Marbot Itu ternyata CEO 5

12
1
Deskripsi

 5.  Suara Merduku

Malam ini, malam pertama Bulan Ramadhan. Masjid ini menjadi sangat ramai, benar-benar di luar ekspektasiku. Maksudku, sebab aku sungguh awwam datang ke masjid apalagi untuk tarawih berjama'ah seperti ini. Bahkan sholat dan puasa pun, aku lupa kapan terakhir kali. 

 5.  Suara Merduku

Malam ini, malam pertama Bulan Ramadhan. Masjid ini menjadi sangat ramai, benar-benar di luar ekspektasiku. Maksudku, sebab aku sungguh awwam datang ke masjid apalagi untuk tarawih berjama'ah seperti ini. Bahkan sholat dan puasa pun, aku lupa kapan terakhir kali.

Pengurus masjid yang terdiri dari para pria dewasa dan beberapa pemuda nampak sibuk mempersiapkan berbagai agenda jama'ah. Dan aku, juga sibuk mempersiapkan berbagai kebutuhan yang diminta usai diperkenalkan Ustadz Yahya sebagai marbot masjid baru.

"Kang, galon di luar tolong diangkat ke dalam ya," perintah seorang pria dewasa, padaku.

Aku tahu yang kemudian harus kulakukan. Ya, mengangkat galon. Ow, Alfadi Edibagaskara--seorang CEO perusahaan nasional ternama-- mengangkat galon!

"Kang, tolong cari kabel panjang di gudang ya, buat nyambungin microfon untuk tadarus ini." Seorang ustadz yang menjadi imam tarawih malam ini yang memintaku.

Dan lagi-lagi, aku harus menuruti permintaan tolong atau bahkan perintah itu. Bergumul dengan barang-barang berdebu di gudang sembari mencari-cari dalam kegelapan.

"Kang, pintu belakang WC airnya nggak bisa ngalir, apa mampet?"

Lalu lagi-lagi aku harus beranjak memeriksa.

Ya, malam ini dipenuhi dengan kelelahan dan harga diriku yang terinjak-injak luar biasa.

Sungguh, ini benar-benar pengalaman seumur hidup yang sangat luar biasa. Bahkan mungkin sangat memalukan. Untung tidak ada yang tahu, hanya Handi yang tahu soal ini. Bahkan ini semua adalah usulnya. Dan dia adalah orang kepercayaanku.

Setelahnya, aku juga yang harus menunggu semua orang meninggalkan masjid, lalu baru aku bisa mengunci pintu. Menjadi orang terakhir yang meninggalkan tempat ini.

Aku segera masuk ke kamar yang untungnya hanya bersebelahan bahkan menempel dinding dengan masjid ini. Lantas terkapar di kamar setelah menghabiskan makan malam dengan sangat lahap. Padahal hanya nasi bungkus dengan menu sederhana. Mungkin sebab begitu lelah dengan pekerjaan yang luar biasa menguras tenaga seharian ini.

Aku mengerjapkan mata yang sudah mengantuk dan ingin terpejam rasanya. Lalu mengecek email dari laporan perusahaan yang dikirimkan Handi satu jam yang lalu.

Ya, apapun statusku sekarang, perusahaanku,  AlfaEd Coorporation tetap berada di bawah kontrolku. Meski secara teknis, ada Handi yang menghandle di sana.

Hanya memeriksa laporan dan memberikan instruksi via chatting pada Handi. Setelahnya aku membuka tangan di atas kasur sederhana pada kamar ini. Meregangkan semua otot yang rasanya remuk. Huft.

Tapi... sungguh, aku tidak merasakan sakit kepala dan mual-mual seperti kemarin-kemarin. Apa sebab aku tak berurusan dengan uang dan harta kekayaan sejak tadi?

Aku menarik nafas dalam-dalam.

Entah jam berapa aku terlelap. Bahkan aku tak sempat melepaskan tompel-tompel berbahan sintetis yang memenuhi wajahku ini.

Sungguh lelah sekali.

Dan berita lebih hebatnya, aku bisa tidur dengan sangat nyenyak malam ini. Padahal sudah berbulan-bulan aku juga mengalami gangguan tidur. Malam ini, aku mendapatkan kualitas tidur yang luar biasa hebat setelah belakangan aku tak bisa tidur nyenyak walau telah meminum obat tidur dosis tinggi.

---

Aku tertidur pulas. Sungguh terlelap dan tak menyadari apapun sampai terdengar suara ketukkan di pintu.

Aku menyipitkan mata yang berat dan langsung terlonjak begitu mendengar suara Ustadz Yahya yang memanggil di luar.

Apa aku kesiangan?

Seperti yang disampaikan Ustadz Yahya sore tadi, aku juga bertugas mempersiapkan masjid untuk kegiatan subuh hari. Bahkan memberikan "panggilan sahur" dari microfon masjid sejak pukul 03.20.

Bergegas aku menyambar pintu dan membukanya. Untung saja semalam tompel-tompel di wajahku lupa kulepaskan. Jadi masih menempel dengan sempurna di wajahku ini.

"Assalamualaikum." Suara ketukkan terdengar lagi.

"Wa'alaikumsalam." Aku membuka daun pintu dengan tampang benar-benar bangun tidur seperti ini.

"Masya Allah. Mari, Kang, tahajjud jama'ah dan sahur dulu." Ustadz Yahya membangunkanku dengan sopan.

Aku mengangguk kemudian meminta maaf karena terlambat bangun. Untunglah Ustadz Yahya begitu pengertian.

Cepat aku berganti pakaian, melepaskan tompel-tompelku dengan cairan khusus, memakai masker lalu beranjak ke kamar mandi, berwudhu sebisaku saja, lalu kembali ke kamar dan menempelkan tompel-tompel, menyisir culun rambutku lalu beranjak ke masjid, lewat pintu belakang.

Ternyata masih pukul tiga. Ckck. Demi apa aku bangun jam segini. Dan Ustadz Yahya bersama beberapa jama'ah pria sudah bersiap melaksanakan sholat tahajjud berjama'ah. Aku menjadi salah satu di antaranya. Dalam serangan rasa mengantuk yang nyaris membuatku beberapa kali terpejam kembali. Asli, masih ngantuk berat.

Usai sholat tahajjud, beberapa orang yang tadi mengikuti sholat tahajjud berjama'ah, pamit pulang untuk sahur bersama keluarga masing-masing. Tertinggal aku sendiri serta beberapa jama'ah yang baru tiba, tapi jelas bukan pengurus masjid. Mereka mengambil posisi di sudut-sudut untuk membaca Al Qur'an dan duduk berdzikir.

Ustadz Yahya juga pulang, usai memberikan makan sahurku dan mengingatkanku untuk membangunkan masyarakat agar sahur, lewat pengeras suara masjid.

"Cara 'memanggil' dan 'membangunkan' warga sahur, terserah cara Kang Fadi saja ya. Yang unik, biar orang-orang pada kebangun dan sahur. Jangan lupa ingatkan jam imsyak juga," ucap Ustadz Yahya sebelum pergi tadi.

Aku faham yang dimaksudnya. "Memanggil-manggil" warga untuk sahur lewat microfon masjid yang terdengar kemana-mana. Begitu kan?

Ini sungguh seperti tidak masuk akal kulakukan.

Aku, entahlah. Rasanya aku ingin tertawa membayangkan kegilaan yang kulakukan sejak kemarin. Pengalaman hebat. Dari seorang raja menjadi rakyat jelata.

Aku berfikir beberapa saat sebelum mengeluarkan suara di ujung microfon. Panggilan yang unik? Aku kan sangat menjaga imej selama ini.

Tapi, aku kan tidak sedang menjadi Tuan Alfa alias Tuan Alfadi Edibagaskara sekarang. Aku berperan sebagai Kang Fadi. Maksudku, Kang Padi. Sebab sejak kemarin, kebanyakan orang memanggilku dengan sebutan "Padi" bukan Fadi". Hanya Ustadz Yahya yang menyebut namaku dengan benar, sepertinya sebab ia bukan asli Sunda, sama sepertiku. Ya, orang Sunda kan sulit menyebut huruf 'f'. Dan aku merasakannya sekarang. Tapi lucu sih, makin menyempurnakan penyamaranku. Aku suka panggilan itu sekarang, Kang Padi. Berasa kayak tumbuh-tumbuhan.

Aku menarik nafas dalam-dalam, lalu menggubah lirik dan nada sendiri. Bersenandung sesuka hati sambil memikul senada gendang di tangan.

Sahuuur... Sahur-sahur

Sahuuur-sahuur... Sahuuur

Aku sebenarnya, suka bersenandung bebas. Tapi sebab begitu terkungkung dalam sikap dingin yang terbalut dalam wibawa dan formalitas selama ini, kegemaran ini pun jadi sangat terbatas. Apalagi keluarga besar lebih mendukungku menjadi pengusaha dibandingkan seniman musik. Yah, tentu saja. Bagi keluarga Bagaskara, tidak ada yang lebih baik dari menjadi seorang pengusaha besar.

Aku selalu menjaga kehormatan di hadapan siapapun. Semua dalam sikap yang tertata. Tidak pernah rileks.

Baru kali ini bisa bebas bersenandung seperti ini. Bahkan menggubah nada sendiri. Tidak ada yang mengenalku kan?

Aku semakin bersemangat. Bersuara keras-keras, bersenandung. Sekalian membuang rasa mengantuk yang memang perlahan hilang seiring aku yang menikmati nada gubahanku ini.

Sahuur... sahur-sahur....

Sahur-sahur... sahuuuur....

Satu jam lagi waktu imsyak

Segera sahur... sahuur....


Di luar sana. Aku tahu. Suaraku sedang menggema kemana-mana. Ini asyik sih.

Setelah itu, berhenti beberapa waktu, aku menikmati menu makan sahurku. Baru membangunkan sahur lagi.

---

"Yang tadi membangunkan sahur, Kang Padi?" Tanya Pak Firman, salah satu pengurus masjid.

Aku mengangguk. Dengan sikap seorang marbot.

"Masya Allah. Ternyata merdu sekali suara Kang Padi ini ya." Pak Budi yang juga pengurus masjid menimpali.

"Iya. Saya juga baru tahu. Diam-diam ternyata. Mungkin bisa masuk list jadi imam tarawih nanti, gimana?" Kali ini Ustadz Yahya yang bicara sekaligus membuat usulan mengejutkan itu.

Aku tersengal.

Apa? Jadi imam?

Aku mana bisa ngaji!

Semua orang mengangguk sepakat. Dan aku seketika membelalak.

Bisa nyanyi nggak bisa ngaji! Tiba-tiba ditunjuk jadi imam lagi. Haduh!

---
Bersambung

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Marbot Itu ternyata CEO 6
11
1
 6. Gadis Bersepeda
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan