Marbot Itu ternyata CEO 8

13
1
Deskripsi

8.  Ananda atau Adinda?

Aku berdehem beberapa kali, sebelum menyapa. Sampai akhirnya aku malah tak bergeming, kaku seketika, saat sepedanya berlalu dan sepertinya ia tak menyadari keberadaanku. 

 8.  Ananda atau Adinda?

Aku berdehem beberapa kali, sebelum menyapa. Sampai akhirnya aku malah tak bergeming, kaku seketika, saat sepedanya berlalu dan sepertinya ia tak menyadari keberadaanku. Lewat begitu saja. Nggak noleh-noleh soalnya.

Ini terasa aneh. Aku merasa canggung yang terlalu, seperti tidak pernah memanggil wanita saja. Padahal ratusan karyawati di perusahaanku jelas-jelas wanita. Belum lagi para ART di rumah, jelas saja lebih banyak kaum hawa. Ditambah belakangan Mami dan Papi makin gencar memperkenalkanku dengan anak-anak rekanan bisnisnya, putri-putri bangsawan itu.

Tapi baru satu yang terlihat seberbeda ini. Ehm, maksudku, semenggetarkan ini. Eh, menggetarkan? Ya, rasanya kok jadi menggetarkan hati gini? Aku memegangi dada, lalu tersenyum dalam waktu yang sama. Ada desiran tak biasa yang menerbitkan gugup seperti tadi, kayak tadi. Aneh banget rasanya.

Ah ya. Usiaku 25 tahun. Dan percaya atau tidak, sampai saat ini aku tidak pernah memiliki kekasih. Ini terdengar sangat konyol bukan? Ya, konyol! Padahal aku hidup di jaman semodern ini. Bagaimana mungkin ada manusia normal yang tidak pernah berpacaran sepertiku? 

Mami dan Papiku melarangku menjalin hubungan dengan perempuan, atas alasan apapun. Sekedar mencoba, bersenang-senang, bahkan serius sekalipun. Mereka sangat menjagaku dari segala pergaulan. Terlalu eksklusif dan mengekang.

"Kamu satu-satunya penerus keluarga Edibagaskara. Putra mahkota. Jangan pernah berpacaran, gadis-gadis itu hanya mendekatimu karena latar belakang keluarga kita, Alfa! Atau sengaja dikirim keluarganya untuk menghancurkan bisnis keluarga kita. Memanfaatkan lewat kamu." Itu selalu peringatan Mami. "Lalu bisa menjebakmu dengan fitnah yang mencoreng nama baik keluarga besar kita."

Aku selalu enggan menanggapi walau dulu belum terlalu mengerti. Mungkin sebab selalu didoktrin demikian. Dan menghindari masalah. Jadi, kuputuskan untuk menurut saja. Meski dalam pembullyan teman-teman sekolahku dulu. Mereka bilang aku terlalu eksklusif, tidak pacaran sama dengan tidak gaul, ketinggalan jaman, dan memiliki hidup yang suram. 

Dan sialnya, memang benar. Hidupku suram! Isinya belajar dan diberi segala kesenangan lain versi Mami dan Papi. Hanya diminta memikirkan masa depan dan bayangan hebat menjadi pewaris tunggal sebuah keluarga konglomerat nan terpandang. Aku mengalami pembatasan dalam pergaulan sebab Mami selalu mengontrol dengan siapa saja aku boleh berteman. Luar biasa sekali bukan?

Ya, semua kebutuhanku, apapun dipenuhi. Aku dilayani layaknya pangeran. Mendapatkan segala yang terbaik. Kecuali kebebasan.

Jadilah aku seorang CEO yang dingin dan elegant. Bukan karena kepribadian tapi sebab tuntutan menjaga kehormatan. Itu hal yang selalu ditekankan, padaku, sejak dulu.

Kata siapa menjadi anak tunggal dari orangtua tunggal di kalangan bangsawan itu menyenangkan? Aku bilang tidak. Aku kesepian dan sampai pada titik jenuh yang mematikan, akhir-akhir ini.

"Mami dan Papi yang akan memilihkan calon istri terhormat untukmu, Alfa. Saat sudah tiba waktunya. Jual mahal saja dengan semua gadis-gadis murahan itu!" Aku selalu mendapat peringatan demikian, sejak dulu.

Dan saatnya, sepertinya sudah tiba. Setahun belakangan Mami terus memintaku berkenalan dengan gadis-gadis terhormat dari kalangan bangsawan juga. Kaya-raya, modis, berkelas, berpendidikan, dan cantik versi Mami. 

Sayangnya, tidak ada satupun yang menarik di mataku. Mami dan Papi bisa memaksaku untuk tidak menjalin hubungan dengan sembarang perempuan tapi tak akan bisa memaksaku untuk menumbuhkan perasaan, pada salah satu dari mereka. 

"Papi khawatir, jangan-jangan Alfa tidak normal," kudengar keluhan Papi saat berlalu di kamar mereka suatu malam. 

Papi menyapu wajah resah.

"Apa maksud Papi?" Mami mendekat.

"Papi khawatir Alfa mengalami kelainan. Dia tidak pernah terlihat tertarik dengan gadis-gadis yang kita kenalkan satu tahun ini. Padahal gadis-gadis itu sempurna. Apa jangan-jangan, dia tidak suka perempuan?"

Mami terbelalak dan langsung membekap mulut. 

Sementara aku mendengarkan sambil mengangkat alis di balik daun pintu kamar yang renggang. Bisa-bisanya orangtuaku sendiri mencurigaiku begitu? 

Ah, padahal teman-temanku sejak lama menuduhkan hal demikian, mereka saja yang tidak tahu. Ya, aku korban pembullyan di lingkup kecil pertemanan, sebab orangtuaku yang tak mengijinkanku berpacaran. Lalu sekarang mereka juga yang mencurigaiku begitu? Ini lelucon terhebat di seperempat abad hidupku. 

Dan tuduhan itu, tentu saja tidak benar. Menjijikan sekali. Aku lelaki normal. Hanya mungkin sudah hilang rasa saja. Sebab mereka semua terlihat membosankan.

Dulu, beberapa kali aku pernah tertarik dengan teman-teman perempuan. Terutama saat masih sekolah, di masa puber SMP. Sayangnya, semua teman gadis yang pernah sekedar kutaksir itu, selalu jauh dari level bangsawan. Maka semuanya menjadi urung dan hilang. Tak pernah satu pun kunyatakan apalagi sampai terjalin suatu hubungan. Lalu perlahan hilang dan tak ada yang tertinggal dalam ingatan.

Sampai akhirnya, mungkin aku hilang rasa pada perempuan akibat tak pernah bebas mencicip asmara masa muda. Kufikir begitu. Sampai mencapai usia lebih dewasa, sejak kuliah dan bekerja, aku benar-benar menutup hati dari ketertarikan dengan wanita. Buat apa? Toh hanya akan berakhir pada kupendam lalu hilang begitu saja. Sebab aku tahu, Mami dan Papi tak akan pernah mengijinkan aku membawa pilihan tak setara dengan keluarga.

Dan lagi, tidak pernah ada yang terlalu istimewa. Semua terasa biasa saja. Kufikir, mungkin aku memang diciptakan sebagai manusia tunggal. Anak tunggal, pewaris tunggal, bahkan sampai kapanpun akan menjadi manusia tunggal. Membujang sendirian. 

Titik jenuh kehidupanku mengantarkan pada kesimpulan seakut itu. Sebab menikah dengan kalangan gadis bangsawan pasti akan justru menambah besar kekayaan dan mengurungku dalam kehidupan yang makin menjemukan.

Ya, sampai aku menginjakkan kaki di masjid ini, aku masih berkeyakinan, aku sudah hilang rasa pada wanita. Sungguh. Lalu detik ini, yang terjadi justru sebaliknya.

Aku tidak tahu darimana rasa ini hadirnya. Seperti kuncup mati yang tiba-tiba berbunga. Atau gersang yang tak disangka menjadi lembab begitu saja. 

...

Getaran itu terasa sungguh nyata. Kuat sekali tarikannya. Saat mataku menatap dan tak ingin berkedip ke arah satu gadis berkharisma yang baru turun dari sepedanya. Mengelap keringat di kening sambil melangkah tenang. Menaiki anak-anak tangga. 

Di teras yang juga sedang ditujunya, aku berdiri sambil meremas sapu di tanganku. 

Ehm, ya, aku akan menyapanya, untuk pertama kali, setelah tadi tidak jadi. Kok deg-degan banget ya rasanya. Seperti nggak pernah ketemu perempuan aja.

Dia tiba. Ya, dia sudah menginjak teras. Sebentar lagi akan berpapasan denganku. Tapi sepertinya dia lagi berjalan sambil baca buku. Jadi tak melihat ada aku. Aduh, ya, satu-satunya cara, aku benar-benar harus menyapanya.

"Ananda." Panggilan pertamaku terucap jua akhirnya. Meski jadi gemetaran nyebutnya, tapi terucap dengan jelas. 

Bisa kutangkap itu, ia berhenti sejenak, mendengar panggilanku, tapi tidak mengangkat wajahnya dari buku. Kufikir, sebentar lagi dia akan menoleh. 

Tapi di detik berikutnya, justru patah hati yang kurasa. Sambil likat menelan saliva. Bahkan tak kuindahkan kehadiran para bocah yang seketika menciptakan keributan, berlalu-lalang di sekitarku. 

Fokusku hanya pada Ananda, yang ternyata tak berkenan menjawab sapaan pertamaku, padanya. Gini banget rasanya dicuekin sama gadis yang disuka.

Dia meneruskan langkah. Masuk tanpa menjawab sapaku. Padahal sejak pertama, kufikir dia ramah orangnya. Kenapa kusapa malah tak dianggapnya ada? 

---

Aku belum beranjak dari posisiku. Mencoba menetralkan rasa. Juga membenahi patah hati pertama. 

Atas segala kemungkinan dan kenyataan yang ada. Apa dia tidak sebaik kukira? Memandangku sebelah mata karena profesiku sekarang dan tompel-tompel yang kupasang hingga aku menjadi begitu tak nyaman dipandang? Sama seperti orang-orang yang mengejekku sejak semalam. Ah, kecewa. Padahal kemarin kudengar dia mengingatkan murid-muridnya agar jangan menghinaku. Ternyata malah dia yang nyuekin panggilanku begitu. 

Baru akan berbalik, kulihat ia keluar lagi di pintu. Memanggil murid-muridnya. 

"Ayo masuk. Kita sudah mau mulai ngaji."

Sayangnya, walau sudah patah hati, aku tak bisa menahan mata untuk tak melihat ke arahnya. 

Sebentar saja, sampai kemudian kembali merasakan getaran yang sama lalu menyadari kejadian barusan, lalu mengingatkan diriku sendiri, ia tak menanggapiku. Itu kenyataannya.

Baru saja aku akan berbalik ke arah lain.

"Ananda Kayla... Ananda Fathia... Ananda Cici... yuk cepetan." Suaranya kembali terdengar. Memanggil.

Dan, eh. Kok 'Ananda' semua?

"Fathia, Cici, cepetan. Udah dipanggil, ngajinya mau mulai!" Teriak seorang anak kecil di halaman masjid ke arah dua temannya yang sedang asik bermain di pagar depan.

Ananda? Apa itu maksudnya bukan 'nama'?

Otakku berfikir cepat. Menghubungkan panggilannya pada anak-anak itu dan panggilan Ustadz Yahya padanya kemarin. 'Ananda'. Apa itu hanya panggilan pengganti kata 'Nak' saja? 

Jadi, namanya bukan Ananda? Ah, ya. Dan lucu gini sih. Puitis banget panggilan 'anaknya'. Ananda. 

Lalu aku mulai memikirkan istilah-istilah lainnya. Ayahanda, Ibunda, begitu?

Ya, aku faham sekarang.

Pantas tadi dia nggak jawab. Itu kan panggilan untuk arti 'anak'. Mestinya aku memanggil namanya, bukan malah 'ananda'. Ih, salah faham gini.

Eh, tapi kan aku nggak tahu namanya. Ehm, kalau dipuitiskan juga, apa sih istilah halusnya untuk panggilan pada seorang perempuan? Aku berfikir menghubungkan istilah lain.

"Adinda." Panggilan bermakna 'adik' itu terlontar begitu saja dari mulutku. Kesebut sendiri. 

"Ya?" Dia yang masih menunggu anak-anak di pintu, tiba-tiba menoleh ke arahku.

Tatapan kami bertemu. 

Aku terpaku. Lalu seperti diserang tanpa persiapan saat dia menatap dengan sebuah jawaban atas panggilan yang barusan kulontarkan. Dia terpanggil? Maksudku, apa dia merasa sedang kupanggil? 

"Kak Dinda, bentar lagi ya.... Fathia lagi nunggu Mamanya...." Teriak seorang bocah di halaman. 

Dia berpaling lagi ke depan. Mengangguk pada anak yang memanggilnya. 

Adinda? Jadi namanya Adinda? 

Manis banget namanya. 

Aku jadi pengen ganti nama aja, jadi Kakanda. Gimana?

---

Bersambung

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Marbot Itu ternyata CEO 9-10
14
5
Oh, ehm... Nggak apa-apa, sahutku akhirnya. Dia hanya mengangguk sambil tersenyum simpul. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan