Marbot Itu ternyata CEO 6

11
1
Deskripsi

 6. Gadis Bersepeda

 6.  Gadis Bersepeda


"Tidak, Ustadz." Aku langsung menolak. 

Jangan sampai aku benar-benar terjebak dipaksa menjadi imam sedangkan bacaan sholat saja tidak ada yang kuhafal. Payah sekali memang. Yah, selama ini aku memang sangat jauh dengan Tuhan. Di kota besar seperti ini, bukankah itu wajar saja? Apalagi konsentrasi pendidikan dan karirku bukan di bidang agama bukan? 

Mungkin sebab hidupku terlalu berkecukupan dan segala keinginanku nyaris selalu terwujudkan, jadi aku merasa, tak pernah lagi ada yang perlu kuminta. 

"Kenapa, Kang?" Pak Budi bertanya. "Serius, bagus suara Akang. Anak-anak saya yang awalnya pada males bangun aja jadi kebangun karena suara Kang Padi tadi loh. Menarik, beda sekali, lain dari yang lain. Istri saya sampai muji juga. Bersenandung aja bagus apalagi baca Al Qur'an. Oh ya, kenapa semalam malah nggak ikut tadarusan?" Kali ini Pak Firman yang bertanya.

Aku menggaruk tengkuk dengan sungkan--bukan gayaku sama sekali saat terdesak seperti ini. Biasanya, aku akan menanggapi lawan bicara dengan sikap dingin sembari membalik pertanyaan atau menggali pembahasan. Tapi aku selalu ingat, posisiku, peranku sekarang. Jangan sedikitpun ada celah mencurigakan kalau aku orang yang sangat terpelajar.

Tapi sumpah, aku bingung beneran.

"Saya... nggak bisa ngaji," ucapku akhirnya.

---

Kejujuran itu menyelamatkanku. Kufikir, aku akan menerima 'penghinaan' lebih hebat. Selain rupaku yang penuh tompel dan tampilan culun yang membuatku begitu tak nyaman dipandang sekarang. Atau minimal diceramahi dengan emosi oleh para orangtua pengurus masjid itu. Sudah usia 25 tidak bisa mengaji. Padahal kata mereka aku pandai bernyanyi.

Ternyata tidak. Berbeda sekali lingkungan orang-orang ini. Justru meminta maaf padaku yang sedang berperan tak memiliki kasta apapun saat ini. Hanya marbot. Serta menasehati dengan lembut agar aku belajar mengaji, mumpung masih ada kesempatan dan waktu yang baik di bulan Ramadhan, kata mereka dengan penuh penghormatan. 

"Jadi, dalam hadist shahih, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam menyampaikan, khoiurukum man ta'allamal qur'aana wa'allamahuu. Artinya, sebaik-baik kalian adalah yang membaca Al Qur'an dan yang mengajarkannya." Ustadz Yahya tersenyum berbinar ke arahku. "Begitu, Kang. Jadi kata Allah, sebaik-baik manusia bukan yang bergelimang harta, paling tinggi jabatannya, paling hebat kastanya, bukan. Samasekali bukan. Kata Allah, manusia terbaik adalah yang mempelajari Al Qur'an. Itu. Bahkan kalau kita kembali urutkan susunan kalimat yang disampaikan Rasulullah tadi, siapa yang lebih baik dan lebih banyak pahalanya, yang belajar atau yang mengajar? Yang pertama disebutkan, Kang. Yaitu, yang belajar, lebih utama."

Aku terkesima. Menyimak dengan seksama. Di waktu lepas kultum jelang pagi ini, hanya ada kami berempat yang tertinggal di masjid. Aku, Ustadz Yahya, Pak Budi, dan Pak Firman. Dan aku sedang dinasihati dengan hal yang sungguh baru kali ini kudengar.

"Hanya saja, tidak ada pengajar yang tidak lebih dulu belajar. Jadi pengajar Al Qur'an sejatinya mendapatkan dua kali sebutan sebagai sebaik-baik manusia, bahkan berkali-lipat dari itu. Ia lebih dulu telah belajar, lalu mengajarkan, kemudian terus belajar lagi, dan berlanjut diajarkannya lagi. Sebaik-baiknya manusia kata Allah, kata Rasulullah...."

Aku masih diam. Mencerna. Dan seperti ada yang mengetuk satu pintu mati hatiku detik ini juga. Aneh banget. Tapi rasanya kayak nyata. Apa karena ini sedang bulan puasa jadi pintu rahmat emang lagi benar-benar dibuka? Sampai aku yang sungguh asing dari agama jadi terketuk sama penyampaian sederhana dari Ustadz Yahya yang mungkin sebenarnya biasa aja?

"Nggak apa-apa kalau belum bisa ngaji. Yang salah itu kalau bisa terus nggak ngaji. Atau nggak bisa dan nggak mau belajar ngaji. Begitu ya, Ustadz?" Pak Budi menimpali. 

Ustadz Yahya mengangguk. 

Aku merasa, tersentuh. Faham mereka sedang 'menyemangatiku'. 

"Jadi di antara kami bertiga ini, siap semua ngajarin Kang Padi ngaji. Mau berguru sama siapa?" Ustadz Yahya kembali tersenyum ramah. Jenggot putihnya nampak berkilauan diterpa cahaya pagi yang mulai masuk dari arah ventilasi.

Aku tidak menjawab. Mana mungkin memilih. Ketiganya sama-sama fasih mengaji. Dan mengapa bisa mereka seringan ini ingin mengajarkan? Ah ya, pasti sebab imbalan predikat sebagai sebaik-baik manusia tadi.

Aku tak menyangka, sampai sedikit ada perebutan murid. Rebutan pahala banget kayaknya. Hingga dari diskusi singkat, mereka bertiga juga yang akhirnya menyepakati, Ustadz Yahya yang akan menjadi guru ngajiku.

Aku mengangguk sekali lagi. Jalanin aja lah. Ngikutin semua alur ini. Daripada buat masalah dengan nolak tawaran diajarin ngaji, yang ada penyamaranku bisa ketahuan. 

Lagipula, aku sebenarnya jadi tertarik juga. Buat belajar ngaji. Apalagi habis berapa kali ikut sholat di sini. Dengerin suara imamnya yang semalam ngimam tarawih, Ustadz Khalid, masih muda, sepertinya seumuran denganku. Katanya lulusan kuliah di Arab. Suaranya bening. Dan bacaannya lancar banget. Bikin aku agak mikir, apa aku bisa begitu juga? 

Hm, buat apa? 

Ya, buat apa? Entahlah. Rasanya, ada panggilan rasa ingin saja.

"Kami pamit pulang dan kegiatan masing-masing dulu ya, Kang. Insya Allah siang sebelum dzuhur saya ke sini lagi. Kita mulai belajar ngaji. Sudah siap?" Ustadz Yahya menepuk pundakku usai mendirikan sholat entah sholat apa.

Aku mengangguk kembali. 

Siap tidak siap. Aku akan belajar membaca Al Qur'an mulai siang ini. Begitu? 

---

Jelang pukul sembilan pagi. Masjid sunyi. Ada beberapa orang yang baru datang dan mendirikan sholat masing-masing. Kata mereka sholat dhuha. Lalu tetap di atas sajadah sambil membaca Al Qur'an. Ada yang lagi berdzikir. Ada yang ketiduran. 

Tapi sepi sih. 

Sementara aku sibuk dengan pekerjaanku. Membersihkan jendela dan mengelapi kaca-kaca. Lalu berlanjut menyapu dan mengepel lantai hingga menggosok tangga. Menyusun buku-buku. Banyak sekali pekerjaanku. Begini melelahkan, apa benar dibayar seikhlasnya? 

Ah, justru aku tak ingin dibayar saja. Aku kan sedang 'lari dari uang' dan kekayaan. Lagian, berapa sih? Aku sudah punya semuanya. Bahkan masjid begini juga aku bisa bangun sendiri pakai hartaku sendiri.

Capek dan lemes banget. Maklum, kan puasa. Aduh, masih pagi padahal. Tapi sudah haus aja. Apa aku batalin puasa aja? Tapi gimana kalau ketahuan coba?

Lagi-lagi pengen nyerah aja kalau ngerasain lelah dan lemesnya gini. 

Aku sedang mendorong kain pel ke arah perwudhuan jama'ah pria saat tiba-tiba aja, ekor mata menangkap pemandangan yang membuatku terpaku seketika. 

Seorang gadis menaiki sepeda sederhana, masuk lewat gerbang samping lalu berhenti di parkiran samping juga. Ia turun dari sepeda dan menyandarkan kendaraan manual itu ke dinding. Sambil ngeluarin bungkusan besar yang diikat di boncengan belakangnya. 

Ananda. 

Dia melangkah mendekat, ke arah pintu. Masih nggak nyadar ada aku. Ah, maksudku, dia nggak merhatiin kemana-mana emang sih kayaknya. Cuma aku sendiri yang nggak tahu kenapa malah nggak bisa mgelepasin dari pemandangan ini, maksudku sedang melihat pada gadis itu. Terlihat, sederhana sekali. Penampilannya. 

Apalagi sikapnya yang ngingetin anak-anak ngaji supaya nggak jadiin aku ejekan 'om tompel' dan bahkan nyuruh mereka minta maaf. Padahal emang beneran aku lagi menyamar pakai banyak tompel-tompel gini. 

Nggak cuma anak-anak itu aja, sampai malam, banyak jama'ah yang refleks nyebut aku Kang Tompel. Orang-orang dewasa malah. Yang cewek-cewek, beberapa malah terang-terangan nunjukin sikap refleks mendelik pas lihat aku, marbot culun yang tompelan ini. Dasar emang, datang buat sholat jama'ah tarawih tapi hatinya pada gitu. Emang kenapa kalau orang tompelan? Nggak tahu aja aku CEO di kehidupan sebenarnya.

Jadi penasaran, kemaren kan hari pertama aku di sini. Pertama kali juga gadis manis itu lihat aku. Tapi sikapnya malah kayak menghormati aku banget. Maksudku, nggak kelihatan beda menyikapi aku dengan orang-orang lain. 

Kuintip dari sini, dia masuk dan sholat di tempat khusus wanita. Terus berdoa khusyuk banget, habis itu baru buka bungkusan yang dia bawa tadi. Ternyata isinya mukena. Banyak, ada kali sepuluh pasang. Ada bordiran nama masjid ini semua. Kusimpulkan, itu mukena masjid. Kok dia yang bawa?

Dia buka lemari dan ngelepasin mukena-mukena di lemari dari hanger. Terus mukena yang dia bawa tadi disusunnya ke hanger itu satu-satu. Dia tata lagi ke dalam lemari. Dan mukena-mukena dari dalam lemari sebelumnya, dia masukin plastik. Sepertinya buat dicuci. 

Lalu dia lanjutkan dengan ngeberesin sudut lemari berisi Al Qur'an dan buku-buku bacaan yang belum sempat kubereskan. Maksudku, aku sudah diingatkan Ustadz Yahya untuk tak sembarang masuk ke tempat sholat wanita. Khawatir kalau pas ada yang lagi nggak sempurna nutup aurat. Lagipula, lagi-lagi kata Ustadz Yahya, untuk area sholat wanita biasanya ada yang membersihkan juga. Nyuciin mukena dan lain-lain, wanita juga, cuma nggak tinggal di masjid kayak aku. 

Apa Ananda orangnya?

Em, bukannya dia anak Ustadz Yahya? Masa dia?

Untung aku masih posisi kayak lagi ngepel gini pas dia tiba-tiba keluar. Jadi nggak ketangkap basah dari tadi aku merhatiin dia. 

Dia membawa plastik berisi mukena-mukena dari dalam. Dan berpapasan denganku. 

Ya, berpapasan. Dan aku kembali melihat pemandangan yang membuatku terpaku diam. Saat bersitatap dengannya, dan dia mengangguk sekilas dengan senyum tipis. 

Manis.

Aku membalas senyumnya. Eh, apa tadi malah aku yang senyum duluan malah?

Entahlah, aku tersenyum terus sampai dia berlalu, menuju sepedanya. 

Duh, kok deg-deg an gini habis sekilas bersitatap kayak tadi? Aku menelan saliva sambil memegangi dada. Kenapa nih? 

Lalu teringat siang nanti akan belajar ngaji sama Ustadz Yahya. Ayahnya? 

Apa aku bisa tanya-tanya soal Ananda? Eh, buat apa? Maksudku, kenapa sih aku ini? Jadi pengenan tahu. 

"Kak, kita ngaji?" Tiba-tiba serombongan anak-anak yang lagi main-main di pelataran masjid mencegat gadis bersepada itu. Ananda. 

"Mau ngaji sekarang beneran? Kan jadwalnya sore." Suaranya menyahut. 

Aku manajamkan pendengaran. Sambil menarik senyuman. Suaranya enak banget kedengarannya.

Anak-anak yang ditanya malah ketawa-ketawa. 

"Sore aja, kak! Masih mau main!" 

Yaelah, bocah, kecil-kecil udah pada pinter gitu basa-basi.

Dia ngucap salam ke anak-anak terus meelambaikan tangan setelah nasehatin mereka supaya semangat puasanya baru pergi, kembali melajukan sepedanya.

Dan malah aku yang jadi semangat dengarnya. Eh, puasanya. Nggak jadi kehausan deh. Apalagi pas dengar dia sore mau ke sini lagi. Ketemu lagi. 

Aku meneruskan ngepel sambil mengulum senyum, ngebayangin senyum tipisnya tadi. Walau cuma sekilas lalu. 

Wajahnya, bersih tanpa setitikpun make up. Jadi nggak bosen mandangnya. Duh, batalin puasa nggak sih gini?

---

Bersambung

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Marbot Itu ternyata CEO 7
12
0
7.  Calon ImamAku batal dari niat buruk membatalkan puasa karena kehausan. Entahlah, berubah semangat gini jadinya, habis lihat keceriaan anak-anak yang mau ngaji ntar sore. Ah, habis lihat guru ngajinya maksudnya. Ananda.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan