
Pertemuan tak terduga Almeer dan seorang wanita cantik jelita.
3.
Sekali pandang, seketika mata ini terpusat pada sosok itu. Sosok wanita muda dengan jilbab menjuntai. Aura kecantikan terpancar jelas di wajahnya. Putih bersih, bulu mata lentik, hidung mancung sempurna dan segala kesimetrisan yang begitu tertata tiada cela dalam rupa yang sedap dipandang mata.
Ya, cantik, secara fisik. Persis seperti yang dikatakan oleh Sabiq beberapa saat lalu. Lalu hatinya, mana kutahu.
‘Ah, ayolah, Almeer. Tidak pernah dibenarkan berprasangka buruk pada siapapun. Tentu saja hatinya juga cantik, secantik wajahnya.’ Sebelah hatiku menyangsikan, segala kesimpulan yang kerap terbit di kepala tiap kali mengagumi fisik seseorang, terutama wanita.
‘Memangnya siapa yang berprasangka buruk? Aku hanya berpikir apa adanya. Tidak ada yang salah tentu saja. Aku hanya berkesimpulan cantik fisik tidak menjamin kecantikan hati juga. Benar saja kan? Lagipula aku tak mengatakan siapapun buruk.’ Sebelah hatiku yang lain membela.
Alam bawah sadarku bekerja, menghubungkan masa lalu soal kecantikan hati yang membuat Abi jatuh cinta pada Umiku, bahkan sebelum pernah melihat wajah Umi samasekali. Bagiku, kisah lama mereka selalu mengagumkan.
Sebenarnya, detik ini, aku hanya sedang menetralisir perasaanku sendiri.
Kelemahan lelaki itu terletak pada mata. Dan saat ini mataku sedang begitu tergoda.
Ya, bagaimana ini, wanita di hadapanku ini nyatanya memang cantik sekali.
Bagaimanapun, aku masih tergolong lelaki dalam kategori normal. Mana mungkin mata ini tak ternoda. Bahkan setelah berdetik-detik rupanya aku tak bisa mengedipkan kedua mata.
“Almeer!” Suara Sabiq yang berbisik dan menekan sembari menginjak kakiku membuatku tersadar. Untung saja aku tak pernah norak. Dalam kondisi apapun, aku selalu bisa bersikap biasa saja. Menyembunyikan segala rasa yang mulai tergoyah sekarang. Akibat ulah pandangan mata ini. Huh.
Benarlah memang Allah memerintahkan manusia untuk godhul bashar, menjaga atau menundukkan pandangan pada lawan jenis. Sebab, sekali ia sukses ternoda, maka hati, pikiran, bahkan kemaluan akan menjadi taruhannya. Terlebih untuk sesuatu yang belum halal.
“Kamu sudah janji barusan, nggak akan ikut maju kalau aku maju ingin melamar putri Pak Zaenal.” Sabiq masih berbisik-bisik, mengingatkanku.
Aku jadi teringat janji yang kusanggupi atas hal itu. Menerbitkan suatu rasa... menyesal kah ini namanya?
Lagipula, sejak kapan aku begini terpesona pada seorang wanita? Seumur hidup rasanya belum pernah ada seorangpun wanita selain Umiku yang membuatku begini lekat memandang. Ya, belum pernah ada yang begitu membuat bergetar hati seperti sosok Khaula ini.
Aku berkedip dan segera membuang pandangan ke arah lain. Lalu mengeluarkan kembali pulpennya yang kukantongi barusan.
Ya, benar ternyata, ada dua pulpen di saku celanaku. Warna dan modelnya sama persis. Padahal ini bukan pulpen pasaran. Walau tidak begitu khusus juga. Hanya, jarang ada yang memiliki, limited edition dari suatu model ternama, hadiah salah satu rekan dari luar negeri.
Lalu, kenapa pulpen ini pun sama dengannya? Atau jangan-jangan memang... berjodoh?
Huft. Aku kembali harus membersihkan pikiran yang mau tidak mau telah terkontaminasi ini.
Aku lalu menunduk, meletakkan pulpen itu ke lantai di posisi tadi ia terjatuh. Padahal aku tahu, gadis itu sedang menjulurkan tangan untuk mengambil pulpen yang kukeluarkan dari saku celana.
Setelahnya, aku memutar arah, melangkah meninggalkan posisi itu, tidak berbalik lagi ke belakang meski bayangan wajah cantiknya seperti terus menarik diri untuk sekali lagi menoleh.
Ah, godaan setan memang.
Aku sungguh tak menyangka, dari sinilah semuanya bermula.
🌹🌹🌹
4.
Astaghfirullah.
Mata ini rupanya benar-benar telah ternoda. Bukannya melupakan, wajah gadis itu malah terus-terusan terbayang. Serupa magnet yang membuatku terus teringat.
Aku mengusap muka, lalu cepat beranjak mengambil wudhu. Membaca satu juz Al Qur’an. Sungguh berupaya menetralkan kelelakian yang sedang berada di titik tergoda.
Ini kali pertama, sungguh. Sebelumnya, tidak pernah. Ternyata memang demikian mempesona seorang Khaula.
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Itu pepatah yang sangat benar.
Termasuk pasal takdir. Orang-orang bilang, dulu abi dikejar-kejar banyak wanita. Dari model ternama sampai artis-artis ibukota.
Aku pun juga merasakan hal yang sama. Dalam cakupan lebih luas bahkan. Mungkin.
Tak hanya dari kalangan gadis metropolitan seperti yang dulu dialami abi, hingga para gadis berjilbab lebar nan mengaku aktivis dakwah pun tak segan mengikrarkan hal itu.
Buatku ini mencengangkan, menggerahkan. Kala mendapati berkali-kali fans club yang mengidolakan ikhwan (sebutan untuk pria muslim) yang diidolakan.
Maksudku, ya bagaimana bisa? Bukankah mereka muslimah yang mestinya kuat sekali memegang izzah dan marwah? Bagaimana bisa ngefans dengan seorang ikhwan? Berjamaah lagi.
“Wajar lah. Kamu tuh ganteng buanget nggak nyadar emang? Hafidz Al Qur’an, cerdas, ketua lembaga di mana-mana. Ditambah kaya dan terhormat pula. Jomblo limited edition.” Sabiq yang selalu bicara sangat jujur menjawab kebingunganku suatu kali. Akan tingkah para akhwat yang jelas-jelas menunjukkan hal paling tak masuk akal kurasa.
“Wajar?” Aku benar-benar bertanya dengan sanksi.
“Ya wajar. Namanya akhwat-akhwat sholehah, ngefansnya sama ikhwan yang sholeh pasti. Yang nggak wajar kalau ngefansnya sama artis Korea yang agamanya juga masih sangat dipertanyakan.”
“Oh, jadi wajar kalau para akhwat mengidolakan para ikhwan sampai membuat fans-fans club dan tidak menjaga pandangan? Wajar memuji-muji fisik asal diserta dengan ucap ‘Masya Allah’, ‘Subhanallah’ dan sebagainya?” Aku bertanya sarkas pada Sabiq. Jelas sangat tak terima.
Membuat sahabatku itu terdiam, mencerna, lalu malah tertawa.
“Kenapa?” Aku mencecarnya.
“Kamu aneh. Adanya ikhwan tuh malah senang dan bangga diidolakan dan jadi idaman para akhwat. Ini malah kayak nggak suka.”
Aku berdecak malas.
Bukan masalah itu sebenarnya. Yang kusayangkan sikap para akhwat yang dalam masyarakat pun dicap shalihah. Lalu dengan tak malu-malu mengungkapkan para ikhwan yang mereka idolakan.
Beberapa kali kudengar, menggosipkanku dan beberapa ikhwan ‘tampan’ lainnya, menyebut-nyebut ucap soal imam idaman bersama. Memuji-muji ketampanan sambil beristighfar... kenapa harus sampai seperti itu?
Ah, ayolah. Maksudku, dimana letak malu? Mengaggumi pria diam-diam dan dalam kesendirian, masih bisa wajar. Tapi jika berjamaah bahkan sampai membuat semacam fans club, mana bisa dianggap biasa.
Dan apa lagi yang disampaikan Sabiq, harusnya senang diidolakan para akhwat? Astaghfirullah. Senang bagaimana? Jelas-jelas yang mereka puja soal ketampanan fisik. Kacau sekali.
Mungkin itu hal yang membuatku cukup ilfeel berhadapan dengan para gadis, meskipun dalam label akhwat shalihah. Sama saja ternyata, rata-rata fisikly.
“Kayak orang nggak bersyukur gitu sih kamu ini.” Sabiq mengacak rambutnya sendiri. Kebingungan. “Punya muka ganteng banget, diidolakan akhwat-akhwat, bukannya bahagia malah makin dingin aja. Aneh.”
“Lalu kalau tidak ganteng tapi sholeh, khusyuk, tawadhu, miskin, nggak layak diidolakan?” Aku balik bertanya, masih dengan sanksi sekali.
Ya, tentu aku sangat adil memandang hal ini. Berapa banyak ikhwan dengan kriteria seperti kusebutkan barusan, seakan tidak masuk dalam kriteria idola mereka sama sekali. Maka kesimpulannya tetap saja. Bukan masalah sholeh yang jadi tolak ukur, tapi kesempurnaan fisik, ketampanan wajah, dan segala hal duniawi juga yang menjadi parameternya.
Bisa bayangkan jika hal fisik itu suatu hari hilang? Hilang juga taat dan ridhonya? Begitukah?
“Kesimpulannya, memang makin nggak gampang cari akhwat yang benar-benar nggak fisikly. Mending nikah sama gadis buta.” Aku bergumam asal sendirian.
“Apa? Hati-hati loh, Al. Ucapan itu doa.” Sabiq mendekatiku.
Tak kuhiraukan. Terlanjur ilfeel sekali dengan semua ini.
“Nggak semua kali akhwat begitu. Banyak juga yang tulus. Salah salah justru kamu yang suudzon ini sih.” Sabiq menatapku lebih serius.
“Yang bilang nggak ada siapa? Aku bilang susah. Bukan bilang nggak ada.”
“Ya udah cari makanya. Kalau kayak es batu, yang mendekat malah yang begitu-begitu.” Sabiq tertawa lagi. Benar-benar menertawakanku.
Aku tak menjawab. Sudah kubilang, terlalu ilfeel.
Ya, pernahkah kalian berada dalam titik jenuh karena selalu diistimewakan sebab ketampanan fisik? Sejak dulu, aku mengalami itu. Susah mencari yang benar-benar tulus. Bahkan teman sekalipun. Apalagi wanita. Fisik tentu menjadi tolak ukur utama. Dalam agenda kerja kelompok sehari-hari pun, aku begitu merasakan hal itu.
“Begini deh, Al. Kamu bisa ngomong begini karena belum pernah aja benar-benar ada di posisi mereka.” Sabiq menyela lamunanku.
“Apanya?”
“Terpesona pada keindahan fisik lawan jenis. Wanita terhadap pria dan sebaliknya.”
Aku kembali melengos malas.
“Halah. Beneran, belum aja ngerasain hal serupa. Terpesona dengan kecantikan seorang wanita. Kalau sudah merasa, menguap itu semua teori beku di sini.” Dengan lancang Sabiq menunjuk kepalaku.
Aku memutar bola mata dengan malas. Melangkah dengan berwibawa. Mengambil wudhu untuk segera menunaikan tugas mengimam sholat jumat di masjid kampus.
🌹🌹🌹
Sudah malam tapi mataku tidak bisa terpejam. Terbayang-bayang kecantikan luar biasa seorang wanita. Khaula.
Astagfirullah. Benar-benar cantik. Mataku ini benar-benar ternoda.
Apa ini yang dimaksud Sabiq?
Aku kembali duduk, mengusap muka berulangkali. Benar memang, kelemahan seseorang terdapat pada mata.
Ya, mata. Mata. Di sanalah gerbang zina sebenarnya.
Huft, apa ini yang dirasakan para wanita padaku selama ini? Hal yang kerap kusangsikan.
Baru tahu rasanya sekarang.
Lalu, bagaimana bayangan dari ulah mata ini kunetralkan?
Apa Khaula itu istri idaman? Aduh, kenapa aku jadi berpikir sampai sejauh itu?
Aku mengacak rambut. Beristighfar berulang-ulang.
🌹🌹🌹
Bersambung
Yuk lanjut bacanya 😊
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
