Pura-pura Ta'aruf (1-2)

0
0
Deskripsi

Berjumpa lagi dalam novel bergenre romance religi super manis dan baperin karyaku. Yuk baca karya ini juga. Akan dipost sampai tamat di karyakarsa. 

Kamu bisa pilih ecer atau pilih Paket Hemat dan simple seharga 69.000 saja sampai Tamat. 

Novel manis dan religius yang super romantis khusus untukmu. 

Aku, Safiqa.


"Apa? Ta'aruf? Jenis makanan apa lagi tuh?" Flo menatapku tak mengerti, mengerutkan alis sebagai pertanda otaknya bekerja, berfikir.


"Bukan nama makanan. Elo nih ya, fikirannya makanan mulu sih!" Aku menimpukkan tisyu bergumpal ke arahnya. Masih dengan wajah kesal.


"Lah jadi apaan? Beneran gua baru denger itu, apa tadi, takarup?"


"Ta'aruf! TA-A-RUF" Aku mengeja. Memejamkan mata sejenak. Sepertinya aku salah memilih teman bercerita. Kalau begini, alamat gagal rencana mencurahkan kegalauan.


"Oh... ta'aruf itu jodoh-jodohan ala-ala islami gitu ya, em...." Ia kini nampak mengangguk-angguk. Tatapnya terfokus pada handphone 11 inci di tangannya. Masih terlihat membaca sesuatu. Rupanya ia segera mencari terjemah kosakata baru yang kusebut di pencarian internet beberapa detik lalu. Kemudahan penjelajahan media maya memang memudahkan mencari artian apa saja. Sangat membantu. Setidaknya, aku tak perlu menghabiskan energi terlalu besar untuk sekedar menjelaskan arti ta'aruf pada Flo. 


"Iya, jodoh-jodohan islami gitu. Dih, nggak banget kan?" Aku bersungut dengan wajah memelas. Meremas rambut pirangku sejenak dengan kedua tangan.


Flo mengangguk-angguk. Masih menatap layar, lalu balik menatapku.


"Trus masalahnya sama lo apa? Tumben ngomongin ginian." 


"Gua disuruh nikah sama Oma. Lewat jalur ta'aruf! Kalau gua nolak, gua bakal dihapus dari satu-satunya daftar penerima warisan kekayaan Oma!" Emosiku meledak bersamaan dengan penjelasan itu. Aku menghentakkan gelas di atas meja. Kepalaku benar-benar terasa buntu, segalau itu.


"What?! Hah, kok bisa?!" Flo turut membelalak tak percaya.


"Iya bisa. Nah bingung kan lo? Apalagi gua...." Suaraku berubah putus asa.


"Terus Geo gimana? Lu kan baru jadian? Lagi sayang-sayangnya...."


"Itu juga bikin gua tambah frustasi setengah mati. Lo tau sendiri gimana perjuangan gua buat bisa jadian sama Geo. Bertahun-tahun gua caper sama dia. Baru jadian, masa gua yang ninggalin." Aku menggelengkan-gelengkan kepala, menolak semua efek berantai yang akan kualami. Juga semua mimpi buruk masa depan tentang perjodohan.


Flo menggaruk-garuk kepalanya. 


"Tapi kok bisa si Oma tiba-tiba berubah gitu? Setau gua selama ini kan Oma biasa aja. Sosialita. Berwawasan terbuka. Kenapa jadi gini? Aneh banget."

Aku menghembuskan nafas berat.
"Jadi Oma itu beberapa waktu belakangan ini ceritanya lagi tobat. Maklum lah ya, udah tua. Persiapan kan. Padahal dulu lo tau dia jauh banget dari yang namanya agama. Sholat aja kagak. Nah, semenjak diajak ikut pengajian sama tuh ibu-ibu di kompleks, Oma jadi rajin banget gaul sama orang-orang di masjid. Doyan datang pengajian. Pergaulannya gitu dah. Beda dan berubah banget dari biasanya. Nah, menurut cerita Oma, teman-teman pengajiannya pada biasa nikahin anak-anak mereka lewat ta'aruf. Nggak kenal sama yang namanya pacar-pacaran. Jadilah Oma terinspirasi, ngaharusin gua buat ta'aruf juga. Dengan ancaman telak kayak gitu, gua harus mau, kalau nggak, gua nggak akan dapat warisan. Semua harta Oma bakal dijual dan dibangunin ke masjid sama buat sedekahin panti asuhan. Lah, gimana nasib gua coba?!" Aku benar-benar menangis. Menutup muka tak percaya dengan pilihan sulit ini.


"Coba kalau Papa Mama masih hidup, mereka pasti belain gua dan nggak gini amat nasib gua kan...." Aku kian sesenggukan. Memikirkan nasib buruk yang sedang menimpa paska taubatnya Oma. Aku sungguh tak menyangka seperti ini jadinya. 


Flo mengusap tanganku. Berusaha menenangkan.


"Udah, udah. Lo coba tenang dulu. Damaikan fikiran biar bisa ngambil keputusan...."


"Ini bukan masalah keputusan, Flo. Bukan! Ini masalah syarat dan pilihan. Dan lo tau sebenarnya gua nggak punya pilihan kalau nggak mau jadi gelandangan pas Oma udah nggak ada." Aku tak sabar memotong perkataan Flo. Emosiku sedang sangat tidak stabil.


"Iya itu maksud gua. Hum... menurut gua, satu-satunya pilihan ya emang lo harus ta'aruf."


Kata-kata Flo membuatku lemas dan membenamkan wajah seluruhnya di atas meja. Sahabatku ini benar-benar tak memberikan solusi. 


"Ini soal masa depan, Flo. Soal masa depan gua! Emangnya gua Siti Nurbaya. Di jaman semodern ini. Masa iya gua mau dijodohin. Terus Gio gimana?? Lo bisa bayangin nggak si nikah sama orang yang nggak lo kenal, kayak beli kucing dalam karung, iya kan?! Padahal lo tau sendiri, yang udah pacaran lama aja belum tentu sudah benar-benar saling kenal. Apalagi sama yang bener-bener belum kenal." Suaraku terdengar sangat frustasi.


Flo mengangguk. "Iya juga sih. Kayak beli kucing dalam karung. Gua sepakat. Tapi yah mau gimana lagi."


Aku menghembuskan nafas kecewa. Pada keputusan Oma dan sikap Flo yang tak memberikan jalan keluar sejak tadi. Aku sedang membutuhkan petunjuk, otakku sedang buntu.


"Em... gimana kalau lo nurut aja buat ta'aruf. Tapi ta'aruf pura-pura...."


Aku menghentikan senggukan di kalimat terakhir Flo. Ta'aruf pura-pura? 


Flo mengangguk sekali lagi. 


"Iya, ta'aruf pura-pura. Cuma buat nunjukkin ke Oma kalau lo bersedia ngejalanin syarat itu. Lo nggak perlu merasa gimana-gimana, intinya, ta'aruf yang lo jalanin cuma pura-pura. Pura-pura ta'aruf." 


Aku melihat secercah cahaya dari solusi yang disodorkan Flo. Memicingkan mata.


"Terus kalau gua dipaksa nikah setelah ta'aruf gimana?"


"Ya nikah aja. Nikahnya kan juga cuma pura-pura. Ya nggak perlu lo ambil pusing."


Aku mendengarnya. Solusi itu bagai kunci sakti yang menyala di otak buntuku saat ini. Ta'aruf pura-pura. Ya, pilihan terbaik dari Flo. 


Sedetik kemudian, aku sudah berdiri. Memeluk Flo lalu bergegas pulang dengan hati jauh lebih ringan. Menemui Oma. Mengatakan bahwa aku siap untuk ta'aruf. Pura-pura ta'aruf. Hanya demi menyelamatkan harta Oma dan menyelamatkan masa depanku. 
 

Singkatnya, aku mengikuti saran dan ide brilian sahabatku, Flo. Menghampiri Oma yang sedang senang-senangnya belajar membaca Al Qur'an, menyampaikan persetujuan.


Wanita tua yang kusayangi itu tersenyum bahagia karena telah berhasil 'memaksaku' untuk membeli kucing eh maksudku membeli jodoh dalam karung. Menampilkan deretan gigi yang masih bagus dan wajah yang hanya menampakkan sedikit kerutan. Di usianya yang menginjak 70 tahun, tampilan sebugar itu tentu hal langka. Melihat pemandangan di depanku, hari ini aku mengerti, kecantikan di masa tua adalah hasil dari upaya menabung energi di masa muda. Dan itu benar. Oma memang selalu menjaga pola makan sehatnya selama ini. Hasilnya, aku bisa melihat itu dalam potret hidup yang kini nampak lebih lega, bahagia, dan segala ekspresi positif setelah aku menyetujui permintaannya. 


Hum. Tak tau saja. Aku hanya sedang berpura-pura.


Ada setitik rasa bersalah rasanya telah membohonginya. Tapi bagaimana lagi, aku tak punya pilihan. Ini demi menyelamatkan harta Oma dan menyelamatkan masa depanku. 


Sebongkah kesal lainnya justru muncul lebih besar, menutup habis-habis setitik rasa bersalahku. Di pengajian-pengajian itu, aku yakin, mereka telah mencuci otak Oma. Agar Oma menjual semua harta dan asetnya demi sesuatu yang mereka katakan sebagai tabungan pahala, bekal akhirat atau apalah. Omong kosong. Aku yakin seribu persen, itu hanya akal-akalan kaum itu untuk bisa membangun masjid di kompleks kami tanpa bersusah-payah mengumpulkan dana kemana-mana, termasuk berkeliling dari rumah ke rumah yang biasanya mereka lakukan. Memanfaatkan Oma yang baru saja belajar agama, itu jahat sekali bukan? Tak akan kubiarkan!


Aku menunggu kelanjutannya, setelah menyepakati syarat dan keinginan Oma agar aku berta'aruf. 


Oma beranjak, masuk ke dalam kamar lalu keluar dengan membawa satu tas jinjing cukup besar dan sebuah map warna biru.


"Ini jilbab dan gamis buat kamu pakai mulai hari ini. Oma sudah siapkan tapi ini cuma sepuluh setelan. Kalau kurang, kamu beli sendiri nanti ya. Ntar Oma kasih alamat butik dan toko baju yang jual setelan muslimah deket sini." Ucapan Oma ringan. Membuatku melongo sebesar bola kasti. Apa? Berjilbab dan bergamis? Aku? Si Fiqa yang seksi ini? Aku tak bisa menangkupkan mulut. Membeku tanpa bernafas.


"Dan ini proposal ta'aruf. Oma sudah minta dari Ustadzah Mahmudah minggu lalu. Pesan beliau kamu isi ini dengan baik dan jujur. Terus kamu jangan lupa juga lampirin dua lembar foto, satu pasfoto, yang satu lagi full seluruh badan. Ukuran fotonya bebas." Oma menutup ucapannya sembari meletakkan map yang ia sebut proposal ta'aruf itu di pangkuanku. Pasti sengaja, karena aku masih melongo tak percaya memegangi gamis dan jilbab yang ia serahkan di menit sebelumnya.


Seolah sudah memprediksi situasi, Oma beranjak tanpa memedulikanku yang masih mematung seperti boneka salju. Oma benar-benar sudah berubah.


Aku tak berhenti mematung. Lalu menunduk, menatap dua kain di tanganku sambil berteriak frustasi, "Oma...."


.
.
.


Aku mematut diri di depan cermin raksasa di dalam kamar. Setelan gamis dan jilbab sepinggang sudah menempel di tubuhku.


Bibirku mengerut. Mengamati anak-anak rambutku yang mengintip di ujung dahi. Mataku yang mengerjap tak berselera. Lengkap dengan semua raut paling menyedihkan yang kupunya.


Tadi aku sudah mengajukan protes prihal gamis dan jilbab ini. Ini keterlauan. Pemaksaan kelas berat yang melanggar hak asasi manusia. Lagipula, kalau mau ta'aruf denganku, seharusnya ya harus bisa menerimaku apa adanya. 


"Pria-pria yang mengajukan proposal ta'aruf untuk jalan mencari jodohnya, itu demi menjaga kesucian mereka. Karena mereka nggak mau pacaran. Artinya mereka mencari istri yang sholehah. Menutup aurat minimal. Mana ada pria sholeh yang mau nikah lewat ta'aruf sama gadis seksi berambut pirang." Oma membantah ucapanku dengan penjelasan yang membuatku begitu tersindir dan terjatuh ke jurang kian dalam. Meremas jemari kesal sembari kembali ke kamar sambil menghentak-hentakkan kaki.


Aku kalah. Dari berargumen dengan Oma. Mau tidak mau, aku akhirnya harus menurut juga. Semua keinginan dan permintaan Oma.


Menghela nafas. Kekesalan yang memuncak. Berhadapan dengan semua kenyataan yang membuatku ingin menyerah. Tapi itu artinya aku kalah. Tidak. Aku menolak patah. Sekali dua, kuatur nafas agar lebih lega. Menghadapi kenyataan yang harus kujalani selanjutnya. 


Tanganku kini bergerak membuka map biru yang diberikan Oma. Membaca dengan jelas tiga lembar kertas berjudul PROPOSAL TA'ARUF yang ditulis dengan bold dan kapital di tengah atas lembar pertama. Oh, God... sejak kapan di muka bumi ada proposal seperti ini? Yang kutahu, proposal biasanya dibuat untuk mengajukan permohonan dana, pengajuan kerjasama, atau pengurusan skripsi dan sejenisnya. Sejak kapan urusan jodoh pun ternyata ada model begini pula?


Aku menajamkan mata. Membaca setiap point demi mengisi proposal ini. Lembar pertama, point-point isian tentang data diri secara umum, layaknya CV melamar kerja. Aku mendengus. Ribet sekali. 


Membaca lembar selanjutnya, berisi point-point isian data diri yang lebih spesifik dan latar belakang keluarga. Meliputi sifat pribadi, penjelasan tentang anggota keluarga, aktivitas, penyakit yang pernah diderita dan point-point lain yang membuatku makin melongo tak terima. Apa-apaan? Apa aku setidaklaku itu sampai harus mengisi proposal sialan seperti ini demi mengajukan pencarian jodoh? Dan yang membuatku lebih tidak terima, proposal ini nantinya akan diberikan kepada lelaki asing yang mungkin mengenalku saja tidak. Enak sekali langsung mendapatkan data pribadiku selengkap ini. Jelas-jelas cowok-cowok keren di kampusku pun membutuhkan pengorbanan dan waktu yang tak sebentar untuk bisa mengenal keluarga gebetan mereka. Ih! Kalau tidak ingat lagi tentang rencana yang sudah kusepakati, rasanya aku sudah meremas-remas proposal aneh ini.


Belum selesai. Masih ada satu halaman isian lagi yang rupanya tak boleh kulewatkan. Kubaca dengan cepat. Ini lebih gila. Isiannya mengharuskanku menyebutkan visi misi pernikahan, jangka pendek dan jangka panjang serta calon suami yang diharapkan. Oke, untuk calon suami, tak masalah. Aku bisa mengisinya sekejapan mata. Tapi visi misi pernikahan? Hah, apa-apaan? Sebenarnya ini proposal untuk orang yang akan menikah atau proposal rencana pendirian perusahaan? Pakai visi misi segala. 


Belum selesai aku mendecak, pintu kamar diketuk dari luar. Detik berikutnya Oma sudah berdiri memegangi sebelah bingkai pintu di sana. 


"Fiqa, cepat ya diisi proposal ta'arufnya. Besok pagi harus sudah selesai. Oma harus ajukan ke Ustadzah Mahmudah lebih awal. Banyak antrian proposal ta'aruf lainnya juga soalnya."


Aku tak kuasa menjawab. Sampai Oma kembali menghilang dari pintu kamarku, melangkah pergi.


Antri dengan proposal-proposal cewek yang lain? Aku, Fiqa si cewek idola kaum pria sejagad raya ini?!


Aku menghempaskan tubuh di atas spring bed. Hukuman apa ini?



.
.
.


Bersambung




 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Pura-pura Ta'aruf (3-4)
0
0
Lanjut baca yuk
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan