, misal si wanita menjadi tidak suci lagi. Ini sangat merugikan pihak wanita sementara pihak pria bisa menolak bertanggung jawab dengan berbagai dalih ketidakpastian dan sebagainya lalu pergi begitu saja," lanjutnya masih dengan tatapan teduh.


Aku hanya mengangguk ringan tanpa membenarkan. Hatiku, masih belum bisa menerima, apapun tentang proses ini.

.
.
.

Tak lama setelah tuntas dan selesai berproses dengan Luki, aku kembali menerima proposal ta'aruf lagi. 


Walau sungguh semakin ilfeel dan muak dengan semua ini, tapi nyatanya harus kujalani juga. 


Kian hari aku kian menyadari, aku memang tak hoki menjalani proses seperti ini. Bayangkan, lima kali ta'aruf kujalani, lima kali pula tak jadi! Alias, aku ditolak, guys!


Dengan berbagai macam alasan. Dari tak sama visi dan misi, tak searah pemikiran, tak memenuhi kriteria, dan banyak lagi alasan lain-lainnya.


"Dan ternyata gua semakin tau, orang-orang yang sok alim begitu, rupanya tipe yang pemilih sekali. Ada yang cari cewek dengan hafalan Al Qur'annya minimal satu juz lah, ada yang cari minimal bisa masak lah, cari yang bisa ngajar anak sendiri lah, cari yang bisa ngatur keuangan lah, cari yang mudah beradaptasi lah, dan banyak lagi. Bener-bener ngeselin," sungutku pada Flo setelah kembali gagal di ta'aruf kelima. 


Flo malah tertawa. 


"Lu ngetawain gua? Rese lu ya!"


"Oh, bukan, Fiq, bukan. Gua nggak ngetawain lu. Gua justru ngetawain diri gua sendiri." Flo berusaha membebaskan diri dari lemparan tisuku ke arahnya.


"Apaan?"


"Iya. Gua fikir selama ini, jadi cewek cantik, jago dandan, seksi, gaul, imut kayak barbie, udah cukup bikin cowok-cowok tergila-gila. Tapi setelah denger cerita dan pengalaman ta'aruf lu, gua jadi mikir dan tiba-tiba jadi minder sendiri, ternyata buat cowok yang bener-bener punya komitmen untuk berkeluarga, kriteria kayak kita nyaris nggak masuk dalam kategori calon istri impian mereka ya? Miris hahaha."


Aku akhirnya ikut tertawa juga. Walau di dalam hati ada sudut yang membenarkan ucapan Flo dan membuatku tersindir begitu hebatnya. Tapi lagi-lagi, egoku bekerja dan memenangkan segalanya, menyalahkan proses dan mereka, yang kurasa justru tak masuk dalam levelku yang jauh lebih pemilih soal pria. 


Banding pendapat dengan Oma sudah kulakukan setelah gagal berkali-kali. Mencoba bebas dari satu syarat ta'aruf ini. Tapi setelah berdebat sekian lama, Oma lagi-lagi keluar sebagai pemenangnya. Masih memintaku mencoba atau Oma akan kembali pada tambahan syarat untuk memenuhi kriteria rata-rata yang diharapkan pria-pria itu. 



Tidak, tidak. Aku jelas menolak. Tidak akan mengupgrade diri untuk tujuan itu. Malas sekali. 


Dan sore ini, kembali kuterima proposal ta'aruf, untuk yang keenam kali. Rasanya, aku sudah trauma. Huh, tapi demi mendengar syarat tambahan Oma, aku akhirnya menyerah juga. 


Proposal ta'aruf itu kuterima. Dan malam harinya baru kubuka. Kubaca isinya dengan cepat dan entah terasa berbeda. Terutama pada kriteria calon istri yang diharapkan. Jika pada proposal-proposal ta'aruf sebelumnya nyaris selalu kutemukan banyak syarat dan harapan dari para pria itu untuk calon istrinya, seperti bisa mengajar anak sendiri, bisa memasak, bisa mengatur keuangan, dan bisa lain-lainnya, tapi tidak pada proposal ta'aruf kali ini. 


Di point itu ia hanya mengisi dengan singkat yaitu, seorang wanita yang bisa menerima kekurangan dan kelebihan dirinya apa adanya. Hanya itu. Dan itu cukup mengesankan bagiku. Aku bisa melihatnya memiliki sudut pandang yang objektif. Dalam kata sederhana, nyadar diri.


Kubaca beberapa point lainnya, ia sudah menyelesaikan S1 dan sedang mempersiapkan diri untuk melanjutkan pendidikan S2 sembari bekerja di sebuah perusahaan. Yah, bahkan ini pun lebih mendingan dari calon-calon sebelumnya. 


Lalu penasaran, kubuka lembar selanjutnya untuk melihat rupa sosoknya pada foto diri yang ia lampirkan. Dan aku melonjak ternganga detik itu juga, demi menangkap foto itu.


Ini kan pria rese' berkacamata di Seminar Pra Nikah waktu itu?! Si vokalis nasyid itu?! 


Oh, tidak!


.
.
.

Bersambung

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi πŸ₯°

Selanjutnya Pura-pura Ta'aruf (9)
1
0
Babak baru dimulai…. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan